Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an telah selesai pewahyuannya, demikian Sunnah
Rasulullah telah selesai pula sesudah wafat Rasulullah. Adapun kehidupan
ini tidak pernah selesai, selalu berubah dan yang abadi adalah perubahan
itu sendiri, atau dengan istilah lain ‘An-nushush mutanahiyah wal waqa’iq
ghairu munatahiyah’.1 Untuk menghadapi dan menjawab permasalahan
tersebut di atas perlu melakukan ‘tajdid al-fahmi’ (pembaharuan
pemahaman) tidak cukup hanya pemahaman tekstual, akan tetapi
dibutuhkan pendekatan penggalian ‘ruh’ (jiwa) suatu ayat dengan metode
‘maqashid al-syari’ah’ (tujuan hukum) berupa apa sebenarnya ide atau
kehendak Allah yang diwahyukan dalam ayat al-Qur’an.
Pemikiran adalah ‘proses’ atau ‘cara’ berpikir tentang hukum
Islam. Perkembangan adalah proses berpikir yang tidak dimulai dari titik 0
(nol), tetapi sudah terdapat modal atau bahan untuk mencapai
kesempurnaan. Dari sini terdapat permasalahan mengapa ada campur
tangan pemikiran manusia dalam hukum Islam?, kemudian faktor-faktor
apa saja sebagai penyebab bagi timbulnya pemikiran dalam hukum Islam.2
1A. Khisni, Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional, Cet. 1 (Yogyakarta: Program
Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum UII,2011), hal.ix.2 A. Khisni, Aliran-aliran Pemikiran dalam Hukum Islam, Cet. 1 (Semarang: Unissula Press,2013),hal. 5.
2
Berpikir merupakan sunnatullah untuk menjawab permasalahan
kehidupan dalam hal ini adalah bidang hukum (Islam) dengan
menggunakan akal sehat. Dalam hukum Islam akal (al-ra’yu) merupakan
sumber (alat/metode) hukum Islam yang ketiga melalui ijtihad, selain
pertama dan utama adalah Al-Qur’an dan yang kedua as-Sunnah.
Pengakuan Al-Qur’an terhadap peranan akal pikiran dalam bidang hukum
dapat disimpulkan dari kandungan ayat 59 Surat an-Nisaa’. Perintah untuk
mentaati ulil – amri dalam ayat tersebut tidak lain pengertiannya adalah
mentaati hasil ijtihad mereka yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, menggunakan akal pikiran dalam masalah keagamaan
(hukum Islam) merupakan tuntutan keagamaan.3 Hukum Islam merupakan
hukum Allah SWT, dan sebagai hukum Allah menuntut kepatuhan dari
umat Islam untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya
terhadap Allah SWT. Keimanan akan wujud Allah menuntut kepercayaan
akan segala sifat, kodrat, dan idarat Allah. Aturan Allah tentang tingkah
laku manusia itu sendiri merupakan satu bentuk dari idarat Allah dan
karena itu, maka kepatuhan menjalankan aturan Allah merupakan
perwujudan dari iman kepada Allah.4
Kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang
telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta
ini disebut dengan berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam ditemui
3 Ibid., hal. 9.4 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Edisi Kedua. ( Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup, 2014). Hlm. 2.
3
beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam, seperti
Faraid, Fikih Mawaris, dan Hukm al-Waris. Perbedaan dalam penamaan
ini terjadi, karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam
pembahasan. Kata yang lazim dipakai adalah faraid. Kata ini digunakan
oleh an-Nawawi dalam kitab fikih Minhaj al-Thalibin. Oleh al-Mahally
dalam komentarnya atas matan Minhaj disebutkan alasan penggunaan kata
tersebut.5
Adapun penggunaan kata mawaris lebih melihat kepada yang
menjadi objek dari hukum ini, yaitu harta yang beralih kepada ahli waris
yang masih hidup. Sebab, kata mawaris merupakan bentuk plural dari kata
miwrats yang berarti mauruts, harta yang diwarisi. Dengan demikian,
maka arti kata warits yang digunakan dalam beberapa kitab merujuk
kepada orang yang menerima harta warisan itu, karena kata warits artinya
yang menerima warisan.
Dalam literatur hukum di Indonesia digunakan pula beberapa nama
yang keseluruhannya mengambil dari bahasa Arab, yaitu waris, warisan,
pusaka, dan hukum kewarisan. Yang menggunakan nama hukum “waris”
memandang kepada orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu
yang menjadi subjek dari hukum ini. Adapun yang menggunakan nama
warisan memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum
itu. Untuk maksud terakhir ini ada yang dijadikan objek dari warisan,
terutama yang berlaku di lingkungan adat Minangkabau.
5 Ibid., hal. 5.
4
Dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan
mengambil kata asal “waris” dengan tambahan awal “ke” dan akhiran
“an”. Kata “waris” ini sendiri dapat berarti orang yang mewarisi sebagai
subjek dan dapat berarti pula proses. Dalam arti pertama mengandung arti
“hal ihwal orang yang menerima harta warisan” dan dalam arti kedua
mengandung arti “ hal ihwal peralihan harta dari yang mati kepada yang
masih hidup”. Arti yang terakhir ini yang dgunakan dalam istilah hukum.
Penggunaan kata ”hukum” di awalnya mengandung arti
seperangkat aturan yang mengikat, dan penggunaan kata “Islam” di
belakang mengandung arti dasar yang menjadi rujukan. Dengan demikian,
dengan segala titik lemahnya, hukum kewarisan Islam itu dapat diartikan
dengan: “Seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari
yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini
berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam”. (Amir: 1990:
139).6 Hukum kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam
Al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad
SAW dalam Sunnahnya. Terdapat lima asas yang berkaitan dengan sifat
peralihan harta kepada ahli waris, cara kepemilikan harta oleh yang
menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya
peralihan harta itu. Asas-asas tersebut adalah asas ijbari, asas bilateral,
6Ibid., hal. 6.
5
asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat
kematian.7
Dalam hal ini kaitannya dengan definisi hukum waris menurut Mr.
A. Pitlo adalah ”Hukum Waris adalah suatu rangkaian ketentuan-
ketentuan, dimana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat-
akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya
harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di
dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.
Di dalam hukum waris digunakan beberapa istilah, yaitu:
- Peninggal warisan atau disingkat Pewaris adalah orang yang
meninggal dunia dan meninggalkan harta benda kepada orang lain;
- Ahli waris ialah orang yang menggantikan pewaris di dalam
kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk
bagian tertentu.
- Harta warisan atau disingkat warisan ialah segala harta kekayaan yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa semua
harta kekayaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi dengan
semua hutangnya.8
Sistem hukum di Indonesia sangatlah beraneka ragam, ditambah
dengan belum adanya unifikasi hukum kewarisan di Indonesia yang
merupakan bagian dari hukum perdata Indonesia, sehingga sampai saat ini
7Ibid., hal. 21.
8 Ali Afandi, SH., Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: Bina Aksara,1984). Hlm 7.
6
kita masih memakai tiga sistem hukum kewarisan yang sudah ada sejak
dahulunya, yaitu :
1. Sistem Hukum Kewarisan Adat
Sistem hukum kewarisan adat yang beraneka ragam, hal ini
dipengaruhi oleh bentuk masyarakat di berbagai daerah lingkungan
hukum adat dan sifat kekerabatan berdasarkan keturunan. Setiap
sistem keturunan memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang
satu dengan yang lainnya saling berbeda.
2. Sistem Hukum Kewarisan Islam.
Hukum kewarisan yang lazim disebut dengan Hukum Faraid
merupakan bagian dari keseluruhan hukum Islam yang khusus
mengatur dan membahas tentang proses peralihan harta peninggalan
dan hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang masih hidup.
3. Sistem Hukum Kewarisan Perdata .
Sistem kewarisan yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (BW)
atau (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang menganut sistem
individual, dimana setelah pewaris meninggal dunia maka harta
peninggalan pewaris haruslah segera dilakukan pembagian kepada
ahli waris.
Hukum merupakan tatanan kehidupan yang bertujuan menciptakan
keadilan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu setiap hukum yang
dibuat senantiasa harus merefleksikan kehendak masyarakat agar dapat
7
memenuhi rasa keadilan. Hukum yang dibuat pada masa lalu seringkali
dirasa tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat saat ini disebabkan
berubahnya kondisi sosial masyarakat sehingga perlu dilakukan
perubahan.
Dalam melakukan perubahan terhadap sebuah tatanan seringkali
mengalami berbagai benturan yang memaksa terjadinya tawar menawar
antara pihak yang menghendaki perubahan dengan pihak yang
mempertahankan kemapanan. Akibatnya, perubahan yang dilakukan
seringkali tidak bisa memperoleh hasil yang maksimal. Kondisi seperti itu
dialami dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya
tentang ahli waris pengganti sehingga ditemukan beberapa pengaturan
yang kurang jelas yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda.
Dalam Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Ahli waris dipandang
beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau
amalan atau kesaksiannya, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak
yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. Dan
seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
1. Dipersalahkan karena telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan behwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
8
Menurut Pasal 174 KHI kelompok-kelompok ahli waris, terdiri dari:
1. Menurut hubungan darah:
- Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
2. Menurut hubungan perkawinan.
Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam ahli waris yang
meninggal terlebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti.9
Ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam untuk
melengkapi hukum-hukum yang telah ada dan juga bertujuan untuk
mencari rasa keadilan bagi ahli waris. Ahli waris pengganti pada dasarnya
adalah ahli waris karena penggantian yaitu orang-orang yang menjadi ahli
waris kerena orang tuanya yang berhak mendapat warisan meninggal lebih
dahulu dari pewaris, sehingga dia tampil menggantikannya.10
Ketentuan hukum waris dalam KUH Perdata diatur dalam Buku II
titel 12 sampai 16. Hukum waris KUH Perdata adalah “Kaedah hukum
yang mengatur nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan
9 Kompilasi Hukum Islam Indonesia, hlm. 82.10
Ahmad Zahari, Hukum Kewarisan Islam ( Pontianak: FH.Untan Pres, 2008), hal 148.
9
menentukan siapa orangnya yang dapat menerimanya”.11 Berdasarkan hal
tersebut, bahwa ketentuan hukum yang mengutamakan kepentingan
perorangan atas harta warisan ini sering menimbulkan konflik diantara
para ahli waris. Hakekatnya semua harta peninggalan baik aktiva maupun
passiva berpindah kepada ahli warisnya. Para ahli waris sebelum
dilakukan pembagian warisan dapat menentukan salah satu sikap diantara
tiga kemungkinan :
a. Menerima harta warisan secara penuh atau secara murni
(zuivereaanvaarding).
b. Menerima harta warisan dengan syarat (beneficiare aanvaarding).
c. Menolak harta warisan (verwerpen).12
Mengenai hukum waris dalam buku tersebut penempatannya
didasarkan pada kenyataan hukum waris ada unsur harta benda, meskipun
tidak boleh dilupakan bahwa unsur hukum waris tidak hanya berupa benda
tetapi juga harus ada pewaris dan ahli waris yang pengaturannya terdapat
dalam hukum orang. Inilah sebabnya mengapa sistematika hukum perdata
menurut ilmu pengetahuan mengatur hukum waris itu secara tersendiri.
Penempatan hukum waris dalam Buku II dapat menimbulkan
komentar dari beberapa sarjana, akan tetapi pertimbangan pembentuk
undang-undang dengan memasukkannya dalam buku II karena
menganggap hak waris merupakan hak kebendaan atas harta peninggalan
11 Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris (Bandung: Pionir Jaya, 1992), hal 24.12 Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang hukum Perdata(Burgerlijk Wetboek ), ( Serang: Darul Ulu Press. 1993 ), hal 122.
10
dan juga karena pewarisan merupakan salah satu cara untuk memperoleh
hak milik. Hukum waris berkaitan erat dengan hukum harta kekayaan,
tetapi juga berhubungan dengan hukum keluarga.13
Sebagian kalangan berpendapat bahwa pengaturan hukum waris
termasuk dalam hukum benda sudah sesuai karena hukum waris dianggap
sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik atas suatu benda.
Pendapat tersebut tidak begitu saja diterima oleh ahli hukum lainnya
terutama Pitlo yang mengatakan bahwa penempatan hukum waris di dalam
Buku II KUH Perdata hanya terjadi karena kerancuan saja dari dua sistem
hukum yaitu Sistem Hukum Romawi dan Sistem Hukum Germani Kuno
yang mempengaruhi BW pada saat pembentukannya.
Menurut Hukum Romawi, hukum waris merupakan hak kebendaan
dan para ahli waris memiliki apa yang disebut hak milik bersama yang
bebas atas harta peninggalan, oleh karena itu dalam Sistem Hukum
Romawi, waris diatur dalam Hukum Benda. Sedangkan menurut Hukum
Germani Kuno, hukum waris tidak merupakan hal kebendaan, di sini ahli
waris memiliki hak milik bersama yang terikat, atas harta peninggalan.
Kepemilikan bersama yang bebas mempunyai arti bahwa
kebersamaan dapat diakhiri dengan kesepakatan, sedangkan kepemilikan
bersama yang terikat tidak dapat diakhiri kapan saja, atau diakhiri
berdasarkan putusan hakim terlebih dahulu.
13 Gregor vd Bung, Hukum Waris, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 8.
11
Beberapa penulis dan ahli hukum Indonesia telah mencoba
memberikan rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun
dalam bentuk batasan (definisi). Sebagai pedoman dalam upaya
memahami pengertian hukum waris secara utuh, beberapa definisi di
antaranya sebagai berikut:
Wirjono Prodjodikoro14 mengemukakan:
“Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang padawaktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masihhidup”.
Menurut Soepomo,15
“Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur prosesmeneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda danbarang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen)dari suatu angkatan manusia (genetic) kepada turunannya. Prosesini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebuttidak menjadi “akuut” oleh sebab orang tua meninggal dunia.Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yangpenting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidakmempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperanharta benda dan harta bukan benda tersebut”.
Pasal 830 KUH Perdata menentukan bahwa pewarisan hanya
berlangsung karena kematian, selanjutnya Pasal 833 KUH Perdata
menentukan bahwa ahli waris dengan sendirinya karena hukum
memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang
yang meninggal.
14 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Vorkink van Hoeve, ‘s-Gravenhage, hlm. 8.15 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbitan Universitas, 1996, hlm. 72-73.
12
Dari kedua ketentuan tersebut jelas bahwa dengan meninggalnya
seseorang, semua kebendaan yang menjadi harta kekayaan tersebut demi
hukum beralih kepemilikannya kepada ahli warisnya. Berdasarkan Pasal
833 KUH Perdata, peralihan harta kekayaan dapat terjadi secara langsung
tanpa ada perbuatan hukum lain lagi, akan tetapi terhadap benda-benda
tidak bergerak yang terdaftar disyaratkan adanya pendaftaran dan
pengumuman sebagai dasar keberadaan hak milik tersebut.16
Pada dasarnya pewaris sebagai pemilik harta mempunyai hak
mutlak, untuk mengatur apa saja yang dikehendakinya, akan tetapi
kebebasan tersebut dapat membawa kerugian kepada ahli waris, oleh
karenanya pembentuk undang-undang menetapkan kelompok ahli waris
yang mempunyai hak mutlak atas harta peninggalan dengan diberikannya
legitime portie yaitu bagian dari harta kekayaan yang harus diberikan
kepada ahli waris ab intestate. Pengalihan harta waris berdasarkan
testamen tergantung kepada ada tidaknya harta yang masih tersedia setelah
bagian legitime portie para ahli waris sudah terpenuhi dahulu.17
Sehingga untuk memperjelas suatu penelitian lebih lanjut terbatas
kepada perbandingan antara Hukum Kewarisan Islam dan Hukum
Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai ahli waris
pengganti kedua perbedaan sistem hukum tersebut, maka untuk mencari
16 Lihat Pasal 618 KUH Perdata.17 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, SH.M.Hum, Hukum Harta Kekayaan (Bandung: Refika Aditama,2012). Hlm. 21-22.
13
titik temu ahli waris pengganti dari Hukum Kewarisan Islam dan Hukum
Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sistem ahli waris pengganti menurut Hukum Kewarisan
Islam dan Hukum Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
2. Bagaimana implementasi kedudukan ahli waris pengganti dan
bagiannya menurut Hukum Kewarisan Islam dan Hukum kewarisan
kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
3. Bagaimana persamaan dan perbedaan ahli waris pengganti menurut
Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini secara umum untuk mengetahui
atau memahami sejauh mana penggantian kedudukan ahli waris pengganti
dalam Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Secara rincinya sesuai dengan permasalahan
diatas maka tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut :
14
1. Untuk mengetahui sistem ahli waris pengganti menurut Hukum
Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
2. Untuk mengetahui implementasi kedudukan ahli waris pengganti dan
bagiannya menurut Hukum Kewarisan Islam dan Hukum kewarisan
kitab Undang-undang Hukum Perdata.
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan ahli waris pengganti
menurut Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan
hukum, khususnya hukum waris yang membahas tentang ahli waris
pengganti dalam hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari hukum
perdata.
b. Memperluas pola fikir dan mengembangkan pengetahuan penulis
sendiri dibidang Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sebagai seorang calon Notaris.
15
2. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat menciptakan
unifikasi dibidang hukum waris untuk menuju kodifikasi hukum hingga
dapat mewujudkan hukum waris nasional.
E. Kerangka Konseptual
Sumber hukum kewarisan Islam yang utama adalah Al-Qur’an,
yaitu surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, 33 dan 176. Di samping sumber hukum
yang utama tersebut, juga terdapat sumber hukum yang lainnya yaitu As-
Sunnah dan Ijtihad. Al-Qur’an rinci sekali menentukan bagian ahli waris
tertentu. Ahli waris yang mendapat bagian tertentu dan dalam keadaan
yang tertentu disebut ahli waris Dzul faraid.18 Penamaan dzul faraid untuk
ahli waris tertentu tersebut dipergunakan oleh seluruh pihak yang
mengemukakan ajaran mengenai hukum kewarisan Islam.
Meskipun Al-Qur’an telah menentukan secara rinci bagian para
ahli waris tertentu, tetapi tetap ada perbedaan pendapat di antara fuqaha
(ahli hukum fiqh). Perbedaan pendapat itu hanya muncul jika suatu
masalah tidak atau kurang jelas diatur dalam Al-Qur’an. Dalam hal
kedudukan seorang cucu. Al-Qur’an tidak merinci bagian cucu atas
warisan kakek atau neneknya. Masalah kedudukan seorang cucu ini, dalam
perkembangannya menimbulkan persoalan, yakni dikenal atau tidaknya
sistem ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam.
18Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia ( Jakarta : Bina Aksara, 1982 ), hal 65.
16
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang
anak laki-laki dan dua orang cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka
seluruh warisannya jatuh kepada anak laki-laki, sedangkan dua orang
cucunya tidak mendapatkan warisan sebab terhalang (terhijab) oleh anak
laki-laki tersebut. Karena keadaan yang sangat tidak adil itu, maka
undang-undang mengobati kekecewaan tersebut dengan apa yang disebut
wasiat wajibah. Lembaga Wasiat Wajibah diterapkan di Mesir, yakni
dalam Undang-Undang Wasiat Mesir nomor 71 tahun 1946.19
Dalam wasiat wajibah jumlah paling banyak yang dapat diterima
oleh si penerima warisan adalah sepertiga dari keseluruhan warisan. Hal
ini juga sesuai dengan ketentuan mengenai wasiat dalam hukum kewarisan
Islam. Jadi dalam keadaan apapun penerima wasiat wajibah paling banyak
menerima sepertiga dari keseluruhan warisan. Di samping itu, dalam
wasiat wajibah hanya cucu yang orang tuanya meninggal dunia lebih
dahulu dari pada pewaris saja yang dapat menerima warisan karena wasiat
wajibah.
Hazairin sampai pada kesimpulan bahwa hukum kewarisan Islam
bercorak bilateral dan mengenal ahli waris pengganti. Kesimpulan beliau
tentang ahli waris pengganti itu didasarkan pada penafsiran Al-Qur’an
surat An-Nisa ayat 33, yang berbunyi: “ Bagi tiap-tiap harta peninggalan
dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan
pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah
19Fatchur Rahman, Ilmu Waris ( Bandung : PT.Alma’arif, 1981 ), hal 64.
17
bersumpah setia dengan mereka maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu “.
Oleh beliau mawali tersebut ditafsirkan sebagai ahli waris
pengganti.20 Selain itu, untuk membuktikan bahwa hukum kewarisan
Islam mengenal ahli waris pengganti, beliau menguraikan juga bahwa
hukum kewarisan Islam bercorak bilateral. Dalam sistem kewarisan
bilateral hak mewaris laki-laki sama dengan hak mewaris perempuan,
Artinya baik laki-laki maupun perempuan sama–sama berhak mewaris.
Kalau hak laki-laki dalam mewaris sama dengan hak perempuan, maka
tidak dipersoalkan lagi.
Pembaharuan hukum Islam khususnya masalah ahli waris
pengganti, seseorang yang meninggal dunia terlebih dahulu di gantikan
oleh keturunannya dalam hal ini anak untuk menerima warisan dari
kakeknya. Pencantuman ahli waris pengganti dalam kompilasi hukum
Islam dengan tujuan untuk memenuhi rasa keadilan hukum.
Kompilasi Hukum Islam dalam Buku II tentang kewarisan Pasal
185 ayat (1) mengatur bahwa ahli waris yang meninggal terlebih dahulu
dari pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali
mereka yang tidak dapat jadi ahli waris karena dihukum berdasarkan
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetapi
sebagimana tersebut dalam Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal
20Hazairin, Op.Cit, hal 8.
18
ini tidak ada penjelasan secara tegas tentang siapa saja ahli waris yang
dapat digantikan tersebut.
Hazairin mengemukakan bahwa dengan pikiran logis menafsirkan
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 33 sebagai ayat yang menunjukkan bahwa
dalam hukum kewarisan Islam dikenal adanya sistem ahli waris pengganti.
Menurut beliau, tidak ada satu indikator (petunjuk) pun yang
membuktikan bahwa cucu dari garis perempuan tidak dapat mewaris.21
Ahli waris pengganti berarti bahwa dari sejak semula bukan sebagai ahli
waris, karena pertimbangan dan keadaan tertentu menerima warisan
namun tetap dalam status bukan ahli waris.
Meskipun masih memerlukan analisis lebih lanjut tetapi dapat
ditegaskan bahwa hukum kewarisan Islam mengenal dan telah membuat
aturan tentang ahli waris pengganti. Selanjutnya yang perlu dianalisis lebih
lanjut adalah bagaimana sistem ahli waris pengganti dalam hukum
kewarisan Islam.
Hukum kewarisan KUH Perdata sebagaimana yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan ahli waris menjadi
dua macam ahli yaitu :
1. Ahli Waris menurut Undang-Undang (Ab Intestaat Erfrecht).
Ahli waris menurut undang-undang, yang merupakan ahli waris
dalam garis lurus kebawah, yang dibedakan menjadi empat golongan
ahli waris yaitu :
21A. Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung : PT.Citra
Aditya Bakti, 1999 ), hal 32
19
a. Golongan pertama, yang terdiri dari :
1). Suami /istri yang hidup terlama.
2). Anak.
3). Keturunan anak.
b. Golongan kedua yang terdiri dari :
1). Ayah dan Ibu
2). Saudara.
3). Keturunan.
c. Golongan ketiga yang terdiri dari :
1). Kakek dan nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu.
2). Orang tua Kakek dan nenek itu, dan seterusnya keatas.
d. Golongan keempat yang terdiri dari :
1). Paman dan bibi baik dari pihak bapak maupun ibu.
2). Keturunan Paman dan bibi sampai derajat keenam.
3). Saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai
derajat keenam dari si meninggal.22
2. Ahli Waris menurut Wasiat (Testamentair Erfrecht).
Ahli waris yang mendapat warisan berdasarkan penunjukan
(erfstelling) si pewaris (pembuat wasiat) pada waktu ia masih hidup.23
Selama masih ada ahli waris golongan pertama, ahli waris golongan
kedua tidak dapat mewaris, jika ada ahli waris golongan kedua maka
ahli waris golongan ketiga tidak dapat mewaris dan seterusnya. Dalam
22Effendi Perangin, Hukum Waris, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada ), hal 34.
23Suparman Usman, Op.Cit , hal 52.
20
hal ahli waris golongan pertama, yaitu anak-anak pewaris, ada diantara
mereka yang meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris maka undang-
undang menentukan adanya penggantian tempat ahli waris dalam
bahasa Belanda disebut Plaatsvervulling, yaitu cucu menggantikan
posisi orang tuanya yang telah meninggal dunia untuk menerima
warisan kakeknya sebesar bagian yang diterima oleh orang tuanya.
Dalam hukum kewarisan KUH Perdata, jumlah saudara mempengaruhi
bagian yang akan diterima oleh orang tuanya, pengaruh ini hanya
sebatas mengurangi saja tidak sampai meniadakan bagian orang
tuanya.
Dengan adanya ketentuan secara tegas tentang Plaatsvervulling
dalam undang-undang maka hal yang perlu dianalisis lebih lanjut,
bagaimana perbandingan ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan
Islam dengan penggantian tempat ahli waris (Plaatsvervulling) dalam
hukum kewarisan KUH Perdata yang sampai saat ini masih berlaku di
Indonesia.
F. Metode Pendekatan
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk
memecahkan masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk
menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran. Dilaksanakan
untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan permasalahan,
sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodelogi merupakan suatu
21
logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada
saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu
pengetahuan yang menjadi induknya.24
Untuk mendapatkan hasil yang baik dan dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode penelitian yang
tepat. Metode penelitian yang tepat diperlukan untuk memberikan
pedoman serta arah dalam mempelajari serta memahami tentang objek
yang diteliti. Dengan demikian panelitian yang dilakukan akan berjalan
dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan.25
Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum
sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu maka
penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono
Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya.26
Dalam penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta-fakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam
menjawab permasalahan-permasalahan. Supaya mendapat hasil yang lebih
maksimal maka peneliti melakukan penelitian hukum dengan mengunakan
metode-metode sebagai berikut:
24Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, ( Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1998), hal 9.25
Komarudin, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, (Bandung :Remaja Rosdakarya,1979), hal 27.26
Ronny Hanintijo Soemitro, Op.Cit (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal 9.
22
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan mengutamakan meneliti bahan pustaka dan dokumen yang
disebut data sekunder, berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder,
dan tersier.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian untuk menemukan hukum in concreto, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk menemukan apakah hukum yang sesuai untuk
diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara tertentu.27
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang akan digunakan adalah deskriptif
analitis, metode ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang
dilakukan dengan menggunakan cara kualitatif, terdiri dari:
a. Teori – teori hukum
1) Teori Theokrasi. Teori ini menganggap bahwa hukum itu
adalah kemauan Tuhan, jadi yang menjadi dasar dari kekuatan
hukum adalah kepercayaan kepada Tuhan.
2) Teori Perjanjian Masyarakat/ Teori Kedaulatan Rakyat. Teori
ini menganggap bahwa dasar terjadinya suatu Negara adalah
perjanjian yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat
untuk mendirikan suatu Negara.
27Ibid, hal 26.
23
3) Teori Kedaulatan Negara. Teori ini menganggap bahwa hukum
adalah kehendak Negara dan ditaati orang karena Negara
menghendakinya.
4) Teori Kedaulatan Hukum. Teori ini menganggap bahwa
hukum mewujudkan dan berasal dari perasaan hukum yang
ada pada sebagian besar anggota masyarakat.
5) Teori Positivisme dan Utilitarianisme.
6) Teori Hukum Murni. Teori ini adalah pengetahuan yang bebas
dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya28.
b. Doktrin - doktrin hukum
1) Doktrin mazhab sejarah dan kebudayaan merupakan
perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (volksgeit).
Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan
bukan berasal dari pembentukan undang-undang.
2) Doktrin aliran utilitarianisme yang berarti manusia bertindak
untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
penderitaan. Setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman
yang sesuai dengan kejahatan tersebut dan hendaknya
penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih dari apa yang
diperlukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Pembentuk
hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga
masyarakat secara individual.
28Gunawan Sri Guntoro, Teori-Teori Hukum, 2012.
24
3) Doktrin aliran sosiciological jurisprudence merupakan hukum
positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat. Pusat perkembangan dari hukum
bukanlah terletak pada badan legislative, keputusan badan
yudikatif ataupun ilmu hukum, tetapi justru terletak dalam
masyarakat itu sendiri.
4) Doktrin aliran realism hukum yaitu bahwa para hakim tidak
hanya menemukan hukum, tetapi bahkan membentuk hukum.
c. Pendapat – pendapat pakar hukum Islam.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data,
karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan
untuk selanjutnya dianalisis sesuai permasalahan sehingga diperoleh
hasil sesuai dengan tujuan penelitian.
Data Sekunder diperoleh melalui studi pustaka atau literatur, Data
sekunder tersebut meliputi:
a. Bahan Hukum Primer, yang merupakan bahan hukum yang
mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang antara
lain dari:
1) Al-Qur’an dan Hadist.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Burgelijk Wetboek );
3) Kompilasi Hukum Islam Pasal 185, 171, 172, 173
25
b. Bahan Hukum Sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
berupa:
1) Buku-buku literatur;
2) Majalah-majalah;
3) Artikel-artikel media;
4) Dan berbagai tulisan lainnya.
c. Bahan Hukum Tersier yang merupakan bahan-bahan hukum
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, serperti :
1) Kamus Inggris-Indonesia;
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3) Ensiklopedi Hukum Islam.
4. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis dan mengolah data-data
yang terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari penggunaan
metode tersebut adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan
berdasarkan pada pendekatan yuridis normatif.29
Pada metode ini data-data yang diperoleh dari penelitian yang
dilakukan yaitu data sekunder, terhadap data tersebut dilakukan hal
sebagai berikut :
29Ade Saptomo, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya, Unesa University Press,
2007), hal 30.
26
a. Memilih pasal-pasal dan ayat-ayat serta pandangan para ahli
hukum yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang
masalah ahli waris pengganti tersebut agar dapat menjawab
permasalahan dari penelitian ini.
b. Pengolahan data, yaitu data yang diinventarisir/dikumpulkan lalu
dikelompokkan, kemudian dianalisis dan disistimatiskan dalam
uraian yang bersifat deskriptif analisis.30
Data sekunder yang diperoleh melalui studi literatur yang berkaitan
dengan pokok bahasan, dianalisis dengan objektif, serta
menghubungkannya dengan pendapat pakar hukum dan
penulispenulis, lalu hasilnya ditafsirkan untuk dirumuskan menjadi
penemuan dan kesimpulan penelitian.
30Ade Saptomo, Ibid, hal 91.
27
G. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini terdiri dari empat bab, dimana masing-masing
bab memiliki keterkaitan antara bab yang satu dengan yang lain, yang
meliputi:
Bab I : Pendahuluan
Dalam bab satu ini menguraikan mengenai Latar belakang,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka
Konseptual, Metode Penelitian, serta yang terakhir adalah Sistematika
Penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Berisikan uraian teoritis mengenai : Hukum Kewarisan Islam:
Pengertian Hukum Waris Islam, Unsur-unsur Hukum Kewarisan, Dasar
Hukum Waris Islam, Warisan dalam Sistem Hukum Waris Islam, Pewaris
dan Dasar Hukum Mewaris, Ahli Waris Dalam Islam. Hukum Kewarisan
KUH Perdata Barat : Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Pewaris dan
Dasar Hukum Mewaris, Ahli Waris Menurut Sistem KUH Perdata, Bagian
Masing-masing Ahli Waris Menurut KUH Perdata, Peran Balai Harta
Peninggalan dalam Pembagian Warisan, Ahli Waris yang Tidak Patut
Menerima Harta Warisan.
Bab III : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil Penelitian dan Pembahasan dalam bab ini akan membahas
perumusan masalah yang ada yaitu tentang : sistem ahli waris pengganti
dalam Hukum Kewarisan Islam dan dalam Hukum Kewarisan Kitab
28
Undang-undang Hukum Perdata, implementasi kedudukan ahli waris
pengganti dan bagiannya menurut Hukum Kewarisan Islam dan Hukum
kewarisan kitab Undang-undang Hukum Perdata, serta persamaan dan
perbandingan ahli waris pengganti dalam Hukum Kewarisan Islam dan
dalam Hukum Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Bab IV : Penutup
Dalam bab ini berisikan kesimpulan-kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran-saran yang diperlukan.