23
BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam Permasalahan 1. Diskursus Mengenai Kristologi Gereja harus terus menerus menggumuli kesetiaannya kepada Yesus Kristus selaku pokok pemahaman imannya. Penghayatan iman Kristen ini terus mengalami perubahan sejalan dengan konteks kekristenan itu berada. Justru karena berada dalam keadaan masyarakat yang berubah-ubah itulah Yesus Kristus dan kepercayaan iman Kristen kepadaNya, oleh gereja tidak dapat tidak dikonseptualkan dan dibahasakan dengan cara yang berbeda-beda, supaya Yesus Kristus dapat diwartakan sedemikian rupa sehingga pewartaan itu benar-benar sampai kepada manusia yang berbeda-beda. 1 Kristologi adalah suatu upaya untuk menjelaskan pokok iman Kristen mengenai Yesus Kristus. Siapakah Yesus yang lahir dan hidup pada waktu dan tempat tertentu itu, kemudian diimani sebagai Allah yang menyatakan diri kepada manusia, yang disebut Anak Allah? Kristologi dengan demikian mestilah suatu ungkapan iman yang dapat direfleksikan melalui iman dan nalar. 2 Walau demikian bukan berarti dalam Kristologi, manusia hanya mendasarkan pada akalnya mencoba memahami Allah dan menjelaskan 1 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, Kanisius, Jogjakarta, 1988, p. 13 2 Darwin Lumban Tobing, “Kristologi NonApologetis:Kristologi Hermeneutis di dalam Konteks Postmodern”, dalam Yewangoe, A.A, Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, Buku Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, p.45

BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

  • Upload
    vonhi

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengantar Ke Dalam Permasalahan

1. Diskursus Mengenai Kristologi

Gereja harus terus menerus menggumuli kesetiaannya kepada Yesus Kristus

selaku pokok pemahaman imannya. Penghayatan iman Kristen ini terus mengalami

perubahan sejalan dengan konteks kekristenan itu berada. Justru karena berada dalam

keadaan masyarakat yang berubah-ubah itulah Yesus Kristus dan kepercayaan iman

Kristen kepadaNya, oleh gereja tidak dapat tidak dikonseptualkan dan dibahasakan

dengan cara yang berbeda-beda, supaya Yesus Kristus dapat diwartakan sedemikian rupa

sehingga pewartaan itu benar-benar sampai kepada manusia yang berbeda-beda.1

Kristologi adalah suatu upaya untuk menjelaskan pokok iman Kristen mengenai Yesus

Kristus. Siapakah Yesus yang lahir dan hidup pada waktu dan tempat tertentu itu,

kemudian diimani sebagai Allah yang menyatakan diri kepada manusia, yang disebut

Anak Allah? Kristologi dengan demikian mestilah suatu ungkapan iman yang dapat

direfleksikan melalui iman dan nalar.2 Walau demikian bukan berarti dalam Kristologi,

manusia hanya mendasarkan pada akalnya mencoba memahami Allah dan menjelaskan

1 C. Groenen,  Sejarah  Dogma  Kristologi:  Perkembangan  Pemikiran  Tentang  Yesus  Kristus  pada  Umat Kristen, Kanisius, Jogjakarta, 1988, p. 13 

2 Darwin  Lumban  Tobing,  “Kristologi  Non‐Apologetis:Kristologi  Hermeneutis  di  dalam  Konteks Postmodern”,  dalam    Yewangoe,  A.A,    Kontekstualisasi  Pemikiran  Dogmatika  di  Indonesia,  Buku Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, p.45 

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

2

Yesus Kristus. Kristologi haruslah afektif dan kehidupan serta perbuatan Yesus menjadi

konkrit dan bermakna bagi manusia sekarang ini.3

Pada umumnya di dalam dunia teologi dikenal istilah Kristologi dari atas dan

Kristologi dari bawah. Kristologi dari atas menunjukkan suatu pemahaman atas

gambaran pribadi Yesus Kristus yang lebih menekankan ciri-ciri ilahi, seperti terumuskan

dalam gelar-gelar, Anak Allah, Mesias, Anak Tunggal. Istilah Kristologi dari bawah lebih

menunjukkan penghargaan atas ciri-ciri kemanusiaan Yesus Kristus dan perjuanganNya

dalam sejarah, dalam kehidupan masyarakatNya. Karya dan perjuangan Yesus yang

nampak selama hidupNya, tentu juga mempunyai nilai penyelamatan, sesuai dengan

harapan yang berlaku di sepanjang jaman. Hal ini nampak dalam sebutan-sebutan yang

dikenakan kepada Yesus sebagai Nabi, Hamba, Guru, yang dari diri sendiri tidak

mencerminkan makna ilahi. Namun kedua pemahaman Kristologi dari atas maupun

bawah ini bukan sesuatu yang perlu dipertentangkan, sebab keduanya berangkat dari

pemahaman yang ada di dalam Alkitab. Berita tentang ucapan, tindakan dan perbuatan

Yesus yang ditulis setelah kebangkitan Yesus dalam konteks jemaat Kristen purba, tidak

semestinya dianggap sebagai laporan peristiwa melainkan harus dipahami sebagai

kesaksian iman dengan pesan-pesan misiologis. Yesus yang diberitakan dalam Perjanjian

Baru bukanlah Yesus yang historis melainkan Kristus yang diimani oleh jemaat mula-

mula.

Sejarah perkembangan gereja menyatakan bahwa gereja selalu dihadapkan pada

suatu realitas sosial yang baru. Perumusan iman akan Yesus ini kemudian mengalami

perubahan pada masa post-apostolic abad ke-2 sampai abad ke-4 Masehi. Kalau

3 C. Groenen,  Sejarah  Dogma  Kristologi:  Perkembangan  Pemikiran  Tentang  Yesus  Kristus  pada  Umat Kristen, Kanisius, Jogjakarta, 1988, p. 203

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

3

kekristenan mula-mula ada dalam situasi masyarakat Yahudi, selanjutnya harus

bersentuhan langsung dengan agama dan kebudayaan dunia Yunani-Romawi.

Perjumpaan-perjumpaan itu mempengaruhi perumusan dan penafsiran iman Kristen.

Persoalan yang mendominasi diskusi pada saat itu yaitu mengenai kesiapaan Yesus,

sebagai manusia atau sebagai Anak Allah. Persoalan ini dijawab dengan mencari

pemahaman filosofis-ontologis. Itulah yang dilakukan oleh para utusan gereja dalam

konsili-konsili ekumenis sejak Nicea (325), Konstantinopel (381), Chalcedon (451) dan

selanjuntya. Dari diskusi Kristologis-ontologis dalam konsili-konsili maka lahir

pengakuan gereja, sebagaimana kita warisi sekarang bahwa Yesus Kristus sehakikat

Allah, seratus persen Allah dan seratus persen manusia.

Pengakuan iman dengan rumusan apologetis itu mewarnai seluruh rumusan

pengakuan iman gereja tentang Yesus sampai masa kini. Ekses dari pengakuan iman ini

yaitu gereja menjadi eksklusif dan menjadi kaku dalam formula dogmatisnya, sulit untuk

dimengerti orang lain. Kondisi tersebut mengisyaratkan perlunya pemikiran, pembahasan

dan penjelasan ulang terhadap pemahaman Kristologi yang ada selama ini. Gambar-

gambar Kristus yang disusun untuk tujuan apologetis harus disusun secara non-

apologetis4, sehingga mudah dipahami orang lain yang bukan Kristen. Kristologi non-

apologetis dibangun di atas kristologi fungsional, yaitu dari pemahaman makna

kehidupan, ucapan, perbuatan, pendertiaan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.

Kristologi non-apologetis menjelaskan kesiapaan Yesus secara fungsional dalam

kehidupan manusia. Karena itu yang ditekankan yaitu pengenalan akan Yesus Kristus

4 Darwin  Lumban  Tobing,  “Kristologi  Non‐Apologetis:Kristologi  Hermeneutis  di  dalam  Konteks Postmodern”,  dalam    Yewangoe,  A.A,    Kontekstualisasi  Pemikiran  Dogmatika  di  Indonesia,  Buku Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, p.61

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

4

bukan pada figur personal, melainkan karya keselamatan yang diperbuatNya.5 Kasih,

penebusan, solidaritas yang menjadi pusat pewartaan Yesus dalam apa yang dikenal

dengan Kerajaan Allah menjadi yang terutama dalam penghayatan iman akan Yesus

Kristus. Kehadiran Kerajaan Allah sebagaimana telah dinyatakan dalam kehidupan Yesus

Kristus itulah yang hendak diwujudkan dalam hidup menggereja di dalam

masyarakatnya. Dengan demikian upaya dalam Kristologi fungsional memenuhi prinsip

integrasi, yaitu keseluruhan Kristologi merupakan Soteriologi yang saling melengkapi.

Yang berlaku kemudian sebuah lingkaran tak terputus Kristologi dari bawah ke

Kristologi dari atas, dari Soteriologi ke Kristologi dan sebaliknya. Sebab tidak ada iman

akan Yesus tanpa Kristus dan Kristus tanpa Yesus. “Yesuologi” dan “Krtistologi” mesti

memperolah penghayatan bersama-sama, sebab Yesus tanpa Kristus adalah tak berarti

demikian pula Kristus tanpa Yesus adalah mitos.6

2. Pergumulan Kristologis Jemaat Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ)

Kayuapu

GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa) Kayuapu sebagai komunitas umat Allah, perlu

hidup dalam imannya secara dinamis. Artinya, setiap warga GITJ dalam segala geraknya,

idealnya berdasarkan Injil (tata Injil) seperti cita-cita di dalam nama GITJ yang di

5 Darwin  Lumban  Tobing,  “Kristologi  Non‐Apologetis:Kristologi  Heremeneutis  di  dalam  Konteks Postmodern”,  dalam    Yewangoe,  A.A,    Kontekstualisasi  Pemikiran  Dogmatika  di  Indonesia,  Buku Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, p.62

6 Jacques Dupuis, Who Do You Say I Am?: Introduction to Christology, Orbis Books, Maryknoll, New York, USA, 1994, p. 36 

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

5

dalamnya terdapat kata “Injili” itu.7 Tetapi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,

praktik hidup selaras dengan Alkitab itu masih kurang dirasakan. Kristus dan keteladanan

kehidupan-Nya belum tampak jelas sebagai pusat orientasi kehidupan. Bukan kasih dan

damai yang dialami, melainkan sikap egosentris dan ‘semangat merasa menjadi yang

paling besar’ yang mengemuka. Sekalipun, warisan pemahaman misi kolonial gereja

yang seluruh geraknya diarahkan kepada penobatan orang tidak beragama kristen

menjadi kristen itu sudah jauh di belakang, namun semangat untuk itu masih ada. Hanya

saja mulai tidak jelas media untuk mewadahi semangat itu. Kalau dahulu bidang

pendidikan dan kesehatan menjadi media misi gereja, sekarang bidang-bidang itu tidak

lagi diperlukan masyarakat sebagai yang mutlak dari gereja. Bahkan di beberapa jemaat

lokal GITJ,8 yang dahulu pernah menjadikan klinik kesehatan dan sekolah sebagai sarana

“pelayanan masyarakat,” sekarang tinggal bekas. Sedangkan beberapa sekolah dan

sebuah rumah sakit, baik sekolah milik jemaat lokal maupun milik sinode GITJ,

keberadaannya tampak kurang cukup diperlukan masyarakat.9

Pandangan setereotip positip yang pernah dilekatkan kepada gereja bahwa orang

Kristen itu berpendidikan lebih baik, pandai, jujur, berdisiplin, berintegritas dan

seterusnya, berganti menjadi setereotip negatip, yaitu orang kristen suka bertengkar,

7 Kata “Injili” ini dalam pengertian “Tata Injil” yaitu seluruh aspek kehidupan di GITJ harus berlandaskan Alkitab. Dalam  Sinode GITJ  pertama  30 Mei  1940,  jemaat‐jemaat  Kristen  sekitar Muria menamakan dirinya:  “Patunggilanipun  Pasamuwan  Kristen  Tata  Injil  ing  Wengkon  Kabupaten  Kudus,  Pati  lan Jepara,” disingkat “Pasamuwan Kristen Tata Injil.” Tetapi banyak warga jemaat yang memahami “Injili” itu sebagai  “meng‐injili” orang‐orang yang beragama lain sebagai yang terutama.  

8   Karmito, “Jemaat Kayuapu Abad Ke‐19 dan Awal Abad Ke‐20: Catatan‐catatan Sejarah Tak Terabaikan dari A.G. Hoekema”,  tidak diterbitkan.   Karmito mengemukakan data  yang menyatakan bahwa pada awal abad ke‐20, di lokasi Jemaat Kayuapu yang memiliki jumlah warga jemaat 105 orang  (warga sudah baptis 55 orang) didirikan Sekolah oleh Badan Misi DZV dengan jumlah murid sebanyak 100 siswa dan Klinik Kesehatan yang melayani pasien 80 s.d 100 orang setiap hari. 

9 Laporan  Data  Statistik  RSK  Tayu  kepada  Sinode  GITJ  Tahun  2005,  Rumah  Sakit  Kristen  Tayu  yang memiliki kapasitas tempat tidur pasien   rawat  inap 150    itu hanya ditempai 25‐30 orang pasien setiap hari. 

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

6

fanatik, abudaya, anasional, serta intoleran terhadap keyakinan yang berbeda. Perubahan

bergerak cepat dalam masyarakat karena berbagai pengaruh modernitas, sedangkan cara

GITJ Kayuapu mengekspresikan keyakinan iman dalam gerak dan bentuk pelayanannya

masih tidak beranjak dari pemikiran yang diwariskan oleh para Misionaris Eropa dahulu.

Meskipun bagi generasi sekarang, warisan tradisi itu maknanya sering kabur. Orang-

orang yang beribadah di gereja pada umumnya tidak memahami mengapa hal-hal tertentu

dilakukan. Mereka mengucapkan rumusan-rumusan pengakuan iman yang tidak mereka

pahami. Misalnya sebagaimana rumusan di dalam pokok-pokok ajaran GITJ demikian

ini:

Doktrin Allah Tritunggal tidak dapat dipahami seluruhnya oleh akal budi (rasio) manusia. Hal ini disebabkan pengajaran Allah Tri Tunggal paling sulit dipahami, sulit dijelaskan, sulit diterima dan dipercaya, serta sulit diungkapkan dengan bahasa maupun kata-kata manusia. Doktrin ini hanya dapat dipahami dengan iman ( Yoh. 20:15)10

Jemaat mengucapkan rumusan itu tentu berdasarkan imannya, tetapi sesungguhnya hanya

berdasarkan kebiasaan, biasanya begitu, titik. Padahal jika banyak hal yang tidak

dipahami dalam jemaat, maka keterlibatan warga jemaat dan daya tarik jemaat itu

semakin hilang. Perlu adanya usaha untuk mengerti “pihak lain” dalam rangka

merumuskan pengajaran Gereja yang bertitik-tolak dari realitas masyarakat majemuk

yang saling mengayakan penghayatan iman. Sudah selayaknya, GITJ Kayuapu kembali

kepada kesaksian Injil yang memperoleh pemaknaan baru dalam perjumpaannya dengan

tradisi agama lain dalam hidup bersama demi kesejahteraan bersama. Hal ini sesuai

dengan usaha kontekstualisasi hidup menggereja yang selalu dihadapkan pada tugas

10  Pudjo Kartiko, A, dkk, Pokok‐Pokok Ajaran Gereja Injili di Tanah Jawa, Pati, 2007, p.35. 

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

7

menafsirkan situasi hidup nyata dalam terang Injil. Injil yang berlaku baik secara

universal maupun yang ditangkap dan dipahami dalam konteks tertentu.11

Betapa sulit GITJ Kayuapu mewujudkan diri dan mengkomunikasikan imannya

dalam realitas konteksnya yang terus berubah. Dalam kondisi seperti ini, telah semestinya

GITJ Kayuapu menemukan kenyataan dirinya yang dibentuk berdasarkan pemahaman

akan iman di dalam konteksnya. Yang dimaksudkan di sini lebih kepada suatu upaya

memahami kembali keberadaan gereja secara total atau memakai istilah Eka

Darmaputera, “rethinking total”12 supaya kehadiran gereja berguna bagi masyarakat

sekitarnya. Dalam upaya memikir ulang secara total menjadi gereja yang fungsional itu,

maka perlu dimulai dari keterbukaan GITJ Kayuapu dalam memahami Yesus Kristus

sebagai yang sangat menentukan kehidupannya. Banyak aspek dari pemahaman akan

Kristus di dalam Perjanjian Baru yang tidak memperoleh perhatian dalam hidup

menggereja dan bermasyarakat. Hal itu disebabkan jemaat memegang rumusan-rumusan

dogma eksklusif tentang Kristus yang tidak didasarkan pada penghayatan akan Injil

secara langsung dalam konteksnya sekarang. Konteks jemaat yang perlu dipikirkan dalam

hal ini yaitu perjumpaanNya dengan masyarakat Muslim.

Jemaat GITJ Kayuapu, di Kudus, Jawa Tengah, memiliki pengalaman sejarah dan

melalui kehidupannya dapat digambarkan dinamika penghayatan akan Kristus di

dalamnya. Pada awalnya, Jemaat GITJ Kayuapu terbentuk dari tiga pengaruh tradisi

denominasi gereja. 13 Ketiga warisan tradisi teologi itu yaitu pertama, Misi Hervormd

11  J.B  Banawiratma  S.J,  “Hidup Menggereja  Yang  Terbuka”,  dalam  J.B.  Banawiratma,  S.  J.  (ed), Gereja Indonesia, Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p. 42 

12 Bdk. Eka Darmaputera, “Kehadiran Gereja Misioner di Indonesia Masa Kini”, dalam Penuntun, Vo.4, No. 13,  1997/1998,  p.16  ‐17.  Dalam  kualitas  kehadiran  gereja  yang  memprihatinkan  ini  Eka  mengajak melakukan rethinking total mengenai kehadiran gereja di negeri ini.  

13 Sigid Heru Sukotjo, dan  L Yoder,  : Sejarah GITJ, Pati, (belum diterbitkan)

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

8

Belanda (NZG: Nederlandsche Zendeling Genootschaf) yang dibawah Zendeling Hoezoo

pada tanggal 26 Juli 1853 telah membaptis 4 orang dari Kayuapu. Semua orang yang

dibaptis itu sebelumnya Muslimin dan salah seorang di antaranya mantan santri (modin),

yaitu Nuriman. Pertobatan Nuriman dan kawan-kawannya menjadi Kristen itu

menyebabkan ia banyak mengalami penghinaan dari pihak saudara-saudara Islam.14

Kedua, pengaruh dari Tunggul Wulung dan Kawan-kawannya. Ibrahim Tunggul

Wulung adalah seorang penyebar kekristenan di beberapa daerah di Jawa. Ia bekerja di

daerah Muria, Jawa Tengah dari tahun 1855-1885. Model kehidupan kekristenan yang ia

bangun yaitu gerakan “Kristen Jawa.” Ia mencampurkan tradisi Jawa ke dalam ajarannya,

sebagaimana yang dikembangkan oleh beberapa penginjil Jawa dan Indo, seperti C.L.

Coolen di Jawa Timur.

Ketiga, yaitu pengaruh dari Misi Mennonit Belanda (DZV: Doopsgezinde Zending

Vereeniging) yang mengelola penuh jemaat ini sejak tanggal 1 Juli 1898. Misi ini

menekankan pertobatan individu, yaitu menjadikan Kristus sebagai Raja dan semua

pengikutNya harus meninggalkan kehidupan dalam budaya lamanya, termasuk

membatasi relasi dengan masyarakat Muslim sekitarnya. Menurut Alle Hoekema,

misionaris pertama DZV Pieter Jansz (1820-1904) yang datang ke Jawa dalam sikapnya

terhadap budaya, tergolong selective acculturation.15 Terhadap budayanya sendiri, Jansz

bersikap kritis. Dia menerima aspek-aspek tertentu budaya Jawa dan menyingkirkan segi-

14  Sigid Heru Sukotjo, dan  L Yoder,  : Sejarah GITJ, Pati, (belum diterbitkan) 15 Alle  Hoekema,  “Kristus  dan  Kebudayaan:  Suatu  Pandangan  Teologi  Mennonite”,  dalam  Yusri 

Panggabean, Riawati Handayani, Joseph Ginting (ed), Penabur Benih Mazhab Teologi: Menuju Manusia Baru, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, p. 177 

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

9

segi lain dari kebudayaan Jawa.16 Namun para misionari Mennonite penerus Jansz, yang

berasal dari kampung-kampung Mennonite Jerman di Ukraina, meneruskan pola hidup

mereka dalam koloni-koloni Kristen yang agak terasing dari masyarakat sekitar. Para

misionari ini merangkap sebagai kepala desa di desa-desa Kristen sekitar Muria dan

mereka tidak berhubungan dengan kebudayaan sekitarnya. Keadaan seperti ini juga yang

diberlakukan bagi orang-orang Kristen di Kayuapu, yang tentunya menjadi sangat

berpengaruh pada pandangan terhadap orang-orang yang berkepercayaan lain di

sekitarnya.

Bagaimana jemaat ini bergerak dalam imannya sehingga tetap dapat menjaga

hidup persekutuan mereka di satu pihak dan di pihak lain memelihara relasi baik dengan

para tetangga muslim mereka, hal ini tentu menjadi sesuatu yang menarik untuk

direnungkan.17 Walau pada awalnya, kelompok orang percaya ini mencari tempat yang

cukup terisolir dari orang muslim dengan membuat perdukuhan Kristen, sekarang tentu

tidak lagi demikian. Jemaat ini sekarang telah berubah, yaitu hidup bertetangga dengan

orang-orang muslim di dalam suatu perkampungan yang sama. Dengan adanya

perjumpaan dengan masyarakat Muslim sekitarnya itu, tentulah pemahaman jemaat

mengenai Kristus yang mereka hayati dan pengutusannya pun berubah. Keadaan yang

seperti ini juga tentunya telah membawa kepada pamaknaan dirinya yang baru, terutama

menjadi komunitas kristen yang tidak eksklusif, yang dapat menghayati kehadiran Allah

bersama-sama dengan umat lain.

16 Pieter  Jansz  dan  seorang  misionari  DZV  yang    lain,  Hillebrandus  Klinkert,  memelopori  beridirnya sekolah‐sekolah untuk anak Jawa dan menyusun kamus Jawa‐Melayu serta sebagai penerjemah Alkitab. Di sisi lain, Jansz memandang negatip tarian Jawa yang pada waktu itu dikaitkan dengan prostitusi. 

17 Kerukunan dalam keluarga‐keluarga Kristen jemaat itu baik. Demikian pula mereka hidup dengan damai di antara  tetangga‐tetangga yang masih memeluk agama  Islam. Lih.   Karmito,”  Jemaat Kayuapu Abad Ke‐19  dan  Awal  Abad  Ke‐20:  Catatan‐catatan  Sejarah  Tak  Terabaikan  dari  A.G.  Hoekema”,  tidak diterbitkan, p.8 

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

10

Masih adanya pemahaman bahwa Kristen identik dengan imperialisme18 justru

karena sikap dan cara pandang sebagian orang Kristen sendiri terhadap pemeluk agama

lain yang mencerminkan sikap intoleran. Mereka beranggapan bahwa dengan adanya

toleransi, banyak hal esensial dalam kekristenan akan dikorbankan atau dikhianati.19

Yang dimaksudkan dengan hal esensial yang dikhianati itu pada intinya adalah keyakinan

bahwa Yesus Kristus sebagai Sang Penyelamat satu-satunya untuk dunia ini; di luar-Nya

tidak ada keselamatan dan pengenalan akan Allah yang benar. Dapat hidup berelasi baik

dengan umat beragama lain, berarti sama saja dengan mengakui kebenaran selain yang

diberitakan Alkitab, sehingga pada akhirnya mengingkari keunikan Yesus Kristus sebagai

Juruselamat yang satu-satunya atau menganggap “semua agama sama saja”.20

Pemahaman semacam itu lahir dari cara pandang maupun ideologi tertentu

terhadap Alkitab. Orang-orang yang melakukan klaim kebenaran iman secara tertutup

seperti itu merasa yakin bahwa mereka menemukan pemahaman itu berdasarkan berita

Alkitab. Apakah gambaran mengenai Allah di dalam Kristus di dalam Alkitab adalah

Allah yang membuat penolakan terhadap manusia seperti itu? Injil itu bukanlah sebuah

berita penolakan melainkan justru penerimaan Allah akan semua manusia karena

kasihNya. Apa yang telah dilakukan oleh Yesus sesuai kehendak Allah justru merupakan

pernyataan penerimaan dan kasih Allah itu kepada semua jenis manusia. Kasih Allah itu

tidak bersyarat. Allah menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik

serta menurunkan hujan bagi orang yang benar maupun tidak benar. (Mat 5:45). Karena

18 Ma’mun Mu’min,  “Pluralisme Dalam Kehidupan Pemeluk Beda Agama  (Studi Kasus di Desa Rahtawu Kabupten  Kudus),”  Proposal  Desertasi  Pasca  Sarjana  UIN  Sunan  Kalijaga  Yogyakarta,  2005,  p.15 Berdasarkan pengamatan Ma’mun Mu’min ini  sesuatu yang berasal dari Barat (Kirsten), oleh sebagian umat muslim  selalu diprasangkai, bahkan dibenci dan dianggap ‘haram’ hukumnya 

19 Ioanes Rakhmat, “Bangunan Agama dan Toleransi”, dalam Hardianto, Soegeng, dkk, (ed),  Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, p.92    

20  Ibid    

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

11

kasih Allah ini, Injil memanggil kita untuk bertobat, yaitu berbalik dari kehidupan yang

berpusat pada diri sendiri dan memulai kehidupan yang berpusat kepada kasih serta

penerimaan Allah.21 Ini berarti kita hidup bagi pemenuhan pemerintahan Allah di dunia

ini, seperti yang dinyatakan Kristus dalam sabda dan karyaNya.

Sejarah perkembangan gereja menyatakan bahwa gereja selalu dihadapkan pada

suatu realitas sosial yang baru. Kalau kekristenan mula-mula ada dalam situasi

masyarakat Yahudi, selanjutnya harus bersentuhan langsung dengan agama dan

kebudayaan dunia Yunani-Romawi. Perjumpaan-perjumpaan itu mempengaruhi

perumusan dan penafsiran iman Kristen. Pada masa lalu, kontaks dengan agama-agama

lain mempunyai dampak yang memperkaya dan memperluas iman Kristen. Namun di

sisi lain juga muncul kecenderungan perkembangan pemahaman yang menolak untuk

memandang kepercayaan lain dengan serius.22 Teologi yang muncul kemudian melulu

bersifat apologetis, bahwa iman kristen itu superior terhadap kepercayaan-kepercayaan

lain.

Sekarang ini telah semakin nampak adanya kesadaran baru dalam hidup

menggereja sesuai dengan situasi baru yang tidak dapat diabaikan. Kemajemukan agama

sekarang ini telah menjadi realitas pada hampir setiap masyarakat. Kehidupan dalam

kemajemukan tradisi religius dipahami bukan hanya sebagai fakta yang kita jumpai tetapi

sekaligus telah mulai digumuli sebagai suatu pemberian Allah.23 Dengan demikian sudah

semestinya agama-agama dengan keunikan tradisinya perlu diterima sebagai sarana dan

21  Wesley Ariarajah, Alkitab dan Orang‐orang Yang Berkepercayaan Lain (Terjemahan dari judul asli: The Bible and people of their faiths, oleh Eka Darmaputera), PT. BPK Gunung  Mulia, Jakarta, 2000, p.44 

22 Ioanes Rakhmat, “Bangunan Agama dan Toleransi”, dalam Hardianto, Soegeng, dkk, (ed),  Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001,p.87 

23  J.B  Banawiratma,  Hidup  Menggereja  Yang  Terbuka,  dalam  Gereja  Indonesia,  Quo  Vadis?  Hidup Menggereja Kontekstual, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p.183. 

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

12

wujud penghayatan hubungan manusia dengan Allah dalam keterbatasan manusia itu

sendiri. Pengakuan akan keterbatasan kita dalam menangkap realitas Allah yang tak

terjangkau sepenuhnya itu menjadikan kita terbuka untuk hidup bersama dalam sikap

bersedia diperkaya dan memperkaya pengalaman iman saudara-saudara beragama lain.24

Yang terjadi dalam relasi dialogis dengan orang-orang yang beragama lain yaitu

kejujuran dan keterbukaan untuk saling menghargai dan menghormati, terbuka terhadap

kritik demi terwujudnya perubahan hidup bersama yang semakin baik. Kesediaan

menerima kebenaran agama lain tentu bukan sikap menganggap semua agama itu sama

saja. Kalau semuanya sama saja, maka tidak akan terjadi keadaan saling memperkaya.

Kehidupan bersama dengan umat beragama yang lain perhatian serius, tentu

dalam rangka dialog dan kerjasama dalam menangani masalah-masalah sosial bersama

demi kesejahteraan hidup dengan mendahulukan orang miskin dan yang kurang

diberdayakan. Orang-orang kaya diundang untuk menjumpai dan mengikut Kristus dalam

menyatakan solidaritas terhadap kaum yang paling hina.25 Untuk itu pengalaman

perjumpaan dengan tradisi agama lain itu juga meniscayakan perubahan orientasi

kehidupan kita melalui perubahan gambaran kita akan Allah dan kehendaknya bagi kita

dalam dunia sekarang ini. Demikian pula, gambaran akan Yesus Kristus bagi gereja yang

hidup dalam konteks sekarang ini tidak dapat ditemukan hanya dengan menggunakan

doktrin-doktrin gereja pada masa lalu yang muncul dalam situasi dan permasalahan yang

berbeda dengan persoalan gereja sekarang ini.

24  J.B  Banawiratma,  Hidup  Menggereja  Yang  Terbuka,  dalam  Gereja  Indonesia,  Quo  Vadis?  Hidup 

Menggereja Kontekstual, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p. 184 25 J.B Banawiratma, Sepuluh Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin dengan  Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup, Kanisius, Jogjakarta, 2002, p.44 

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

13

Sehingga sudah sewajarnya, jika Jemaat GITJ Kayuapu perlu memikirkan

kembali penghayatannya akan Kristus secara terus-menerus, agar dapat menjadi

komunitas Kristiani yang menghadirkan pemerintahan Allah, kini dan di sini.

Penghayatan akan Kristus ini dilakukan dalam konteks masyarakat plural melalui

komunikasi iman secara dialogis dengan umat lain di sekitarnya.

B. Tujuan Penulisan

Studi ini dilakukan dengan tujuan jemaat GITJ Kayuapu secara khusus maupun

jemaat-jemaat GITJ lainnya, menyadari betapa pentingnya pemahaman Kristologi jemaat

dengan memperhatikan konteks masyarakat majemuk, sehingga kehadiran Jemaat ini

menjadi bermakna dan diterima oleh masyarakatnya. Selain itu, dengan memahami Yesus

Kristus sesuai dengan konteksnya, maka jemaat GITJ Kayuapu mampu keluar dari

pemahaman paradigma misi lamanya, yaitu menjadikan orang yang belum Kristen

menjadi Kristen, yang dianggap sebagai pemenuhan amanat agung Yesus Kristus.

Dengan demikian, orientasi jemaat bukan pada pementingan diri dan rasa berkewajiban

untuk menobatkan orang non-Kristen menjadi Kristen, melainkan terutama pertobatan

diri sendiri, pembaruan hubungan yang radikal dengan Allah dan sesama. Kesaksian

Kristen kemudian hadir melalui proses perjumpaan dari orang-orang percaya yang telah

mengalami perubahan akan orientasi hidup yang berpusat pada diri sendiri kepada hidup

yang berpusat pada Allah.

Pengungkapan akan Allah dalam Yesus Kristus bagi dunia yang ditemukan dalam

realitas otentiknya, akan menggerakkan seluruh aspek kehidupan jemaat dalam

mewujudkan harapan alam semesta ini sebagai tempat penyelenggaraan pemerintahan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

14

Allah. Dalam hal ini pembangunan jemaat dipahami sebagai upaya menjadikan diri

bermakna bagi kesejahteraan hidup bersama dalam realitas masyarakat yang berbeda-

beda agama dan bukan upaya memperbesar diri atau kelompok sendiri.

C. Kerangka Teoritis

Penulis menyadari pentingnya teori yang dipakai sebagai perspektif atau

pangkal tolak dan sudut pandang untuk menyelami pikiran subyek yang diteliti serta

untuk menafsirkan dan memakai setiap fenomena dalam rangka membangun konsep.26

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan pemikiran Tom Jacobs, SJ dalam

menyatakan perubahan dalam perumusan iman akan Yesus Kristus. Dalam pemikiran

Tom Jacobs, SJ., menurut penulis hal yang perlu dipikirkan dalam Kristologi sebagai

berikut:

Masalah mengenai bahasa Alkitab dan bahasa gereja itu tidak jelas. Bahasa

Kitab Suci banyak menggunakan makna kiasan atau metaforis. Untuk bisa memahami

maknanya tentu harus memahami situasi konkret jamannya atau jika sebagai “orang

dalam,” artinya bagi orang yang sudah terlibat dalam pikiran bersama itu dan tahu

bagaimana menempatkan kata-kata khusus ini dalam keseluruhan pengertian dan

percakapan bersama.27 Contoh dalam hal ini, yaitu mengenai perkataan Yesus: “Aku dan

Bapa adalah satu.” Begitu juga bahasa yang digunakan gereja dalam rumusan-rumusan

26  Imam  Suprayogo,  dkk, Metodologi  Penelitian‐Sosial Agama,  PT  Remaja  Rosdakarya,  Bandung,  2003, p.129. Dalam buku  ini dikutip definisi teori dari Kerlinger  (1973): Teori sebagai “seperangkat konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang menyajikan gejala (fenomena) secara sistematis, merinci hubungan antara variabel‐variabel, dengan tujuan menerangkan gejala tersebut.  

27 Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p.145 

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

15

iman akan Yesus dengan istilah “Tritunggal yang Maha Kudus”, “Tiga pribadi dalam

Allah: Bapa, Putra dan Roh Kudus”. Pribadi (hypostasis), tidak selalu mudah dipahami

dalam ungkapan itu, maka kemudian diusulkan ungkapan “cara berada yang khusus”

tetapi yang terakhir ini pun tidak lebih mudah dipahami.28

Pemahaman Kristologi dalam Alkitab ( Kitab-kitab Injil, Yohanes, Surat-surat

Yohanes, Surat-surat Paulus dan Ibrani) berbeda-beda dan kemudian mengalami

perubahan yang pada prinsipnya mencerminkan masalah-masalah yang dialami oleh

jemaat Kristen pada jamannya dalam rangka aktualisasi iman. Para murid Yesus dan

gereja perdana mengalami fakta pengalaman dengan Yesus dan memandang bahwa

Yesus memiliki relasi personal yang sedemikian istimewa dengan Allah. Sedemikian

khususnya relasi personal Yesus dan Allah, sehingga orang tidak mampu memahami itu

sepenuhnya dan dapat menangkapnya sebagai suatu rahasia Ilahi atau misteri. Dalam

bahasa Ibrani misteri itu “sôd” dan Aram “raz”, ialah bahwa yang mengetahuinya

hanyalah Allah dan juga para sahabatNya yang kepada mereka Allah berkenan

mengungkapkannya.29

Dalam perspektif misteri ini, para murid Yesus dan penulis Perjanjian Baru

mengenakan kepada Yesus dalam relasi dengan Allah, sebutan yang berbeda-beda sesuai

dengan pengaruh pandangan yang hidup pada masa itu. Jadi ada latar belakang tertentu,

Yesus disebut Nabi, Guru, Kristus (Mesias), Anak Allah (Anak Manusia), Tuhan.30

Namun demikian monoteisme Yahudi tetap dipertahankan di dalam seluruh Perjanjian

Baru.

28 Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, Jogjakarta, 2000 29  Ibid, p.38 30 Ibid, p 49‐126 

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

16

Perubahan mulai terjadi pada masa pasca-apostolis. Pemahaman Kristus sebagai

Allah telah menjadi lazim pada zaman pasca-apostolis ini. Menurut pemahaman Tom

Jacobs, SJ hal ini disebabkan gereja kehilangan hubungan dengan masyarakat dan

kebudayaan Yahudi. Alam pikiran dan terutama bahasa agama mulai berubah.31 Pokok

permasalahan yang mengemuka bukan lagi mengenai peran dan karya Kristus berkaitan

dengan karya Allah dalam penyelamatan, melainkan pembicaraan mengenai Allah secara

ontologis dan metafisis dunia Yunani pada waktu itu.

Tokoh-tokoh yang berpengaruh pada era pasca-apostolik di antaranya yaitu

Ignatius dari Antiokia (35-107), Yustinus (100-163), Ireneus (130-200), Klemens dari

Alexandria (150-215), Tertulianus (160-225) dan Origenes (185-254). Rumusan-rumusan

baru mengenai Kristus pada jaman itu bukan dimaksudkan sebagai suatu penyangkalan

terhadap iman mula-mula, melainkan semua itu merupakan upaya menjadikan iman

Alkitabiah dapat dipertahankan dalam kerangka berpikir Hellenis. Perubahan perumusan

iman akan Yesus itu misalnya dalam gelar Anak Allah. Ignatius dari Antiokhia

memahami hal itu bukan dalam pengertian metafora, tetapi dalam arti “biasa”: Yesus

Kristus, yang menurut daging dari keturunan Daud, adalah anak manusia dan anak

Allah.32 Di sini, Anak Manusia dipahami sebagai seorang manusia dan Anak Allah

dimengerti sebagai Allah. Pemahaman mengenai satu Allah dipertahankan, tetapi karena

kehadiran Allah di dalam Kristus, membuat Dia menjadi ilahi. Kristus sendiri disebut

31 Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p. 145 

32  Ibid, p.149 

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

17

sebagai Allah oleh Ignatius dimaksudkan untuk menonjolkan kesatuan Kristus dengan

Bapa.33

Perubahan berikutnya yaitu mengenai pemahaman tentang Allah sebagai subyek

keselamatan (soteriologi) yang disaksikan pada seluruh Alkitab dan perkembangan

pemahaman itu pada kekristenan abad 3 dan 4 Masehi. Persoalan yang muncul yaitu

mengenai perdebatan tentang bagaimana manusia bersatu dengan Allah dan apa peran

Yesus Kristus dalam proses ini.34 Pewartaan dan kesaksian dalam Alkitab bukan menjadi

titik tolak perdebatan, melainkan rumusan-rumusan iman yang telah campur-aduk

dengan pemikiran spekulatif dunia filsafat pada waktu itu. Jadi di sini rumusan metafora

(Alkitab) diubah menjadi rumusan dogma yang mengikat. Sedangkan ayat-ayat Alkitab

dipakai dalam rangka mendukung pemikiran yang ada. Ada dua kecenderungan yang

tampak dalam Kristologi, yaitu subordianisme dan monarkhisme35 yang berperan bagi

munculnya berbagai rumusan dogmatis sebagai latar-belakang munculnya beberapa

konsili gereja yang kemudian muncul rumusan-rumusan pengakuan iman yang

mencerminkan persoalan tersebut. Rumusan-rumusan dogmatis dalam terminologi

Yunani yang rumit itu akhirnya justru mengaburkan penghayatan iman akan monoteisme

(Yahudi), sehingga Trinitas disalah-artikan menjadi triteisme.

Tanpa mengecilkan makna segala rumusan dogmatis (hellenis) yang muncul, kita

perlu kembali kepada penghayatan awal. Betapapun para penulis Perjanjian Baru sangat

meninggikan Kristus, namun pada dasarnya mereka tetap berada dalam kerangka

33. Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p. 151 

34  Ibid, p. 184 35  Subordianisme:  kecenderungan  mengebawahkan  peran  Yesus,  maka  muncul  istilah  Logos,  Anak, Firman,  Citra,  Kebijaksanaan  dsb. Monarkhisme:  kecenderungan mengilahikan  Yesus.  Akibat  adanya dua  kecenderungan  ini,  muncul  berbagai  rumusan  dogmatis  dalam  beberapa  konsili:  Nikea  (325), Konstantinopel (381), Efesus (431) dan Chalcedon (451). 

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

18

monoteisme Yahudi. Yang selalu harus disadari dalam dogma “Trinitas” yaitu bahwa

Kristus tidak “sama” dengan Allah, tetapi seorang manusia,36 yaitu manusia yang

memiliki hubungan sangat personal dengan Allah melebihi semuanya. Allah dengan

demikian tetap merupakan Allah yang berkenan hadir menyertai umat manusia.

Yang perlu bagi kita sekarang untuk dapat melakukan komunikasi iman yaitu:

Kita sadar akan kenyataan bahwa dalam peredaran jaman, kata-kata dan rumus-rumus

dapat memperoleh arti dan maksud yang lain. Iman tidak menyangkut kata atau rumus,

melainkan fakta dan pengalaman. Untuk dapat memahami apa yang diimani orang

Kristen mengenai Yesus Kristus, pegangan kita bukan hanya Kitab Suci dan pengajaran

Gereja, melainkan yang paling penting adalah komunikasi iman sekarang, berdasarkan

penghayatan iman masing-masing orang beriman.

Yang dimaksud penulis dengan komunikasi iman yaitu dalam memahami Allah,

kita memiliki keterbatasan penangkapan dan pengungkapan iman dalam segala

bentuknya sehingga melibatkan pemahaman iman orang lain dalam suatu proses

perjumpaan yang saling memengaruhi atau mengayakan pemahaman masing-masing.37

Tidak ada orang atau gereja sekarang ini yang mengklaim bahwa rumusan

imannya mengungkapkan seluruh kekayaan iman. Hanya dengan komunikasi iman,

maksud dan arti dapat menjadi jelas. Karena itu persoalan bukanlah “pemurnian” rumus

atau “penyesuaian,” melainkan fungsionalisasi rumus supaya berguna lagi dalam proses

36 Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p. 134 

37 Dalam hal  ini, penting diperhatikan  adanya dialog dengan  tradisi‐tradisi  lain bagi penghayatan  iman Kristiani  dalam masyarakat    Indonesia  yang  pluri‐relegius  dan  pluri‐kultural.  Lih.  J.B.  Banawiratma, “Teologi  Fungsional‐Teologi  Kontekstual”,  dalam  Eka  Darmaputera  (ed),  Konteks  Berteologi  di Indonesia:  Buku  Penghormatan  untuk  HUT  ke‐70  Prof.  Dr.  P.D  Latuihamallo  ,  BPK.  Gunung Mulia, Jakarta, 1997,  p. 59.  

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

19

komunikasi iman.38 Dan itu tidak mungkin tanpa keterlibatan pribadi. Yang dicari adalah

pemahaman rumus-rumus tradisional dalam kehidupan iman jemaat sekarang.39 Hal ini

berarti bahwa sebutan-sebutan Yesus dalam Kitab Suci maupun rumusan-rumusan

doktrin gereja pada masa lalu perlu kita maknai secara baru supaya dapat dipahami oleh

semua orang dalam konteksnya.

D. Masalah dan Judul

Rumusan Permasalahan dalam Tesis ini adalah:

1. Seperti apa pemahaman jemaat mengenai Yesus Kristus?

2. Apa dampak pemahamannya tentang Yesus Kristus itu pada sikap terhadap orang

yang beragama Islam di sekitarnya?

3. Ke arah manakah selanjudnya pewartaan mengenai Yesus Kristus?

Berdasarkan pertimbangan dan pertanyaan-pertanyaaan di atas, maka penulis

meletakkan permasalahan itu dalam judul:

“Kristologi Jemaat GITJ Kayuapu dalam Perjumpaan dengan Masyarakat Muslim

Sekitarnya.”

38 Kesadaran akan pentingnya mengkaji ulang dogma Trinitas bagi Tom Jacobs  muncul berkat pengalaman eksistensial diri pribadinya. Titik tolaknya yaitu kehidupan sehari‐hari dengan umat Muslim. 

39 Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius,  2000, p. 31  

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

20

E. Hipotesa

1. Pemahaman mengenai Yesus Kristus jemaat GITJ Kayuapu didasarkan pada

gambaran Kristus yang triumfalistis. Gambaran Kristus yang tidak diperoleh

secara langsung dari penghayatannya terhadap Injil (Kitab Suci) dalam realitas

konteksnya sekarang ini.

2. Pemahaman mengenai Yesus Kristus yang eksklusif itu berpengaruh bagi cara

hidup menggerejanya, sehingga menjadi gereja yang kurang sungguh-sungguh

dapat menghargai pemahaman iman orang muslim sekitarnya.

3. Diperlukan pewartaan yang berorientasi pada perwujudan masyarakat yang

mengembangkan nilai-nilai masyarakat Kerajaan Allah sebagaimana telah nyata

dalam pewartaan dan pelayanan Yesus Kristus. Yesus mengarahkan tindakanNya

untuk perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih penuh bagi orang-orang

disekitarnya, terutama bagi mereka yang menderita.

F. Metode Penelitian

Penulis menggunakan pendekatan atau metode penelitian kualitatif. Disain

penelitian kualitatif ini dipilih berdasarkan permasalahan penelitian yang mencakup

makna dalam konstruksi sosial dalam kehidupan sehari-hari atau kebudayaan. Dalam hal

ini penulis lebih memperhatikan proses (dari suatu fenomena sosial) ketimbang hasil atau

produk semata.40 Kajian pustaka dilakukan sebelum melakukan studi lapangan, dalam

rangka menyediakan kerangka konsepsi (teori) penelitian lapangan. Sedangkan dalam

40    Imam Suprayogo, dkk, Metodologi Penelitian‐Sosial Agama, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003, 

p.122 

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

21

teknis penelitian lapangan, penulis melakukan wawancara terbuka untuk menemukan

kategori pemahaman jemaat maupun tata nilai yang mengarahkan tingkah laku.41

Wawancara terbuka tidak berdasarkan daftar pertanyaan baku, walaupun peneliti

mencatat pokok-pokok mana yang harus dibicarakan.42

Penulis dalam menjawab permasalahan tesis di atas, menggunakan tahap-tahap

yang tergambar dalam Lingkaran Pastoral.43 Keempat pertanyaan ini membantu penulis

untuk menanggapi secara lebih efektif pemahaman akan Yesus Kristus jemaat GITJ

Kayuapu, melalui pemahaman yang mendalam dan evaluasi yang lebih menyeluruh.

1. Apa yang ada di sini?

Menghimpun data, cerita-cerita, gambaran apa yang sedang berlangsung di

dalam jemaat ini. Apa yang sedang dilakukan orang-orang, yang sedang

mereka rasakan, apa kisah-kisah yang mereka katakan, bagaimana mereka

menanggapinya?

2. Mengapa hal itu terjadi?

Pemeriksaan berbagai penyebab, keterkaitan-keterkaitan dan konsekuensi-

konsekuensi (dampak) dari apa yang terjadi. Siapa saja yang menjadi pelaku

kunci dan apa peranan-peranan yang mereka mainkan, apa yang telah pernah

terjadi di dalam sejarah dari peristiwa ini, apa pengaruhnya baik yang nyata

maupun yang tersembunyi?

41  John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris, Grasindo, Jakarta, 1997, p. 96 42  Ibid 43  Lingkaran  Pastoral  adalah  sebuah  proses  menjawab  empat  pertanyaan  yang  mendasar  seputar  pengalaman  yang  kita  miliki,  baik  itu  pengalamam  kita  secara  individual  maupun  dalam  suatu masyarakat.   Frans Wijsen, Peter Henriot, Rodrigo Mejia  (eds), The Pastoral Circle Revisited: A Critical Quest for Truth and Transformation, Orbis Books, New York, 2005, p.229.  

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

22

3. Bagaimana kita mengevaluasinya?

Memahami makna dari apa yang terjadi dalam jemaat ini dalam terang nilai-

nilai iman Kristen dalam rangka pengalaman hidup sehari-hari bersama umat

yang berbeda agama demi hasil yang positip. Bagaimana perspektif iman kita

membawa hasil (bermakna) pada pengalaman itu, apa pertanyaan-pertanyaan

baru yang kemudian muncul dan pemahaman-pemahaman yang disarankan

dalam terang sumber-sumber tradisional dari tulisan dan pengajaran?

4. Bagaimana kita menanggapinya?

Melangkah ke dalam tahap-tahap perencanaan, tindakan, dan agar memberi

dampak perubahan yang diharapkan dalam jemaat ini. Strategi apa yang dapat

dipilih untuk perubahan dalam tahap-tahap jangka pendek dan jangka panjang

diperlukan untuk membawa perubahan.

G. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang permasalahan, kerangka teoritis, rumusan

permasalahan, topik, hipotesis, tujuan penulisan, metode penulisan, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Gambaran Alkitab dan Perumusan Dogma Mengenai Yesus Kristus

Bab ini berisi perubahan perumusan Kristologis yang mengacu pada

pemikiran Tom Jacobs. Mula-mula disajikan sebutan-sebutan mengenai Yesus

sesuai gambaran Alkitab dan selanjutnya ditunjukkan adanya perubahan

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Ke Dalam …sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030164/fd0d71... · Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater , BPK ... Postmodern”,

23

perumusan dogmatis mengenai Yesus pada tokoh-tokoh gereja yang

berpengaruh di dalam konsili-konsili gereja.

Bab III : Pemahaman Jemaat GITJ Kayuapu Mengenai Yesus Kristus

Bab ini merupakan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan di Jemaat GITJ

Kayuapu di Kudus. Hasil penelitian ini menggambarkan pemahaman Jemaat

mengenai Yesus Kristus yang berpengaruh pada pandangan Jemaat terhadap

orang-orang Muslim sekitarnya. Penulis juga berusaha menjelaskan mengapa

pemahaman itu terjadi dan sejauhmana hal itu berpengaruh pada upaya

membangun dialog antar umat beriman sebagai agenda penting dalam konteks

berteologi di Indonesia.

Bab IV: Wajah Kristus dalam Perjumpaan dengan Yang Lain

Bagian ini berisi refleksi teologis atas pemahaman jemaat mengenai Yesus

Kristus dan pengaruhnya pada sikap terhadap umat Muslim itu. Penulis dalam

hal ini mengemukakan penggambaran Perjanjian Baru akan Yesus Kristus dan

pewartaanNya mengenai Kerajaan Allah menjadi sangat relevan bagi

penghayatan jemaat akan Yesus Kristus dalam perjumpaan dengan masyarakat

Muslim.

Bab V: Penutup

Bagian ini merupakan kesimpulan dari seluruh penelitian dalam tesis ini dan

saran-saran untuk suatu perubahan jemaat.