29
3 BAB I PENDAHULUAN Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditemukan di berbagai populasi di dunia dengan kesamaan dari segi gejala dan penyebaran, namun ada perbedaan budaya dalam penyebab dan prognosisnya (schizophrenia.com, n.d.). Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat yang digolongkan sebagai psikosis dengan gejala-gejala sebagai berikut: halusinasi, delusi, dan gangguan pola pikir (Astrachan, 1972, dalam Brown, Shiang, & Bongar (2003). Di samping itu, WHO mendefinisikan diagnosis skizofrenia bila individu menunjukkan afek datar, mawas diri (insight) yang buruk, dan tidak ditemukannya tiga gejala gangguan afektif (IPSS, Carpenter et.al., 1972 dalam Brown, dkk., 2003). Di samping kedua diagnosis tersebut, masih ada pakar-pakar lainnya yang memiliki pendapat yang berbeda (Brown, dkk., 2003). Walaupun demikian, penelitian mengenai skizofrenia menunjukkan adanya reliabilitas yang tinggi. Skizofrenia menimbulkan berbagai efek negatif bagi penderitanya seperti kemampuan rawat diri yang rendah, penderita mengalami tindak kekerasan atau mendapat tindak kekerasan dari lingkungannya, dan sebagainya. Selain itu, penderita skizofrenia atau bisa juga disebut Orang Dengan Skizofrenia (ODS) juga pada umumnya menderita gangguan tersebut dalam jangka waktu yang lama (Shah, Wadoo, & Latoo, 2010). Rendahnya kemampuan rawat diri, serta panjangnya durasi gangguan skizofrenia dan berbagai keterbatasan lainnya mengakibatkan adanya ketergantungan yang besar dari penderita skizofrenia terhadap keluarganya. Berdasarkan data WHO (2010), diperkirakan secara global terdapat 25 juta orang menderita skizofrenia dengan perkiraan prevalensi 0,5 -1% per seribu orang populasi. Di Indonesia sendiri, diperkirakan dari 240 juta orang penduduk Indonesia terdapat sekitar 0,46% yang menderita skizofrenia atau sekitar 1.065.000 jiwa (Teguh, 2011). Dengan adanya jumlah yang besar tersebut, amat disayangkan bahwa sejauh ini belum terdapat jaringan layanan kesehatan jiwa yang memadai bagi penderita maupun keluarganya (Gerson et. al., 2009). Efek Skizofrenia terhadap Penderita dan Keluarganya Yuniarti (1993) menyatakan bahwa dalam budaya Timur seperti di Yogyakarta yang memiliki budaya kolektif, penderitaan seseorang menjadi

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87800/potongan/S2-2015...terhadap keluarganya. Berdasarkan data WHO (2010), diperkirakan secara global

Embed Size (px)

Citation preview

3

BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditemukan di berbagai

populasi di dunia dengan kesamaan dari segi gejala dan penyebaran, namun

ada perbedaan budaya dalam penyebab dan prognosisnya (schizophrenia.com,

n.d.). Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat yang digolongkan sebagai

psikosis dengan gejala-gejala sebagai berikut: halusinasi, delusi, dan gangguan

pola pikir (Astrachan, 1972, dalam Brown, Shiang, & Bongar (2003). Di samping

itu, WHO mendefinisikan diagnosis skizofrenia bila individu menunjukkan afek

datar, mawas diri (insight) yang buruk, dan tidak ditemukannya tiga gejala

gangguan afektif (IPSS, Carpenter et.al., 1972 dalam Brown, dkk., 2003). Di

samping kedua diagnosis tersebut, masih ada pakar-pakar lainnya yang memiliki

pendapat yang berbeda (Brown, dkk., 2003). Walaupun demikian, penelitian

mengenai skizofrenia menunjukkan adanya reliabilitas yang tinggi.

Skizofrenia menimbulkan berbagai efek negatif bagi penderitanya seperti

kemampuan rawat diri yang rendah, penderita mengalami tindak kekerasan atau

mendapat tindak kekerasan dari lingkungannya, dan sebagainya. Selain itu,

penderita skizofrenia atau bisa juga disebut Orang Dengan Skizofrenia (ODS)

juga pada umumnya menderita gangguan tersebut dalam jangka waktu yang

lama (Shah, Wadoo, & Latoo, 2010). Rendahnya kemampuan rawat diri, serta

panjangnya durasi gangguan skizofrenia dan berbagai keterbatasan lainnya

mengakibatkan adanya ketergantungan yang besar dari penderita skizofrenia

terhadap keluarganya.

Berdasarkan data WHO (2010), diperkirakan secara global terdapat 25

juta orang menderita skizofrenia dengan perkiraan prevalensi 0,5 -1% per seribu

orang populasi. Di Indonesia sendiri, diperkirakan dari 240 juta orang penduduk

Indonesia terdapat sekitar 0,46% yang menderita skizofrenia atau sekitar

1.065.000 jiwa (Teguh, 2011). Dengan adanya jumlah yang besar tersebut, amat

disayangkan bahwa sejauh ini belum terdapat jaringan layanan kesehatan jiwa

yang memadai bagi penderita maupun keluarganya (Gerson et. al., 2009).

Efek Skizofrenia terhadap Penderita dan Keluarganya

Yuniarti (1993) menyatakan bahwa dalam budaya Timur seperti di

Yogyakarta yang memiliki budaya kolektif, penderitaan seseorang menjadi

4

penderitaan kelompoknya. Dalam kaitannya dengan skizofrenia, maka gangguan

yang dialami oleh penderita turut dirasakan oleh kelompok terdekatnya, yaitu

keluarganya. Oleh karenanya, penanganan untuk pemulihan pasien skizofrenia

harus melibatkan keluarga.

Layanan kesehatan jiwa masyarakat yang kurang memadai memberikan

tanggung jawab yang lebih besar bagi keluarga dalam menjalankan perannya

sebagai pendamping utama (primary caregiver) bagi penderita skizofrenia

(Caqueo-Urizar, Gutierrez-Maldonado, Miranda-Castillo, 2009; Cohen & Thomas,

1996; Gerson, et.al., 2009). Sayangnya, penelitian di berbagai negara

menunjukkan keadaan tersebut tidak diimbangi dengan tersedianya informasi

dan pembinaan yang cukup agar keluarga dapat menjalankan perannya dengan

baik (Cohen, et.al., 2011; Ng, Herrman, Chiu, Singh, 2009). Ketimpangan

tersebut memberikan beban yang lebih besar bagi keluarga baik secara fisik,

finansial, maupun emosional.

Berbagai penelitian dilakukan mengenai dampak pendampingan

penderita skizofrenia pada keluarga selaku pendamping. Primary caregiver

(selanjutnya disebut sebagai pendamping) bagi penderita skizofrenia

didefinisikan secara berbeda oleh banyak peneliti. Caqueo-Urizar, dkk. (2009)

mendefinisikan pendamping sebagai orang yang termasuk dalam sistem

dukungan informal penderita skizofrenia yang merawat dan bertanggungjawab

terhadap penderita, dan mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk

menjalankan tugas perawatan tersebut tanpa mendapatkan imbalan ekonomis.

Grandon, Jenaro, & Lemos (2008) mendefinisikan pendamping sebagai anggota

keluarga penderita yang paling terlibat dalam perawatan pasien. Cohen &

Thomas (1996) menyatakan bahwa pendamping adalah anggota keluarga yang

tinggal bersama penderita atau tinggal dekat dengan penderita dalam jarak

kurang dari 8 kilometer dan menjalin kontak harian dengan penderita atau

minimal bertemu selama lebih dari satu jam dengan penderita.

Dari ketiga definisi di atas, dalam penelitian ini pendamping didefinisikan

sebagai anggota keluarga yang paling terlibat dalam perawatan penderita, tinggal

dengan atau dalam jarak dekat dari penderita, dan menjalankan peran perawatan

penderita tanpa mendapatkan imbalan ekonomis.

Berbagai permasalahan yang disebabkan oleh gangguan skizofrenia

menimbulkan berbagai konsekuensi bagi keluarga selaku pendamping penderita.

5

Beberapa konsekuensi yang umum dialami penderita dan keluarganya adalah

biaya perawatan, stigma dari masyarakat, kesulitan dalam mengakses layanan

kesehatan jiwa, dan sebagainya (Caqueo-Urizar, dkk., 2009; Cohen & Thomas,

1996; Gerson, et.al., 2009; Grandon, dkk., 2008; Shah, Wadoo, & Latoo, 2010).

Perawatan sehari-hari seperti kebutuhan rawat diri (mandi, makan, dan

sebagainya) dan pengobatan merupakan tuntutan yang dapat menimbulkan

masalah fisik dan keuangan bagi keluarga. Perilaku penderita yang menarik diri,

bertingkah laku tidak wajar, dan tidak dapat berkomunikasi dapat menyebabkan

stigma dan diskriminasi dari masyarakat sekitar (Gonzales-Torres, Oraa,

Aristegui, Fernandez-Rivas, & Guimon, 2007).

Keluarga terkadang merasa marah, kecewa, tidak berdaya, dan malu

akan keadaan penderita (Gerson, et.al., 2009; Gonzales-Torres, dkk., 2007;

Shah, dkk., 2010;). Masih adanya kepercayaan di sebagian masyarakat maupun

keluarga bahwa skizofrenia atau gangguan jiwa secara umum disebabkan oleh

praktik ilmu hitam dan merupakan hukuman atas kesalahan di masa lalu (Li &

Phillips, 1990, dalam Li, Phillips, Pearson, Xu & Yang, 2002; Lin & Lin, 1980

dalam Li, dkk., 2002; Pearlin, 1993 dalam Li, dkk., 2002) memperkuat stigma dan

diskriminasi, rasa bersalah keluarga, serta cara keluarga dalam mencari

pemecahan masalah secara tidak tepat seperti pergi ke dukun (Boyd, 2012).

Baik penderita skizofrenia dan pendampingnya mengalami sumber stres

yang besar dalam menghadapi skizofrenia. Reay-Young (2001) dan Shah, dkk.

(2010) membagi beban pengasuhan penderita skizofrenia menjadi dua yaitu

beban objektif dan beban subyektif. Beban obyektif adalah masalah yang nyata

secara fisik atau masalah yang berada di luar diri pendamping seperti kesulitan

keuangan dan gangguan fungsi sosial. Sementara beban subjektif adalah beban

yang terdapat dalam diri individu seperti perasaan menderita, kecewa, dan

merasa kehilangan.

Pengasuhan penderita skizofrenia sebagai suatu peristiwa stressful dapat

memberi pengaruh yang buruk terhadap kemampuan seseorang dan berpotensi

untuk mengakibatkan hendaya secara jangka panjang pada orang tersebut.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan sesorang dalam menghadapi

kejadian yang penuh stress adalah perbedaan individual seperti umur, tipe

kepribadian, kesehatan, pengalaman hidup, dan sebagainya (Brown, dkk., 2003).

Selain itu, setiap orang memiliki tingkat toleransi stres, cara coping, dan akses

6

terhadap dukungan sosial yang berbeda (Lazarus & Folkman, 1984; Myers, 1989

dalam Brown, dkk., 2003).

Bila seseorang dapat mengatasi peristiwa penuh stress tanpa mengalami

distress subyektif, maka orang tersebut hanya mengalami stress dan tidak

menjadi krisis bagi orang tersebut (Brown, dkk., 2003). Coping dapat dibagi

menjadi berfokus pada emosi (emotion-focused) dan berfokus pada masalah

(problem-focused) (Folkman & Lazarus, 1980; Lazarus, 1966 dalam Brown, dkk.,

2003). Tujuan dari coping berfokus emosi adalah untuk mengurangi distress

emosional yang terjadi dalam suatu keadan, sementara problem-focused coping

adalah upaya untuk mengubah hubungan antara individu tersebut dengan

sumber stres yang dialaminya.

Pada umumnya, sebagian besar stressor memunculkan kedua jenis

coping tersebut. Coping berfokus emosi sering ditemui pada saat individu merasa

bahwa stresornya adalah sesuatu yang harus dijalani, sedangkan coping

berfokus emosi sering dilakukan apabila individu merasa bahwa mereka bisa

mengambil tindakan untuk mengubah sumber stres tersebut (Folkman &

Lazarus, 1980 dalam Brown, dkk., 2003). Ketidakmampuan seseorang dalam

menghadapi stres yang dialaminya dapat menimbulkan sebuah krisis di mana

individu tersebut merasa tidak berdaya, marah, cemas, tidak mampu, bingung,

takut, disorganisasi, rasa bersalah dan agitasi (Smead, 1988 dalam Brown, dkk.,

2003).

Kebutuhan Pendamping (Caregiver) Penderita Skizofrenia

Dalam penelitiannya, Cohen & Thomas (1996) menemukan bahwa

keluarga sebagai pendamping penderita sering mengesampingkan

kebutuhannya sendiri atau tidak dapat membedakan antara kebutuhan

pengasuhan dengan kebutuhan pribadinya. Di satu sisi hal ini menunjukkan

bahwa pendamping tidak berkesempatan memenuhi kebutuhan pribadinya

karena sudah terbebani dengan pengasuhan pasien, namun di sisi lain hal ini

dapat memberi harapan bahwa dengan memberikan intervensi untuk

mempermudah pengasuhan maka akan mempengaruhi beban subjektif

penderita.

Chien, Thompson, & Norman (2008) mengatakan bahwa dalam keluarga

Timur, komunikasi afeksi dilakukan bukan dengan kata-kata dan sentuhan,

7

melainkan dengan memenuhi kebutuhan satu sama lain (Chan et.al. 2006; Hsu,

1995, dalam Chien, dkk., 2008). Sehingga mereka lebih mementingkan terapi

yang menekankan pada bantuan praktis dan pemecahan masalah dibanding

yang bersifat penguatan psikologis dan kesempatan mengekspresikan dan

mengungkapkan perasaan. Ting-Toomey (1985, dalam Yuniarti, 1993)

menjelaskan hal ini di mana dalam budaya yang bersifat konteks tinggi (high

context culture) seperti budaya Timur konflik terjadi karena individu tidak dapat

mengekspresikan dirinya dengan bebas.

Stresor yang besar dalam pengasuhan penderita skizofrenia dapat terjadi

baik dari luar individu maupun dari dalam diri individu (Bond & Campbell, 2008;

Cohen, et.al., 2011; Gerson, et.al. 2009; Gonzales-Torres, dkk., 2007; Li &

Arthur, 2005; Shah, dkk., 2010). Keadaan tersebut dapat menurunkan

kesejahteraan individu di mana ditemukan bahwa pendamping penderita memiliki

beban yang besar. Beban yang dirasakan dalam pengasuhan tidak berkaitan

dengan persepsi dukungan sosial (Chappell & Reid, 2002).

Beban subjektif didefinisikan sebagai reaksi psikologis yang dialami

pendamping, misalnya perasaan kehilangan, kesedihan, kecemasan dan rasa

malu dalam situasi sosial, stres dalam menghadapi perilaku penderita yang

mengganggu, dan frustrasi yang disebabkan hubungan yang berubah antara

keluarga dan penderita (Ostman & Hanson, 2004, dalam Shah, dkk., 2010).

Biegel, Shafran, & Johnsen (2004) menemukan bahwa keluarga memiliki

kebutuhan untuk mendapatkan penanganan yang lebih dari sekedar penanganan

standar skizofrenia (farmakologis), namun ada hambatan mereka untuk

berpartisipasi lebih jauh dalam kegiatan seperti kelompok dukungan, yaitu: tidak

tersedianya biaya, waktu dan tidak adanya penanganan pengganti (respite care)

bagi keluarga karena penderita tidak bisa ditinggal sendiri.

Sangat disayangkan, skizofrenia sebagai salah satu gangguan jiwa berat

belum mendapatkan penanganan yang memadai di masyarakat. Menko

Kesejahteraan Rakyat (2009-2014), Agung Leksono, menyatakan bahwa

kerugian ekonomi yang diakibatkan gangguan kesehatan jiwa secara umum

untuk Indonesia mencapai sekitar minimal 20 triliun rupiah. Namun demikian,

hanya terdapat 600 orang psikiater di Indonesia untuk melakukan penanganan

medis pada penderita skizofrenia. Di sisi lain, rumah sakit dan klinik yang

8

menyediakan layanan untuk penderita gangguan jiwa masih terbatas jumlahnya

(satunews.com, 2011).

Keterbatasan layanan atau buruknya pelayanan ditemukan di berbagai

studi mengenai pengalaman penderita skizofrenia dan keluarganya (Li & Arthur,

2005; Gerson, dkk., 2009; Cohen, dkk., 2011; Bond & Campbell, 2008). Masalah-

masalah yang ditemui adalah ketiadaan dana untuk penyediaan layanan di

tingkat pemerintah, belum adanya standarisasi layanan, layanan yang terlalu

terfokus di RSJ dan tidak peka budaya. Keluarga bahkan merasakan adanya

sikap yang kurang ramah dari tenaga kesehatan, diagnosis yang tidak jelas serta

penderita dijemput paksa oleh pihak RSJ atau polisi karena penanganan yang

terlambat sehingga gejala penderita sudah terlalu berat.

Kurangnya layanan kesehatan jiwa masyarakat ini tidak hanya terjadi di

Indonesia atau negara berkembang lainnya, namun juga terjadi di negara maju.

Nelson (1989, dalam Supratiknya, 2011) mengatakan bahwa proporsi jumlah

orang yang membutuhkan layanan psikologis tidak akan dapat ditangani

sepenuhnya dengan jumlah tenaga kesehatan jiwa yang ada. Nelson juga

menyatakan diperlukan penanganan yang bersifat komunitas karena

penanganan secara individual memerlukan sumber daya yang terlalu besar.

Sebagian besar pandangan konvensional dalam penanganan skizofrenia

cenderung pada penanganan aspek biomedis saja (Calton, 2009) padahal sudah

dilakukan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa skizofrenia dapat

ditangani tanpa pengobatan sama sekali dan hanya mengandalkan penanganan

psikososial saja. Penanganan juga dapat dilakukan di tingkatan tenaga

kesehatan primer (Bain & Shah, 2004; Ng, dkk., 2009) di mana psikolog atau

konselor dapat melakukan penyaringan terhadap kebutuhan layanan psikologis

umum atau psikiatrik yang lebih berat. Prevensi dan penanganan dini dalam

skizofrenia khususnya dan kesehatan jiwa pada umumnya akan mengurangi

pengeluaran biaya yang besar daripada membiarkan orang dengan masalah

kejiwaan mengalami masa psikosis yang tidak ditangani (duration of untreated

psychosis) yang berlarut-larut.

Pendamping penderita memiliki ketertarikan yang besar untuk ikut serta

dalam kegiatan seperti kelompok dukungan sesama pendamping penderita

skizofrenia, namun hambatan dari dalam diri keluarga adalah perasaan takut

tidak diterima, khawatir mengungkapkan perasaan dalam kelompok, merasa

9

membuang energi bila terlalu berfokus pada gangguan jiwa, serta tidak meyakini

manfaat mendapat pengetahuan tentang gangguan jiwa. Kekhawatiran di atas

tidak terbukti karena para anggota keluarga yang sudah mengikuti kelompok

dukungan merasakan adanya dukungan dan persahabatan sesama pendamping,

tidak merasa membuang energi, dan penambahan pengetahuan skizofrenia

adalah sesuatu yang bermanfaat (Biegel, dkk., 2004).

Studi literatur dari Jeppesen, dkk. (2005) menyatakan bahwa

psikoedukasi dapat mengurangi kekambuhan, menurunkan tingkat rawat inap

ulang, meningkatkan ketaatan obat, dan mengurangi lamanya rawat inap.

Pendapat yang serupa dikatakan oleh Bond & Campbell (2008); Dixon, dkk.

(2001); McFarlane, Dixon, Lukens, & Lucksted (2003) yang membandingkan

berbagai praktik berbasis bukti (evidence-based practices) bagi penderita

skizofrenia dan keluarganya yaitu bahwa psikoedukasi keluarga dapat

menurunkan tingkat subjective burden pendamping, partisipasi pasien dalam

rehabilitasi vokasional, mengurangi gejala psikiatrik, dan sebagainya.

Psikoedukasi keluarga juga dapat menurunkan beban subyektif yang dialami

oleh keluarga (Gutierez-Maldonado & Caqueo-Urizar, 2007).

Meskipun psikoedukasi keluarga sudah didukung oleh berbagai hasil

penelitian sebagai suatu layanan yang bermanfaat namun praktik di lapangan

membuktikan bahwa intervensi ini masih belum menjadi standar layanan yang

menyebar luas (Cohen, dkk., 2011; Gutierez-Maldonado & Caqueo-Urizar, 2007;

McFarlane, dkk., 2003). Penjelasan terhadap keadaan ini adalah karena tidak

tersedianya dana, keterbatasan jumlah tenaga kesehatan jiwa, resistensi dari

sebagian pihak yang merasa cukup dengan penanganan psikofarmaka, dan

sebagainya, padahal psikoedukasi dapat dilakukan secara singkat dan padat

dengan hasil yang bermanfaat (Pollio, North, Reid, Miletic, & McClendon, 2006).

Pollio, dkk. (2006) melakukan lokakarya psikoedukasi singkat selama satu hari

untuk pendamping penderita skizofrenia dengan hasil bahwa para pendamping

menilai lokakarya tersebut sangat bermanfaat dalam meningkatkan keterampilan

menghadapi masalah perilaku pasien.

Cuijpers & Stam (2000) memperingatkan bahwa meski keluarga sudah

mengikuti program psikoedukasi, namun tetap dapat terjadi kejenuhan (burnout)

pada pendamping skizofrenia. Hal ini dikarenakan gangguan pasien yang telah

lama berjalan (lebih dari dua tahun) menimbulkan kelelahan pada pendamping.

10

Oleh karena itu disarankan untuk membuat program yang berfokus dalam

membantu pendamping mengatasi tekanan dalam hubungan dengan penderita

dan meningkatkan kemampuan coping pendamping dalam mengatasi masalah.

Dalam tinjauan mengenai berbagai praktik kesehatan di negara-negara Asia

Pasifik, Ng, dkk. (2009) menyimpulkan bahwa intervensi yang berbasis

komunitas adalah cara yang akan membangun layanan kesehatan jiwa yang

berkesinambungan. Prinsip-prinsip dalam pembangunan layanan berbasis

komunitas adalah:

1. Rumah Sakit Jiwa dapat menekankan pelayanan berbasis komunitas

sebagai bagian dari sistem rumah sakit, dengan cara ini maka RSJ

Daerah dapat menjadi pusat pengembangan dan sumber daya melalui

program yang membina pusat layanan kesehatan jiwa yang tersebar di

seluruh provinsi.

2. Akses yang setara terhadap layanan kesehatan jiwa: transisi dari layanan

yang berbasis rumah sakit menjadi layanan berbasis komunitas telah

menimbulkan tindakan yang inovatif untuk mengatasi tantangan dalam

bidang pendanaan, jarak geografis dan sebagainya.

3. Dukungan dalam transisi layanan dari institusi ke komunitas

4. Memberdayakan keluarga dan pasien: meningkatkan kemampuan

penderita dan keluarga dalam mengatasi masalah adalah upaya untuk

menghargai otonomi dan hak asasi penderita dan pendamping

5. Pembentukan jaringan dan kemitraan komunitas: hal ini akan

meningkatkan sumber daya yang tersedia bagi penderita yang tinggal di

tengah masyarakat.

6. Integrasi dengan Sumber daya kesehatan yang sudah ada

7. Kesadaran komunitas dan mempromosikan nilai dari kesehatan jiwa.

8. Intervensi krisis: penanganan situasi krisis secepatnya bagi penderita

akut.

9. Intervensi dini: intervensi dini akan mengurangi kekambuhan gangguan,

komplikasi jangka panjang dan rawat inap

10. Menggunakan pendekatan yang berpusat pada pasien: layanan

kesehatan jiwa berbasis komunitas perlu bersifat fleksibel sesuai dengan

perubahan kebutuhan penderita dan pendamping.

11

Dari berbagai prinsip di atas, maka intervensi psikoedukasi keluarga

berkelompok untuk pendamping penderita skizofrenia dapat memenuhi prinsip

nomor 4, 5, 6, 8, 9, 10.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh psikoedukasi

keluarga berkelompok dalam menurunkan subjective burden pada pendamping

penderita skizofrenia. Hipotesis yang diajukan adalah psikoedukasi keluarga

berkelompok dapat menurunkan subjective burden pada pendamping penderita

skizofrenia.

Metode Penelitian

Partisipan penelitian adalah pendamping penderita skizofrenia, dengan

kriteria inklusi partisipan sebagai berikut:

1. Tingkat subjective burden berada pada kategori tinggi atau sangat tinggi.

Hal ini adalah agar dapat diketahui pengaruh psikoedukasi yang akan

diberikan terhadap tingkat subjective burden partisipan.

2. Pendamping (primary caregiver) didefinisikan sebagai anggota keluarga

yang paling terlibat dalam perawatan penderita, tinggal dengan atau

dalam jarak dekat dari penderita, dan menjalankan peran perawatan

penderita tanpa mendapatkan imbalan ekonomis.

3. Penderita telah mendapat diagnosis skizofrenia oleh psikiater atau tenaga

kesehatan jiwa lainnya (perawat jiwa, psikolog klinis). Hal ini berkaitan

dengan modul psikoedukasi yang memberikan informasi yang khusus

untuk skizofrenia sehingga tidak dapat dicampur dengan informasi

diagnosis gangguan jiwa berat lainnya seperti gangguan bipolar,

gangguan obsesif kompulsif, dan sebagainya.

4. Calon partisipan mampu baca-tulis dengan lancar, karena modul

pelatihan ini diberikan dengan buku panduan yang harus dibaca oleh

partisipan serta pelaksanaan psikoedukasi dilakukan dengan presentasi

Power Point yang harus dibaca oleh partisipan.

Sementara kriteria eksklusi partisipan adalah yang telah mendapatkan

psikoedukasi berkelompok atau tergabung dalam kelompok dukungan keluarga

(support group) lain. Apabila partisipan pernah mendapatkan perlakuan tersebut,

maka akan mempengaruhi hasil penelitian.

12

Strategi pemilihan partisipan adalah dengan purposive sampling, di mana

partisipan dipilih berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan dan kemudian

disaring lagi berdasarkan ketersediaan waktu dalam mengikuti psikoedukasi.

Jumlah partisipan diharapkan dapat mencapai minimal lima orang, karena jumlah

tersebut merupakan batas jumlah anggota kelompok yang sesuai bagi

psikoedukasi keluarga berkelompok (McFarlane dkk., 2003). Namun, bila tidak

dapat ditemukan partisipan yang sesuai sejumlah 5 orang, maka minimal yang

diharapkan peneliti adalah dua orang untuk memenuhi persyaratan bahwa

psikoedukasi dilakukan pada lebih dari satu keluarga (single family).

Variabel

Variabel bebas penelitian adalah psikoedukasi berkelompok untuk

keluarga/pendamping penderita skizofrenia, yaitu suatu modul psikoedukasi yang

dikembangkan agar partisipan dapat meningkatkan pengetahuannya mengenai

gangguan tersebut dan menceritakan perasaan dan pengalamannya pada

sesama pendamping dan tenaga profesional. Selain itu Partisipan dapat

mempelajari pola komunikasi yang tepat dan berlatih mengatasi situasi krisis

yang mungkin terjadi dalam pengasuhan penderita skizofrenia.

Variabel Tergantung penelitian adalah beban subjektif (subjective

burden). Beban subjektif didefinisikan sebagai reaksi psikologis yang dialami

pendamping, misalnya perasaan kehilangan, kesedihan, kecemasan dan rasa

malu dalam situasi sosial, stres dalam menghadapi perilaku penderita yang

mengganggu, dan frustrasi yang disebabkan hubungan yang berubah antara

keluarga dan penderita (Gutierez-Maldonado & Caqueo-Urizar, 2007).

Pengukuran

Pengukuran dilakukan dua kali dengan menggunakan Zarit Caregiver

Burden Scale (ZCBS) yang terdiri dari delapan belas aitem. Dalam setiap aitem,

responden diberikan tujuh pilihan jawaban yang bermulai dari Tidak Pernah (1)

hingga Hampir Selalu (5). ZCBS dikembangkan oleh Stephen Zarit (1980, dalam

Gutierrez-Maldonado & Caqueo-Urizar, 2007) untuk pengukuran beban subjektif

bagi pendamping penderita demensia. Dalam pengembangan selanjutnya, alat

ukur tersebut sudah diujicobakan pada pendamping penderita skizofrenia.

13

Skala ini terdiri dari 3 aspek yaitu: Burden atau beban (penilaian negatif

terhadap konsekuensi bagi pendamping terhadap perawatan yang diberikannya

pada penderita), Rejection atau penolakan (perasaan ambivalen, merasa

terganggu atau menolak penderita), dan Incompetence atau ketidakmampuan

(persepsi pendamping bahwa dirinya tidak mampu merawat penderita karena

kurangnya sumber daya pribadi atau ekonomi). Di Indonesia, skala ini sudah

diujicobakan oleh Koeswardani (2011) di Yogyakarta, dengan diperoleh 18 aitem

dari 30 aitem awal. Berikut adalah kisi-kisi skala Beban Subyektif setelah ujicoba

(Koeswardani, 2011):

Tabel 1

Kisi-kisi Zarit Caregiver Burden Scale setelah uji coba

Aspek Favorable Unfavorable Jumlah

Burden 17,20,29 4,5 ,,19 6

Rejection 3,6, 22,28 14, 24 6

Incompetence 9,15,23 21,25,27 6

Jumlah 10 8

Hasil pengujian koefisien reliabilitas ulang terhadap 18 aitem tersebut

didapatkan koefisien alpha skala beban sebesar 0,813 dengan rix bergerak dari

0,266 hingga 0,492. Ada pun kategorisasi skor skala beban subjektif pendamping

berdasarkan norma empiris adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Kategorisasi skor ZCBS

Skor total beban subjektif Kategori

X <_ 9 Sangat rendah

9<X<_ 15 Rendah

15<X<_ 20 Sedang

20<X<_ 26 Tinggi

26<X Sangat tinggi

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan one group pretest-posttest design di mana

pengukuran dilakukan pada satu kelompok subyek sebelum diberikan perlakuan.

14

Pengukuran dilakukan lagi setelah partisipan mendapat perlakuan. Gambaran

rancangan penelitian adalah sebagai berikut:

Tabel 3

Rancangan Penelitian One Group Pretest-Posttest Design

O1 X O2

Catatan.

O1 : Pretest

X : Perlakuan

O2 : Posttest

Menurut Shadish, Cook, & Campbell (2002) kelemahan dari rancangan di

atas adalah historisitas yaitu kemungkinan adanya peristiwa lain di luar perlakuan

yang terjadi pada waktu antara pra-tes dan post-test. Dalam penelitian ini,

mungkin ada suatu kejadian positif yang dialami partisipan seperti perhatian dan

bantuan dari tetangga, atau kejadian lainnya yang menurunkan tingkat subjective

burden pada partisipan. Dari contoh tersebut, dapat terjadi penurunan skor

subjective burden walau bukan karena efek dari perlakuan psikoedukasi.

Kelemahan yang kedua adalah regresi statistik. Hal ini terjadi apabila

pengukuran dilakukan pada saat di mana partisipan sedang mengalami

subjective burden yang lebih rendah dari biasanya, karena hal-hal yang di luar

batasan penelitian. Perubahan skor yang terjadi setelah perlakuan akan

memberikan efek semu (spurious effect) mengenai keberhasilan perlakuan,

padahal skor tersebut tidak mewakili kenyataan secara menyeluruh.

Kelemahan lainnya adalah kemungkinan terjadinya maturasi pada

Partisipan, misalnya Partisipan menjadi lebih berpengalaman dalam memberikan

asuhan pada penderita skizofrenia dalam waktu antara pengukuran sebelum dan

sesudah perlakuan. Peningkatan skor yang terjadi tidak dapat disimpulkan

sebagai efek dari perlakuan.

Selain itu, kelemahan penelitian ini adalah tidak adanya kelompok kontrol

sehingga penyimpulan kausal (causal inference) lebih lemah karena tidak ada

kelompok pembanding untuk menunjukkan bahwa perubahan terjadi karena

adanya perlakuan.

Untuk mengatasi berbagai kelemahan di atas, dalam penelitian ini juga

dilakukan observasi dan wawancara pada partisipan sehingga peneliti mendapat

gambaran kualitatif mengenai situasi dan kondisi kehidupan partisipan sehari-

15

hari. Sementara mengenai kelemahan regresi statistik, peneliti tidak melakukan

pengukuran berulang untuk menghindari efek testing apabila partisipan dites

berulang kali.

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah psikoedukasi berkelompok untuk

pendamping penderita skizofrenia. Psikoedukasi tersebut dipandu oleh satu

orang fasilitator, satu orang pendamping fasilitator dan dua orang pengamat.

Berikut adalah persyaratan untuk menjadi fasilitator, pendamping fasilitator, dan

pengamat:

Fasilitator (1 orang):

1. Psikolog.

2. Memiliki pengalaman menjadi fasilitator atau pendamping fasilitator

3. Pernah menangani pasien skizofrenia dan atau anggota keluarganya

minimal satu kali.

4. Sudah membaca dan memahami modul secara keseluruhan sebelum

melaksanakan psikoedukasi.

Pendamping fasilitator (1 orang):

1. Sarjana Psikologi atau Mahasiswa Magister Profesi Psikologi bidang

klinis.

2. Memiliki pengalaman sebagai pendamping fasilitator.

3. Sudah membaca dan memahami modul secara keseluruhan sebelum

melaksanakan psikoedukasi.

Pengamat/Observer (1-2 orang):

Mahasiswa Magister Profesi Psikologi bidang klinis.

Modul penelitian ini dikompilasi oleh peneliti dari berbagai sumber, yaitu

disusun dari berbagai modul dan sumber-sumber lainnya mengenai psikoedukasi

keluarga penyandang skizofrenia, antara lain Family Psychoeducation Workbook

dari McFarlane (2003), Training Frontline Staff dari Substance Abuse and Mental

Health Administration (SAMHSA, 2009), Family Intervention and Support in

Schizophrenia dari Varghese, Shah, Kumar, Murali & Paul (2002).

Dari berbagai sumber tersebut, peneliti menyusun kisi-kisi modul

psikoedukasi sebagai berikut:

16

Tabel 4

Kisi-kisi modul Psikoedukasi Pendamping Penderita Skizofrenia

Sesi Kegiatan Waktu

Tujuan Metode

1 Dampak Skizofrenia terhadap keluarga 70’

Pengantar 10’ - Menjalin rapport - Memberikan informasi mengenai prosedur

psikoedukasi

Ceramah, Umpan balik

Penayangan film

15’ - Memberikan ilustrasi mengenai keadaan penderita skizofrenia

Penayangan film

Diskusi 15’ - Berbagi pengalaman dalam pengasuhan penderita - Mencurahkan emosi-emosi baik positif maupun

negatif yang dialami dalam pengasuhan penderita

Sharing, Refleksi, Diskusi Kelas

Presentasi dan Tanya jawab

30’ - Memberikan informasi mengenai pengaruh skizofrenia terhadap penderita dan keluarganya

- Memberi kesempatan bagi Partisipan untuk membandingkan pengalamannya dengan informasi yang diberikan

Presentasi/Ceramah, Umpan balik, Sharing

2 Informasi Skizofrenia 45’

Presentasi dan Tanya jawab

30’ - Memberi informasi mengenai skizofrenia Ceramah, Umpan balik

Permainan Lempar Bola

15’ - Mereviu ulang pemahaman Partisipan mengenai isi presentasi

Permainan, Penugasan Partisipan

3 Komunikasi dan Emosi 50’

Presentasi

20’ - Memberikan panduan dasar komunikasi dan pengelolaan emosi dalam mendampingi penderita skizofrenia

Ceramah, Diskusi kelas, Umpan balik

Bermain Peran

30’ - Memberi pengalaman cara berkomunikasi yang tepat melalui bermain peran

Bermain peran, Sharing, Umpan balik

4 Mengatasi Masalah Bersama 75’

Presentasi 20’ - Memberi informasi cara mengatasi berbagai masalah sehari-hari dalam pengasuhan pasien

Ceramah, presentasi Partisipan, diskusi kelas

Permainan Lampu Bang-Jo

15’ - Mereviu kembali materi yang sudah dipresentasikan pada sesi-sesi sebelumnya

Permainan

Lembar Kerja

5’ - Berbagi masalah yang dihadapi dalam pendampingan penderita

Penugasan Partisipan

Diskusi Penyelesaian Masalah Bersama

25’ - Partisipan saling belajar dari pengalaman masing-masing

- Mencurahkan emosi-emosi baik positif maupun negatif yang dialami dalam pengasuhan penderita

Penugasan Partisipan, Diskusi kelas, Sharing

Penutup 25’

Kesan, Pesan dan Evaluasi

10’ - Menyimpulkan dan memotivasi - Evaluasi Psikoedukasi dan Fasilitator-Kofasilitator

Ceramah, diskusi

Relaksasi 15’ - Latihan relaksasi sederhana Ceramah

Total waktu pelaksanaan: 245 menit (4 jam 5 menit)

17

Setiap modul diharapkan dapat memberikan tambahan bagi Partisipan dari

segi kognisi, emosi, atau perilaku. Di bawah ini dijelaskan manfaat dari tiap sesi:

1. Modul Informasi Skizofrenia: dalam modul ini akan dijelaskan mengenai

definisi, gejala, penyebab, penanganan dan prognosis bagi skizofrenia. Selain itu

juga akan dijelaskan mengenai berbagai sumber daya yang ada di lingkungan

partisipan, terutama Puskesmas dan Rumah Sakit Jiwa.

2. Modul Dampak Skizofrenia bagi keluarga: sesi diawali dengan sebuah

film berdurasi 12 menit berjudul Disconnected: a short film in Schizophrenia

(D’Onofrio, 2011) mengenai kehidupan seorang remaja pria yang menderita

skizofrenia, pelaku dalam film itu adalah remaja tersebut, ibunya, dan satu orang

teman dekatnya.

Film diawali dengan remaja tersebut yang sedang bermain catur dengan

temannya, lalu ia mengalami halusinasi auditori, sehingga ia merasa ketakutan

dan ingin bunuh diri. Kemudian digambarkan kehidupan remaja tersebut yang

tinggal hanya berdua dengan ibunya. Ayah dan ibunya sudah bercerai sejak

remaja itu masih kecil. Kemudian di tengah malam, remaja tersebut mengalami

halusinasi auditori dan visual sehingga ia kembali ingin bunuh diri.

Ibunya kemudian menelepon ke layanan kesehatan jiwa setempat, dan keesokan

harinya mereka (ibu, remaja, dan temannya) pergi ke rumah sakit jiwa. Namun di

perjalanan, remaja tersebut ingin bisa pergi ke RSJ sendiri. Kemudian ia

mengalami halusinasi visual dan ia tidak berani meneruskan perjalanannya.

Penayangan film ini bertujuan untuk menggali pendapat dan pengalaman

partisipan serta berbagai emosi yang dirasakan partisipan dalam memberikan

asuhan pada penderita skizofrenia. Kemudian sesi dilanjutkan dengan diskusi

Partisipan, penjelasan dari fasilitator, dan tanya jawab. Dalam penggunaan film

tersebut, peneliti sudah berkomunikasi dan meminta izin melalui surel pada

produser/sutradara pemilik film tersebut serta telah mendapatkan izin tertulis dari

individu tersebut.

3. Modul Komunikasi dan Emosi: fasilitator menjelaskan mengenai berbagai

panduan dalam berkomunikasi dengan penderita skizofrenia sehingga partisipan

dapat mengurangi ekspresi emosi yang berlebihan seperti dalam bentuk kritik,

kekecewaan, dan sebagainya yang akan mempengaruhi perilaku penderita

secara negatif. Partisipan juga akan melakukan permainan peran (role-play)

dengan kasus yang diambil dari kisah nyata pendamping skizofrenia dan

18

penderita. Dengan role play ini, partisipan dapat langsung menerapkan

pengetahuan yang didapatnya sehingga ia mampu menerapkan dalam

kehidupan sehari-hari. Di samping itu, partisipan juga saling berdiskusi dan

memberikan saran sehingga partisipan dapat belajar dari pengalaman satu sama

lain dengan dipandu oleh fasilitator.

4. Modul Mengatasi Masalah Bersama: Dalam modul ini, fasilitator akan

menjelaskan berbagai panduan dalam mengatasi masalah pengasuhan

penderita skizofrenia. Fasilitator akan menggabungkan dengan pengetahuan

yang didapat dari modul-modul sebelumnya dan ditambah dengan informasi baru

mengenai cara-cara komunikasi penyelesaian masalah. Kemudian partisipan

bersama-sama membahas masalah yang dialami dan penyelesaiannya. Sesi ini

bermanfaat agar partisipan mampu mengkaitkan bahan psikoedukasi dengan

permasalahan nyata yang dialaminya serta mencari penyelesaiannya bersama.

Psikoedukasi berkelompok memiliki kelebihan dari segi terciptanya sense of

community sesama pendamping penderita skizofrenia dan pembelajaran

bersama dari pengalaman masing-masing.

Prosedur

Berikut adalah penjelasan prosedur penelitian:

A. Persiapan Penelitian

1. Peneliti mengumpulkan bahan-bahan dan kajian teoretis untuk penelitian

melalui penelusuran literatur, pemilihan skala, pembuatan modul dan

panduan wawancara.

2. Professional judgment bagi modul penelitian yang dilakukan oleh tiga

orang praktisi (psikolog klinis). Masukan dari ketiga orang tersebut

kemudian diintegrasikan ke dalam modul. Adanya masukan dari Psikolog

Puskesmas yang akan menjadi fasilitator bahwa dalam acara pertemuan

keluarga penderita gangguan jiwa berat (tidak hanya skizofrenia) yang

pernah dilakukan di Puskesmas tersebut, para pendamping pada

umumnya tidak dapat menghadiri kegiatan yang lebih dari satu kali

pertemuan. Hal ini disebabkan karena peran mereka dalam mengasuh

penderita sehingga tidak dapat meninggalkan penderita dalam waktu

lama. Oleh karena itu, peneliti memadatkan kegiatan psikoedukasi

menjadi satu hari.

19

3. Uji coba modul yang dilakukan terhadap satu orang partisipan yang

memiliki karakteristik yang mirip dengan sasaran partisipan penelitian,

dalam hal ini adalah seorang pendamping penderita skizofrenia.

4. Peneliti mencari subyek penelitian melalui institusi yang melakukan

pelayanan kesehatan jiwa, dalam hal ini adalah Puskesmas. Psikolog

Puskesmas yang diminta untuk menjadi fasilitator penelitian ini

memberikan daftar beberapa pasien baru yang belum mendapatkan

psikoedukasi. Dari tujuh orang yang dijajaki yang memiliki tempat tinggal

di wilayah cakupan pelayanan Puskesmas tersebut, maka satu orang

ditentukan menjadi Partisipan uji coba modul dan tiga orang menjadi

Partisipan penelitian. Dari tiga orang calon partisipan lain yang dijajaki,

satu orang tidak memiliki karakteristik yang sesuai (orang tersebut sudah

pernah ikut psikoedukasi), satu orang lainnya tidak dapat ikut penelitian

karena masih mengurusi penderita yang harus rawat inap, dan satu orang

lagi menolak untuk mengikuti intervensi yang ditawarkan.

5. Proses perizinan dilakukan melalui Dinas Kesehatan Sleman serta

melalui komunikasi dengan psikolog Puskesmas.

6. Peneliti mendatangi calon partisipan di rumahnya masing-masing dan

memberikan penjelasan mengenai psikoedukasi keluarga berkelompok

yang akan dilakukan. Bila partisipan bersedia mengikuti psikoedukasi

tersebut, maka peneliti akan meminta calon partisipan untuk

menandatangani surat persetujuan penelitian (informed consent).

7. Peneliti mengadministrasikan skala ZCBS yang sudah diadaptasi oleh

Koeswardani (2011) pada calon partisipan untuk mengetahui kelayakan

calon partisipan tersebut. Bila skor calon partisipan tidak sesuai dengan

kriteria inklusi partisipan, maka individu tersebut tidak akan diikutsertakan

dalam pelaksanaan psikoedukasi.

B. Pelaksanaan Penelitian

1. Wawancara preliminari dilakukan setelah didapatkan skor partisipan

dalam skala ZCBS. Wawancara dilakukan di kediaman partisipan

sehingga peneliti dapat sekaligus melakukan observasi dan juga

mewawancarai penderita skizofrenia.

20

2. Melakukan pembahasan modul dengan fasilitator, pendamping fasilitator,

dan pengamat. Peneliti melakukan kesepakatan mengenai kerahasiaan

penelitian dan data partisipan.

3. Pelaksanaan psikoedukasi keluarga berkelompok untuk pendamping

penderita skizofrenia selama satu hari. Kegiatan ini dilakukan di

Puskesmas daerah Sleman, Yogyakarta pada awal bulan Agustus 2013

dengan dihadiri oleh satu orang fasilitator, satu orang pendamping

fasilitator, satu orang pengamat, peneliti sebagai notulen, dan tiga orang

partisipan.

4. Pengukuran kedua skala ZCBS dilakukan setelah psikoedukasi.

Pelaksanaan pengukuran kedua ini dilakukan sekitar satu minggu

sesudah psikoedukasi.

5. Wawancara dan observasi kedua dilakukan di kediaman partisipan

masing-masing setelah pelaksanaan psikoedukasi.

Alat atau Materi

Berikut adalah alat atau materi dalam pelaksanaan psikoedukasi ini:

1. Lembar data diri partisipan

2. Lembar Naskah Penjelasan Penelitian

3. Surat persetujuan partisipan (Informed Consent).

4. Panduan wawancara

5. Skala Beban Subyektif (ZCBS)

6. Modul Psikoedukasi Keluarga Berkelompok

7. Lembar Observasi selama pelaksanaan psikoedukasi

8. Daftar hadir partisipan selama psikoedukasi

9. Lembar Evaluasi Pelatihan

10. Alat tulis dan peralatan elektronik untuk pelaksanaan psikoedukasi

(proyektor LCD, spidol, kertas, dan lain-lain).

Hasil Penelitian

Hasil Analisis Kuantitatif

Analisis data hasil penelitian secara kuantitatif menggunakan statistik

nonparametrik dengan Uji Wilcoxon pada perbedaan skor Zarit Caregiver Burden

21

pada pendamping penderita skizofrenia sebelum dan sesudah psikoedukasi. Dari

skala, diperoleh skor partisipan sebagai berikut

Tabel 5

Skor Beban Subjektif Partisipan

Subjek

Skor Beban Subjektif

Sebelum Sesudah

Is 32 19

St 24 17

Ns 38 21

Analisis Kuantitatif dilakukan dengan menggunakan SPSS 20, didapatkan

hasil sebagai berikut:

Tabel 6

Rangkuman Hasil Uji Wilcoxon untuk Skor Beban Subjektif

Perhitungan Z Signifikansi (p) Keputusan

Skor Sebelum-Sesudah

Psikoedukasi

-1,633 0,102 Tidak Signifikan

Catatan. p < 0,05.

Dengan demikian didapatkan bahwa Hipotesis ditolak, yaitu tidak terdapat

perbedaan beban subyektif yang signifikan antara sebelum dan sesudah

dilaksanakannya psikoedukasi keluarga berkelompok bagi pendamping penderita

skizofrenia.

Hasil Analisis Kualitatif

Pengolahan data observasi dan wawancara secara kualitatif dilakukan

dengan analisis deskriptif dari hasil observasi dan wawancara sebelum dan

sesudah psikoedukasi.

Dari hasil analisis kualitatif ditemukan bahwa setiap partisipan tetap

mengalami penurunan tingkat beban subyektif. Perubahan tersebut ditampilkan

dalam tabel berikut:

22

Bila digolongkan berdasarkan norma dari Koeswardani (2011), maka para

partisipan mengalami perubahan tingkat beban subjektif sebagai berikut:

Tabel 7.

Tingkat Beban Subjektif Partisipan

Subjek

Skor Beban Subjektif

Sebelum Sesudah

Is Sangat Tinggi Sedang

St Tinggi Sedang

Ns Sangat Tinggi Tinggi

Terlihat bahwa Subjek Is mengalami perubahan skor beban subjektif dari

Sangat Tinggi (skor 32) menjadi ke tingkat Sedang (skor 19). Hal yang sama juga

dialami oleh Subjek kedua (St) yang mengalami penurunan yang tingkat beban

subjektifnya menurun dari Tinggi (skor 24) menjadi Sedang (skor 17). Subjek Ns

mengalami tingkat penurunan beban subjektif dari rentang Sangat Tinggi (skor

38) menjadi tinggi (skor 21).

Pergerakan skor pada ketiga partisipan ini menunjukkan bahwa intervensi

psikoedukasi dapat menurunkan skor beban subjektif pada para partisipan,

walupun itdak didapatkan perbedaan yang signifikan secara statistik. Sebelum

intervensi semua partisipan memiliki skor yang berada pada rentang Sangat

Tinggi (skor di atas 26) hingga Tinggi (skor 20 – 25). Setelah intervensi,

didapatkan skor para peserta berada pada rentang Sedang (15 – 20) hingga

Tinggi (20 – 26).

Subjek Is

Sebelum intervensi, skor beban subjektif Is berada pada rentang Sangat

Tinggi dengan skor 32, sementara sesudah intervensi menjadi rentang Sedang

(skor 19). Di antara ketiga peserta, Is mengalami perubahan rentang beban

subyektif yang paling besar, meski pun perubahan dari skor terbesar dialami oleh

Subjek Ns, yaitu sejauh 17 poin. Sementara skor Is sendiri mengalami

penurunan 13 poin. Berikut adalah perubahan skor beban subjektif pada Subjek

Is:

23

Gambar 1: Grafik skor Subjek Is

Dalam perannya sebagai primary caregiver bagi anaknya (AS, 20 tahun),

Is tidak merasa malu terhadap pandangan masyarakat sekitarnya. Is dengan

selektif memilih untuk berterus terang pada tetangga sekitar rumahnya yang

dirasanya terbuka dan mendukungnya. Sementara pada orang-orang yang

bersikap negatif padanya, Is tidak mau terbuka mengenai keadaan AS. Hal ini

diakuinya bukan karena ia merasa malu akan gangguan jiwa AS, namun karena

ia tidak ingin AS dan keluarganya dicemooh.

Hal ini terlihat pada saat wawancara, yaitu di wawancara pertama Is dan

AS banyak terdiam ketika ada tetangganya yang singgah ke rumahnya. Setelah

orang tersebut pergi, baru Is mengakui bahwa orang tersebut sering bersikap

buruk padanya. Sebaliknya, di wawancara kedua ada seorang tetangga lain yang

ikut duduk bersama Is sambil menonton televisi. Is bercerita dengan terbuka

mengenai keadaan AS di depan tetangga tersebut dan memperlihatkan obat

antipsikotik yang diminum oleh anaknya.

Salah satu hal yang dirasakan Is adalah rasa bersalah karena ia telah

memaksa anaknya AS dewasa sebelum waktunya. Semasa kecil AS sering jadi

tempat bersandar Is apabila Is memiliki masalah dalam rumah tangganya

(perselingkuhan suaminya) dan masalah keuangan (rumahnya didatangi penagih

hutang). Is berharap ia dapat memberikan perawatan sebaik-baiknya pada AS

serta mendoakan agar AS bisa hidup sehat dan produktif walau memiliki

keterbatasan.

Selama berjalannya psikoedukasi, Is lebih sering berbicara dengan St

yang duduk persis di sampingnya. Ia juga terlihat menangis dan menghapus air

24

mata saat menonton film dan sharing. Partisipasi Is selama psikoedukasi terlihat

aktif dan juga merespon dengan lancar, walau awalnya ia terlihat berpikir

beberapa saat sebelum menjawab. Is juga tertawa dan banyak tersenyum

selama melakukan permainan.

Is mengaku senang akan psikoedukasi berkelompok ini, karena ia

merasakan sangat berterimakasih bisa bertemu sesama keluarga pendamping

ODS. Ia banyak belajar dari peserta lain dan juga dari materi psikoedukasi.

Setelah psikoedukasi, materi yang sudah diterapkannya secara mandiri adalah

cara berkomunikasi, relaksasi, dan memahami keterbatasan penderita. Is juga

menyampaikan sangat menghargai layanan kesehatan jiwa di Puskesmas.

Subjek St

Sebelum intervensi, skor beban subjektif St berada pada rentang Tinggi

(skor 24), sementara sesudah intervensi menjadi rentang Sedang (skor 17). Di

antara ketiga peserta, St mengalami perubahan skor yang paling sedikit.

Berikut adalah perubahan skor beban subjektif pada Subjek St

Gambar 2: Grafik Subjek St

Pada Subjek St, terlihat bahwa sebelum intervensi skor yang diperoleh

berada pada rentang Tinggi yaitu 24, dan sesudah intervensi mengalami

penurunan skor beban subjektif menjadi 17 (rentang Sedang). Perubahan lainnya

yang terjadi adalah pada saat pengukuran kedua, Subjek St mengatakan ingin

mengisi skala untuk beban subjektif yang dialaminya dalam menjadi caregiver

bagi anaknya yang pertama yaitu EB.

25

Pada pengukuran pertama, St menolak untuk melakukan pengisian skala

bebannya dalam merawat EB. St beralasan bahwa ia hanya mau mengikuti

pelatihan untuk anaknya yang ketiga, yaitu F. St menjelaskan bahwa dirinya

sudah lepas tangan terhadap EB yang kasar dan sangat sering menyusahkan

keluarga. Sebelum intervensi, St melihat bahwa dirinya hanya mampu mengurus

F karena EB sudah sama sekali tidak bisa disembuhkan.

Pada saat pelaksanaan psikoedukasi, St terlihat cepat akrab dalam

mengobrol dengan Is. Ia juga berkali-kali meneteskan air mata pada saat

menonton film dan sesi berbagi pengalaman. St aktif dalam mengikuti

psikoedukasi, dan walaupun volume suaranya agak pelan namun St selalu

memberikan tanggapan pada setiap tanya jawab atau kegiatan bermain peran.

Setelah pelaksanaan psikoedukasi, peneliti melakukan pengukuran yang

kedua. Pada kali ini, St meminta peneliti mengukur skornya dalam perawatan EB.

Walaupun St tidak memiliki skor untuk beban subjektif pra-intervensi, namun

peneliti tetap mencantumkan skor pascaintervensi ini, karena hal ini

menunjukkan keinginan St untuk kembali merawat anaknya yang pertama yang

sudah menderita skizofrenia selama 6 tahun, yaitu EB. Bila dibandingkan

sebelum intervensi, St hanya mau merawat F yang dianggapnya masih bisa

disembuhkan. Skor yang diperoleh dari pengukuran ini adalah 31 (Sangat

Tinggi).

St menyatakan merasa bersyukur berkesempatan mengikuti psikoedukasi

ini, karena selama ini ia kesepian dan tidak ada teman berbagi dalam

pengasuhan kedua anaknya yang ODS. Suaminya (Bapak SL) tinggal di Bt

karena masih bertugas sebagai PNS dan hanya berkunjung ke Yk sebulan

sekali. St merasa sesi berbagi cerita dan pengalaman sesama pendamping

sebagai bagian yang paling disukainya. Ia juga senang dengan materi-materi

yang dirasanya memberi informasi mengenai gangguan Skizofrenia.

Materi yang sudah diterapkan St adalah komunikasi dengan penderita,

relaksasi, dan pemahaman mengenai gangguan (info skizofrenia). Komunikasi

dengan F dilakukannya ketika F sedang mengalami serangan halusinasi auditori,

St memberikan dukungan semangat dan lemah lembut. Sebelumnya, St sering

panik dan bingung bila F mengurung diri.

Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai Skizofrenia, St merasa

masih ada kemungkinan EB bisa lebih baik lagi dengan penanganan yang tepat.

26

St menyesali kesalahan penanganan gangguan EB di awal karena banyak

melakukan pengobatan mistis. Hal ini terlihat terutama ketika St secara inisiatif

meminta peneliti melakukan pengukuran skor beban subyektifnya terhadap

perawatan EB di mana sebelumnya ia menolak atau tidak merasa sanggup

membantu pemulihan EB.

Subjek Ns

Sebelum intervensi, skor beban subjektif Ns berada pada rentang Sangat

Tinggi dengan skor 38, sementara sesudah intervensi menjadi rentang Tinggi

(skor 21). Di antara ketiga peserta, Ns mengalami perubahan skor yang paling

besar. Skor beban subyektifnya juga merupakan yang tertinggi di antara peserta

lain. Tapi dari segi perubahan penurunan rentang beban subyektif, Ns

mengalami perubahan yang lebih rendah dari Is. Berikut adalah gambar

perubahan skor Subjek Ns:

Gambar 3: Grafik Subjek Ns

Dibanding peserta lainnya, Ns adalah orang yang paling lama menjalani

peran pendampingan ODS yaitu lebih dari 20 tahun sejak usia sekitar 12 tahun

(Sekolah Dasar). Hal ini dikarenakan almarhum ayahnya mengidap skizofrenia,

dan Ns juga pernah mengalami peran pendampingan untuk dua orang ODS yaitu

almarhum ayahnya dan kakak perempuannya (Sm). Ns mengaku bahwa

motivasinya untuk mengikuti psikoedukasi adalah untuk mendapatkan

kesempatan bagi dirinya untuk berbagi dan mengungkapkan berbagai peristiwa

stressful yang dialaminya selama melakukan pendampingan ODS.

27

Selama berjalannya psikoedukasi, Ns terlihat duduk agak menjauh dari

dua peserta lainnya. Ia cukup responsif menanggapi pertanyaan dan

kesempatan untuk sharing. Ns mengakui ia sangat bersimpati pada St yang

menjalani peran mendampingi dua orang ODS, yaitu sesuatu yang pernah

dialaminya sendiri. Ns berpartisipasi dengan baik, serta memberikan pendapat

dan jawaban dengan cukup lengkap.

Setelah psikoedukasi, Ns merasa kegiatan tersebut amat bermanfaat. ia

merasa banyak pengalamannya yang belum dialami oleh peserta lain karena

mereka belum menjadi pendamping ODS selama dirinya. Ia menyarankan agar

pelaksanaan psikoedukasi ditambah durasinya, karena lebih baik bila dilakukan

pertemuan lebih dari satu kali. Peneliti menjelaskan mengenai berbagai

hambatan di lapangan yang tidak memungkinkan dilaksanakannya psikoedukasi

lebih dari satu kali.

Ns mengalami keguguran kandungan beberapa hari setelah psikoedukasi

karena infeksi toksoplasma. Ditemukan perubahan sikap pada Ns terhadap

perannya sebagai pendamping ODS sesudah psikoedukasi. Sebelumnya, Ns

menyatakan sedang mempertimbangkan akan mengasuh Sm bersamanya.

Namun setelah psikoedukasi, Ns menyatakan ia ingin berfokus mengurus rumah

tangganya sendiri dan berharap saudara-saudaranya mengambil peran yang

lebih besar dalam perawatan Sm. Ia berpendapat bahwa perannya sebagai

pendamping selama ini sudah lebih dari cukup.

Diskusi

Hasil penelitian menolak hipotesis bahwa psikoedukasi keluarga

berkelompok dapat menurunkan beban subjektif pada pendamping utama

(primary caregiver) penderita skizofrenia. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan

adanya perubahan skor pada semua partisipan dari rentang sangat tinggi ke

rentang tinggi-sedang.

Keterbatasan penelitian ini adalah karena jumlah subjek yang sedikit (3

orang) serta pelaksanaan yang terlalu singkat. Dalam hal ini, sudah dijelaskan

bahwa jumlah calon subjek yang memenuhi persyaratan tidak banyak (7 orang)

dan tidak semuanya dapat ataupun bersedia mengikuti psikoedukasi ini.

Hambatan yang ditemui antara lain karena peran partisipan sebagai caregiver

tidak hanya untuk penderita namun juga untuk anggota keluarga yang lain.

28

Seperti pada salah satu calon partisipan (Ibu K) yang tidak dapat berpartisipasi

karena selain harus mengurus anaknya yang sedang dirawat di Rumah Sakit

Jiwa, ia juga harus mengurus cucunya yang masih balita. Salah satu partisipan

(Is) juga hampir tidak dapat mengikuti psikoedukasi karena pada hari

pelaksanaan, anaknya yang berumur tujuh tahun sedang rewel dan tidak ingin

ditinggal. Karena antisipasi sulitnya partisipan mengalokasikan waktu, maka

psikoedukasi dirancang hanya untuk satu kali saja. Dalam hal ini, salah satu

partisipan berkomentar bahwa pelaksanaan terlalu singkat.

Keterbatasan waktu para partisipan juga dialami oleh Ibu St yang merasa

sukar untuk meninggalkan kedua anaknya yang sama-sama menderita

skizofrenia sendirian di rumah. Sementara subjek Ns walaupun bersedia dan

dapat meluangkan waktu untuk ikut psikoedukasi lebih lama, namun kondisinya

yang sedang hamil muda membuatnya merasa lemas. Para pendamping

penderita skizofrenia pada umumnya mengalami kesulitan untuk berpartisipasi

dalam kegiatan seperti psikoedukasi ini, hal ini antara lain karena tidak

tersedianya layanan perawatan pengganti (respite care) yang dapat memberikan

kesempatan pada mereka untuk mendapat waktu luang (Biegel, dkk., 2004).

Hambatan lain dalam mendapatkan subjek adalah keluarga penderita

sudah terlanjur tidak percaya bahwa penderita dapat didukung untuk pulih. Hal ini

didapatkan pada salah seorang calon partisipan (Bapak A) yang merupakan

kakak dari En. Calon partisipan tersebut merasa bahwa En sudah terlalu lama

sakit “ora mari-mari” (tidak sembuh-sembuh-bahasa Jawa, pen.). Kejadian yang

sama juga ditemukan pada Ibu St yang pada wawancara preliminari mengatakan

bahwa dirinya hanya ingin mengikuti psikoedukasi demi kesembuhan anak

ketiganya (F) yang baru saja didiagnosa, sementara EB yang sudah sakit lebih

dari 5 tahun dianggapnya sudah terlalu sulit untuk ditangani.

Kelemahan lain dari penelitian ini adalah tidak dilakukannya rating pada

saat prosedur uji coba modul. Selain itu, pemberian informed consent kepada

subjek masih bersifat sepihak dan tidak mencantumkan nama dan nomor kontak

pelaksana penelitian atau pihak yang bertanggung jawab terhadap hasil

penelitian.

Keberhasilan penelitian ini adalah self-report dari ketiga partisipan bahwa

mereka merasa lega diberi kesempatan menumpahkan perasaan negatif yang

selama ini hanya dipendam sendiri karena tidak adanya pihak lain yang dirasa

29

memahami keadaan mereka. Hal ini menurut partisipan karena adanya sesi di

mana mereka mencurahkan cerita pengalaman mendampingi penderita serta

sesi relaksasi yang dirasa sangat membantu.

Adanya kebutuhan mengungkapkan perasaan dan penguatan psikologis

pada para peserta penelitian ini berbeda dengan temuan dari penelitian

sebelumnya (Chan et.al. 2006; Hsu, 1995, dalam Chien, dkk., 2008). Menurut

Chien, dkk. (2008) dalam budaya Asia keluarga lebih mementingkan terapi yang

menekankan pada bantuan praktis dan pemecahan masalah dibanding yang

bersifat penguatan psikologis dan kesempatan mengekspresikan dan

mengungkapkan perasaan. Ting-Toomey (1985, dalam Yuniarti, 1993)

menjelaskan bahwa dalam budaya yang bersifat konteks tinggi (high context

culture) seperti budaya Timur konflik terjadi karena individu tidak dapat

mengekspresikan dirinya dengan bebas. Dalam hal ini, peserta penelitian merasa

menemukan kesempatan untuk mengekspresikan berbagai emosi dan

pengalaman negatif yang dialami dalam menjalani peran sebagai pendamping,

dan hal tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang sangat bermanfaat dan

meringankan beban subyektif yang mereka rasakan.

Foulds (2006) menyatakan bahwa keluarga ODS biasanya akan

mendapat manfaat yang besar dari informasi yang mendetail dan spesifik

mengenai kondisi ODS, prognosis, dan penanganan yang tepat dari

merekonstruksi awal perjalanan gangguan. Pendamping ODS juga memerlukan

informasi mengenai berbagai layanan kesehatan jiwa yang tersedia untuk

membantu ODS dan diri pendamping sendiri. Foulds juga menyatakan bahwa

intervensi berupa edukasi dapat meningkatkan pengetahuan dan optimisme

mengenai peran keluarga dalam mendampingi ODS, serta mengurangi tingkat

stres keluarga ODS.

Peserta penelitian memiliki pengalaman hidup yang berbeda, di mana

ada yang sudah menjadi caregiver dalam jangka waktu yang lama seperti Ns

yang sudah menjadi caregiver bagi almarhum ayahnya sejak lebih dari 20 tahun

yang lalu, dan sekarang juga menjadi caregiver bagi kakak perempuannya (Sm).

St sudah menjadi caregiver selama lebih dari empat tahun dalam merawat anak

pertamanya (EB), sedangkan untuk anak ketiganya (F) baru didiagnosis

skizofrenia dalam beberapa bulan terakhir, walau F sebenarnya sudah

mengalami gejala skizofrenia sejak satu setengah tahun sebelumnya.

30

Sedangkan Is baru menjadi caregiver bagi anaknya AS yang didiagnosis

beberapa bulan yang lalu. Dari jawaban para peserta pada saat wawancara,

ditemukan bahwa caregiver yang sudah lama menyatakan tidak yakin terhadap

kemungkinan penderita bisa pulih seperti semula, sementara caregiver yang baru

menjalani perannya memiliki optimisme bahwa penderita dapat sembuh.

Hal ini sesuai dengan yang diutarakan dalam (Brown, dkk., 2003) bahwa

umur, tipe kepribadian, kesehatan, pengalaman hidup, dan sebagainya

mempengaruhi cara seseorang menghadapi stres. Selain itu, setiap orang

memiliki tingkat toleransi stres, cara coping, dan akses terhadap dukungan sosial

yang berbeda (Lazarus & Folkman, 1984; Myers, 1989 dalam Brown, dkk., 2003).

Cuijpers & Stam (2000) juga menyebutkan bahwa kejenuhan dapat terjadi pada

pendamping ODS, di mana gangguan yang telah berjalan lebih dari dua tahun

akan menimbulkan kelelahan pada pendamping.

Para peserta penelitian juga menunjukkan hal tersebut, di mana St dan

Ns yang sudah menjadi pendamping lebih dari dua tahun merasa jenuh dan

sangat tidak yakin penderita dapat kembali pulih. Salah seorang pendamping

penderita yang sudah menjalani perannya selama empat tahun lebih (Bapak A)

juga menyatakan bahwa adik perempuannya (E) tidak ada kemajuan, sehingga

ia menolak menjadi peserta penelitian. Sementara Ibu Is sebagai pendaping

yang masih baru dalam menjalani perannya justru menunjukkan perubahan yang

paling besar dalam skor beban subyektifnya yaitu dari rentang Sangat Tinggi

menjadi Sedang.

Ditemukan adanya perubahan secara kualitatif pada para pendamping,

yaitu keinginan untuk melakukan penanganan yang lebih baik dan meninggalkan

cara mistis dalam perawatan ODS (Subjek St), keyakinan akan kemungkinan

pemulihan ODS (Subjek St dan Is). Hal-hal tersebut sejalan dengan temuan

Pollio, dkk. (2006) di mana psikoedukasi dapat meningkatkan pemahaman

peserta mengenai penanganan yang lebih tepat bagi ODS. Di samping itu,

terlihat adanya kesadaran yang lebih tinggi mengenai perlunya pendamping

memperhatikan kebutuhannya sendiri (Subjek Ns). Hal ini sesuai dengan temuan

dari Cohen & Thomas (1996) bahwa pendamping perlu melihat perannya lebih

dari sekedar caregiver bagi ODS.

Penelitian ini juga memberikan suatu alternatif layanan penjangkauan

(outreach) bagi tenaga kesehatan jiwa di tingkat layanan primer dalam

31

memberikan dukungan bagi para pendamping penderita skizofrenia. Dengan

psikoedukasi berkelompok, maka Puskesmas atau layanan primer lainnya dapat

memberikan dukungan pada caregiver dengan cara yang lebih efisien

dibandingkan layanan individual. Nelson (1989, dalam Supratiknya, 2011)

mengatakan bahwa proporsi jumlah orang yang membutuhkan layanan

psikologis tidak akan dapat ditangani sepenuhnya dengan jumlah tenaga

kesehatan jiwa yang ada. Nelson juga menyatakan diperlukan penanganan yang

bersifat komunitas karena penanganan secara individual memerlukan sumber

daya yang terlalu besar. Keadaan ini ditemui di Indonesia dan juga negara-

negara lainnya (satunews.com, 2011; Li & Arthur, 2005; Gerson, dkk., 2009;

Cohen, dkk., 2011; Bond & Campbell, 2008).

Penanganan di tingkatan tenaga kesehatan primer seperti Puskesmas

memungkinkan psikolog atau konselor melakukan penyaringan terhadap

kebutuhan layanan psikologis umum atau psikiatrik yang lebih berat. Selain itu,

layanan kesehatan jiwa di tingkat primer juga dapat menjadi bentuk layanan

prevensi dan penanganan dini (Bain & Shah, 2004; Ng, dkk., 2009). Ng, dkk.

(2009) menyatakan bahwa intervensi berbasis komunitas adalah cara yang akan

membangun layanan kesehatan jiwa yang berkesinambungan.

Psikoedukasi juga memberikan ruang bagi pendamping ODS untuk

memberi dan menerima dukungan pada sesama melalui interaksi yang terjadi

dalam sesi-sesi psikoedukasi ini sebagaimana yang diungkapkan para peserta

dalam wawancara pascaintervensi. Hal ini sejalan dengan penelitian dari

McFarlane, dkk. (2003) dan Gutierez-Maldonado & Caqueo-Urizar (2007) bahwa

psikoedukasi dapat menurunkan beban subyektif para pendamping ODS.

Hal lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah komponen genetik

dalam Skizofrenia (Gonzales-Torres, dkk., 2007; Brown, dkk., 2003) di mana

risiko menderita skizofrenia lebih besar pada orang-orang yang memiliki keluarga

ODS. Ketiga peserta penelitian ini memiliki anggota keluarga yang menderita

skizofrenia selain dari care recipient yang didampinginya. Jumlah sampel yang

kecil (tiga orang) tentunya tidak memungkinkan dilakukannya generalisasi

terhadap temuan ini, namun hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi peneliti

selanjutnya dan juga bagi professional layana kesehatan jiwa dalam melakukan

prevensi dan penanganan dini (Bain & Shah, 2004).