Upload
dothuy
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Benteng Vredeburg adalah salah satu peninggalan bangunan kolonial di
Indonesia dan dibangun pada tahun 1760 di kota Yogyakarta. Maksud pemerintah
Kolonial Belanda (VOC) membangun benteng ini adalah untuk mengawasi
Kesultanan Yogyakarta selepas pemecahan kerajaan Mataram Islam melalui
Perjanjian Giyanti. Pada saat diresmikan penggunaannya benteng tersebut diberi
nama Benteng Rustenburg (Suhara & Sulistya, 2011: 35-36).
Setelah direnovasi pada tahun 1767 dibawah pengawasan Frans Haak,
pengembangan Benteng Rustenburg mengalami banyak hambatan sehingga
benteng ini baru dapat beroperasi dengan baik sebagai benteng pertahanan di tahun
1788 dibawah pemerintahan residen Yogyakarta, William Arnold Alting. Menyusul
bangkrutnya VOC, Benteng Rustenburg berpindah kepemilikan kepada Republik
Bataf (Bataavsche Republiek) pada tahun 1799 hingga tahun 1807, sebelum
diakuisisi oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1811 dibawah pemerintahan Daendels
dan berganti nama menjadi Benteng Vredeburg (Suhara & Sulistya, 2011).
Pada tahun 1811 hinga 1816, Benteng Vredeburg berada dibawah kekuasaan
Inggris setelah kekalahan Kerajaan Belanda. Perubahan fisik Benteng Vredeburg
yang cukup siginifikan terjadi pada tahun 1876 pasca gempa bumi Yogyakarta,
dengan masuknya elemen hunian yang lebih permanen serta hilangnya sebagian
fungsi pertahanan pada tahun 1898. Dengan stabilnya pemerintahan Kolonial pada
2
akhir abad 19 hingga awal abad 20, tidak banyak perubahan signifikan yang terjadi
pada kurun 1898 – 1942 saat pendudukan Jepang dimulai. Selepas pendudukan
Jepang pada tahun 1945, Benteng Vredeburg sempat mengalami kekosongan
sebelum dipergunakan sebagai asrama sekolah militer pada tahun 1949 – 1950.
Penggunaan Benteng Vredeburg sebagai Asrama Militer tidak berlangsung lama,
Benteng Vredeburg lalu diserah terimakan kepada TNI untuk dipergunakan sebagai
markas militer hingga tahun 1977(Vredeburg, 1978).
Setelah melewati serangkaian pengelola, status Benteng Vredeburg sebagai
Bangunan Cagar Budaya dikukuhkan melalui Ketetapan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI nomor 0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981. Proses pemugaran
bangunan Benteng Vredeburg dimulai pada bulan Agustus 1981. Penetapan
Benteng Vredeburg sebagai bangunan cagar budaya sekaligus museum disebabkan
oleh nilai penting historis, ilmu pengetahuan, serta nilai penting yang terkandung
pada bangunan kolonial Benteng Vredeburg hingga keberadaan bangunan kolonial
ini patut dilestarikan (Suhara & Sulistya, 2011: 58). Pada tahun 1987 Museum
Benteng Vredeburg diresmikan penggunaannya sebagai museum, namun proses
pemugaran bangunan Benteng Vredeburg masih terus berlanjut hingga tahun 1994.
Sampai saat ini Benteng Vredeburg merupakan bangunan cagar budaya yang
sekaligus difungsikan sebagai museum perjuangan nasional.
Fenomena pemakaian bangunan cagar budaya sebagai museum tidak hanya
dilakukan oleh Indonesia, namun telah lazim dilakukan di luar negeri. Salah satu
contohnya adalah Fort St. George di Chennai, India. Dibangun pada tahun 1644,
kompleks bangunan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu gereja St. Mary yang
3
selesai dibangun tahun 1680 dan Museum Benteng (fort Museum) yang selesai
dibangun tahun 17951 (Gambar 1.1 A). Fort St. George berbentuk hampir bujur
sangkar dengan bastion di tiap sudutnya. Dibutuhkan setidaknya 14 tahun
pembangunan hingga benteng dapat berfungsi di tahun 16532. Bangunan ini sempat
berfungsi sebagai Madras Bank sebelum akhirnya diresmikan sebagai museum
pada tanggal 31 Janurai 1948. Museum ini memiliki koleksi kolonial peninggalan
British East Indies dan Pemerintah Kolonial Inggris, serta organisasi kolonial
lainnya. Mayoritas koleksi adalah hibah maupun peninggalan dari organisasi yang
sempat beroperasi di benteng St. George Chennai3.
Gambar 1.1 Fort St George Chennai dalam peta kota, abad 18. (Sumber: http://asi.nic.in/asi_museums_chennai.asp dan
http://www.chennai.org.uk/monuments/george-fort.html; diakses 10 September 2015)5
1 Informasi diambil dari http://asi.nic.in/asi_museums_chennai.asp; diakses 11 September 2015. 2 Informasi diambil dari http://indiahistoryspeaks.blogspot.co.id/2007/12/british-and-tamil-jab-they-meet-fort-st.html; diakses 11 September 2015 3 Ibid.
4
Gambar 1.2 Fort St George Chennai dalam rancangan tapak awal, abad 18. (Sumber: http://asi.nic.in/asi_museums_chennai.asp dan
http://www.chennai.org.uk/monuments/george-fort.html; diakses 10 September 2015)6
Contoh lainnya adalah Military History Museum Dresden (Militärhistorische
Museum der Bundeswehr), di Dresden, Jerman. Dibangun pada tahun 1873 hingga
1876 sebagai gudang senjata (armoury) untuk Kaisar Wilhelm I, bangunan ini
dialihfungsikan menjadi museum sejarah militer pada tahun 1897 dengan koleksi
senjata dari Royal Arsenal Collection. Setelah itu, Museum Dresden berganti nama
menjadi The Royal Saxon Army Museum sebelum akhirnya menjadi Saxon Army
Museum di tahun 1923. Dalam perjalanan waktu, museum ini berubah
menjadi Army Museum of the Wehrmacht pada tahun 1938, serta Army Museum of
The GDR di tahun 1972. Museum ini sempat ditutup pada tahun 1989 menyusul
5
konsolidasi Jerman Barat – Timur dan runtuhnya Tembok Berlin serta akibat
berubahnya konsep politik Jerman7.
Pada tahun 2001 museum melakukan rencana ekpansi dalam usaha untuk
memperbaharui diri dan menarik minat pengunjung. Hal ini dilakukan dengan
melaksanakan kompetisi desain arsitektur untuk ekspansi dan penambahan museum
yang dimenangkan oleh Daniel Libeskind. Pekerjaan ekspansi dan pembaharuan ini
selesai dalam enam tahun. Pada ekspansi ini, fasad museum yang berlanggam neo-
klasik ‘dipotong’ oleh penambahan ruang baru. Desain Libeskind menyerupai mata
tombak dibuat dari metal dan kaca (Gambar 1.2) untuk merepresentasikan
demokrasi, menciptakan kontras dengan fasad rigid dari beton dan mortar yang
diasosiasikan dengan masa lalu. Kompleks Museum seluas 20.000 m2 dengan
luasan bangunan 14.000m2 merupakan museum terluas di Jerman. Wajah baru
museum ini diharapkan dapat mengubah persepsi masyarakat mengenai perang dan
kekerasan8.
7 Diambil dari http://militerhistorisches-museum.bundeswehr.de dan http://www.mhmbw.de/facts; diakses 12 September 2015. 8 ibid
6
Foto 1.1 Military History Museum Dresden, Jerman. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Bundeswehr_Military_History_Museum,
http://www.theguardian.com/artanddesign/gallery/2011/oct/23/dresden-military-history-museum-in-pictures, http://www.mhmbw.de/facts; diakses 12 September 2015)
Renovasi Rijkmuseum Amsterdam yang dimenangkan pada tahun 2000 oleh
biro arsitek Cruz y Ortiz Arcitectos tidak banyak mengubah bangunan asli yang di
rancang oleh Peter Cuypers pada tahun 1895. Dimulai pada tahun 2004, renovasi
yang menutup museum ini baru dibuka untuk umum 10 tahun kemudian setelah
menghabiskan biaya lebih dari USD 500 juta9. Proyek renovasi ini mengubah
Rijkmuseum menjadi bangunan yang lebih terang, menambah pintu masuk baru,
restoran, paviliun Asia, serta ruang untuk pameran luar ruangan. Renovasi ini juga
berfungsi untuk memperbaharui fasilitas-fasilitas utama museum seperti
9 http://www.slate.com/blogs/the_eye/2013/12/12/remodeling_a_dutch_institution_the_new_rijksmuseum_by_oeke_hoogendijk.html, diakses pada 10 September 2015.
7
perpustakaan digital, area konservasi dan koleksi yang terpisah serta fasilitas
keamanan dan kontrol iklim baik bagi pengujung maupun bagi koleksi10.
Gambar 1.3 Rijksmuseum Amsterdam, Kerajaan Belanda. Gambar menunjukkan potongan rencana bangunan pasca renovasi 2011
(Sumber: http://www.archdaily.com/357590/rijksmuseum-cruz-y-ortiz-arquitectos, diakses 1 Agustus 2015)11
Pada dasarnya renovasi tersebut selain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
operasional baru, juga dilakukan untuk mengantisipasi munculnya paradigma baru.
Perubahan paradigma baru dalam penyampaian narasi pada ruang-ruang museum
misalnya, memerlukan instalasi multimedia, serta kebutuhan ruang-ruang baru
(Lord, dkk, 2012; Crimm, dkk., 2009: 4). Selain itu, munculnya paradigma baru
pada museum yang menggeser fokus ekshibisi dari objek menuju pengunjung.. Gail
Dexter Lord dalam bukunya berjudul Manual of Museum Planning (Lord, 2012:
39) mengemukakan fungsi-fungsi museum di masa modern dan pasca-modern yaitu
museum memiliki kapasitas sebagai kolektor artefak hasil budaya dan berfungsi
10 Diambil dari http://www.archdaily.com/357590/rijksmuseum-cruz-y-ortiz-arquitectos, diakses 20 Agustus 2015.
8
sebagai mediator pergerakan budaya dan sains. Sehingga dalam fungsinya sebagai
penyampai content, museum memiliki kemampuan untuk mempercepat dan/atau
katalis perubahan. Dalam fungsinya sebagai katalis pembangunan, museum adalah
patron perkembangan arsitektur, mempromosikan revitalisasi wilayah, serta
sebagai image branding dari kota dan masyarakat.
Gambar 1.4 Rijksmuseum Amsterdam, Kerajaan Belanda. Gambar menunjukkan denah rencana bangunan pasca renovasi 2011
(Sumber: http://www.archdaily.com/357590/rijksmuseum-cruz-y-ortiz-arquitectos, diakses 1 Agustus 2015)12
Selain itu, perubahan selera dan standar setempat secara fundamental mengubah
fasilitas yang harus diakomodasi, menyebabkan ekspansi ataupun renovasi menjadi
9
keharusan dalam upaya museum mengejar kenyamanan ruang dan fungsionalitas
(Crimm, dkk, 2009: 4). Museum juga memiliki potensi sebagai penggiat wisata dan
pusat hiburan (entertainment venue) serta pusat kegiatan sosial. Pendapat ini juga
dikuatkan oleh Gilmore dan Joseph Pine (van Mensch & van Mensch, 2011: 41)
yang menitik beratkan pada perubahan pendekatan pelayanan menuju pengalaman.
Contoh kasus yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa alihfungsi
bangunan cagar budaya dan bersejarah menjadi fungsi museum baru dengan segala
tuntutannya dapat dilakukan. Alih fungsi yang disesuaikan dengan kaidah
pelestarian bangunan memungkinkan bangunan cagar budaya dipergunakan
sebagai museum ini disebut adaptasi alih-fungsi. Proses adaptasi alih-fungsi13
dideskripsikan sebagai cara untuk memperpanjang umur bangunan dengan cara
mengadaptasikan fungsi baru dengan tetap mempertahankan bentukan historisnya
dan mengubah atau menambah fasilitas baru pada bangunan untuk mengakomodasi
fungsi baru (Orbasli, 2008: 46). Proses adaptasi merupakan konsep konservasi pada
bangunan cagar budaya/bangunan bersejarah yang mengadopsi fungsi dan
kebutuhan baru dengan perubahan minimal tanpa mengubah signifikansi
bangunan14.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Sebagai salah satu bangunan cagar budaya dengan bangunan asli benteng yang
difungsikan sebagai museum, melestarikan bentukan dan elemen-elemen
13 http://www.archinode.com/lcaadapt.html, diunduh 28 Juni 2013 14 Diambil dari Adaptive Re Use, Preserving our past, Building our future, oleh Pemerintah Australia, Department of the Environment and Heritage terbitan 2004.
10
arsitektural pada Museum Benteng Vredeburg adalah sebuah tanggung jawab yang
diemban oleh pengelola museum. Contoh-contoh yang telah dungkapkan
sebelumnya membuktikan bahwa kedua kebutuhan ini dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka rumusan masalah berupa:
1. Bagaimanakah adaptasi arsitektural yang paling sesuai untuk
diterapkan pada Benteng Vredenburg agar pelestarian dan
pengembangan fungsinya sebagai museum tidak bertentangan dengan
kaidah arsitektural dan arkeologis?
2. Faktor-faktor arsitektural dan arkeologis apa saja yang harus
dipertimbangkan dalam proses adaptasi museum Benteng Vredenburg ?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, dapat disimpulkan
bahwa tujuan penelitian ini adalah:
1. Menemukan konsep acuan pemanfaatan museum pada bangunan cagar
budaya, khususnya bangunan dengan fungsi awal benteng (fortress)
kolonial yang dibangun oleh VOC pada abad ke 17-18 Masehi.
2. Memberikan saran pengembangan dan pemanfaatan ruang, terutama
dengan tetap mempertahankan bentukan dan elemen arsitektural
semula.
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
11
1. Secara akademik dapat dipakai sebagai acuan atau referensi dalam
penelitian yang berhubungan dengan rancang bangun pada museum
yang memakai bangunan kolonial.
2. Dapat dipergunakan sebagai acuan untuk pelaksanaan renovasi maupun
ekspansi fisik pada museum berbasis bangunan kolonial.
1.4 RUANG LINGKUP PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka ruang lingkup
penelitian ini adalah Museum Benteng Vredeburg; sebagai contoh bangunan
bersejarah yang mengalami perubahan fungsi dan proses adaptasi menjadi museum.
Bangunan Benteng Vredeburg pada masa sebelum dan awal operasional Museum
Benteng Vredeburg serta data fisik pada tahun 2011, bertepatan dengan
dilaksanakannya Revitalisasi Museum.
1.5 TINJAUAN PUSTAKA DAN KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian mengenai proses adaptasi alih-fungsi pada bangunan bersejarah
maupun bangunan cagar budaya telah banyak dilakukan. Museum yang
mengadaptasi bangunan bersejarah dan bangunan cagar budaya merupakan hal
yang umum terjadi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Bahkan dapat
diasumsikan bahwa mayoritas bangunan museum milik pemerintah di Indonesia
mempergunakan bangunan cagar budaya yang dipertahankan kelestariannya.
Dalam usaha untuk mengikuti perubahan fungsi, tuntutan standar kelayakan
12
bangunan dan trend museum yang terus berkembang; bangunan-bangunan museum
ini akan terus mengalami perubahan.
Lori J Ryder (1995) dalam tesisnya yang berjudul Butler Center: A Case for the
Adaptive Re-use of Industrial Building, mengemukakan tentang prinsip-prinsip
adaptive reuse dengan studi perbandingan antara proses rehabilitasi di kota industri
Lowell, Massachusets dan bangunan bekas American Hard Rubber Company di
kota Butler, New Jersey. Proses adaptive reuse pada kedua kota ini ditilik dari
keberhasilan ekonomi dan kemampuan rehabilitas untuk menghidupkan wilayah
tersebut. Tesis ini berfokus pada proses adaptive reuse pada perencanaan sebuah
wilayah komersil dan fasilitas sipil yang ada dalam kota tersebut. Masterplan yang
diajukan oleh penulis berupa fasilitas-fasilitas kota yang menggunakan bangunan
bekas American Hard Rubber Company, yaitu berupa perpustakaan dan museum,
kantor sipil, kantor polisi, fasilitas kesehatan, ruang komersil dan bisnis, ruang
untuk seni dan kebudayaan. Walaupun tesis ini menyebutkan museum sebagai salh
satu fasilitas pelengkap kota, museum bukan merupakan fokus dari kajian. Hal ini
menyebabkan pembahasan adaptive reuse pada tesis ini tidak berfokus pada
bangunan individu namun lebih pada perencanaan kota dan wilayah cagar budaya.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Viscensius Agus Sulistya (2013) dalam tesis
yang berjudul Strategi Pengembangan Program Publik Museum Benteng
Vredeburg Yogyakarta mengemukakan mengenai pengaruh model museum
partisipatif pada program-program publik di Museum Benteng Vredeburg. Penulis
mempergunakan metode SWOT (strengths, weakness, opportunities, threats) untuk
menilai keberhasilan program-program tersebut. Salah satu faktor yang dianalisis
13
adalah faktor spasial dari Museum Benteng Vredeburg dan bagaimana hal itu
mempengaruhi tingkat keberhasilan program-program publik Museum. Namun,
Sulistya (2013) tidak menyoal proses adaptasi alih-fungsi bangunan cagar budaya
yang terjadi pada Museum Benteng Vredeburg. Tata lanskap dan spasial yang
diutarakan hanya menitikberatkan pada berhasil tidaknya unsur ini menyokong
program pasritipatif di Museum Benteng Vredeburg.
Dari segi revitalisasi museum, Novi Ari Susanti (2011) telah melakukan
penelitian yang tertuang dalam skripsi berjudul Revitalisasi Museum Benteng
Vredeburg Yogyakarta. Skripsi ini berfokus pada usaha-usaha revitalisasi pada
Museum Benteng Vredebug pada tahun 2011 sebagai awal Gerakan Nasional Cinta
Museum. Revitalisasi ini di lakukan untuk menyegarkan kembali museum agar
dapat sejalan mengikuti perkembangan masyarakat dan lingkungannya. Revitalisasi
juga dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi
masyarakat terhadap nilai penting budaya dan peningkatan kualitas museum, salah
satuya Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
Novi Ari Susanti(2011) menelaah efektifitas dan keberhasilan revitalisasi
museum dalam dengan melakukan penelitian kualitatif yuridis empiris yang
berfokus pada wawancara pengunjung dan staff museum. Aspek-aspek yang diteiti
antara lain adalah kualitas SDM, pengelolaan managemen keuangan kebijakan
museum, pengelolaan koleksi, kepuasaan pengunjung dan aspek spasial lanskap.
Penelitian ini dapat membuktikan bahwa Benteng Vredeburg cukup poptimal
dalam mencapai tujuan revitalisasi museum, termasuk diantaranya menambah
jumlah kunjungan kembali Museum Benteng Vredeburg. Namun sayangnya,
14
walaupun penelitian ini banyak mendalami aspek-aspek revitaliasi, termasuk
diantaranya aspek fisik dan tata ruang, penelitian ini lebih berfokus pada aspek
managerial pengelolaan museum serta tingkat kepuasan pengunjung atas museum.
Hampir tidak ditemukan adanya pembahasan mengenai aspek revitalisasi fisik
museum, walaupun penulis sempat menyoal mengenai perubahan paradigma
museum yang bersifat partisipatif.
Penelitian lain dilakukan oleh Agung Ashshiddiqi (2016) dalam skripsinya
yang berjudul Implementasi Undang-undang no. 11 tahun 2010 tentang Cagar
Budaya pada Pemanfaatan Bangunan Cagar Budaya sebagai kafe (Studi Kasus
Bangunan D Benteng Vredeburg) yang dilakukan pada tahun 2016. Penelitian ini
melakukan evaluasi pemanfaatan bangunan cagar budaya yang dilakukan dengan
membandingkan proses adaptasi alih-fungsi pada Bangunan D yang beralih-fungsi
menjadi Indische Café di tahun 2012. Ashshiddiqi (2016) menyimpulkan bahwa
proses adaptasi bangunan D secara umum sesuai dengan kaidah-kaidah pelestarian
yang dikemukakan dalam Undang-undang no. 11 tahun 2010. Bangunan D masih
memiliki keaslian fasad di keempat sisi, serta tetap mempertahankan keseragaman
dengan bentukan fasad dengan lingkungan sekitar. Penambahan beberapa fasilitas
seperti toilet dalam bangunan D dianggap telah merusak susunan ruang interior
namun merupakan perubahan minimal yang diperlukan demi fungsi baru.
Penelitian ini menyoal secara lengkap proses adaptasi alih-fungsi pada bangunan
cagar budaya menjadi bangunan publik komersil dan kesesuaian prosedur adaptasi
yang dilakukan dilapangan dengan standar yang berlaku.
15
Beberapa contoh diatas hanya sedikit dari penelitian yang memiliki kaitan
dengan tema dan kata kunci ‘proses adaptasi alih-fungsi museum partisipatif pada
bangunan cagar budaya’. Dari contoh-contoh diatas didapatkan poin-poin yang
menarik mengenai museum partisipatif dan proses adaptasi alih-fungsi pada
bangunan cagar budaya. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, penulis akan membahas proses adaptasi alih-fungsi pada bangunan
kolonial berupa benteng menjadi museum di Indonesia. Penekanan lokasi menjadi
penting karena Republik Indonesia telah menerbitkan Undang-undang no 11 tahun
2010 yang mengatur tata cara pelestarian, konservasi dan reservasi benda cagar
budaya, termasuk diantara Benteng Vredeburg. Signifikansi dari undang-undang
ini adalah rambu-rambu adapatsi dan rehabilitasi dari bangunan cagar budaya yang
ketat dan tidak memungkinkan adanya perubahan yang signifikan pada bangunan.
Sementara itu, ada perbedaan fungsi dan bentukan arsitektural yang mendasar
antara benteng dan museum. Perubahan pada fungsi militer/keamanan/pertahanan
menjadi edukasi/publik merupakan perubahan yang akan berpengaruh pada fasilitas
penunjang museum, selain pada konfigurasi ruangan museum.
1.6 LANDASAN TEORI
Dalam banyak literatur (Feilden, 2003; Orbasli, 2008), bangunan bersejarah
merupakan bangunan yang memiliki nilai sejarah (historic value) selain sebagai
habitat aktivitas manusia. Orbasli (2008; 5) menyatakan bahwa warisan budaya
(heritage) mencakup reruntuhan, situs, monumen, istana dan kastil, bangunan
vernakular dan gugusan bangunan pada wilayah urban. Tidak hanya nilai sejarah,
habitat tersebut pun memiliki nilai budaya dan asosiasi. Alasan tersebut tersebut
16
menyebabkan konservasi dan adaptive reuse pada bangunan bersejarah menjadi
penting (Orbasli, 2008: 3-5). Sebagian besar bangunan cagar budaya yang
mengalami proses ini dengan mempertahankan hampir keseluruhan elemen
struktural hingga elemen fasad berupa kulit luar dan partisi ruang dalam15. Proses
perubahan dalam adaptive re-use amat bergantung pada aturan hukum yang berlaku
di lokasi dimana bangunan tersebut didirikan serta pada keadaan social serta
perubahan prioritas (MacLeod, 2005: 17).
Falk (1998) dalam Chen (2007: 178) menyatakan bahwa ingatan dapat
dibangkitkan dengan bantuan lingkungan dan bangunan museum. Hal yang serupa
dikemukakan oleh Halbwachs (1980:140) yang menyatakan bahwa ingatan kolektif
terkait dengan lokasi dan tempat, serta mengemukakan signifikansi dari lingkungan
fisik sebagai penyimpan ingatan. Urry (1999) dalam Chen (2007) menyatakan
karakter dan kontinuitas bangunan bersejarah memberikan solidity yang
menghubungkan masa kini dan masa lalu.Sehingga mengunjungi museum yang
menggunakan bangunan bersejarah dapat memberikan inspirasi untuk
membayangkan sejarah masa lalu dan membuat pengalaman tersebut sebagai
bagian dari pengalaman pengunjung, memberikan pengertian dan pengalaman
lintas generasi (Chen, 2007: 181).
Bangunan bersejarah juga memiliki keuntungan lain dengan adanya rasa
memiliki dari komunitas di lingkungan bangunan tersebut dibangun. Dari sisi
15 Salah satu contoh adaptive re-use adalah proses pemakaian kembali MIT (Massachusets Institue of Technology)
17
ekonomi, rehabilitasi dan renovasi pada bangunan cagar budaya relatif lebih murah
daripada pembangunan bangunan baru (Ryder, 1995:2).
Pemakaian kembali bangunan bersejarah dengan fungsi baru merupakan salah
satu cara mempertahankan integritas16 struktural bangunan tersebut (Feilden,
2003). Integritas struktural disini merujuk pada kemampuan bangunan untuk
menyokong beban dalam kaitannya dengan kegiatan bangunan tanpa mengalami
kerusakan, baik fraktur, perubahan bentuk maupun kerusakan total (Samuel &
Weir, 1993: 3-5), serta pemenuhan persyaratan lain seperti proteksi terhadap petir
dan proteksi terhadap kebakaran dan keadaan darurat lainnya17 . Intergritas
struktural yang solid menyebabkan memberikan nilai lebih bagi bangunan
bersejarah untuk dipertahankan. Feilden (2009) mempertahankan bahwa satu-
satunya cara untuk mencegah kerusakan berlanjut dan permanen pada Bangunan
Cagar Budaya adalah dengan pemanfaatan berupa rehabilitasi untuk pemakaian
berlanjut.
Walaupun demikian, proses adaptasi pada Benteng Vredeburg sebagai museum
tidak pelak lagi mengharuskan adanya perubahan-perubahan untuk
mengakomodasi kebutuhan museum kontemporer (Feilden, 2003:10; Indonesia,
2005, pp. pasal 22-23, 87-89). Proses ini disebut adaptasi/Adaptive re-use dan
merupakan konsep konservasi pada bangunan cagar budaya/bangunan bersejarah
16 Beban-beban tersebut ialah beban banguna sendiri serta beban eksternal dan internal lainnya. Kemampuan bangunan menyokong beban sangat ditentukan oleh material yang dipergunakan. (Diambil dari Introduction to Engineering Design: Modelling, Synthesis and Problem Solving Strategies By Andrew E. Samuel, John Weir -- Elsevier 1999: 3—5) 17 17 UU no. 28 tahun 2002, Pasal 17. Proteksi terhadap kebakaran, proteksi terhadap petir dan kemampuan tampung beban muatan dapat dilakukan dalam bentuk pasif maupun aktif.
18
yang mengadopsi fungsi dan kebutuhan baru dengan perubahan minimal tanpa
mengubah signifikansi bangunan18. Adaptive re-use, merupakan pendekatan
konservasi arsitektural yang memperkenalkan fungsi baru pada bangunan
bersejarah dengan tujuan agar bangunan tersebut dapat diperpanjang masa
hidupnya (Feilden, 2003). Adaptive Re-use19 dideskripsikan sebagai cara untuk
memperpanjang umur bangunan dengan cara mengaptasikan fungsi baru dengan
tetap mempertahankan bentukan historisnya. Adaptive Re-use20 atau proses
adaptasi ini juga dideskripsikan sebagai cara untuk memperpanjang umur bangunan
dengan cara mengaptasikan fungsi baru dengan tetap mempertahankan bentukan
historisnya, mengubah atau menambah fasilitas baru pada bangunan untuk
mengakomodasi fungsi baru (Orbasli, 2008: 46), maupun sebagai upaya
pengembangan cagar budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan
masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak menyebabkan
kemerosotan nilai historis atau kerusakan permanen pada bagian yang memiliki
nilai penting21. Besarnya perubahan dalam proses ini amat bergantung pada hukum
yang berlaku di area dimana bangunan tersebut berdiri serta pada keadaan social
serta perubahan prioritas (MacLeod, 2005: 17). Dalam beberapa kasus, proses
adaptasi ini mempertahankan hampir keseluruhan elemen struktural hingga elemen
fasad berupa kulit luar dan partisi ruang dalam22.
18 Diambil dari Adaptive Re Use, Preserving our past, Building our future, oleh Pemerintah Australia, Department of the Environment and Heritage terbitan 2004. 19 http://www.archinode.com/lcaadapt.html, diunduh 28 Juni 2013 20 http://www.archinode.com/lcaadapt.html, diunduh 28 Juni 2013 21 (UU no. 11 tahun 2010 pasal. 1) 22 Salah satu contoh adaptive re-use adalah proses pemakaian kembali MIT (Massachusets Institue of Technology)
19
Pendekatan ini sesuai dengan pendekatan yang dianut dalam Undang-undang
Cagar Budaya Indonesia23 yang menyatakan bahwa dalam proses adaptasi dan
pengembangan Bangunan Cagar Budaya, harus dilakukan tanpa mengubah bentuk
keseluruhan, gaya arsitektur asli dan keharmonisan dengan lingkungan dimana
bangunan tersebut berdiri. Adaptasi dalam hal ini didefinisikan sebagai proses
pengembangan cagar budaya untuk mengakomodasi kegiatan yang lebih sesuai
dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas tanpa
mengubah nilai penting yang terkandung di dalamnya24. Kebutuhan manusia yang
dinamis diakomodasi dengan adanya penambahan fasilitas yang diperlukan sesuai
dengan fungsi bangunan serta pengubahan tatanan ruang dalam, walaupun hanya
dapat dilakukan dalam batas tertentu.
Di lain pihak, pengukuhan Benteng Vredeburg sebagai bangunan cagar
budaya25 tidak memberi ruang yang leluasa untuk perubahan permanen (Indonesia,
2010, p. pasal 113; Jokilehto, 2002: xii) maupun perubahan yang signifikan
(Orbasli, 2008:6). Sementara itu kebutuhan museum modern mengalami
perkembangan signifikan. Saat ini, fungsi yang harus dilakukan museum meliputi
penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda material hasil
budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya pelestraian
dan perlindungan kekayaan budaya26.
23 Undang-Undang no. 10 tahun 2011, pasal 24 Undang-undang no. 10 tahun 2011, pasal 1 ayat 33. 25 Bangunan Cagar Budaya di deskripsikan sebagai bangunan yang memberikan rasa takjub dan memancing rasa ingin tahu mengenai konteks manusia dan budaya yang terkait (Feilden, 2003: 1). Bangunan Cagar budaya memiliki nilai arsitektural, estetis, sejarah, ekonomi, sosial, bahkan politik 26 PP no. 19 tahun 1995
20
Perubahan paradigma tentang museum tersebut berkembang pada awal abad 20
hingga kini. Pada masa ini terjadi perubahan pola pikir mengenai bagaimana fungsi
museum terkait dengan kondisi sosial dan kultural masyarakat (Anderson, 200).
Pada awalnya, museum dibangun sebagai wadah untuk memamerkan koleksi/objek
museum dan sebagai wadah fungsi sekunder seperti penyimpanan, konservasi,
administrasi dan pendataan, serta edukasi. Saat ini museum mengetengahkan
edukasi populer (popular education) sebagai alternatif sebagai sisi pandang baru
dari pendidikan formal yang diajarkan disekolah formal, sekaligus menjalankan
fungsi utama museum yaitu akuisisi objek, konservasi dan preservasi, dan riset.
Theodore Low (1942) dalam Museums in Motion karya Edward Alexander
menyatakan bahwa sudah saatnya museum membuka diri. Hal ini dikukuhkan
dengan definisi museum menurut ICOM yang diantara lain menyatakan bahwa
museum adalah ruang publik yang terbuka untuk umum tanpa kecuali.
Perubahan paradigma ini semakin kuat sebagaimana yang tersirat dalam
definisi museum yang menekankan pada ‘mengembalikannya kepada masyarakat
dalam bentuk ekshibisi untuk tujuan pendidikan dan hiburan’27. Definisi museum
yang baru ini menjadi landasan museum untuk melakukan peneglolaan yang lebih
fleksibel, serta menitikberatkan pada pengunjung dan konteks lingkungan museum.
Hal ini mengubah museum menjadi pusat eksihibisi/pameran, edukasi dan ruang
public dalam komunitas (Alexander, dkk: 284). Museum-museum memanfaatkan
identitas budaya mereka dan membuka fungsi public yang tidak hanya
mengakomodasi kebutuan pengunjung museum namun juga pengunjung non-
27 www.icom.org/
21
museum. Lord (2012: 39) mengemukakan bahwa walaupun museum nampak
berfokus pada objek, sesungguhnya museum lebih menitikberatkan pada manusia.
Pergeseran ini mulai digerakan oleh organisasi MINOM yang mengemukakan
gagasan mengenai paradigma museum baru sebagai lembaga yang demokratis serta
memberikan penekanan pada pelayanan publik pada masyarakat dengan tujuan
perkembangan sosial, serta menempatkan museum sebagai ágent of social
change.28Ide yang serupa diajukan oeh Van Mensch (van Mensch & van Mensch,
2011: 13) yang menyatakan bahwa pengelolaan heritage dan informasi objek
museum merupakan tanggung jawab dari masyarakat dan pengelola museum.
Sehingga museum sebagai simpul sosial memiliki fokus baru pada peran publik dan
masyarakat. Keadaan semacam ini mengakibatkan museum tidak hanya menjadi
tempat penyimpanan dan konservasi koleksi melainkan juga menjadi pusat kegiatan
masyarakat dan komunitas yang bersangkutan.
Paradigma museum baru mengutamakan adanya social inclusion yang
mengajak pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan museum (van Mensch &
van Mensch, 2011: 49-50) dalam menciptakan, berbagi dan terhubung melalui
content yang ada pada museum, baik objek artefak maupun program (Simon, 2010:
iii). Model ini memberikan museum dan ruang-ruang sosial didalamnya sebagai
venue multi-fungsi yang dapat mewadahi kegiatan sosial budaya dalam program
museum segenap lapisan masyarakat (Simon, 2010: 36)
28 Diambil dari www.minom-icom.net, diakses 5 Mei 2016.
22
Pengaruh perubahan paradigma museum diatas akan mengubah bagaimana
museum mepresentasikan objek-objek koleksinya. Cepat atau lambat, perubahan
tersebut akan berpengaruh pada narasi dan penyampaian objek museum, serta
program-program edukatif yang dijalankan oleh museum. Konsekuensi jangka
pendek dari perubahan-perubahan ini adalah adanya kebutuhan-kebutuhan baru
yang harus dipenuhi oleh bangunan museum. Ruang-ruang sosial yang menunjang
interaksi dan pertukaran informasi secara mandiri pada museum (Simon, 2010, p.
29) Sebagaimana dijelaskan oleh Macleod (2005) bahwa renovasi dan ekspansi
menandai perubahan yang akan dianut oleh museum dalam penyampaian content
objek/artefak museum; museum sebagai intitusi budaya menuju cultural consumer
experience.
1.7 METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analisis deskriptif komparatif yaitu
penelitian yang kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran, secara
verbal maupun visual, dilakukan untuk mengmpulkan informasi mengenai suatu
aspek atau satu gejala yang ada, secara apa adanya (Arikunto, 1989, p. 291), dengan
tujuan untuk memberikan gambaran mengenai proses perubahan fungsi
pemanfaatan ruang spasial Benteng Vredeburg mulai dari tahun 1760 hingga 2011.
Selanjutnya deskripsi pemanfaatan ruang akan dibandingkan untuk mengetahui
proses perubahan arsitektural spasial sebagai akibat dari perubahan konsep
penggunaan Benteng Vredeburg, dari fungsi pertahanan/militear menuju fungsi
museum/edukasi. Hasil perbandingan yang diperoleh akan dipergunakan sebagai
23
variabel untuk merancang konsep bangunan Benteng Vredeburg sebagai museum
modern yang mengacu pada paradigma museum baru yang berbasis pada partisipasi
masyarakat.
Penelitian ini merupakan studi kasus pada Museum Benteng Vredeburg yang
bertujuan untuk melakukan telaah mendalam yang komprehensif atas proses
adaptasi alih-fungsi yang dilakukan untuk mengubah Benteng Vredeburg menjadi
fungsi Museum.
1.7.1 METODEPENGUMPULANDATA
Tahap pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:
A. Data primer diperoleh dengan metode observasi langsung pada
bangunan eksternal Museum Benteng Vredeburg baik berupa
konfigurasi bangunan fisik maupun tata lanskap, perubahan-perubahan
fisik yang dapat ditelaah dengan mata telanjang serta bagaimana
perilaku dan reaksi pengunjung museum terhadap tata ruang yang
dipergunakan saat ini.
B. Data sekunder diambil observasi tidak langsung dilakukan pada data-
data dan arsip arsip berupa gambar kerja, dokumen kerja Museum
Benteng Vredeburg, laporan-laporan pasca-tender, serta laporan-
laporan program rehabilitasi bangunan museum serta dokumen lainnya
yang berkaitan.
24
1.7.2 METODEANALISISDATA
Fokus penelitian akan bertumpu pada deskripsi aspek-aspek fisik dan teknis
pada bangunan cagar budaya dari museum diatas. Penulis akan memusatkan
analisis pada aspek ruang, baik dari segi pengelolaan dan penguasaan lokasi dan
materi yang disajikan. Fasilitas-fasilitas lainnya terutama fasilitas pendukung
konservasi objek dan fasilitas yang menjadi standar bangunan publik. Hal lainnya
adalah penerapan konsep konservasi dan preservasi bangunan
Untuk mencapai maksud tersebut, maka metode yang akan dipergunakan yaitu
metode analisis deskriptif komparatif. Dari data kualitatif yang terkumpul ini lalu
dilakukan klasifikasi dan identifikasi temuan berupa data-data pemugaran, renovasi
dan revitalisasi yang terjadi pada pada Benteng Vredeburg. Data kualitatif berupa
hasil observasi yang diperoleh dan data-data arsitektural pra-pemugaran pada tahun
1978 – 1981, data-data arsitektural pada rangkaian pemugaran periode 1981-1994
serta data arsitektural pasca revitalisasi 2011 akan dijabarkan dan dideskripsikan.
Data-data tersebut direduksi untuk kemudian interpretasi sesuai yang dibutuhkan.
Data deskriptif yang diperoleh akan memperlihatkan perubahan fisik bangunan dan
tata bangunan pada Benteng Vredeburg.
Tahapan berikutnya adalah tahapan pemaparan dan perbandingan data yang
telah di kategorikan sebelumnya dalam. Data-data berupa bentukan ruang dan
gubahan massa pada bangunan Museum Benteng Vredeburg dilakukan dengan
mendeskripsikan perubahan-perubahan yang dilakukan pada masa transisi tersebut
dan signifikansinya pada fungsi museum maupun pada integritas struktural dan
nilai sejarah bangunan. Data disajikan dalam bentuk komparasi gambar berupa
25
denah, tampak dan potongan serta detail-detail yang relevan berdasarkan variabel
kondisi eksisting dan fungsi bangunan dan ruang.
Kemudian data yang diperoleh akan akan analisis untuk mengkaji kondisi
bangunan Museum Benteng Vredeburg dengan intrepretasi perubahan-perubahan
yang terjadi dalam proses adaptasi Benteng Vredeburg menjadi museum
kontemporer. Variabel-variabel berupa perubahan bentuk, perubahan fungsi ruang,
perubahan ruang interior serta variabel relevan lainnya yang muncul. Teknik gap
analisys sederhana akan dipergunakan untuk menyimpulkan dan menformulasikan
rambu-rambu pengembangan fisik pada museum modern dengan model pendekatan
museum partisipatif.
26
Alur penelitian tesis ini dapat dirangkum sebagai berikut:
Bagan 1.1 Diagram Alur Penelitian Tesis. (Sumber: Sara Kusumawardhani, 2016)
Pengumpulan Data:
Observasi langsung
Studi Pustaka
(laporan, arsip pengadaan dan
tender, foto)
Analisis Deskripsi:
Data Arsitektural
1760 ‐ 1945
1945 ‐ 1978
1978 – 1994
1994 ‐2011
Kategori Komparasi:
Fungsi bangunan
Penggunaan ruang
Konfigurasi tapak
Kesimpulan
Proses adaptasi alih‐
fungsi yang dilakukan
oleh Museum Benteng
Vredeburg
Kesimpulan
Konsep Rancangan
Adaptasi Alih‐Fungsi
Museum BV
Paradigma Museum
Baru
Museum Partisipatif
27
1.8 SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Tulisan ini terdiri atas empat bab. Bab pertama berisi tentang latar belakang
permasalahan yang hendak dikaji. Selain latar belakang, bab pertama juga
menelaah rumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penelitian. Bab ini juga
melakukan kajian terhadap ruang lingkup penelitian yang mencakup objek
penelitian. Kajian berupa tinjauan pustaka dan keaslian penelitian menelusuri
penelitian sebelumnya. Landasan teori dan metode penelitian yang mengupas
mengenai tahapan pengumpulan data dan metode analisis data yang menggunakan
proses analisi deskriptif komparatif.
Data yang terkumpul akan diulas pada bab kedua yang berjudul Proses
Pemanfaatn Ruang pada Pada Benteng Vredeburg yang terdiri dari dua sub-bab
yaitu sejarah dan latar belakang Benteng Vredeburg serta konservasi dan adaptasi
pada benteng Vredeburg. Pada sub-bab pertama akan dibahas mengenai latar
belakang munculnya Benteng Vredeburg sebagai bangunan, termasuk diantaranya
adalah sejarah Benteng Vredeburg dan nilai-nilai penting yang dianut oleh
bangunan tersebut. Pada sub-bab kedua akan dibahas mengenai kondisi eksisting
dan perubahan yang terjadi akibat proses adaptasi alih-fungsi pada Kompleks
Benteng Vredeburg dalam beberapa periode perubahan, yaitu keadaan pra 1978
sebelum Benteng Vredeburg mengalami proses adaptasi alihfungsi, periode
pemugaran tahun 1981-1994 yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan museum
serta revitaliasi di tahun 2010-2011 yang menandai mumculnya pengaruh
paradigma baru museum di Museum Benteng Vredeburg.
28
Bab ketiga akan melakukan perancangan ulang atas tatanan spasial pada
kompleks Museum Benteng Vredeburg sesuai dengan model museum partisipatif
sebagai salah satu model tren museum baru. Setelah itu akan dilanjutkan dengan
kesimpulan dan rekomendasi pada bab keempat.