Upload
duongdien
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau
menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu
merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan setelah
terjadinya pelanggaran hukum, dengan perkataan lain baik secara preventif maupun
represif. Sejauh ini peraturan yang mengatur tentang penegakan hukum dan
perlindungan hukum terhadap keluhuran harkat martabat manusia di dalam proses
pidana pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum dalam system
peradilan pidana merupakan suatu tumpuan harapan dari para pencari keadilan yang
selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana
yang diatur dalam pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman. Keadilan yang dihasilkan dari suatu lembaga peradilan
melalui suatu proses peradilan yang tertuang di dalam putusan hakim adalah
merupakan syarat utama di dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu
masyarakat sebab putusan-putusan hakim yang kurang adil membuat kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga peradilan menjadi berkurang, sehingga mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat enggan untuk menempuh jalur hukum di dalam mengatasi permasalahan
hukum yang mereka hadapi. Maka dalam hal ini hakim sebagai pejabat Negara yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili dalam suatu proses peradilan
pidana, mempunyai suatu peranan penting dalam penegakan hukum pidana untuk
tercapainya suatu keadilan yang diharapkan dan dicita-citakan.
Penyelenggaraan peradilan pidana sebenarnya tidak hanya oleh hakim dalam
suatu proses peradilan namun juga harus di dukung oleh aparat penegak hukum
pidana lainnya yang tergabung dalam system peradilan pidana (Criminal Justice
Sistem) yaitu polisi, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan yang bekerja
mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan
sampai akhirnya pada pemeriksaan di sidang pengadilan.1
Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat
bertindak arif dan bijaksana demi untuk mendapatkan kebenaran materil yaitu
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana sebagaimana yang tertuang dalam pasal demi pasal
yang ada di dalam KUHAP guna menentukan apakah seorang terdakwa terbukti
melakukan suatu tindak pidana atau tidak dan apabila terbukti bersalah maka seorang
terdakwa tersebut dapat dijatuhi pidana atau sebaliknya bila tidak terbukti bersalah
maka seorang terdakwa harus diputus bebas sehingga kesemuanya itu bermuara
kepada putusan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari aspek ilmu hukum itu
1 Yesmil Anwar dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia), (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 28
Universitas Sumatera Utara
sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kebenaran materil diatas maka hakim
dalam mengemban tugas harus dijamin kemandiriannya guna menegakkan keadilan
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Dipihak lain dalam diri hakim bersangkutan juga dituntut adanya integritas moral
yang baik sehingga dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak merugikan
“justiabelen” (para pencari keadilan)
3
Kemandirian hakim adalah kemandirian dalam tugas dan wewenang dalam
kapasitasnya ketika sedang menangani perkara, adapun wewenang hakim antara lain
sebagai berikut :
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2)
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim
dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
jujur, adil, professional dan berpengalaman di bidang hukum.
2 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana(Sebuah Catatan Khusus), (Bandung: Mandar Maju,1999), hlm. 15.
3 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 33-34.
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim dengan
penetapannya berwenang melakukan penahanan (Pasal 20 ayat (3) KUHAP).
2. Memberikan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan orang,
berdasarkan syarat yang ditentukan (Pasal 31 ayat(1) KUHAP).
3. Mengeluarkan Penetapan agar terdakwa yang tidak hadir di persidangan tanpa
alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan
dengan paksa pada sidang pertama berikutnya (Pasal 154 ayat (6) KUHAP).
4. Menentukan tentang sah atau tidaknya segala alasan atas permintaan orang yang
karena pekerjaannya, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia dan minta dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi (Pasal 170 KUHAP).
5. Mengeluarkan perintah penahanan terhadap seorang saksi yang diduga telah
memberikan keterangan palsu di persidangan baik karena jabatannya atau atas
permintaan Penuntut Umum atau terdakwa (Pasal 174 ayat (2) KUHAP).
6. Memerintahkan perkara yang diajukan oleh Penuntut Umum secara singkat agar
diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa setelah adanya pemeriksaan
tambahan dalam waktu 14 (empat belas hari) akan tetapi Penuntut Umum belum
juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan tersebut (Pasal 203 ayat (3)
huruf b KUHAP).
7. Memberikan penjelasan terhadap hukum yang berlaku, bila dipandang perlu di
persidangan baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan terdakwa atau
penasehat hukumnya Pasal 221 KUHAP).
Universitas Sumatera Utara
8. Memberikan perintah kepada seseorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di
luar sidang (223 ayat (1) KUHAP).
Dari tugas dan wewenang tersebut maka hakim dapat memberikan putusan
sebagaimana yang tertuang dalam Bab I Tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11
KUHAP yaitu bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan
dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal ini serta merta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
Jadi, dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan akhir dari proses
persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di Pengadilan Negeri.4
1. Upaya hukum biasa meliputi banding, yang diatur dalam Pasal 233 sampai
dengan Pasal 243 KUHAP dan kasasi, yang diatur dalam Pasal 244 sampai
dengan Pasal 258 KUHAP.
Namun terhadap
putusan hakim tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum berupa:
2. Upaya hukum luar biasa yang meliputi kasasi demi kepentingan hukum
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP dan
peninjauan kembali mana kala para pihak merasa keberatan atas putusan yang
dinyatakan hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP.
4 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif Teoritis dan Praktik, (Bandung: P.T. Alumni, 2008), hlm. 128.
Universitas Sumatera Utara
Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting yang
diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapatlah
dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna bagi
terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum (rechts zekerheids) tentang statusnya
dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut
dalam artian dapat menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding atau
kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak hakim yang
mengadili perkara diharapkan dapat memberikan putusan yang mencerminkan nilai-
nilai keadilan dengan memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa
sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal sesuai dengan kesalahannya.5
Di dalam KUHAP juga dijelaskan bahwa dalam sebuah proses peradilan
pidana dimana sebelum sampai pada tahap pengambilan keputusan oleh hakim maka
terlebih dahulu Jaksa Penuntut Umum harus melengkapi berkas dengan surat
dakwaan dan surat dakwaan tersebut harus memenuhi ketentuan sebagaimana yang
diatur dalam pasal 143 ayat (2), yaitu:
a. Unsur subjektif, berupa identitas lengkap terdakwa tentang nama, tempat dan
tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
5 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik Penyusunan Dan Permasalahannya), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 119.
Universitas Sumatera Utara
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.6
Fungsi utama surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan
menjadi titik tolak landasan pemeriksaan perkara. Pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan di dasarkan pada isi surat dakwaan. Atas landasan surat dakwaan inilah
ketua mejelis hakim memimpin dan mengarahkan jalannya seluruh pemeriksaan baik
yang menyangkut pemeriksaan alat bukti maupun yang berkenaan dengan barang
bukti. Jika penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum menyimpang dari surat
dakwaan, ketua majelis hakim berkewajiban dan berwenang untuk meluruskan
kembali kearah yang sesuai dengan surat dakwaan.
Akan tetapi, agar ketua majelis hakim dapat menguasai jalan pemeriksaan
yang sesuai dengan surat dakwaan harus terlebih dulu memahami secara tepat segala
sesuatu unsur-unsur yang terkandung di dalam pasal tindak pidana yang di dakwakan,
serta terampil mengartikan dan menafsirkan pasal tindak pidana yang bersangkutan.
Oleh karena itu sebelum hakim memulai pemeriksaan perkara di sidang pengadilan,
lebih dulu memahami semua unsur tindak pidana yang didakwakan. Atas landasan
inilah ketua majelis hakim mengarahkan jalannya pemeriksaan sehingga terhindar
memeriksa hal yang berada di luar jangkauan surat dakwaan.7
6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 346.
7 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai seperti yang diatur dalam
pasal 182 ayat (1), tahap proses persidangan selanjutnya adalah penuntutan,
pembelaan dan jawaban lalu kemudian persidangan dilanjutkan ke tahap musyawarah
hakim guna menyiapkan putusan yang akan dijatuhkan pengadilan.
Adapun macam-macam bentuk putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
dalam sidang pengadilan berdasarkan KUHAP dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:
a. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak) sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yaitu pengadilan berpendapat bahwa dari
hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus
bebas.
b. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum
(ontslag van rechtvervolging) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2)
KUHAP yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana.
c. Putusan yang mengandung suatu penghukuman terdakwa, Pasal 193 KUHAP
yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dari macam-macam bentuk putusan yang dijatuhkan oleh hakim di sidang
pengadilan tersebut, maka yang menjadi objek penelitian penulis adalah putusan
bebas yaitu putusan dari Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor:
Universitas Sumatera Utara
3212/Pid.B/2007/PN.Mdn atas nama terdakwa Kohiruddin, seorang buruh bangunan
yang telah dituduh melakukan tindak pidana pencurian bersama dengan teman-
temannya yaitu Andi dan Ari (pada saat itu Andi dan Ari belum tertangkap dan
masuk dalam Daftar Pencarian Orang). Mereka dituduh telah mencuri kabel listrik
milik Tan Thun Sie di Perumahan Harjosari Indah, Jalan Harjosari 1, Kecamatan
Medan Amplas, Kota Medan.
Oleh jaksa penuntut umum kemudian terdakwa didakwa dalam dakwaan
pertama telah melakukan pencurian dengan pemberatan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP yang menyatakan bahwa dengan hukuman
penjara selama-lamanya tujuh tahun, dihukum pencurian dilakukan oleh dua orang
bersama-sama atau lebih. Kemudian dalam dakwaan kedua, terdakwa didakwa telah
melanggar Pasal 480 ke-1e KUHP yaitu dengan penjara selama-lamanya empat tahun
karena sebagai sekongkol, barang siapa yang membeli, menyewa menerima tukar,
menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung,
menjual menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan
sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena
kejahatan.
Dipersidangan, Jaksa penuntut umum telah menghadirkan dua orang saksi
ditambah satu barang bukti berupa 2 (dua) gulungan kecil kabel warna hitam dan
biru. Namun setelah melalui tahapan pemeriksaan di pengadilan ternyata majelis
hakim dalam putusannya Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn menyatakan bahwa
terdakwa kohiruddin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum atau dengan kata lain
terdakwa Kohiruddin diputus bebas (vrijspraak).
Memperhatikan kasus tersebut diatas dikaitkan dengan Pasal 191 ayat (1)
KUHAP yang mengatur tentang putusan bebas dan dikaitkan pula dengan system
pembuktian yang dianut di Indonesia yaitu system pembuktian menurut undang-
undang secara negative sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP maka
hakim dalam menjatuhkan putusan khususnya putusan bebas di dalam pertimbangan
putusannya harus benar-benar memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang
diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-undang juga disebutkan bahwa terhadap semua putusan
pengadilan dapat diajukan upaya hukum baik itu upaya hukum biasa maupun upaya
hukum luar biasa kecuali terhadap putusan bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 244
KUHAP. Artinya untuk putusan bebas tidak dapat diajukan upaya hukum apapun,
namun dalam praktek di lapangan, terhadap putusan bebas tetap saja jaksa penuntut
umum melakukan upaya hukum yaitu upaya hukum biasa berupa kasasi. Hal ini tentu
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, melihat pentingnya dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan khususnya putusan bebas dan adanya upaya
hukum kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang
tidak ada pengaturannya dalam undang-undang, serta hak-hak yang diberikan
undang-undang terhadap terdakwa yang diputus bebas, maka penulis tertarik memilih
Universitas Sumatera Utara
dan menetapkan judul untuk diteliti yaitu “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas
Dalam Perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn”.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, maka
permasalahan yang menjadi pembahasan penelitian dalam tesis dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis hukum terhadap dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan bebas dalam perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn?
2. Upaya hukum apa yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam hal terdakwa
diputus bebas?
3. Apa yang menjadi hak- hak bagi terdakwa yang diputus bebas?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan maka yang menjadi tujuan dari penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui analisis hukum terhadap dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan bebas dalam perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn.
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum
dalam hal terdakwa diputus bebas.
3. Untuk mengetahui hak-hak bagi terdakwa yang telah diputus bebas.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu:
1. Secara teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian lebih lanjut
untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya memberikan
sumbangan pemikiran dibidang ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan
hukum pidana dan hukum acara pidana.
2. Secara praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan kajian bagi semua
kalangan termasuk kalangan akademisi dan penegak hukum untuk menambah
wawasan dibidang ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan putusan bebas
dengan segala akibat hukumnya yang merupakan hasil dari suatu proses
peradilan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) khususnya di
lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan yang membahas tentang “Analisis
Yuridis Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn”
ini belum pernah dilakukan dalam judul dan permasalahan yang sama . Dengan
demikian penelitian ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan
sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Tesis Saudara Binsar Sinambela dengan judul: Putusan Bebas Dalam Perkara
Korupsi (Studi Kasus Pada Pengadilna Tinggi Sumatera Utara, PN. Medan, PN.
Pematang Siantar dan PN. Sidikalang).
2. Tesis Saudari Serenity Deliver Refisis dengan judul: Analisis Hukum Terhadap
Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus No. 63 K/Pid/
2007).
3. Tesis Saudara Lambok Silalahi dengan judul Pencurian Ikan (Ilegal Fishing) di
Perairan Pantai Timur Sumatera Utara (Studi Kasus Putusan PN. Medan No.
1082/Pid.B/2005/PN.Medan).
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori.
Tujuan teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi8, dan suatu kerangka teori harus diuji untuk
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.9
8 Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Azas-Azas, Penyunting: M. Hisyam, (Jakarta: FE UI, 1996), hlm. 203.
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis dari
penulis dan ahli hukum dibidangnya yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritas yang mungkin disetujui atau tidak butir-butir pendapat tersebut setelah
9 Ibid, hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
dihadapkan pada fakta-fakta tertentu yang dapat dijadikan masukan eksternal bagi
penulisan tesis.10
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menyusun dan
mengklasifikasikan atau mengelompokkan penemuan-penemuan dalam sebuah
penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan
penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan
suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan objek yang harus didukung oleh fakta
empiris untuk dapat dinyatakan dengan benar.
11 Hal ini sesuai dengan pendapat Peter
M. Marzuki yang menyatakan bahwa penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori ataupun konsep baru sebagai preskrepsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi12
Bertolak dari uraian di atas maka hal-hal yang perlu dijelaskan dalam
penelitian ini sebagai pisau analisis adalah:
.
1. Teori Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem).
2. Teori Sistem Pembuktian.
3. Teori Tentang Putusan.
1. Teori Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem).
Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana kini telah
menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan
10 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80. 11 M. Solly Lubis, Ibid, hlm. 17. 12 Peter M. Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), hlm. 35.
Universitas Sumatera Utara
kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan system. Mardjono menyatakan
bahwa sistem peradilan pidana adalah system pengendalian kejahatan yang terdiri
dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan
terpidana.13
Pengertian yang lebih umum dari system peradilan pidana dikemukakan oleh
Muladi yang mengatakan bahwa:
“System peradilan pidana adalah merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun jika sifatnya terlalu formal yaitu dilandasi tujuan hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.”14
Dalam perkembangan selanjutnya, Lilik Mulyadi menyatakan bahwa system
peradilan pidana di Indonesia mengenal 5 (lima) institusi sub system peradilan pidana
sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun
2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009
Tentang Perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 ), Lembaga Pemasyarakatan
(UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003).15
Penyelenggaraan sistem peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya
aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan,
penangkapan, penahanan, penuntutan sampai pemeriksaan disidang pengadilan. Atau
dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga
13 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 2.
14 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 1-2.
15 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif, Teoretis dan Praktik, Op.Cit, hlm. 7.
Universitas Sumatera Utara
pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana.
Usaha-usaha ini dilakukan demi untuk mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana,
yaitu:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi kejahatannya.16
Dalam rangka mencapai tujuan dalam peradilan pidana tersebut, masing-
masing petugas hukum (polisi, jaksa, hakim) meskipun tugasnya berbeda-beda tetapi
mereka harus bekerja dalam satu kesatuan system. Artinya, kerja masing-masing
petugas hukum tersebut harus berhubungan secara fungsional. Karena seperti yang
diketahui bahwa penyelenggaraan peradilan tersebut adalah merupakan suatu system,
yaitu suatu keseluruhan terangkai yang terdiri atas unsur-unsur yang saling
berhubungan secara fungsional.
Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya system
peradilan pidana (criminal justice system) menjadi prioritas utama dalam bidang
penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub system-sub
system di dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya kualitas
maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
16 Mardjono Reksodiputro, Hak asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1997), hlm. 84-85.
Universitas Sumatera Utara
Loebby Logman membedakan pengertian system peradilan pidana dengan
proses pidana. Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur atau faktor yang saling
terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa
sehingga sampai tujuan dari system tersebut. Sedangkan proses peradilan pidana
yakni suatu proses sejak seseorang diduga telah melakukan tindak pidana, sampai
orang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah
dijatuhkan padanya.17
Sesungguhnya proses peradilan pidana maupun system peradilan pidana
mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan dengan mekanisme
peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan pidana ditentukan oleh bekerjanya
system peradilan pidana. Tidak berfungsinya salah satu sub system akan mengganggu
bekerjanya sub system yang lain yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses
peradilan.
Dalam hubungannya dengan judul permasalahan penelitian ini, maka Teori
Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) ini dipergunakan untuk
menjelaskan bahwa dalam sebuah proses peradilan pidana itu terdapat beberapa
komponen aparat penegak hokum yaitu polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan
dan advokat yang tergabung dalam system peradilan pidana yang meskipun tugas
berbeda-beda namun mereka harus berkerja dalam kesatuan system demi terwujudnya
keamanan di dalam masyarakat.
17 Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), (Jakarta: Datacom, 2002), hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
2. Teori Sistem Pembuktian
Berdasarkan praktek peradilan pidana, dikenal ada empat macam teori
pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan pemeriksaan
terhadap terdakwa disidang pengadilan, yaitu:18
a. Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (conviction intime)
Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim maka hakim dapat
menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh
suatu peraturan. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim
untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat
bukti berupa keyakinan hakim. Artinya jika pada pertimbangan hakim sesuai
dengan keyakinan yang timbul dari hati nuraninya menganggap terbukti suatu
perbuatan yang dilakukan terdakwa maka terhadap diri terdakwa dapat dijatuhkan
putusan pidana.
Keyakinan hakim pada teori ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal
lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim
tersebut.19 Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan
kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Seolah-olah sistem ini menyerahkan
sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata. Sistem ini dianut
oleh peradilan juri di Perancis.20
18 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 186
19 Rusli Muhammad, Ibid, hlm. 187. 20 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 252.
Universitas Sumatera Utara
b. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis
(Conviction Raisonnee).
Sistem pembuktian ini adalah system pembuktian yang tetap menggunakan
keyakinan hakim tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan yang
masuk akal atau rasional.21 Tegasnya, keyakinan hakim dalan teori ini harus
dilandasi alasan-alasan yang dapat diterima, artinya keyakinan hakim harus
mempunyai dasar-dasar yang logis dan benar-benar dapat diterima akal, tidak
semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk
akal.22
c. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif.
Menurut teori ini, system pembuktian bergantung kepada sebagaimana
disebutkan dalam undang-undang atau dengan kata lain undang-undang telah
menentukan tentang adanya alat-alat bukti yang dapat dipakai hakim, cara
bagaimana hakim harus mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersebut dan
bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang
sedang diadili.
d. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke
Stelsel).
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative merupakan
gabungan antara teori system pembuktian menurut undang-undang secara positif
21 Rusli Muhammad, Op.Cit, hlm. 187. 22 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 277.
Universitas Sumatera Utara
dengan system pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime) yaitu
bahwa pembuktian selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di
dalam undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim.
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative ini memiliki dua
komponen, yaitu pertama bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan yang kedua bahwa
pembuktian tersebut harus juga di dasarkan pada keyakinan hakim dan keyakinan
tersebut harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.23
Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Maka berdasarkan Pasal
183 KUHAP tersebut nyatalah bahwa system pembuktian yang dianut KUHAP
adalah system pembuktian menurut undang-undang secara negative.
Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut dapat diketahui bahwa adanya dua
alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi
seseorang tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa telah
bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya adanya keyakinan pada
23 M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 279.
Universitas Sumatera Utara
hakim saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak didukung oleh sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah.
Sistem pembuktian yang dianut KUHAP sebagaimana telah disebutkan diatas
adalah system pembuktian menurut undang-undang yang bersifat negatif
(Negatief wettelijke stelsel) yaitu:24
a. Disebut wettelijke atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian,
undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti
yang harus ada.
b. Disebut negatif karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus
menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa, apabila jenis-jenis dan banyaknya
alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada dirinya, bahwa suatu
tindak pidana itu benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah
melakukan tindak pidana tersebut.
Terhadap sistem pembuktian yang dianut KUHAP tersebut, oleh D. Simons
dinyatakan sebagai pembuktian berganda. Yang berganda itu adalah keyakinan
hakim, yang keyakinan itu sendiri berpatokan dasar kepada undang-undang.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, system ini hendaklah dipertahankan di Indonesia,
agar setiap hakim dalam memutuskan kesalahan tetap didasarkan kepada
keyakinan atas kesalahan terdakwa itu dan agar hakim terikat untuk menyusun
24 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Dan Yurisprudensi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 408-409.
Universitas Sumatera Utara
keyakinannya sendiri berdasarkan patokan-patokan tertentu yang harus diikutinya
dalam melaksanakan pengadilan.25
Dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa menurut system
pembuktian yang dianut KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari alat-
alat bukti yang diajukan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum, sepenuhnya
diserahkan pada majelis hakim.
Menurut Prof. van Bemmelen26
dalam putusan hakim juga perlu dijelaskan
mengenai alasan-alasan yang telah dipakai oleh hakim sebelum sampai pada
putusannya, sehingga orang yang membaca putusan tersebut dapat mengetahui
alasan-alasan yang telah dipakai oleh hakim, dan mampu untuk menarik suatu
kesimpulan yang sama seperti yang telah ditarik oleh hakim.
3. Teori Tentang Putusan
Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah
atau tidak, peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan
berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan.
Tujuan lembaga peradilan di Indonesia adalah untuk menegakkan hukum
demi keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, baik
25 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 244.
26 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op. Cit, hlm. 410.
Universitas Sumatera Utara
bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa dan Negara bahkan keadilan yang
dimaksud adalah keadilan demi Tuhan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana
kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tentram, tertib dan damai. Hal ini
tercermin dari setiap keputusan hakim di Indonesia, yang diawali dengan ungkapan
sangat religious, yakni Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa27
Menurut sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan
yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus bersifat aktif, hakim harus bertanya dan
memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasehat hukumnya
untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua ini
dengan maksud menemukan kebenaran materil. Hakimlah yang bertanggungjawab
atas segala yang diputuskannya.
.
Untuk menjamin hal tersebut maka hakim diberi kekuasaan yang bebas dan
mandiri agar putusan-putusannya tidak mudah diintevensi oleh kekuatan diluar
pengadilan seperti penguasa dan kekuatan lainnya dalam masyarakat seperti kekuatan
politik dan ekonomi. Hal ini dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia, antara lain Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan
perubahan terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-undang
tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 sebagai
perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985.
27 Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim Dan Putusannya: Suatu Pendekatan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudensi) Kasus Hakim Bismar Siregar, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
Harry C Bredemeire memandang bahwa tugas pengadilan adalah untuk
membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dan untuk mewujudkan tugas
tersebut, pengadilan membutuhkan tiga masukan (input) yaitu:
1. Pengadilan membutuhkan analisis tentang hubungan sebab akibat, antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan diderita dari akibat putusan tersebut.
2. Pengadilan membutuhkan evaluasi tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan.
3. Pengadilan membutuhkan suatu kemauan para pihak untuk menggunakan pengadilan untuk menyelesaikan konflik.28
Seorang mantan Hakim Agung Amerika Serikat yang sangat tersohor
Benjamin N. Cardozo, mengakui bahwa:
Putusan hakim itu lahir bukan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan saja tetapi kombinasi antara fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dengan perilaku atau moralitas dari hakim itu sendiri. Oleh karena itulah Cardozo menyatakan bahwa hukum buatan hakim alias putusan hakim sebagai salah satu dari realitas-realitas kehidupan yang ada. Jadi, hukum ialah perilaku dan dalam hal ini ialah perilaku hakim tertentu yang belum tentu persis sama dengan perilaku hukum hakim lain, meskipun menghadapi kasus yang sejenis dan menggunakan ketentuan hukum yang sama.29
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari menegaskan bahwa ada dua
faktor utama yang mempengaruhi putusan hakim, yakni:
1. Faktor internal adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang datangnya dari dalam diri hakim itu sendiri yaitu yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM), mulai dari rekrutmen/seleksi untuk diangkat menjadi hakim, pendidikan hakim dan kesejahteraan hakim.
28 Yesmil Anwar dan Adang, Op. Cit, hlm. vi. 29 Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang
Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 140-141.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor eksternal yakni segala sesuatu yang mempengaruhi putusan hakim yang berasal dari luar diri hakim, antara lain: a. Peraturan perundang-undangan. b. Adanya intervensi terhadap proses peradilan. c. Hubungan hakim dengan penegak hukum lain. d. Adanya berbagai tekanan. e. Faktor kesadaran hukum, dan f. Faktor sistem pemerintahan30
.
Yahya Harahap31
a. Faktor subjektif yakni cara pandang atau sikap seorang hakim dalam memandang suatu perkara pidana, yang terdiri dari:
lebih merinci lagi faktor internal sebagaimana yang
disebutkan oleh Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari tersebut ke dalam
beberapa faktor yaitu:
1. Sikap perilaku yang apriori. Adanya sikap seorang hakim yang sejak semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana.
2. Sikap perilaku emosional. Putusan pengadilan akan dipengaruhi perangai seorang hakim. Hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula dengan putusan dari seorang hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan hakim yang sabar.
3. Sikap sombong atau congkak atas kekuasaannya (Arrogance Power). Sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuasaan”. Di sini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain (jaksa, pembela apa lagi terdakwa).
4. Moral. Amat berpengaruh adalah moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut terutama pada saat memeriksa serta memutuskan suatu perkara.
b. Faktor Objektif yaitu faktor yang berasal dari dalam diri hakim yang dipengaruhi oleh:
30 Antonius Sudirman, Op .Cit, hlm. 92-93. 31 Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara
Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hlm. 117-118.
Universitas Sumatera Utara
1. Latar belakang budaya. Kebudayaan, agama, pendidikan seorang hakim tentu ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Meskipun latar balakang hidup budaya bukan merupakan faktor yang menentukan, tetapi faktor ini setidak-tidaknya ikut mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu keputusan.
2. Profesionalisme. Kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi keputusannya. Perbedaan suatu putusan pengadilan sering dipengaruhi oleh profesionalisme hakim tersebut.
Syarat utama bagi keputusan hakim itu adalah bahwa keputusan itu haruslah
beralasan sehingga dapat dipertanggugngjawabkan, bukan saja terhadap yang
berkepentingan langsung, yaitu penuntut umum dan si terdakwa tetapi juga terhadap
masyarakat umumnya. Dengan keputusannya itu hakim harus menunjukkan bahwa ia
tidak mengambil keputusan dengan sewenang-wenang, bahwa peradilan yang
ditugaskan kepadanya sebagai anggota dari kekuasaan kehakiman, selalu dijunjung
tinggi dan dipelihara sebaik-baiknya, sehingga kepercayaan umum akan
penyelenggaraan peradilan yang layak tidak akan sia-sia belaka, andaikata hakim
tidak menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk
memutuskan berdasarkan hukum32
Lilik Mulyadi
.
33
a. Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk
umum.
menyebutkan bahwa pada hakikatnya putusan hakim
merupakan:
32 Yesmil Anwar dan Adang, Op. Cit, hlm. 221-222. 33 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya,
(Bandung: PT. Alumni, 2007), hlm. 203.
Universitas Sumatera Utara
Pada konteks ini, putusan yang diucapkan hakim karena jabatannya, artinya
hakim diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengadili
perkara (Bab I Pasal 1 angka 8 KUHAP). Putusan hakim itu kemudian haruslah
diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP,
Pasal 13 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
b. Putusan dijatuhkan setelah melalui proses atau tahapan-tahapan persidangan dan
proses administrasi menurut hukum acara pidana pada umumnya.
Hanya putusan hakim yang melalui proses atau tahapan-tahapan dalam
persidangan dan proses administrasi menurut hukum acara pidana pada umumnya
saja yang mempunyai kekuatan mengikat dan sah. Pengertian proses atau tahapan
persidangan disini, adalah proses hakim dalam menangani perkara pidana, mulai
tahap menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum, pemeriksaan identitas
terdakwa, pembacaan dakwaan, keberatan/eksepsi, putusan sela/tussen vonis,
pemeriksan saksi-saksi dan terdakwa kemudian pemeriksaan dinyatakan selesai
lalu tuntutan pidana, pembelaan/pledoi, replik, duplik, re-replik, re-duplik,
musyawarah hakim dan pembacaan putusan.
Sedangkan untuk proses administrasi dimulai dari tahap proses administrasi
pelimpahan perkara, pengagendaan dan pemberian nomor perkara, di daftarkan
surat kuasa khusus di kepaniteraan apabila terdakwa didampingi oleh penasehat
hukum/advokat dan sampai penetapan mejelis hakim/hakim tunggal yang akan
menyidangkan perkara itu.
Universitas Sumatera Utara
c. Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan
hukum.
Pada hakikatnya, putusan hakim dalam perkara pidana amarnya hanya
mempunyai tiga sifat yaitu pemidanaan apabila hakim/pengadilan berpendapat
bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan (Pasal 193 ayat(1) KUHAP)
kemudian putusan bebas apabila hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
disidang, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas
perbuatan yang didakwakan (Pasal 191 ayat(1) KUHAP) dan putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
d. Putusan dibuat dalam bentuk tertulis.
Dalam praktik, putusan hakim haruslah dibuat dalam bentuk tertulis.
Persyaratan bentuk tertulis ini secara tersirat tercermin dari ketentuan Pasal 200
KUHAP yang menyatakan bahwa surat keputusan ditandatangani oleh hakim dan
panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Jadi tentulah jelas apabila
dilakukan penandatanganan harus dibuat dalam bentuk tertulis.
Selain itu, juga melalui bentuk tertulis dimaksudkan agar putusan tersebut
dapat diserahkan kepada yang berkepentingan, dikirim kepada Pengadilan Tinggi/
Mahkamah Agung Republik Indonesia apabila yang bersangkutan melakukan
Universitas Sumatera Utara
upaya hukum banding atau kasasi, bahkan publikasi dan sebagai arsip yang
dilampirkan dalam berkas perkara. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor. 5/1959 Tanggal 20 april 1959 dan Nomor: I/1962
Tanggal 7 Maret 1962 ditegaskan bahwa pada waktu keputusan
diucapkan/dibacakan disidang pengadilan maka putusan harus sudah siap, yang
segera setelah diucapkan akan diserahkan kepada panitera untuk diselesaikan
lebih lanjut.
e. Putusan hakim tersebut bartujuan untuk menyelesaikan perkara.
Dengan diucapkannya atau dibacakannya putusan hakim di sidang pengadilan
maka secara formal perkara tersebut ditingkat Pengadilan Negeri telah selesai.
Oleh karena itu, status dan langkah terdakwa pun menjadi jelas apakah menerima
putusan, menolak putusan untuk melakukan upaya hukum banding/kasasi atau
melakukan grasi. Oleh karena itu, diharapkan putusan hakim mencerminkan nilai-
nilai keadilan dan kebenaran agar dapat dipertanggungjawabkan kepada pencari
keadilan, ilmu hukum itu sendiri, hati nurani hakim dan masyarakat pada
umumnya serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah
dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Dengan demikian untuk sahnya suatu putusan pengadilan harus memenuhi syarat-
syarat:
1. Memuat hal-hal yang diwajibkan (Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
2. Di ucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu
putusan pemidanaan oleh hakim dan menurut ketentuan ayat (2) salah satu dari
ketentuan tersebut tidak dipenuhi kecuali yang tersebut pada huruf g dan I maka
putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah:
a. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tempat lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
c. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
d. Pertimbangan yang di susun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana sebagaimana dalam surat tuntutan.
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsure dalam
rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang
dijatuhkan.
Universitas Sumatera Utara
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya
kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutuskan
dan nama panitera.
Selanjutnya dalam Pasal 199 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa surat
putusan bukan pemidanaan memuat:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat (1) kecuali hurif e, f dan
h.
b. Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar putusan.
c. Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.
Leden Marpaung menyatakan bahwa hal-hal tersebut yang harus dinyatakan
sebagai syarat mutlak suatu putusan sedang hal-hal lain misalnya dengan hadirnya
terdakwa, tidak merupakan syarat mutlak. Dengan hadirnya salah seorang terdakwa
saja dari beberapa terdakwa maka putusan tersebut telah sah. Demikian halnya
dengan pengecualian yang mengadili terdakwa secara in absensia (tanpa hadirnya
terdakwa) atau pengadilan yang memutuskan secara verstek, putusan tetap sah.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian pakar yang mengatakan kehadiran terdakwa sebagai syarat
sah/tidaknya putusan adalah keliru.34
2. Kerangka Konsepsi
Pada bagian kerangka konsepsi akan dijelaskan hal-hal yang berkenaan
dengan konsep yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian tesis ini yang
merupakan defenisi operasional untuk memberikan pegangan bagi penulis sebagai
berikut:
a. Putusan pengadilan sebagaimana yang dijelaskan pada Bab I Tentang Ketentuan
Umum Pasal 1 angka 11 KUHAP adalah pernyataan hakim yang diucapkan
dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal ini serta merta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
b. Putusan bebas (vrijspraak) dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari
hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus
bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).
c. Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-
undang untuk mengadili. Yang dimaksud dengan mengadili adalah serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara pidana
34 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 148.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak pada sidang pengadilan dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.35
d. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak
terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 12 KUHAP).
e. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim(Pasal 1 angka 6 KUHAP).
f. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP).
G. Metode Penelitian.
Metode penelitian berisi uraian tentang metode atau cara yang penulis
gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian berfungsi sebagai
pedoman dan landasan tatacara dalam melakukan operasional penelitian untuk
menulis suatu karya ilmiah yang penulis lakukan. Sesuai dengan permasalahan yang
35 Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Universitas Sumatera Utara
diangkat dan untuk menjawab tujuan penelitian, maka dalam metode penelitian ini
langkah-langkah yang dipergunakan sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normative,
penelitian ini menurut Ronald Dwokin dikenal dengan istilah penelitian doktrinal
yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku, maupun
hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses peradilan.
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini
adalah deskriptif analitis36
2. Metode Pengumpulan Data
, yaitu bahwa penelitian ini menggambarkan suatu
peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta
menganalisis fakta secara cermat tentang dasar-dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan bebas dalam sebuah perkara pidana. Penelitian ini
menggunakan metode pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara melakukan penelaahan terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber
dari data primer maupun data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan
pengambilan data dari lapangan sehingga antara yang seharusnya (das sollen) dan
kenyataan (das sein) saling memiliki keterkaitan.
36 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara (interview) kepada
informen atau nara sumber diantaranya:
1. Jaksa di Kejaksaan Negeri Medan.
2. Kuasa Hukum terdakwa yang telah diputus bebas di Pengadilan Negeri Medan.
Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelitian
kepustakaan (library research). Adapun data sekunder mencakup:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti buku teks, hasil-hasil penelitian dan
sebagainya.
3. Analisis Data
Salah satu ciri dari penelitian hukum normative adalah menganalisis data
secara kualitatif. Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data kemudian data
dikelompokkan sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan. Data tersebut
dianalisis dengan melakukan interpretasi-interpretasi atau ditafsirkan dan selanjutnya
hasil penafsiran dideskripsikan kemudian disimpulkan secara deduktif.
Universitas Sumatera Utara