Upload
truonghanh
View
224
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Televisi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
sehari-hari masyarakat. Televisi menyita perhatian dan menjadi primadona
dalam setiap lapisan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Gerbner dan Conolly dalam Ashadi Siregar yang menyebutkan bahwa televisi
menyita waktu yang lebih banyak serta perhatian dari lebih banyak orang
dibandingkan dengan media lainnya sehingga muncul istilah “Television as
New Religion”.1 Televisi merupakan sarana hiburan yang murah dan dekat
karena disajikan di ruang-ruang keluarga kita. Televisi juga menjangkau
khalayak luas yang heterogen sekaligus. Semua orang dapat dengan mudah
mengakses informasi serta hiburan yang tersaji di dalam layar televisi. Oleh
karena sifat-sifatnya tersebut, televisi dapat melakukan penetrasi sehingga
mampu menggeser sumber-sumber nilai sosial dan perilaku masyarakat yang
mengkonsumsi media televisi. Meminjam istilah Garin Nugroho, televisi
adalah sastra kita hari ini.2 Tingkat penetrasi televisi yang tinggi menyebabkan
televisi telah menjadi referensi tunggal, satu-satunya acuan bagi masyarakat
saat ini.
Di Indonesia, setidaknya terdapat sepuluh stasiun televisi swasta
komersial, yaitu TransTV, Trans7, MNCTV, RCTI, GlobalTV, Indosiar,
SCTV, ANTV, TVOne, dan MetroTV yang dimiliki oleh lima kelompok
pemilik swasta.3 Mereka adalah CT Corp (TransTV dan Trans7), MNC Group
(MNCTV, RCTI, dan GlobalTV), Elang Mahkota Teknologi (Indosiar dan
1 Ashadi Siregar, “Menyingkap Media Penyiaran: Membaca Televisi Melihat Radio”,
(Yogyakarta: LP3Y, 2001), hal. 2. 2 Garin Nugroho, “Televisi sebagai Sastra Rakyat Hari Ini”, Kompas, 26 Agustus 1990. 3 Yanuar Nugroho dan Sofie Shinta Syarief, “Melampaui Aktivisme Click? Media Baru dan Proses
Politik dalam Indonesia Kontemporer”, (Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung Indonesia, 2012), hal.
34-35, terarsip dalam http://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/10064.pdf, diakses pada 6
Oktober 2014 pukul 15.27.
2
SCTV), Visi Media Asia (ANTV dan TVOne), serta Media Group (MetroTV).
Stasiun-stasiun televisi tersebut tentu memiliki karakteristik serta kebijakan
programming mereka masing-masing. Menurut Ashadi Siregar, kebijakan
programming memang merupakan sebuah landasan bagi sebuah stasiun televisi
untuk membangun penampilan sang media televisi tersebut. 4Program acara
merupakan sarana eksistensi sebuah media televisi.5 Perbedaan antara satu
televisi dengan televisi yang lainnya ditentukan oleh kebijakan programming
di setiap stasiun-stasiun televisi tersebut. Dengan adanya stasiun televisi dalam
jumlah yang cukup banyak, program acara serta konten yang disiarkan stasiun-
stasiun televisi kepada publik seharusnya juga lebih beragam.
Namun, hal tersebut tidak terjadi di Indonesia. Saat ini televisi
menayangkan program acara dengan konten yang seragam.6 Ribuan saluran
media membawa konten yang duplikatif meskipun dikemas dalam program
yang berbeda-beda.7 Stasiun-stasiun televisi seolah seperti seorang pedagang
dimana dia hanya menjual barang dagangan yang sedang dicari, laku, dan
dijual di toko sebelah. Pertimbangan utamanya adalah uang.8
Dengan
pertimbangan tersebut, stasiun-stasiun televisi hanya menayangkan program-
program acara yang ber-rating tinggi saja. Rating memang sangat penting
dibanding hal lainnya, sebagai penarik iklan yang membuat industri tetap
bertahan.9
Pemilik media televisi cenderung latah melihat keberhasilan
pencapaian rating suatu program acara di stasiun televisi lain dan kemudian
menirunya agar dapat menarik pengiklan dalam jumlah yang besar. Pemain
baru dalam industri televisi yang inovatif pun seringkali harus mengikuti
konten dan pengemasan program yang ada atau bahkan menggabungkan diri
dengan perusahaan media besar yang sudah ada yang pada akhirnya membuat
mereka kurang inovatif.10
4 Ashadi Siregar, Op. Cit., hal. 12. 5 Jonathan Bignell, “An Introduction to Television Studies”, (London: Routledge, 2004), hal. 15. 6 Yohanes Widodo, “Wajah Pluralisme di Televisi Kita”, Bernas Jogja, 24 Agustus 2010. 7 Yanuar Nugroho dan Sofie Shinta Syarief, Op. Cit., hal. 36. 8 Yohanes Widodo, Op. Cit. 9 Yanuar Nugroho dan Sofie Shinta Syarief, Op. Cit., hal. 36. 10 Ibid.
3
Ketika program acara “Yuk Keep Smile” sedang naik daun di TransTV,
ANTV dengan cepat memproduksi acara serupa dengan nama “Campur-
Campur”. Begitu pula saat “Opera Van Java” di Trans7 menuai sukses. Stasiun
televisi lain pun tidak mau kalah untuk membuat acara yang sama, lengkap
dengan segala perabot dan tetek bengek dari styrofoam yang bisa dipukulkan
ke pemain lainnya. Beberapa tahun lalu pun terjadi pula fenomena yang serupa,
saat tayangan misteri menjadi favorit bagi para pemirsa di Indonesia. Trans7
muncul dengan “Dunia Lain”, disusul dengan MNCTV – saat itu masih
bernama TPI – dengan “Uka-Uka”-nya, serta Indosiar yang tiba-tiba mengubah
arah sebuah cerita sinetron remaja menjadi sinetron berbau misteri.
Ketika para pemilik stasiun televisi menerjunkan diri ke dunia politik,
lagi-lagi stasiun televisi milik mereka dijadikan kendaraan bagi kepentingan
politik mereka. Contoh nyata yang terjadi di Indonesia adalah ketika Surya
Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem sekaligus pemilik MetroTV, dan Aburizal
Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar sekaligus pemilik TVOne, menggunakan
media yang mereka miliki sebagai sarana kampanya politik untuk
mempengaruhi opini publik.11
Iklan-iklan politik muncul secara sembunyi-
sembunyi maupun terang-terangan. Frekuensi publik yang seharusnya dikelola
bagi kepentingan masyarakat perlahan berubah menjadi frekuensi privat yang
isinya harus sesuai dengan kebutuhan serta kepentingan pribadi sang pemilik
stasiun televisi. Seperti yang dikatakan oleh J. Herbert Altschull, “The content
of the media always reflect the interest of those who finance them.”12
Televisi
telah menjadikan kepentingan publik sebagai komoditas ekonomi sekaligus
politik pemilik media.13
NET TV, sebuah stasiun televisi baru yang diluncurkan pada 26 Mei
2013 lalu, melalui sang pendiri, Wishnutama, menyatakan dirinya hadir karena
didasari oleh program acara televisi di Indonesia yang semakin lama semakin
11 Ibid. 12 J. Herbert Altschull, “Agents of Power: Role of The Media in Human Affairs”, (New York:
Longman, 1984), hal.254. 13 Iswandi Syahputra, “Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam
Industri Televisi”, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hal. 14.
4
tidak seimbang.14
Wishnutama ingin masyarakat Indonesia memperoleh hal
yang positif dari televisi sebab tayangan yang beredar belakangan semakin hari
semakin kurang berkualitas.15
Televisi saat ini, dari segi konsep maupun
kualitas produksi memang kurang inovatif karena bergantung pada tinggi
rendahnya rating. NET TV dengan tagline “Revolusi Media” ingin menjawab
kebutuhan pemirsa dengan menghadirkan program acara yang memiliki value,
memiliki makna, dan bukan sekedar sensasi belaka.16
NET TV berusaha untuk
memberikan tayangan terbaik dan bermutu bagi penonton.17
Hal ini tercermin
dari program-program acara di NET TV yang berbeda dengan tayangan televisi
yang sudah ada.18
Visi NET TV yakni menyajikan konten program yang
kreatif, inspiratif, informatif, sekaligus menghibur.19
Tayangan berita di NET
TV wajib menghibur, dan sebaliknya, tayangan hiburan tetap harus
mengandung fakta, bukan rumor maupun gosip.20
Salah satu program acara NET TV yang konsepnya cukup berbeda
dengan tayangan televisi yang sudah ada adalah program acara “Lentera
Indonesia”. Program acara ini menyoroti kondisi pendidikan di daerah-daerah
terpelosok di seluruh Indonesia. Sejauh yang peneliti temukan, belum banyak
terdapat program acara dokumenter televisi yang bertema pendidikan yang
dapat dijumpai di layar televisi Indonesia, salah satunya adalah “Bocah
Petualang” (Trans7). Tema program acara dokumenter televisi di Indonesia
cenderung fokus pada tema pariwisata dan alam, seperti program acara “Jejak
Petualang” (Trans7), “Explore Indonesia” (KompasTV), “Journey”
(MetroTV), “Crocodile Hunter” (AnTV), dan lain sebagainya. NET TV pun
membuat program acara dokumenter bertema pendidikan untuk memenuhi
14 Satelit News, “Hari-Hari Wishnutama Kusubandio, CEO PT NET Mediatama Indonesia”,
Radar Tangerang Satelit News, 7 Juli 2014, terarsip dalam http://satelitnews.co.id/?p=35207,
diakses pada 7 Oktober 2014 pukul 10.43. 15 Ibid. 16 Ibid. 17 Ira, “Sosialisasi Visi Misi, Komisioner KPI Pusat Kunjungi Kantor NET”, KPI, 15 Januari 2014,
terarsip dalam http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/31818-sosialisasi-
visi-misi-komisioner-kpi-pusat-kunjungi-kantor-net, diakses pada 7 Oktober 2014 pukul 10.49. 18 Netmedia, “About Net”, terarsip dalam http://www.netmedia.co.id/about, diakses pada 7
Oktober 2014 pukul 10.47. 19 Ibid. 20 Ibid.
5
selera penggemar program acara dokumenter bertema pendidikan dengan
memproduksi program acara “Lentera Indonesia”.
Dalam menjalankan proses produksi sebuah program acara televisi,
stasiun televisi perlu melakukan pengelolaan atau manajemen produksi
program. Begitu pula program acara “Lentera Indonesia”. Program acara ini
dirancang sesuai dengan prosedur proses produksi program acara yang
disesuaikan dengan visi serta misi NET TV. Menurut George dan Jones,
manajemen merupakan sebuah proses perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan dan pengawasan sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi
secara efektif dan efisien.21
Keempat fungsi manajemen tersebut dapat
diterapkan dalam proses produksi program acara televisi yang terdiri dari
beberapa tahap, yakni 1) development, 2) pre-production, 3) production, dan 4)
post-production.22
Meskipun demikian, tidak semua stasiun televisi memiliki standar
operasional prosedur yang sama antara satu dengan yang lainnya. Keberhasilan
proses produksi program acara televisi bergantung pada kualitas sumber daya
yang bekerja pada keempat level produksi program acara tersebut. Oleh karena
itu, manajemen produksi yang baik mutlak diperlukan pada sebuah tim
produksi program acara di televisi. Terlebih, program acara yang diproduksi
merupakan program acara yang berorientasi pendidikan yang merupakan hasil
kerja sama antara stasiun televisi dengan organisasi-organisasi sosial yang
peduli akan pendidikan. Untuk menyatukan visi dan misi kedua organisasi
yang berlainan satu dengan yang lainnya tersebut, dimana stasiun televisi harus
mendapatkan profit dan organisasi sosial harus mampu memberikan
pendidikan bagi masyarakat, diperlukan sebuah manajemen produksi yang
berbeda dengan manajemen produksi program acara lainnya.
Proses produksi setiap program acara televisi pun memiliki
karakteristiknya masing-masing, termasuk juga program acara dokumenter.
21 Jennifer M. George dan Gareth R. Jones, “Contemporary Management: Creating Value in
Organization, 4th Edition”, (USA: McGraw-Hill, 2006), hal. 5. 22 Jonathan Bignell, Op. Cit., hal. 136.
6
Dokumenter televisi disuguhkan dengan suatu gaya bercerita tertentu23
yang
menampilkan suatu peristiwa secara mendalam dan luas, dari mulai sebab
hingga akibat sebuah peristiwa yang diketengahkan sebagai isi, dengan
kemasan artistik.24
Hal itulah yang mendorong peneliti untuk mengetahui lebih
dalam manajemen serta proses produksi program acara “Lentera Indonesia”
berformat dokumenter bertema pendidikan yang dijalankan oleh divisi news
NET TV. Peneliti ingin mengetahui proses yang diterapkan oleh tim produksi
program acara “Lentera Indonesia” dalam mengemas tema pendidikan yang
menjadi fokus liputan program acara tersebut.
Dalam beberapa penelitian terdahulu mengenai manajemen produksi
program acara televisi pun tidak banyak terdapat penelitian yang membahas
tentang produksi program acara televisi bertema pendidikan yang bekerja sama
dengan organisasi atau lembaga sosial yang peduli akan tema tersebut.
Penelitian tentang manajemen produksi program berformat dokumenter televisi
juga sangat jarang ditemukan.Penelitian yang berjudul Manajemen Produksi
Feature Televisi Swasta: Studi Kasus Produksi Feature “Cabe Rawit” Divisi
Pemberitaan Liputan 6 SCTV berfokus pada tema ekonomi bisnis, bukan
pendidikan, dimana Divisi Pemberitaan Liputan 6 SCTV bekerjasama dengan
sebuah LSM bernama Swisscontact untuk memproduksi program acara yang
mengangkat kisah perjuangan pelaku UKM yang ada di Indonesia25
. Penelitian
ini juga mendeskripsikan keseluruhan aktivitas manajemen produksi yang
terdiri atas proses development, proses pre-production, proses production, dan
proses post-production, namun formatnya berbeda, yakni format feature, bukan
dokumenter.26
Program “Cabe Rawit” pun hanya berdurasi 5-7 menit, berbeda
dengan program “Lentera Indonesia” yang berdurasi 25-30 menit. Selain itu,
23 Gaya bercerita atau gaya bertutur dalam sebuah karya dokumenter sangat beragam. Beberapa
contoh gaya bertutur yang sering dipakai di Indonesia, antara lain laporan perjalanan, sejarah,
potret atau biografi, perbandingan, kontradiksi, ilmu pengetahuan, nostalgia, rekonstruksi, investigasi, association picture story, buku harian, dan dokudrama. (Ayawaila, 2008: 37-38) 24 Gerzon R. Ayawaila, “Dokumenter: Dari Ide sampai Produksi”, (Jakarta: FFTV-IKJ Press,
2008), hal. 26. 25 Lidwina Mutia Sadasari, “Manajemen Produksi Feature Televisi Swasta: Studi Kasus Produksi
Feature “Cabe Rawit” Divisi Pemberitaan Liputan 6 SCTV”, (Skripsi yang tidak dipublikasikan,
Universitas Gadjah Mada: 2009), hal. 5. 26 Ibid., hal. 66.
7
crew teknis yang terlibat dalam proses pengambilan gambar dalam program
“Cabe Rawit” hanya terdiri atas satu orang videojournalist saja, berbeda
dengan program “Lentera Indonesia” yang melibatkan production assistant,
video journalist, dan reporter.
Pada penelitian lainnya yang berjudul Manajemen Produksi Serial
Animasi 3D-Live Shoot Aksi Didi Tikus: Studi Kasus Produksi Serial Animasi
3D “Aksi Didi Tikus” oleh PixelEfekt untuk MNCTV berfokus pada bagaimana
sebuah program animasi diproduksi, bukan berfokus pada bagaimana
pendidikan itudikemas meskipun menurut PixelEfect program acara tersebut
diperuntukkan sebagai media hiburan sekaligus media pendidikan.27
Program
“Aksi Didi Tikus” pun berformat kartun. Selain itu, manajemen produksi
program “Aksi Didi Tikus” dilaksanakan oleh sebuah production house di luar
struktur organisasi sebuah stasiun televisi, berbeda dengan program “Lentera
Indonesia” yang mana manajemen produksinya dilaksanakan oleh divisi news
NET TV. Sumber daya manusia yang ada dalam PixelEfekt sangat minim,
dimana produser merangkap sebagai penulis skenario dan posisi off-line editor
hanya diisi oleh freelancer28
. Hal ini berbeda dengan sumber daya manusia
yang ada dalam tim produksi program “Lentera Indonesia”, dimana satu orang
crew hanya memiliki satu posisi jabatan saja dan tidak terdapat freelancer
editor di dalamnya.29
Pada penelitian di luar negeri pun, sejauh yang peneliti ketahui, belum
terdapat penelitian yang berfokus pada manajemen produksi program
dokumenter pendidikan. Penelitian yang peneliti jumpai, yakni penelitian yang
berjudul Television Production: Managing the Technology hanya
mendeskripsikan proses produksi program acara televisi secara umum, seperti
27 Nuansa Intifada Aryani, “Manajemen Produksi Serial Animasi 3D-Live Shoot Aksi Didi Tikus:
Studi Kasus Produksi Serial Animasi 3D “Aksi Didi Tikus” oleh PixelEfekt untuk MNCTV”,
(Skripsi yang tidak dipublikasikan, Universitas Gadjah Mada: 2014), hal. 11. 28 Ibid., hal. 103. 29 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ertina Priska, PR NET TV Bagian Community
Development.
8
perkembangan teknologi televisi30
, deskripsi pekerjaan tiap-tiap posisi yang
tergabung dalam tim produksi program acara televisi31
, apa saja yang harus
dipersiapkan dalam proses pre-production32
, peralatan yang digunakan dan
teknik serta aturan yang berlaku saat proses pengambilan gambar dalam proses
production33
, serta apa saja yang harus dilakukan dalam proses post-
production34
. Tidak ada contoh kasus program acara televisi yang dibahas
dalam penelitian ini.
Oleh karena peneliti belum menemukan penelitian yang membahas
mengenai manajemen produksi program televisi berformat dokumenter yang
bertema pendidikan, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian
mengenai manajemen produksi yang diterapkan oleh divisi news NET TV
dalam mengemas tema pendidikan yang menjadi fokus dalam program acara
dokumenter “Lentera Indonesia” yang bekerja sama dengan organisasi-
organisasi sosial yang peduli terhadap isu pendidikan.
Salah satu pilar yang menentukan kualitas tayangan televisi adalah
bagaimana sebuah tayangan dikemas melalui sebuah proses serta manajemen
produksi sehingga aspek keefektifan dan keefisienan output-nya dapat diukur.
Berdasarkan karakteristik dan keunggulan program acara “Lentera Indonesia”
yang telah disebutkan sebelumnya, peneliti ingin mengetahui bagaimana
manajemen produksi yang dijalankan dalam program acara dokumenter
bertema pendidikan “Lentera Indonesia” di NET TV, khususnya divisi news
NET TV, bagaimana cara mengemas tema pendidikan yang menjadi fokus
utamanya, serta relasi tim produksi program acara tersebut dengan lembaga-
lembaga sosial yang peduli terhadap isu pendidikan di Indonesia.
30 Evgenia Molchina, “Television Production: Managing the Technology”, (Skripsi yang tidak
dipublikasikan, University of Applied Science: 2012), hal. 2-5. 31 Ibid., hal. 5-9. 32 Ibid., hal. 10-17. 33 Ibid., hal. 18-39. 34 Ibid., hal. 40-42.
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana
manajemen produksi yang diterapkan oleh divisi news NET TV untuk
mengemas tema pendidikan dalam program acara dokumenter “Lentera
Indonesia”?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen
produksi yang dijalankan oleh tim produksi program acara “Lentera Indonesia”
yang bernaung di bawah divisi news NET TV serta relasinya dengan lembaga-
lembaga sosial yang peduli terhadap isu pendidikan di Indonesia. Secara lebih
spesifik, tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses serta manajemen produksi program televisi,
khususnya program acara dokumenter pendidikan, dalam hal ini “Lentera
Indonesia” di NET TV
2. Untuk mengetahui relasi yang terjalin di antara tim produksi program acara
“Lentera Indonesia” yang bernaung di bawah divisi news NET TV dengan
lembaga-lembaga sosial yang bekerja sama dengan mereka
3. Untuk menganalisis proses dan relasi yang terjalin dalam manajemen
produksi program acara dokumenter pendidikan, dalam hal ini “Lentera
Indonesia” di NET TV
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai referensi bagi akademisi maupun peneliti mengenai proses serta
manajemen produksi program televisi, khususnya program acara dokumenter
10
bertema pendidikan dan aplikasinya, mengingat masih sangat terbatasnya
buku ataupun penelitian yang membahas masalah tersebut
2. Sebagai sumber yang mampu memberikan pengetahuan tentang relasi yang
terjalin di antara tim produksi program acara televisi dengan lembaga-
lembaga sosial yang bekerja sama dengan mereka
3. Sebagai sumber pengetahuan bagi masyarakat, khususnya penikmat
dokumenter televisi, mengenai dinamika dalam sebuah manajemen produksi
sehingga dapat menumbuhkan apresiasi serta penghargaan bagi sebuah karya
dokumenter
E. Kerangka Pemikiran
1. Fenomena Media Televisi di Indonesia
Media massa, khususnya televisi, sudah sangat memasyarakat. Media
televisi di Indonesia tidak lagi dilihat sebagai barang mewah, namun
dianggap sebagai kebutuhan pokok bagi kehidupan masyarakat untuk
mendapatkan informasi. Seperti media massa lainnya, televisi berfungsi untuk
memberikan serta menyebarkan informasi kepada khalayak. Dengan media
massa, dalam hal ini televisi, khalayak dapat menerima berbagai informasi
serta pengalaman baru. Seperti yang dikatakan oleh Vivian, “Through mass
media we learn almost everything we know about the world beyond our
immediate environs. What would you know about Kosovo or Pokemon or The
Super Bowl if it were not for newspaper, television, and other mass media?”35
Charles Wright dalam Wawan Kuswandi juga menambahkan fungsi media
sebagai hiburan.36
Fungsi hiburan ini disajikan kepada khalayak agar mereka
tidak merasa jenuh dengan berbagai konten televisi yang begitu banyak.
Menurut Wilbur Schramm, media juga berfungsi “to sell goods for us”.37
35 John Vivian, “The Media of Mass Communication”, (Boston: Allyn & Bacon, 2002), hal. 2. 36 Wawan Kuswandi, “Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi”, (Jakarta: PT
RINEKA CIPTA, 1996), hal. 24-25. 37 Ibid.
11
Media merupakan sarana yang efektif untuk mempromosikan suatu barang
dalam suatu kemasan iklan untuk mencari keuntungan secara finansial.
Keuntungan inilah yang kemudian menjadi suatu tiang penyangga bagi
kehidupan media massa itu sendiri.
Semakin pesatnya pertumbuhan industri televisi di Indonesia,
terutama lahirnya banyak stasiun televisi baru, menambah variasi serta
pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, hiburan, ataupun
pendidikan. Di sisi lain, pertumbuhan ini memunculkan persaingan antar
stasiun televisi. Karena itu, televisi dituntut untuk menciptakan,
memproduksi, serta mengemas program-program yang benar-benar menarik,
berbeda, dan dapat mencuri perhatian khalayak. Melalui program-program
dengan beragam konten yang dimiliki oleh televisi inilah yang menunjukkan
adanya fungsi serta peran media massa kepada khalayak. Televisi ibarat pisau
bermata dua. Di satu sisi, televisi memiliki sisi idealis dimana televisi harus
bisa menyampaikan informasi kepada khalayak sekaligus sebagai alat kontrol
sosial. Namun, di sisi lain, televisi memiliki sisi bisnis dimana televisi harus
mampu mempertahankan kelangsungan hidup stasiun televisi itu sendiri
sekaligus mendapatkan keuntungan. Sayangnya, televisi cenderung condong
pada sisi bisnisnya saja. Menurut Dede Mulkan, keinginan untuk
mendapatkan keuntungan seringkali mengalahkan kepentingan yang lebih
besar yakni sebagai alat penyampai informasi bagi masyarakat.38
Dewasa ini, industri media terutama televisi cenderung mengacu pada
paradigma manajemen media pasar. Picard menyatakan bahwa dalam istilah
ekonomi, industri media muncul dan beroperasi dalam apa yang disebut
dengan dual product market, yaitu menciptakan satu produk, dalam hal ini
media, yang berada dalam dua pasar, yakni pasar khalayak dan pasar iklan.39
Disini, televisi menjadi sebuah media yang berfungsi sebagai medium untuk
38 Dede Mulkan, “Negative Impacts of Television Program: Private Television Program Cases in
Indonesia”, The International Journal of Social Sciences, Vol 10 No. 1, 30 April 2013, hal. 21,
terarsip dalam http://www.tijoss.com/10th%20Folder/dede.pdf, diakses pada 18 Juni 2014 pukul
13.09. 39 Alan B. Albarran, “Management of Electronic and Digital Media, 5th Edition”, (Boston:
Wadsworth, 2013), hal. 24-25.
12
menjembatani pengiklan dengan target khalayaknya sekaligus memiliki
kekuatan untuk membentuk khalayaknya melalui segmen-segmen program
acara yang ditayangkan. Kenyataannya, tayangan-tayangan televisi saat ini
memang cenderung menayangkan program-program acara yang bisa
mendatangkan iklan sebanyak-banyaknya tanpa memperhitungkan dampak
yang ditimbulkannya pada penonton.40
Seperti pernyataan DeFleur dan
Dennis, “Commercial broadcasters sell access to their audiences to
advertisers. This is the source of revenue in the broadcasting industry, and as
a result the industry has been profitable and programming has been
influenced by advertisers and interrupted frequently by their messages.”41
Saat ini, pengiklan sangat mempertimbangkan pencapaian rating
sebuah tayangan untuk memasang iklan-iklan mereka.42
Selain rating,
pengiklan juga melihat share untuk melihat keberhasilan sebuah program
acara televisi. Saat ini, rating dan share yang dikeluarkan oleh AGB Nielsen
merupakan satu-satunya rujukan data kuantitatif untuk menentukan
keberhasilan sebuah program acara televisi yang dipakai oleh para
pengiklan.43
Hal inilah yang menjadi acuan bagi stasiun-stasiun televisi untuk
memproduksi sebuah program acara. Padahal, data yang dikeluarkan oleh
AGB Nielsen tersebut hanya memotret sebuah program berdasarkan
keberhasilan menjaring penonton sebanyak dan selama mungkin. Menurut
penelitian yang dirilis oleh Centre for Innovation Policy and Governance
mengenai pemetaan industri media di Indonesia, tayangan yang paling sering
ditonton oleh masyarakat Indonesia adalah tayangan drama
(sinetron).44
Padahal, terkadang tayangan-tayangan sinetron malah kurang
mendidik dan berbahaya bagi sebagian penonton televisi. Rating yang
40 Wawan Kuswandi, Op. Cit., hal. 25. 41 Melvin DeFleur dan Everette Dennis, “Understanding Mass Communication”, (Boston:
Houghton Mifflin, 1985), hal. 249. 42 Rahmat Edi Irawan, “Sisi Positif dan Negatif Persaingan Antar Stasiun Televisi di Indonesia di
Mata Penonton Televisi”, Humaniora, Vol. 3 No. 1, April 2012, Hal. 177. 43 Ibid. 44 Yanuar Nugroho, et. al., “Mapping the Landscape of the Media Industry in Contemporary
Indonesia”, (Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance, 2012), hal. 61, terarsip dalam
http://cipg.or.id/uploads/books/D02-MediaIndustry-CIPG-Hivos-MAN_FULL_FINAL_rev.pdf,
diakses pada 17 Juni 2014 pukul 14.51.
13
dianggap sebagai penentu keberhasilan dari suatu program acara televisi tidak
dapat menggambarkan tingginya kualitas dari suatu program.45
Banyak
program-program yang berkualitas namun ber-rating rendah. Sebaliknya,
sebuah program acara televisi yang bukan merupakan program acara televisi
yang bagus, baik secara isi maupun pengemasan programnya, malah ber-
rating tinggi.
Menurut data yang dirilis oleh AGB Nielsen46
, dalam risetnya
mengenai Share Percentage of Broadcast Hour and Share Percentage of
Time Spent Viewing di televisi yang bersiaran nasional pada periode tahun
2008 dan 2009 yang dilakukan di sepuluh kota besar di Indonesia, penonton
televisi di Indonesia mengalami peningkatan dalam watching time untuk
program hiburan sebesar 4% dan 2% untuk program berita. Sedangkan,
watching time untuk program serial drama dan film menurun sebesar 2%. Hal
tersebut berbanding terbalik dengan apa yang tersaji di layar kaca dimana
konten terbesar yang ditayangkan oleh televisi kita adalah serial drama atau
sinetron. Program hiburan memang cukup banyak tersaji di televisi, namun
jumlahnya masih kalah apabila dibandingkan dengan program serial drama.
Program hiburan yang ada pun tergolong kurang berkualitas. Terlebih lagi
program berita, dimana program ini hanya diberikan porsi waktu yang sangat
kecil di sebagian besar televisi free-to-air yang ada di Indonesia. Hanya
terdapat dua stasiun televisi yang mengkhususkan diri pada program berita.
Meskipun demikian, program berita yang disajikan terlihat kurang obyektif
dan berpihak pada kepentingan sang empunya, baik itu kepentingan bisnis
ataupun kepentingan politik. Hal ini menunjukkan bahwa stasiun televisi di
Indonesia belum sepenuhnya bisa memenuhi permintaan publik akan program
yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Persaingan yang ketat di antara stasiun-stasiun televisi juga
memunculkan kecenderungan akan adanya konsolidasi media yang mengarah
pada munculnya kelompok pemain raksasa media yang mengakibatkan
45 Wawan Kuswandi, Op. Cit., hal. 24. 46 “2009, Year of Entertainment”, AGB Nielsen Newsletter edisi 40, Desember 2009, hal. 1.
14
terjadinya konglomerasi media. Di Indonesia, berbagai perusahaan media
hanya dikuasai oleh 13 perusahaan swasta raksasa.47
Pemusatan kepemilikan
media ini menyebabkan timbulnya tarik ulur antara idealisme media,
kepentingan bisnis, serta kepentingan politik media yang bersangkutan.
Kepemilikan media akan mempengaruhi konten yang disampaikan oleh
media kepada khalayak. Adanya konglomerasi media mengakibatkan
timbulnya homogenitas program acara serta pemberitaan. Khalayak menjadi
sulit untuk mencari referensi lain akibat adanya monopoli dan sentralisasi
informasi. Kepentingan pemilik menjadi suatu hal utama yang menjadi acuan
untuk memproduksi suatu konten acara, baik itu kepentingan ekonomi
maupun kepentingan politik sang pemilik media.
Media televisi adalah salah satu media yang dapat mempengaruhi
serta membentuk karakter suatu bangsa. Karena itu, pertama-tama, televisi
harus dipahami sebagai institusi sosial yang mengemban keutamaan-
keutamaan publik baru kemudian sebagai institusi bisnis yang profit oriented.
Media tidak seharusnya menempatkan khalayak sekedar sebagai sasaran dari
tayangan-tayangan komersial tanpa benar-benar memperhatikan dampak,
relevansi dan signifikansinya. Sebuah stasiun televisi seharusnya tidak hanya
sekedar melihat seberapa banyak jumlah penonton suatu program, tetapi juga
melihat apa manfaat dan signifikansi program tersebut bagi penontonnya.
Persoalan kualitas harus berjalan seiring dengan persoalan kuantitas.
Kompetisi antar stasiun televisi semestinya bukan sekedar kompetisi untuk
memproduksi program-program ber-rating tinggi, namun juga program-
program berkualitas. Rating televisi tetap penting sebagai indikator
kepemirsaan, namun bukanlah satu-satunya referensi untuk memproduksi
atau mereproduksi program-program televisi. Televisi harus menyadari
tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Televisi memiliki peran besar
dalam menyaring apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat.
47 Supadiyanto, “Peta Bisnis Media Massa di Indonesia Pra Pemilu 2014”, Kompas, 27 Februari
2013, terarsip dalam http://www.pewarta-indonesia.com/kolom-pewarta/supadiyanto/12028-peta-
bisnis-media-massa-di-indonesia-pra-pemilu-2014.pdf, diakses pada 24 Juni 2014 pukul 13.00.
15
Oleh sebab itu, televisi harus tetap seimbang dalam memberikan informasi
sesuai dengan kebutuhan khalayak.
2. Media Televisi sebagai Sarana Pendidikan
Televisi hadir dalam kehidupan masyarakat Indonesia ketika budaya
baca belum mapan. Media cetak masih dalam kondisi belum stabil,
sedangkan budaya baca yang ditanamkan di sekolah-sekolah juga belum
berhasil. Kehadiran televisi dalam kondisi demikian membuat budaya baca
masyarakat Indonesia terpotong. Televisi memberikan pengaruh yang cukup
besar di dalam masyarakat. Menurut Deddy Mulyana, media massa
khususnya televisi mampu mendikte pikiran khalayak yang mana disebarkan
melalui citra-citra audio visual yang ditanamkan di tengah-tengah keluarga,
mulai dari masyarakat bawah hingga kalangan atas.48
Penonton remaja dan
anak-anaklah yang paling rentan terkena pengaruh televisi yang begitu besar
tersebut. Dengan tingkat pemahaman yang masih rendah, tayangan televisi
secara langsung akan menerpa pemikiran para remaja dan anak-anak hingga
mengental dan mengendap. Perilaku, gaya berpakaian, gaya berbicara, tutur
kata, dan gaya hidup mereka berasal dari apa yang mereka dengar atau
mereka tonton di dalam layar kaca televisi. Dengan kekuatan itulah
sebenarnya televisi tengah melaksanakan fungsinya, terutama fungsi-fungsi
pendidikan, yaitu pewarisan nilai, sosialisasi, internalisasi, dan eksternalisasi.
Dengan kata lain, masyarakat belajar tentang kehidupan, membaca realitas,
menyerap nilai dan norma, semuanya dari televisi. Televisi telah menjadi
hidden curriculum yang mendidik masyarakat.49
Menurut Harold Laswell yang dikutip dalam Robert K. Avery dan
Sanford B. Wienberg50
, tiga fungsi utama media massa, dalam hal ini televisi,
adalah:
48 Deddy Mulyana dan Idy Subandi Ibrahim (Ed.), “Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi, dan
Imaji Sebuah Kotak Ajaib”, (Bandung: Remaja Rosdakarya: 1997), hal. 255-261. 49 Muzayin Nazaruddin, “Televisi dan Pendidikan Nasional”, Bernas Jogja, Desember 2006. 50 Wawan Kuswandi, Op. Cit., hal. 24-25.
16
a. The surveillance of the environment,
b. The correlation of the part of society in responding to the environment,
c. The transmission of the social heritage from one generation to the next.
Yang dimaksud dengan survaillance adalah kegiatan mengumpulkan
dan menyebarkan informasi mengenai peristiwa-peristiwa dalam suatu
lingkungan, misalnya program berita. Kegiatan yang disebut sebagai
correlation adalah kegiatan menginterpretasi informasi-informasi mengenai
peristiwa yang terjadi dalam suatu lingkungan, misalnya program opini.
Kegiatan transmission of culture berfokus pada kegiatan mengomunikasikan
informasi, nilai-nilai, dan norma-norma sosial dari suatu generasi ke generasi
lainnya atau dari suatu kelompok ke kelompok lainnya, misalnya program
pendidikan.
Di Indonesia, usaha untuk menyelenggarakan TV pendidikan sudah
muncul sejak Repelita I pada tahun 1969. Akan tetapi, langkah konkret
penyelenggaraan TV pendidikan ini baru terlihat pada tahun 1978 dengan
dibentuknya Pusat Teknologi Pendidikan dan Kebudayaan
(Pustekomdikbud). Pada 23 November 1987, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI serta Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan Belanda
menandatangani naskah kerjasama tentang penggunaan teknologi pendidikan
yang mana salah satu poin pentingnya adalah dukungan pihak kerajaan
Belanda bagi Indonesia untuk menyelenggarakan TV pendidikan. Sebagai
tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, pada Mei 1988, disepakati rencana
induk yang meliputi empat kategori kegiatan, yaitu (1) Mediated Instructional
System; (2) Broadcasted Educational Program; (3) Instructional and
Communication System Research; dan (4) Instructional Development.51
Akan
tetapi, sebelum program tersebut direalisasikan, muncul inisiatif dari pihak
swasta, yakni pengusaha bernama Hardiyanti Rukmana atau Tutut Soeharto,
yang berniat mendirikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sehingga
televisi pendidikan yang menjadi program pemerintah justru tidak dapat
51 Yusufhadi Miarso, “Menyemai Benih Teknologi Pendidikan”, (Jakarta: Prenada Media dan
Pustekkom Dinas, 2004).
17
direalisasikan.52
Pada awal kemunculannya, TPI bersiaran dengan menggunakan
fasilitas pemancar dan frekuensi milik TVRI. Program-program yang
ditayangkan pun sebagian besar merupakan produksi dari Pustekomdikbud.
Kenyataan itu memang terasa amat janggal, mengingat pemerintah sendiri
sebenarnya memiliki rencana untuk mendirikan televisi pendidikan namun
justru direalisasikan oleh pihak swasta yang menggunakan sumber daya milik
negara. Celakanya, hampir sebagian besar tayangan yang disajikan oleh TPI
kurang mengandung unsur-unsur pendidikan.53
Program acara pendidikan
sekolah pun dikemas dengan gaya monoton. Keberadaan iklan yang tidak bisa
dipungkiri juga jelas mengganggu penonton. Banyak iklan-iklan yang ada di
TPI yang justru tidak bersifat pendidikan tetapi lebih cenderung
menggambarkan budaya konsumerisme.54
Semakin lama, TPI berbelok arah
dan menjadi televisi komersial. Sejak saat itu, pengusaha-pengusaha lain
berlomba-lomba mendirikan televisi komersial. Tidak ada satupun televisi
yang memfokuskan diri menjadi televisi pendidikan. Undang-undang yang
ada pun belum mendukung penyelenggaraan televisi yang bermuatan
pendidikan. Selain itu, lembaga yang memiliki wewenang untuk mengatur
penyiaran kurang mampu menunjukkan taringnya. Hal tersebut membuat isi
siaran televisi kita menjadi kurang berkualitas.
Menurut Chester M. Pierce, pada awal kemunculannya, kehadiran
televisi dianggap sebagai revolusi bagi sumber-sumber pendidikan yang telah
ada sebelumnya.55
Terlebih lagi, televisi juga dianggap memiliki kemampuan
sebagai seorang guru. Namun, saat ini kenyataannya berkata sebaliknya. Para
psikolog dan tenaga pengajar merasa skeptis dengan kemampuan televisi
dalam mendidik generasi muda saat ini.56
Televisi tidak dapat memberikan
kebutuhan akan pendidikan yang relevan bagi penonton, khususnya anak-
52 Ibid. 53 Wawan Kuswandi, Op. Cit., hal. 127. 54 Ibid. 55 Chester M. Pierce, “Television and Education”, (London: SAGE Publications, 1978), hal. 89. 56 Ibid.
18
anak. Saat ini, dalam berbagai tayangan di televisi, terdapat banyak sekali
penggunaan unsur kekerasan baik perilaku maupun kata-kata yang tidak layak
untuk dipertontonkan. Mirisnya lagi, adegan tersebut dianggap lucu dan
mengundang gelak tawa dari para penonton. Akhirnya, secara tidak sadar,
adegan tersebut justru menanamkan pendidikan bahwa kekerasaan dalam
bentuk perilaku maupun kata-kata kasar yang terlontar dalam tayangan
tersebut adalah sesuatu yang lucu dan wajar untuk dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Masyarakat kita secara tidak sadar tersosialisasi oleh
tayangan yang ada dalam media penyiaran khususnya televisi tersebut.
Fungsi pendidikan yang diusung oleh televisi semakin kontradiktif
ketika televisi mulai mengkreasi berbagai program acara yang ada demi
kepentingan bisnis mereka. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ketika
pemilik televisi lebih mementingkan sisi bisnis ketimbang sisi idealis, pada
akhirnya kata “rating” akan menjadi satu-satunya alasan digunakannya
indikator tersebut dalam memproduksi sebuah program acara televisi. Stasiun
televisi akan lebih berorientasi dalam menghasilkan program-program
hiburan saja karena lebih laku apabila dibandingkan dengan tayangan-
tayangan yang mendukung pelayanan publik dan edukasi. Pada akhirnya, saat
ini jarang sekali ditemukan program acara pendidikan yang disiarkan di
televisi.
Apabila berbicara tentang kemasan program pendidikan, orang akan
terfokus pada suatu kegiatan proses belajar mengajar seperti yang terjadi di
ruang kelas sehingga program terkesan kurang menarik. Beberapa tahun yang
lalu terdapat program acara televisi bernuansa pendidikan yang disiarkan oleh
salah satu stasiun televisi swasta. Namun, karena tidak menarik dan terkesan
monoton, perolehan rating program acara tersebut sangat rendah dan
akhirnya, tidak berapa lama kemudian, program acara tersebut dihapuskan.
Padahal, program televisi yang berorientasi pendidikan tidak harus melalui
bentuk programnya saja. Aspek komunikasi pendidikan dapat diperoleh
dengan beragam cara, yaitu melalui komunikator (host, narasumber, dan
pengisi program) yang mana selalu mengutamakan untuk menggunakan kata-
19
kata ataupun perilaku yang baik dan patut ditiru, melalui pesan (format acara,
isi siaran, dan iklan) yang dapat mempengaruhi penonton agar berpikir kritis
dan logis serta menambah wawasan, dan melalui media (setting lokasi, tata
busana, dan tata rias) yang mampu menumbuhkan pengetahuan dan
pengertian bagi penonton mengenai bagaimana seharusnya berperilaku sesuai
dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.57
Melalui aspek-aspek komunikasi pendidikan tersebut, televisi
menjalankan dua fungsi, yakni fungsi sebagai transmitter dimana televisi
dapat memberikan segala ilmu pengetahuan yang belum diketahui oleh
masyarakat dan fungsi sebagai translator dimana televisi dapat memberikan
contoh kongkrit mengenai berbagai hal melalui program-program di
televisi.58
Implementasi fungsi televisi sebagai media pendidikan tersebut
dapat diwujudkan dalam bentuk program siaran yang secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu siaran pendidikan sekolah (school
broadcast) yang melaksanakan fungsi translator dan siaran pendidikan
keterampilan hidup (life skill broadcast) atau sering juga disebut dengan
siaran pendidikan sosial (social educational broadcast) yang berfungsi
sebagai transmitter.59
Program acara “Lentera Indonesia” merupakan salah satu program
bertema pendidikan yang menghiasi layar kaca pertelevisian Indonesia.
Program acara yang ditayangkan oleh NET TV tersebut menyoroti kondisi
pendidikan di daerah-daerah terpelosok di seluruh Indonesia. “Lentera
Indonesia” yang mulai tayang pada tanggal 1 Juni 2013 ini merupakan sebuah
program acara dokumenter pendidikan yang mengisahkan pengalaman nyata
para anak muda Indonesia ketika menjadi guru dan mengajar di desa-desa
terpencil di seluruh pelosok Indonesia selama satu tahun. Program acara
“Lentera Indonesia” sudah diproduksi sebanyak 74 episode yang ditayangkan
57 Dewi K. Soedarsono, “Pesan Komunikasi Pendidikan di Media Televisi”, Jurnal Ilmiah
Komunikasi MAKNA, Vol. 2 No. 2, Agustus 2011-Januari 2012, hal.56. 58 Nurudin, “Televisi: Agama Baru Masyarakat Modern”, (Malang: UMM Press, 1997), hal. 7. 59 Shigeki Ueno, “Bagaimana Memproduksi Acara Pendidikan”, (Yogyakarta: MMTC-JICA,
1991).
20
setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 15.30 dan berdurasi selama 60 menit.
Tetapi, sejak episode ke 65, program acara “Lentera Indonesia” hanya
berdurasi selama 30 menit.
Program acara “Lentera Indonesia” adalah program yang memiliki
karakteristik siaran pendidikan sosial dimana program ini menayangkan
konten-konten pendidikan yang dapat berfungsi sebagai transmitter. Dalam
fungsinya sebagai transmitter, program acara tersebut menampilkan kondisi
pendidikan di pelosok-pelosok tanah air yang jarang diekspos oleh media
sehingga tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia.
Program acara ini juga menampilkan cara-cara belajar yang berbeda dengan
cara yang diajarkan di sekolah formal sehingga tayangan tersebut dapat
dijadikan contoh bagi guru-guru maupun murid-murid yang menonton
program acara ini. Televisi, dalam hal ini program acara “Lentera Indonesia”
dapat berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Media massa, dalam
hal ini televisi, merupakan pilar kelima pendidikan setelah keluarga, sekolah,
masyarakat, dan tempat ibadah. Televisi dapat mentransformasikan nilai-nilai
pendidikan melalui informasi yang mereka tayangkan.
3. Manajemen Produksi Program Acara Televisi
Manajemen merupakan sebuah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan
penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan.60
Ricky W. Griffin dalam George dan Jones
mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pengkoordinasian (leading), dan pengontrolan
(controlling) sumber daya untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.61
Manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi, tak terkecuali oleh sebuah
institusi media. Menurut McQuail, “The mass media institution is a distinct
60 James A. F. Stoner, “Management”, (New York: Prentice Hall, 1982), hal. 8. 61 Jennifer M. George dan Gareth R. Jones, Op. Cit., hal. 5.
21
set of activities (sending and receiving messages), carried out by persons
occupying certain roles (regulators, producers, and distributors), according
to certain rules and understanding”.62
Serangkaian aktivitas tersebut dikelola
oleh sebuah sistem manajemen media.Manajemen media merupakan sebuah
motor penggerak sebuah perusahaan media dalam usaha mencapai tujuan
bersama melalui penyelenggaraan produksi media.63
Adapun tujuan utama
sebuah perusahaan media, menurut McQuail, yaitu profit, social influence
and prestige, maximizing an audience, sectional goals (political, religious,
cultural, etc.), dan serving the public interest.64
Menurut Picard, manajemen
media berfokus pada bagaimana sebuah industri media mengalokasikan
sumber daya yang ada untuk memproduksi konten yang informatif dan
menghibur sehingga dapat memenuhi kebutuhan khalayak, pengiklan, dan
institusi-institusi sosial lainnya.65
Kunci keberhasilan dari suatu produksi program acara televisi
ditopang oleh kreativitas manusia yang bekerja pada tiga pilar utama yang
memiliki fungsi vital dalam setiap tim produksi program acara televisi yakni
teknik, program, dan pemasaran.66
Adapun karakteristik yang membedakan
industri media, dalam hal ini televisi, dengan industri yang lain, menurut
Lavine dan Wackman67
, yaitu: (a) the perishable commodity of the media
product, (b) the highly creative employees, (c) the organizational structure,
(d) the societal role of the media, dan (e) the blurring of lines separating
traditional media. Oleh karena itu, diperlukan manajemen produksi yang
sesuai dengan karakteristik industri media sehingga dapat mengelola ketiga
62 Denis McQuail, “Mass Communication Theory: An Introduction”, (London: SAGE Publication,
1983), hal. 33. 63 J. B. Wahyudi, “Dasar-dasar Manajemen Penyiaran”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1994), hal. 39. 64 Denis McQuail, Op. Cit., hal. 284. 65 Bernd W. Wirtz, “Media and Internet Management”, hal. 10, terarsip dalam
http://berndwirtz.com/downloads/mim_lm_extract.pdf, diakses pada 26 Juni 2014 pukul 14.56. 66 Morissan, “Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio & Televisi”, (Jakarta:
Kencana, 2008), hal. 133. 67 Alan B. Albarran, Sylvia M. Chan-Olmsted, dan Michael O. Wirth, “Handbook of Media
Management and Economics”, (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), hal. 3.
22
pilar utama tersebut dengan baik dan keberhasilan produksi program acara
televisi dapat tercapai.
Menurut Patricia Holland, manajemen produksi merupakan suatu cara
pengaturan dan logistik yang meliputi urusan mengenai anggaran belanja
serta jadwal perencanaan segala aspek yang terlibat dalam proses produksi,
termasuk juga di dalamnya kerabat kerja dan sarana-sarana yang diperlukan.68
Manajemen produksi program acara televisi adalah seluruh aktivitas atau
proses pembuatan program acara tekevisi sesuai dengan rancangan yang telah
ditetapkan secara efektif dan efisien atau seluruh tindakan memikirkan dan
mencapai hasil yang diinginkan melalui usaha kerabat kerja yang terdiri dari
tindakan mendayagunakan bakat-bakat dan sumber daya manusia televisi.69
Dalam prakteknya, keempat fungsi manajemen, yakni planning,
organizing, leading, dan controlling, dapat diterapkan dalam manajemen
produksi program acara televisi melalui beberapa tahap yang disebut dengan
Four Stage of Television Production Planning yang meliputi tahap
development, pre-production, production, serta post-production.70
Tahapan
tersebut merupakan tahapan produksi yang sesuai dengan Standard Operation
Procedure (SOP). Namun, tidak semua produksi program acara televisi
memiliki tahapan yang sama. Adapun keempat fungsi manajemen yang
diterapkan dalam manajemen produksi program acara televisi akan
dipaparkan sebagai berikut:
a. Planning
Dalam manajemen, planning adalah proses mengidentifikasi dan
menentukan tujuan serta arah tindakan yang tepat.71
Terdapat tiga tahapan
dalam planning, yakni a) menetapkan tujuan organisasi yang akan dicapai, b)
68 Patricia Holland, “The Television Handbook”, (London: Routledge, 1997), hal. 39. 69 Anton Mabruri K. N., “Manajemen Produksi: Program Acara Televisi (Format Acara Televisi
Nondrama, News, & Sport)”, (Depok: Mind 8 Publishing House, 2011), hal. 22. 70 Jonathan Bignell, Op. Cit., hal. 136. 71 Jennifer M. George dan Gareth R. Jones, Op. Cit., hal. 8.
23
menentukan arah tindakan yang akan dilakukan untuk meraih tujuan
organisasi, dan c) menyusun cara untuk mengalokasikan sumber daya yang
ada dalam organisasi untuk meraih tujuan organisasi. Apabila diterapkan
dalam manajemen produksi program acara televisi, planning termasuk dalam
tahap development, yakni proses dimana ide-ide dibangun dan disusun
menjadi sebuah rancangan program, diteliti, dan direncanakan dalam bentuk
audio visual atau dengan kata lain sebuah proses dimana treatment, budget,
dan pitch direncanakan sedemikian rupa.72
Dalam manajemen produksi,
planning merupakan proses yang sangat penting karena disinilah perencanaan
dari semua proses produksi dibuat secara matang.
b. Organizing
Organizing merupakan proses pembentukan struktur hubungan kerja
yang di dalamnya terjadi interaksi dan kerjasama antar anggota organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi.73
Tahap organizing meliputi pembentukan
struktur serta pengelompokan bagian-bagian, pembagian tugas, dan
pengelompokan pegawai sesuai dengan job description yang telah ditentukan.
Tahap ini merupakan tahap pre-production dalam manajemen produksi
program acara televisi dimana persiapan yang bersifat teknis dilakukan oleh
tim kerja yang telah terbentuk. Pre-production merupakan proses dimana
hasil perencanaan diaplikasikan dengan dilakukannya pemilihan lokasi dan
talent, penulisan naskah, pembuatan storyboard dan jadwal produksi, serta
pemilihan desain, properti, kostum, dan musik yang akan digunakan.74
Ide
yang telah dikembangkan dalam proses development dituangkan ke dalam
sebuah rundown program di dalam proses pre-production. Semua hal yang
berkaitan dengan perencanaan produksi dibahas dalam sebuah rapat produksi
(production meeting) yang dihadiri oleh seluruh kerabat kerja tim produksi
72 Jonathan Bignell, Op. Cit. hal. 136. 73 Jennifer M. George dan Gareth R. Jones, Op. Cit., hal. 12. 74 Jonathan Bignell, Op. Cit., hal. 136.
24
agar proses produksi dapat berjalan dengan baik sesuai dengan rundown yang
telah dibuat.
c. Leading
Dalam manajemen, leading merupakan proses kegiatan pengaplikasian
strategi yang telah direncanakan dalam tatanan struktur yang telah terbentuk.
Kegiatan ini merupakan kegiatan production dalam manajemen produksi
program acara televisi. Tahap production adalah proses ketika shooting
dilaksanakan sesuai dengan rancangan jadwal produksi dan budget, bersama
seorang director, presenter, talent, dan kru-kru teknis lainnya yang telah
dipilih dan diatur dalam proses pre-production.75
Dalam proses ini,
production manager merupakan penanggung jawab utama akan aktivitas-
aktivitas shooting dari hari ke hari. Production manager bertugas untuk
mengatur transportasi, akomodasi, konsumsi, kru yang terlibat, peralatan,
perlengkapan, dan budget. Production manager bertanggung jawab langsung
kepada produser dan bekerja sama dengan director. Selain itu, production
manager juga bekerja sama dengan production assistant, lighting director,
camera operator, sound recordist, gaffer, floor director, runner, dan kru-kru
lainnya yang dibutuhkan. Program acara televisi dibedakan menjadi dua jenis.
Pertama, program acara siaran langsung (live) yang terdiri atas dua kategori
yakni siaran langsung di dalam studio dan siaran langsung di luar studio.76
Kedua, program acara siaran tidak langsung (taping) yang harus melewati
proses rekaman dan proses penyempurnaan (editing, mixing, dubbing, dsb.).
75 Jonathan Bignell, Op. Cit. hal. 136. 76 Ciptono Setyobudi, “Pengantar Teknik Broadcasting Televisi”, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005),
hal. 43.
25
d. Controlling
Controlling adalah proses evaluasi dan pengoreksian penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi selama proses produksi berlangsung. Proses ini
merupakan tahapan evaluasi atas tiga fungsi manajemen sebelumnya, yakni
planning, organizing, dan leading. Dalam manajemen produksi, proses
controlling ada pada tahap post-production dimana proses editing hasil
produksi dan evaluasi dilaksanakan. Dalam proses ini, pertama-tama
dilaksanakan sebuah proses awal yang disebut dengan off-line editing dimana
rangkaian gambar, suara, dan musik disatukan sedemikian rupa. Setelah
proses off-line editing selesai, dilakukan proses akhir yang disebut dengan
online editing dimana efek dan sound mixing ditambahkan sehingga program
dengan versi high-quality siap untuk ditayangkan. Tahap editing hanya
dilakukan pada program-program yang bersifat rekaman (taping) dan tidak
dilakukan pada program yang ditayangkan secara langsung (live).
4. Program Acara Dokumenter di Televisi
Menurut John Grierson dalam Ilisa Barbash dan Lucien Taylor,
dokumenter merupakan sebuah laporan aktual yang kreatif.77
Realitas tersebut
dikemas sedemikian rupa dengan sekreatif mungkin sehingga dapat menarik
minat khalayak untuk menonton program acara tersebut. Gerzon Ayawaila,
dosen Institut Kesenian Jakarta yang pernah menjadi juri dalam Festival Film
Indonesia (FFI), menyebutkan bahwa realita merupakan salah satu kriteria
yang harus ada dalam karya dokumenter.78
Setiap adegan dalam dokumenter
merupakan rekaman kejadian sebenarnya, tanpa interpretasi imajinatif seperti
dalam karya fiksi. Dziga Vertov mengemukakan sebuah konsep mengenai
77 Ilisa Barbash dan Lucien Taylor, “Cross-Cultural Filmmaking: A Handbook for Making
Documentary and Ethnographic Films and Videos”, (Berkeley: University of California Press,
1997), hal. 16, terarsip dalam: http://www.masmenos.es/wp-content/uploads/2013/08/Barbash-I.-
1997-Cross-cultural-filmmaking.-A-handbook-for-making-documentary-and-ethnographic-films-
and-videos.pdf, diakses pada 6 Mei 2014 pukul 13.49. 78 Gerzon R. Ayawaila, Op. Cit., hal. 22.
26
“Kino-Pravda” atau film kebenaran bahwa dokumenter tidak menceritakan
suatu realitas obyektif melainkan realitas berdasarkan apa yang tampak dan
terekam oleh kamera sebagai mata film (kino-eye).79
Konsep Vertov tersebut
menjadi cikal bakal gaya pembuatan film berita saat ini.
Karya dokumenter terdiri dari lima jenis gaya, yakni expository,
observational, interactive, reflexive, dan performative.80
Namun, gaya-gaya
dokumenter yang telah dipaparkan tersebut merupakan gaya yang sering
digunakan oleh pembuat dokumenter untuk kompetisi-kompetisi atau
pemutaran-pemutaran film dan sangat jarang diterapkan dalam dokumenter
televisi. Para pembuat karya dokumenter mencoba berbagai macam cara
untuk memproduksi program televisi yang mana bertujuan komersial. Ada
kalanya para pembuat dokumenter mengesampingkan metode dasar bertutur81
dalam film dokumenter demi tujuan komersial tersebut.82
Pada akhirnya,
bentuk karya dokumenter pun terpecah menjadi dua kategori produksi, yakni
film dokumenter dan televisi dokumenter.83
Dokumenter televisi merupakan sebuah karya dokumenter yang
ditayangkan di televisi dengan tema atau topik tertentu, disuguhkan dengan
gaya bercerita tertentu, menggunakan narasi (terkadang dengan voice-over),
menggunakan wawancara, serta menggunakan ilustrasi musik sebagai
penunjang gambar visual (picture story). Dokumenter televisi dekat dengan
motif pemberitaan yang merupakan perkembangan dari program berformat
jurnalistik. Yang membedakannya dengan reportase adalah dokumenter
televisi menampilkan suatu peristiwa secara mendalam dan luas yang
dikemas secara artistik yang mana reportase tidak membutuhkannya.
79 Ibid., hal. 15. 80 Keith Beattie, “Documentary Screens: Non-Fiction Film & Television”, (New York: Palgrave
Macmillan, 2004), hal. 20. 81 Metode dasar bertutur atau gaya bertutur dalam sebuah karya dokumenter sangat beragam. Dalam beberapa hal, terlihat adanya kemiripan pada tiap-tiap gaya bertutur yang ada, yang
membedakan adalah spesifikasinya. Beberapa contoh gaya bertutur yang sering dipakai di
Indonesia, antara lain laporan perjalanan, sejarah, potret atau biografi, perbandingan, kontradiksi,
ilmu pengetahuan, nostalgia, rekonstruksi, investigasi, association picture story, buku harian, dan
dokudrama. (Ayawaila, 2008: 37-38) 82 Gerzon R. Ayawaila. Op. Cit., hal. 21. 83 Ibid.
27
Terdapat dua perbedaan mendasar antara film dokumenter dan dokumenter
televisi, yakni dari segi durasi dan shot yang digunakan.84
Film dokumenter
tidak memiliki batasan durasi sehingga biasanya film dokumenter berdurasi
panjang (lebih dari 1 jam) untuk diputar di bioskop atau festival film,
sedangkan dokumenter televisi memiliki batasan durasi tergantung dari slot
yang diberikan oleh stasiun televisi. Dalam film dokumenter penggunaan tipe
shot lebih bebas, sedangkan dalam dokumenter televisi penggunaan tipe shot
terbatas pada penggunaan tipe shot seperti close up, medium close up, dan
medium shot saja. Hal tersebut disebabkan oleh adanya penyesuaian pada
perbedaan besar layar bioskop dengan layar televisi.
Pada perkembangannya, muncul dua jenis gaya baru dalam
dokumenter televisi, yakni gaya observational-entertainment dan gaya
reconstructive.85
Gaya dokumenter observational-entertainment dapat
dijumpai dalam format-format program televisi seperti reality television,
docusoap, dan reality game show. Sedangkan, gaya reconstructive merupakan
sebuah praktek rekonstruksi dramatis dari sebuah sejarah dan peristiwa masa
kini serta pengalaman-pengalaman nyata, seperti yang digunakan dalam
drama-documentary (semi dokumenter) dan documentary drama
(dokudrama). Pada drama-documentary atau semi dokumenter, beberapa
adegan di dalamnya dapat direkayasa sesuai dengan tema.86
Hal tersebut
ditujukan untuk lebih menambah daya tarik cerita. Pada documentary drama
atau sering disebut dengan docudrama, peristiwa yang pernah terjadi
direkonstruksi kembali dengan kemasan baru.87
Docudrama
merepresentasikan isu-isu sosial masa kini, biasanya isu-isu besar yang
menjadi headline berita, atau peristiwa sejarah di masa lampau.88
Jika
dokumenter biasanya lebih subyektif, menggambarkan kehidupan seseorang
atau peristiwa yang benar-benar terjadi di kehidupan nyata, tanpa terhalang
84 Ibid., hal. 27. 85 Keith Beattie, Op. Cit., hal. 25. 86 Gerzon R. Ayawaila, Op. Cit., hal. 23. 87 Ibid. 88 Janet Staiger, “Docudrama”, 2013, terarsip dalam http://www.museum.tv/eotv/docudrama.htm,
diakses pada 1 September 2014 pukul 11.32.
28
oleh waktu dan tempat, docudrama lebih menyajikan sebuah realitas dimana
peristiwanya diciptakan atau direkonstruksi kembali.89
Gaya inilah yang
sering kita jumpai di televisi-televisi saat ini dalam bentuk dokumenter
televisi.
Program acara dokumenter televisi di Indonesia masih belum menjadi
acara unggulan kecuali di beberapa televisi seperti MetroTV, TVOne,
KompasTV, dan NET TV.90
Berbagai program acara lain yang lebih
menghibur seperti reality show, kuis, sinetron, music show, talk show, dan
lain sebagainya sedikit menggilas popularitas program acara ini.91
Selain itu,
tema program acara dokumenter televisi di Indonesia kurang beragam92
,
misalnya saja “Jejak Petualang” (Trans7), “Explore Indonesia” (KompasTV),
“Journey” (MetroTV), “Crocodile Hunter” (AnTV), dan lain sebagainya
yang sebagian besar bertema pariwisata dan alam. Sedikit program acara
dokumenter televisi yang bertema pendidikan, seperti “Bocah Petualang”
(Trans7). Program acara dokumenter yang disajikan mengandung informasi
yang sedemikian dangkal karena minim akan riset.93
Hal tersebut membuat
kualitas program-program acara dokumenter di televisi menjadi kurang
menarik untuk dinikmati oleh penonton. Stasiun televisi pun menjadi enggan
memproduksi program acara tersebut karena dianggap kurang
menguntungkan. Meskipun demikian, program acara dokumenter tetap
memiliki penikmatnya sendiri.94
Hal tersebut disadari oleh NET TV. Mereka
pun membuat program acara dokumenter bertema pendidikan untuk
memenuhi selera penggemar program acara dokumenter.
Salah satu program acara dokumenter milik NET TV yang konsepnya
cukup berbeda dengan tayangan televisi yang sudah ada adalah program acara
89 Tom W. Hoffer dan Richard A. Nelson, “Docudrama on American Television”, Journal of the
University Fim Association, Spring 1978, hal. 22, terarsip dalam http://facstaff.elon.edu/
dcopeland/mhm/mhmjour12-1.pdf, diakses pada 1 September 2014 pukul 11.43. 90 Diki Umbara, “Dokumenter Televisi, Bukan Sekadar Dokumentasi”, 30 Agustus 2013, terarsip
dalam http://dikiumbara.wordpress.com/2013/08/30/dokumenter-televisi-bukan-sekadar-dokumen
tasi/, diakses pada 7 Oktober pukul 11.47. 91 Ibid. 92 Ibid. 93 Ibid. 94 Ibid.
29
“Lentera Indonesia”. Proses produksi program acara dokumenter ini
dilakukan oleh divisi news NET TV yang bekerja sama dengan lembaga yang
peduli terhadap social movement, salah satunya adalah lembaga Indonesia
Mengajar.95
Dalam divisi news NET TV, tim produksi program acara
“Lentera Indonesia” tentunya memiliki sistem manajemen produksi tersendiri
untuk mencapai visi dan misi dari tim produksi tersebut. Dalam tim produksi
program acara “Lentera Indonesia”, terdapat berbagai kerabat kerja yang
bertugas. Kerabat kerja tersebut berada dalam empat level produksi yang
meliputi tahap development, pre-production, production, serta post-
production.96
Dalam pelaksanaannya, manajemen dapat diaplikasikan dalam
kondisi yang beragam sesuai dengan situasi, lokasi, dan waktu. Konsep
manajemen bersifat fleksibel. Selanjutnya, konsep manajemen produksi
program acara televisi dapat dilihat dari bagan97
sebagai berikut:
95 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ertina Priska, PR NET TV Bagian Community
Development. 96 Jonathan Bignell, Op. Cit., hal. 136. 97 Modifikasi antara konsep manajemen produksi program acara dalam Anton Mabruri (2011: 25)
dan four stage of television production planning dalam Jonathan Bignell (2004: 136).
30
BAGAN 1.1. Bagan Sistem Manajemen Produksi Televisi
DEVELOPMENT PREPRODUCTION PRODUCTION POSTPRODUCTION
BRAINSTORMING
Menentukan detail
konsep bersama-sama
antara produser dan
tim produksi.
Membuat script,
rundown, dan sto-
ryboard berdasar-
kan ide yang telah
disepakati. Menentukan
jadwal produksi.
EKSEKUSI
Menentukan pe-
ngambilan gambar
dan blocking ka-
mera. Melakukan penga-
wasan terhadap
penataan dan
kesiapan set loka-
si, lighting, audio,
properti, kostum,
make-up dan lain-
lain.
Melakukan koor-
dinasi antara pro-
ducer dengan tim
produksi.
EDITING
Melaksanakan proses
editing program acara
baik offline maupun
online editing.
Menentukan ma-
teri program, pe-
ngisi program, lo-
kasi, properti, kos-
tum, dan make-up. Menentukan per-
alatan pendukung
teknis meliputi ka-
mera, lighting,
audio, dan pera-
latan teknis lain-
nya.
KOORDINASI
Melakukan rapat
produksi dengan
tim produksi yang
meliputi producer,
production assist-
ant, video jour-
nalist, dan report-
er menyangkut
konsep acara dan
teknis di lokasi.
Me-review kem-
bali kebutuhan
teknis produksi
antara producer
dengan product-
ion assistant.
Membuat treatment,
budgeting, dan pitch.
Melakukan brief-
ing bersama selu-
ruh tim produksi
dan pengisi acara
yang terlibat me-
ngenai script pro-
gram acara.
SHOOTING
(Live/Taping)
Melakukan pro-
duksi program
acara sesuai de-
ngan script.
EVALUASI
Producer dan tim
produksi melakukan
rapat evaluasi program
acara.
Sumber: Modifikasi konsep manajemen produksi program acara dalam Anton Mabruri (2011: 25) dan 4 stage
of television production planning dalam Jonathan Bignell (2004: 136)
31
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan sebuah metode penelitian
empiris yang berusaha menyelidiki suatu fenomena kontemporer secara
mendalam.98
Studi kasus adalah sebuah strategi dan cara bagi peneliti untuk
mencari kedalaman dari sebuah program, peristiwa, aktivitas, proses, maupun
satu atau lebih individu.99
Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak
mungkin data mengenai obyek yang diteliti dengan menggunakan berbagai
metode seperti wawancara, observasi, atau penelaahan dokumen, survei, serta
data apa pun untuk menguraikan suatu kasus secara terinci. Dengan
mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok, atau
suatu kejadian, peneliti bertujuan memberikan pandangan yang lengkap dan
mendalam mengenai obyek penelitian.100
Studi kasus adalah mengenai
kekhususan dan keunikan, bukan generalisasi.101
Tujuan penggunaan studi kasus sebagai metode penelitian adalah
untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan “how” atau “why” terhadap
serangkaian peristiwa kontemporer yang menjadi obyek penelitian.102
Pertanyaan dalam penelitian studi kasus berupa suatu hal mengenai
kelengkapan suatu peristiwa yang diteliti serta proses yang terjadi dalam
peristiwa tersebut.103
Oleh karena itu, metode studi kasus merupakan pisau
yang paling tepat untuk membedah pertanyaan yang diajukan dalam
penelitian ini, yakni bagaimana manajemen produksi yang dijalankan dalam
98 Robert K. Yin, “Case Study Research: Design and Methods, 4th Edition”, (USA: SAGE
Publication, Inc., 2009), hal. 18. 99 John W. Creswell, “Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approachess”, (USA: SAGE Publication, Inc., 2009), hal. 13. 100 Deddy Mulyana, “Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya”, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 201. 101 Gary Thomas, “How to do Your Case Study”, (London: SAGE Publications, 2011), hal. 3. 102 Robert K. Yin, Op. Cit., hal. 2. 103 Gary Thomas, Op. Cit., hal. 75.
32
program acara dokumenter “Lentera Indonesia” di NET TV. Dengan
menggunakan metode studi kasus, diharapkan peneliti dapat menemukan
keluasan serta kedalaman isi dalam sebuah proses, interaksi, serta dinamika
yang terjadi dalam manajemen produksi sebuah program acara dokumenter di
televisi.
Adapun jenis penelitian studi kasus104
yang akan digunakan peneliti
disini adalah studi kasus deskriptif yang berfokus pada pertanyaan “how”
(bagaimana suatu kasus terjadi) dan “who” (siapa saja yang terlibat). Studi
kasus deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran detail dan mendalam
mengenai manajemen produksi yang dijalankan dalam program acara
dokumenter “Lentera Indonesia” di televisi, khususnya divisi news NET TV
serta relasinya dengan lembaga-lembaga sosial yang peduli terhadap isu
pendidikan di Indonesia.
2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 hingga bulan Februari
2015. Adapun proses pengumpulan data wawancara dan observasi dilakukan
di stasiun televisi NET TV di Gedung The East Lt. 27-29, Jl. Lingkar Mega
Kuningan, Jakarta Selatan, DKI Jakarta pada bulan Oktober 2014 hingga
bulan November 2014.
3. Obyek Penelitian
Obyek dalam penelitian ini adalah serangkaian aktivitas manajemen
produksi yang dijalankan dalam program acara dokumenter pendidikan
“Lentera Indonesia” di NET TV yang meliputi proses development, pre-
production, production, dan post-production yang sesuai dengan pola dalam
104 Penelitian studi kasus dibedakan menjadi tiga jenis, yakni studi kasus deskriptif, eksploratoris,
serta eksplanatoris (Robert K. Yin, 2009: 19-20).
33
bagan sistem manajemen produksi televisi.105
Adapun aspek pendidikan yang
akan dilihat dalam penelitian ini meliputi aspek pendidikan dari sisi
komunikator (host, narasumber, dan pengisi program), sisi pesan (format
program, isi siaran, dan iklan), dan sisi media (setting lokasi, tata busana, dan
tata rias) yang ada dalam keempat proses manajemen produksi program acara
“Lentera Indonesia”.
“Lentera Indonesia” dipilih karena menawarkan tema yang berbeda
yang mengisahkan pengalaman nyata para anak muda Indonesia ketika
menjadi guru dan mengajar di desa-desa terpencil dimana program acara
bertema serupa belum pernah ada di stasiun televisi lain. Seperti yang telah
disebutkan di atas, tema pendidikan memang kurang seksi dan kurang dilirik
oleh stasiun-stasiun televisi untuk diproduksi karena dianggap kurang
menguntungkan. Program acara berjenis dokumenter pun tidak banyak
menghiasi layar televisi Indonesia. Padahal, program acara dokumenter
memiliki penggemarnya sendiri. NET TV pun melihat celah ini dan kemudian
membuat program acara dokumenter bertema pendidikan untuk memenuhi
selera penggemar program acara dokumenter. Selain itu, “Lentera Indonesia”
dipilih karena melibatkan lembaga-lembaga sosial yang peduli terhadap isu
pendidikan. Hal-hal tersebut menjadikan program acara “Lentera Indonesia”
menarik untuk diteliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang terdapat dalam penelitian yang menggunakan metode
studi kasus pada dasarnya berasal dari enam sumber bukti, yaitu dokumentasi,
rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi partisipan, dan
artefak fisik.106
Namun, penelitian ini hanya akan menggunakan tiga teknik
pengumpulan data, yakni:
105 Bagan 1: Bagan Sistem Manajemen Produksi Televisi yang terdapat di hal. 36. 106 Robert K. Yin, Op. Cit., hal. 101.
34
a. Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data yang paling penting untuk
mendukung metode penelitian studi kasus adalah teknik wawancara.107
Tipe
wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah in-depth
interview dan semi-structured interview yang mana kedua tipe wawancara
tersebut akan digabungkan sehingga menghasilkan tipe wawancara yang tepat
untuk menggali bukti-bukti yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Melalui in-
depth interview, peneliti dapat bertanya kepada responden mengenai kunci-
kunci fakta dari permasalahan yang diteliti.108
Melalui semi-structured
interview, peneliti akan membuat interview schedule yang berisi daftar
tentang isu-isu yang perlu untuk digali lebih dalam. Interview schedule ini
tidak hanya berfungsi sebagai pengingat bagi peneliti tentang isu-isu yang
harus digali, tetapi juga pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang potensial dan
memungkinkan, serta pertanyaan “penyelidikan” yang mana dapat
mendorong responden untuk memberikan informasi yang lebih mendalam.109
Tipe wawancara ini memungkinkan responden untuk memberikan keterangan
mengenai obyek yang sedang diteliti sekaligus memberikan saran tentang
sumber-sumber bukti lain yang mendukung serta menciptakan akses terhadap
sumber yang bersangkutan.
Adapun wawancara akan dilakukan terhadap tiga orang narasumber
dari tim produksi program “Lentera Indonesia” dan tiga orang narasumber
dari salah satu lembaga sosial yang terlibat dalam proses produksi program
“Lentera Indonesia”. Narasumber-narasumber tersebut dapat dilihat dalam
tabel berikut:
107 Ibid., hal. 106. 108 Ibid., hal. 107. 109 Gary Thomas, Op. Cit., hal. 162.
35
TABEL 1.1. Tabel Sumber Data Wawancara
Sumber Data Keterangan
Wawancara Junior Producer Program Acara “Lentera Indonesia”,
Ranti Nuraeni.
Mantan Kepala Departemen Program Acara “Lentera
Indonesia”, Ronny Suyanto.
Video Journalist Program Acara “Lentera Indonesia”,
Erwin Widyastama.
Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang pernah diliput
dalam Program Acara “Lentera Indonesia”, Siti Soraya
Cassandra dan Trisa Melati.
Senior Public Engagement Officer Indonesia Mengajar,
Shally Pristine.
Junior producer program acara “Lentera Indonesia” memberikan
informasi-informasi terkait keseluruhan proses produksi program acara
“Lentera Indonesia” mulai dari tahap development hingga tahap post-
production. Mantan Kepala Departemen Program Acara “Lentera Indonesia”,
Ronny Suyanto, lebih banyak memberikan informasi mengenai pembuatan
konsep awal program acara “Lentera Indonesia” dan kendala-kendala yang
dihadapi oleh tim produksi. Video journalist program acara “Lentera
Indonesia”, Erwin Widyastama, memberikan informasi-informasi terkait hal-
hal teknis dalam proses produksi program acara “Lentera Indonesia” terutama
proses produksi yang terjadi di lokasi liputan. Informasi-informasi terkait
proses produksi program acara “Lentera Indonesia” di lokasi liputan juga
diberikan oleh Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang pernah diliput dalam
Program Acara “Lentera Indonesia” yakni Siti Soraya Cassandra dan Trisa
Melati. Sedangkan itu, Senior Public Engagement Officer Indonesia
Mengajar, Shally Pristine, lebih banyak memberikan informasi mengenai
konsep kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yakni NET TV dan
Lembaga Indonesia Mengajar, serta informasi tentang perencanaan konsep
program acara “Lentera Indonesia”.
36
b. Observasi
Teknik observasi diperlukan sebagai sumber bukti tambahan mengenai
permasalahan yang sedang diteliti. Observasi akan menambah dimensi-
dimensi baru untuk pemahaman fenomena yang diteliti.110
Menurut Gary
Thomas, terdapat dua macam cara untuk melakukan observasi yakni
observasi dimana peneliti hanya mengamati perilaku-perilaku yang khusus
dan unik secara sistematis serta observasi dimana peneliti terlibat dalam
peristiwa yang diteliti, merekam aspek-aspek penting yang terjadi, dan
berusaha melihat dari dalam yang mana biasanya disebut dengan observasi
partisipan.111
Dalam penelitian ini, akan digunakan cara yang pertama dimana
peneliti akan berfungsi sebagai pengamat untuk mendapatkan data yang
mendetail tanpa mengganggu proses serta kegiatan yang sedang diteliti.
TABEL 1.2. Tabel Sumber Data Observasi
Sumber Data Keterangan
Observasi Aktivitas-aktivitas development, pre-production, production,
serta post-production dalam manajemen produksi program
“Lentera Indonesia” yang dilaksanakan oleh tim produksi baik
di stasiun televisi NET TV maupun di lokasi liputan program
acara “Lentera Indonesia”.
c. Dokumentasi
Dalam penelitian ini, dokumen digunakan untuk mendukung serta
menambah bukti dari sumber-sumber data yang lain. Dokumen diperlukan
untuk mem-verifikasi data yang ditemukan dalam wawancara ataupun
observasi langsung. Adapun dokumen yang akan digunakan dalam penelitian
ini berupa dokumen administratif yang dimiliki oleh divisi news NET TV,
artikel-artikel yang ada di media massa maupun internet yang berhubungan
dengan program acara “Lentera Indonesia”, berbagai buku atau laporan
110 Robert K. Yin, Op. Cit., hal. 110. 111 Gary Thomas, Op. Cit., hal. 165.
37
penelitian yang mendukung penelitian ini, serta sumber-sumber dokumen lain
yang diperlukan untuk lebih memahami permasalahan yang sedang diteliti.
TABEL 1.3. Tabel Sumber Data Dokumentasi
Sumber Data Keterangan
Dokumentasi Dokumen administratif yang dimiliki oleh program acara
“Lentera Indonesia”.
Artikel di media massa dan internet yang berhubungan
dengan program acara “Lentera Indonesia”.
Buku atau penelitian yang mendukung penelitian ini untuk
mengolah data yang diperoleh.
Studi kepustakaan untuk lebih memahami permasalahan
yang diteliti dan untuk mencari data sekunder yang tertulis.
Dalam penelitian ini, sumber data dokumentasi dibedakan menjadi dua,
yakni sumber data dokumentasi internal atau sumber data yang berkaitan
langsung dengan proses produksi program acara “Lentera Indonesia” dan
sumber data dokumentasi eksternal atau sumber data di luar proses produksi
program acara “Lentera Indonesia”. Sumber data dokumentasi internal yang
digunakan dalam penelitian ini adalah production book program acara
“Lentera Indonesia”, rundown program acara “Lentera Indonesia”, naskah
program acara “Lentera Indonesia”, dan video behind the scene program
acara “Lentera Indonesia”. Sedangkan itu, sumber data dokumentasi eksternal
didapatkan dari company profile NET TV, blog salah satu reporter program
acara “Lentera Indonesia”, artikel-artikel di media massa maupun internet,
dan berbagai buku serta laporan penelitian yang mendukung penelitian ini.
Terdapat beberapa sumber data dokumentasi yang terbatas untuk
diakses oleh peneliti seperti treatment program acara “Lentera Indonesia”,
data budgetting program acara “Lentera Indonesia”, perjanjian kontrak antara
tim produksi program acara “Lentera Indonesia” dengan lembaga Indonesia
Mengajar, dan data rating program acara “Lentera Indonesia”. Hal tersebut
dikarenakan data-data yang berhubungan dengan sumber daya konten dan
budget tersebut bersifat rahasia dan sangat dijaga oleh narasumber yang
38
memiliki data-data bersangkutan sehingga penelitian ini lebih berfokus pada
pengaturan sumber daya manusia dan sumber daya teknologi yang ada dalam
manajemen produksi program acara “Lentera Indonesia”.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data studi kasus dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk
analisis yakni pattern matching, explanation building, time series analysis,
logic models, dan cross-case synthesis.112
Adapun analisis data yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pattern matching. Pada studi
kasus yang bersifat deskriptif, analisis pattern matching akan relevan dengan
pola variabel-variabel spesifik yang diprediksi dan ditentukan sebelum
pengumpulan data.113
Analisis data dilakukan dengan pengujian,
pengkategorian, pentabulasian, ataupun pengkombinasian kembali bukti-bukti
untuk menunjuk proposisi awal penelitian.114
Pada penelitian ini, teknik
analisis data tersebut dilakukan dengan melewati tahap pengujian data,
pengkategorian dan pentabulasian hasil wawancara, serta pengkombinasian
bukti-bukti yang merujuk kepada proposisi awal penelitian, dalam hal ini pola
aktivitas manajemen produksi yang dijalankan oleh tim produksi program
acara dokumenter pendidikan “Lentera Indonesia” dimana aspek
pendidikannya akan dilihat dari sisi komunikator (host, narasumber, dan
pengisi program), sisi pesan (format program, isi siaran, dan iklan), dan sisi
media (lokasi, tata busana, dan tata rias) yang ada dalam proses manajemen
produksi tersebut. Proposisi-proposisi tersebutlah yang mengarahkan peneliti
dalam membuat analisis serta kesimpulan yang komprehensif.
112 Robert K. Yin, Op. Cit., hal. 136-160. 113 Ibid., hal. 136-137. 114 Robert K. Yin, “Studi Kasus: Desain dan Metode”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008),
hal. 133.