29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batak adalah salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Suku Batak tidak hanya satu saja tetapi terdiri dari beberapa sub suku. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak antara lain Batak Toba, Batak Karo, Batak Mandailing-Angkola, Batak Pakpak, Batak Simalungun (Kozok, 1999:12). Menurut mitos yang masih hidup hingga sekarang, leluhur pertama suku Batak bernama Siraja Batak (Simanjuntak, 2006 : 78). Marga dalam suku Batak diambil dari nama Si Raja Batak. Si Raja Batak kemudian mempunyai keturunan dan nama-nama dari keturunannya inilah yang kelak berkembang menjadi marga-marga suku Batak (Siahaan: 1964). Turunan leluhur Si Raja Batak mendiami daerah Sianjur Mula-Mula (daerah Samosir). Kemudian sebagian besar dari mereka kemudian menyeberangi Danau Toba, lalu berpencar ke segala penjuru mendiami daerah-daerah yang ada di Sumatera Utara. Persebaran ini kemudian berkembang hingga keluar Sumatera Utara. Pola imigrasi masyarakat Batak tersebut bermula dari Pusuk Buhit (Sianjur Mula- Mula) yang terletak di Pulau Samosir, sampai pada pembukaan lembah-lembah baru yang meluas dan memanjang di garis pantai selatan Danau Toba (Siahaan :1964). Seiring berjalannya waktu dan dengan meluasnya persebaran suku Batak, marga dalam suku Batak kemudian berkembang menjadi beberapa marga dan terdapat sebuah tradisi yang dilakukan untuk menghubungkan kembali identitas kemargaan mereka. Tradisi tersebut dinamakan sebagai martarombo atau martutur. Martarombo bersalah dari kata “tarombo” atau dalam bahasa Indonesia “silsilah”, sedangkan arti kata “mar” dalam Bahasa Batak Toba

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Batak adalah salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Suku Batak tidak

hanya satu saja tetapi terdiri dari beberapa sub suku. Suku bangsa yang

dikategorikan sebagai Batak antara lain Batak Toba, Batak Karo, Batak

Mandailing-Angkola, Batak Pakpak, Batak Simalungun (Kozok, 1999:12).

Menurut mitos yang masih hidup hingga sekarang, leluhur pertama suku Batak

bernama Siraja Batak (Simanjuntak, 2006 : 78).

Marga dalam suku Batak diambil dari nama Si Raja Batak. Si Raja Batak

kemudian mempunyai keturunan dan nama-nama dari keturunannya inilah yang

kelak berkembang menjadi marga-marga suku Batak (Siahaan: 1964). Turunan

leluhur Si Raja Batak mendiami daerah Sianjur Mula-Mula (daerah Samosir).

Kemudian sebagian besar dari mereka kemudian menyeberangi Danau Toba, lalu

berpencar ke segala penjuru mendiami daerah-daerah yang ada di Sumatera

Utara. Persebaran ini kemudian berkembang hingga keluar Sumatera Utara. Pola

imigrasi masyarakat Batak tersebut bermula dari Pusuk Buhit (Sianjur Mula-

Mula) yang terletak di Pulau Samosir, sampai pada pembukaan lembah-lembah

baru yang meluas dan memanjang di garis pantai selatan Danau Toba (Siahaan

:1964).

Seiring berjalannya waktu dan dengan meluasnya persebaran suku Batak,

marga dalam suku Batak kemudian berkembang menjadi beberapa marga dan

terdapat sebuah tradisi yang dilakukan untuk menghubungkan kembali identitas

kemargaan mereka. Tradisi tersebut dinamakan sebagai martarombo atau

martutur. Martarombo bersalah dari kata “tarombo” atau dalam bahasa

Indonesia “silsilah”, sedangkan arti kata “mar” dalam Bahasa Batak Toba

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

2

bermakana kata kerja. Jadi dapat diartikan bahwa martarombo dalam Bahasa

Indonesia adalah “bersilsilah” atau “menentukan silsilah”.

Martarombo atau martutur adalah suatu bentuk komunikasi tanya jawab

antara dua individu atau lebih yang dilakukan untuk mengetahui hubungan

kekerabatan di antara mereka. Hubungan kekerabatan ini didasarkan atas latar

belakang marga keluarga mereka (baik yang berasal dari ayah maupun ibu dan

keluarga lainnya) yang disesuaikan dengan falsafah Dalihan Na Tolu1 (Sihombing,

1986:103).

Tradisi martarombo sudah diterapkan sejak zaman dahulu dan digunakan

pada semua sub suku Batak. Tradisi ini muncul sebagai suatu kebiasaan turun

temurun yang diwariskan antar generasi. Dalam kehidupan masyarakat asli Batak

di pedesaan, tradisi ini menjadi hal utama yang harus dilakukan ketika

berinteraksi dengan sesama suku Batak yang baru dikenal. Dengan adanya tradisi

martarombo, asal usul marga dari seseorang yang baru dikenal akan dapat

diketahui. Dengan mengetahui asal usul marga orang lain yang baru dikenal,

maka dapat dicocokkan dengan asal usul kemargaannya dan marga-marga lain

yang memiliki hubungan dengan keluarganya.

Hal ini yang kemudian menentukan perbedaan “sikap” dan “panggilan”

kepada orang yang baru dikenal tersebut apakah sebagai dongan tubu (teman

satu marga dari marga ayah), sebagai boru yakni marga nenek dan marga suami

kakak perempuan ayah dan sebagai hula-hula yakni marga dari keluarga ibu.

Ketiga unsur panggilan dalam kekerabatan suku Batak di atas merupakan aturan

dalam falsafah dalihan na tolu sehingga dalihan na tolu menjadi dasar penentu

ketika akan bersikap dan menentukan panggilan kepada orang yang baru

1 Dalihan Na Tolu merupakan falsafah yang membagi kedudukan masyarakat batak ke dalam tiga bagian dalam sistem kekerabatan.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

3

dikenal.2 Di daerah asal Bona Pasogit (asal marga suku Batak), yang masih kental

memegang adat Bataknya, martarombo digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Adanya kebiasaan suku Batak Toba yang memantangkan pemanggilan nama

seseorang yang lebih tua dan terutama seseorang yang sudah menikah

mengharuskan orang Batak Toba untuk bisa martarombo.

Sekarang ini ada kecenderungan bahwa generasi muda suku Batak Toba

kurang memahami esensi dasar tradisi martarombo. Anak muda suku Batak Toba

kurang memahami kaidah tradisi martarombo yang didasari oleh dalihan na tolu.

Falsafah dalihan na tolu yang merupakan unsur dasar dalam tradisi martarombo

tidak dijadikan sebagai acuan ketika martarombo. Akibatnya banyak orang Batak

khususnya generasi muda yang kurang bisa menempatkan diri terhadap orang

Batak terutama terhadap individu yang lebih tua.

Perubahan pemaknaan ini khususnya terjadi ketika berada di daerah

perantauan yang jauh dari wilayah Sumatera Utara sebagai tempat munculnya

tradisi martarombo3. Adanya interaksi suku Batak Toba dengan suku lainnya di

daerah perantauan dalam bentuk komunikasi antar budaya meyebabkan

terjadinya pembauran. Adanya bauran budaya Batak dengan budaya tertentu di

suatu tempat yang jauh dari tanah Batak bisa saja menghilangkan budaya Batak

pada waktu tertentu. Hal ini dikarenakan suku Batak yang ada di perantauan

cenderung jauh dari kegiatan adat sehingga pemeliharaan adat dan tradisi tidak

seperti di Bona Pasogit.

2Dalam falsafah dalihan na tolu akan diatur bagaimana orang Batak toba ketika bersikap dan menentukan panggilan terhadap seseorang yang baru dikenal. Contoh memanggil dengan sebutan tulang karena orang yang baru dikenal masuk ke dalam golongan hula-hula. Menurut falsafah dalihan na tolu, hula-hula adalah golongan yang paling dihargai karena dianggap sumber berkat. Dengan demikian harus diperlakukan lebih hormat melebihi golongan dongan tubu dan boru. Falsafah dalihan na tolu bersifat universal sehingga seorang individu dalam suku Batak akan mengalami menjadi dongan tubu, boru, dan dongan tubu. 3Wawancara dengan Bapak S. Hutagaol, seorang pemangku adat Batak Toba di Sidamanik, Sumatera Utara, 27 Desember 2012

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

4

Suku Batak merupakan suku yang terkenal dengan ativitas merantaunya.

Adanya konsep hamoraon (kekayaan), hagabeon (kesejahteraan), dan

hasangapon (kehormatan) dalam budaya Batak menjadi dasar utama suku Batak

(terutama Batak Toba) untuk merantau keluar dari kampung halaman. Faktor

geografis di daerah asal suku Batak yang kurang subur di sekitaran pulau Samosir

membuat masyarakat Batak Toba lebih memilih merantau meninggalkan

kampung halaman.

Selain itu aktivitas merantau suku Batak juga didorong oleh adanya motif

ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih baik di tempat lain. Hal ini

terutama didorong oleh berhasilnya sejumlah perantau yang lebih dulu di daerah

asing. Selain itu, faktor pendidikan tinggi juga menjadi faktor yang sangat

mempengaruhi perantauan suku Batak yang lebih banyak dilakukan diluar pulau

Sumatera (Sulistyowati, 2005:91-92).

Yogyakarta sebagai salah satu kota budaya dan pendidikan dikenal sebagai

salah satu kota perantauan anak muda suku Batak. Perantauan ini dilakukan

dengan menjadi pekerja maupun sebagai pelajar di Yogyakarta. Banyaknya

perkumpulan atau komunitas suku Batak yang terbentuk atas dasar kesamaan

marga maupun ikatan mahasiswa di berbagai kampus membuktikan bahwa

banyaknya anak muda suku Batak Toba di Yogyakarta. Saat ini terdapat beragam

perkumpulan anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta baik dalam

bentuk arisan marga, komunitas Batak dari gereja, komunitas Batak dari musik

tradisi Batak, maupun perkumpulan mahasiswa Batak di kampus.

Banyaknya suku Batak Toba yang merantau ke Yogyakarta menjadi fenomena

yang menarik untuk diteliti jika dilihat dari aspek penerapan dan pemeliharaan

kebudayaan, khususnya tradisi martarombo. Adanya kegiatan pertemuan suku

Batak Toba dalam berbagai acara dan kelompok perkumpulan memungkinkan

adanya interaksi yang signifikan. Dengan demikian akan terjadi perkenalan antar

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

5

anggota kelompok yang baru bertemu sehingga sangat terbuka kemungkinan

untuk diketahui apakah tradisi martarombo diterapkan dalam kegiatan

perkenalan tersebut.

Adanya interaksi suku Batak Toba dalam bentuk komunikasi antarbudaya

dengan berbagai kebudayaan asing di Yogyakarta menimbulkan pertanyaan

apakah tradisi martarombo masih diterapkan oleh anak muda perantau suku

Batak Toba di Yogyakarta. Hal inilah yang menarik minat peneliti untuk

mengetahui bagaimana anak muda perantau suku Batak Toba menerapkan

tradisi martaombo di daerah perantauan. Dengan demikian akan diketahui

nantinya sejauhmana tradisi martarombo diterapkan dalam komunikasi anak

muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta. Selain itu akan diketahui nantinya

bagaimana pergeseran di dalamnya beserta faktor yang mempengaruhinya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah :

“Bagaimana penerapan tradisi Martarombo dalam komunikasi anak muda

perantau suku Batak Toba di Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan tradisi martarombo

dalam komunikasi anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan

berarti bagi pengembangan keilmuan, terutama ilmu komunikasi yang

berkaitan dengan komunikasi sebagai tradisi dan ritual.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

6

2. Manfaat Praktis

Memberikan sumbangan bagi upaya pelestarian tradisi suku Batak Toba

yang selama ini dirasa telah terjadi pergeseran dalam penerapannya.

E. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah anak muda perantau suku Batak Toba di

Yogyakarta yang berasal dari Sumatera Utara.

F. Kerangka Pemikiran

1. Martarombo

Martarombo merupakan salah satu tradisi suku Batak yang dilakukan

untuk mengetahui kekerabatan antarsuku Batak. Martarombo berasal dari

kata “tarombo” atau dalam bahasa Indonesia “silsilah”, sedangkan arti kata

“mar” dalam Bahasa Batak Toba bermakana kata kerja. Jadi dapat diartikan

bahwa martarombo dalam Bahasa Indonesia adalah “bersilsilah” atau

“menentukan silsilah”.

Tradisi martarombo dilakukan dengan berkomunikasi dua arah

(interpersonal) yang dilakukan dua orang atau lebih dan saling bertanya

mengenai asal usul kemargaan seluruh keluarga mereka, baik dari marga

pihak ayah, marga pihak ibu, marga ibu ayah, marga ibunya ibu, dan marga

keluarga dekat/jauh. Setelah saling bertanya maka akan terbentuk sistem

kekerabatan yang menentukan panggilan serta cara bersikap terhadap orang

yang baru dikenal tersebut yang didasarkan atas falsafah Dalihan Na Tolu

(Sihombing, 1986 : 103).

T.M. Sihombing menjelaskan bahwa hubungan antarmarga dalam tradisi

martarombo dibedakan atas dua bagian, yaitu hubungan semarga dan tidak

semarga. Hubungan semarga menjadikan hubungan “pardongan tubuon”

yaitu hal berteman semarga, sedangkan hubungan tidak semarga

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

7

menjadikan hubungan “parhula ianakkonon” yaitu hal ber”hula-hula” dan

hal ber “boru” (Sihombing, 1986:109).

Penerapan tradisi martarombo dalam hubungan teman semarga

(dongan tubu) bersifat satu arah. Artinya jalur hubungan marga yang akan

digunakan hanya satu dikarenakan kesamaan marga di antara pihak-pihak

yang martarombo (baik yang bermarga sama maupun yang bermarga induk

sama). Dengan demikian hubungan kemargaan ini sudah memiliki hubungan

yang tetap, dan tidak bisa diubah. Jadi ketika martarombo terjadi dalam

hubungan teman semarga (dongan tubu), maka tidak perlu ada penyesuaian

akan dibawa ke jalur marga apa hubungan kekerabatan tersebut. Hal ini

dikarenakan kesaman marga di antara kedua belah pihak yang martarombo

dimana hubungan marga di antara mereka tidak bisa diubah.

Dalam hubungan berbeda marga (pahula ianakkonon), penetapan

panggilan dan cara bersikap dalam tradisi martarombo pada dasarnya

bersikap kontekstual. Artinya penetapan pangilan dan cara bersikap

terhadap orang yang baru dikenal disesuaikan dengan marga masing-masing

pihak yang martarombo. Setelah saling mengenal marga masing-masing

maka ditentukan dari arah marga mana hubungan kekeluargaan akan

dibentuk. Biasanya hubungan yang akan dibentuk didasarkan atas sedekat

mana hubungan marga itu bisa dibentuk. Hal ini dikarenakan inti dari tradisi

martarombo itu sendiri yaitu bagaimana membentuk hubungan

persaudaraan di antara orang Batak yang sedekat mungkin.

T.M. Sihombing juga menjelaskan bahwa hubungan berbeda marga

(parhula ianakkonon) dalam tradisi martarombo bersifat tidak tetap. Hal ini

dikarenakan setiap ada acara pernikahan dalam lingkungan keluarga

otomatis akan menambah jumlah hula-hula dan boru (Sihombing, 1986:110).

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

8

Dengan demikian setiap marga hula-hula dan boru yang baru itu akan

menambah hubungan yang baru ketika martarombo.

Terdapat sebuah pantun yang selalu menjadi pengingat martarombo

dalam kehidupan suku Batak Toba. Pada dasarnya setiap individu dalam

masyarakat Batak harus mengingat dan menjalankan makna pantun ini.

Bunyi pantunnya sebagai berikut :

Jolo tinitip sanggar,

Asa binahen huru-huruan,

Jolo sinungkun marga,

Asa binoto partuturan

Pantun tersebut berarti:

Pimping (batang gelaga) dipotong rata terlebih dahulu,

Kemudian dibuat sebagai sangkar burung,

Tanyalah marga terlebih dahulu,

Agar dapat diketahui kekerabatan (Silitonga, Saut, 2010:94).

Pantun ini sangat berarti dalam menginspirasi suku Batak ketika

berkenalan. Makna pantun ini menekankan bahwa martarobo penting untuk

membentuk tali kekerabatan di antara suku Batak. Dengan begitu suku Batak

harus selalu menanyakan asal-usul marga seseorang ketika sedang

berkenalan. Dengan mengetahui asal usul marga, akan diketahui nantinya

bagaimana kekerabatan mereka berdasarkan falsafah Dalihan Na Tolu. Tidak

hanya sebatas itu, terjalinnya kekerabatan yang dimulai dari kegiatan

martarombo akan berpengaruh dalam hubungan selanjutnya.

Dalam tradisi martarombo, kegiatan perkenalan yang dimulai dengan

kegiatan martarombo tidak hanya sebatas mengetahui marga seseorang saja

akan tetapi telah membentuk hubungan persaudaraan. Hubungan yang

terbentuk setelah saling mengetahui panggilan dan cara bersikap akan

diaplikasikan ketika bertemu dengan dengan orang yang baru dikenal

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

9

tersebut kapan pun mereka bertemu. Hal inilah yang menyebabkan kuatnya

persaudaraan di antara sesama orang Batak dimana pun mereka berada.

Martarombo bukanlah ajang dimana orang Batak berkenalan dan

membentuk relasi, akan tetapi lebih kepada bagaimana orang suku Batak

berusaha memperlakukan sesama suku Batak sebagai saudara yang saling

menghargai.

Tradisi martarombo mempunyai peran vital dalam pergaulan sehari-hari

masyarakat Batak. T. M. Sihombing menjelaskan bahwa terdapat sebuah

filsafat Batak yang menjelaskan betapa pentingnya pengetahuan akan

martarombo dalam kehidupan masyarakat Batak. Bunyi filsafat itu sebagai

berikut : “habang sihurhur songgop tu bosar, na so malo martutur ingkon

maos hona osar” (Sihombing, 1986 :103).4 Makna dari filasat ini yakni

barang siapa yang tidak pintar dalam menerapkan tradisi martarombo maka

akan memperoleh kehidupan yang tidak tenang. Kehidupan yang tidak

tenang ini terjadi akibat tidak bisa bersikap dalam kehidupan masyarakat

Batak, sehingga tidak disukai oleh masyarakat di sekitarnya.

Pada dasarnya tradisi martarombo tidak hanya berperan dalam hubungan

pergaulan masyarakat Batak Toba. Tradisi martarombo berperan sangat vital

dalam konteks peradatan masyarakat Batak. Dalam acara adat pernikahan

maupun kematian suku Batak Toba misalnya, tradisi martarombo

merupakan inti dari acara adat tersebut. Dalihan na tolu membagi

masyarakat Batak mejadi tiga golongan berdasarkan tarombo (silsilah).

Ketiga golongan inilah yang menjadi aktor dalam acara adat tersebut. Semua

tamu yang datang dalam acara adat Batak Toba akan dibagai ke dalam tiga

golongan dalihan na tolu dan mereka menjalankan perannya masing-masing

4 T. M. Sihombing memaknai filsafat batak sebagai pemikiran, pendapat, dan kepercayaan tentang suatu hal. (Sihombing, 1986:5).

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

10

dalam acara adat tersebut sebagaimana yang ada dalam aturan dalihan na

tolu

Bisa dikatakan bahwa ruang lingkup peran tradisi martarombo

sebenarnya sangat luas. Tradisi martarombo tidak hanya berperan dalam

pergaulan masyarakat Batak, akan tetapi masyarakat Batak hidup dalam

tradisi ini. Tradisi martarombo hidup dalam pergaulan dan dalam seluruh

kegiatan adat masyarakat Batak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

seorang individu yang tidak bisa martarombo sebenarnya sudah kehilangan

pengetahuan akan kebudayaan Batak Toba sendiri.

a. Dalihan Na Tolu

Falsafah dalihan na tolu merupakan inti dasar tradisi martarombo.

Dikatakan sebagai dasar karena pengambilan sikap beserta pemanggilan

seseorang yang baru dikenal diatur dalam dalihan na tolu. Dalihan na tolu

menjadi acuan ketika orang Batak martarombo. Marga seseorang yang

baru dikenal akan disesuaikan berdasarkan tiga golongan suku Batak

dalam dalihan na tolu. Penyesuaian inilah yang nantinya melahirkan

istilah pemanggilan beserta cara bersikap terhadap orang yang baru

dikenal tersebut. Penyesuaian hubungan berbeda marga dalam tradisi

martarombo bersifat dua arah, yakni disesuaikan dengan marga dari dua

pihak yang melakukan tradisi martarombo.

Dalihan berarti Tungku, Na berarti Yang, sedangkan Tolu artinya Tiga.

Dengan tiga definisi tersebut dapat diartikan bahwa dalihan na tolu

bermakna tungku yang berpilar tiga. Tungku itu diibaratkan sebagai orang

Batak secara keseluruhan, sedangkan tiga pilar itu adalah tiga golongan

dari masyarakat Batak yang sejajar dan menyokong berdirinya tungku

(Simanjuntak, 2006 : 99).

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

11

Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang

mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat

digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan

dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan

tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak

mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafaf

hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama dongan sabutuha,hula-

hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup

antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus

menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah

menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu 5(Sitanggang, 2010 : 48) .

Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan

kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu

kelompok. Dalam adat Batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya

tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari

tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut antara lain : (Tito

dkk, 1993 : 26-27).

Dongan tubu (teman semarga). Secara luas pengertian dongan tubu

adalah orang yang memiliki marga yang sama. Sebagai orang yang

memiliki marga yang sama, dongan tubu dalam adat Batak Toba adalah

orang yang memiliki perasaanyang sama, sepenanggungan dan sebagai

saudara kandung. Dalam masyarakat Batak Mandailing istilah dongan

tubu disebut dengan kahanggi, Simalungun disebut Sanina masyarakat

5Dalam adat Batak Toba, Ketiga posisi tersebut ( dongan tubu, boru, dan hula hula) akan dialami oleh masing-masing individu pada konsteksnya masing-masing. Artinya posisi tersebut bukanlah posisi absolut akan disandang suatu individu untuk selama-lamaya namun akan sesuai konteks adat. Misalnya seorang individu marga Purba akan menduduki posisi sebagai dongan tubu jika ia hadir saat acara adat seorang marga Purba. Ia juga akan menduduki posisi boru jika ia hadir dalam acara adat marga ibu, dan menduduki posisi sebagai hula-hula jika ia berada pada acara adat seorang yang bermarga istrinya.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

12

Batak Karo disebut senina, dan masyarakat Batak Angkola/Pakpak disebut

dengan istilah sabeltek.

Boru (anak perempuan). Yang termasuk golongan boru dalam

masyarakat Batak Toba adalah suami anak perempuan beserta anak-

anaknya, orang tua suami dan dongan tubu suaminya.

Hula-hula (pihak pengantin perempuan). Dalam perkawinan adat

Batak, semua dongan tubu (teman semarga) orang tua pengantin

perempuan menjadi hula-hula bagi pihak pengantin laki-laki. Selain dalam

adat pernikahan, yang termasuk ke dalam golongan hula-hula adalah

tulang (paman), yakni saudara laki-laki ibu beserta dongan tubu (laki-laki

yang semarga dengan ibu).

Hula-hula merupakan derajat yang paling tinggi dalam adat Dalihan Na

Tolu. Pihak Hula-hula dipandang pihak Boru sebagai matahari kehidupan

yang memberi berkat karena dari merekalah pihak boru mendapat

berkah, dengan demikian masyarakat Batak sangat menghargai Hula-hula

nya (Tito dkk, 1993 : 28). Pada dasarnya hubungan ketiga golongan dalam

falsafah dalihan na tolu bersifat universal. Meskipun ada sistem kasta di

dalamnya yaitu pihak hula-hula dipandang sebagai derajat tertinggi dan

boru sebagai derajat terendah, pada dasarnya setiap individu dalam suku

Batak akan merasakan menjadi ketiga golongan tersebut.

Dalam tradisi martarombo, adanya penentuan menjadi salah satu dari

ketiga golongan itu didasarkan terhadap marga apa dia berhubungan. Jika

seorang individu Batak Toba berhadapan dengan marga istrinya maka ia

akan menjadi hula-hula, jika dengan teman semarga maka orang tersebut

adalah dongan tubunya. Seorang individu dalam suku Batak juga akan

menjadi boru jika berhadapan dengan hula-hulanya (marga istri).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

13

b. Martarombo sebagai Komunikasi Interpersonal

Dengan mengacu pada cara berkomunikasi yang dilakukan dalam

tradisi Martarombo, maka proses komunikasi ini dapat digolongkan ke

dalam komunikasi interpesonal. Penggolongan tradisi Martarombo

sebagai bentuk komunikasi interpersonal dilakukan dengan menilik

proses komunikasinya yang bersifat dua arah dan adanya umpan balik

secara langsung dari komunikator dan komunikan. Dalam tradisi

martarombo komunikasi bersifat langsung dan dua arah serta

mengutamakan umpan balik sehingga akan tercipta reaksi dan rasa

simpati dari kedua komunikator dan komunikan.

Hal ini sesuai dengan karakteristik komunikasi interpersonal

sebagaimana seperti dikatakan Deddy Mulyana, komunikasi interpersonal

terjadi di antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan

setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik

secara verbal ataupun non verbal. Setiap orang yang melakukan

komunikasi interpersonal berada dalam jarak yang dekat dan mereka

saling mengirim dan menerima pesan baik verbal ataupun non-verbal

secara simultan dan spontan (Mulyana, 2000 : 73).

Sejalan dengan hal di atas, Devito (dalam Effendy, 2003:30)

mengemukakan bahwa komponen utama dalam komunikasi

interpersonal adalah adanya penyampaian pesan oleh individu dan

penerimanya adalah individu lain dalam kelompok kecil orang, terdapat

dampak, dan ada umpan balik yang bersifat langsung. Liliwery

mengemukakan bahwa umpan balik (feedback) merupakan pemberian

tangapan terhadap pesan yang dikirimkan dengan suatu makna tertentu.

Umpan balik menunjukkan bahwa suatu pesan berhasil didengar, dilihat

dan dimengerti (Liliweri, 1994 :17). Dalam tradisi martarombo, dampak

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

14

dan umpan balik yang terjadi adalah adanya penentuan panggilan dan

cara bersikap terhadap orang yang baru dikenal.

Komunikasi interpersonal melibatkan paling sedikit dua orang yang

mempunyai sifat, nilai-nilai, pendapat, sikap, pikiran dan perilaku yang

khas dan berbeda-beda. Selain itu, komunikasi interpersonal juga

menuntut adanya tindakan saling memberi dan menerima di antara

pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dengan kata lain para pelaku

komunikasi saling bertukar informasi, pikiran, gagasan, dan sebagainya

(Rakhmat, 2001).

2. Martarombo sebagai Tradisi dan Ritual Komunikasi

a. Tradisi dan Ritual

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), tradisi adalah adat

kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di

masyarakat, tradisi juga merupakan penilaian atau anggapan bahwa cara-

cara yg telah ada merupakan yang paling baik dan benar.6 Sejalan dengan

definisi di atas, Hanafi (dalam Hakim, 2003 :29), menjelaskan tradisi

sebagai segala warisan masa lampau yang masuk pada manusia dan

masuk ke dalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Tradisi tidak hanya

merupakan persoalan peninggalan sejarah, tetapi sekaligus merupakan

persoalan kontribusi zaman kini dalam berbagai tingkatannya.

Menurut Julius, istilah tradisi berasal dari bahasa latin yakni “traditio”

yang bermakna “diteruskan” atau” kebiasaan”. Dalam pengertian paling

sederhana yakni sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan

menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari

suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang

paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari

6 http://kbbi.web.id/, diakses 10 Juni 2013

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

15

generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya hal

ini, suatu tradisi dapat punah (Julius, 2009:40).

Di dalam tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan

manusia yang lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok

manusia lain, bagaimana manusia betindak terhadap lingkungannya, dan

bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang lain. Ia berkembang

menjadi suatu sistem, memiliki pola dan norma yang sekaligus juga

mengatur penggunaan saksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan

penyimpangan.7

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi mengandung

suatu pengertian tentang adanya kaitan antara masa lalu dan masa kini.

Tradisi merujuk pada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih

berwujud dan dilaksanakan hingga masa sekarang. Tradisi

memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah aku dalam

kehidupan sehari-hari dan menjadi indentitas masyarakat itu.

Dari pemaparan definisi tradisi di atas dapat diketahui bahwa terdapat

hubungan signifikan antara tradisi dan ritual. Tradisi dan ritual adalah

bagian dari budaya. Tradisi tidak bisa dilepaskan dari unsur budaya

karena mengandung unsur budaya yang terus dilestarikan. Konsep ritual

juga merupakan bagian dari budaya dimana ritual merupakan

serangkaian kegiatan adat yang dilaksanakan berulang-ulang untuk tujuan

simbolis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ritual

adalah hal ihwal ritus atau tata cara dalam upacara keagamaan (KBBI,

2001 : 959). Sementara itu Paper mendefinisikan ritual sebagai teknik

atau cara membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the

7 http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_ii/07210093-widyastuti.ps, didkses 10 Juni 2013

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

16

custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan

agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok (Paper ,1990 : 992).

b. Komunikasi sebagai Tradisi dan Ritual

Dalam kaitannya terhadap tradisi, komunikasi merupakan unsur

budaya yang berfungsi untuk menjalin hubungan antar manusia dan yang

digunakan secara turun temurun. Sebagai makhluk sosial, manusia

membutuhkan interaksi dengan individu lain. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa komunikasi merupakan kebutuhan vital manusia. Cara

berkomunikasi, media yang digunakan dan berbagai aturan yang

menyertainya diatur dalam norma budaya tertentu. Budaya berperan

dalam menentukan praktik-praktik komunikasi suatu suku bangsa,

dengan demikian praktik komunikasi suatu masyarakat akan beraneka

ragam tergantung budayanya. Mulyana menjelaskan bahwa pada

dasarnya cara manusia berkomunikasi bergantung pada budaya tempat

manusia lahir dan dibesarkan. Lebih lanjut Mulyana mengatakan bahwa

bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik

komunikasi (Mulyana, 2003 :19).

Sejalan dengan kompleksnya budaya manusia, maka praktik

komunikasi juga akan beraneka ragam. Praktik komunikasi yang beraneka

ragam merupakan adat dalam suatu proses budaya manusia. Komunikasi

yang beraneka ragam ini diturunkan melalui proses belajar dari generasi

ke generasi dalam bentuk tradisi. Komunikasi merupakan hasil karya

manusia yang menjadi kebudayaaan sekaligus identitasnya. Kebudayaan

merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri

manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2000).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

17

Dalam konteks budaya, komunikasi merupakan konsep gagasan, ide

dan karya manusia yang di dapat dalam komunitasnya masing-masing

melalui proses belajar sejak kecil. Mahjinir mengatakan bahwa

kemampuan seorang anak manusia berbicara diperoleh secara lambat

laun melalui proses belajar dalam lingkungan rumah tangga maupun

dalam pergaulan sehari-hari (Mahjinir, 1967 :76).

Dalam konsep ritual, komunikasi tidak hanya dimaknai sebagai proses

pertukaran pesan. Komunikasi dalam konsep ritual memandang

komunikasi sebagai milik bersama yang digunakan untuk memelihara

suatu nilai dan norma tertentu dalam masyarakat. James W. Carey

seorang ahli komunikasi mengembangkan komunikasi dalam perspektif

budaya dan melihat komunikasi berkaitan dengan upaya untuk

membangun komunitas (maintain community). Menurut Carey,

komunikasi lekat dengan kata sharing (saling berbagi), partisipasi,

asosiasi, pengikut,dan kepemilikan akan keyakinan bersama. Praktik-

praktik komunikasi yang dilakukan manusia pada dasarnya ditujukan

untuk menjalin interaksi. Proses komunikasi pada konteks ritual juga tidak

sekedar mengirim dan menerima pesan, akan tetapi ditujukan untuk

menjaga dan memelihara nilai dan norma yang telah dibentuk sejak lama

(Carey dalam Mc Quails, 2002:38).

Dalam tradisi sosiokultural (socio-cultural tradition) mewakili

pandangan komunikasi sebagai ritual yang didasarkan atas nilai dan

pranata sosial sebagai dasar perspektif. Tradisi sosikultural menyatakan

peran komunikasi yang utama adalah sebagai perekat masyarakat

(communication as the glue of society). Dalam pandangan tradisi

sosiokultural, bahasa tidaklah netral dan mengandung elemen-elemen

kebudayaan, seperti struktur, ritual, norma, kaidah, dan adat istiadat

(Littlejohn, 2001 :14).

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

18

c. Martarombo sebagai Tradisi dan Ritual Komunikasi Suku Batak

Dalam konsep komunikasi sebagai tradisi, martarombo dikatakan

sebuah tradisi karena merupakan unsur budaya yang diterima dari nenek

moyang dan dilestarikan hingga saat ini. Sejalan dengan konsep tradisi

bahwa martarombo mengatur pola interaksi masyarakat Batak ketika

bertemu dan berkenalan dengan suku Batak. Adanya keharusan bagi

masyarakat Batak Toba untuk menanyakan marga orang yang baru

dikenal dan kemudian bersikap berdasarkan falsafah dalihan na tolu

merupakan ajaran yang ditekankan oleh nenek moyang bangsa Batak

hingga saat ini. Martarombo merupakan tradisi yang duturunkan antar

generasi pada suku Batak, khususnya suku Batak Toba. Tradisi ini

senantiasa dilakukan karena dianggap memiliki nilai luhur untuk selalu

menghargai keberadaan identitas marga suku Batak dimanapun ia

berada.

Dalam konsep komunikasi sebagai ritual, kegiatan martarombo

merupakan cara berkomunikasi yang mengandung unsur nilai dan norma

sosial yang diturunakan dari generasi terdahulu hingga sekarang. Sejalan

dengan konsep komunikasi sebagai ritual yang dijelaskan Carey,

martarombo berperan dalam menjaga nilai dan norma adat Batak yang

diatur dalam tatakrama adat Batak Toba. Nilai dan norma ini perlu dijaga

untuk melangsungkan hubungan kekerabatan di antara suku Batak.

Martarombo dikatakan sebuah nilai karena mengandung unsur

kebaikan untuk mengikat rasa persaudaraan terhadap orang lain.

Martarombo juga dikatakan sebuah norma karena adanya keharusan

dalam masyarakat Batak untuk bisa menjalin hubungan kekerabatan

terhadap sesama suku Batak. Kedua unsur nilai dan norma inilah yang

kemudian menjadi bagian dalam tradisi yang dianggap penting dalam

kebudayaan Batak Toba.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

19

3. Diaspora Suku Batak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diaspora adalah masa

tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan

bangsa tersebut tidak memiliki negara, misalnya bangsa Yahudi sebelum

negara Israel berdiri pada tahun 1948.8

Steven Vertovec, 1999 dari University of Oxford dalam tulisannya “ Three

meanings of ‘diaspora’, exemplified among South Asian religions “

mengatakan bahwa diaspora merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan penduduk yang berasal dari tempat yang berbeda dengan

tepat yang diduduki sekarang,

‘DIASPORA’ is the term often used today to describe practically any population which is considered ‘deterritorialised’ or ‘transnational’ -- that is, which has originated in a land other than which it currently resides, and whose social, economic and political networks cross the borders of nation-states or, indeed, span the globe. To be sure, such populations are growing in prevalence, number, and self-awareness. Several are emerging as (or have historically long been) significant players in the construction ofnational narratives, regional alliances or global political economies.

Dengan mengacu pada dua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa diaspora adalah kegiatan merantau meninggalkan tanah

kelahirannya, tinggal dan menetap di suatu tempat dan berkembang dalam

berbagai bidang.

a. Diaspora Suku Batak Toba

Menurut Garry, suku Minangkabau dan Bugis adalah suku yang lebih

dulu melakukan aktivitas merantau dibandingkan dengan suku Batak,

namun perkembangan aktivitas merantau suku Batak tergolong pesat.

Menurutnya diaspora Batak yang cukup masif dimulai pada penghujung

abad 19 atau awal abad 20, dimulai dari menyebarnya mereka dari

8 (http://kbbi.web.id/), Diakses 23 Maret 2013

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

20

wilayah Tapanuli ke daerah sekitar, seperti Medan dan Deli karena

berkembangnya perkebunan di wilayah tersebut. Seiring dengan

pertambahan populasi yang cepat maka semakin pesat pula arus

urbanisasi orang orang dari tanah Batak ke seantero nusantara (Garry,

2001).

Dalam buku tahunan yang dikeluarkan PGI (Persekutuan Gereja-Gereja

di Indonesia) 1992, gereja yang berafiliasi kepada kelompok etnik dengan

jumlah umat terbesar adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan),

dengan jumlah umat dua juta jiwa (Ihromi, dalam Sulistyowati, 2005:89-

90). Berdasarkan data di atas, dapat dicermati bahwa angka

pertumbuhan masyarakat Batak cukup besar. Keadaan tanah daerah asal

(bona pasogit) yang gersang merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan besarnya angka persebaran masyarakat Batak di berbagai

daerah (Garry, 2001).

Penulis dan ahli budaya Batak, Bungaran Antonius Simanjuntak

menyebutkan migrasi suku Batak keluar dari kampung halamannya di

bona pasogit (tanah Batak) didorong pandangan hagabeon (sukses

berketurunan), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon (kekayaan)

(Simanjuntak, 2006). Ketiga konsep tersebut manjadi konsep dasar secara

budaya ketika suku Batak merantau. Keadaan daerah perantauan yang

danggap dapat mewujudkan ketiga konsep di atas menjadi motivasi

tersendiri bagi suku Batak untuk merantau ke daerah lain.

Budayawan Batak, Togarma Naibaho mengatakan pada umumnya suku

Batak melakukan aktivitas merantau untuk bersekolah dan bekerja. Bagi

orangtua masyarakat Batak, pendidikan anak menjadi ukuran

keberhasilan orangtua. Untuk meraih pendidikan anaknya, orangtua

dalam masyarakat Batak rela menjual harta benda miliknya. Hal inilah

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

21

yang membuat masyarakat Batak sebagai salah satu suku yang

mempunyai tingkat pedidikan yang cukup tinggi. Sejalan dengan hal ini,

Anthony Reid dalam buku “Menuju Sejarah Sumatera” menuliskan, suku

Batak Toba, Mandailing, dan Karo termasuk suku di Indonesia yang

berpendidikan terbaik pada abad ke-19, selain Minangkabau, Minahasa,

dan Toraja.9

Bisa disimpulkan bahwa rasa ketertarikan suku Batak Toba terhadap

pendidikan menjadi salah satu faktor pendorong aktivitas merantau anak

muda suku Batak ke daerah yang jauh sekalipun. Setelah menempuh

pendidikan di daerah perantauan suku Batak Toba biasanya tidak

langsung pulang ke kampung halaman tetapi tetap merantau dan mencari

pekerjaan di daerah yang membutuhkan banyak tenaga kerja seperti

daerah perkotaan. Hal inilah yang menyebabkan tingginya tingkat

persebaran suku Batak di Indonesia.10

b. Suku Batak di Yogyakarta

Adanya tingkat kepedulian yang tinggi akan pendidikan membuat suku

Batak rela menginggalkan kampung halaman dalam waktu yang cukup

lama. Salah satu kota yang menjadi kota perantauan suku Batak yang

cukup masih adalah Yogyakarta. Yogyakarta sebagai kota pendidikan

menjadi salah satu tempat perantauan suku Batak Toba. Selain untuk

mengenyam pendidikan, para perantau suku Batak juga datang ke

Yogyakarta untuk menjadi pekerja maupun membuka usaha.

Sensus penduduk tahun 2000 menyatakan bahwa jumlah suku Batak di

Yogakarta mencapai 7.890 ribu jiwa dan berada pada peringkat kelima

9(http://megapolitan.kompas.com/read/2013/02/03/09135265/Melacak.Jejak.Batak.di.Jakarta, diakses 20 Maret 2013 10 Wawanca dengan Bapak St. Masinton Marpaung, seorang Raja Parhata (tokoh adat) Batak Toba di Yogyakarta, 18 Juni 2013.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

22

setelah Jawa, Sunda, Melayu, dan Tionghoa (BPS, 2000). Sementara itu,

Rusdin Sinaga, SE yang berasal dari paguyuban suku Batak Yogyakarta

mengatakan bahwa tahun 2011 jumlah suku Batak yang ada di Yogyakarta

mencapai + 11.000 jiwa.11 Dengan mengacu pada data ini maka dapat

disimpulkan bahwa jumlah suku Batak yang ada di Yogyakarta cukup

banyak akan dapat merepresentasikan penerapan tradisi martarombo di

Yogyakarta.

Jauhnya jarak perantau suku Batak di Yogyakarta terhadap kampung

halaman (Bona Pasogit) ternyata tidak menghilangkan identitas budaya

Batak di Yogyakarta. Adanya kerinduan untuk berinteraksi dengan sesama

suku Batak menjadi motivasi tersendiri untuk mendirikan paguyuban atau

perkumpulan sesama masyarakat Batak di Yogyakarta. Hal ini terlihat dari

banyaknya perkumpulan suku Batak di Yogyakarta sepert arisan marga

dan paguyuban mahasiswa Batak diberbagai kampus.

Salah satu paguyuban suku Batak terbesar di Yogyakarta adalah

Parbopas (Parsadaan Bona Pasogit) yakni perkumpulan masyarakat Batak

yang ada di Yogyakarta. Selain itu di berbagai kampus di Yogyakarta juga

dibentuk paguyuban mahasiswa Batak seperti Komunitas Mahasiswa

Batak Atmajaya (KMBA) di Universitas Atmajaya Yogyakarta, Permaba (

Persaudaraan Mahasiswa Batak Atmajaya) di Universitas Atmajaya

Yogyakarta, IMPY ( Ikatan Mahasiswa Pakpak Yogjakarta), dan KBMB

(Keluarga besar Mahasiswa Batak) Universitas Pembangunan Nasional

Yogyakarta (UPN Yogyakarta).12

Selain paguyuban di kampus, perkumpulan perantau suku Batak dalam

berbagai arisan marga juga cukup besar. Adanya berbagai acara dan

11 http://agendajogja.com /hari-ini-jabatan-gubernur-diy-diperpanjang/, diakses 25 Maret 2013 12http://www.mahasiswabatak.com/2012/03/organisasi-mahasiswa-batak.html,diakses 26

Maret 2013.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

23

kegiatan yang dilakukan berdasarkan marga merefleksikan hubungan

persaudaraan antar marga di Yogyakarta cukup kuat. Besarnya jumlah

perantau suku Batak Toba berserta ikatan yang cukup kuat dalam

berbagai ikatan maupun paguyuban akan mampu merepresentasikan

bagaimana tradisi martarombo diterapkan oleh suku Batak Toba di

Yogyakarta.

G. Kerangka Konsep

Suku Batak merupakan suku di Indonesia yang terkenal dengan aktivitas

merantaunya. Pandangan dari para pakar budaya Batak mengatakan bahwa

migrasi suku Batak keluar kampung halamannya didorong pandangan hagabeon

(sukses berketurunan), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon (kekayaan).

Selain untuk bekerja, biasanya hal yang menjadi motivasi orang Batak merantau

adalah bidang pendidikan. Suku Batak dikenal memiliki kegigihan dalam

menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Hingga kini pendidikan tinggi

dianggap sebagai tolak ukur kehormatan keluarga sehingga orang tua suku Batak

tidak segan menghabiskan harta bendanya demi pendidikan anak-anaknya.

Yogyakarta sebagai kota budaya dan pendidikan merupakan salah satu kota

tempat perantauan suku Batak. Kualitas pendidikan tinggi di Yogyakarta yang

dirasa sangat baik ditambah dengan kenyamanan kotanya membuat banyak anak

muda suku Batak memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di

Yogyakarta. Walaupun jauh dari kampung halaman, adat dan tradisi yang

diturunkan dari nenek moyang tetap dipertahankan suku Batak di Yogyakarta.

Adanya nama marga yang disandang menjadi identitas dirinya dan digunakan

untuk membangun ikatan dengan sesama suku Batak di Yogyakarta.

Tradisi martarombo merupakan sebuah tradisi suku Batak yang dilakukan

untuk membangun ikatan antar sesama suku Batak berdasarkan sistem

kekerabatan. Tradisi ini telah menjadi kebiasaan turun temurun suku Batak yang

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

24

dilakukan ketika berkenalan dengan sesama suku Batak. Keberadaan marga

merupakan aspek terpenting dalam penerapan tradisi martarombo karena

marga adalah aspek mendasar yang diperbincangkan dalam tradisi ini. Tradisi

martarombo dilakukan dengan berkomunikasi dua arah (interpersonal) yang

dilakukan dua orang atau lebih dan saling bertanya mengenai asal usul marga

seluruh keluarga mereka, baik dari marga ayah (diri sendiri), marga ibu, marga

ibu ayah, marga ibunya ibu, dan marga keluarga dekat atau jauh. Setelah saling

bertanya maka akan terbentuk sistem kekerabatan yang menentukan panggilan

beserta cara bersikap terhadap orang yang baru dikenal tersebut yang

didasarkan adat Dalihan Na Tolu.

Berdasarkan adat Dalihan Na Tolu ini maka hubungan kekerabatan suku

Batak digolongkan ke dalam tiga bagian yakni dongan tubu (teman semarga),

hula hula (keluarga istri/ibu), dan boru (keluarga suami saudara perempuan).

Proses martarombo yang didasarkan pada falsafah Dalihan Nato Tolu dapat

dilihat pada bagan di bawah ini:

Dalam falsafah dalihan na tolu, terdapat perbedaan cara bersikap terhadap

ketiga golongan tersebut. Golongan hula hula yang dianggap sebagai golongan

tertinggi harus dihormati dan diperlukan sebaik mungkin, karena hula hula

Gambar 1.2 Proses Tradisi Martarombo

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

25

dinggap sebagai matahari yang membawa berkat sehingga hula hula dan semua

teman semarga (dongan tubu) hula hula harus dihargai. Selain itu suku Batak

juga diharuskan untuk menjaga sikap terhadap dongan tubu agar tidak berkonflik

dengan dongan tubu (teman semarga) karena mereka dianggap sebagai teman

sepenanggungan dalam menjalani hidup dimanapun suku Batak berada. Begitu

juga dengan pihak boru yang dalam adat Batak dapat diperintah untuk

mengerjakan sesuatu, akan tetapi perintah itu harus menjaga perasaan mereka

(membujuk) agar tidak tersinggung dan merasa direndahkan.

Jauhnya jarak dari kampung halaman dan jarangnya melihat dan mengikuti

kegiatan adat seperti di kampung halaman menjadi pertanyaan bagaimana

penerapan tradisi Martarombo oleh anak muda perantau suku Batak Toba di

Yogyakarta. Pola komunikasi anak muda suku Batak yang berbeda terhadap

orangtua suku Batak dan dengan sesama anak muda suku Batak akan dilahat

pengaruhnya dalam penerapan tradisi martarombo. Selain itu kota Yogyakarta

sebagai kota yang multietnis ditambah lagi dengan interaksi anak muda perantau

suku Batak terhadap anak muda suku Batak yang sudah lahir dan besar di

perantauan (kurang memahami tradisi martarombo) dirasa dapat memberi

pengaruh terhadap penerapan tradisi martarombo.

Melalui wawancara mendalam dan kegiatan obsevasi yang dilakukan

penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan secara jelas bagaimana anak

muda perantau suku Batak Toba menerapkan tradisi ini di Yogyakarta.

Selanjutnya penelitian ini juga berusaha memaparkan bagaimana perkembangan

maupun pergeseran di dalam penerapan tradisi martarombo di Yogyakarta

beserta faktor- faktor yang mempengaruhinya.

Di Yogyakarta, ikatan-ikatan kultural suku Batak terbangun dari perkumpulan

maupun paguyuban beserta serangkaian kegiatan sosial dan acara adat yang

mereka lakukan. Anggota dari beberapa perkumpulan dan paguyuban ini akan

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

26

diminta untuk menjadi informan karena tingkat interaktivitas mereka yang dirasa

mampu menjelaskan penerapan tradisi martarombo. Kegiatan observasi juga

dilakukan untuk melihat bagaimana nilai nilai budaya Batak dalam interaksi

mereka diterapkan.

Pada dasarnya, proses komunikasi yang terjadi dalam tradisi martarombo

bukanlah sebatas bertanya dan mengetahui asal usul marga dari lawan bicara.

Proses komunikasi yang dilandaskan pada adat Dalihan Na Tolu bertujuan untuk

membangun hubungan kekerabatan di antara sesama suku Batak yang

berkenalan. James W. Carey menjelaskan bahwa komunikasi sebagai ritual

berupaya untuk membangun komunitas masyarakat adat tertentu. Komunikasi

sebagai ritual lekat dengan kata sharing (saling berbagi), partisipasi, asosiasi,

pengikut, dan kepemilikan akan keyakinan bersama. Komunikasi pada dasarnya

dibangun untuk menjalin interaksi. Martarombo merupakan sebuah tradisi yang

sudah diterapkan secara turun temurun untuk membangun ikatan di antara suku

Batak. Penelitian ini nantinya ingin menggambarkan bagaimana tradisi

martarombo diterapakan anak muda suku Batak Toba di Yogyakarta terkait nilai

nilai budaya di dalamnya.

Pada dasarnya kegiatan martarombo dilakukan di semua sub etnik Batak,

seperti Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pak-pak, Batak Angkola

dan Batak Mandailing. Adanya hubungan masing-masing sub suku Batak ini

dihubungakan oleh identitas marga mereka yang berasal dari satu nenek

moyang, yakni Si Raja Batak. Akan tetapi sub suku Batak Toba dengan jumlah

etnik terbesar yang hingga sekarang masih sangat mejaga nilai-nilai tradisi ini.

Biasanya sub etnik diluar Batak Toba menerapkan tradisi ini ketika berinteraksi

dengan suku Batak Toba.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

27

H. Metodologi Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian tentang penerapan tradisi martarombo oleh anak muda

perantau suku Batak Toba di Yogyakarta ini bersifat kualitatif. Penelitian

kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu

(dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan

dengan kehidupan sehari-hari. Penelitian kualitatif berangkat pada

pendekatan holistik yakni berupa suatu konsep yang besar yang diteliti pada

objek spesifik dan hasil yang didapatkan akan dikembalikan pada konsep

besar tersebut (Moehadjir, 1998).

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Menurut M. Nasir, metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan

untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu

sistem pemikiran ataupun suatu strata, peristiwa pada masa sekarang dan

terjadi ketika penelitian sedang berjalan. Adapun tujuan metode deskriptif

adalah untuk mengggambarkan atau melukiskan secara sistematis, aktual

dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena

yang sedang diselidiki (Nasir,1998 :63).

Menurut Jalaludin Rakhmat, metode deskriptif merupakan metode yang

tidak menjelaskan hubungan antara variabel dan tidak menguji hipotesis

atau prediksi. Metode penelitian deskriptif dapat diuraikan sebagai prosedur

pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau

melukiskan subyek atau objek penelitian dalam masyarakat (Rakhmat, 1989

:37). Dengan demikian pelaksanaan metode deskriptif tidak hanya sampai

pada pengumpulan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang

makna yang dikandung data itu (Surakhmad, 1982:139).

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

28

Menurut Singarimbun dan Effendy, terdapat dua tujuan dilakukannya

suatu penelitian deskriptif yaitu :

1. Untuk mengetahui perkembangan saran fisik tertentu atau frekuensi

terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu.

2. Untuk mendeskripsikan fenomena sosial tertentu, umpamanya sistem

sosial, sistem kekerabatan dan sebagainya. Penelitian ini biasanya

dilakukan tanpa hipotesa yang telah dirumuskan secara kilat

(Singarimbun dan Efendy, 1989 : 4).

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini akan menggunakan teknik wawancara (in dept interview)

dalam mengumpulkan data primer. Informan yang dianggap memiliki

pengalaman dan pengetahuan dalam bahasa dan tradisi Batak Toba akan

dilakukan wawancara untuk menggali informasi mengenai penerapan tradisi

martarombo di Yogyakarta. Untuk mendapatkan data sekunder, penelitian

ini juga akan melakukan observasi secara langsung untuk melihat bagaimana

nilai nilai budaya Batak diterapkan dalam interaksi mereka. Observasi

dilakukan dengan masuk dan mengikuti acara perkumpulan/pertemuan anak

muda suku Batak Toba di Yogyakarta. Penelitian ini tidak hanya

mengumpulkan fakta tetapi data yang dikumpulkan akan disusun, dijelaskan,

dan kemudian diberi analisis.

Untuk memilih informan yang dapat memberikan data secara efektif

dalam wawancara maka akan digunakan teknik penggalian data seperti yang

dikatakan Spradley dalam Burhan Bungin, 2007 :

1. Subyek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan

atau aktivitas yang menjadi informasi serta menghayati

keterlibatannya yang cukup lama dengan kegiatan tersebut.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64914/potongan/S1-2013... · dikategorikan sebagai Batak a Batak Toba, Batak Karo, Batakntara lain Mandailing-Angkola,

29

2. Subyek yang masih terlibat secara aktif pada lingkungan atau kegiatan

yang menjadi perhatian peneliti.

3. Subyek punya cukup banyak waktu untuk diwawancarai

4. Subyek yang memberikan informasi tidak cenderung mempersiakanya

terlebih dahulu.

4. Analisis Data

Penelitian ini adalah suatu penelitian deskriptif, sesuai dengan prinsip

penelitian deskriptif bahwa penelitian ini tidak dimaksudkan untuk

menghubungan antar variabel dan menguji hipotesis berdasarkan teori-teori

tertentu. Hasil pengamatan yang dilakukan melalui wawancara dan

observasi akan dijelaskan melalui laporan yang bersifat deskriptif dengan

menggunakan analisis data kualitatif. Dengan dilakukannya analisis terhadap

data yang didapatkan maka akan diperoleh nantinya gambaran bagaimana

penerapan tradisi martarombo dalam komunikasi anak muda perantau suku

Batak di Yogyakarta.

5. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah anak muda suku Batak Toba yang

berasal dari daerah Sumatera Utara yang sedang merantau dan tinggal di

Kota Yogyakarta. Kategori anak muda dalam penelitian ini adalah pria

maupun wanita Batak Toba yang belum menikah. Selain itu, informan juga

harus bisa berbahasa Batak Toba dan memiliki paguyuban/perkumpulan

dengan sesama perantau suku Batak Toba, baik di kampus maupun

lingkungan tempat tinggal. Pemilihan informan yang memiliki paguyuban

dan bisa berbahasa Batak Toba dikarenakan adanya kecenderungan bahwa

orang Batak yang tidak bisa berbahasa Batak Toba dan jauh dari kegiatan

adat biasanya tidak mengerti tradisi dan adat Batak Toba.