12
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia masih merupakan pembunuh utama balita di seluruh dunia, berdasarkan perkiraan WHO setiap tahun pneumonia membunuh balita sebanyak 1 juta sebelum ulang tahun pertama mereka, lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kematian akibat penyakit AIDS, malaria dan tuberkulosis. Hal ini sangat tragis karena pneumonia merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati (IVAC, 2011). Di negara berkembang pneumonia disebut sebagai the forgotten disease atau “penyakit yang terlupakan” karena begitu banyak korban yang meninggal karena pneumonia namun sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah ini (Misnadiarly, 2008). Diperkirakan setiap tahun lebih dari 95% kasus baru pneumonia terjadi di negara berkembang, lebih dari 50% kasus pneumonia berada di Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika. Dilaporkan pula bahwa ¾ kasus pneumonia pada balita di seluruh dunia berada di 15 negara. Indonesia merupakan salah satu diantara ke 15 negara tersebut dan menduduki tempat ke-6 dengan jumlah kasus sebanyak 6 juta (UNICEF & WHO, 2006). Rata-rata setiap tahunnya 2% - 3% balita menderita pneumonia berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan biasanya berakibat cukup fatal. Setiap 1000 kelahiran, sekitar 100 - 150 kasus pneumonia berat terjadi pada balita, terbanyak terjadi pada balita umur 0 - 2 tahun, dimana sekitar 21% kematian balita disebabkan karena pneumonia berat (Scott et al., 2008). Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyebab utama kematian bayi (0 - 11 bulan) sebesar 23,80% dan sebagai penyebab kedua kematian balita (1 - 4 tahun) yaitu 15,50% menempati urutan kedua setelah diare dari 10 besar kematian. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69124/potongan/S2-2014...pneumonia berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit ... lantai rumah, letak dapur,

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pneumonia masih merupakan pembunuh utama balita di seluruh dunia,

berdasarkan perkiraan WHO setiap tahun pneumonia membunuh balita sebanyak

1 juta sebelum ulang tahun pertama mereka, lebih banyak dibandingkan dengan

jumlah kematian akibat penyakit AIDS, malaria dan tuberkulosis. Hal ini sangat

tragis karena pneumonia merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati

(IVAC, 2011). Di negara berkembang pneumonia disebut sebagai the forgotten

disease atau “penyakit yang terlupakan” karena begitu banyak korban yang

meninggal karena pneumonia namun sangat sedikit perhatian yang diberikan

kepada masalah ini (Misnadiarly, 2008).

Diperkirakan setiap tahun lebih dari 95% kasus baru pneumonia terjadi di

negara berkembang, lebih dari 50% kasus pneumonia berada di Asia Tenggara

dan Sub-Sahara Afrika. Dilaporkan pula bahwa ¾ kasus pneumonia pada balita di

seluruh dunia berada di 15 negara. Indonesia merupakan salah satu diantara ke 15

negara tersebut dan menduduki tempat ke-6 dengan jumlah kasus sebanyak 6 juta

(UNICEF & WHO, 2006). Rata-rata setiap tahunnya 2% - 3% balita menderita

pneumonia berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan biasanya

berakibat cukup fatal. Setiap 1000 kelahiran, sekitar 100 - 150 kasus pneumonia

berat terjadi pada balita, terbanyak terjadi pada balita umur 0 - 2 tahun, dimana

sekitar 21% kematian balita disebabkan karena pneumonia berat (Scott et al.,

2008).

Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyebab utama kematian bayi (0 -

11 bulan) sebesar 23,80% dan sebagai penyebab kedua kematian balita (1 - 4

tahun) yaitu 15,50% menempati urutan kedua setelah diare dari 10 besar

kematian. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang

2

menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap

tingginya angka kematian balita di Indonesia (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten Purbalingga jumlah kasus ISPA

dari tahun 2009 - 2011 fluktuatif, namun tetap menduduki peringkat pertama pada

10 besar penyakit terbanyak kunjungan rawat jalan maupun rawat inap di

Puskesmas. Pada tahun 2009 jumlah kasus ISPA sebanyak 50,871 kasus, tahun

2010 sebanyak 43,571 kasus, tahun 2011 sebanyak 60,042 kasus. Data 10 besar

penyakit terbanyak di poliklinik anak Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten

Purbalingga tahun 2011 menunjukkan bahwa pneumonia menduduki tempat ke-3

dengan jumlah kasus sebanyak 1,079 kasus (9,03%).

Jumlah kasus pneumonia yang ditemukan pada tahun 2009 sebanyak 654

kasus (9,60%), tahun 2010 sebanyak 487 kasus (6,99%), tahun 2011 sebanyak

423 kasus (5,45%) dan tahun 2012 sebanyak 560 kasus (7,22%). Meskipun

jumlah kasus pneumonia yang ditemukan di Kabupaten Purbalingga dibawah

perkiraan nasional, namun menurut perkiraan WHO insiden pneumonia di negara

berkembang sebesar 10 - 20%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di

bawah ini.

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga (2010, 2011, 2012, 2013)

Gambar 1 Jumlah Kasus Pneumonia Balita yang Ditemukan di Kabupaten

Purbalingga Tahun 2009 – 2012

Tingginya angka mortalitas dan morbiditas pneumonia pada anak usia balita

di negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko antara lain; faktor

sosial ekonomi (tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan orang tua rendah),

faktor nutrisi (status gizi, riwayat suplementasi vitamin A, berat badan lahir

654

487 423

560

0

200

400

600

800

2009 2010 2011 2012

3

rendah/BBLR, lahir prematur, tidak mendapat ASI yang eksklusif, dan riwayat

suplementasi zinc), faktor lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi rumah, jenis

lantai rumah, letak dapur, polusi udara dalam rumah, kelembaban, dan adanya

anggota keluarga yang merokok), tidak mendapat imunisasi, riwayat penyakit

penyerta (anemia, diare, campak, thalasemia, dan sickle cell disease) (Wonodi et

al., 2012).

Hasil penelitian Prietsch et al. (2008) menyimpulkan bahwa faktor risiko

utama yang berhubungan dengan kejadian pneumonia adalah tingkat pendapatan

keluarga < US$ 200, kebiasaan merokok ibu, kepadatan hunian, riwayat asthma

keluarga, tingkat pendidikan ibu dan episode penyakit infeksi saluran pernapasan

atau wheezing. Sedangkan hasil penelitian Fonseca et al. (1996) menyimpulkan

faktor risiko yang secara signifikan berhubungan dengan kejadian pneumonia

pada balita adalah malnutrisi, menitipkan anak pada tempat penitipan anak,

BBLR, ASI tidak eksklusif, kepadatan hunian, banyaknya jumlah kehamilan,

status imunisasi tidak lengkap. Faktor risiko yang tidak berhubungan dengan

kejadian pneumonia adalah status sosial ekonomi dan faktor lingkungan.

Hasil penelitian Rice et al. (2000), menyimpulkan bahwa malnutrisi

meningkatkan risiko kematian akibat penyakit infeksi saluran pernapasan bagian

bawah dan pneumonia sebesar 2 - 3 lebih besar. Hal ini didukung oleh hasil

penelitian Chisti et al. (2009) menyimpulkan bahwa status gizi buruk dan gizi

kurang meningkatkan risiko kematian akibat penyakit pneumonia.

Proporsi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten Purbalingga selama

tahun 2009 – 2012 mengalami peningkatan. Tahun 2009 proporsi balita yang

mempunyai status gizi kurang adalah sebesar 2,25% meningkat menjadi 4,51%

pada tahun 2012, sedangkan proporsi balita gizi buruk pada tahun 2009 adalah

sebesar 0,24% meningkat menjadi 0,56% pada tahun 2012. Permasalahan lainnya

adalah masih rendahnya cakupan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif yaitu

sebesar 58,7% pada tahun 2012. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan

imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman (Dinas

Kesehatan Kabupaten Purbalingga, 2013).

4

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki risiko 50% lebih

tinggi untuk terkena penyakit pneumonia jika dibandingkan dengan bayi dengan

berat badan normal. Hal ini disebabkan oleh lemahnya respon sistem imunitas dan

adanya gangguan fungsi paru yang berhubungan dengan kecilnya diameter saluran

respirasi utama atau obstruksi saluran pernapasan perifer (Victora et al., 1994).

Hasil penelitian Prietsch et al. (2008) yang menyimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara BBLR dengan kejadian pneumonia. Proporsi kasus BBLR di

Kabupaten Purbalingga selama tahun 2009 – 2012 mengalami peningkatan dari

2,5% pada tahun 2009 mejadi 3,7% pada tahun 2012 (Dinas Kesehatan Kabupaten

Purbalingga, 2013).

Penyakit diare merupakan faktor risiko penting terhadap kejadian penurunan

berat badan akut, malnutrisi dan stunting, seperti sudah diketahui bahwa

malnutrisi merupakan faktor risiko yang berperan penting terhadap kejadian

infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian

Schmidt et al. (2009) yang menyimpulkan adanya hubungan antara riwayat

penyakit diare 2 minggu sebelumnya meningkatkan risiko terkena penyakit

pneumonia. Jumlah kasus diare di Kabupaten Purbalingga selama tahun 2009 –

2011 fluktuatif, pada tahun 2009 jumlah kasus diare adalah sebanyak 7,846 kasus,

meningkat pada tahun 2012 menjadi 11,164 (Dinas Kesehatan Kabupaten

Purbalingga, 2013).

Lingkungan rumah berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan

penghuninya. Hubungan antara perumahan dengan kesehatan telah dibuktikan

sejak lebih dari 60 tahun yang lalu oleh the american public health association

(APHA) (Keman, 2007). Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten

Purbalingga tahun 2013 diketahui bahwa proporsi rumah sehat selama tahun 2010

– 2012 tidak pernah mencapai target nasional yaitu 75%. Pada tahun 2010 adalah

sebesar 68,10%, tahun 2011 menurun menjadi 67,40% dan tahun 2012 menurun

menjadi 65,30%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

5

Tabel 1 Proporsi Rumah Sehat di Kabupaten Purbalingga Tahun 2009 - 2011

No. Tahun Jumlah Rumah

yang Ada

Jumlah Rumah

yang Diperiksa

Jumlah Rumah

Sehat

% Rumah

Sehat

1. 2010 220,842 117,295 79,881 68,10

2. 2011 222,531 128,075 86,332 67,40

3. 2012 217,448 153,635 100,358 65,30 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga (2011, 2012, 2013)

Kondisi rumah yang buruk memungkinkan terjadinya penularan penyakit

termasuk penyakit saluran pernapasan seperti pneumonia. Kurangnya

pencahayaan, terlalu lembab, ventilasi buruk. Kepadatan hunian merupakan

kondisi yang sangat mendukung untuk pertumbuhan bakteri. Kepadatan hunian

mengakibatkan mudahnya terjadi penularan agen patogen secara langsung melalui

percikan ludah (droplet), penggunaan kamar lebih dari 2 orang meningkatkan

risiko terkena pneumonia 1,8 kali lebih besar (Fatmi & White, 2002). Dua

penelitian di Inggris gagal membuktikan hubungan antara temperatur dalam

rumah dan kelembaban terhadap kejadian pneumonia dan 2 penelitian di Brazil

menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi rumah terhadap kejadian

pneumonia balita (Victora et al., 1994). Hal ini bertentangan dengan hasil

penelitian Sinaga et al. (2009) yang menyimpulkan bahwa ventilasi yang buruk

dan kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian pneumonia balita. Hal ini

didukung oleh penelitian Yuwono (2008) yang meyimpulkan bahwa jenis lantai,

kondisi dinding rumah, luas ventilasi rumah, tingkat kepadatan hunian, tingkat

kelembaban, penggunaan jenis bahan bakar kayu dan kebiasaan anggota keluarga

yang merokok mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian pneumonia.

Asap mengandung beberapa partikel yang mengakibatkan timbulnya infeksi

pada saluran pernapasan, beberapa sumber pencemaran udara dalam ruangan

meliputi asap rokok, penggunaan bahan bakar memasak, penggunaan pestisida,

obat anti nyamuk bakar, dan bahan pembersih ruangan. Sedangkan pencemaran

udara luar rumah meliputi masuknya gas buangan kendaraan bermotor, masuknya

asap dapur akibat ventilasi yang buruk, pencemaran mikroba yang dapat

ditemukan pada saluran udara atau pendingin ruangan (Keman, 2007). Hasil

penelitian Jones et al. (2011) menunjukkan bahwa orang tua yang merokok dan

6

keberadaan perokok dalam rumah meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi

saluran pernapasan bagian bawah.

Berdasarkan hasil analisis masalah kesehatan di Kabupaten Purbalingga tahun

2011 menunjukkan bahwa pneumonia menduduki prioritas masalah kedua setelah

penyakit tuberkulosis (TB) paru. Semakin meningkatnya proporsi balita gizi

kurang dan buruk, kasus BBLR, penyakit diare, rendahnya cakupan bayi yang

mendapatkan ASI eksklusif serta proporsi rumah sehat yang tidak pernah

mencapai target nasional merupakan alasan perlu dilakukan penelitian untuk

melihat faktor risiko terhadap kejadian pneumonia pada anak balita di Kabupaten

Purbalingga. Faktor risiko kejadian pneumonia pada anak balita di Kabupaten

Purbalingga belum diketahui secara pasti dan belum pernah dilakukan penelitian

sebelumnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini

adalah apakah faktor risiko individu, lingkungan, dan sosial ekonomi

berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di Kabupaten

Purbalingga?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan faktor risiko individu, lingkungan dan sosial

ekonomi dengan kejadian pneumonia balita di Kabupaten Purbalingga.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan faktor risiko individu (BBLR, status gizi, status

imunisasi, episode penyakit diare, suplementasi vitamin A, dan ASI tidak

eksklusif) dengan kejadian pneumonia pada anak balita di Kabupaten

Purbalingga.

b. Mengetahui hubungan faktor risiko lingkungan (kepadatan hunian,

keberadaan perokok dalam rumah, ventilasi rumah, jenis lantai rumah,

7

dinding rumah, letak dapur, lubang asap dapur, bahan bakar memasak, dan

kelembaban) dengan kejadian pneumonia pada anak balita di Kabupaten

Purbalingga.

c. Mengetahui hubungan faktor risiko sosial ekonomi (tingkat pendidikan

orang tua dan tingkat pendapatan keluarga) dengan kejadian pneumonia

pada anak balita di Kabupaten Purbalingga.

d. Mengetahui faktor risiko dominan terhadap kejadian pneumonia balita di

Kabupaten Purbalingga.

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga, hasil penelitian ini dapat

memberikan masukan dan informasi mengenai faktor risiko yang berperan

terhadap kejadian pneumonia pada anak balita sehingga dapat digunakan dalam

pengambilan kebijakan dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan

kematian bayi dan balita di Kabupaten Purbalingga.

2. Bagi masyarakat di Kabupaten Purbalingga, diharapkan mendapatkan

informasi tentang penyakit pneumonia sehingga bisa lebih aktif dalam upaya

mengurangi faktor risiko pneumonia anak balita. Disamping itu juga

memperoleh manfaat dari berbagai program intervensi yang dilakukan oleh

Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai upaya penanganan faktor risiko kejadian

pneumonia anak balita.

3. Bagi peneliti, menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman tentang

pneumonia pada anak balita.

E. Keaslian Penelitian

1. Rachmawati (2013), yang berjudul “Faktor Risiko yang Berhubungan dengan

Kejadian Pneumonia pada Balita Umur 12 - 48 Bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Mijen Kota Semarang”. Subyek penelitian anak balita umur 12-48

bulan yang berjumlah 80 orang dengan desain penelitian kasus kontrol. Hasil

8

penelitian, ada hubungan antara pengetahuan ibu atau pengasuh balita dan

keberadaan keluarga yang merokok dengan kejadian pneumonia. Persamaan

dengan penelitian ini pada desain penelitian, variabel terikat, dan beberapa

variabel bebas status gizi, status imunisasi, jenis lantai, jenis dinding, luas

ventilasi, kepadatan hunian, dan keberadaan anggota keluarga yang merokok.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah penambahan variabel faktor individu

(BBLR, episode penyakit diare, suplementasi vitamin A, dan ASI eksklusif),

faktor lingkungan (letak dapur, lubang asap dapur dan bahan bakar

memasak), faktor sosial ekonomi (tingkat pendapatan keluarga), subyek,

waktu dan lokasi penelitian.

2. Sutami (2011), yang berjudul “Faktor Risiko Ekstrinsik dan Intrinsik Balita

Terhadap Kejadian Pneumonia di Kabupaten Kebumen”. Subyek penelitian

anak balita umur 2 bulan – 5 tahun yang berjumlah 208 orang dengan desain

penelitian kasus kontrol. Hasil penelitian, ASI tidak eksklusif, jenis lantai,

kelembaban dan luas ventilasi tidak memadai berhubungan dengan kejadian

pneumonia pada anak balita. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel

terikat, desain penelitian dan beberapa variabel bebas yang diteliti yaitu faktor

individu (status gizi, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan ASI

eksklusif), faktor lingkungan (kepadatan hunian, keberadaan anggota

keluarga yang merokok, jenis lantai, dinding rumah, kepadatan hunian kamar,

bahan bakar memasak dan kelembaban kamar). Perbedaan dengan penelitian

ini adalah pada variabel bebas yang ditambahkan peneliti yaitu faktor

individu (BBLR dan episode penyakit diare), faktor lingkungan (lubang asap

dapur), faktor sosial ekonomi (tingkat pendidikan orang tua dan tingkat

pendapatan keluarga), subyek, waktu dan lokasi penelitian.

3. Thörn et al. (2011), yang berjudul “Pneumonia and Poverty: a Prospective

Population-based Study among Children in Brazil”. Meneliti hubungan

antara tingkat pendapatan keluarga terhadap kejadian pneumonia. Subyek

penelitian adalah 11,521 balita umur 0 – 35 bulan dengan desain penelitian

prospective population-based study. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

angka insiden pneumonia pada rumah tangga yang memiliki tingkat

9

pendapatan dan tingkat pendidikan rendah lebih tinggi dibandingkan dengan

rumah tangga yang memiliki tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan

tinggi. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada variabel terikat

pneumonia, variabel bebas yaitu tingkat pendidikan orang tua dan tingkat

pendapatan keluarga. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada desain

penelitian, variabel bebas faktor individu (BBLR, status gizi, episode

penyakit diare, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan ASI eksklusif),

faktor lingkungan (kepadatan hunian, keberadaan anggota keluarga yang

merokok, jenis lantai, ventilasi, dinding rumah, letak dapur, lubang asap

dapur, bahan bakar memasak dan kelembaban), subyek, lokasi dan waktu

penelitian.

4. Butu (2010), yang berjudul “Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Anak

Usia 12-24 Bulan di Kabupaten Tana Toraja”. Subyek penelitian adalah balita

umur 12-24 bulan sebanyak 94 orang dengan desain penelitian kasus kontrol.

Hasil penelitian, ASI eksklusif, MP ASI, status gizi, pendidikan ibu, polusi

asap dapur, dan ventilasi rumah berhubungan dengan kejadian pneumonia.

Persamaan dengan penelitian ini pada beberapa variabel bebas faktor individu

(status gizi dan ASI eksklusif), faktor lingkungan (polusi asap rokok, polusi

asap dapur, kepadatan hunian, dan ventilasi), dan faktor sosial ekonomi

(pendidikan orang tua). Perbedaan dengan penelitian ini, ada penambahan

beberapa variabel bebas yaitu faktor individu (BBLR, episode penyakit diare,

status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan status imunisasi), faktor

lingkungan (jenis lantai, dinding rumah, bahan bakar memasak, letak dapur

dan), faktor sosial ekonomi (tingkat pendapatan keluarga), subyek, waktu dan

lokasi penelitian.

5. Yuwono (2008), yang berjudul “Faktor – Faktor Lingkungan Fisik Rumah

yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap”. Meneliti tentang

hubungan faktor fisik lingkungan rumah terhadap kejadian pneumonia pada

anak balita. Subyek penelitian adalah anak balita umur 1 – 5 tahun dengan

desain penelitian kasus kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis

10

lantai, kondisi dinding rumah, luas ventilasi rumah, tingkat kepadatan hunian,

tingkat kelembaban, penggunaan jenis bahan bakar kayu dan kebiasaan

anggota keluarga yang merokok mempunyai hubungan dengan kejadian

pneumonia. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada desain penelitian,

variabel terikat dan beberapa variabel bebas yaitu faktor lingkungan

(kepadatan hunian, keberadaan anggota keluarga yang merokok, jenis lantai,

ventilasi, dinding rumah, bahan bakar memasak dan kelembaban). Perbedaan

dengan penelitian ini pada variabel bebas faktor individu (BBLR, status gizi,

episode penyakit diare, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan ASI

eksklusif), faktor sosial ekonomi (tingkat pendidikan orang tua dan tingkat

pendapatan keluarga), subyek, lokasi dan waktu penelitian.

6. Salam (2006), yang berjudul “Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di

Kabupaten Magelang”. Subyek penelitian adalah anak balita dengan desain

kasus kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembaban yang buruk,

riwayat wheezing dan riwayat pneumonia merupakan faktor risiko terjadinya

penumonia pada anak balita. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada

desain, variabel terikat dan beberapa variabel bebas yaitu faktor individu

(BBLR, status gizi, status imunisasi, ASI eksklusif, dan suplementasi vitamin

A), faktor lingkungan (kelembaban, ventilasi, letak dapur, kepadatan hunian,

keberadaan anggota keluarga yang merokok) dan tingkat pendidikan ibu.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada variabel bebas faktor individu

(episode penyakit diare), faktor lingkungan (jenis lantai, dinding rumah,

lubang asap dapur, dan bahan bakar memasak), faktor sosial ekonomi (tingkat

pendapatan keluarga), subyek, lokasi dan waktu penelitian.

7. Koch et al. (2003), yang berjudul “Risk Factors for Acute Respiratory Tract

Infections in Young Greenlandic Children”. Meneliti faktor risiko yang

berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan atas dan bawah.

subyek penelitian adalah anak balita umur 0 – 2 tahun dengan desain

penelitian kohort. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang

berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan bagian bawah

adalah jenis kelamin laki-laki, dititipkan pada tempat penitipan anak, terpapar

11

asap rokok (perokok pasif), berbagi kamar dengan anak umur 0 – 5 tahun dan

ASI merupakan faktor protektif terhadap kejadian pneumonia. Persamaan

dengan penelitian ini pada variabel terikat dan beberapa variabel bebas yaitu

pemberian ASI, tingkat pendidikan orang tua, kepadatan hunian dan

keberadaan perokok dalam rumah. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada

beberapa variabel bebas faktor individu (BBLR, status gizi, status imunisasi,

episode penyakit diare, suplementasi vitamin A), faktor lingkungan (ventilasi,

dinding rumah, jenis lantai letak dapur, lubang asap dapur, bahan bakar

memasak dan kelembaban dalam rumah), faktor sosial ekonomi (tingkat

pendapatan keluarga) desain penelitian, subyek, lokasi dan waktu penelitian.

8. Fatmi & White (2002), yang berjudul “A Comparizon of ‘Cough and Cold’

and Pneumonia: Risk Factors for Pneumonia in Children Under 5 Years

Revisited”. Meneliti faktor risiko yang membedakan antara infeksi saluran

pernapasan atas dan pneumonia. Subyek penelitian adalah 446 anak balita

umur < 5 tahun dengan desain penelitian kohort. Persamaan penelitian ini

adalah pada variabel terikat dan beberapa variabel bebas yaitu faktor individu

(status gizi) dan faktor sosial ekonomi (tingkat pendidikan orang tua).

Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada beberapa variabel bebas yaitu

faktor individu (BBLR, status gizi, episode penyakit diare, status imunisasi,

suplementasi vitamin A, dan ASI eksklusif), faktor lingkungan (kepadatan

hunian, keberadaan perokok dalam rumah, ventilasi, jenis lantai, dinding

rumah, letak dapur, lubang asap dapur, bahan bakar memasak, dan

kelembaban), desain penelitian, subyek, lokasi dan waktu penelitian.

9. Fonseca et al. (1996), yang berjudul “Risk Factors for Childhood Pneumonia

Among Urban Poor in Fortaleza, Brazil : a Case Control Study”. Meneliti

faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pnemonia pada anak balita

di wilayah perkotaan yang miskin di Fortaleza Brazil. Subyek penelitian

adalah 650 anak balita umur < 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

malnutrisi merupakan faktor yang paling penting terhadap kejadian

pneumonia. Faktor malnutrisi, menitipkan anak pada tempat penitipan anak,

BBLR, ASI tidak eksklusif, kepadatan hunian, jumlah kehamilan yang tinggi,

12

riwayat penyakit pneumonia meningkatkan risiko terkena penyakit

pneumonia. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada variabel terikat,

desain penelitian dan beberapa variabel bebas yaitu faktor individu (BBLR,

status gizi, dan ASI eksklusif), faktor lingkungan (keberadaan perokok dalam

rumah dan kepadatan hunian), dan faktor sosial ekonomi (tingkat pendidikan

orang tua). Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada beberapa variabel

bebas yaitu faktor individu (episode penyakit diare, status imunisasi, dan

suplementasi vitamin A), faktor lingkungan (ventilasi, dinding rumah, jenis

lantai, letak dapur, lubang asap dapur, bahan bakar memasak dan

kelembaban), faktor sosial ekonomi (tingkat pendapatan keluarga), subyek

penelitian, lokasi dan waktu penelitian.

10. Victora et al. (1994), yang berjudul “ Risk Factors for Pneumonia Among

Children in a Brazilian Metropolitan Areas”. Meneliti tentang faktor risiko

pneumonia pada balita < 2 tahun. Subyek penelitian adalah 510 balita umur <

2 tahun di wilayah perkotaan Brazil Utara dengan desain penelitian hospital

based case control study. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor

rendahnya tingkat pendidikan orang tua, jumlah anggota keluarga dalam

rumah, umur ibu < 20 tahun ketika hamil, menitipkan anak pada tempat

penitipan anak, tidak ASI eksklusif, BBLR, riwayat penyakit pneumonia dan

status gizi berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita.

Persamaan dengan penelitian ini adalah pada desain penelitian, variabel

terikat dan beberapa variabel bebas yaitu faktor individu (status gizi, BBLR,

status imunisasi, suplementasi vitamin A dan ASI eksklusif), faktor

lingkungan (kepadatan hunian), dan faktor sosial ekonomi (tingkat

pendidikan orang tua). Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada beberapa

variabel bebas yaitu faktor individu (episode penyakit diare), faktor

lingkungan (keberadaan perokok dalam rumah, ventilasi, dinding rumah, jenis

lantai, lubang asap dapur, bahan bakar memasak, dan kelembaban dalam

rumah), subyek, lokasi dan waktu penelitian.