Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang unik. Di satu sisi, ia merupakan makhluk yang
mampu menjawab berbagai permasalahan hidupnya, dan di sisi lain ia pun merupakan makhluk
yang tidak pernah lepas dari masalah. Persoalan memang merupakan konsekuensi dari hidup
dan kehidupan manusia. Untuk itu, manusia selalu berusaha untuk mencari jalan keluarnya
demi mencapai kebahagiaannya. Sisi lain dari keunikan manusia adalah dilihat dari sisi
kebutuhannya yakni kebutuhan akan materi dan kebutuhan spiritual.
Untuk mencapai kebutuhan berupa materi maka, manusia berusaha sekeras mungkin
demi memenuhi kebutuhan yang sifatnya materi dengan jalan bekerja. Dengan jalan itu maka
kebutuhan akan materi dapat terpenuhi. Namun untuk memenuhi kebutuhan yang ke dua yakni
kebutuhan spiritual, banyak cara yang digunakan orang agar kebutuhan spiritual ini bisa
terpenuhi seperti mendatangi atau menajdi salah satu pengikut majlis-majlis pengajian atau
menjadi pengikut salah satu tarekat.
Jika salah satu dari dua kebutuhan manusia ini tidak terpenuhi maka, kehidupannya
menjadi tidak seimbang. Islam mengajarkan kepada semua umatnya agar hidup seimbang,
yakni terpenuhinya kebutuhan jasmani dan ruhani, kebutuhan material dan spiritual. Dengan
kata lain hidup akan seimbang ketika dua kebutuhan ini sama-sama terpenuhi.
Musa Asy’ari dalam jurnalnya tentang agama dan etos kerja mengatakan bahwa bekerja
pada hakekatnya adalah merupakan proses pembangunan suatu kepribadian. Melalui bekerja,
seseorang membangun pribadinya, untuk memperkokoh peran kemanusiaan dalam realitas
sosial. Dalam tahap ini bekerja menjadi proses pembebasan humanistis, untuk
mengembangkan pribadinya secara optimal, menjelajahi medan pengembaraan kreatif yang tak
pernah kering, sehingga memperkaya spiritualitas dalam kedalaman dirinya yang ilahi.1
Kerja dimaknai sebagai degup nadi dunia yang hidup dan dinamis. Orang yang tidak
bekerja dinilai sebagai beban atau benalu dunia. Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari
aktivitas kerja seseorang:
1. Faktor ekonomi pribadi yang masih muda, bekerja demi memperoleh uang dan
materi. Tidak ada yang salah dengan pemahaman demikian, namun kalau tidak hati-
hati akan menjadi pribadi yang bekerja hanya demi uang. Dengan demikian
melupakan aspek hidup pribadi manusia dan sosial. Mengambil jatah orang lain
miisalnya korupsi, menjegal dan menyikut rekan demi uang dan promosi sebagai
1Musa Asy’ari, Agama dan Etos Kerja,jurnal Al-Jami’ah no 57,th 1994, Perpustakaan Digital UIN Sunan
Kalijaga,hlm. 97
2
2
hal yang biasa. Bayaha bagi pekerja demikian ialah kalau tidak ada hadiah berupa
materi tidak bersemangat. Semangat tinggi dan menyala hanya demi upah. Hal
demikian bisa hingga manula bisa terjadi kalau tidak disadari.
2. Faktor sosial Bekerja karena orang lain juga bekerja, malu kalau mengganggur.
Pekerja yang bekerja demikian tidak akan memiliki semangat karena yang penting
tidak menganggur dan tidak mendapat cap buruk dari lingkungan. Bisa pula demi
mencukupi kebutuhan keluarga. Hati-hati, karena hampir sama dengan faktor
pertama, orientasi demi keluarga. Memang semua orang akan demikian
pemikirannya, demi uang dan keluarga, atau dirinya. Bukan segalanya ekonomi itu.
3. Faktor pengembangan diri. Pekerja yang berorientasi pada pengembangan diri.
Orang yang hidup harus mencukupi dirinya bukan semata secara ekonomi dan
materi. Jiwanya ikut bekerja dan meningkatkan kualitas pribadi baik pemikiran
ataupun keterampilan. Kemanuisaannya menjadi lebih bernilai karena dia bisa
mengembangkan dirinya. Biasanya berangkat dari hobi dan menjalan pekerjaan
dengan menyenangkan. Hambatan sebagai peluang lebih berkembang dan kalau
mendapatkan kemudahan dianggap sebagai berkat. Bantuan kepada sesama sebagai
kesempatan mengembangkan diri. Rekan kerja sebagai partner untuk maju dan
berkembang bersama.
4. Faktor rohani Spiritualitas atau memaknai kerja sebagai pemberian diri kepada
Tuhan. Apapun agamanya tentu sepakat kalau bekerja demi Tuhan tentu akan
memberikan yang terbaik. Bekerja adalah ibadah, masalah upah atau yang lainnya
adalah konsekuensi logis yang akan dengan sendirinya diberikan oleh Sang
Pemberi. Tentu saja sebagai manusia hidup akan naik turun, dan bukan masalah
nomor empat sebagai terbaik hanya bisa dicapai orang tertentu dan nomor satu
sebagai ecek-ecek. Naik turun dan dinamis biasa dan alamiah, namun bagaimana
bisa mencapai level keempat tersebut dalam jumlah atau porsi yang dominan.2
Di satu sisi Bustanudin Agus dalam bukunya yang berjudul “Agama Dalam Kehidupan
Manusia“ mengatakan; Agama mengajarkan bahwa mencari rezeki adalah mencari karunia
Tuhan atau melaksanakan perintah-Nya. Umat beragama diperintahkan untuk melakukan
usaha produktif, seperti menanam pohon, membuka tanah mati, melakukan berbagai kegiatan
yang menghasilkan jasa bagi orang lain, seperti mengajar, bertukang, berdagang, dan lainnya.
Dalam menjalankan usaha tersebut harus diperhatikan norma halal haram. Mengaitkan usaha
mencari rezeki dengan Tuhan diharapkan memberi tambahan harapan dan optimisme karena
Dialah Yang Maha Kaya dan Maha Pengasih kepada hamba-Nya. Di samping itu mengaitkan
kerja mencari rezeki dengan Tuhan juga supaya tidak melakukan penipuan, pemerasan, dan
perampasan terhadap hak orang lain, supaya menjaga diri untuk hanya mengambil rezeki yang
halal.3
Di sisi lain Ia mengatakan bahwa transaksi modern tidak mengaitkan dengan agama
dan Tuhan. Manusia modern terlalu percaya kepada kemampuan diri. Soal kehalalan hanya
2Susi Heyawan, Motivasi Kerja; http://www.kompasiana.com/paulodenoven/spiritualitas-kerja 3Bustanudin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antroplogi Agama, Raja Grapindo
Persada, Jakarta, 2006; hal, 236
3
3
dijaga dengan kekuatan sanksi hukum. Dengan mengandalkan kekuatan manusia, pengurasan
terhadap sumber daya alam tidak dapat dihindari. Selain itu dalam fenomena sosial umat
beragama juga masih banyak ditemukan penipuan, pencurian, dan pemerasan. Hal ini tentu
karena mereka hanya beragama dengan simbol tanpa makna. Beragama sebagai simbol
adakalanya untuk kepentingan politik dan kekuasaan, sebagaimana adapula untuk kepentingan
materi dan ekonomi. Selain iman yang lemah untuk memegang prinsip, berbagai pelanggaran
memperebutkan harta juga disebabkan faktor sosial, seperti besarnya jurang pemisah antara
yang kaya dan yang miskin (the have and the have not), kecemburuan sosial dan lain
sebagainya.4
Dari dua pandangan tersebut kita bisa melihat bahwa sesungguhnya seluruh aktivitas
manusia tentu harus selalu dilandasi dengan keimanan, semangat beribadah, niat karena Allah,
agar tercipta kedamaian baik secara individu maupun komunal, sehingga tidak ada lagi
berbagai permasalahan seperti; perampasan, pemerasan, penipuan, korupsi, dan jurang
pemisah.
Materialisme yang berkembang pada zaman modern, pada awalnya merupakan
alternatif jawaban atas persoalan manusia. Berlainan dengan cita-cita semula, kenyataan yang
ada justru sebaliknya. Secara material, manusia modern memang hidup dengan layak, tetapi di
balik kelayakan hidupnya, manusia modern ternyata mengalami kesengsaraan batiniah.
Masalah utama dari kesengsaraan batiniah ini ialah masalah makna hidup. Pertanyaan
mendasar tentang hidup, tidak bisa dijawab oleh manusia-manusia modern. Karena itu, mereka
tidak tahu siapa diri mereka, dari mana asalnya, akan kemana, dan sedang apa mereka di sini
(di dunia ini).
Senada dengan itu Prof. Dr. Bahtiar Efendi,MA dalam bukunya mengatakan bahwa
hilangnya sisi kemanusiaan akibat merambahnya peradaban modern, kini dirasakan sebagai
sebuah ancaman tersendiri. Sisi kemanusiaan dimaksud adalah nilai-nilai spiritual.
Modernisme menganjurkan rasionalisme, saat segala sesuatu akan diterima sepanjang rasio
menerimanya. Sementara spiritualitas sifatnya abstrak dan terkadang tidak sesuai dengan
logika rasionalitas. Karenanya, sisi hakiki manusia itu kian terbaikan.5
Modernisasi dan industrialisasi adalah proses yang tidak dapat dielakkan. Dampak dari
keduanya adalah sesuatu yang nyata terasa dalam kehidupan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi yang merupakan tulang punggung modernisasi dan industrialisasi tidak dapat
4Bustanudin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia... hlm. 236 5Prof. Dr. Bahtiar Effendy,MA, Solusi Islam Mencari Alternatif Jawaban terhadap Problem Kontemporer,
Dian Rakyat, Jakarta, 2010, hlm. 12-13
4
4
dipungkiri telah memberikan begitu banyak kenikmatan dan kemudahan pada manusia dalam
berbagai bidang kehidupan. Tapi kemajuan tersebut juga telah menimbulkan permasalahan
yang kompleks.
Kehidupan yang semakin modern menuntut banyak tenaga dan pikiran bagi masyarakat
dunia agar dapat bertahan hidup. Tak pelak lagi, masyarakat dunia kemudian banyak tergiring
pada kenyataan yang menyedihkan. Krisis ekologi, timbulnya berbagai masalah kejiwaan
bahkan spiritual, adalah kenyataan yang dialami manusia modern saat ini. Manusia modern
digambarkan sebagai menderita kesepian yang amat sangat, kesendirian, kebosanan, dan kesia-
siaan.6
Gerakan modern atau modernitas tampil dalam sejarah sebagai suatu kekuatan progresif
yang menjanjikan pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan irasionalitas.
Dengan penekanannya terhadap keunggulan rasio atas emosi, akal atas hati, modernitas telah
menghasilkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Ilmu “modern” telah berhasil meruntuhkan
otoritas agama dan mengklaim monopoli kebenaran.7
Ajaran agama yang di dalamnya terkandung kebenaran abadi disisihkan oleh manusia
modern karena dianggap kuno, sehingga mereka hanya berpegang pada kebutuhan materi dan
tujuan duniawi belaka. Di satu sisi manusia modern memiliki banyak hal yang dapat
dibanggakan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tetapi di sisi lain mereka
mengalami kebutaan akan makna dan arti dari pekerjaan atau profesi yang mereka lakukan dan
dari segala yang dimilikinya. Mereka mengalami krisis spiritual. Mereka kehilangan makna
hidup. Dan sepanjang menyangkut makna, modernitas mengantarkan manusia ke jalan buntu.
Hal ini sesuai dengan kesimpulan Naisbitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000,
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ternyata tidak memberikan makna bagi
kehidupan. Modernisasi ditandai dengan kian banyaknya manusia yang begitu keras di
lingkungannya, serba sulit dan penuh dengan perbuatan kriminalitas. Urbanisasi besar-besaran
membuat kehidupan masyarakat ditaklukan oleh media massa, dan dunia menjadi kampung
global. Informasi dan gaya hidup yang diemban media massa justru sering mengakibatkan
semakin akutnya anomali nilai-nilai.8
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia modern telah menyisihkan
kedudukan agama dalam kehidupan mereka, dan ditinggalkannya tradisi-tradisi religius dalam
kehidupan manusia modern, ini dikatakan oleh Danah Zohar dan Ian Marshal dalam bukunya
6Dr. Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1991, hlm. 162 7Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1997. hlm. 51 8John Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrends 2000, Binarupa Aksara, Jakarta, 1990. hlm. 45
5
5
sebagai penyebab dasar dari segala permasalahan manusia pada saat ini. Oleh karena itu agar
manusia dapat segera keluar dari permasalahan ini, tak ada jalan lain, kecuali manusia harus
kembali pada agama. Manusia harus berusaha keras menemukan makna dari semua aktivitas
dan pekerjaannya, serta menemukan makna dan arti dari segala yang dimilikinya.
Saat ini kita berada ditengah-tengah kehidupan masyarakat modern, atau sering pula
disebut sebagai masyarakat yang sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota
masyarakatnya atas dasar prinsip-prinsip materialistik. Mereka merasa bebas dan lepas dari
control agama dan pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang cenderung
rasionalis, sekuler dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman
hidupnya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Hosein Nasr menilai bahwa akibat masyarakat modern
yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran
eksistensinya sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat barat yang telah
kehilangan visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak
dijumpai orang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.9
Dalam konteks pekerjaan, Bustanudin Agus mengatakan bahwa ajaran agama sangat
diperlukan untuk memacu semangat kewirausahaan dan kemandirian. Dengan agama, etos
kerja meningkat. Hemat dan keikhlasan meningkatkan produktivitas. Dengan mengaitkan
dengan Tuhan, keberkahan akan dirasakan sehingga menambah gairah dan disiplin kerja. Hal
ini memang sangat tergantung kepada interpretasi ajaran agama seperti interpretasi Protestan
Calvin yang diungkap oleh penelitian Max Weber dalam The Protestant Ethic-nya (1958). 10
Dengan demikian, sebenarnya agama dapat dijadikan jawaban yang ideal dalam rangka
mengatasi berbagai kesulitan hidup setiap manusia di sepanjang zaman. Banyak penelitian
mengungkapkan bahwa segala dimensi agama sesungguhnya memiliki urgensi bagi
keselamatan manusia atas segala kesulitan hidup yang dihadapinya. Ini sesuai dengan apa yang
dikatakan bahwa agama memang ada untuk menciptakan kesejahteraan manusia secara
invidual dan komunal.11
Agama Islam dalam hal ini, dikatakan oleh Sa’id Hawwa merupakan sebuah sistem
universal yang sempurna, meliputi seluruh persoalan hidup manusia. Di dalamnya terdapat
akidah (keyakinan), ibadah, dan syari’ah. Ketiganya merupakan tonggak penguat Islam. Ia
9Ahmad Akbari,Tasawuf dalam Ekonomi,http://www.sebi/ac.id. 1 November 2009 jam 13.00 Wib 10Bustanudin Agus, op.cithal. 237 11lihat Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
6
6
adalah jawaban universal yang sempurna bagi perkara duniawi yang meliputi segala masa dan
tempat. 12
Sebenarnya, para sufi, kaum yang mendalami agama lebih dari sekedar pada tataran
syari’at, kaum yang menyelami setiap hakikat Islam, mengatakan bahwa sesungguhnya
manusia sangat berpotensi untuk mencapai kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang
sesungguhnya dengan beragama. Ini mengisyaratkan bahwa memang agama tak hanya
memiliki fungsi untuk “mengobati”, tetapi yang lebih dalam lagi, agama memiliki fungsi untuk
membawa manusia ke tingkat “menjadi”.
Permasalahan ini menjadi menarik manakala terdapat bayangan bahwa sesungguhnya
memang manusia tak hanya butuh untuk keluar dari berbagai permasalahan yang ada.
Sesungguhnya manusia juga butuh untuk hidup dengan lebih bahagia secara utuh, baik bahagia
secara mental maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan para sufi, mereka berkeyakinan bahwa
kebahagiaan yang paripurna dan abadi adalah bersifat spiritual.
Selain itu, sesungguhnya bagi kaum sufi, kecanggihan seseorang itu bukanlah diukur
dari tumpukkan harta yang ia miliki, bukan dilihat dari tingginya pangkat yang ia jabat dan
bukan pula dari otoritas yang ia miliki. Nilai seseorang itu tidak dilihat dari resam tubuh yang
ia miliki, tetapi terletak pada moral yang ia hayati.13
Tasawuf selain berfungsi sebagai obat penyembuh krisis moral-spiritual manusia
modern, tetapi ia juga berfungsi memanusiakan manusia.14 Artinya nilai-nilai tasawuf selalu
mengajak pada manusia untuk membangun dirinya sesuai dengan fitrahnya.15 Membangun
manusia sesuai dengan fitrahnya, tidak semudah membalikan telapak tangan. Proses ini
memerlukan kerja keras dan usaha maksimal, karena proses ini merupakan proses membentuk
dan meningkatkan kualitas diri yang sebenarnya.
Tasawuf mengupas tatacara menyucikan hati, mendekatkan diri kepada Allah dengan
sedekat-sedekatnya, dan merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari guna
mewujudkan integritas moral yang tinggi pada pribadi seorang muslim. Kini tasawuf menjadi
kebutuhan orang-orang modern untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya yang hilang, yakni
nilai-nilai spiritualitas.
12Sa’id Hawwa, Jalan ruhani, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 32 13Prof. H. A. Rivay siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Raja Grafindo Persada,
Jakarta,1999, hlm. 101 14M. Hamdani B. Adz-Dzaky, dalam makalah Fuad Nashori, Psikoterapi Sufi dan Masalah Kebermaknaan
Hidup 15Ibid, M. Hamdani
7
7
Sayyed Hossen Nasr memandang manusia modern mengalami dekadensi humanistik,
karena mereka telah kehilangan pengetahuan langsung mengenai dirinya. Pengetahuan ini
bersifat dangkal, karena diperoleh dari pinggir lingkaran eksistensi manusia; yakni kesadaran
tentang ke-Tuhanan dan merasakan kehadiran-Nya dalam kehidupan. Manusia bagaikan
berkas-berkas cahaya yang tenggelam dalam gelap, tidak sanggup menghubungkan dirinya
dengan sumber cahaya Allah SWT.16
Untuk mengantisipasi hal-hal semacam di atas, maka diperlukan keterlibatan langsung
tasawuf dalam ekonomi, hal ini dapat kita lihat dalam sejarah Tarekat Sanusiyah di berbagai
daerah di Afrika Utara, Dalam kiprahnya, tarekat ini tidak henti-hentinya bekerja dengan
pendidikan keruhanian, disiplin tinggi, dan memajukan perniagaan yang menarik orang-orang
ke dalam pahamnya. Maka Fazlur Rahman menceritakan bahwa tarekat ini menanamkan
disiplin tinggi dan aktif dalam medan pejuangan hidup, baik sosial, politik, dan ekonomi.
Pengikutnya dilatih menggunakan senjata dan berekonomi (berdagang dan bertani).
Gerakannya pada perjuangan dan pembaharuan, dan programnya lebih berada dalam batasan
positivisme moral dan kesejahteraan sosial, tidak “terkungkung” dalam batasan-batasan
spiritual keakhiratan.
Doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran dalam tasawuf merupakan sebuah jalan atau
thoriqoh untuk menghubungkan diri secara langsung dengan Allah. Latihan-latihan atau
riyadoh yang khas ala sufi dalam tarekat tertentu juga bisa dijadikan sebagai upaya untuk
membangun dan meningkatkan kesadaran terhadap spiritualitas kerja. Sehingga bekerja bagi
para sufi dipahami sebagai salah satu bentuk penghambaan diri kepada Allah. Implementasi
dari kesadaran itu tercermin dalam praktek dan aktivitas kerja sehari-hari. Wujud dari itu
adalah disiplin, amanah, integritas, jujur, dan semangat kerja yang jauh lebih baik. Dengan
demikian maka, produktivitas kerja meningkat, kepuasan kerja terpenuhi, dan yang lebih
penting adalah kebahagiaan baik secara pribadi maupun komunal terpenuhi.
Tarekat Idrisiyah adalah salah satu aliran di dalam tasawuf yang selain mengamalkan
ritual ibadah sesuai dengan amalan-amalan yang biasa dilakukan di dalam tarekat, namun juga
mempunyai konsentarsi untuk membangun dan membentuk manusia menjadi insan yang
handal dalam berbagai bidang baik dalam bidang agama, pendidikan, sosial kemasyarakatan,
maupun dalam bidang ekonomi yang tetap berprinsip dan berpegang teguh pada nilai−nilai
iman, Islam, dan ihsan. Semua bidang tersebut tercakup atau sudah menjadi program kegiatan
tarekat ini.
16Qomarudin SF, Zikir Sufi, Menghampiri Ilahi Lewat Tasawuf, Jakarta. 2001. hlm. 26
8
8
Dunia usaha dan ekonomi adalah dunia yang penuh dengan kompetisi dan persaingan
mengejar keuntungan yang tidak bisa dihadapi hanya dengan sikap pasrah. Sedangkan sufisme
adalah cara hidup yang menekankan pada upaya pendekatan diri kepada Allah secara intens,
dengan menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi. Keduanya berbanding terbalik dan
tidak bisa disatukan. Namun disinilah letak kekhasan dari tarekat Idrisiyah dengan program
pemberdayaan ekonomi umatnya itu. Dalam kiprahnya, tarekat ini mencoba untuk
mengharmoniskan kedua perbedaan itu ke dalam sebuah simponi yang apik di pentas
kehidupan dunia.
Hal ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari penganut tarekat Idrisiyah di Pagendingan,
Tasikmalaya ini. Gejala sosial yang ditunjukkan oleh komunitas penganut tarekat ini
menunjukkan kepedulian atas kepentingan duniawi. Sepanjang kasus ini, sistem pelembagaan
keagamaan dalam tarekat dapat berfungsi dengan baik bagi usaha-usaha pemberdayaan
ekonomi. Karena itu penting dipertimbangkan suatu analisis kritis atas penomena ini. Analisis
semacam ini cukup penting bagi upaya pengembangan suatu model keberagamaan yang ketat,
namun memiliki perhatian yang tak kalah seriusnya terhadap masalah keduniaan, khususnya
ekonomi.
Zuhud bukan berarti lari meninggalkan dunia, karena dunia tidak bisa ditinggalkan.
Seorang muslim harus dapat menundukkan dunia, bukan ditundukkan oleh dunia. Orang baru
bisa bersikap zuhud ketika setelah ia membelenggu dunia. Umat Islam tidak boleh miskin,
karena di dalam kemiskinan itu terdapat bahaya kekufuran. Dengan ekonomi yang mapan
mereka akan menjadi kuat, berwibawa dan disegani.17
Suatu kenyataan yang, secara kolektif, dihadapi umat Islam pada saat ini adalah
keterbelakangan, baik di lapangan pendidikan, maupun ekonomi. Keterbelakangan ekonomi
adalah kemiskinan. Jadi, masalah yang dihadapi umat Islam secara kolektif adalah kemiskinan,
sehingga ia menjadi sesuatu yang harus disingkirkan. Upaya yang harus dilakukan untuk
mengatasi problem umat terbesar itu adalah dengan memberdayakan perekonomian mereka,
baik dengan cara meningkatkan semangat dan etos kerja, maupun dengan memberikan mereka
peluang berusaha.
Kebutuhan akan kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi
penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat martabat umat Islam
17Bagi penganut tarekat ini, mitos tentang mursyid tarekat yang kaya raya dan memiliki kemampuan spiritual
terus dihidupkan dalam setiap gerak kehidupan mereka. Karena itu, posisi guru-mursyid bagi pengikut tarekat
Idrisiyah tidak hanya sebagai pusat kekuatan spiritual, tetapi juga sebagai pusat kekuatan kehidupan sosial, politik
dan bahkan ekonomi.
9
9
sendiri, kerena sudah banyak terbukti bahwa umat Islam sering dijadikan bulan-bulanan oleh
orang-orang kafir karena kelemahan mereka dibidang ekonomi yang akhimya menjadikan
mereka lemah dalam bidang teknologi dan politik, hal ini adalah suatu bahaya yang wajib
dihilangkan dan dijauhi oleh orang-orang yang percaya terhadap Allah dan rasulnya.
Menurut penganut tarekat ini, lembaga-lembaga agama seharusnya berada di tengah-
tengah masyarakat sebagai pusat pembelaan kaum yang tertindas dan menderita. Membela
orang-orang miskin itu bukan hanya sekadar menyantuninya, memberikan sedekah dan
menghiburnya dengan janji dan harapan surgawi kelak, akan tetapi harus dengan amal yang
kongkret.18
Untuk dapat memainkan perannya sebagai pusat pemberdayaan ekonomi umat itu,
tarekat Idrisyah telah melakukan perubahan fungsional dari sekedar fungsi spiritual keagamaan
pada fungsi sosial ekonomi. Hal itu dilakukan dengan terus menerus berusaha melakukan
reinterpretasi dan konstekstualisasi ajaran, bersikap eksklusif terhadap modernisasi serta
memperluas bidang dakwahnya pada upaya-upaya yang dapat memenuhi realitas kebutuhan
sosial ekonomi penganutnya, sehingga mereka mampu merespon perubahan sosial yang begitu
cepat dengan baik, terukur dan terencana. Selain itu, tarekat ini telah merekontruksi sistem
kelembagaannya sehingga tetap relevan meski zaman terus berkembang.
Doktrin-doktrin dalam tasawuf merupakan amalan yang dilakukan dalam tarekat ini
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia ideal, bukan hanya secara lahir saja
namun juga secara bathin. Sehingga kehidupan duniawi tercapai tetapi tidak melupakan
kehidupan ukhrawi. Kegiatan-kegiatan yang sifatnya duniawi seperti misalnya bekerja mencari
nafkah, itu dilakukan semata-mata merupakan ibadah dalam rangka menjalankan kewajiban
selaku hamba. Dengan begitu walaupun amalan itu sifatnya duniawi tetapi karena itu dilakukan
semata ibadah maka pahalanya akan terbawa ke akhirat.
Pada saat ini, tasawuf dan tarekat mempunyai peluang yang sangat besar dalam
memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat modern. Harun Nasution mengatakan bahwa di
zaman modern ini, ketika manusia mulai merasakan kekosongan jiwa akibat pengaruh sains
dan tehnologi yang memunculkan pandangan hidup sekuler dan materialistik, tasawuf dan
tarekatnya diharapkan dapat menjalankan perannya kembali. Manusia yang banyak
18Wawancara dan diskusi dengan para Asatidz tarekat Idrisiyyah, tanggal 28 April 2017, dan ditulis dengan
redaksi penulis.
10
10
dipengaruhi oleh intelektualisme kini memerlukan spiritualitas, untuk memperoleh
keseimbangan dan kebahagiaan hidup yang banyak dicari.19
Mencermati fenomena manusia yang tidak terlepas dari baik kebutuhan materi ataupun
kebutuhan spiritual maka, penulis ingin melihat bagaimana kemudian makna, pandangan, dan
prinsip para penganut tarekat Idrisiyah terhadap pekerjaan atau profesi yang mereka lakukan
setiap hari dalam hubungannya dengan amalan-amalan yang dilakukan pada tarekat. Apakah
kemudian yang menjadi motivasi mereka dalam pekerjaannya. Adakah kemudian amalan-
amalan yang mereka lakukan berimplikasi terhadap makna, pandangan, dan prinsip serta
perilaku kerja mereka dalam memenuhi kebutuhan baik materil maupun spiritual.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka dipandang perlu mengkaji dengan lebih dalam
lagi tentang bagaimana para penganut tarekat Idrisiyah dalam memaknai pekerjaan atau profesi
mereka dalam rangka memenuhi kebutuhan material maupun kebutuhan spiritual, dan
bagaimana metode serta fungsi amalan-amalan dalam proses pembentukan dan peningkatan
kesadaran spiritualitas kerja sehingga mempunyai implikasi terhadap kualitas kerja baik dilihat
dari perspektif tasawuf maupun perspektif psikologi. Jawaban dari pertanyaan inilah yang
kemudian akan menjadi fokus penelitian dalam disertasi ini.
Melihat dari identifikasi dan rumusan masalah di atas maka, dalam disertasi ini akan
dibubuhkan sebuah analisis berdasarkan tinjauan psikologi. Di sini, psikologi memiliki peran
penting dalam menjelaskan hubungan, proses, dan gejala-gejala psikologis dari ajaran-ajaran
yang diamalkan oleh tarekat Idrisiyah dalam pengaruhnya terhadap makna, pandangan, dan
prinsip kerja seseorang dalam memenuhi kebutuhan materi dan spiritual.
Untuk mencapai hal itu maka perlu adanya pertanyaan-pertanyaan yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini.
1. Bagaimana amalan dan karakteristik ajaran Tarekat Idrisiyah?
2. Sumber-sumber dan doktrin atau ajaran apa saja yang diamalkan oleh tarekat Idrisiyah
untuk membangun spiritualitas kerja?
3. Bagaimana peran dan metode amalan dalam membangun kesadaran terhadap
spiritualitas kerja?
4. Bagaimana perilaku kerja Tarekat Idrisiyah terhadap peningkatan produktifitas kerja
19Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975).
11
11
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berupaya menggali bagaimana ajaran tasawuf (dzikir) dapat
meningkatkan kualitas diri para pengamalnya. Jelasnya penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Menelaah tentang pandangan, makna, dan prinsip para penganut tarekat Idrisiyah di
Tasikmalaya terhadap pekerjaan mereka.
2. Mengkaji doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran tasawuf yang diamalkan dalam
membangun spiritualitas kerja
3. Memberikan gambaran tentang peran dan metode amalan tasawuf dalam upaya
memberikan kesadaran terhadap spiritualitas kerja.
4. Untuk mengetahui perilaku kerja Tarekat Idrisiyah terhadap peningkatan produktifitas
kerja.
Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas, maka kegunaan penelitian ini diharapkan
dapat menjelaskan suatu penilaian yang lebih objektif tentang peran dan fungsi ajaran-ajaran
tasawuf yang diamalkan oleh tarekat Idrisiyah dalam memberikan kesadaran tentang nilai-nilai
spiritual dalam pekerjaan atau profesi yang dilakukannya, sehingga ketika kesadaran itu
terbentuk maka akan memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas kerja.
Selain itu juga dapat bermanfaat untuk kepentingan akademis, dalam arti bahwa hasil
penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah intelektual Islam tentang pemikiran Islam.
Karena boleh jadi hasil dari penelitian ini berbeda dengan pendapat orang secara umum. Hasil
penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan
tentang nilai-nilai tradisi keislaman terutama dalam kaitannya dengan konsep-konsep atau
ajaran-ajaran dalam tasawuf yang diamalkan hubungannya dengan pembangunan spiritualitas
kerja.
D. Telaah Pustaka
1. Penelitian Uwes Fatoni berjudul Pengaruh Perilaku Keagamaan Penganut Tarekat
Terhadap Interaksi Sosialnya Dengan Masyarakat (Studi di Tarekat Idrisiyah
Pagendingan Tasikmalaya), (Tesis Magister, UNPAD, 2005).
Fokus penelitian tesis ini adalah perilaku keagamaan dan interaksi sosial penganut
tarekat Idrisiyah dengan masyarakat sekitarnya, dan pengaruh perilaku mereka terhadap
interaksi sosial.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa, pertama, perilaku dan interaksi sosial penganut
tarekat Idrisiyah tergolong sangat baik. Kedua, perilaku keagamaan penganut tarekat memiliki
12
12
pengaruh terhadap interaksi sosialnya dengan masyarakat pada kisaran yang tinggi, dan ketiga,
pola interaksi sosial mereka selain dipengaruhi oleh perilaku keagamaan juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain.
Dari pengaruh diatas kemudian diketahui peran penganut tarekat Idrisiyah dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan, yang terdiri dari peran sosial keagamaan dan peran politik.
Peran sosial keagamaan mereka adalah sebagai pelopor dalam pengamalan nilai-nilai
keislaman. Sedangkan peran politik mereka adalah sumbangan dan kontribusi dalam
mempertahankan kemerdekaan di masa Orde Lama, mendukung pemerintah dan program
pembangunan di masa Orde Baru dan berperan aktif menjadi pengurus partai politik di masa
reformasi.
Menurut penulis, penelitian ini hanya menonjolkan sisi eksternal dari interaksi sosial
tarekat ini, sedangkan sisi internalnya tidak disinggung sama sekali. Padahal, sisi internal
interaksi sosial tarekat ini sebenarnya cukup menarik untuk dikaji. Dari hasil informasi yang
didapat dari key informan, dan dari pengamatan pre-research penulis, seringkali terjadi konflik
internal dalam tubuh tarekat ini. Konflik tersebut telah terjadi sejak lama dan muncul dari
kalangan keluarga mursyid sendiri.
2. Penelitian Salim B. Pili berjudul Tarekat Idrisiyah di Indonesia, Sejarah dan
Ajaran, (Tesis Magister, IAIN Jogjakarta, 1998).20
Penelitian ini berusaha mengungkapkan sejarah perkembangan tarekat Idrisiyah,
kegiatan dan pola ritualnya serta kedudukannya di tengah gerakan tarekat di dunia Islam.
Sesuai dengan latar belakang Salim yang pernah (atau masih) menjadi murid tarekat tersebut,
ia dengan sangat baik menuliskan sejarah dan ajaran tarekat Idrisiyah dengan pendekatan
pemikiran dalam Islam.
Pili dalam kesimpulannya mengatakan bahwa berdasarkan pendekatan historis terhadap
tasawuf dan tarekat, jalan keruhanian lahir dan berkembang dari dan untuk kaum muslimin
sendiri dalam rangka menjembatani antara kecenderungan-kecenderungan immanenalistik
(tanazzuliyât) dan transendentalistik (tanazzuhiyât) yang universal dalam keberagamaan.
Menurut Salim, tarekat yang merupakan penjelmaan dari tarekat Sanusiyah di Libiya
ini sampai sekarang belum berkembang secara optimal karena belum munculnya lapisan
menengah yang dapat menunjang aktivitas pendidikan, sosial dan ekonomi jama'ahnya. Namun
20 Salim B. Pili adalah jamaah dan salah seorang tokoh di tarekat Idrisiyah, beliau pernah menjadi kepala
sekolah Madrasah Aliyah Fadris Tasikmalaya.
13
13
pola kehidupan modern yang materialistik, pragmatis dan rasionalistis telah menumbuhkan
kesadaran, kebutuhan dan motivasi baru terhadap tarekat sehingga orang-orang modern banyak
menjadi murid tarekat.
Dari penelitian ini, terlihat dengan jelas, bahwa kehadiran tarekat Idrisiyah sebagai
khazanah keislaman tidak bisa dilepaskan dari sejarah umat Islam di Indonesia dan di seluruh
dunia.
3. Penelitian Syamsul Yakin berjudul Gerakan Tarekat Idrisiyah Pagendingan di
Tasikmalaya (1932-2001), (Tesis Magister UIN Jakarta 2001)
Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada berbagai aspek gerakan tarekat Idrisiyah
mulai dari tahun 1932 sampai tahun 2001.
Syamsul menelusuri asal-usul tarekat Idrisiyah, kapan dan bagaimana penyebarannya
di pulau Jawa, siapa saja yang berperan dan di daerah mana saja penyebarannya sehinga akan
terlihat proses perjalanan tarekat tersebut secara utuh. Disamping itu dilihat juga peran tarekat
ini dalam kehidupan masyarakat sekitarnya.
Ia menemukan bahwa ada tiga faktor yang mendorong pertumbuhan gerakan tarekat
Idrisiyah, yaitu, faktor teologis, faktor sosiologis dan faktor psikologis.
Keberadaan tarekat Idrisiyah di Pagendingan, memberikan pengaruh yang besar bagi
kehidupan keberagamaan masyarakat. Pengaruh tersebut bukan hanya menyentuh aspek
keilmuan bidang keagamaan, tapi juga memberikan kontribusi yang begitu besar dalam
membangun aspek sosial kemasyarakatan sehingga memungkinkan terciptanya prinsip
keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Di dalam tesis tersebut, aspek ekonomi dari tarekat Idrisiyah, hanya disinggung secara
sekilas saja. Sementara aspek pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh tarekat Idrisiyah
tersebut sama sekali tidak disinggung.
4. Kajian Dewi Nurjulianti (Staf redaksi jurnal `Ulumul Qur’an) berjudul
Menelusuri Tarekat Idrisiyah di Pagendingan Tasikmalaya. Kajian ini
dipublikasikan dalam jurnal ̀ Ulumul Qur’an Nomor 1, vol V tahun 1994, halaman
96-104
Sesuai dengan judulnya, kajian ini mencoba menelusuri dan menggambarkan sejarah
dan perkembangan tarekat ini. Secara genealogis, Dewi menguraikan akar dan sumber ajaran
14
14
tarekat ini yang bersumber dari ajaran tarekat Idrisiyah yang ada di Maroko, sebelum akhirnya
dibawa oleh syaikh Akbar Abdul Fatah ke Indonesia pada tahun 1932.
Selain itu, Dewi juga menyoroti ajaran tarekat ini dan kemudian menyimpulkan bahwa
ajaran tarekat Idrisiyah banyak merujuk kepada kitab-kitab Imam al-Ghazali, terutama kitab
Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn yang sangat terkenal itu, kitab-kitab ibn Taimiyah dan lain sebagainya.
Dewi sama sekali tidak menyinggung aspek ekonomi dalam tarekat ini, apalagi yang berkenaan
dengan program pemberdayaan ekonomi umat yang mereka lakukan. Hal ini menurut penulis
adalah wajar, karena pada saat kajian ini dilakukan, tarekat Idrisiyah masih dipimpin oleh
syaikh Muhammad Dahlan, dan pada masa itu, program pemberdayaan ekonomi umat di
tarekat ini masih dalam tahap embrio, sebelum berkembang seperti sekarang ini.
5. Penelitian Nila Ayunda berjudul Tarekat Idrisiyah di Pesantren Fathiyyah
Idrisiyah Pagendingan Tasikmalaya,. (Skripsi, UI Jakarta, 1990)
Dari hasil penelitiannya ini, Nila Ayunda menyimpulkan bahwa tarekat Idrisiyah
merupakan salah satu tarekat yang diakui sebagai tarekat yang mu'tabarah, tidak menyimpang
dari ajaran Islam. Tarekat tersebut menggunakan lembaga pendidikan pondok pesantren
sebagai pusat penyebarannya, yaitu pondok pesantren Fathiyyah Idrisiyah (Fadris) di
Pagendingan, Tasikmalaya.
Ajaran tarekat Sanusiyah sangat berpengaruh pada tarekat Idrisiyah di Tasikmalaya.
Hal ini tampak pada soal-soal fiqh Islam, seperti tata cara berpakaian dan larangan merokok,
yang hukumnya sangat tegas, haram. Selain itu tampak pada sikap tarekat Idrisiyah yang tidak
kaku memegang satu mazhab, tetapi menggabungkan berbagai mazhab. Dalam rumusan dzikir
yang diamalkan tarekat Idrisiyah juga banyak dipengaruhi oleh tarekat Sanusiyah.
Nila Ayunda, tidak banyak menyinggung tentang aspek ekonomi dari tarekat Idrisiyah,
apalagi tentang pemberdayaan ekonomi umatnya.
6. Penelitian Mustafsirah berjudul Perkembangan Tarekat Idrisiyah di Pesantren
Fathhiyah Pagendingan Tasikmalaya, (Skripsi, UIN Jakarta, 1984)
Mustafsirah melakukan studi lapangan ihwal tarekat Idrisiyah sejak tahun 1983 sampai
1984 dengan fokus utama sejarah dan perkembangan tarekat ini di Tasikmalaya. Skripsi yang
ditulis dalam lima bab pembahasan ini menyajikan satu pembahasan khusus mengenai tarekat
Idrisiyah, yaitu pada bab ketiga. Di dalamnya Mustafsirah menyebutkan bahwa terdapat
persamaan antara gerakan Idrisiyah dan Sanusiyah ditinjau dari segi sumber ajaran tarekat,
keduanya samasama berasal dari satu guru yakni Abd. Al-`Aziz al-Dabbagh al-Fâsi.
15
15
Sama dengan penelitian Nila Ayunda, Mustafsirah tidak banyak menyinggung tentang
pembangunan spiritualitas kerja tarekat Idrisiyah dalam penelitiannya ini.
7. Tulisan Wasisto Raharjo Jati yang berjudul; Agama & Spirit Ekonomi: Studi Etos
Kerja Dalam Komparasi Perbandingan Agama
Temuan penting yang dapat menjadi kunci dalam membuka pemahaman etos kerja
adalah adanya similiaritas maupun juga diferensiasi konsep Weberian.
Dalam konsep Weberian, disebutkan bahwa agama terutama sekte Calvinis mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan etos kerja seperti bekerja merupakan bentuk manifestasi
keimanan (calling), asketisisme kehidupan, dan bersikap rasional dan sistmatis. Tujuannya
adalah membentuk masyarakat kapitalis sekaligus mengusir rasa cemas terhadap predestinasi
akan takdir mereka di dunia. Secara garis besar, dalam mengkomparasikan Calvinisme dengan
agama lainnya terdapat pola nilai yang sama dan juga berbeda.
Kesamaan dapat disimak melalui konsep calling serta bertindak rasionalisme dalam
Islam maupun Konfusianisme dan asketisisme dalam tradisi Hindu-Buddha. Meskipun pada
awalnya, dalam tesis Weber menyebutkan bahwa agama besar lain non Calvinis kurang
mendukung adanya kondisi prakapitalisme yang digunakan sebagai basis dasar masyarakat
Industrialisasi. Paper ini telah membuktikan bahwa agama lainnya pun juga mendukung
adanya prakondisi kapitalisme, namun dengan konteks yang berbeda pula. Konfusianisme
mengedepankan etos kerja harmonis dan pengabdian, Hindu-Buddha mengedepankan etos
kerja berbasis mencari kebajikan, dan Islam mendasari etos kerja sebagai moral dan etika.
Dalam pandangan penulis, berbagai karya yang berkenaan dengan tarekat Idrisiyah
lebih banyak yang membahas tentang aspek tertentu dari seluruh rangkaian gerakan tarekat
tersebut. Bahkan penulisnya juga diketahui sebagai penganut (atau pernah menganut) tarekat
tersebut. Dengan kata lain, ditulis oleh kalangan intern tarekat itu sendiri.
Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian yang akan dilakukan ini akan
difokuskan pada metode pembangunan spiritualitas kerja yang dilakukan oleh tarekat
Idrisiyah. Penelitian ini akan melihat bagaimana metode pembangunan spiritualitas kerja itu
dilakukan, apa konsep-konsep doktrinal yang melatarinya, apa faktor pendukung dan
penghambatnya, dan sejauh mana usaha ini memberikan dampak yang signifikan bagi
peningkatan kesadaran terhadap pentingnya spiritualitas kerja.
Perbedaan lain antara penelitian yang telah dilakukan orang lain dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis adalah, adanya teori-teori psikologi yang lebih detail yang berhubungan
dengan ajaran atau doktrin tasawuf tersebut.
16
16
Penelitian yang mengkaji tentang Tasawuf dan Spiritualitas Kerja ini, walaupun ada
beberapa hal yang mungkin sama dengan peneltian-penelitian sebelumnya baik hasil, metode
ataupun yang lainnya, namun penelitian ini bukan merupakan pengulangan terhadap
pembahasan yang pernah ada, namun lebih bersifat menguatkan terhadap penelitan yang sudah
ada.
E. Kerangka Pemikiran
Manusia diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya. Esenssi ibadah adalah
penghambaan dan pengabdian diri untuk hidup dalam aturan-Nya. Namun semua ibadah kita
harus memiliki implikasi kerja, implikasi sosial. Bahkan tata urutan ibadah selalu terkait
dengan kerja. Shalat, misalnya, didasari dengan wudlu (penyucian diri), diawali dengan takbir
(pengagungan kepada Allah), dan diakhiri dengan salam ke kanan dan ke kiri. Salam adalah
menyebarkan kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan. Pesannya sangat jelas! Kegiatan
ibadah shalat berupa ibadah penyucian diri, dan mengagungkan Allah, harus dibuktikan dengan
menyebarkan kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan kepada lingkungan. Dan itu –tidak
bisa tidak- dilakukan dengan kerja.
Bekerja pada hakikatnya merupakan proses membangun suatu kepribadian. Melalui
kerja, seseorang membangun pribadinya untuk memperkokoh peran kemanusiaannya dalam
realitas kehidupan sosial. Dalam tahap ini bekerja menjadi proses pembebasan dan peneguhan
suatu humanitas, yaitu untuk mengembangkan pribadinya secara optimal, menjelajahi medan
pengembaraan kreatif yang tak pernah kering dengan membuka usaha terus menerus untuk
menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan, sebagai pancaran kekayaan spiritualitas dari
etos kerjanya.
Syaikh Akbar menganggap mulia seseorang yang telah menjalankan secara maksimal
status dan fungsi dirinya sebagai ‘abd dan khalifah di muka bumi. Ia sangat menghargai kerja,
sebagai wujud dari fungsi penghambaan dan kekhalifahan seorang hamba.
Bagi syaikh Akbar, beramal dan kerja keras itu sendiri merupakan sarana bagi seorang
hamba untuk mencapai derajat kemuliaan yang tertinggi, baik di dunia maupun di akhirat. Ada
tiga syarat yang harus dimiliki oleh seseorang agar mendapatkan keberhasilan dari suatu
pekerjaan yaitu iman, hijrah dan jihad. Ketiga persyaratan tersebut ia analogikan dari firmal
Allah yang menerangkan tentang keutamaan orang beriman, berhijrah dan berjihat di jalan
Allah (surah al-Bagarah ayat 218).
Ia mengatakan bahwa untuk dapat berhasil dalam suatu usaha, pertama, seseorang harus
meyakini bahwa ada prospek yang bagus dalam pekerjaannya dan harus meyakini bahwa
17
17
usahanya itu akan mendatangkan keuntungan yang baik. Kedua, seseorang harus mempelajari
dan merubah cara berusaha yang selama ini ia gunakan, jika ternyata cara tersebut tidak
mendatangkan hasil yang maksimal. Dan ketiga, seseorang harus berjuang dengan sepenuh
jiwa raganya dan memfokuskan segenap pemikirannya agar usahanya tersebut berhasil dengan
baik.
Salah satu bentuk kemuliaan seseorang di dunia adalah keberhasilan dan kelimpahan
harta yang halal sedangkan kemuliaan dan ketinggian derajat di akhirat adalah keridhaan Allah
dan balasan pahala yang setimpal baginya.
Banyak orang memberikan gambaran orang Islam yang baik dan taat, adalah semata-
mata dari berapa banyak dia melakukan shalat sunat, doa-doa,
dzikir-dzikir, dan lain-lain. Sangat jarang orang mengaitkan ketaatan beragama
misalnya dengan bagaimana dia giat bekerja, tegar berusaha, rajin di laboratorium atau
berperilaku hemat. Bahkan kadang orang yang "terlalu" giat bekerja dicap sebagai orang yang
jauh dari agama.
Tentu benar, ketaatan beribadah (dalam arti ritual) menjadi syarat mutlak ketaatan
seseorang, namun sesungguhnya jika dikaji lebih dalam Islam adalah agama yang sangat
menjunjung tinggi kerja, amal saleh (yang artinya perbuatan baik). Kerja adalah bagian penting
dari ibadah. Islam adalah agama kerja.
Al-Quran dalam banyak sekali ayat, menyebutkan bahwa iman saja tidak cukup, tetapi
harus disertai dengan amal shaleh, kerja. Tidak cukup iman saja tetapi harus dimanifestasikan
dengan amal. Cukuplah, dinukilkan surat Al-Ashr untuk mewakili ayat-ayat tentang iman dan
amal shaleh.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Dari ciri-ciri orang yang tidak rugi, selain keimanan semuanya berkaitan dengan kerja;
amal shaleh, menasehati, menaati kebenaran, menetapi kesabaran.
Al-Quran juga memerintahkan agar kita selalu mencari karunia Allah di bumi dengan
bekerja sebagai ungkapan rasa syukur, bahkan setelah shalat pun kita dianjurkan untuk segera
bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Sebagaimana disebut dalam ayat-ayat berikut:
“.. Dan bekerjalah, Wahai Keluarga Daud, sebagai (ungkapan) syukur (kepada Allah)
(QS 34;14)
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya.” (QS 67: 15)
18
18
"Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."( QS 62:
10)
Dalam hadis juga banyak diungkapkan tentang orang-orang yang utama, kebanyakan
berkaitan dengan kerja, tindakan, action. Berikut di antaranya hadis-hadis yang terkenal:
“Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik perangainya/akhlaqnya”
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”
“Muslim yang terbaik adalah muslim yang muslim lainnya selamat/ merasa aman dari
gangguan lisan dan tangannya."
“Sebaik-baik kamu adalah yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya”
“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik (berperilaku) kepada keluarganya”
“Tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah”
“Sebaik-baik kamu ialah orang yang mempertahankan keluarganya selagi perbuatan
itu tidak membawa kepada dosa”
“Barangsiapa yang menjadi susah pada petang hari kerana kerjanya, maka
terampunlah dosanya.” (Hadis riwayat Tabrani)
Bekerja bukan hanya dianjurkan untuk memberi manfaat kepada manusia, tetapi juga
sangat dipuji jika bermanfaat bagi makhluk yang lain.
Rasulullah S.A.W. bersabda, "Seorang muslim yang menanam atau menabur benih, lalu ada
sebahagian yang dimakan oleh burung atau manusia, atapun oleh binatang, nescaya semua
itu akan menjadi sedekah baginya" (Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Ketika menyebutkan ciri-ciri orang yang beriman, baik dalam Al-Quran selalu
menyebut dengan amal, kerja, kegiatan, atau action. Misalnya ciri-ciri orang beriman dalam
surat Al-Mukminun 1-11, yang menyebutkan ciri orang beriman sebagai orang yang khusyu
shalat, berzakat, meninggalkan perbuatan yang sia-sia, menjaga kehormatan (kemaluan), dan
menjaga amanat. Dalam Hadis terkenal misalnya ciri orang beriman adalah berkata baik atau
diam, menghormati tetangga. Kebanyakan ciri-ciri orang beriman berkaitan dengan amal nyata
atau kerja. Bekerja dalam ajaran Islam adalah manifestasi dari iman. Bekerja adalah sebagai
bagian dari ibadah.
Berikut secara ringkas ciri bekerja sebagai pengabdian kepada Allah SWT:
1. Motivasi kerja : pengabdian kepada atau mencari ridha Allah SWT
2. Cara kerja : sesuai/tidak bertentangan dengan syariat Islam
3. Bidang kerja : yang halal, baik/ma’ruf
4. Manfaat kerja : kebaikan, kesejahteraan, keselamatan bagi semua (rahmatan lil alamin)
Dengan bekerja sebagai motivasi ibadah, semestinya selalu memberikan yang terbaik.
Selalu bekerja semaksimal mungkin, bukan seadanya. Itulah yang disebut sebagai “ihsan”
19
19
(berbuat baik) atau (hasil terbaik). Allah bahkan
memerintahkan kita meniru karya Allah dalam bekerja, “… maka berbuat baiklah (fa ahsin)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”(QS 28:77)
Bekerja dengan motivasi di atas semestinya juga akan melahirkan kerja keras, tegar,
jujur, dan profesional dalam kondisi apa pun. Berbeda dengan motivasi jabatan misalnya,
hanya bekerja ketika ada iming-iming atau konsekuensi jabatan, jika tidak dia akan enggan.
Sedang bekerja dengan motivasi ibadah semestinya akan bekerja dengan semangat meski
imbalan langsung tidak nampak, meskipun uang sedikit, meski tidak ada yang melihat, meski
tidak dipuji atasan. Karena memang motivasinya adalah pengabdian kepada Allah SWT.
Sedang Dia selalu ada, selalu mengawasi, selalu mengetahui apa yang kita lakukan.
Jika dalam bekerja jauh dari semangat dan nilai-nilai Islam dan teladan para pendahulu
kita, kemudian memandang agama dengan cara yang salah. Kita menganggap kerja dan ibadah
adalah dua hal yang berbeda dan terpisah. Akibatnya adalah sikap mendua (split personality)
dalam bekerja. Maka akan kita dapati kenyataan aneh seperti orang yang rajin beribadah
(ritual) namun rajin juga menilap aset kantor, bahkan milik masyarakat, tidak jujur, atau suka
main terabas.
Shalat yang dilakukan lima kali dalam sehari harus mampu membangun karakter
sehingga mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Begitu pun bisa menjadikan puasa
sebagai perisai dalam melawan tarikan nafsu-nafsu yang rendah. Ibadah haji harus dijadikan
sebagai total pengabdian kepada Allah SWT.
Hal ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan upaya yang
sungguh-sungguh agar bisa sampai pada penelaahan sekaligus mengaplikasikan nilai-nilai
ibadah yang kita kerjakan. Sehingga nilai-nilai ibadah mempunyai implikasi positif dalam
perilaku kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya tasawuf merupakan upaya untuk mengantarkan manusia pada
kesempurnaan diri melalui latihan-latihan yang telah tersistemasi dalam aturan-aturan khas
tasawuf. Pelatihan jiwa ini didasarkan pada anggapan dalam dunia tasawuf bahwa manusia
memiliki potensi untuk berubah. Anggapan ini pada dasarnya sesuai dengan pandangan
psikologi tentang mampu berubahnya seseorang ketika dilatih. Hal ini terutama dapat dilihat
secara nyata dalam psikologi behavior, misalnya.
Dalam tasawuf ada istilah yang dinamakan toriqoh atau tarekat. Toriqoh atau tarekat
diartikan sebagai jalan untuk mencapai tujuan seorang sufi yakni mencapai kebahagiaan
spiritual, kebahagiaan selalu berada di hadirat-Nya, kebahagiaan selalu dapat merasakan kasih
sayang-Nya.
20
20
Dalam konteks pembangunan spiritualitas kerja tentu toriqoh atau tarekat ini juga bisa
digunakan sebagai media riyadoh atau latihan meningkatkan spiritualitas kerja. Ajaran yang
diamalkan dalam sebuah toriqoh atau tarekat ini merupakan kontrol atas sikap hidup yang
dilakukan seseorang agar tidak diperdaya dan tersesat dalam kehidupan yang akan membawa
seorang hamba itu ke jurang kecelakaan dan kerugian baik di dunia maupun di akhirat. Karena
ajaran yang diamalkan dalam tarekat ini dipahami sebagai media atau merupakan sarana untuk
melatih diri agar tetap dalam keadaan jaga dan sadar terhadap sesuatu yang dialami dan
dirasakan, dan terutama kesadaran kita terhadap Allah. Ketika hati kita dalam keadaan sadar
dan jaga maka, segala tindakan kita akan tetap terkontrol. Namun sebaliknya, jika seorang
hamba melupakan Tuhannya sama saja melupakan diri sendiri.
Dalam pengertian spiritual, orang yang melupakan diri sendiri sesungguhnya telah
tersesat. Al-Qur,an mengatakan;
Artinya; “Dan barang siapa berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha
Pemurah, kami suruh setan akan menjadi temannya yang akrab”
Ini berarti bahwa berpaling dari mengingat Allah menyebabkan diri dikuasai oleh
syetan (atau kekuatan-kekuatan bukan Tuhan) yang setiap saat mendorong seseorang serta
membisikan berbagai kejahatan ke dalam hati. Syetan baru meninggalakan seseorang kalau dia
sudah berhasil membuat manusia terpuruk dan terjerumus ke dalam neraka (atau menyimpang
dari jalan Allah dan kebaikan). Manakala berbagai kekuatan jahat yang memalingkan manusia
dari jalan Ilahi telah menghujam kuat dalam hati seseorang, maka jiwanya pun tersesat
sedemikian rupa, sehingga ia bahkan tidak tahu bahwa Allah itu ada. Tidak mengingat Allah
itu menyebabkan hatinya dikuasai kekuatan-kekuatan jahat.
Dalam ihwal pekerjaan misalnya, Islam telah mengatur bagaimana kemudian sikap
seorang muslim di dalam melaksanakan pekerjaannya. Bagaimana pula seorang muslim dalam
memandang, memaknai pekerjaan atau profesinya. Maka doktrin atau ajaran tasawuf yang
diamalkan dalam sebuah tarekat adalah salah satu metode agar seseorang tetap berada di dalam
keteraturan-Nya, sehingga berimplikasi pada perkembangan pribadi yang baik yang terlihat di
dalam sikap, pandangan, dan memaknai segala sesuatu dengan positif. Tentu amalan yang
dimaksud adalah amalan yang mempunyai arti yang luas. Amalan yang bukan hanya
melakukan ritual-ritual tertentu, tetapi bagaimana kemudian amalan-amalan tersebut
berimplikasi pada sikap dan akhlak yang baik.
Jujur, amanah, disiplin, intergritas tinggi di dalam melakukan pekerjaan, semuanya
merupakan akhlak dan perilaku yang baik dan merupakan buah dari amalan-amalan tersebut.
Ketika semua itu dilakukan secara simultan maka, hasil dari pekerjaan baik berupa materi
21
21
ataupun penghargaan dari seseorang akan tercapai, lebih dari itu semua pahala dari Allah sudah
menunggu.
Gambar 1.1 Kerangka Berfikir
F. Sistematika Penulisan
Ajaran Tasawuf
Al-Qur’an Hadits
Pengetahuan Wahyu
(tema-tema spirit
kerja) dari para
tookh sufi
Etos Kerja
Research
Pengetahuan
Empiris (Teori-teori
etos kerja)
Penggabungan
(Analisis)
Spiritualitas
Kerja
22
22
Untuk memudahkan pembaca, peneliti membagi karya ini dalam lima bab:
Bab I : Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, serta sistimatika
penulisan.
Bab II : berisi landasan teori tentang Spiritualitas, bab ini terbagi dalam empat sub. Sub
bab yang pertama dijelaskan tentang tasawuf; definisi tasawuf, tujuan tasawuf, tasawuf sebagai
energi dalam Islam, peran fungsi tasawuf, ruanglingkup tasawuf, doktrin amalan dalam
tasawuf, syari’at, tharekat, dan hakikat dalam tasawuf. Sub bab kedua, menjelaskan tentang
konsep kerja; arti kerja, etos kerja, motivasi kerja, motivasi dalam pandangan Islam, dan
kepuasan kerja. Sub bab ketiga, menjelaskan tentang Spiritualitas kerja. Sub bab keempat,
membahas tentang relasi tasawuf dan spiritualitas kerja dalam kerangka Weber.
Bab III : Berisi metodologi, terdiri dari pengalaman penelitian di lapangan yaitu :
pendekatan penelitian, tempat penelitian, instrument penelitian, metode penelitian, sampel
sumber data, teknik analisa data dan pengujian keabsahan data.
Bab IV : Terdiri dari hasil penelitian berupa data atau kondisi objektif Tarekat
Idrisiyyah
Bab V : Terdiri dari hasil penelitian berupa analisis teori dan analisa lapangan yang
menjawab empat pertanyaan yaitu : Pertama, bagaimana amalan dan karakteristik ajaran
tarekat idrisiyah; Kedua, membahas tentang ajaran dan doktrin amaliyah tarekat Idrisiyah
terhadap pembentukan spiritualitas kerja, ketiga, membahas tentang peran dan metode tarekat
Idrisiyah dalam membangu kesadaran terhadap spiritualitas kerja, dan keempat, membahas
perilaku kerja tarekat Idrisiyyah terhadap peningkatan produktivitas kerja
Bab VI : Merupakan kesimpulan dari berbagai diskusi yang sudah disampaikan dalam
beberapa bab sebelumnya. Dalam kesimpulan ini juga peneliti memberikan rekomendasi hasil
penelitian ini sebagai model baru dari pengamalan tasawuf terutama terhadap dunia kerja.