Upload
nguyenmien
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
3
BAB I
PENDAHULUAN
Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditemukan di berbagai
populasi di dunia dengan kesamaan dari segi gejala dan penyebaran, namun
ada perbedaan budaya dalam penyebab dan prognosisnya (schizophrenia.com,
n.d.). Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat yang digolongkan sebagai
psikosis dengan gejala-gejala sebagai berikut: halusinasi, delusi, dan gangguan
pola pikir (Astrachan, 1972, dalam Brown, Shiang, & Bongar (2003). Di samping
itu, WHO mendefinisikan diagnosis skizofrenia bila individu menunjukkan afek
datar, mawas diri (insight) yang buruk, dan tidak ditemukannya tiga gejala
gangguan afektif (IPSS, Carpenter et.al., 1972 dalam Brown, dkk., 2003). Di
samping kedua diagnosis tersebut, masih ada pakar-pakar lainnya yang memiliki
pendapat yang berbeda (Brown, dkk., 2003). Walaupun demikian, penelitian
mengenai skizofrenia menunjukkan adanya reliabilitas yang tinggi.
Skizofrenia menimbulkan berbagai efek negatif bagi penderitanya seperti
kemampuan rawat diri yang rendah, penderita mengalami tindak kekerasan atau
mendapat tindak kekerasan dari lingkungannya, dan sebagainya. Selain itu,
penderita skizofrenia atau bisa juga disebut Orang Dengan Skizofrenia (ODS)
juga pada umumnya menderita gangguan tersebut dalam jangka waktu yang
lama (Shah, Wadoo, & Latoo, 2010). Rendahnya kemampuan rawat diri, serta
panjangnya durasi gangguan skizofrenia dan berbagai keterbatasan lainnya
mengakibatkan adanya ketergantungan yang besar dari penderita skizofrenia
terhadap keluarganya.
Berdasarkan data WHO (2010), diperkirakan secara global terdapat 25
juta orang menderita skizofrenia dengan perkiraan prevalensi 0,5 -1% per seribu
orang populasi. Di Indonesia sendiri, diperkirakan dari 240 juta orang penduduk
Indonesia terdapat sekitar 0,46% yang menderita skizofrenia atau sekitar
1.065.000 jiwa (Teguh, 2011). Dengan adanya jumlah yang besar tersebut, amat
disayangkan bahwa sejauh ini belum terdapat jaringan layanan kesehatan jiwa
yang memadai bagi penderita maupun keluarganya (Gerson et. al., 2009).
Efek Skizofrenia terhadap Penderita dan Keluarganya
Yuniarti (1993) menyatakan bahwa dalam budaya Timur seperti di
Yogyakarta yang memiliki budaya kolektif, penderitaan seseorang menjadi
4
penderitaan kelompoknya. Dalam kaitannya dengan skizofrenia, maka gangguan
yang dialami oleh penderita turut dirasakan oleh kelompok terdekatnya, yaitu
keluarganya. Oleh karenanya, penanganan untuk pemulihan pasien skizofrenia
harus melibatkan keluarga.
Layanan kesehatan jiwa masyarakat yang kurang memadai memberikan
tanggung jawab yang lebih besar bagi keluarga dalam menjalankan perannya
sebagai pendamping utama (primary caregiver) bagi penderita skizofrenia
(Caqueo-Urizar, Gutierrez-Maldonado, Miranda-Castillo, 2009; Cohen & Thomas,
1996; Gerson, et.al., 2009). Sayangnya, penelitian di berbagai negara
menunjukkan keadaan tersebut tidak diimbangi dengan tersedianya informasi
dan pembinaan yang cukup agar keluarga dapat menjalankan perannya dengan
baik (Cohen, et.al., 2011; Ng, Herrman, Chiu, Singh, 2009). Ketimpangan
tersebut memberikan beban yang lebih besar bagi keluarga baik secara fisik,
finansial, maupun emosional.
Berbagai penelitian dilakukan mengenai dampak pendampingan
penderita skizofrenia pada keluarga selaku pendamping. Primary caregiver
(selanjutnya disebut sebagai pendamping) bagi penderita skizofrenia
didefinisikan secara berbeda oleh banyak peneliti. Caqueo-Urizar, dkk. (2009)
mendefinisikan pendamping sebagai orang yang termasuk dalam sistem
dukungan informal penderita skizofrenia yang merawat dan bertanggungjawab
terhadap penderita, dan mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk
menjalankan tugas perawatan tersebut tanpa mendapatkan imbalan ekonomis.
Grandon, Jenaro, & Lemos (2008) mendefinisikan pendamping sebagai anggota
keluarga penderita yang paling terlibat dalam perawatan pasien. Cohen &
Thomas (1996) menyatakan bahwa pendamping adalah anggota keluarga yang
tinggal bersama penderita atau tinggal dekat dengan penderita dalam jarak
kurang dari 8 kilometer dan menjalin kontak harian dengan penderita atau
minimal bertemu selama lebih dari satu jam dengan penderita.
Dari ketiga definisi di atas, dalam penelitian ini pendamping didefinisikan
sebagai anggota keluarga yang paling terlibat dalam perawatan penderita, tinggal
dengan atau dalam jarak dekat dari penderita, dan menjalankan peran perawatan
penderita tanpa mendapatkan imbalan ekonomis.
Berbagai permasalahan yang disebabkan oleh gangguan skizofrenia
menimbulkan berbagai konsekuensi bagi keluarga selaku pendamping penderita.
5
Beberapa konsekuensi yang umum dialami penderita dan keluarganya adalah
biaya perawatan, stigma dari masyarakat, kesulitan dalam mengakses layanan
kesehatan jiwa, dan sebagainya (Caqueo-Urizar, dkk., 2009; Cohen & Thomas,
1996; Gerson, et.al., 2009; Grandon, dkk., 2008; Shah, Wadoo, & Latoo, 2010).
Perawatan sehari-hari seperti kebutuhan rawat diri (mandi, makan, dan
sebagainya) dan pengobatan merupakan tuntutan yang dapat menimbulkan
masalah fisik dan keuangan bagi keluarga. Perilaku penderita yang menarik diri,
bertingkah laku tidak wajar, dan tidak dapat berkomunikasi dapat menyebabkan
stigma dan diskriminasi dari masyarakat sekitar (Gonzales-Torres, Oraa,
Aristegui, Fernandez-Rivas, & Guimon, 2007).
Keluarga terkadang merasa marah, kecewa, tidak berdaya, dan malu
akan keadaan penderita (Gerson, et.al., 2009; Gonzales-Torres, dkk., 2007;
Shah, dkk., 2010;). Masih adanya kepercayaan di sebagian masyarakat maupun
keluarga bahwa skizofrenia atau gangguan jiwa secara umum disebabkan oleh
praktik ilmu hitam dan merupakan hukuman atas kesalahan di masa lalu (Li &
Phillips, 1990, dalam Li, Phillips, Pearson, Xu & Yang, 2002; Lin & Lin, 1980
dalam Li, dkk., 2002; Pearlin, 1993 dalam Li, dkk., 2002) memperkuat stigma dan
diskriminasi, rasa bersalah keluarga, serta cara keluarga dalam mencari
pemecahan masalah secara tidak tepat seperti pergi ke dukun (Boyd, 2012).
Baik penderita skizofrenia dan pendampingnya mengalami sumber stres
yang besar dalam menghadapi skizofrenia. Reay-Young (2001) dan Shah, dkk.
(2010) membagi beban pengasuhan penderita skizofrenia menjadi dua yaitu
beban objektif dan beban subyektif. Beban obyektif adalah masalah yang nyata
secara fisik atau masalah yang berada di luar diri pendamping seperti kesulitan
keuangan dan gangguan fungsi sosial. Sementara beban subjektif adalah beban
yang terdapat dalam diri individu seperti perasaan menderita, kecewa, dan
merasa kehilangan.
Pengasuhan penderita skizofrenia sebagai suatu peristiwa stressful dapat
memberi pengaruh yang buruk terhadap kemampuan seseorang dan berpotensi
untuk mengakibatkan hendaya secara jangka panjang pada orang tersebut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan sesorang dalam menghadapi
kejadian yang penuh stress adalah perbedaan individual seperti umur, tipe
kepribadian, kesehatan, pengalaman hidup, dan sebagainya (Brown, dkk., 2003).
Selain itu, setiap orang memiliki tingkat toleransi stres, cara coping, dan akses
6
terhadap dukungan sosial yang berbeda (Lazarus & Folkman, 1984; Myers, 1989
dalam Brown, dkk., 2003).
Bila seseorang dapat mengatasi peristiwa penuh stress tanpa mengalami
distress subyektif, maka orang tersebut hanya mengalami stress dan tidak
menjadi krisis bagi orang tersebut (Brown, dkk., 2003). Coping dapat dibagi
menjadi berfokus pada emosi (emotion-focused) dan berfokus pada masalah
(problem-focused) (Folkman & Lazarus, 1980; Lazarus, 1966 dalam Brown, dkk.,
2003). Tujuan dari coping berfokus emosi adalah untuk mengurangi distress
emosional yang terjadi dalam suatu keadan, sementara problem-focused coping
adalah upaya untuk mengubah hubungan antara individu tersebut dengan
sumber stres yang dialaminya.
Pada umumnya, sebagian besar stressor memunculkan kedua jenis
coping tersebut. Coping berfokus emosi sering ditemui pada saat individu merasa
bahwa stresornya adalah sesuatu yang harus dijalani, sedangkan coping
berfokus emosi sering dilakukan apabila individu merasa bahwa mereka bisa
mengambil tindakan untuk mengubah sumber stres tersebut (Folkman &
Lazarus, 1980 dalam Brown, dkk., 2003). Ketidakmampuan seseorang dalam
menghadapi stres yang dialaminya dapat menimbulkan sebuah krisis di mana
individu tersebut merasa tidak berdaya, marah, cemas, tidak mampu, bingung,
takut, disorganisasi, rasa bersalah dan agitasi (Smead, 1988 dalam Brown, dkk.,
2003).
Kebutuhan Pendamping (Caregiver) Penderita Skizofrenia
Dalam penelitiannya, Cohen & Thomas (1996) menemukan bahwa
keluarga sebagai pendamping penderita sering mengesampingkan
kebutuhannya sendiri atau tidak dapat membedakan antara kebutuhan
pengasuhan dengan kebutuhan pribadinya. Di satu sisi hal ini menunjukkan
bahwa pendamping tidak berkesempatan memenuhi kebutuhan pribadinya
karena sudah terbebani dengan pengasuhan pasien, namun di sisi lain hal ini
dapat memberi harapan bahwa dengan memberikan intervensi untuk
mempermudah pengasuhan maka akan mempengaruhi beban subjektif
penderita.
Chien, Thompson, & Norman (2008) mengatakan bahwa dalam keluarga
Timur, komunikasi afeksi dilakukan bukan dengan kata-kata dan sentuhan,
7
melainkan dengan memenuhi kebutuhan satu sama lain (Chan et.al. 2006; Hsu,
1995, dalam Chien, dkk., 2008). Sehingga mereka lebih mementingkan terapi
yang menekankan pada bantuan praktis dan pemecahan masalah dibanding
yang bersifat penguatan psikologis dan kesempatan mengekspresikan dan
mengungkapkan perasaan. Ting-Toomey (1985, dalam Yuniarti, 1993)
menjelaskan hal ini di mana dalam budaya yang bersifat konteks tinggi (high
context culture) seperti budaya Timur konflik terjadi karena individu tidak dapat
mengekspresikan dirinya dengan bebas.
Stresor yang besar dalam pengasuhan penderita skizofrenia dapat terjadi
baik dari luar individu maupun dari dalam diri individu (Bond & Campbell, 2008;
Cohen, et.al., 2011; Gerson, et.al. 2009; Gonzales-Torres, dkk., 2007; Li &
Arthur, 2005; Shah, dkk., 2010). Keadaan tersebut dapat menurunkan
kesejahteraan individu di mana ditemukan bahwa pendamping penderita memiliki
beban yang besar. Beban yang dirasakan dalam pengasuhan tidak berkaitan
dengan persepsi dukungan sosial (Chappell & Reid, 2002).
Beban subjektif didefinisikan sebagai reaksi psikologis yang dialami
pendamping, misalnya perasaan kehilangan, kesedihan, kecemasan dan rasa
malu dalam situasi sosial, stres dalam menghadapi perilaku penderita yang
mengganggu, dan frustrasi yang disebabkan hubungan yang berubah antara
keluarga dan penderita (Ostman & Hanson, 2004, dalam Shah, dkk., 2010).
Biegel, Shafran, & Johnsen (2004) menemukan bahwa keluarga memiliki
kebutuhan untuk mendapatkan penanganan yang lebih dari sekedar penanganan
standar skizofrenia (farmakologis), namun ada hambatan mereka untuk
berpartisipasi lebih jauh dalam kegiatan seperti kelompok dukungan, yaitu: tidak
tersedianya biaya, waktu dan tidak adanya penanganan pengganti (respite care)
bagi keluarga karena penderita tidak bisa ditinggal sendiri.
Sangat disayangkan, skizofrenia sebagai salah satu gangguan jiwa berat
belum mendapatkan penanganan yang memadai di masyarakat. Menko
Kesejahteraan Rakyat (2009-2014), Agung Leksono, menyatakan bahwa
kerugian ekonomi yang diakibatkan gangguan kesehatan jiwa secara umum
untuk Indonesia mencapai sekitar minimal 20 triliun rupiah. Namun demikian,
hanya terdapat 600 orang psikiater di Indonesia untuk melakukan penanganan
medis pada penderita skizofrenia. Di sisi lain, rumah sakit dan klinik yang
8
menyediakan layanan untuk penderita gangguan jiwa masih terbatas jumlahnya
(satunews.com, 2011).
Keterbatasan layanan atau buruknya pelayanan ditemukan di berbagai
studi mengenai pengalaman penderita skizofrenia dan keluarganya (Li & Arthur,
2005; Gerson, dkk., 2009; Cohen, dkk., 2011; Bond & Campbell, 2008). Masalah-
masalah yang ditemui adalah ketiadaan dana untuk penyediaan layanan di
tingkat pemerintah, belum adanya standarisasi layanan, layanan yang terlalu
terfokus di RSJ dan tidak peka budaya. Keluarga bahkan merasakan adanya
sikap yang kurang ramah dari tenaga kesehatan, diagnosis yang tidak jelas serta
penderita dijemput paksa oleh pihak RSJ atau polisi karena penanganan yang
terlambat sehingga gejala penderita sudah terlalu berat.
Kurangnya layanan kesehatan jiwa masyarakat ini tidak hanya terjadi di
Indonesia atau negara berkembang lainnya, namun juga terjadi di negara maju.
Nelson (1989, dalam Supratiknya, 2011) mengatakan bahwa proporsi jumlah
orang yang membutuhkan layanan psikologis tidak akan dapat ditangani
sepenuhnya dengan jumlah tenaga kesehatan jiwa yang ada. Nelson juga
menyatakan diperlukan penanganan yang bersifat komunitas karena
penanganan secara individual memerlukan sumber daya yang terlalu besar.
Sebagian besar pandangan konvensional dalam penanganan skizofrenia
cenderung pada penanganan aspek biomedis saja (Calton, 2009) padahal sudah
dilakukan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa skizofrenia dapat
ditangani tanpa pengobatan sama sekali dan hanya mengandalkan penanganan
psikososial saja. Penanganan juga dapat dilakukan di tingkatan tenaga
kesehatan primer (Bain & Shah, 2004; Ng, dkk., 2009) di mana psikolog atau
konselor dapat melakukan penyaringan terhadap kebutuhan layanan psikologis
umum atau psikiatrik yang lebih berat. Prevensi dan penanganan dini dalam
skizofrenia khususnya dan kesehatan jiwa pada umumnya akan mengurangi
pengeluaran biaya yang besar daripada membiarkan orang dengan masalah
kejiwaan mengalami masa psikosis yang tidak ditangani (duration of untreated
psychosis) yang berlarut-larut.
Pendamping penderita memiliki ketertarikan yang besar untuk ikut serta
dalam kegiatan seperti kelompok dukungan sesama pendamping penderita
skizofrenia, namun hambatan dari dalam diri keluarga adalah perasaan takut
tidak diterima, khawatir mengungkapkan perasaan dalam kelompok, merasa
9
membuang energi bila terlalu berfokus pada gangguan jiwa, serta tidak meyakini
manfaat mendapat pengetahuan tentang gangguan jiwa. Kekhawatiran di atas
tidak terbukti karena para anggota keluarga yang sudah mengikuti kelompok
dukungan merasakan adanya dukungan dan persahabatan sesama pendamping,
tidak merasa membuang energi, dan penambahan pengetahuan skizofrenia
adalah sesuatu yang bermanfaat (Biegel, dkk., 2004).
Studi literatur dari Jeppesen, dkk. (2005) menyatakan bahwa
psikoedukasi dapat mengurangi kekambuhan, menurunkan tingkat rawat inap
ulang, meningkatkan ketaatan obat, dan mengurangi lamanya rawat inap.
Pendapat yang serupa dikatakan oleh Bond & Campbell (2008); Dixon, dkk.
(2001); McFarlane, Dixon, Lukens, & Lucksted (2003) yang membandingkan
berbagai praktik berbasis bukti (evidence-based practices) bagi penderita
skizofrenia dan keluarganya yaitu bahwa psikoedukasi keluarga dapat
menurunkan tingkat subjective burden pendamping, partisipasi pasien dalam
rehabilitasi vokasional, mengurangi gejala psikiatrik, dan sebagainya.
Psikoedukasi keluarga juga dapat menurunkan beban subyektif yang dialami
oleh keluarga (Gutierez-Maldonado & Caqueo-Urizar, 2007).
Meskipun psikoedukasi keluarga sudah didukung oleh berbagai hasil
penelitian sebagai suatu layanan yang bermanfaat namun praktik di lapangan
membuktikan bahwa intervensi ini masih belum menjadi standar layanan yang
menyebar luas (Cohen, dkk., 2011; Gutierez-Maldonado & Caqueo-Urizar, 2007;
McFarlane, dkk., 2003). Penjelasan terhadap keadaan ini adalah karena tidak
tersedianya dana, keterbatasan jumlah tenaga kesehatan jiwa, resistensi dari
sebagian pihak yang merasa cukup dengan penanganan psikofarmaka, dan
sebagainya, padahal psikoedukasi dapat dilakukan secara singkat dan padat
dengan hasil yang bermanfaat (Pollio, North, Reid, Miletic, & McClendon, 2006).
Pollio, dkk. (2006) melakukan lokakarya psikoedukasi singkat selama satu hari
untuk pendamping penderita skizofrenia dengan hasil bahwa para pendamping
menilai lokakarya tersebut sangat bermanfaat dalam meningkatkan keterampilan
menghadapi masalah perilaku pasien.
Cuijpers & Stam (2000) memperingatkan bahwa meski keluarga sudah
mengikuti program psikoedukasi, namun tetap dapat terjadi kejenuhan (burnout)
pada pendamping skizofrenia. Hal ini dikarenakan gangguan pasien yang telah
lama berjalan (lebih dari dua tahun) menimbulkan kelelahan pada pendamping.
10
Oleh karena itu disarankan untuk membuat program yang berfokus dalam
membantu pendamping mengatasi tekanan dalam hubungan dengan penderita
dan meningkatkan kemampuan coping pendamping dalam mengatasi masalah.
Dalam tinjauan mengenai berbagai praktik kesehatan di negara-negara Asia
Pasifik, Ng, dkk. (2009) menyimpulkan bahwa intervensi yang berbasis
komunitas adalah cara yang akan membangun layanan kesehatan jiwa yang
berkesinambungan. Prinsip-prinsip dalam pembangunan layanan berbasis
komunitas adalah:
1. Rumah Sakit Jiwa dapat menekankan pelayanan berbasis komunitas
sebagai bagian dari sistem rumah sakit, dengan cara ini maka RSJ
Daerah dapat menjadi pusat pengembangan dan sumber daya melalui
program yang membina pusat layanan kesehatan jiwa yang tersebar di
seluruh provinsi.
2. Akses yang setara terhadap layanan kesehatan jiwa: transisi dari layanan
yang berbasis rumah sakit menjadi layanan berbasis komunitas telah
menimbulkan tindakan yang inovatif untuk mengatasi tantangan dalam
bidang pendanaan, jarak geografis dan sebagainya.
3. Dukungan dalam transisi layanan dari institusi ke komunitas
4. Memberdayakan keluarga dan pasien: meningkatkan kemampuan
penderita dan keluarga dalam mengatasi masalah adalah upaya untuk
menghargai otonomi dan hak asasi penderita dan pendamping
5. Pembentukan jaringan dan kemitraan komunitas: hal ini akan
meningkatkan sumber daya yang tersedia bagi penderita yang tinggal di
tengah masyarakat.
6. Integrasi dengan Sumber daya kesehatan yang sudah ada
7. Kesadaran komunitas dan mempromosikan nilai dari kesehatan jiwa.
8. Intervensi krisis: penanganan situasi krisis secepatnya bagi penderita
akut.
9. Intervensi dini: intervensi dini akan mengurangi kekambuhan gangguan,
komplikasi jangka panjang dan rawat inap
10. Menggunakan pendekatan yang berpusat pada pasien: layanan
kesehatan jiwa berbasis komunitas perlu bersifat fleksibel sesuai dengan
perubahan kebutuhan penderita dan pendamping.
11
Dari berbagai prinsip di atas, maka intervensi psikoedukasi keluarga
berkelompok untuk pendamping penderita skizofrenia dapat memenuhi prinsip
nomor 4, 5, 6, 8, 9, 10.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh psikoedukasi
keluarga berkelompok dalam menurunkan subjective burden pada pendamping
penderita skizofrenia. Hipotesis yang diajukan adalah psikoedukasi keluarga
berkelompok dapat menurunkan subjective burden pada pendamping penderita
skizofrenia.
Metode Penelitian
Partisipan penelitian adalah pendamping penderita skizofrenia, dengan
kriteria inklusi partisipan sebagai berikut:
1. Tingkat subjective burden berada pada kategori tinggi atau sangat tinggi.
Hal ini adalah agar dapat diketahui pengaruh psikoedukasi yang akan
diberikan terhadap tingkat subjective burden partisipan.
2. Pendamping (primary caregiver) didefinisikan sebagai anggota keluarga
yang paling terlibat dalam perawatan penderita, tinggal dengan atau
dalam jarak dekat dari penderita, dan menjalankan peran perawatan
penderita tanpa mendapatkan imbalan ekonomis.
3. Penderita telah mendapat diagnosis skizofrenia oleh psikiater atau tenaga
kesehatan jiwa lainnya (perawat jiwa, psikolog klinis). Hal ini berkaitan
dengan modul psikoedukasi yang memberikan informasi yang khusus
untuk skizofrenia sehingga tidak dapat dicampur dengan informasi
diagnosis gangguan jiwa berat lainnya seperti gangguan bipolar,
gangguan obsesif kompulsif, dan sebagainya.
4. Calon partisipan mampu baca-tulis dengan lancar, karena modul
pelatihan ini diberikan dengan buku panduan yang harus dibaca oleh
partisipan serta pelaksanaan psikoedukasi dilakukan dengan presentasi
Power Point yang harus dibaca oleh partisipan.
Sementara kriteria eksklusi partisipan adalah yang telah mendapatkan
psikoedukasi berkelompok atau tergabung dalam kelompok dukungan keluarga
(support group) lain. Apabila partisipan pernah mendapatkan perlakuan tersebut,
maka akan mempengaruhi hasil penelitian.
12
Strategi pemilihan partisipan adalah dengan purposive sampling, di mana
partisipan dipilih berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan dan kemudian
disaring lagi berdasarkan ketersediaan waktu dalam mengikuti psikoedukasi.
Jumlah partisipan diharapkan dapat mencapai minimal lima orang, karena jumlah
tersebut merupakan batas jumlah anggota kelompok yang sesuai bagi
psikoedukasi keluarga berkelompok (McFarlane dkk., 2003). Namun, bila tidak
dapat ditemukan partisipan yang sesuai sejumlah 5 orang, maka minimal yang
diharapkan peneliti adalah dua orang untuk memenuhi persyaratan bahwa
psikoedukasi dilakukan pada lebih dari satu keluarga (single family).
Variabel
Variabel bebas penelitian adalah psikoedukasi berkelompok untuk
keluarga/pendamping penderita skizofrenia, yaitu suatu modul psikoedukasi yang
dikembangkan agar partisipan dapat meningkatkan pengetahuannya mengenai
gangguan tersebut dan menceritakan perasaan dan pengalamannya pada
sesama pendamping dan tenaga profesional. Selain itu Partisipan dapat
mempelajari pola komunikasi yang tepat dan berlatih mengatasi situasi krisis
yang mungkin terjadi dalam pengasuhan penderita skizofrenia.
Variabel Tergantung penelitian adalah beban subjektif (subjective
burden). Beban subjektif didefinisikan sebagai reaksi psikologis yang dialami
pendamping, misalnya perasaan kehilangan, kesedihan, kecemasan dan rasa
malu dalam situasi sosial, stres dalam menghadapi perilaku penderita yang
mengganggu, dan frustrasi yang disebabkan hubungan yang berubah antara
keluarga dan penderita (Gutierez-Maldonado & Caqueo-Urizar, 2007).
Pengukuran
Pengukuran dilakukan dua kali dengan menggunakan Zarit Caregiver
Burden Scale (ZCBS) yang terdiri dari delapan belas aitem. Dalam setiap aitem,
responden diberikan tujuh pilihan jawaban yang bermulai dari Tidak Pernah (1)
hingga Hampir Selalu (5). ZCBS dikembangkan oleh Stephen Zarit (1980, dalam
Gutierrez-Maldonado & Caqueo-Urizar, 2007) untuk pengukuran beban subjektif
bagi pendamping penderita demensia. Dalam pengembangan selanjutnya, alat
ukur tersebut sudah diujicobakan pada pendamping penderita skizofrenia.
13
Skala ini terdiri dari 3 aspek yaitu: Burden atau beban (penilaian negatif
terhadap konsekuensi bagi pendamping terhadap perawatan yang diberikannya
pada penderita), Rejection atau penolakan (perasaan ambivalen, merasa
terganggu atau menolak penderita), dan Incompetence atau ketidakmampuan
(persepsi pendamping bahwa dirinya tidak mampu merawat penderita karena
kurangnya sumber daya pribadi atau ekonomi). Di Indonesia, skala ini sudah
diujicobakan oleh Koeswardani (2011) di Yogyakarta, dengan diperoleh 18 aitem
dari 30 aitem awal. Berikut adalah kisi-kisi skala Beban Subyektif setelah ujicoba
(Koeswardani, 2011):
Tabel 1
Kisi-kisi Zarit Caregiver Burden Scale setelah uji coba
Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
Burden 17,20,29 4,5 ,,19 6
Rejection 3,6, 22,28 14, 24 6
Incompetence 9,15,23 21,25,27 6
Jumlah 10 8
Hasil pengujian koefisien reliabilitas ulang terhadap 18 aitem tersebut
didapatkan koefisien alpha skala beban sebesar 0,813 dengan rix bergerak dari
0,266 hingga 0,492. Ada pun kategorisasi skor skala beban subjektif pendamping
berdasarkan norma empiris adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Kategorisasi skor ZCBS
Skor total beban subjektif Kategori
X <_ 9 Sangat rendah
9<X<_ 15 Rendah
15<X<_ 20 Sedang
20<X<_ 26 Tinggi
26<X Sangat tinggi
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan one group pretest-posttest design di mana
pengukuran dilakukan pada satu kelompok subyek sebelum diberikan perlakuan.
14
Pengukuran dilakukan lagi setelah partisipan mendapat perlakuan. Gambaran
rancangan penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 3
Rancangan Penelitian One Group Pretest-Posttest Design
O1 X O2
Catatan.
O1 : Pretest
X : Perlakuan
O2 : Posttest
Menurut Shadish, Cook, & Campbell (2002) kelemahan dari rancangan di
atas adalah historisitas yaitu kemungkinan adanya peristiwa lain di luar perlakuan
yang terjadi pada waktu antara pra-tes dan post-test. Dalam penelitian ini,
mungkin ada suatu kejadian positif yang dialami partisipan seperti perhatian dan
bantuan dari tetangga, atau kejadian lainnya yang menurunkan tingkat subjective
burden pada partisipan. Dari contoh tersebut, dapat terjadi penurunan skor
subjective burden walau bukan karena efek dari perlakuan psikoedukasi.
Kelemahan yang kedua adalah regresi statistik. Hal ini terjadi apabila
pengukuran dilakukan pada saat di mana partisipan sedang mengalami
subjective burden yang lebih rendah dari biasanya, karena hal-hal yang di luar
batasan penelitian. Perubahan skor yang terjadi setelah perlakuan akan
memberikan efek semu (spurious effect) mengenai keberhasilan perlakuan,
padahal skor tersebut tidak mewakili kenyataan secara menyeluruh.
Kelemahan lainnya adalah kemungkinan terjadinya maturasi pada
Partisipan, misalnya Partisipan menjadi lebih berpengalaman dalam memberikan
asuhan pada penderita skizofrenia dalam waktu antara pengukuran sebelum dan
sesudah perlakuan. Peningkatan skor yang terjadi tidak dapat disimpulkan
sebagai efek dari perlakuan.
Selain itu, kelemahan penelitian ini adalah tidak adanya kelompok kontrol
sehingga penyimpulan kausal (causal inference) lebih lemah karena tidak ada
kelompok pembanding untuk menunjukkan bahwa perubahan terjadi karena
adanya perlakuan.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan di atas, dalam penelitian ini juga
dilakukan observasi dan wawancara pada partisipan sehingga peneliti mendapat
gambaran kualitatif mengenai situasi dan kondisi kehidupan partisipan sehari-
15
hari. Sementara mengenai kelemahan regresi statistik, peneliti tidak melakukan
pengukuran berulang untuk menghindari efek testing apabila partisipan dites
berulang kali.
Perlakuan
Perlakuan yang diberikan adalah psikoedukasi berkelompok untuk
pendamping penderita skizofrenia. Psikoedukasi tersebut dipandu oleh satu
orang fasilitator, satu orang pendamping fasilitator dan dua orang pengamat.
Berikut adalah persyaratan untuk menjadi fasilitator, pendamping fasilitator, dan
pengamat:
Fasilitator (1 orang):
1. Psikolog.
2. Memiliki pengalaman menjadi fasilitator atau pendamping fasilitator
3. Pernah menangani pasien skizofrenia dan atau anggota keluarganya
minimal satu kali.
4. Sudah membaca dan memahami modul secara keseluruhan sebelum
melaksanakan psikoedukasi.
Pendamping fasilitator (1 orang):
1. Sarjana Psikologi atau Mahasiswa Magister Profesi Psikologi bidang
klinis.
2. Memiliki pengalaman sebagai pendamping fasilitator.
3. Sudah membaca dan memahami modul secara keseluruhan sebelum
melaksanakan psikoedukasi.
Pengamat/Observer (1-2 orang):
Mahasiswa Magister Profesi Psikologi bidang klinis.
Modul penelitian ini dikompilasi oleh peneliti dari berbagai sumber, yaitu
disusun dari berbagai modul dan sumber-sumber lainnya mengenai psikoedukasi
keluarga penyandang skizofrenia, antara lain Family Psychoeducation Workbook
dari McFarlane (2003), Training Frontline Staff dari Substance Abuse and Mental
Health Administration (SAMHSA, 2009), Family Intervention and Support in
Schizophrenia dari Varghese, Shah, Kumar, Murali & Paul (2002).
Dari berbagai sumber tersebut, peneliti menyusun kisi-kisi modul
psikoedukasi sebagai berikut:
16
Tabel 4
Kisi-kisi modul Psikoedukasi Pendamping Penderita Skizofrenia
Sesi Kegiatan Waktu
Tujuan Metode
1 Dampak Skizofrenia terhadap keluarga 70’
Pengantar 10’ - Menjalin rapport - Memberikan informasi mengenai prosedur
psikoedukasi
Ceramah, Umpan balik
Penayangan film
15’ - Memberikan ilustrasi mengenai keadaan penderita skizofrenia
Penayangan film
Diskusi 15’ - Berbagi pengalaman dalam pengasuhan penderita - Mencurahkan emosi-emosi baik positif maupun
negatif yang dialami dalam pengasuhan penderita
Sharing, Refleksi, Diskusi Kelas
Presentasi dan Tanya jawab
30’ - Memberikan informasi mengenai pengaruh skizofrenia terhadap penderita dan keluarganya
- Memberi kesempatan bagi Partisipan untuk membandingkan pengalamannya dengan informasi yang diberikan
Presentasi/Ceramah, Umpan balik, Sharing
2 Informasi Skizofrenia 45’
Presentasi dan Tanya jawab
30’ - Memberi informasi mengenai skizofrenia Ceramah, Umpan balik
Permainan Lempar Bola
15’ - Mereviu ulang pemahaman Partisipan mengenai isi presentasi
Permainan, Penugasan Partisipan
3 Komunikasi dan Emosi 50’
Presentasi
20’ - Memberikan panduan dasar komunikasi dan pengelolaan emosi dalam mendampingi penderita skizofrenia
Ceramah, Diskusi kelas, Umpan balik
Bermain Peran
30’ - Memberi pengalaman cara berkomunikasi yang tepat melalui bermain peran
Bermain peran, Sharing, Umpan balik
4 Mengatasi Masalah Bersama 75’
Presentasi 20’ - Memberi informasi cara mengatasi berbagai masalah sehari-hari dalam pengasuhan pasien
Ceramah, presentasi Partisipan, diskusi kelas
Permainan Lampu Bang-Jo
15’ - Mereviu kembali materi yang sudah dipresentasikan pada sesi-sesi sebelumnya
Permainan
Lembar Kerja
5’ - Berbagi masalah yang dihadapi dalam pendampingan penderita
Penugasan Partisipan
Diskusi Penyelesaian Masalah Bersama
25’ - Partisipan saling belajar dari pengalaman masing-masing
- Mencurahkan emosi-emosi baik positif maupun negatif yang dialami dalam pengasuhan penderita
Penugasan Partisipan, Diskusi kelas, Sharing
Penutup 25’
Kesan, Pesan dan Evaluasi
10’ - Menyimpulkan dan memotivasi - Evaluasi Psikoedukasi dan Fasilitator-Kofasilitator
Ceramah, diskusi
Relaksasi 15’ - Latihan relaksasi sederhana Ceramah
Total waktu pelaksanaan: 245 menit (4 jam 5 menit)
17
Setiap modul diharapkan dapat memberikan tambahan bagi Partisipan dari
segi kognisi, emosi, atau perilaku. Di bawah ini dijelaskan manfaat dari tiap sesi:
1. Modul Informasi Skizofrenia: dalam modul ini akan dijelaskan mengenai
definisi, gejala, penyebab, penanganan dan prognosis bagi skizofrenia. Selain itu
juga akan dijelaskan mengenai berbagai sumber daya yang ada di lingkungan
partisipan, terutama Puskesmas dan Rumah Sakit Jiwa.
2. Modul Dampak Skizofrenia bagi keluarga: sesi diawali dengan sebuah
film berdurasi 12 menit berjudul Disconnected: a short film in Schizophrenia
(D’Onofrio, 2011) mengenai kehidupan seorang remaja pria yang menderita
skizofrenia, pelaku dalam film itu adalah remaja tersebut, ibunya, dan satu orang
teman dekatnya.
Film diawali dengan remaja tersebut yang sedang bermain catur dengan
temannya, lalu ia mengalami halusinasi auditori, sehingga ia merasa ketakutan
dan ingin bunuh diri. Kemudian digambarkan kehidupan remaja tersebut yang
tinggal hanya berdua dengan ibunya. Ayah dan ibunya sudah bercerai sejak
remaja itu masih kecil. Kemudian di tengah malam, remaja tersebut mengalami
halusinasi auditori dan visual sehingga ia kembali ingin bunuh diri.
Ibunya kemudian menelepon ke layanan kesehatan jiwa setempat, dan keesokan
harinya mereka (ibu, remaja, dan temannya) pergi ke rumah sakit jiwa. Namun di
perjalanan, remaja tersebut ingin bisa pergi ke RSJ sendiri. Kemudian ia
mengalami halusinasi visual dan ia tidak berani meneruskan perjalanannya.
Penayangan film ini bertujuan untuk menggali pendapat dan pengalaman
partisipan serta berbagai emosi yang dirasakan partisipan dalam memberikan
asuhan pada penderita skizofrenia. Kemudian sesi dilanjutkan dengan diskusi
Partisipan, penjelasan dari fasilitator, dan tanya jawab. Dalam penggunaan film
tersebut, peneliti sudah berkomunikasi dan meminta izin melalui surel pada
produser/sutradara pemilik film tersebut serta telah mendapatkan izin tertulis dari
individu tersebut.
3. Modul Komunikasi dan Emosi: fasilitator menjelaskan mengenai berbagai
panduan dalam berkomunikasi dengan penderita skizofrenia sehingga partisipan
dapat mengurangi ekspresi emosi yang berlebihan seperti dalam bentuk kritik,
kekecewaan, dan sebagainya yang akan mempengaruhi perilaku penderita
secara negatif. Partisipan juga akan melakukan permainan peran (role-play)
dengan kasus yang diambil dari kisah nyata pendamping skizofrenia dan
18
penderita. Dengan role play ini, partisipan dapat langsung menerapkan
pengetahuan yang didapatnya sehingga ia mampu menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Di samping itu, partisipan juga saling berdiskusi dan
memberikan saran sehingga partisipan dapat belajar dari pengalaman satu sama
lain dengan dipandu oleh fasilitator.
4. Modul Mengatasi Masalah Bersama: Dalam modul ini, fasilitator akan
menjelaskan berbagai panduan dalam mengatasi masalah pengasuhan
penderita skizofrenia. Fasilitator akan menggabungkan dengan pengetahuan
yang didapat dari modul-modul sebelumnya dan ditambah dengan informasi baru
mengenai cara-cara komunikasi penyelesaian masalah. Kemudian partisipan
bersama-sama membahas masalah yang dialami dan penyelesaiannya. Sesi ini
bermanfaat agar partisipan mampu mengkaitkan bahan psikoedukasi dengan
permasalahan nyata yang dialaminya serta mencari penyelesaiannya bersama.
Psikoedukasi berkelompok memiliki kelebihan dari segi terciptanya sense of
community sesama pendamping penderita skizofrenia dan pembelajaran
bersama dari pengalaman masing-masing.
Prosedur
Berikut adalah penjelasan prosedur penelitian:
A. Persiapan Penelitian
1. Peneliti mengumpulkan bahan-bahan dan kajian teoretis untuk penelitian
melalui penelusuran literatur, pemilihan skala, pembuatan modul dan
panduan wawancara.
2. Professional judgment bagi modul penelitian yang dilakukan oleh tiga
orang praktisi (psikolog klinis). Masukan dari ketiga orang tersebut
kemudian diintegrasikan ke dalam modul. Adanya masukan dari Psikolog
Puskesmas yang akan menjadi fasilitator bahwa dalam acara pertemuan
keluarga penderita gangguan jiwa berat (tidak hanya skizofrenia) yang
pernah dilakukan di Puskesmas tersebut, para pendamping pada
umumnya tidak dapat menghadiri kegiatan yang lebih dari satu kali
pertemuan. Hal ini disebabkan karena peran mereka dalam mengasuh
penderita sehingga tidak dapat meninggalkan penderita dalam waktu
lama. Oleh karena itu, peneliti memadatkan kegiatan psikoedukasi
menjadi satu hari.
19
3. Uji coba modul yang dilakukan terhadap satu orang partisipan yang
memiliki karakteristik yang mirip dengan sasaran partisipan penelitian,
dalam hal ini adalah seorang pendamping penderita skizofrenia.
4. Peneliti mencari subyek penelitian melalui institusi yang melakukan
pelayanan kesehatan jiwa, dalam hal ini adalah Puskesmas. Psikolog
Puskesmas yang diminta untuk menjadi fasilitator penelitian ini
memberikan daftar beberapa pasien baru yang belum mendapatkan
psikoedukasi. Dari tujuh orang yang dijajaki yang memiliki tempat tinggal
di wilayah cakupan pelayanan Puskesmas tersebut, maka satu orang
ditentukan menjadi Partisipan uji coba modul dan tiga orang menjadi
Partisipan penelitian. Dari tiga orang calon partisipan lain yang dijajaki,
satu orang tidak memiliki karakteristik yang sesuai (orang tersebut sudah
pernah ikut psikoedukasi), satu orang lainnya tidak dapat ikut penelitian
karena masih mengurusi penderita yang harus rawat inap, dan satu orang
lagi menolak untuk mengikuti intervensi yang ditawarkan.
5. Proses perizinan dilakukan melalui Dinas Kesehatan Sleman serta
melalui komunikasi dengan psikolog Puskesmas.
6. Peneliti mendatangi calon partisipan di rumahnya masing-masing dan
memberikan penjelasan mengenai psikoedukasi keluarga berkelompok
yang akan dilakukan. Bila partisipan bersedia mengikuti psikoedukasi
tersebut, maka peneliti akan meminta calon partisipan untuk
menandatangani surat persetujuan penelitian (informed consent).
7. Peneliti mengadministrasikan skala ZCBS yang sudah diadaptasi oleh
Koeswardani (2011) pada calon partisipan untuk mengetahui kelayakan
calon partisipan tersebut. Bila skor calon partisipan tidak sesuai dengan
kriteria inklusi partisipan, maka individu tersebut tidak akan diikutsertakan
dalam pelaksanaan psikoedukasi.
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Wawancara preliminari dilakukan setelah didapatkan skor partisipan
dalam skala ZCBS. Wawancara dilakukan di kediaman partisipan
sehingga peneliti dapat sekaligus melakukan observasi dan juga
mewawancarai penderita skizofrenia.
20
2. Melakukan pembahasan modul dengan fasilitator, pendamping fasilitator,
dan pengamat. Peneliti melakukan kesepakatan mengenai kerahasiaan
penelitian dan data partisipan.
3. Pelaksanaan psikoedukasi keluarga berkelompok untuk pendamping
penderita skizofrenia selama satu hari. Kegiatan ini dilakukan di
Puskesmas daerah Sleman, Yogyakarta pada awal bulan Agustus 2013
dengan dihadiri oleh satu orang fasilitator, satu orang pendamping
fasilitator, satu orang pengamat, peneliti sebagai notulen, dan tiga orang
partisipan.
4. Pengukuran kedua skala ZCBS dilakukan setelah psikoedukasi.
Pelaksanaan pengukuran kedua ini dilakukan sekitar satu minggu
sesudah psikoedukasi.
5. Wawancara dan observasi kedua dilakukan di kediaman partisipan
masing-masing setelah pelaksanaan psikoedukasi.
Alat atau Materi
Berikut adalah alat atau materi dalam pelaksanaan psikoedukasi ini:
1. Lembar data diri partisipan
2. Lembar Naskah Penjelasan Penelitian
3. Surat persetujuan partisipan (Informed Consent).
4. Panduan wawancara
5. Skala Beban Subyektif (ZCBS)
6. Modul Psikoedukasi Keluarga Berkelompok
7. Lembar Observasi selama pelaksanaan psikoedukasi
8. Daftar hadir partisipan selama psikoedukasi
9. Lembar Evaluasi Pelatihan
10. Alat tulis dan peralatan elektronik untuk pelaksanaan psikoedukasi
(proyektor LCD, spidol, kertas, dan lain-lain).
Hasil Penelitian
Hasil Analisis Kuantitatif
Analisis data hasil penelitian secara kuantitatif menggunakan statistik
nonparametrik dengan Uji Wilcoxon pada perbedaan skor Zarit Caregiver Burden
21
pada pendamping penderita skizofrenia sebelum dan sesudah psikoedukasi. Dari
skala, diperoleh skor partisipan sebagai berikut
Tabel 5
Skor Beban Subjektif Partisipan
Subjek
Skor Beban Subjektif
Sebelum Sesudah
Is 32 19
St 24 17
Ns 38 21
Analisis Kuantitatif dilakukan dengan menggunakan SPSS 20, didapatkan
hasil sebagai berikut:
Tabel 6
Rangkuman Hasil Uji Wilcoxon untuk Skor Beban Subjektif
Perhitungan Z Signifikansi (p) Keputusan
Skor Sebelum-Sesudah
Psikoedukasi
-1,633 0,102 Tidak Signifikan
Catatan. p < 0,05.
Dengan demikian didapatkan bahwa Hipotesis ditolak, yaitu tidak terdapat
perbedaan beban subyektif yang signifikan antara sebelum dan sesudah
dilaksanakannya psikoedukasi keluarga berkelompok bagi pendamping penderita
skizofrenia.
Hasil Analisis Kualitatif
Pengolahan data observasi dan wawancara secara kualitatif dilakukan
dengan analisis deskriptif dari hasil observasi dan wawancara sebelum dan
sesudah psikoedukasi.
Dari hasil analisis kualitatif ditemukan bahwa setiap partisipan tetap
mengalami penurunan tingkat beban subyektif. Perubahan tersebut ditampilkan
dalam tabel berikut:
22
Bila digolongkan berdasarkan norma dari Koeswardani (2011), maka para
partisipan mengalami perubahan tingkat beban subjektif sebagai berikut:
Tabel 7.
Tingkat Beban Subjektif Partisipan
Subjek
Skor Beban Subjektif
Sebelum Sesudah
Is Sangat Tinggi Sedang
St Tinggi Sedang
Ns Sangat Tinggi Tinggi
Terlihat bahwa Subjek Is mengalami perubahan skor beban subjektif dari
Sangat Tinggi (skor 32) menjadi ke tingkat Sedang (skor 19). Hal yang sama juga
dialami oleh Subjek kedua (St) yang mengalami penurunan yang tingkat beban
subjektifnya menurun dari Tinggi (skor 24) menjadi Sedang (skor 17). Subjek Ns
mengalami tingkat penurunan beban subjektif dari rentang Sangat Tinggi (skor
38) menjadi tinggi (skor 21).
Pergerakan skor pada ketiga partisipan ini menunjukkan bahwa intervensi
psikoedukasi dapat menurunkan skor beban subjektif pada para partisipan,
walupun itdak didapatkan perbedaan yang signifikan secara statistik. Sebelum
intervensi semua partisipan memiliki skor yang berada pada rentang Sangat
Tinggi (skor di atas 26) hingga Tinggi (skor 20 – 25). Setelah intervensi,
didapatkan skor para peserta berada pada rentang Sedang (15 – 20) hingga
Tinggi (20 – 26).
Subjek Is
Sebelum intervensi, skor beban subjektif Is berada pada rentang Sangat
Tinggi dengan skor 32, sementara sesudah intervensi menjadi rentang Sedang
(skor 19). Di antara ketiga peserta, Is mengalami perubahan rentang beban
subyektif yang paling besar, meski pun perubahan dari skor terbesar dialami oleh
Subjek Ns, yaitu sejauh 17 poin. Sementara skor Is sendiri mengalami
penurunan 13 poin. Berikut adalah perubahan skor beban subjektif pada Subjek
Is:
23
Gambar 1: Grafik skor Subjek Is
Dalam perannya sebagai primary caregiver bagi anaknya (AS, 20 tahun),
Is tidak merasa malu terhadap pandangan masyarakat sekitarnya. Is dengan
selektif memilih untuk berterus terang pada tetangga sekitar rumahnya yang
dirasanya terbuka dan mendukungnya. Sementara pada orang-orang yang
bersikap negatif padanya, Is tidak mau terbuka mengenai keadaan AS. Hal ini
diakuinya bukan karena ia merasa malu akan gangguan jiwa AS, namun karena
ia tidak ingin AS dan keluarganya dicemooh.
Hal ini terlihat pada saat wawancara, yaitu di wawancara pertama Is dan
AS banyak terdiam ketika ada tetangganya yang singgah ke rumahnya. Setelah
orang tersebut pergi, baru Is mengakui bahwa orang tersebut sering bersikap
buruk padanya. Sebaliknya, di wawancara kedua ada seorang tetangga lain yang
ikut duduk bersama Is sambil menonton televisi. Is bercerita dengan terbuka
mengenai keadaan AS di depan tetangga tersebut dan memperlihatkan obat
antipsikotik yang diminum oleh anaknya.
Salah satu hal yang dirasakan Is adalah rasa bersalah karena ia telah
memaksa anaknya AS dewasa sebelum waktunya. Semasa kecil AS sering jadi
tempat bersandar Is apabila Is memiliki masalah dalam rumah tangganya
(perselingkuhan suaminya) dan masalah keuangan (rumahnya didatangi penagih
hutang). Is berharap ia dapat memberikan perawatan sebaik-baiknya pada AS
serta mendoakan agar AS bisa hidup sehat dan produktif walau memiliki
keterbatasan.
Selama berjalannya psikoedukasi, Is lebih sering berbicara dengan St
yang duduk persis di sampingnya. Ia juga terlihat menangis dan menghapus air
24
mata saat menonton film dan sharing. Partisipasi Is selama psikoedukasi terlihat
aktif dan juga merespon dengan lancar, walau awalnya ia terlihat berpikir
beberapa saat sebelum menjawab. Is juga tertawa dan banyak tersenyum
selama melakukan permainan.
Is mengaku senang akan psikoedukasi berkelompok ini, karena ia
merasakan sangat berterimakasih bisa bertemu sesama keluarga pendamping
ODS. Ia banyak belajar dari peserta lain dan juga dari materi psikoedukasi.
Setelah psikoedukasi, materi yang sudah diterapkannya secara mandiri adalah
cara berkomunikasi, relaksasi, dan memahami keterbatasan penderita. Is juga
menyampaikan sangat menghargai layanan kesehatan jiwa di Puskesmas.
Subjek St
Sebelum intervensi, skor beban subjektif St berada pada rentang Tinggi
(skor 24), sementara sesudah intervensi menjadi rentang Sedang (skor 17). Di
antara ketiga peserta, St mengalami perubahan skor yang paling sedikit.
Berikut adalah perubahan skor beban subjektif pada Subjek St
Gambar 2: Grafik Subjek St
Pada Subjek St, terlihat bahwa sebelum intervensi skor yang diperoleh
berada pada rentang Tinggi yaitu 24, dan sesudah intervensi mengalami
penurunan skor beban subjektif menjadi 17 (rentang Sedang). Perubahan lainnya
yang terjadi adalah pada saat pengukuran kedua, Subjek St mengatakan ingin
mengisi skala untuk beban subjektif yang dialaminya dalam menjadi caregiver
bagi anaknya yang pertama yaitu EB.
25
Pada pengukuran pertama, St menolak untuk melakukan pengisian skala
bebannya dalam merawat EB. St beralasan bahwa ia hanya mau mengikuti
pelatihan untuk anaknya yang ketiga, yaitu F. St menjelaskan bahwa dirinya
sudah lepas tangan terhadap EB yang kasar dan sangat sering menyusahkan
keluarga. Sebelum intervensi, St melihat bahwa dirinya hanya mampu mengurus
F karena EB sudah sama sekali tidak bisa disembuhkan.
Pada saat pelaksanaan psikoedukasi, St terlihat cepat akrab dalam
mengobrol dengan Is. Ia juga berkali-kali meneteskan air mata pada saat
menonton film dan sesi berbagi pengalaman. St aktif dalam mengikuti
psikoedukasi, dan walaupun volume suaranya agak pelan namun St selalu
memberikan tanggapan pada setiap tanya jawab atau kegiatan bermain peran.
Setelah pelaksanaan psikoedukasi, peneliti melakukan pengukuran yang
kedua. Pada kali ini, St meminta peneliti mengukur skornya dalam perawatan EB.
Walaupun St tidak memiliki skor untuk beban subjektif pra-intervensi, namun
peneliti tetap mencantumkan skor pascaintervensi ini, karena hal ini
menunjukkan keinginan St untuk kembali merawat anaknya yang pertama yang
sudah menderita skizofrenia selama 6 tahun, yaitu EB. Bila dibandingkan
sebelum intervensi, St hanya mau merawat F yang dianggapnya masih bisa
disembuhkan. Skor yang diperoleh dari pengukuran ini adalah 31 (Sangat
Tinggi).
St menyatakan merasa bersyukur berkesempatan mengikuti psikoedukasi
ini, karena selama ini ia kesepian dan tidak ada teman berbagi dalam
pengasuhan kedua anaknya yang ODS. Suaminya (Bapak SL) tinggal di Bt
karena masih bertugas sebagai PNS dan hanya berkunjung ke Yk sebulan
sekali. St merasa sesi berbagi cerita dan pengalaman sesama pendamping
sebagai bagian yang paling disukainya. Ia juga senang dengan materi-materi
yang dirasanya memberi informasi mengenai gangguan Skizofrenia.
Materi yang sudah diterapkan St adalah komunikasi dengan penderita,
relaksasi, dan pemahaman mengenai gangguan (info skizofrenia). Komunikasi
dengan F dilakukannya ketika F sedang mengalami serangan halusinasi auditori,
St memberikan dukungan semangat dan lemah lembut. Sebelumnya, St sering
panik dan bingung bila F mengurung diri.
Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai Skizofrenia, St merasa
masih ada kemungkinan EB bisa lebih baik lagi dengan penanganan yang tepat.
26
St menyesali kesalahan penanganan gangguan EB di awal karena banyak
melakukan pengobatan mistis. Hal ini terlihat terutama ketika St secara inisiatif
meminta peneliti melakukan pengukuran skor beban subyektifnya terhadap
perawatan EB di mana sebelumnya ia menolak atau tidak merasa sanggup
membantu pemulihan EB.
Subjek Ns
Sebelum intervensi, skor beban subjektif Ns berada pada rentang Sangat
Tinggi dengan skor 38, sementara sesudah intervensi menjadi rentang Tinggi
(skor 21). Di antara ketiga peserta, Ns mengalami perubahan skor yang paling
besar. Skor beban subyektifnya juga merupakan yang tertinggi di antara peserta
lain. Tapi dari segi perubahan penurunan rentang beban subyektif, Ns
mengalami perubahan yang lebih rendah dari Is. Berikut adalah gambar
perubahan skor Subjek Ns:
Gambar 3: Grafik Subjek Ns
Dibanding peserta lainnya, Ns adalah orang yang paling lama menjalani
peran pendampingan ODS yaitu lebih dari 20 tahun sejak usia sekitar 12 tahun
(Sekolah Dasar). Hal ini dikarenakan almarhum ayahnya mengidap skizofrenia,
dan Ns juga pernah mengalami peran pendampingan untuk dua orang ODS yaitu
almarhum ayahnya dan kakak perempuannya (Sm). Ns mengaku bahwa
motivasinya untuk mengikuti psikoedukasi adalah untuk mendapatkan
kesempatan bagi dirinya untuk berbagi dan mengungkapkan berbagai peristiwa
stressful yang dialaminya selama melakukan pendampingan ODS.
27
Selama berjalannya psikoedukasi, Ns terlihat duduk agak menjauh dari
dua peserta lainnya. Ia cukup responsif menanggapi pertanyaan dan
kesempatan untuk sharing. Ns mengakui ia sangat bersimpati pada St yang
menjalani peran mendampingi dua orang ODS, yaitu sesuatu yang pernah
dialaminya sendiri. Ns berpartisipasi dengan baik, serta memberikan pendapat
dan jawaban dengan cukup lengkap.
Setelah psikoedukasi, Ns merasa kegiatan tersebut amat bermanfaat. ia
merasa banyak pengalamannya yang belum dialami oleh peserta lain karena
mereka belum menjadi pendamping ODS selama dirinya. Ia menyarankan agar
pelaksanaan psikoedukasi ditambah durasinya, karena lebih baik bila dilakukan
pertemuan lebih dari satu kali. Peneliti menjelaskan mengenai berbagai
hambatan di lapangan yang tidak memungkinkan dilaksanakannya psikoedukasi
lebih dari satu kali.
Ns mengalami keguguran kandungan beberapa hari setelah psikoedukasi
karena infeksi toksoplasma. Ditemukan perubahan sikap pada Ns terhadap
perannya sebagai pendamping ODS sesudah psikoedukasi. Sebelumnya, Ns
menyatakan sedang mempertimbangkan akan mengasuh Sm bersamanya.
Namun setelah psikoedukasi, Ns menyatakan ia ingin berfokus mengurus rumah
tangganya sendiri dan berharap saudara-saudaranya mengambil peran yang
lebih besar dalam perawatan Sm. Ia berpendapat bahwa perannya sebagai
pendamping selama ini sudah lebih dari cukup.
Diskusi
Hasil penelitian menolak hipotesis bahwa psikoedukasi keluarga
berkelompok dapat menurunkan beban subjektif pada pendamping utama
(primary caregiver) penderita skizofrenia. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan
adanya perubahan skor pada semua partisipan dari rentang sangat tinggi ke
rentang tinggi-sedang.
Keterbatasan penelitian ini adalah karena jumlah subjek yang sedikit (3
orang) serta pelaksanaan yang terlalu singkat. Dalam hal ini, sudah dijelaskan
bahwa jumlah calon subjek yang memenuhi persyaratan tidak banyak (7 orang)
dan tidak semuanya dapat ataupun bersedia mengikuti psikoedukasi ini.
Hambatan yang ditemui antara lain karena peran partisipan sebagai caregiver
tidak hanya untuk penderita namun juga untuk anggota keluarga yang lain.
28
Seperti pada salah satu calon partisipan (Ibu K) yang tidak dapat berpartisipasi
karena selain harus mengurus anaknya yang sedang dirawat di Rumah Sakit
Jiwa, ia juga harus mengurus cucunya yang masih balita. Salah satu partisipan
(Is) juga hampir tidak dapat mengikuti psikoedukasi karena pada hari
pelaksanaan, anaknya yang berumur tujuh tahun sedang rewel dan tidak ingin
ditinggal. Karena antisipasi sulitnya partisipan mengalokasikan waktu, maka
psikoedukasi dirancang hanya untuk satu kali saja. Dalam hal ini, salah satu
partisipan berkomentar bahwa pelaksanaan terlalu singkat.
Keterbatasan waktu para partisipan juga dialami oleh Ibu St yang merasa
sukar untuk meninggalkan kedua anaknya yang sama-sama menderita
skizofrenia sendirian di rumah. Sementara subjek Ns walaupun bersedia dan
dapat meluangkan waktu untuk ikut psikoedukasi lebih lama, namun kondisinya
yang sedang hamil muda membuatnya merasa lemas. Para pendamping
penderita skizofrenia pada umumnya mengalami kesulitan untuk berpartisipasi
dalam kegiatan seperti psikoedukasi ini, hal ini antara lain karena tidak
tersedianya layanan perawatan pengganti (respite care) yang dapat memberikan
kesempatan pada mereka untuk mendapat waktu luang (Biegel, dkk., 2004).
Hambatan lain dalam mendapatkan subjek adalah keluarga penderita
sudah terlanjur tidak percaya bahwa penderita dapat didukung untuk pulih. Hal ini
didapatkan pada salah seorang calon partisipan (Bapak A) yang merupakan
kakak dari En. Calon partisipan tersebut merasa bahwa En sudah terlalu lama
sakit “ora mari-mari” (tidak sembuh-sembuh-bahasa Jawa, pen.). Kejadian yang
sama juga ditemukan pada Ibu St yang pada wawancara preliminari mengatakan
bahwa dirinya hanya ingin mengikuti psikoedukasi demi kesembuhan anak
ketiganya (F) yang baru saja didiagnosa, sementara EB yang sudah sakit lebih
dari 5 tahun dianggapnya sudah terlalu sulit untuk ditangani.
Kelemahan lain dari penelitian ini adalah tidak dilakukannya rating pada
saat prosedur uji coba modul. Selain itu, pemberian informed consent kepada
subjek masih bersifat sepihak dan tidak mencantumkan nama dan nomor kontak
pelaksana penelitian atau pihak yang bertanggung jawab terhadap hasil
penelitian.
Keberhasilan penelitian ini adalah self-report dari ketiga partisipan bahwa
mereka merasa lega diberi kesempatan menumpahkan perasaan negatif yang
selama ini hanya dipendam sendiri karena tidak adanya pihak lain yang dirasa
29
memahami keadaan mereka. Hal ini menurut partisipan karena adanya sesi di
mana mereka mencurahkan cerita pengalaman mendampingi penderita serta
sesi relaksasi yang dirasa sangat membantu.
Adanya kebutuhan mengungkapkan perasaan dan penguatan psikologis
pada para peserta penelitian ini berbeda dengan temuan dari penelitian
sebelumnya (Chan et.al. 2006; Hsu, 1995, dalam Chien, dkk., 2008). Menurut
Chien, dkk. (2008) dalam budaya Asia keluarga lebih mementingkan terapi yang
menekankan pada bantuan praktis dan pemecahan masalah dibanding yang
bersifat penguatan psikologis dan kesempatan mengekspresikan dan
mengungkapkan perasaan. Ting-Toomey (1985, dalam Yuniarti, 1993)
menjelaskan bahwa dalam budaya yang bersifat konteks tinggi (high context
culture) seperti budaya Timur konflik terjadi karena individu tidak dapat
mengekspresikan dirinya dengan bebas. Dalam hal ini, peserta penelitian merasa
menemukan kesempatan untuk mengekspresikan berbagai emosi dan
pengalaman negatif yang dialami dalam menjalani peran sebagai pendamping,
dan hal tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang sangat bermanfaat dan
meringankan beban subyektif yang mereka rasakan.
Foulds (2006) menyatakan bahwa keluarga ODS biasanya akan
mendapat manfaat yang besar dari informasi yang mendetail dan spesifik
mengenai kondisi ODS, prognosis, dan penanganan yang tepat dari
merekonstruksi awal perjalanan gangguan. Pendamping ODS juga memerlukan
informasi mengenai berbagai layanan kesehatan jiwa yang tersedia untuk
membantu ODS dan diri pendamping sendiri. Foulds juga menyatakan bahwa
intervensi berupa edukasi dapat meningkatkan pengetahuan dan optimisme
mengenai peran keluarga dalam mendampingi ODS, serta mengurangi tingkat
stres keluarga ODS.
Peserta penelitian memiliki pengalaman hidup yang berbeda, di mana
ada yang sudah menjadi caregiver dalam jangka waktu yang lama seperti Ns
yang sudah menjadi caregiver bagi almarhum ayahnya sejak lebih dari 20 tahun
yang lalu, dan sekarang juga menjadi caregiver bagi kakak perempuannya (Sm).
St sudah menjadi caregiver selama lebih dari empat tahun dalam merawat anak
pertamanya (EB), sedangkan untuk anak ketiganya (F) baru didiagnosis
skizofrenia dalam beberapa bulan terakhir, walau F sebenarnya sudah
mengalami gejala skizofrenia sejak satu setengah tahun sebelumnya.
30
Sedangkan Is baru menjadi caregiver bagi anaknya AS yang didiagnosis
beberapa bulan yang lalu. Dari jawaban para peserta pada saat wawancara,
ditemukan bahwa caregiver yang sudah lama menyatakan tidak yakin terhadap
kemungkinan penderita bisa pulih seperti semula, sementara caregiver yang baru
menjalani perannya memiliki optimisme bahwa penderita dapat sembuh.
Hal ini sesuai dengan yang diutarakan dalam (Brown, dkk., 2003) bahwa
umur, tipe kepribadian, kesehatan, pengalaman hidup, dan sebagainya
mempengaruhi cara seseorang menghadapi stres. Selain itu, setiap orang
memiliki tingkat toleransi stres, cara coping, dan akses terhadap dukungan sosial
yang berbeda (Lazarus & Folkman, 1984; Myers, 1989 dalam Brown, dkk., 2003).
Cuijpers & Stam (2000) juga menyebutkan bahwa kejenuhan dapat terjadi pada
pendamping ODS, di mana gangguan yang telah berjalan lebih dari dua tahun
akan menimbulkan kelelahan pada pendamping.
Para peserta penelitian juga menunjukkan hal tersebut, di mana St dan
Ns yang sudah menjadi pendamping lebih dari dua tahun merasa jenuh dan
sangat tidak yakin penderita dapat kembali pulih. Salah seorang pendamping
penderita yang sudah menjalani perannya selama empat tahun lebih (Bapak A)
juga menyatakan bahwa adik perempuannya (E) tidak ada kemajuan, sehingga
ia menolak menjadi peserta penelitian. Sementara Ibu Is sebagai pendaping
yang masih baru dalam menjalani perannya justru menunjukkan perubahan yang
paling besar dalam skor beban subyektifnya yaitu dari rentang Sangat Tinggi
menjadi Sedang.
Ditemukan adanya perubahan secara kualitatif pada para pendamping,
yaitu keinginan untuk melakukan penanganan yang lebih baik dan meninggalkan
cara mistis dalam perawatan ODS (Subjek St), keyakinan akan kemungkinan
pemulihan ODS (Subjek St dan Is). Hal-hal tersebut sejalan dengan temuan
Pollio, dkk. (2006) di mana psikoedukasi dapat meningkatkan pemahaman
peserta mengenai penanganan yang lebih tepat bagi ODS. Di samping itu,
terlihat adanya kesadaran yang lebih tinggi mengenai perlunya pendamping
memperhatikan kebutuhannya sendiri (Subjek Ns). Hal ini sesuai dengan temuan
dari Cohen & Thomas (1996) bahwa pendamping perlu melihat perannya lebih
dari sekedar caregiver bagi ODS.
Penelitian ini juga memberikan suatu alternatif layanan penjangkauan
(outreach) bagi tenaga kesehatan jiwa di tingkat layanan primer dalam
31
memberikan dukungan bagi para pendamping penderita skizofrenia. Dengan
psikoedukasi berkelompok, maka Puskesmas atau layanan primer lainnya dapat
memberikan dukungan pada caregiver dengan cara yang lebih efisien
dibandingkan layanan individual. Nelson (1989, dalam Supratiknya, 2011)
mengatakan bahwa proporsi jumlah orang yang membutuhkan layanan
psikologis tidak akan dapat ditangani sepenuhnya dengan jumlah tenaga
kesehatan jiwa yang ada. Nelson juga menyatakan diperlukan penanganan yang
bersifat komunitas karena penanganan secara individual memerlukan sumber
daya yang terlalu besar. Keadaan ini ditemui di Indonesia dan juga negara-
negara lainnya (satunews.com, 2011; Li & Arthur, 2005; Gerson, dkk., 2009;
Cohen, dkk., 2011; Bond & Campbell, 2008).
Penanganan di tingkatan tenaga kesehatan primer seperti Puskesmas
memungkinkan psikolog atau konselor melakukan penyaringan terhadap
kebutuhan layanan psikologis umum atau psikiatrik yang lebih berat. Selain itu,
layanan kesehatan jiwa di tingkat primer juga dapat menjadi bentuk layanan
prevensi dan penanganan dini (Bain & Shah, 2004; Ng, dkk., 2009). Ng, dkk.
(2009) menyatakan bahwa intervensi berbasis komunitas adalah cara yang akan
membangun layanan kesehatan jiwa yang berkesinambungan.
Psikoedukasi juga memberikan ruang bagi pendamping ODS untuk
memberi dan menerima dukungan pada sesama melalui interaksi yang terjadi
dalam sesi-sesi psikoedukasi ini sebagaimana yang diungkapkan para peserta
dalam wawancara pascaintervensi. Hal ini sejalan dengan penelitian dari
McFarlane, dkk. (2003) dan Gutierez-Maldonado & Caqueo-Urizar (2007) bahwa
psikoedukasi dapat menurunkan beban subyektif para pendamping ODS.
Hal lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah komponen genetik
dalam Skizofrenia (Gonzales-Torres, dkk., 2007; Brown, dkk., 2003) di mana
risiko menderita skizofrenia lebih besar pada orang-orang yang memiliki keluarga
ODS. Ketiga peserta penelitian ini memiliki anggota keluarga yang menderita
skizofrenia selain dari care recipient yang didampinginya. Jumlah sampel yang
kecil (tiga orang) tentunya tidak memungkinkan dilakukannya generalisasi
terhadap temuan ini, namun hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi peneliti
selanjutnya dan juga bagi professional layana kesehatan jiwa dalam melakukan
prevensi dan penanganan dini (Bain & Shah, 2004).