15
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas 153.567 km 2 atau 1,5 kali luas Pulau Jawa, terletak di garis ekuator atau di tengah-tengah kawasan Asia Pasifik dengan hamparan kawasan hutan tropis yang luas sehingga Provinsi Kalimantan Tengah sering dijuluki dengan sebutan paru-paru dunia atau the Lung of the World”. Luas lahan gambut di Kalimantan Tengah mencapai 3.010.640 hektar dari luas Provinsi Kalimantan Tengah dengan estimasi kandungan karbon mencapai 6.351,47 juta ton atau 6,3 gita ton karbon (Bappeda Kalteng, 2011). Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan yang basah/tergenang tersebut. Sebagai sebuah ekosistem lahan basah, gambut memiliki sifat yang unik dibandingkan dengan ekosistem- ekosistem lainnya. Gambut mulai gencar dibicarakan orang sejak lima belas tahun terakhir, ketika dunia mulai menyadari bahwa sumberdaya alam ini tidak hanya sekedar berfungsi sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budidaya dan sumber energi, tetapi juga memiliki peran yang lebih besar lagi dalam perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia (Najiyati et al., 2005:6-8).

BAB I PENDAHULUAN atau 1,5 kali luas the Lung of the ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74815/potongan/S2-2014... · sekedar berfungsi sebagai pengatur hidrologi, ... besar

  • Upload
    phamdat

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas 153.567 km2 atau 1,5 kali luas

Pulau Jawa, terletak di garis ekuator atau di tengah-tengah kawasan Asia Pasifik

dengan hamparan kawasan hutan tropis yang luas sehingga Provinsi Kalimantan

Tengah sering dijuluki dengan sebutan paru-paru dunia atau the Lung of the

World”. Luas lahan gambut di Kalimantan Tengah mencapai 3.010.640 hektar

dari luas Provinsi Kalimantan Tengah dengan estimasi kandungan karbon

mencapai 6.351,47 juta ton atau 6,3 gita ton karbon (Bappeda Kalteng, 2011).

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh

adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari

reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi

karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan

organik di lantai hutan yang basah/tergenang tersebut. Sebagai sebuah ekosistem

lahan basah, gambut memiliki sifat yang unik dibandingkan dengan ekosistem-

ekosistem lainnya. Gambut mulai gencar dibicarakan orang sejak lima belas tahun

terakhir, ketika dunia mulai menyadari bahwa sumberdaya alam ini tidak hanya

sekedar berfungsi sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman

hayati, tempat budidaya dan sumber energi, tetapi juga memiliki peran yang lebih

besar lagi dalam perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap

dan menyimpan cadangan karbon dunia (Najiyati et al., 2005:6-8).

2

Gambar 1.1. Lahan Gambut Sumber: Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI),

http://www.indo-peat.net

Saat ini, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Provinsi Kalimantan

Tengah dalam pengelolaan gambut berkelanjutan adalah persoalan bekas Proyek

Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang terbengkalai. Program

3

ini merupakan program gagasan dari Presiden Soeharto pada tahun 1995 untuk

menjawab tantangan pembangunan pertanian yang semakin berat

(Notohadiprawiro, TT:1). Luas keseluruhan wilayah PLG adalah 1.462.296 hektar

(Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks-PLG, 2008). Sejarah

singkat program ini dilampirkan pada Lampiran E.

Program PLG Sejuta Hektar meninggalkan beberapa masalah, yaitu:

konversi lahan gambut, kebakaran hutan dan lahan, drainase, pembalakan kayu,

dan keadaan masyarakat lokal serta warga transmigran yang memprihatinkan:

Gambar 1.2. Perubahan yang drastis. Kondisi sebelum dan sesudah Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG)

Sumber: Ditjen Bina Bangda

1. Konversi lahan gambut untuk lahan pertanian melalui program

Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang tidak

memperhatikan aspek daya dukung lahan dan karakterisitik fisik dan kimia

gambut menjadi pemicu awal terjadinya degradasi lahan gambut yang

cukup masif. Tidak seluruh kawasan PLG cocok untuk lahan budidaya

pertanian. Karena dihadapkan pada keterbatasan daya dukung dan

karakteristik fisik-kimia dan biologi lahan yang tidak mendukung untuk

dijadikan areal kegiatan budidaya pertanian sehingga proyek yang dulunya

4

punya tujuan cukup mulia tersebut justru berimplikasi negatif terhadap

persoalan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup.

2. Kebakaran hutan dan lahan gambut hampir terjadi setiap datangnya

musim kemarau. Kebakaran hutan dan lahan gambut ini berimplikasi luas

terhadap deplesi gambut, emisi karbon dioksida (CO2), hilangnya

biodiversitas serta menimbulkan berbagai dampak negatif secara sosial,

ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Gambar 1.3. Kebakaran hebat yang terjadi pada tahun 1997

Sumber: Ditjen Bina Bangda

3. Drainase kawasan hutan dan lahan gambut yang berlebihan akibat

pembangunan saluran-saluran air di kawasan PLG telah mengakibatkan

pengurasan air gambut secara berlebihan (overdrained), sehingga muka air

di lahan gambut mengalami penurunan sangat signifikan di musim

kemarau. Akibatnya lahan gambut mengalami kekeringan berlebihan yang

menyebabkan lahan gambut menjadi sangat rentan terhadap bahaya

5

kebakaran. Drainase berlebihan berimplikasi negatif terhadap laju

subsidensi gambut, kekeringan tak balik dan emisi gas karbon dioksida

(CO2) ke atmosfir sehingga berkontribusi terhadap meningkatnya

pemanasan global (global warming).

Gambar 1.4. Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 km yang

menghubungkan Sungai Kahayan, Sungai Sebangau, Sungai Kapuas, dan Sungai Barito dan memotong banyak anak sungai.

(Sumber: Ditjen Bina Bangda)

4. Pembalakan khususnya pembalakan liar (illegal logging) di kawasan

hutan rawa gambut merupakan salah satu faktor terjadinya akserelasi

degradasi lahan gambut. Implikasi dari kegiatan pembalakan secara ilegal

adalah kehilangan sumber pendapatan daerah berupa pajak-pajak,

6

menurunnya biodiversitas, meningkatnya jumlah keluarga miskin dan lain-

lain. Pembalakan di kawasan hutan terjadi karena tersedianya saluran-

saluran air PLG yang memudahkan pembalak untuk menghanyutkan/

membawa kayu hasil tebangan.

Gambar 1.5. Kanal-kanal pencurian kayu Sumber: Ditjen Bina Bangda

5. Kondisi ekonomi dan sosial masyarakat lokal dan transmigran yang

memprihatinkan disebabkan perubahan ekosistem. Usaha tradisional

masyarakat lokal khususnya Suku Dayak yang telah diandalkan sebagai

penopang ekonomi secara berkelanjutan, menjadi rusak hingga hilang atau

tidak lagi produktif seperti sebelumnya. Hilangnya beje dan tatah (teknik

penangkapan ikan secara tradisional) di beberapa desa seperti di Dadahup,

Terantang, dan Lamunti. Sebelum proyek PLG dilaksanakan produksi

ikan dari beje dan tatah di daerah kajian sekitar 500 – 2000 kg/beje/tahun

dengan total produksi sekitar 2000 ton/tahun atau senilai 10 miliar rupiah.

Namun setelah proyek PLG dilaksanakan, pada tahun 2000 produksi beje

yang masih tersisa menurun sangat drastis antara 5 – 150 kg ikan/beje atau

7

sekitar 10 – 20 ton ikan senilai 75 juta rupiah (Bappeda Kalteng, 2006).

Pembuatan kanal yang sangat panjang, besar dan dalam serta penempatan

warga pada lahan gambut tebal mengabaikan pengetahuan lokal (local

knowledge) masyarakat yang telah turun temurun. Pembuatan Saluran

Primer Induk memotong kubah gambut tebal dan beberapa Saluran Primer

Utama mengiris memanjang punggung kubah gambut, sehingga

menyebabkan kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim

hujan. Masyarakat Dayak sebelumnya hanya memanfaatkan gambut tipis

(disebut petak luwau) yang terdapat di belakang tanggul sungai

(permukiman Suku Dayak terkonsentrasi pada daerah lahan kering atau

tanah mineral di daerah pedalaman), dan sistem handel di daerah pasang

surut, pembuatan handel (kanal berdimensi kecil), yaitu sempit (1-2 m),

dangkal (1-2 m) dan pendek (0,5-2 km) dilakukan berdasarkan

kemampuan air masuk ke daerah bagian dalam sebagai akibat dorongan

air laut.

Gambar 1.6. Rumah masyarakat lokal dan transmigran di Kawasan PLG yang dilanda banjir

Sumber: Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah

8

Penempatan masyarakat lokal dan warga transmigran di atas lahan gambut

tebal dan di daerah antara dua sungai yang aspek hidrologinya bermasalah

menyebabkan mereka sangat kesulitan mengembangkan usahataninya,

sehingga banyak diantara mereka memilih pindah, bekerja sebagai buruh

di perkotaan dan melakukan kegiatan liar (usaha kayu dan tambang),

sedangkan mereka yang menempati lahan gambut tipis kesulitan untuk

memasarkan hasil pertaniannya, karena jarak pasar yang jauh, dan

transportasi yang sulit dan mahal. Akibatnya, hasil pertanian mereka

menjadi tidak bernilai.

Selama tahun penempatan 1996 hingga 1999 jumlah transmigran yang

ditempatkan sebanyak 15.600 keluarga transmigran. Akibat kesulitan

hidup yang dialami, sebanyak 7.100 KK meninggalkan Unit Permukiman

Transmigrasi (UPT). Sehingga pada 30 Juni 2007 transmigran yang masih

menetap di UPT sebanyak 8.500 KK dan pada Maret 2012 jumlah

keluarga transmigran yang menetap di UPT terus berkurang menjadi 7.839

KK (Dinas Nakertrans, 2012). Lahan usaha tani (lahan produktif) yang

diserahkan kepada transmigran seluas 2 Ha/KK, 80% di antaranya kini

menjadi lahan tidur.

Berbagai upaya pengelolaan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi PLG

telah dilakukan, demikian juga berbagai kebijakan sehubungan dengan

pengembangan kawasan PLG telah dikeluarkan. Mulai dari Keputusan Presiden

Nomor 80 Tahun 1998 yang menghentikan untuk sementara waktu proyek

pengembangan PLG, Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1998, Keputusan

9

Presiden Nomor 133 Tahun 1998, dan terakhir Keputusan Presiden Nomor 80

Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan

PLG di Kalimantan Tengah. Pemerintah juga telah memiliki konsep Rencana

Rehabilitasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah yang disusun oleh Tim Ad Hoc

Penyelesaian Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah yang

dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Negara Percepatan Pembangunan KTI

No. SK/004/KH.DP-KTI/IX/2002. Berbagai upaya ini ternyata belum cukup

untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ekologi, sosial ekonomi, dan politik

kawasan pengembangan PLG.

Pada tanggal 16 Maret 2007 dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2

Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan

Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah yang menginstruksikan

kepada 15 lembaga pemerintah yaitu: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian,

Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertanian, Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan,

Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri

Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Ketua Bappenas, Gubernur

Kalimantan Tengah, Walikota Palangka Raya, Bupati Kapuas, Bupati Barito

Selatan dan Bupati Pulang Pisau untuk mengambil langkah-langkah yang

diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangannya dalam rangka pelaksanaan

Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut

di Kalimantan Tengah.

10

Untuk pelaksanaan proyek tersebut, Presiden menunjuk Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian Boediono sebagai Ketua, Menteri Negara

Perencanaan Pembangunan / Ketua Bappenas Paskah Suzetta sebagai Sekretaris,

serta Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang sebagai penanggung

jawab pelaksanaan program secara terpadu di kawasan PLG. Inpres 2/2007

ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor

188.44/144/2007 Tanggal 8 April 2007 tentang Organisasi dan Tatalaksana Tim

Pelaksana Provinsi Inpres Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG.

Namun setelah berakhirnya Inpres 2/2007 pada 16 Maret 2011, banyak

kegiatan yang belum terealisasi. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dalam

hal ini Gubernur Kalimantan Tengah terus berjuang agar Program Rehabilitasi

dan Revitalisasi Kawasan PLG terus dilanjutkan mengingat betapa pentingnya

peran ekosistem gambut. Berikut ini petikan wawancara Gubernur Kalimantan

Tengah Agustin Teras Narang pada Harian Redaksi Kota, 6 September 2010:

“Jika Proyek PLG Sejuta Hektar tersebut diabaikan, kondisi dunia akan berbahaya. Kalau tiba musim kemarau, lahan gambut seluas 1,4 juta hektar itu akan mengalami kerusakan. Pentingnya penyelamatan kawasan PLG bukan hanya masalah Kalimantan Tengah, tapi masalah dunia.”

Hal inilah yang mendasari peran penting dari negara-negara lain seperti

Pemerintah Belanda yang telah memberi anggaran grant/hibah sebesar 20 juta

Euro untuk membuat Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks-

PLG, kedatangan George Soros (Penasihat Khusus Sekjen PBB Bidang Perubahan

Iklim) pada awal agustus 2010 untuk bersedia berpartisipasi membantu program

rehabilitasi PLG dan Australia yang turut membantu dengan Program Kalimantan

Forest Climate Partnership (KFCP). (Redaksi Kota, 6 September 2010)

11

Pada setiap tahun pelaksanaannya, Program Percepatan Rehabilitasi dan

Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah

memiliki keluaran (output) yang harus dihasilkan. Selama periode 2007 – 2011,

kegiatan yang dapat dilaksanakan berjumlah 103 kegiatan dari seluruh kegiatan

yang berjumlah 186 kegiatan. Namun keluaran (output) yang dihasilkan jauh di

bawah target pencapaian. Misalnya target pencetakan sawah seluas 123.000 Ha,

baru dapat dilaksanakan kegiatan penyiapan jaringan irigasi seluas 6.500 Ha dan

SID cetak sawah 6.500 Ha. Kekurangan tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan

mengenai kinerja proses pelaksanaan Program Percepatan Rehabilitasi dan

Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini akan mencoba mengidentifikasi

faktor-faktor atau mekanisme yang sudah berjalan maupun belum berjalan dalam

pelaksanaan Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan

Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah pada periode 2007 – 2011.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Dari latar belakang penelitian di atas, maka studi ini adalah untuk

menjawab kebenaran terhadap pertanyaan utama penelitian sebagai berikut:

Bagaimana pelaksanaan Program Percepatan Rehabilitasi dan

Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah dan

faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaannya?

12

Dalam menjawab pertanyaan utama tersebut, beberapa pertanyaan

penelitian lainnya yang muncul adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi

Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah?

2. Bagaimana faktor-faktor yang dipertimbangkan mempengaruhi

pelaksanaan Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan

Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi

Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah yang ingin dicapai

adalah:

1. Mendeskripsikan pelaksanaan Program Percepatan Rehabilitasi dan

Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan

Tengah.

2. Menganalisis dan menilai faktor-faktor yang dipertimbangkan

mempengaruhi pelaksanaan Program Percepatan Rehabilitasi dan

Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan

Tengah.

13

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti.

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti

mengenai implementasi program, serta memberikan pengalaman yang

berbeda dalam melakukan penelitian khususnya terkait Program

Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan

Gambut di Kalimantan Tengah, sehingga pengalaman ini pada gilirannya

dimaksudkan dapat menjadi keterampilan khusus peneliti di samping tugas

pokok yang digeluti.

2. Bagi lingkungan akademik.

Di bidang keilmuan, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan bahan kajian lanjutan bagi penelitian sejenis yang dilakukan

kemudian, dimana upaya replikasi dengan sejumlah penyempurnaan akan

sangat bermanfaat bagi penelitian berikutnya, khususnya penelitian yang

berhubungan dengan program rehabilitasi dan revitalisasi lahan gambut.

3. Bagi objek penelitian.

Bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, hasil penelitian ini

diharapkan bermanfaat sebagai masukan dalam mengambil kebijakan lebih

lanjut dalam pelaksanaan program rehabilitasi dan revitalisasi lahan

gambut, atau program sejenis yang melibatkan banyak instansi atau

departemen, sehingga dapat berjalan dengan baik dan efektif sesuai konsep

program.

14

1.5. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan penulis belum ada penelitian mengenai Program

Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut

di Kalimantan Tengah yang dilakukan sebelumnya menggunakan metode analisis

seperti yang penulis gunakan. Penelitian sebelumnya mengenai evaluasi

implementasi program adalah Evaluasi Efektivitas Implementasi Program

Bantuan Stimulan Bahan Baku Rumah (BBR) untuk Rehabilitasi/Rekonstruksi

Rumah Pengungsi di Kecamatan Jailolo dan Kecamatan Jailolo Selatan

Kabupaten Halmahera, Tesis MPKD Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2008

oleh Guntur Sudirman yang menggunakan parameter yang sama namun dengan

metode penelitian yang berbeda.

15

Gambar 1.7. Kerangka Pendekatan Penelitian

Latar Belakang: Rehabilitasi dan revitalisasi kawasan PLG sangat penting dan mendesak. Keluaran (output) Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi

Kawasan PLG di Kalimantan Tengah jauh di bawah target pencapaian.

Tujuan Penelitian:

Menemukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan program sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki pelaksanaan program di masa mendatang.

Pertanyaan Penelitian: Bagaimana Pelaksanaan Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaannya?

Menganalisis dan menilai faktor-faktor yang dipertimbangkan mempengaruhi pelaksanaan Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

Mendeskripsikan pelaksanaan Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

Kerangka Teori