24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan melalui aksi teror. Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia. 1 Bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi telah mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat serta merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme perlu dilakukan secara berencana dan berkesinambungan guna memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Aksi 1 Sriyanto dan Desiree Zuraidah, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001). Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23326/4/Chapter I.pdf · merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan. Hukum

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia.

Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat

ditawar lagi (non derogable rights). Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap

orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi

lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup

dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.Salah satu

contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan melalui aksi

teror. Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma

agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi

manusia. 1

Bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi telah mengganggu

keamanan dan ketertiban masyarakat serta merupakan ancaman serius terhadap

kedaulatan negara, sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

terorisme perlu dilakukan secara berencana dan berkesinambungan guna

memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Aksi

1 Sriyanto dan Desiree Zuraidah, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001).

Universitas Sumatera Utara

terorisme yang terjadi di Indonesia hingga dewasa ini nampaknya juga belum bisa

teratasi secara tuntas. Inilah salah satu permasalahan yang sedang dihadapi

pemerintah saat ini, kenyataannya sampai sekarang para pelaku aksi terror belum

bisa semuanya ditangkap bahkan sekarang aksi teror tidak hanya terjadi dikota-

kota besar melainkan sudah masuk kedaerah-daerah.

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban

serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara

karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang

menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan

kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara

berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat

dilindungi dan dijunjung tinggi. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa

Indonesia yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia.

Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom

Bali I pada 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan

Peddy’s Club, Kuta, Bali.2

2 http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=4339&kat=9

Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di

Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada 19 April 1999, Bom Malam Natal

pada 24 Desember 2000 yang terjadi di dua puluh tiga gereja, Bom di Bursa Efek

Universitas Sumatera Utara

Jakarta pada September 2000, serta penyanderaan dan pendudukan perusahaan

Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama.3

Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian

merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana.

Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk

melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan

warga negara dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara

terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan

hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai.

Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh

DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme.

Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak

pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary

crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary

measures). Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini selain mengatur aspek

materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan

undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana

dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya undang-undang

ini diharapkan penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari

aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan.

3 “Bom Bali Rencananya untuk Memperingati Setahun Bom WTC”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0308/22/nasional/505322.htm, diakses 7 November 20

Universitas Sumatera Utara

Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang

merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri

merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.

Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti

dan Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk

membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang

sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undang-

undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah:4

a. keterangan saksi

b. keterangan ahli

c. surat

d. petunjuk

e. keterangan terdakwa

Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam

KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal

ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat

perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru

yang sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda

Nawawi Arief disebut dengan tindak pidana mayantara. Secara garis besar

cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi

4 Undang-Undang Nomor 8 LN Nomor 76 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 184

Universitas Sumatera Utara

informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas

teknologi informasi sebagai sasaran.

Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh berhenti dengan

ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan barang bukti maupun alat bukti

berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu peristiwa hukum. Selain

itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital

perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi

elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi

dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing) dan penyimpanan

(storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di

atas kertas (printing process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana

mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa

data digital. Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga

menyangkut aspek validasi data digital yang dijadikan alat bukti tersebut. Aspek

lain terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan

cukup dengan perangkat lunaknya (software) atau harus dengan perangkat

kerasnya (hardware).

Uraian dari latar belakang tersebut, menyimpulkan penulis untuk

mengetahui lebih jelas mengenai tingkat perkembangan terorisme yang terjadi di

masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan terorisme telah berkembang dalam

kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Berdasarkan kenyataan mengenai

pentingnya penerapan hasil bukti forensik dalam mengungkapkan suatu kasus

terorisme pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas, hal tersebut

Universitas Sumatera Utara

melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam

penulisan skripsi dengan judul ”TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI

FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka peneliti mengidentifikasikan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan bukti forensik dan laporan intelejen dalam

mengungkap tindak pidana terorisme pada tahap penyidikan ditinjau

dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)?

2. Peranan Kepolisian Resort kota Medan (Unit Jatanras) dalam

mengumpulkan informasi dan keterangan lain guna melengkapi

pembuktian yang terkait tindak pidana terorisme?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dengan diadakannya penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Mengkaji dan memahami secara jelas mengenai peranan bukti

forensik dalam mengungkap tindak pidana terorisme pada tahap

Universitas Sumatera Utara

penyidikan ditinjau dari UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme dan UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Mengetahui tentang Peranan Kepolisian Resort kota Medan (Unit

Jatanras) dalam mengumpulkan informasi dan keterangan lain

guna melengkapi pembuktian yang terkait tindak pidana terorisme.

2. Manfaat Penelitian

Diharapkan karya akhir ini dapat bermanfaat dengan optimal, baik

secara akademis maupun praktis. Adapun penelitian ini memiliki manfaat

sebagai berikut :

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini ditujukan untuk menambah pengetahuan dibidang

hukum khususnya hukum pidana baik untuk kalangan mahasiswa

sendiri atau para akademisi sebagai bibit unggul yang akan menjadi

kalangan yang berguna dan menjadi generasi penerus bangsa di

masa yang akan datang.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan pula melalui penulisaan skripsi ini dapat bermanfaat

nantinya bagi para penegak hukum dalam upaya memberikan

proses peradilan yang baik dan tepat, sehingga tidak

mengakibatkan kerugian bagi para pihak yang mencari keadilan

dan dapat memberikan rasa keadilan yang sebesar-besarnya di

tengah masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah murni dan benar – benar berasal dari

pemikiran penulis dan pertanyaan - pertanyaan yang timbul dari dalam diri penulis

bahwa terhadap judul diperlukannya suatu pembahasan yang lebih dalam, keaslian

penulisan ini dapat dibuktikan karena sebelum penulisan ini berlangsung penulis

telah melakukan pengecekan terhadap judul ini terlebih dahulu ke Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara apakah mengenai judul ini telah

dibahas sebelumnya atau tidak, hasil dari pengecekkan tersebut adalah penulis

telah mendapatkan persetujuan dari pihak perpustakaan dan jurusan bahwasanya

judul ini dapat dilanjutkan penulisannya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Definisi Terorisme

Terorisme adalah The use or threat of violance to intimidate or

cause panic, esp. as a means of affecting political conduct.5

5 http://www.thefreedictionary.com/terror

Terjemahan

bebasnya adalah, penggunaan atau upaya kekerasan untuk mengintimidasi

atau menyebabkan kepanikan, khususnya dengan membawa dampak

politik. Tindak Pidana Terorisme adalah, segala perbuatan yang memenuhi

unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Teror atau Terorisme tidak

selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan,

(terrorism is the apex of violence). Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror,

tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan

Universitas Sumatera Utara

intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya

langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme

seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin

menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang

mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme,

yang motifnya merusak benda-benda fisik.

Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan

omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem

loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama

penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang

menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali

mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian

masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan

pesan perjuangannya.6

Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa

yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni,

ahli Hukum Pidana Internasional, bahwatidak mudah untuk mengadakan

suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secarauniversal

sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut.

Sedangkanmenurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan

6 http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme

Universitas Sumatera Utara

pandangan yang subjektif, hal manadidasarkan atas siapa yang

memberikan batasan pada saat dan kondisi tetentu.7

Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme

tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan

hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak

menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi

Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention

and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan

terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on

The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna

Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu

sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes

against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala

Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity,

dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Crimes against

Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran

HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang

diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap

penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah

(Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.

8

7 http://definisi-pengertian.blogspot.com/2009/12/definisi-dan-pengertian-terorisme_31.html

8 http://activis.wordpress.com/2009/10/23/sejarah-tentang-terorisme/

Universitas Sumatera Utara

Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi,

“Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai

individu.” Dengan adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga

masyarakat yang diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah

merampas hak asasi orang lain tentang rasa aman. Di sini kita bisa melihat

bahwa sasaran utama terorisme bukan lagi sekadar kejahatan terhadap

negara atau kelompok atau individu, melainkan kejahatan terhadap HAM.

Terorisme disebut banyak orang sebagai sebuah kejahatan yang

extraordinary, karenanya terorisme pun harus diperlakukan secara

extraordinary.9

2. Terorisme dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP)

Namun, apakah cukup manusiawi apabila penanganan

terhadap kasus terorisme harus dilakukan dengan memperlakukan para

tersangka teroris secara tidak manusiawi? Ataukah justru sebaliknya,

masyarakat akan merasa sangat puas ketika melihat aparat keamanan

berhasil ‘menghabisi’ para tersangka teroris?

Di Indonesia, berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak

pidana terorisme, seseorang yang dicurigai sebagai anggota terorisme,

polisi hanya berkenan menahan selama tujuh hari tanpa surat perintah

penahanan. Ini masih terlalu ringan bilamana dibandingkan dengan negara

tetangga seperti Malaysia atau Singapura.

9 http://www.docstoc.com/docs/48436101/PENEGAKAN-HUKUM-DAN-HAK-ASASI-MANUSIA-DALAM-PEMBERANTASAN-TERORISME

Universitas Sumatera Utara

Di Malaysia dan Singapura misalnya, pelaku terorisme

diperlakukan dengan sangat ketat. Untuk pelaku terorisme diberlakukan

prosedur hukum yang tidak biasanya seperti pada kejatahan-kejahatan

biasa. Umpamanya, untuk penangkapan, polisi tidak perlu menggunakan

surat perintah penangkapan maupun surat perintah penahanan. Begitu pula

tenggang waktu penahanan serta lamanya penahanan. Semuanya dilakukan

secara ekstra ketat, sehingga adakalanya si pelaku diperlakukan di luar

sistem due process of law. Tidak heran pelaku terorisme ditahan hingga

bertahun-tahun tanpa proses.

Secara hukum positif, Indonesia pun mengenal pembatasan hak-

hak yang relatif itu sebagaimana diatur di dalam UU No 3 Drt Tahun 1959

mengenai keadaan bahaya atau public emergency. Sekalipun demikian,

walaupun hak-hak absolut non derogable rights seperti right to life tetap

harus pula dijunjung tinggi, tetapi juga social rights tidak boleh terabaikan

sebagai bagian dari pemeliharaan generasi.10

Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada

saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum

mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas

Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk

membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,

yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

10 http://www.docstoc.com/docs/48436101/PENEGAKAN-HUKUM-DAN-HAK-ASASI-MANUSIA-DALAM-PEMBERANTASAN-TERORISME

Universitas Sumatera Utara

(Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan

menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-

Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan,

mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat

tercipta karena adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di

dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi

perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap

bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di

masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu

perundang-undangan Hukum Pidana.

Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap

perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat,

sedangkan untuk perubahan Undang-Undang yang telah ada dianggap

memakan banyak waktu. Suatu keadaan yang mendesak sehingga

dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera

menanganinya. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila

dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.

Universitas Sumatera Utara

Kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari

perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara,

seperti:11

a. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal

KUHP.

b. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP

termasuk kekhususan hukum acaranya.

c. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP

tentang kejahatan terorisme.

Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus

dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum

mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk

memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu

kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut

adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu

keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab

yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan

yang utuh. Selain ketentuan tersebut, Pasal 103 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas

yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang

11 http://www.scribd.com/doc/41074702/Terorisme-Di-Indonesia

Universitas Sumatera Utara

Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.

3. Terorisme dan Alat Bukti Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

Dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP), sistem

administrasi peradilan pidana sangatlah tidak memadai apabila ketentuan

ini diterapkan untuk pelaku terorisme karena penahanan berdasarkan Pasal

21 KUHAP, ketentuan ini sangatlah mudah dan biasa-biasa saja untuk

sebuah kejahatan luar biasa seperti terorisme. Oleh sebab itulah, sangat

dimungkinkan aparat penegak hukum (khususnya aparat kepolisian)

menyimpang dari prinsip-prinsip tentang due process of law, atau equality

before the law yang terdapat dalam ICCPR (International Covenant on

Civil and Political Rights) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

Pembatasan terhadap prinsip-prinsip tersebut dapat dilakukan karena

undang-undang pun mengenal apa yang disebut derogable rights, hak-hak

yang bersifat relatif.12

Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor

15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga

terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) (lex specialis derogat lex generalis). Keberlakuan

12 http://advokathandal.wordpress.com/perlindungan-hak-asasi-tersangkaterdakwa-dalam-pemberantasan-terorisme-di-indonesia/

Universitas Sumatera Utara

lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi criteria bahwa

pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan

oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.

Pasal-pasal KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana) tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan biasa diatur didalam

Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP yang menyatakan

Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukannya. Dengan suatu alat bukti saja umpamanya

dengan keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang sah,

akan tetapi haruslah dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan

demikian maka kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan

dan arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain dengan bukti yang

demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus di peroleh atau

ditimbulkan dari dari alat-alat bukti yang sah.

Sedangkan yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah

sebagaimana yang diterangkan di dalam Pasal 184 KUHAP sebagai

berikut :

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

Universitas Sumatera Utara

e. Keterangan terdakwa.

Seperti diketahui bahwa didalam pembuktian tidaklah mungkin

dan dapat tercapai kebenaran mutlak (absolut). Bahwa semua pengetahuan

kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan,

dan pemikiran tentang sesuatu yang selalu tidak pasti benar. Jika

diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum

seseorang, maka sebagian besar dari pelaku tindak pidana tidaklah dapat di

hukum, pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-

satunya yang dapat diisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah

adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah

melakukan perbuatan-perbuatan yang telah di dakwakan sedangkan

ketidaksalahannya walaupun selalu ada kemungkinan merupakan suatu hal

yang tidak dapat diterima.

Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang selalu yakin bahwa

menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa suatu tindak

pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah dalam hal tersebut yang

bersalah (guilty), maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang

sah dan meyakinkan.13

13 http://arisirawan.wordpress.com/2010/02/18/peranan-barang-bukti-dalam-pembuktian-perkara-pidana-menurut-pasal-183-k-u-h-a-p/

Dan dalam hal pembuktian pidana kita mengenal

istilah yang berbunyi : “Tidak dipidana tanpa kesalahan”. Dalam bahasa

Belanda :“Geen straf zonder schuld” disinilah letak pelunya pembuktian

Universitas Sumatera Utara

tersebut apakah seseorang benar-benar bersalah menurut apa yang diatur

dalam Undang-undang yang ditujukan kepadanya.

Dalam hal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa suatu pembuktian

haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas

alat-alat bukti yang tidak mencukupi. Umpamanya dengan keterangan dari

seorang saksi saja ataupun karena keyakinan tentang tindak pidana itu

sendiri tidak ada. Maka haruslah ketentuan yang menjadi keharusan

didalam Pasal 183 KUHAP tersebut terpenuhi keduanya. Hakim tidak

boleh memperoleh keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan yang

diketahui dari luar persidangan. Tetapi haruslah memperoleh dari bukti

yaitu dari alat-alat bukti yang sah dan adanya tambahan dari keterangan

barang bukti yang terdapat di dalam persidangan, sesuai dengan syarat-

syarat yang di tentukan Undang-undang, umpama dalam hal terdakwa

tidak mengakui dari atau dengan kesaksian sekurang-kurangnya dua orang

saksi yang telah di sumpah dengan sah dimuka pengadilan.

4. Pengertian Fungsi Intelejen dan Definisi Laporan Intelejen

Intelejen merupakan pilar penting bagi kelangsungan hidup suatu

pemerintahan, rejim, dan Negara, atau siapaun juga yang mewarisi

mahkota sebagai “yang berdaulat” (the sovereign). Di Negara pasca

kolonial atau otoriter, fungsi intelejen yang dilakukan oleh dinas polisi

rahasia, agen rahasia dan/atau mata – mata (spies) merupakan instrument

yang lebih berpihak kepada kekuasaan dari pada rakyat. Di Negara

Universitas Sumatera Utara

demokrasi, termasuk Amerika Serikat, etos intelejen mungkin saja

berpihak kepada pelayanan publik namun realitas politik birokrasi acapkali

menyebabkan intelejen berpihak kepada kepentingan politik.

Kegiatan-kegiatan intelijen negara di tataran strategik, operasional

dan taktis dilakukan oleh banyak lembaga yang diberi mandat oleh negara

untuk menjalankan fungsi intelijen. Seluruh lembaga yang menjalankan

fungsi intelijen harus bergabung dalam suatu mekanisme koordinasi

terpadu antar elemen komunitas intelijen nasional. Komunitas intelijen

nasional terdiri dari lima tipe organisasi:14

a. Intelijen nasional yang menjalankan fungsi-fungsi intelijen

untuk mengantisipasi ancaman keamanan dalam negeri yang

hanya terdiri dari satu organisasi yaitu Badan Intelijen Negara

(BIN);

b. Intelijen kriminal dan yustisia yang dilakukan oleh intelijen

kepolisian, intelijen bea cukai, intelijen imigrasi, serta intelijen

kejaksaan.;

c. Intelijen pertahanan dan luar negeri yang menjalankan fungsi

intelijen strategik untuk mengatasi ancaman keamanan yang

bersifat eksternal yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu

Badan Intelijen Strategis (BIS) yang berada di bawah

Departemen Pertahanan;

14 http://www.propatria.or.id/loaddown/Paper%20Diskusi/Rationale,%20Hakikat%20dan%20Pengaturan%20Fungsi%20Intelijen%20-%20Kusnanto%20Anggoro.pdf

Universitas Sumatera Utara

d. Intelijen-intelijen tempur yang melekat pada satuan-satuan

tempur yang diwakili oleh asisten-asisten intel di Mabes TNI

dan angkatan; dan

e. Lembaga-lembaga pemerintahan yang fungsinya dan atau

terkait dengan masalah-masalah keamanan nasional seperti

Lembaga Sandi Negara, Badan SAR Nasional, Badan

Narkotika Nasional, Badan Meteriologi dan Geofisika , Badan

Pusat Statistik (BPS), lembaga-lembaga yang menjalankan

fungsi pengintaian dan pengindraan (Surveillance and

reconnaissance), Lembaga Elektronika Nasional, Lembaga

Antariksa dan Penerbangan Nasional, serta Badan Tenaga

Atom Nasional.

Dalam perkembangannya fungsi peringatan dini dan perkiraan

akhirnya menjadi fungsi intelijen. Meletakkan fungsi ini kepada intelijen

bukan hasil suatu proses akademik dan intelektual tetapi lebih kepada hasil

pengalaman sejarah dan kecenderungan manusia untuk menghindar dari

beban berat ketika peristiwa besar itu terjadi. Apa pun prosesnya,

nampaknya harus sepakat bahwa fungsi peringatan dini dan perkiraan

menjadi fungsi intelijen dan intelijen harus siap menaggung beban dan

konsekuennya. Dalam kalimat yang lebih arif dirumuskan bahwa fungs

iintelijen nadalah menyampaikan fakta-fakta dan meyakinkan para

pengambil keputusan.

F. Metode Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Metode penelitian adalah suatu proses yang menjelaskan tentang cara

pelaksanaan kegiatan penelitian mencakup cara pengumpulan data, alat yang

digunakan, dan cara analisis data.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian

Deskriptif Analisis, yaitu metode penelitian yang bertujuan

menggambarkan dan menganalisis fakta yang terjadi apa adanya dan

dikaitkan dengan teori hukum, dan pelaksanaanya yang menyangkut

dengan permasalahan yang diteliti.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ádalah:15

a. Bahan Hukum Primer, yaitu perundang-undangan nasional, yang

berkaitan erat dengan variabel penelitian, berupa: Undang-

Undang Dasar 1945, Undang-Undang Hukum Acara Perdata,

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang menberikan

penjelasan mengenai bahan-bahan primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil

karya ilmiah, hasil penelitian serta biografi hukum.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti Artikel, Koran, dan lain-lain.

15 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20, Alumni Bandung, 2006,hlm.134

Universitas Sumatera Utara

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Menurut Soerjono Soekanto, Penelitian Kepustakaan yaitu:

“Penelitian terhadap data sekunder, yang dengan teratur dan sistematis menyelenggarakan pengumpulan dan pengolahan bahan pustaka untuk disajikan dalam bentuk layanan yang bersifat edukatif, informatif dan rekreatif kepada masyarakat.”16

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil data yang ada

hubungannya dengan judul penelitian yang diperoleh dari instansi

Pemerintah Daerah yang bersangkutan, dan melakukan wawancara

dengan pihak yang terkait, kemudian disusun secara sistematis untuk

dianalisis, yang kemudian diambil kesimpulan secara ilmiah yang

dapat dipertanggung jawabkan.

4. Analisis Data

Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data dan mengolah

data tersebut, maka dilanjutkan dengan menganalisis data yang diperoleh

baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dan

membahas permasalahannya. Dengan penganalisaan data primer dan data

sekunder secara kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data primer

16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT.Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001. hlm. 42

Universitas Sumatera Utara

dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian telah disusun dengan

teratur dan sistematis, kemudian dianalisa untuk mendapatkan suatu

kesimpulan

G. Sistematika Penulisan

Bab I, Pendahuluan. Pada bab ini dijelaskan tentang latar belakang,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan,

tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematikan penulisan juga di

uraikan dalam bab ini.

Bab II, Menjelaskan dan menguraikan bagaimana tinjauan tentang

Tinjauan Yuridis bukti forensik dan Laporan Intelejen dalam mengungkap

tindak pidana terorisme pada tahap penyidikan mengenai Sebelum

berlakunya UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak Pidana

terorisme, Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP,

Sistem Pembuktian, Beban Pembuktian, Alat Bukti Dalam Undang-

undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme , Dasar

Hukum Laporan Intelejen dan Laporan Intelejen yang dapat dijadikan

bukti permulaan

Bab III, menjelaskan dan menguraikan bagaimana Peranan Kepolisian

Resort kota Medan (Unit Jatanras) dalam mengumpulkan informasi dan

keterangan lain guna melengkapi pembuktian yang terkait tindak pidana

terorisme berupa Tinjauan Polresta Medan dan susunan fungsi unit

jatanras, Kegiatan yang dilakukan dalam upaya mengumpulkan alat bukti,

Universitas Sumatera Utara

Jaringan Intelejen dan pemberdayaan masyarakat dan Kendala yang

dihadapi Polresta Medan dalam mengumpulkan alat bukti terkait tindak

pidana Terorisme.

Bab IV, Penutup. pada bab ini dijelaskan tentang kesimpulan dan saran

Universitas Sumatera Utara