Upload
hoangkhanh
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia masih merupakan pembunuh utama balita di seluruh dunia,
berdasarkan perkiraan WHO setiap tahun pneumonia membunuh balita sebanyak
1 juta sebelum ulang tahun pertama mereka, lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah kematian akibat penyakit AIDS, malaria dan tuberkulosis. Hal ini sangat
tragis karena pneumonia merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati
(IVAC, 2011). Di negara berkembang pneumonia disebut sebagai the forgotten
disease atau “penyakit yang terlupakan” karena begitu banyak korban yang
meninggal karena pneumonia namun sangat sedikit perhatian yang diberikan
kepada masalah ini (Misnadiarly, 2008).
Diperkirakan setiap tahun lebih dari 95% kasus baru pneumonia terjadi di
negara berkembang, lebih dari 50% kasus pneumonia berada di Asia Tenggara
dan Sub-Sahara Afrika. Dilaporkan pula bahwa ¾ kasus pneumonia pada balita di
seluruh dunia berada di 15 negara. Indonesia merupakan salah satu diantara ke 15
negara tersebut dan menduduki tempat ke-6 dengan jumlah kasus sebanyak 6 juta
(UNICEF & WHO, 2006). Rata-rata setiap tahunnya 2% - 3% balita menderita
pneumonia berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan biasanya
berakibat cukup fatal. Setiap 1000 kelahiran, sekitar 100 - 150 kasus pneumonia
berat terjadi pada balita, terbanyak terjadi pada balita umur 0 - 2 tahun, dimana
sekitar 21% kematian balita disebabkan karena pneumonia berat (Scott et al.,
2008).
Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyebab utama kematian bayi (0 -
11 bulan) sebesar 23,80% dan sebagai penyebab kedua kematian balita (1 - 4
tahun) yaitu 15,50% menempati urutan kedua setelah diare dari 10 besar
kematian. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang
2
menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap
tingginya angka kematian balita di Indonesia (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten Purbalingga jumlah kasus ISPA
dari tahun 2009 - 2011 fluktuatif, namun tetap menduduki peringkat pertama pada
10 besar penyakit terbanyak kunjungan rawat jalan maupun rawat inap di
Puskesmas. Pada tahun 2009 jumlah kasus ISPA sebanyak 50,871 kasus, tahun
2010 sebanyak 43,571 kasus, tahun 2011 sebanyak 60,042 kasus. Data 10 besar
penyakit terbanyak di poliklinik anak Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Purbalingga tahun 2011 menunjukkan bahwa pneumonia menduduki tempat ke-3
dengan jumlah kasus sebanyak 1,079 kasus (9,03%).
Jumlah kasus pneumonia yang ditemukan pada tahun 2009 sebanyak 654
kasus (9,60%), tahun 2010 sebanyak 487 kasus (6,99%), tahun 2011 sebanyak
423 kasus (5,45%) dan tahun 2012 sebanyak 560 kasus (7,22%). Meskipun
jumlah kasus pneumonia yang ditemukan di Kabupaten Purbalingga dibawah
perkiraan nasional, namun menurut perkiraan WHO insiden pneumonia di negara
berkembang sebesar 10 - 20%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga (2010, 2011, 2012, 2013)
Gambar 1 Jumlah Kasus Pneumonia Balita yang Ditemukan di Kabupaten
Purbalingga Tahun 2009 – 2012
Tingginya angka mortalitas dan morbiditas pneumonia pada anak usia balita
di negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko antara lain; faktor
sosial ekonomi (tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan orang tua rendah),
faktor nutrisi (status gizi, riwayat suplementasi vitamin A, berat badan lahir
654
487 423
560
0
200
400
600
800
2009 2010 2011 2012
3
rendah/BBLR, lahir prematur, tidak mendapat ASI yang eksklusif, dan riwayat
suplementasi zinc), faktor lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi rumah, jenis
lantai rumah, letak dapur, polusi udara dalam rumah, kelembaban, dan adanya
anggota keluarga yang merokok), tidak mendapat imunisasi, riwayat penyakit
penyerta (anemia, diare, campak, thalasemia, dan sickle cell disease) (Wonodi et
al., 2012).
Hasil penelitian Prietsch et al. (2008) menyimpulkan bahwa faktor risiko
utama yang berhubungan dengan kejadian pneumonia adalah tingkat pendapatan
keluarga < US$ 200, kebiasaan merokok ibu, kepadatan hunian, riwayat asthma
keluarga, tingkat pendidikan ibu dan episode penyakit infeksi saluran pernapasan
atau wheezing. Sedangkan hasil penelitian Fonseca et al. (1996) menyimpulkan
faktor risiko yang secara signifikan berhubungan dengan kejadian pneumonia
pada balita adalah malnutrisi, menitipkan anak pada tempat penitipan anak,
BBLR, ASI tidak eksklusif, kepadatan hunian, banyaknya jumlah kehamilan,
status imunisasi tidak lengkap. Faktor risiko yang tidak berhubungan dengan
kejadian pneumonia adalah status sosial ekonomi dan faktor lingkungan.
Hasil penelitian Rice et al. (2000), menyimpulkan bahwa malnutrisi
meningkatkan risiko kematian akibat penyakit infeksi saluran pernapasan bagian
bawah dan pneumonia sebesar 2 - 3 lebih besar. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Chisti et al. (2009) menyimpulkan bahwa status gizi buruk dan gizi
kurang meningkatkan risiko kematian akibat penyakit pneumonia.
Proporsi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten Purbalingga selama
tahun 2009 – 2012 mengalami peningkatan. Tahun 2009 proporsi balita yang
mempunyai status gizi kurang adalah sebesar 2,25% meningkat menjadi 4,51%
pada tahun 2012, sedangkan proporsi balita gizi buruk pada tahun 2009 adalah
sebesar 0,24% meningkat menjadi 0,56% pada tahun 2012. Permasalahan lainnya
adalah masih rendahnya cakupan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif yaitu
sebesar 58,7% pada tahun 2012. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan
imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman (Dinas
Kesehatan Kabupaten Purbalingga, 2013).
4
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki risiko 50% lebih
tinggi untuk terkena penyakit pneumonia jika dibandingkan dengan bayi dengan
berat badan normal. Hal ini disebabkan oleh lemahnya respon sistem imunitas dan
adanya gangguan fungsi paru yang berhubungan dengan kecilnya diameter saluran
respirasi utama atau obstruksi saluran pernapasan perifer (Victora et al., 1994).
Hasil penelitian Prietsch et al. (2008) yang menyimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara BBLR dengan kejadian pneumonia. Proporsi kasus BBLR di
Kabupaten Purbalingga selama tahun 2009 – 2012 mengalami peningkatan dari
2,5% pada tahun 2009 mejadi 3,7% pada tahun 2012 (Dinas Kesehatan Kabupaten
Purbalingga, 2013).
Penyakit diare merupakan faktor risiko penting terhadap kejadian penurunan
berat badan akut, malnutrisi dan stunting, seperti sudah diketahui bahwa
malnutrisi merupakan faktor risiko yang berperan penting terhadap kejadian
infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Schmidt et al. (2009) yang menyimpulkan adanya hubungan antara riwayat
penyakit diare 2 minggu sebelumnya meningkatkan risiko terkena penyakit
pneumonia. Jumlah kasus diare di Kabupaten Purbalingga selama tahun 2009 –
2011 fluktuatif, pada tahun 2009 jumlah kasus diare adalah sebanyak 7,846 kasus,
meningkat pada tahun 2012 menjadi 11,164 (Dinas Kesehatan Kabupaten
Purbalingga, 2013).
Lingkungan rumah berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan
penghuninya. Hubungan antara perumahan dengan kesehatan telah dibuktikan
sejak lebih dari 60 tahun yang lalu oleh the american public health association
(APHA) (Keman, 2007). Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten
Purbalingga tahun 2013 diketahui bahwa proporsi rumah sehat selama tahun 2010
– 2012 tidak pernah mencapai target nasional yaitu 75%. Pada tahun 2010 adalah
sebesar 68,10%, tahun 2011 menurun menjadi 67,40% dan tahun 2012 menurun
menjadi 65,30%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
5
Tabel 1 Proporsi Rumah Sehat di Kabupaten Purbalingga Tahun 2009 - 2011
No. Tahun Jumlah Rumah
yang Ada
Jumlah Rumah
yang Diperiksa
Jumlah Rumah
Sehat
% Rumah
Sehat
1. 2010 220,842 117,295 79,881 68,10
2. 2011 222,531 128,075 86,332 67,40
3. 2012 217,448 153,635 100,358 65,30 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga (2011, 2012, 2013)
Kondisi rumah yang buruk memungkinkan terjadinya penularan penyakit
termasuk penyakit saluran pernapasan seperti pneumonia. Kurangnya
pencahayaan, terlalu lembab, ventilasi buruk. Kepadatan hunian merupakan
kondisi yang sangat mendukung untuk pertumbuhan bakteri. Kepadatan hunian
mengakibatkan mudahnya terjadi penularan agen patogen secara langsung melalui
percikan ludah (droplet), penggunaan kamar lebih dari 2 orang meningkatkan
risiko terkena pneumonia 1,8 kali lebih besar (Fatmi & White, 2002). Dua
penelitian di Inggris gagal membuktikan hubungan antara temperatur dalam
rumah dan kelembaban terhadap kejadian pneumonia dan 2 penelitian di Brazil
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi rumah terhadap kejadian
pneumonia balita (Victora et al., 1994). Hal ini bertentangan dengan hasil
penelitian Sinaga et al. (2009) yang menyimpulkan bahwa ventilasi yang buruk
dan kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian pneumonia balita. Hal ini
didukung oleh penelitian Yuwono (2008) yang meyimpulkan bahwa jenis lantai,
kondisi dinding rumah, luas ventilasi rumah, tingkat kepadatan hunian, tingkat
kelembaban, penggunaan jenis bahan bakar kayu dan kebiasaan anggota keluarga
yang merokok mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian pneumonia.
Asap mengandung beberapa partikel yang mengakibatkan timbulnya infeksi
pada saluran pernapasan, beberapa sumber pencemaran udara dalam ruangan
meliputi asap rokok, penggunaan bahan bakar memasak, penggunaan pestisida,
obat anti nyamuk bakar, dan bahan pembersih ruangan. Sedangkan pencemaran
udara luar rumah meliputi masuknya gas buangan kendaraan bermotor, masuknya
asap dapur akibat ventilasi yang buruk, pencemaran mikroba yang dapat
ditemukan pada saluran udara atau pendingin ruangan (Keman, 2007). Hasil
penelitian Jones et al. (2011) menunjukkan bahwa orang tua yang merokok dan
6
keberadaan perokok dalam rumah meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi
saluran pernapasan bagian bawah.
Berdasarkan hasil analisis masalah kesehatan di Kabupaten Purbalingga tahun
2011 menunjukkan bahwa pneumonia menduduki prioritas masalah kedua setelah
penyakit tuberkulosis (TB) paru. Semakin meningkatnya proporsi balita gizi
kurang dan buruk, kasus BBLR, penyakit diare, rendahnya cakupan bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif serta proporsi rumah sehat yang tidak pernah
mencapai target nasional merupakan alasan perlu dilakukan penelitian untuk
melihat faktor risiko terhadap kejadian pneumonia pada anak balita di Kabupaten
Purbalingga. Faktor risiko kejadian pneumonia pada anak balita di Kabupaten
Purbalingga belum diketahui secara pasti dan belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini
adalah apakah faktor risiko individu, lingkungan, dan sosial ekonomi
berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di Kabupaten
Purbalingga?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan faktor risiko individu, lingkungan dan sosial
ekonomi dengan kejadian pneumonia balita di Kabupaten Purbalingga.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan faktor risiko individu (BBLR, status gizi, status
imunisasi, episode penyakit diare, suplementasi vitamin A, dan ASI tidak
eksklusif) dengan kejadian pneumonia pada anak balita di Kabupaten
Purbalingga.
b. Mengetahui hubungan faktor risiko lingkungan (kepadatan hunian,
keberadaan perokok dalam rumah, ventilasi rumah, jenis lantai rumah,
7
dinding rumah, letak dapur, lubang asap dapur, bahan bakar memasak, dan
kelembaban) dengan kejadian pneumonia pada anak balita di Kabupaten
Purbalingga.
c. Mengetahui hubungan faktor risiko sosial ekonomi (tingkat pendidikan
orang tua dan tingkat pendapatan keluarga) dengan kejadian pneumonia
pada anak balita di Kabupaten Purbalingga.
d. Mengetahui faktor risiko dominan terhadap kejadian pneumonia balita di
Kabupaten Purbalingga.
D. Manfaat Penelitian
1. Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga, hasil penelitian ini dapat
memberikan masukan dan informasi mengenai faktor risiko yang berperan
terhadap kejadian pneumonia pada anak balita sehingga dapat digunakan dalam
pengambilan kebijakan dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan
kematian bayi dan balita di Kabupaten Purbalingga.
2. Bagi masyarakat di Kabupaten Purbalingga, diharapkan mendapatkan
informasi tentang penyakit pneumonia sehingga bisa lebih aktif dalam upaya
mengurangi faktor risiko pneumonia anak balita. Disamping itu juga
memperoleh manfaat dari berbagai program intervensi yang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai upaya penanganan faktor risiko kejadian
pneumonia anak balita.
3. Bagi peneliti, menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman tentang
pneumonia pada anak balita.
E. Keaslian Penelitian
1. Rachmawati (2013), yang berjudul “Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita Umur 12 - 48 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Mijen Kota Semarang”. Subyek penelitian anak balita umur 12-48
bulan yang berjumlah 80 orang dengan desain penelitian kasus kontrol. Hasil
8
penelitian, ada hubungan antara pengetahuan ibu atau pengasuh balita dan
keberadaan keluarga yang merokok dengan kejadian pneumonia. Persamaan
dengan penelitian ini pada desain penelitian, variabel terikat, dan beberapa
variabel bebas status gizi, status imunisasi, jenis lantai, jenis dinding, luas
ventilasi, kepadatan hunian, dan keberadaan anggota keluarga yang merokok.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah penambahan variabel faktor individu
(BBLR, episode penyakit diare, suplementasi vitamin A, dan ASI eksklusif),
faktor lingkungan (letak dapur, lubang asap dapur dan bahan bakar
memasak), faktor sosial ekonomi (tingkat pendapatan keluarga), subyek,
waktu dan lokasi penelitian.
2. Sutami (2011), yang berjudul “Faktor Risiko Ekstrinsik dan Intrinsik Balita
Terhadap Kejadian Pneumonia di Kabupaten Kebumen”. Subyek penelitian
anak balita umur 2 bulan – 5 tahun yang berjumlah 208 orang dengan desain
penelitian kasus kontrol. Hasil penelitian, ASI tidak eksklusif, jenis lantai,
kelembaban dan luas ventilasi tidak memadai berhubungan dengan kejadian
pneumonia pada anak balita. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel
terikat, desain penelitian dan beberapa variabel bebas yang diteliti yaitu faktor
individu (status gizi, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan ASI
eksklusif), faktor lingkungan (kepadatan hunian, keberadaan anggota
keluarga yang merokok, jenis lantai, dinding rumah, kepadatan hunian kamar,
bahan bakar memasak dan kelembaban kamar). Perbedaan dengan penelitian
ini adalah pada variabel bebas yang ditambahkan peneliti yaitu faktor
individu (BBLR dan episode penyakit diare), faktor lingkungan (lubang asap
dapur), faktor sosial ekonomi (tingkat pendidikan orang tua dan tingkat
pendapatan keluarga), subyek, waktu dan lokasi penelitian.
3. Thörn et al. (2011), yang berjudul “Pneumonia and Poverty: a Prospective
Population-based Study among Children in Brazil”. Meneliti hubungan
antara tingkat pendapatan keluarga terhadap kejadian pneumonia. Subyek
penelitian adalah 11,521 balita umur 0 – 35 bulan dengan desain penelitian
prospective population-based study. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
angka insiden pneumonia pada rumah tangga yang memiliki tingkat
9
pendapatan dan tingkat pendidikan rendah lebih tinggi dibandingkan dengan
rumah tangga yang memiliki tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan
tinggi. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada variabel terikat
pneumonia, variabel bebas yaitu tingkat pendidikan orang tua dan tingkat
pendapatan keluarga. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada desain
penelitian, variabel bebas faktor individu (BBLR, status gizi, episode
penyakit diare, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan ASI eksklusif),
faktor lingkungan (kepadatan hunian, keberadaan anggota keluarga yang
merokok, jenis lantai, ventilasi, dinding rumah, letak dapur, lubang asap
dapur, bahan bakar memasak dan kelembaban), subyek, lokasi dan waktu
penelitian.
4. Butu (2010), yang berjudul “Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Anak
Usia 12-24 Bulan di Kabupaten Tana Toraja”. Subyek penelitian adalah balita
umur 12-24 bulan sebanyak 94 orang dengan desain penelitian kasus kontrol.
Hasil penelitian, ASI eksklusif, MP ASI, status gizi, pendidikan ibu, polusi
asap dapur, dan ventilasi rumah berhubungan dengan kejadian pneumonia.
Persamaan dengan penelitian ini pada beberapa variabel bebas faktor individu
(status gizi dan ASI eksklusif), faktor lingkungan (polusi asap rokok, polusi
asap dapur, kepadatan hunian, dan ventilasi), dan faktor sosial ekonomi
(pendidikan orang tua). Perbedaan dengan penelitian ini, ada penambahan
beberapa variabel bebas yaitu faktor individu (BBLR, episode penyakit diare,
status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan status imunisasi), faktor
lingkungan (jenis lantai, dinding rumah, bahan bakar memasak, letak dapur
dan), faktor sosial ekonomi (tingkat pendapatan keluarga), subyek, waktu dan
lokasi penelitian.
5. Yuwono (2008), yang berjudul “Faktor – Faktor Lingkungan Fisik Rumah
yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap”. Meneliti tentang
hubungan faktor fisik lingkungan rumah terhadap kejadian pneumonia pada
anak balita. Subyek penelitian adalah anak balita umur 1 – 5 tahun dengan
desain penelitian kasus kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis
10
lantai, kondisi dinding rumah, luas ventilasi rumah, tingkat kepadatan hunian,
tingkat kelembaban, penggunaan jenis bahan bakar kayu dan kebiasaan
anggota keluarga yang merokok mempunyai hubungan dengan kejadian
pneumonia. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada desain penelitian,
variabel terikat dan beberapa variabel bebas yaitu faktor lingkungan
(kepadatan hunian, keberadaan anggota keluarga yang merokok, jenis lantai,
ventilasi, dinding rumah, bahan bakar memasak dan kelembaban). Perbedaan
dengan penelitian ini pada variabel bebas faktor individu (BBLR, status gizi,
episode penyakit diare, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan ASI
eksklusif), faktor sosial ekonomi (tingkat pendidikan orang tua dan tingkat
pendapatan keluarga), subyek, lokasi dan waktu penelitian.
6. Salam (2006), yang berjudul “Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di
Kabupaten Magelang”. Subyek penelitian adalah anak balita dengan desain
kasus kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembaban yang buruk,
riwayat wheezing dan riwayat pneumonia merupakan faktor risiko terjadinya
penumonia pada anak balita. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada
desain, variabel terikat dan beberapa variabel bebas yaitu faktor individu
(BBLR, status gizi, status imunisasi, ASI eksklusif, dan suplementasi vitamin
A), faktor lingkungan (kelembaban, ventilasi, letak dapur, kepadatan hunian,
keberadaan anggota keluarga yang merokok) dan tingkat pendidikan ibu.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada variabel bebas faktor individu
(episode penyakit diare), faktor lingkungan (jenis lantai, dinding rumah,
lubang asap dapur, dan bahan bakar memasak), faktor sosial ekonomi (tingkat
pendapatan keluarga), subyek, lokasi dan waktu penelitian.
7. Koch et al. (2003), yang berjudul “Risk Factors for Acute Respiratory Tract
Infections in Young Greenlandic Children”. Meneliti faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan atas dan bawah.
subyek penelitian adalah anak balita umur 0 – 2 tahun dengan desain
penelitian kohort. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan bagian bawah
adalah jenis kelamin laki-laki, dititipkan pada tempat penitipan anak, terpapar
11
asap rokok (perokok pasif), berbagi kamar dengan anak umur 0 – 5 tahun dan
ASI merupakan faktor protektif terhadap kejadian pneumonia. Persamaan
dengan penelitian ini pada variabel terikat dan beberapa variabel bebas yaitu
pemberian ASI, tingkat pendidikan orang tua, kepadatan hunian dan
keberadaan perokok dalam rumah. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada
beberapa variabel bebas faktor individu (BBLR, status gizi, status imunisasi,
episode penyakit diare, suplementasi vitamin A), faktor lingkungan (ventilasi,
dinding rumah, jenis lantai letak dapur, lubang asap dapur, bahan bakar
memasak dan kelembaban dalam rumah), faktor sosial ekonomi (tingkat
pendapatan keluarga) desain penelitian, subyek, lokasi dan waktu penelitian.
8. Fatmi & White (2002), yang berjudul “A Comparizon of ‘Cough and Cold’
and Pneumonia: Risk Factors for Pneumonia in Children Under 5 Years
Revisited”. Meneliti faktor risiko yang membedakan antara infeksi saluran
pernapasan atas dan pneumonia. Subyek penelitian adalah 446 anak balita
umur < 5 tahun dengan desain penelitian kohort. Persamaan penelitian ini
adalah pada variabel terikat dan beberapa variabel bebas yaitu faktor individu
(status gizi) dan faktor sosial ekonomi (tingkat pendidikan orang tua).
Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada beberapa variabel bebas yaitu
faktor individu (BBLR, status gizi, episode penyakit diare, status imunisasi,
suplementasi vitamin A, dan ASI eksklusif), faktor lingkungan (kepadatan
hunian, keberadaan perokok dalam rumah, ventilasi, jenis lantai, dinding
rumah, letak dapur, lubang asap dapur, bahan bakar memasak, dan
kelembaban), desain penelitian, subyek, lokasi dan waktu penelitian.
9. Fonseca et al. (1996), yang berjudul “Risk Factors for Childhood Pneumonia
Among Urban Poor in Fortaleza, Brazil : a Case Control Study”. Meneliti
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pnemonia pada anak balita
di wilayah perkotaan yang miskin di Fortaleza Brazil. Subyek penelitian
adalah 650 anak balita umur < 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
malnutrisi merupakan faktor yang paling penting terhadap kejadian
pneumonia. Faktor malnutrisi, menitipkan anak pada tempat penitipan anak,
BBLR, ASI tidak eksklusif, kepadatan hunian, jumlah kehamilan yang tinggi,
12
riwayat penyakit pneumonia meningkatkan risiko terkena penyakit
pneumonia. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada variabel terikat,
desain penelitian dan beberapa variabel bebas yaitu faktor individu (BBLR,
status gizi, dan ASI eksklusif), faktor lingkungan (keberadaan perokok dalam
rumah dan kepadatan hunian), dan faktor sosial ekonomi (tingkat pendidikan
orang tua). Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada beberapa variabel
bebas yaitu faktor individu (episode penyakit diare, status imunisasi, dan
suplementasi vitamin A), faktor lingkungan (ventilasi, dinding rumah, jenis
lantai, letak dapur, lubang asap dapur, bahan bakar memasak dan
kelembaban), faktor sosial ekonomi (tingkat pendapatan keluarga), subyek
penelitian, lokasi dan waktu penelitian.
10. Victora et al. (1994), yang berjudul “ Risk Factors for Pneumonia Among
Children in a Brazilian Metropolitan Areas”. Meneliti tentang faktor risiko
pneumonia pada balita < 2 tahun. Subyek penelitian adalah 510 balita umur <
2 tahun di wilayah perkotaan Brazil Utara dengan desain penelitian hospital
based case control study. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor
rendahnya tingkat pendidikan orang tua, jumlah anggota keluarga dalam
rumah, umur ibu < 20 tahun ketika hamil, menitipkan anak pada tempat
penitipan anak, tidak ASI eksklusif, BBLR, riwayat penyakit pneumonia dan
status gizi berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita.
Persamaan dengan penelitian ini adalah pada desain penelitian, variabel
terikat dan beberapa variabel bebas yaitu faktor individu (status gizi, BBLR,
status imunisasi, suplementasi vitamin A dan ASI eksklusif), faktor
lingkungan (kepadatan hunian), dan faktor sosial ekonomi (tingkat
pendidikan orang tua). Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada beberapa
variabel bebas yaitu faktor individu (episode penyakit diare), faktor
lingkungan (keberadaan perokok dalam rumah, ventilasi, dinding rumah, jenis
lantai, lubang asap dapur, bahan bakar memasak, dan kelembaban dalam
rumah), subyek, lokasi dan waktu penelitian.