Upload
lamtram
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari terpaan media. Setiap hari
manusia diterpa dan menerpakan diri kepada media, baik secara sadar ataupun
tidak sadar. Manusia tidak dapat lagi menghindar dari gencarnya pesan-pesan
komunikasi yang disajikan oleh media melalui konten-kontennya. Semakin
kuatnya pengaruh media dalam kehidupan manusia didukung oleh era globalisasi,
dimana luberan informasi menjadi suatu hal yang tidak dapat dibendung lagi. Hal
ini terutama disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena budaya populer Korea yang
dikenal dengan istilah Korean wave atau Hallyu melanda dunia. Istilah ini
pertama kali digunakan pada tahun 1997 untuk menjelaskan fenomena kesuksesan
drama Korea What is Love All About ketika ditayangkan oleh salah satu stasiun
televisi Cina, yang pada saat itu menjadi hit dan meraih rating tertinggi dalam
pertelevisian Cina (Shim, 2006: 28). Sejak saat itu, drama Korea dengan cepat
mulai masuk ke negara-negara lain di Asia, yang kemudian disusul dengan musik
dan film. Keberhasilan Korean wave dibantu dengan terjadinya liberalisasi media
pada tahun 1990-an, dimana terjadi perkembangan dan modernisasi di industri
media, khususnya di bidang teknologi, yang berdampak positif terhadap produksi
konten media dan jaringan distribusinya. Interaksi media antara negara-negara di
Asia kemudian meningkat melalui kapitalisme global di industri media. Hal ini
tentunya membuat produk-produk budaya Korea yang disebarkan melalui
media—dalam bentuk konten media—dapat diekspor dan diterima dengan mudah
di negara lain. Selain liberalisasi media, penyebaran fenomena Korean wave juga
dibantu oleh globalisasi yang ditunjukkan dengan kemajuan di bidang tekonologi
komunikasi, dimana masyarakat di berbagai belahan dunia dapat dengan mudah
mengakses dan mengonsumsi konten media Korea, seperti drama, musik, film,
variety shows, games, berita, manhwa (komik), dan lain-lain.
2
Saat ini konten media Korea tidak hanya menguasai pasar dalam negeri,
tetapi juga pasar di negara lain. Ekspor produk-produk budaya Korea bahkan
menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Tiga produk budaya (konten media)
Korea yang menduduki peringkat teratas sebagai penghasil keuntungan terbesar
dalam Korean wave adalah serial drama, disusul oleh musik kemudian film (Shin,
2006). Keberhasilan Korea mengekspor produk budaya menjadikannya masuk
dalam sepuluh besar negara pengekspor budaya pada tahun 2008. Area yang telah
diinvasi oleh produk budaya Korea, antara lain: Asia, Timur Tengah, Amerika,
Kanada, Inggris, Eropa Timur, Afrika Utara, dan Australia.
Ekspor produk-produk budaya Korea juga sampai ke Indonesia. Korean
wave masuk ke Indonesia pada tahun 2000-an melalui drama-dramanya.
Sebelumnya Indonesia didominasi oleh budaya populer Amerika dan sempat pula
oleh budaya populer Jepang dan Cina. Piala Dunia 2002 yang berlangsung di
Jepang – Korea Selatan memiliki peranan penting karena membuat Korea
semakin diperhatikan oleh masyarakat dunia (termasuk Indonesia) dan membuka
lebar peluangnya untuk mendistribusikan produk-produk budayanya di Indonesia.
Di tahun tersebut, stasiun televisi Indonesia sedang menayangkan dua drama
fenomenal, yaitu Endless Love dan Winter Sonata, yang berhasil mendapatkan
respon positif dari audiens, terutama para perempuan (Nugroho, 2011: 45). Sejak
saat itu semakin banyak serial drama Korea yang masuk ke Indonesia, yang pada
akhirnya menghentikan dominasi drama Jepang dan Taiwan di Indonesia.
Keberhasilan serial drama Korea di Indonesia turut membuka jalan bagi produk
budaya Korea lainnya untuk masuk, seperti musik dan film.
Saat ini banyak media di Indonesia menyiarkan dan membahas berbagai
konten media Korea, mulai dari televisi, radio, majalah, hingga tabloid. Hal ini
terjadi karena meningkatnya permintaan dari masyarakat Indonesia akan konten
media Korea, yang dilatarbelakangi oleh fenomena budaya populer Korea yang
semakin menyebar di Indonesia. Selain itu, kemajuan media baru seperti Internet
juga semakin mempermudah masyarakat Indonesia dalam mengakses konten
media Korea. Mereka dapat mengunduh musik, drama, dan film Korea dari
Internet kemudian mengonsumsinya di komputer pribadi maupun ponsel. Mereka
3
juga dapat memperoleh informasi-informasi terbaru mengenai segala hal yang
berhubungan dengan Korean wave melalui situs-situs yang khusus membahas
mengenai Korea. Selain itu, mereka juga dapat dengan mudah berbagi dengan
penggemar produk budaya Korea yang ada di negara lain di seluruh dunia.
Perempuan merupakan konsumen utama dari konten media Korea. Hal
ini disebabkan oleh posisi perempuan yang direpresentasikan dalam sebagian
besar konten media Korea sesuai dengan keadaan, harapan, ataupun preferensi
dari para perempuan untuk terjadi di dunia nyata. Selain itu, nilai-nilai humanis
yang diangkat dalam berbagai konten media Korea lebih mampu menyentuh
perempuan karena sifat dasar perempuan yang lebih banyak menggunakan
perasaan daripada logika. Tak dapat dipungkiri juga bahwa banyak artis Korea
yang memiliki penampilan fisik mengagumkan, baik artis lelaki maupun artis
perempuan. Hal ini tentunya mampu menarik perhatian audiens perempuan, bukan
hanya pada para artis lelaki, melainkan juga pada para artis perempuan karena
preferensi dan keinginan untuk menjadi seperti mereka. Perempuan juga lebih
memungkinkan tergabung dalam fandom (bagian dari suatu kelompok
penggemar) dari budaya populer karena sifat dasar perempuan yang lebih mudah
terpengaruh daripada lelaki.
Dahsyatnya fenomena Korean wave turut memberi dampak pada produk-
produk industri Korea sehingga produk-produk tersebut mulai dikenal dan
mendapatkan pengakuan dari masyarakat dunia. Hal ini kemudian dimanfaatkan
oleh banyak perusahaan Korea untuk ikut memperluas eksistensinya di negara-
negara lain karena potensi pasar yang dirasa cukup besar. Indonesia pun dianggap
sebagai salah satu pasar potensial sehingga banyak perusahaan asal Korea mulai
membuka cabangnya dan memasarkan berbagai produknya di Indonesia.
Masyarakat Indonesia, terutama yang mengonsumsi konten media Korea, juga
melihat dan mengetahui tentang produk-produk Korea, baik secara sadar ataupun
tidak. Apalagi banyak perusahaan Korea yang kemudian menyusun strategi
pemasaran dengan menggunakan bantuan produk-produk budaya (konten media)
Korea. Dahsyatnya fenomena Korean wave ditambah dengan strategi pemasaran
mereka tampaknya memberikan hasil yang baik karena angka penjualan produk-
4
produk Korea dan nilai investasi perusahaan-perusahaan Korea di Indonesia
mengalami peningkatan.
Namun, kemudian muncul pertanyaan, apakah ketertarikan masyarakat
Indonesia terhadap konten media Korea juga ikut membuat mereka tertarik pada
segala hal yang bertemakan Korea, termasuk di dalamnya adalah produk-produk
Korea? Dari penjelasan yang ditampilkan di atas, dapat terlihat bahwa produk
budaya Korea yang masuk ke Indonesia mendapatkan respon positif dan cukup
banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Di sisi lain, produk-produk
industri atau manufaktur Korea yang ada di Indonesia juga semakin banyak dan
mengalami peningkatan penjualan yang signifikan. Berdasarkan uraian di atas,
peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh dari konsumsi
konten media Korea terhadap minat mengonsumsi produk-produk Korea,
khususnya di kalangan perempuan Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “Bagaimana pengaruh konsumsi konten media Korea
terhadap minat mengonsumsi produk Korea?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh konsumsi konten media Korea terhadap minat
mengonsumsi produk Korea.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk
menambah perbendaharaan kepustakaan bagi Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Gadjah Mada. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan referensi dan informasi bagi peneliti lain yang
tertarik untuk mendalami penelitian yang sejenis.
5
2. Praksis
Penelitian ini bermanfaat sebagai panduan atau rekomendasi bagi praktisi
pemasaran dalam memahami konsumsi konten media dari calon konsumen
dan pengaruhnya terhadap minat mengonsumsi produk, sehingga nantinya
praktisi dapat menjalankan bisnisnya dengan lebih baik.
3. Sosial
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan serta wawasan
masyarakat luas tentang konsumsi konten media Korea dan pengaruhnya
terhadap minat mengonsumsi produk Korea.
E. OBJEK PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah perilaku konsumsi konten media Korea dan
pengaruhnya terhadap minat mengonsumsi produk Korea. Penelitian ini berada di
ranah efek media yang berkaitan dengan bidang komunikasi pemasaran.
Penelitian ini mengasumsikan adanya korelasi antara konten media sebagai
stimulus yang menyebabkan efek dan audiens sebagai pihak yang memberi respon
akibat terkena efek. Konten media Korea dalam penelitian ini akan dibatasi hanya
pada tiga konten media Korea terpopuler, yaitu serial drama, musik, dan film.
Sedangkan produk Korea dalam penelitian ini tidak akan dikhususkan pada satu
produk tertentu.
F. KERANGKA TEORI
1. Konten Media, Globalisasi, dan Budaya Populer
Konten media dapat dikatakan sebagai pesan yang disebarkan melalui
media, baik dalam bentuk tulisan, gambar, maupun suara. Pesan-pesan ini
diwujudkan dalam bentuk program acara, teks berita, film, bahkan musik dan
games (permainan). Konten dapat disebarkan melalui berbagai media, seperti
televisi, majalah, buku, internet, CD audio, dan bahkan melalui live event
seperti konferensi dan konser. Sayangnya, selama ini banyak orang yang salah
kaprah sehingga seringkali konten media disamakan sebagai media itu sendiri.
6
Konten media merupakan salah satu pembahasan penting dalam studi
media. McQuail (2010: 341) menjelaskan beberapa motif yang digunakan
untuk memahami konten media, salah satunya adalah memberikan hipotesis
tentang fungsi dan efek media. Motif inilah yang digunakan dalam penelitian
ini, maksudnya konten media membantu dalam pembuatan dan pembuktian
hipotesis tentang fungsi dan efek media. Konten media dianggap memiliki
kontribusi penting dalam terjadinya efek media sehingga tidak mungkin
peneliti membahas mengenai efek media tanpa memperhatikan konten media.
Ada lima pendekatan dalam menjelaskan sumber dan signifikansi
konten media yang dijelaskan oleh Croteau dan Hoynes (2003: 199-200), yaitu:
a. Konten sebagai refleksi produser. Pendekatan ini menyatakan bahwa konten
media berhubungan erat dengan proses produksi dan para personil media
yang terlibat di dalamnya, misalnya penulis atau produser.
b. Konten sebagai refleksi preferensi audiens. Pendekatan ini menyatakan
bahwa konten media dibuat oleh personil media berdasarkan keinginan atau
preferensi audiens.
c. Konten sebagai refleksi masyarakat secara umum. Pendekatan ini
menyatakan bahwa konten media sebagai pengukur norma-norma sosial,
nilai, dan ketertarikan masyarakat secara umum, bukan hanya audiens.
d. Konten sebagai pengaruh pada audiens. Pendekatan ini menekankan efek
konten media pada audiens. Maksudnya, konten media yang diproduksi
diharapkan akan memberikan pengaruh pada audiens.
e. Konten sebagai teks diri-tertutup (content as self-enclosed text). Pendekatan
ini menilai konten media sebagai teks untuk dimaknai (decoded).
Pendekatan ini berhubungan erat dengan strukturalisme dan linguistik.
Strukturalisme merujuk pada cara makna dibangun dalam teks media.
Strukturalisme juga disebut dengan semiologi, dimana makna dibangun dengan
cara memahami tanda dan penanda. Sehubungan dengan makna, masing-
masing individu dapat memaknai satu konten media yang sama secara berbeda.
Dengan kata lain, konten media bersifat polisemi, yang berarti konten media
7
berpotensi memiliki beberapa makna. Perbedaan pemaknaan masing-masing
individu terhadap konten media nantinya akan membuat efek yang terjadi pada
masing-masing individu menjadi berbeda pula.
Banyak ahli yang mengatakan bahwa media memiliki hubungan erat
dengan budaya sebagaimana yang dinyatakan dalam teori media-budaya. Teori
ini melingkupi segala aspek, mulai dari produksi media, resepsi pesan, dan
segala praktik yang berlangsung di sekitarnya. James Carey (dalam McQuail,
2010: 112) mendefinisikan komunikasi sebagai sebuah proses simbolis dimana
realita diproduksi, dikelola, diperbaiki, dan dirubah. Sedangkan, budaya
didefinisikannya sebagai sebuah proses, tetapi dapat juga merujuk pada atribut
bersama dari sebuah kelompok. Budaya juga dapat merujuk pada teks dan
artefak simbolis yang dimaknai oleh dan untuk identifikasi budaya tertentu.
Maka dapat dikatakan bahwa konten media merupakan bagian dari produk
budaya, dimana konten media merepresentasikan budaya yang
melatarbelakanginya.
Salah satu topik yang dibahas dalam teori media-budaya adalah
globalisasi. Menurut McQuail (2010: 558), globalisasi merupakan keseluruhan
proses dimana lokasi produksi, transmisi, dan resepsi konten media tidak lagi
tetap atau kaku secara geografis, yang disebabkan oleh kemajuan teknologi
serta struktur dan organisasi media internasional. Menurut Croteau dan Hoynes
(2003: 338), globalisasi memiliki dua komponen pusat, yaitu: (1) berhubungan
dengan perubahan geografi dan jarak fisik, dimana komunikasi dan interaksi
dapat berlangsung secara instan dan dalam jarak yang jauh; (2) melibatkan
konten komunikasi, dimana ide, gambar, dan suara dari budaya berbeda
tersedia untuk jaringan luas orang di luar budaya yang menghasilkan pesan
tersebut. Sedangkan menurut Shim (2006: 26-27), istilah globalisasi merujuk
pada proses dan konteks dimana dunia menjadi terintegrasi. Menurutnya,
terdapat tiga pendekatan dalam globalisasi, yaitu: globalisasi sebagai hasil dari
imperialisme budaya; globalisasi sebagai hasil dari proyek modernitas; dan
globalisasi sebagai hibridisasi budaya.
8
Media memiliki posisi khusus ketika dikaitkan dengan globalisasi,
dimana media berlaku sebagai objek dan juga sebagai agen dari proses
globalisasi. Globalisasi memungkinkan terjadinya internasionalisasi
kepemilikan media dan konten yang mengalir melalui berbagai saluran media.
Kemajuan teknologi komunikasi yang menandai terjadinya globalisasi semakin
mempermudah penyebaran konten-konten media. Dunia yang seakan menjadi
tanpa batas (borderless) memudahkan terjadinya akses dan pertukaran
informasi di antara orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Media menjadi
instrumen utama yang membantu penyebaran produk-produk budaya yang
diwujudkan dalam konten-konten media.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konten media merupakan
bagian dari produk budaya. Maka, ketika konten media suatu negara tersebar
ke negara lain, dapat dikatakan bahwa budaya negara asal (penghasil konten
media) juga tersebar ke negara penerima dan dikonsumsi oleh massa di negara
tersebut (mass society). Akibatnya, muncullah budaya populer yang melanda
berbagai negara. Budaya populer merupakan budaya yang disukai oleh banyak
orang, terutama kaum muda. Hal inilah yang terjadi pada budaya populer
Korea. Fenomena Korean wave yang melanda dunia merupakan jasa dari
media yang berkontribusi tinggi dalam menyebarkan produk-produk budaya
Korea sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat di berbagai belahan dunia.
2. Korean Wave: Marketing of the Culture
Korean wave atau Hallyu merupakan istilah yang digunakan untuk
menjelaskan fenomena budaya populer Korea yang dalam beberapa tahun
terakhir berkembang dengan sangat pesat dan menginvasi negara-negara lain di
berbagai belahan dunia. Korean wave sendiri sebenarnya merupakan bentuk
pemasaran budaya (marketing of the culture) yang dilakukan oleh Korea
Selatan. Pemerintah Korea memiliki gagasan untuk mengembangkan industri
budaya dengan mendorong produksi media sebagai industri strategis karena
potensinya yang sangat besar untuk ekonomi nasional. Yuswohadi (2011),
seorang pakar pemasaran di Indonesia, menyatakan bahwa fenomena Korean
9
wave ini dapat pula disebut sebagai marketing of the nation atau memasarkan
negara karena budaya digunakan untuk mempromosikan negara sehingga
terjadi peningkatan citra negara yang positif, yang pada akhirnya dapat
berujung pada keuntungan ekonomi.
Tiga konten media Korea yang menduduki peringkat teratas sebagai
penghasil keuntungan terbesar dalam Korean wave adalah serial drama, disusul
oleh musik kemudian film (Shin, 2006). Berdasarkan data Kementerian
Budaya, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan, pada 2001 Korea Selatan
mengekspor program tayangan (broadcast programs) ke negara-negara di
Asia, dimana sebesar US$ 7.945.000 atau 64,3% merupakan drama televisi
yang terdiri dari 9.515 program (Kim, 2005: 186). Kesuksesan serial drama
Korea kemudian membuka jalan bagi industri film dan musik Korea untuk ikut
memperluas jangkauannya ke negara-negara lain. Industri perfilman Korea
mengalami kesuksesan yang ditandai oleh ekspor 164 film dengan perolehan
pendapatan sebesar US$ 30.979.000 pada 2003 dan saat ini Korea merupakan
pasar film terbesar ketujuh di dunia (Shim, 2006: 34). Kesuksesan industri
musik Korea juga dapat dilihat dari data bahwa pada tahun 2002 Korea Selatan
merupakan pasar musik terbesar kedua di Asia dengan penjualan album
mencapai US$ 300 juta per tahun (Shim, 2006: 37).
Seiring dengan kesuksesan produk-produk budaya dan meningkatnya
citra negara Korea, produk-produk industri atau manufaktur Korea menjadi
semakin dikenal dan mendapatkan pengakuan dari masyarakat dunia. Banyak
perusahaan Korea yang kemudian menyusun strategi pemasaran dengan
menggunakan bantuan produk-produk budaya Korea, yang kemudian disebut
dengan istilah “Bussiness Hallyu” atau “Hallyu Marketing” (Lee, 2012).
Strategi ini dilakukan karena adanya kecenderungan bahwa generasi baru dari
konsumen budaya populer Korea mulai diklasifikasikan sebagai “fanatik”,
yang secara agresif mengadopsi dan meniru gaya hidup Korea, mulai dari gaya
berpakaian, makanan, teknologi, bahkan operasi plastik. Banyak pula
konsumen yang kemudian tertarik untuk mempelajari bahasa Korea serta
berwisata ke Korea untuk mengunjungi tempat-tempat yang pernah mereka
10
lihat dalam konten media Korea. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh
Yuswohadi (2011) bahwa derajat tertinggi dalam pemasaran adalah ketika
sudah mencapai level menjual budaya. Ketika konsumen sudah terasuki oleh
budaya (nilai-nilai, perilaku, dan gaya hidup) Korea, maka mereka cenderung
akan menjadi “Korea-sentris”. Mereka tidak hanya menyukai dan
mengonsumsi produk-produk budaya Korea, tetapi juga menyukai dan
mengonsumsi produk-produk lain yang berkaitan dengan Korea.
Samsung Economic Research Institute mengadakan penelitian khusus
pada tahun 2005 tentang efek ekonomi dari Korean wave yang berjudul “The
Korean Wave Sweeps the Globe” (Cho, 2005: 169). Laporan ini
mengklasifikasi negara-negara pengimpor budaya populer Korea ke dalam
empat tahap, berdasarkan pola konsumsi masyarakatnya atas produk-produk
budaya Korea. Tahap pertama, hanya menikmati budaya populer Korea.
Kedua, melibatkan pembelian produk-produk yang terkait dengan budaya
populer Korea seperti poster, character items, dan tur. Ketiga, terjadinya
pembelian produk-produk berlabel “Made in Korea” atau dengan kata lain
segala produk yang berasal dari Korea. Tahap keempat, mencerminkan
perkembangan preferensi umum untuk budaya Korea itu sendiri.
Di Indonesia, Korean wave masuk pada tahun 2000-an. Dua drama
pertama yang ditayangkan oleh stasiun televisi Indonesia adalah Endless Love
dan Winter Sonata yang ternyata mampu mendapatkan respon yang sangat
positif dari masyarakat Indonesia. Sejak saat itu, semakin banyak serial drama
Korea yang masuk ke Indonesia. Setelah keberhasilan serial drama Korea di
Indonesia, musik dan film Korea kemudian mulai mendapatkan perhatian juga
dari masyarakat Indonesia. Keberhasilan musik Korea dibuktikan dengan
banyaknya konser penyanyi-penyanyi Korea yang diadakan di Indonesia dan
selalu menarik jumlah penonton yang besar. Film Korea juga sudah mulai
masuk ke beberapa bioskop yang ada di Indonesia, dimana sebelumnya
bioskop Indonesia hanya diisi oleh film-film Indonesia dan Hollywood.
Keberhasilan Korean wave di Indonesia menjadikan negara ini
sebagai pasar potensial bagi perusahaan-perusahaan manufaktur Korea. Nama
11
dan citra negara Korea yang semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia turut
membuat mereka mengenal dan menyadari keberadaan produk-produk Korea.
Masyarakat Indonesia, terutama yang mengonsumsi konten media Korea, juga
melihat dan mengetahui tentang produk-produk tersebut yang seringkali
dipasarkan melalui konten media Korea, baik secara sadar ataupun tidak.
Angka penjualan produk-produk Korea di Indonesia mengalami peningkatan,
begitu pula dengan angka impor Indonesia terhadap barang-barang Korea, serta
nilai investasi Korea di Indonesia. Laporan tahunan Korean Trade-Investment
Promotion Agency (KOTRA) menyatakan bahwa investor mulai melihat pasar
domestik Indonesia sebagai bisnis potensial dengan adanya fenomena Korean
wave (Lee, 2012). KOTRA juga menyatakan bahwa Korean wave di Indonesia
menyebabkan konsumen lokal menjadi tertarik pada gaya hidup Korea.
Dengan data-data yang ditampilkan di atas, dapat terlihat bahwa
produk budaya Korea yang masuk ke Indonesia melalui konten media
mendapatkan respon positif dan cukup banyak dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia. Di sisi lain, produk-produk industri atau manufaktur Korea yang ada
di Indonesia juga semakin banyak dan mengalami peningkatan penjualan yang
signifikan. Untuk itu peneliti ingin melihat apakah konsumsi konten media
Korea yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia turut mempengaruhi
konsumsi mereka pada produk-produk Korea.
3. Kajian Efek Media
Media dianggap sebagai instrumen yang memiliki kekuatan sangat
besar dan dapat menimbulkan efek yang signifikan dalam kehidupan manusia.
Efek media merupakan konsekuensi yang terjadi akibat penggunaan media,
baik diharapkan atau tidak. Efek media ini juga dapat terjadi dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Kajian mengenai efek media telah
berlangsung sejak lama dan mengalami banyak perkembangan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang terjadi seiring perkembangan zaman.
Donald K. Robert (dalam Ardianto dan Erdinaya, 2005: 48)
menyatakan bahwa “efek hanyalah perubahan perilaku manusia setelah diterpa
12
pesan media”. Oleh sebab itu, efek pasti berkaitan dengan pesan yang
disampaikan oleh media, yang dalam hal ini merupakan konten media.
Pembahasan mengenai efek media tentunya tidak dapat dilakukan tanpa
mengaitkannya dengan audiens sebagai pihak yang menerima efek tersebut.
Penjelasan ini didukung oleh pernyataan McQuail (2010: 468) bahwa semua
efek media harus dimulai dengan perhatian, atau ‘exposure’ pada pesan media
yang dilakukan oleh individu. Menurut McQuail (2010: 463), efek media dapat
terjadi pada beberapa tingkat (level of occurence) di dalam kehidupan sosial,
antara lain tingkat individu, kelompok atau organisasi, lembaga sosial,
masyarakat nasional, dan budaya. Sedangkan dimensi efek media meliputi efek
kognitif (pengetahuan, pikiran, dan opini), efek afektif (emosi, perasaan, dan
sikap), dan efek behavioral (perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu).
Efek dari penggunaan media dan konsumsi konten media yang terjadi
dapat berbeda antara satu orang dengan orang lainnya, bahkan dengan konten
media yang sama. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor lain di luar konten
media yang dapat mempengaruhi terjadinya efek pada audiens, termasuk
audiens itu sendiri. Gagasan ini memperkuat dugaan bahwa efek media tidak
sepenuhnya ditentukan oleh komunikator atau pengirim pesan yang dalam hal
ini adalah produsen konten media, tetapi juga ditentukan oleh audiens sebagai
penerima pesan. Bahkan dalam beberapa kasus, efek media terjadi karena
adanya interaksi antara pengirim dan penerima pesan. Salah satu gagasan yang
mendukung perbedaan efek media pada tiap individu adalah pendekatan milik
DeFleur dan Ball-Rokeach tentang perbedaan individu (individual differences).
“Perspektif perbedaan individu menunjukkan bahwa pesan media
mengandung atribut stimulus tertentu yang memiliki interaksi berbeda
dengan karakteristik kepribadian audiens. Karena terdapat perbedaan
individu dalam karakteristik kepribadian di antara audiens, maka wajar
untuk berasumsi bahwa akan ada variasi dalam hal efek sesuai dengan
perbedaan-perbedaan individu tersebut” (DeFleur dan Ball-Rokeach
dalam Bittner, 1986: 402)
13
Teori yang dianggap paling tepat dalam membahas efek media, tetapi
tetap memperhatikan perbedaan individu adalah teori S-O-R (stimulus-
organism-response). Teori ini merupakan modifikasi dari teori S-R (stimulus-
response) dengan menekankan pada pentingnya faktor manusia. Hal ini
ditandai dengan istilah organism yang menengahi antara stimulus dan respons
(Ball-Rokeach dalam Miller, 2002: 238). Teori S-O-R mengusung gagasan
bahwa manusia memiliki peran yang sangat penting dalam hal penerimaan
stimulus dan pembentukan respon. Dalam teori ini terdapat tiga elemen, yaitu:
a. Stimulus (S)
Yang dimaksud dengan stimulus adalah pengaruh eksternal yang
dapat memberikan rangsangan pada individu yang berperan sebagai
komunikan sehingga pada akhirnya komunikan memberikan respon
terhadap stimulus tersebut.
b. Organism (O)
Dalam teori S-O-R, komunikan dianggap sebagai pihak yang
dikenai stimulus, yang kemudian akan menginterpretasikan pesan tersebut
dan pada akhirnya akan memberikan reaksi sebagai respon dari stimulus
yang diterimanya. Dalam proses pembentukan reaksi atau respon yang
berupa perubahan sikap, terdapat tiga variabel penting yang menunjang
proses tersebut, yaitu perhatian, pengertian, dan penerimaan (Hovland
dalam Sendjaja, 2004: 5.15).
c. Response (R)
Dalam teori ini, efek yang muncul merupakan reaksi atau respon
yang bersifat khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat
mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi
komunikan (Effendy, 2003: 254). Respon tersebut dapat berupa perubahan
cara pandang, sikap, maupun perilaku individu terhadap suatu hal.
Stimulus yang diberikan kepada organisme/komunikan dapat diterima
atau ditolak. Jika stimulus diterima, berarti stimulus tersebut efektif, dan
sekaligus menunjukkan bahwa ada perhatian dari organisme. Selanjutnya,
14
terjadi proses pengertian dan penerimaan stimulus tersebut dari organisme
sehingga kemudian terbentuk respon tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa
suatu proses komunikasi akan berlangsung secara efektif, bila ada perhatian,
pengertian, dan penerimaan dari organisme (Hovland dalam Sendjaja, 2004:
5.15). Maka, dapat dikatakan pula bahwa elemen-elemen organisme digunakan
untuk menilai efektivitas dari stimulus.
Teori ini juga menyatakan bahwa terbentuknya respon yang berupa
perubahan sikap dapat terjadi jika stimulus yang menerpa organisme kontinu
dan gencar. Dengan kata lain, faktor penguatan (reinforcement) memegang
peranan yang sangat penting. Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa efek
media yang terjadi ditentukan oleh penerima pesan, yaitu audiens yang
mengonsumsi konten media Korea, yang dipengaruhi oleh perilaku mereka
ketika mengonsumsi konten media. Sedangkan, efek yang diperkirakan terjadi
berkaitan dengan minat audiens tersebut untuk mengonsumsi produk Korea.
4. Audiens sebagai Konsumen
Istilah audiens diperkenalkan oleh pelopor di bidang studi media dan
digunakan sebagai bentuk jamak untuk penerima (receiver) dalam proses
komunikasi massa (McQuail, 2010: 398). Audiens adalah orang yang
dijangkau—atau target (kelompok penerima) yang diharapkan untuk
terjangkau—oleh konten media atau saluran media tertentu. Masyarakat
merangsang media untuk menyediakan konten yang cocok bagi masyarakat,
atau media menarik masyarakat pada konten yang ditawarkan oleh media.
Gagasan pertama berpendapat bahwa media merespon kebutuhan masyarakat
pada konten media. Gagasan kedua memandang bahwa audiens diciptakan oleh
media, dimana audiens tercipta karena adanya teknologi baru di bidang media
atau mereka tertarik pada saluran media tertentu. Maka, dapat dikatakan bahwa
audiens bersifat dualitas karena ia merupakan produk (terbentuk) dari konteks
sosial sekaligus sebagai respon terhadap pola tertentu dari media.
McQuail (2010: 408) memberikan tipologi tentang bentuk audiens
(bagaimana audiens terbentuk), dengan menggunakan pembeda: (1) antara
15
kebutuhan yang diciptakan masyarakat dan yang diciptakan media, (2) antara
tingkatan dimana proses pembentukan audiens terjadi, yaitu makro dan mikro.
Source
Society Media
Level Macro Social group or public Medium audience
Micro Gratification set Channel or content audience
Gambar 1.1 – A Typology of Media Audience Formation
Sumber: McQuail (2010: 408)
Dalam penelitian ini, tipe audiens yang diteliti adalah audiens yang
terbentuk berdasarkan saluran atau konten (audience as defined by channel or
content). Audiens ini khususnya terbentuk berdasarkan konten media Korea,
dimana dalam penelitian ini konten tersebut adalah serial drama, musik, dan
film Korea. Audiens dari konten media Korea di Indonesia bukan tercipta
karena adanya kesamaan karakteristik sosial dan budaya di lingkungan
masyarakat, melainkan karena media Korea telah berhasil menarik mereka
untuk mengonsumsi konten yang ditawarkan. Konsep audiens yang terbentuk
berdasarkan konten media juga sejalan dengan gagasan audiens sebagai pasar
(market), dimana audiens dianggap sebagai sekumpulan konsumen dari produk
media tertentu. Konsep audiens sebagai pasar lebih berfokus pada konsumsi
media yang dilakukan audiens daripada penerimaan pesan oleh audiens.
Hall (dalam Setiowati, 2008: 542) mengkategorikan audiens ke dalam
tiga tipe, dimana masing-masing audiens menginterpretasi teks media (konten
media) dengan cara berbeda.
a. Dominant (preferred) reader, merupakan audiens yang menerima secara
penuh konten media yang ditawarkan beserta hal-hal yang membentuknya.
b. Negotiated reader, merupakan audiens yang moderat, dimana ia tidak
sepenuhnya menerima konten media yang ditawarkan dan masih dapat
mempertanyakan beberapa hal di balik konten media tersebut.
16
c. Oppositional reader, merupakan audiens yang menolak sepenuhnya konten
media yang ditawarkan beserta hal-hal yang membentuknya.
Dalam penelitian ini, audiens yang akan dipetakan hanyalah audiens
dengan identitas dominant dan negotiated karena audiens inilah yang
mengonsumsi konten media Korea. Konsep audiens ini kemudian
mengarahkan pada pembahasan yang lebih jauh mengenai penggemar dan
fandom. Istilah fandom merujuk pada sekumpulan penggemar dan pengikut
yang setia terhadap objek afeksi, dalam hal ini dapat berupa artis atau
selebritis, pertunjukan (misal: genre musik atau film tertentu), atau media itu
sendiri (seperti istilah “movie-goers” atau penggemar film). Istilah fandom juga
didefinisikan sebagai sesuatu yang kolektif, dimana penggemar berbagi
perasaan dan ketertarikan yang sama terhadap suatu objek. Mereka biasanya
diidentifikasikan dengan keterikatan yang kuat, bahkan terkadang obsesif,
terhadap objek afeksinya (McQuail, 2010: 412). Menjadi penggemar juga
umumnya melibatkan pola perilaku tambahan, misalnya dalam hal berpakaian,
berbicara, penggunaan media, konsumsi produk, dan sebagainya.
Studi media dan studi pemasaran memiliki kesamaan perhatian dalam
proses komunikasi, tetapi dengan sudut pandang yang berbeda. Studi media
melihat penerima sebagai audiens dari informasi yang disebarluaskan oleh
media. Sedangkan, studi pemasaran memandang penerima sebagai konsumen
dari produk media sekaligus target dari pesan iklan, atau konsumen potensial
bagi sebuah produk dan jasa. Terkait dengan konsep audiens sebagai pasar,
disini audiens dianggap memiliki nilai ekonomi sehingga dijadikan komoditas
yang dijual oleh media kepada pengiklan. Dalam memandang iklan, audiens
menjalankan dua peran konsumen, yaitu audiens sebagai konsumen media dan
audiens sebagai konsumen produk. Audiens sebagai konsumen media
dipandang dari sudut aktivitas bermedia oleh individu, terkait dengan
pemilihan media, frekuensi dan intensitas penggunaan media, serta perolehan
terpaan dari konten media yang diakses (Puustinen, 2006: 13). Sedangkan,
audiens sebagai konsumen produk dipahami sebagai sekumpulan individu
17
dengan profil sosio-ekonomi yang bisa diketahui untuk sasaran komunikasi
pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan (Puustinen, 2006: 11).
Kedua peran tersebut saling berkaitan dan berhubungan sehingga
memungkinkan terjadinya kerja sama antara institusi media dengan perusahaan
produsen barang dan jasa. Media berperan sebagai mitra bagi perusahaan untuk
memasarkan produk dan jasa, sekaligus sebagai tempat pertemuan antara
produk yang ditawarkan dengan minat audiens. Sebagai imbalannya,
perusahaan membayarkan sejumlah uang kepada media yang dapat digunakan
untuk mempertahankan dan mengembangkan institusi media tersebut, termasuk
dalam hal pengembangan konten media. Selain itu, peran audiens sebagai
konsumen media dan konsumen produk juga dapat membantu perusahaan
dalam hal memahami perilaku konsumen yang berguna untuk menentukan
strategi komunikasi pemasaran yang tepat.
Konsep audiens sebagai konsumen berkaitan dengan konsep
kelompok penggemar (fandom). Penggemar merupakan contoh nyata bahwa
selain berperan sebagai konsumen media atau konten media, mereka juga
berperan sebagai konsumen produk, terutama produk-produk yang
berhubungan dengan objek afeksinya (objek yang digemari). Konsep ini
semakin menguat dalam kasus budaya populer, dimana budaya populer
dianggap sebagai penyebab semakin maraknya konsumerisme karena di dalam
budaya populer tersembunyi kepentingan-kepentingan kaum kapitalis yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Konsumerisme
merupakan suatu pola pikir dan tindakan, dimana seseorang mengonsumsi
suatu produk dan jasa bukan lagi berdasarkan pada nilai gunanya (exchange
value), melainkan berdasarkan pada nilai-nilai simbolis (symbolic value) dari
produk dan jasa tersebut. Dengan kata lain, masyarakat cenderung membeli
dan mengonsumsi produk yang sesungguhnya tidak dibutuhkan hanya karena
produk tersebut dapat memperkuat eksistensi dan identitasnya di dunia sosial.
Pembahasan audiens menjadi sangat penting karena penelitian ini
berada dalam ranah efek media. Hampir setiap studi mengenai efek media juga
menjadi studi mengenai audiens, dimana audiens dikonseptualisasikan sebagai
18
subjek yang terkena pengaruh atau dampak dari media. Korean wave
merupakan salah satu budaya populer yang saat ini sedang melanda dunia.
Fenomena ini membuka peluang bagi pertumbuhan ekonomi Korea sehingga
selain memasukkan produk-produk budayanya dalam bentuk konten media,
Korea juga membawa berbagai macam produk industri ke negara-negara yang
dilanda fenomena Korean wave. Hal ini memungkinkan audiens dari konten
media Korea turut menjadi audiens dari produk-produk industri Korea dan
akhirnya terlibat dalam kegiatan konsumsi produk-produk tersebut.
5. Sikap (Attitude)
Sikap (attitude) merupakan evaluasi seseorang terhadap suatu objek.
Sikap seringkali didefinisikan dalam kecenderungan untuk menyukai atau tidak
menyukai, dengan kata lain sikap adalah evaluasi apakah suatu objek disukai
atau tidak disukai. Sikap merupakan evaluasi, perasaan emosional, dan
kecenderungan tindakan yang bertahan lama dari seseorang terhadap suatu
objek. Sikap sendiri dapat diarahkan ke suatu objek yang teridentifikasi dalam
lingkungan seperti benda, orang, isu, ide, dan lain-lain. Segala hal yang
menjadi objek dari sikap disebut sebagai objek sikap atau attitude object (Ao).
Melalui sikap, pemasar dapat mengetahui motif konsumen dalam
bertindak. Mempelajari sentralitas sikap terhadap individu dan orang lain yang
memiliki karakteristik serupa bermanfaat bagi pemasar dalam merancang
strategi komunikasi pemasaran yang tepat sasaran, walaupun dengan segmen
yang berbeda, dalam waktu bersamaan. Dalam penelitian ini, strategi yang
dilakukan oleh perusahaan Korea sebagai pemasar adalah dengan
mengasosiasikan produknya dengan sebuah kelompok atau peristiwa. Berbagai
kelompok atau peristiwa nasional dan internasional seringkali menumbuhkan
sikap positif konsumen terhadap kelompok atau peristiwa tersebut.
Kelompok atau peristiwa ini kemudian dimanfaatkan oleh produsen
atau pemasar untuk membangun sikap positif konsumen terhadap produknya
juga. Produsen ingin membangun asosiasi sikap antara produknya dengan
kelompok atau peristiwa penting yang ada, dengan cara menghubungkan
19
keduanya. Hal inilah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Korea.
Mereka mengasosiasikan produk-produknya dengan fenomena Korean wave,
dan beberapa bahkan lebih spesifik lagi mengasosiasikan produknya dengan
selebriti Korea yang terkenal dan mendapat sikap positif dari masyarakat.
Masyarakat yang memiliki sikap positif terhadap fenomena Korean wave dan
orang atau kelompok yang terlibat di dalamnya, akan cenderung memiliki
sikap positif pula terhadap produk yang diasosiasikan dengannya.
Solomon (2011: 283) memaparkan bahwa terdapat tiga komponen
yang dapat digunakan untuk mengetahui sikap seseorang. Solomon
menggunakan istilah model ABC (ABC model of attitudes), atau sering juga
disebut dengan istilah tri-component attitude model, terdiri dari:
a. Affect (Afektif)
Komponen afektif menggambarkan emosi atau perasaan konsumen tentang
suatu objek sikap (Ao). Emosi dan perasaan seringkali menunjukkan
evaluasi secara natural.
b. Behavior (Behavioral atau Conative)
Komponen behavioral menggambarkan kecenderungan seseorang untuk
melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan objek sikap (Ao). Dapat
diartikan juga sebagai maksud atau niat (intention) seseorang untuk
melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek sikap (Ao) hingga perilaku
yang sesungguhnya terjadi (actual behavior).
c. Cognition (Kognitif)
Komponen kognitif menggambarkan pengetahuan dan persepsi konsumen
terhadap objek sikap (Ao), yang didapat dari kombinasi pengalaman
langsung dan informasi dari berbagai sumber. Pengetahuan dan persepsi
tersebut akan membentuk keyakinan (beliefs).
Untuk mengetahui sikap seseorang, peneliti tidak boleh hanya
mendasarkan pada salah satu komponen saja karena komponen-komponen
tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Setiap komponen memiliki
dampak masing-masing dan urutan kemunculannya dapat berbeda tergantung
20
pada situasi. Urutan kemunculan komponen-komponen ini dibagi ke dalam tiga
kategori yang disebut Solomon sebagai hirarki efek (hierarchies of effects).
Setiap hirarki menunjukkan urutan tetap langkah-langkah yang dapat terjadi
dalam perjalanan menentukan sikap.
Gambar 1.2 – Hierarchies of Effects
Sumber: Solomon (2011: 283)
Penelitian ini akan menggunakan konsep standard-learning hierarchy.
Awalnya, seseorang membentuk kepercayaan yang berdasarkan pada
pengetahuan dan persepsi mengenai produk. Kemudian, ia mengevaluasi
kepercayaan tersebut dan membentuk perasaan mengenai produk. Dan
akhirnya, ia akan terlibat dalam perilaku yang relevan dengan komponen
kognitif dan afektif. Dengan kata lain, seseorang akan mengalami langkah
kognitif dan afektif terlebih dahulu sebelum sampai pada tahap behavioral.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa komponen perilaku
(behavioral) merujuk pada intensi atau niat untuk melakukan aksi, dimana
intensi ini tidak selalu harus berujung pada aksi yang sesungguhnya. Dalam
penelitian ini, komponen behavioral merujuk pada intensi (niat) yang berupa
minat atau keinginan responden untuk mengonsumsi produk Korea, tidak
sampai pada pembelian nyata produk Korea tersebut. Selain itu, model ABC
dalam konsep sikap juga sejalan dengan dimensi dari efek media seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Dengan demikian, dalam penelitian ini konsep
21
sikap (attitudes) dapat digunakan untuk mengukur atau memetakan minat
mengonsumsi produk Korea dari responden.
G. KERANGKA KONSEP
Penelitian ini berada dalam ranah efek media yang bertujuan untuk
mengetahui konsumsi konten media Korea dan pengaruhnya terhadap minat
mengonsumsi produk Korea di kalangan perempuan muda Indonesia. Pemilihan
perempuan sebagai subjek penelitian (responden) disebabkan oleh asumsi bahwa
konsumen utama dari konten media Korea adalah perempuan. Begitu pula dengan
pemilihan rentang usia pemuda yang didasarkan pada pertimbangan bahwa
pemuda merupakan konsumen utama dari suatu budaya populer. Di sini, peneliti
menggunakan rentang usia pemuda (youth) yang didefinisikan oleh PBB (United
Nations), yaitu 15 – 24 tahun (http://www.unesco.org/new/en/social-and-human-
sciences/themes/youth/youth-definition/, diakses pada 10 Juli 2013). Penjelasan
mengenai perempuan muda Indonesia sebagai subjek penelitian ini akan
dipaparkan lebih lanjut dalam Bab III.
Peneliti menggunakan teori S-O-R sebagai dasar untuk memetakan
fenomena ini. Peneliti mengasumsikan bahwa perilaku audiens dalam
mengonsumsi konten media Korea merupakan faktor yang mempengaruhi minat
mereka untuk mengonsumsi produk Korea. Maka, perilaku konsumsi konten
media Korea ini akan diturunkan ke dalam konsep stimulus dan organisme. Di
sini yang berperan sebagai stimulus adalah eksposur konten media Korea yang
diukur berdasarkan kuantitas konten media Korea yang dikonsumsi oleh audiens.
Pada dasarnya, konten media Korea mengandung pesan-pesan, yang jika
dikonsumsi dapat menimbulkan efek tertentu pada audiensnya. Oleh karena itu,
eksposur yang diterima audiens melalui konten media Korea yang dikonsumsinya
dapat dijadikan sebagai stimulus yang akan mempengaruhi terjadinya efek
tersebut. Konten media Korea yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan
produk budaya Korea yang didistribusikan ke berbagai negara dan dibatasi hanya
pada tiga konten media terpopuler, yaitu serial drama, musik, dan film.
22
Organisme dalam penelitian ini adalah perempuan muda Indonesia,
dimana yang menjadi fokusnya adalah perilakunya ketika mengonsumsi konten
media Korea yang diukur berdasarkan perhatian, pengertian, dan penerimaan
terhadap konten media Korea tersebut. Ketiga proses ini selanjutnya akan disebut
dengan istilah intensitas atau keterlibatan dalam mengonsumsi konten media
Korea. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa stimulus dapat diterima
atau ditolak, yang berimplikasi pada efektivitas stimulus tersebut untuk
mempengaruhi terbentuknya respon tertentu. Di sini, organisme memiliki peran
untuk menilai efektivitas tersebut.
Dalam penelitian ini, stimulusnya berupa eksposur konten media Korea
yang diukur berdasarkan kuantitas konten media Korea yang dikonsumsi. Hal ini
mengindikasikan bahwa stimulus diterima karena konten media telah dikonsumsi
oleh audiens. Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa ada perhatian,
pengertian, dan penerimaan dari audiens terhadap konten media Korea tersebut
yang nantinya akan diteliti lebih jauh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
konsep stimulus dan organisme dalam penelitian ini dapat digunakan karena
sesuai dengan landasan teori.
Sementara itu, yang berperan sebagai respon adalah minat mengonsumsi
produk Korea sebagai efek dari perilaku konsumsi konten media Korea. Respon
ini akan diukur dengan menggunakan konsep sikap (attitude) konsumen yang
dirumuskan oleh Solomon melalui model ABC, yang terdiri dari komponen
kognitif, afektif, dan behavioral. Dalam penelitian ini, minat mengonsumsi produk
Korea dikategorikan masuk ke dalam komponen behavioral atau konatif.
Meskipun minat mengonsumsi masih terbatas pada maksud atau niat dan belum
sampai pada tahap pembelian produk, hal ini sudah dapat dikategorikan ke dalam
komponen behavioral. Produk Korea dalam penelitian ini tidak akan dikhususkan
pada satu produk tertentu. Namun, peneliti mengkategorikan produk-produk
Korea yang dianggap paling banyak disadari atau diketahui oleh masyarakat
Indonesia, khususnya audiens konten media Korea, antara lain: elektronik,
otomotif, kosmetik, fashion, serta foods & beverages (makanan dan minuman).
23
Gambar 1.3 – Kerangka Konsep Penelitian
Gambar di atas menunjukkan bahwa dalam penelitian ini terdapat tiga
jenis variabel. Variabel pertama adalah eksposur konten media Korea, yang
berperan sebagai variabel bebas (independen). Variabel kedua adalah intensitas
mengonsumsi konten media Korea yang berperan sebagai organisme. Berdasarkan
teori S-O-R, organisme berperan sebagai penengah antara stimulus dan respon.
Maka, variabel intensitas mengonsumsi konten media Korea di sini berperan
sebagai variabel antara. Variabel ketiga adalah minat mengonsumsi produk Korea
yang berperan sebagai variabel terikat (dependen). Untuk lebih mengetahui
variabel-variabel dari gambar kerangka konsep di atas akan dijelaskan dalam tabel
operasionalisasi konsep berikut ini:
STIMULUS
Eksposur konten
media Korea
ORGANISM
Intensitas
mengonsumsi konten
media Korea
RESPONSE
Minat mengonsumsi
produk Korea
24
Tabel 1.1
Operasionalisasi Konsep
Konsep Variabel Dimensi Indikator Skala
Stimulus Eksposur konten media
Korea
Serial drama kuantitas serial drama
yang telah ditonton Ordinal
Musik
kuantitas penyanyi
yang didengarkan
kuantitas album
musik yang dimiliki
kuantitas video musik
yang telah ditonton
Ordinal
Film kuantitas film yang
telah ditonton Ordinal
Organism Intensitas mengonsumsi
konten media Korea
Perhatian
atensi responden
ketika mengonsumsi
konten media Korea
Interval
Pengertian persepsi responden
ketika mengonsumsi Interval
25
konten media Korea
Penerimaan
penerimaan responden
terhadap konten
media Korea
Interval
Response Minat mengonsumsi
produk Korea
Kognitif
pengetahuan tentang
produk Korea
persepsi tentang
produk Korea
kepercayaan
responden terhadap
produk Korea
Ordinal dan Interval
Afektif
perasaan responden
terhadap produk
Korea
Interval
Behavioral
minat responden
untuk mengonsumsi
produk Korea
Interval
26
H. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional merupakan pemberian arti dari konsep-konsep yang
dipakai dengan memberikan peluang untuk pengukuran dan kategorisasi agar
dapat dibandingkan. Definisi operasional variabel berfungsi untuk membantu
peneliti dalam memperjelas data yang dicari dan membantu orang lain mengerti
maksud konsep yang akan peneliti pakai dalam penelitian. Dalam penelitian ini
terdapat tiga variabel yang masing-masing berperan sebagai variabel independen,
variabel antara, dan variabel dependen.
1. Variabel Eksposur Konten Media Korea
Eksposur konten media Korea berperan sebagai variabel independen
(X), yaitu variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan
pada variabel dependen. Eksposur ini akan diukur melalui kuantitas konten
media Korea yang dikonsumsi oleh audiens. Jenis konten media Korea yang
akan diteliti di sini diturunkan ke dalam tiga dimensi berdasarkan konten media
Korea terpopuler, yaitu serial drama, musik, dan film.
a. Dimensi serial drama (X1)
Dimensi ini menjelaskan serial drama Korea sebagai salah satu jenis konten
media yang dikonsumsi oleh audiens. Indikator dari dimensi ini adalah:
- kuantitas serial drama Korea yang telah ditonton.
b. Dimensi musik (X2)
Dimensi ini menjelaskan musik Korea sebagai salah satu jenis konten media
yang dikonsumsi oleh audiens. Indikator dari dimensi ini adalah:
- kuantitas penyanyi/pemusik Korea yang didengarkan;
- kuantitas album musik Korea yang dimiliki, baik album fisik maupun
album digital;
- kuantitas video musik Korea yang telah ditonton.
c. Dimensi film (X3)
Dimensi ini menjelaskan film Korea sebagai salah satu jenis konten media
yang dikonsumsi oleh audiens. Indikator dari dimensi ini adalah:
- kuantitas film Korea yang telah ditonton.
27
2. Variabel Intensitas Mengonsumsi Konten Media Korea
Intensitas mengonsumsi konten media Korea berperan sebagai
variabel antara (M), yaitu variabel yang menjadi penghubung (mediator) antara
variabel independen dan variabel dependen. Variabel antara ini sering disebut
juga dengan nama variabel intervening. Suatu variabel dapat dikatakan sebagai
variabel antara apabila dengan masuknya variabel tersebut, hubungan statistik
yang semula terjadi di antara variabel independen dan dependen menjadi
berkurang atau bahkan hilang. Dengan kata lain, hubungan yang terjadi adalah
hubungan tidak langsung melalui variabel antara tersebut. Variabel ini
diturunkan ke dalam dimensi perhatian, pengertian, dan penerimaan.
a. Dimensi perhatian (M1)
Dimensi ini menggambarkan tentang perhatian responden ketika
mengonsumsi konten media Korea. Proses perhatian membantu efisiensi
penggunaan sumber daya mental yang terbatas, yang kemudian akan
membantu kecepatan reaksi responden terhadap rangsang. Indikator dari
dimensi ini adalah:
- atensi ketika mengonsumsi konten media Korea, berupa perhatian yang
diberikan responden terhadap konten media Korea dan atribut dari
masing-masing konten media tersebut (serial drama, musik, film).
b. Dimensi pengertian (M2)
Dimensi ini menggambarkan tentang proses responden dalam memahami
pesan stimulus yang diberikan, dalam hal ini adalah konten media Korea.
Indikator dari dimensi ini adalah:
- persepsi responden ketika mengonsumsi konten media Korea, berupa
pendapat atau opini responden terhadap konten media Korea.
c. Dimensi penerimaan (M3)
Dimensi ini menggambarkan tentang penerimaan audiens terhadap pesan
atau konten media Korea. Indikator dari dimensi ini adalah:
- penerimaan responden terhadap konten media Korea, yang dijabarkan
dengan sikap gemar—dalam hal ini apakah responden merupakan
penggemar dari konten media Korea.
28
3. Variabel Minat Mengonsumsi Produk Korea
Minat mengonsumsi produk Korea berperan sebagai variabel
dependen (Y), yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen.
Variabel ini diturunkan ke dalam dimensi kognitif (cognitive), afektif (affect),
dan behavioral (behavioral/conative).
a. Dimensi kognitif (Y1)
Dimensi ini menggambarkan pengetahuan konsumen tentang produk Korea,
yang didapat dari kombinasi pengalaman langsung dan informasi dari
berbagai sumber. Pengetahuan ini nantinya akan membentuk keyakinan
(beliefs). Indikator dari dimensi adalah:
- pengetahuan tentang produk Korea dan atributnya;
- persepsi tentang produk Korea dan atributnya;
- kepercayaan responden terhadap produk Korea dan atributnya.
b. Dimensi afektif (Y2)
Dimensi ini menggambarkan emosi atau perasaan konsumen tentang produk
Korea. Indikator dari dimensi adalah:
- perasaan responden terhadap produk Korea.
c. Dimensi behavioral (Y3)
Dimensi ini menggambarkan niat atau maksud (intention) seseorang untuk
melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan produk Korea hingga
perilaku yang sesungguhnya terjadi (actual behavior). Namun, dalam
penelitian ini dimensi behavioral hanya akan dibatasi pada niat atau maksud
(intention) responden untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan
dengan produk Korea, sehingga indikator dari dimensi adalah:
- minat mengonsumsi produk Korea.
I. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan generalisasi dari
fenomena konsumsi konten media Korea dan pengaruhnya terhadap minat
mengonsumsi produk Korea yang terjadi di masyarakat Indonesia. Maka,
29
penelitian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian
explanatory. Menurut Singarimbun (2011: 5), penelitian explanatory adalah
suatu jenis penelitian yang digunakan untuk menjelaskan suatu hubungan
sebab-akibat (hubungan kausal) dengan cara mengadakan suatu pengujian
terhadap hipotesis awal. Sedangkan, metode penelitian yang akan digunakan
adalah metode penelitian survei. Menurut Singarimbun (2011: 3), penelitian
survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.
Metode survei menghasilkan informasi kuantitatif tentang opini
publik, karakter/sikap, maupun fenomena sosial. Penelitian dengan
menggunakan metode survei dilakukan dengan tujuan untuk memahami
karakteristik dari suatu populasi sehingga nantinya akan dapat menerangkan
suatu fenomena atau peristiwa sosial. Metode explanatory survey digunakan
karena penelitian ini ingin menjelaskan mengenai hubungan antara konsumsi
konten media Korea dan minat mengonsumsi produk Korea. Di sini, eksposur
konten media Korea berperan sebagai variabel bebas (independen), sedangkan
minat mengonsumsi produk Korea berperan sebagai varibel terikat (dependen),
dengan intensitas mengonsumsi konten media Korea sebagai variabel antara
(mediator).
2. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H0: Konsumsi konten media Korea tidak memiliki pengaruh yang
positif terhadap minat mengonsumsi produk Korea.
H1: Konsumsi konten media Korea memiliki pengaruh yang positif
terhadap minat mengonsumsi produk Korea.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pemilihan lokasi ini dikarenakan Daerah Istimewa Yogyakarta dianggap
sebagai “Indonesia mini”, dimana banyak penduduknya yang merupakan
30
pendatang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, sehingga hampir semua
ras dan etnis dari berbagai suku bangsa dapat ditemukan di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan mampu menggambarkan
secara general mengenai fenomena konsumsi konten media Korea dan
pengaruhnya terhadap minat mengonsumsi produk Korea. Pemilihan lokasi
penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh fakta bahwa Daerah Istimewa
Yogyakarta merupakan salah satu daerah dimana fenomena Korean wave
berkembang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dengan adanya beberapa jurusan
di perguruan tinggi yang mempelajari bahasa dan budaya Korea, munculnya
tempat-tempat kursus bahasa Korea, munculnya restoran-restoran yang khusus
menyajikan makanan Korea, banyaknya toko-toko pakaian yang terinspirasi
dari fashion Korea, serta sering diadakannya acara-acara yang berkaitan
dengan Korea dimana acara-acara ini mampu menarik banyak pengunjung
(misal: Korean Days, fanbase gathering, dan lain-lain).
4. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan individu atau segala sesuatu yang
menjadi subjek penelitian yang akan dianalisis dan sifatnya masih sangat luas.
Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah perempuan usia 15 – 24
tahun yang berdomisili di DI Yogyakarta. Domisili di sini diartikan sebagai
tempat tinggal responden saat penelitian ini dilakukan, baik yang bersifat
sementara maupun permanen. Berikut adalah tabel jumlah populasi menurut
umur dan jenis kelamin.
Tabel 1.2
Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Provinsi DI
Yogyakarta berdasarkan Sensus Penduduk 2010
Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
15 – 19 144.199 141.564 285.763
20 – 24 151.706 144.840 296.546
Sumber: http://sp2010.bps.go.id/
31
Tabel jumlah penduduk di atas sudah melingkupi penduduk yang
bermigrasi ke Yogyakarta (migrasi masuk), baik secara permanen ataupun
sementara, pada tahun diadakannya sensus penduduk (2010). Namun,
penelitian ini hanya akan menggunakan populasi yang berjenis kelamin
perempuan, maka jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 286.404 orang.
Menurut Rahayu (2008: 72), sampel adalah sebagian anggota populasi yang
dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat
mewakili populasinya. Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini
berdasarkan rumus Slovin sebagai berikut:
N
n =
1 + N (e)2
286.404
n =
1 + 286.404 (0,05) 2
286.404
n =
717,01
n = 399,44 ≈ 400
Keterangan:
n = Ukuran Sampel
N = Ukuran Populasi
e = Presentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan (batas
kesalahan) pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau
diinginkan. Dalam penelitian ini batas kesalahan adalah 5%.
Berdasarkan perhitungan di atas didapatkan sampel sebanyak 399,44
yang dibulatkan menjadi 400 orang untuk memperoleh angka genap. Maka
dapat disimpulkan bahwa sampel dari penelitian ini adalah 400 orang
perempuan usia 15 – 24 tahun di Yogyakarta.
32
5. Metode dan Teknik Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah nonprobability sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang
tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota
populasi untuk dipilih menjadi sampel. Sedangkan, teknik pengambilan sampel
yang digunakan adalah snowball sampling. Teknik ini merupakan teknik
pengambilan sampel yang digunakan ketika populasi yang akan diteliti sulit
untuk ditemukan. Dalam penelitian ini, kesulitan tersebut disebabkan oleh
syarat atau spesifikasi responden yang merupakan konsumen dari konten media
Korea, dimana spesifikasi ini tidak dapat dilihat secara kasat mata. Selain itu,
budaya pop Korea juga belum menjadi budaya yang dominan di Indonesia,
yang berarti tidak semua orang Indonesia menyukai dan mengonsumsinya.
Biasanya, konsumen konten media Korea saling berbagi informasi dan
berdiskusi dengan konsumen lainnya, serta cenderung berkumpul dengan
orang-orang yang memiliki minat sama. Teknik snowball sampling dirasa
cocok untuk digunakan karena teknik ini dilakukan secara berantai (multi-
level). Awalnya peneliti memilih beberapa sampel, kemudian sampel tersebut
dimintai partisipasinya untuk memilih atau menunjuk orang lain yang memiliki
karakteristik dan spesifikasi yang sama untuk dijadikan sampel berikutnya.
Teknik berantai ini dilakukan seterusnya hingga sampel semakin banyak dan
berhenti ketika jumlah sampel yang diinginkan peneliti telah terpenuhi. Jumlah
sampel yang awalnya sedikit kemudian semakin lama akan semakin banyak
dianalogikan seperti bola salju yang menggelinding semakin lama semakin
besar, sehingga teknik ini dinamakan dengan snowball sampling.
6. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, baik
untuk data primer maupun data sekunder, antara lain:
a. Data primer, merupakan data utama yang digunakan dalam penelitian dan
diperoleh secara langsung dari subjek penelitian. Untuk mendapatkan data
primer, peneliti menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada sampel
33
penelitian yang telah ditetapkan, yaitu 400 perempuan usia 15-24 tahun di
Yogyakarta.
b. Data sekunder, merupakan data yang menunjang penelitian dan didapatkan
dari berbagai literatur, seperti buku, jurnal, makalah, artikel, dan
sebagainya.
7. Uji Validitas dan Reliabilitas
Pada penelitian ini, metode uji validitas dilakukan terhadap 30
kuesioner awal yang terkumpul (pilot test) dengan menggunakan Pearson test,
yaitu membandingkan nilai angka rhitung dengan nilai korelasi tabel (rtabel),
dimana derajat kebebasan = n - 2. Dengan sampel 30 responden, maka
didapatkan nilai derajat kebebasan (dk) = 28. Selang kepercayaan (α)
ditentukan sebesar 5% maka didapatkan nilai dari rtabel adalah 0.239. Apabila
angka rhitung > 0.239, maka item kuesioner valid. Namun, bila angka rhitung ≤
0.239, maka item kuesioner dinyatakan tidak valid. Uji reliabilitas juga
dilakukan terhadap 30 kuesioner awal yang terkumpul. Reliabilitas adalah
kemampuan suatu instrumen menunjukkan kestabilan dan konsistensi dalam
mengukur konsep. Pengujian ini didasarkan pada nilai Cronbach Alpha,
dimana item kuesioner dinyatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha > 0.6.
Hasil uji validitas dan reliabilitas akan ditampilkan pada Bab IV.
8. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif dan analisis korelasional.
a. Analisis Deskriptif (Statistika Deskriptif)
Statistika deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan
pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan
informasi yang berguna. Statistika deskriptif hanya memberikan informasi
mengenai data yang dipunyai dan sama sekali tidak menarik kesimpulan
apapun tentang gugus induknya yang lebih besar (Kuswanto, 2012: 27).
34
Dalam penelitian ini, analisis deskriptif yang akan dilakukan dilakukan
adalah analisis frekuensi, mean, dan cross tabulation.
b. Analisis Korelasi (Pearson Correlation Test)
Menurut Gay (dalam Emzir 2007: 38), tujuan penelitian
korelasional adalah untuk menentukan hubungan antarvariabel, atau untuk
menggunakan hubungan tersebut untuk membuat prediksi. Sedangkan
menurut Suryabrata (1994: 24), tujuan penelitian korelasional adalah untuk
mendeteksi sejauh mana variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi
pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi.
Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi
antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 s/d -1.
Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan
arah hubungan dua variabel acak. Untuk memudahkan melakukan
interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel, terdapat
kriteria sebagai berikut (Sarwono, 2006: 87):
0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel
> 0 – 0,25 : Korelasi sangat lemah
> 0,25 – 0,5 : Korelasi cukup
> 0,5 – 0,75 : Korelasi kuat
> 0,75 – 0,99 : Korelasi sangat kuat
1 : Korelasi sempurna
c. Analisis Regresi
Dalam penelitian ini, analisis akan dilakukan dengan menggunakan
model regresi dengan mediator karena adanya variabel antara (intervening)
yang memediasi antara variabel independen dan variabel dependen. Analisis
ini sebenarnya merupakan perluasan dari analisis regresi linear berganda.
Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan kausalitas di antara variabel-
variabel penelitian. Terdapat dua jenis model dari hasil analisis regresi
35
dengan mediator, yaitu mediasi sempurna (complete mediation) dan mediasi
parsial (partial mediation).
Gambar 1.4 – Mediasi Sempurna
Sumber: Widhiarso (2010: 2)
Mediasi sempurna memiliki arti bahwa variabel independen (X)
tidak menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel dependen (Y),
sebaliknya variasi ini dijelaskan oleh variabel antara sebagai mediator (M).
Namun, dalam ilmu sosial kondisi ini jarang dapat dicapai karena manusia
adalah makhluk yang kompleks dan integral. Oleh sebab itu, semua atribut
cenderung selalu berkorelasi, meskipun dengan korelasinya kecil. Maka,
model mediasi sempurna ini dimodifikasi menjadi mediasi parsial, dimana
variabel independen (X) tetap memprediksi atau menjelaskan variasi yang
terjadi pada variabel dependen (Y), meskipun sedikit.
Gambar 1.5 – Mediasi Parsial
Sumber: Widhiarso (2010: 2)
Dalam regresi yang melibatkan variabel antara sebagai mediator,
terdapat tiga jenis hubungan yang masing-masing menunjukkan peranan
atau pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya. Pertama, hubungan
langsung antara variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y).
Kedua, hubungan tidak langsung, yaitu hubungan antara variabel
independen (X) dengan variabel dependen (Y) dengan adanya variabel
mediator (M). Ketiga, hubungan total yang merupakan penggabungan dari
36
hubungan langsung dan hubungan tidak langsung. Di sini, akan digunakan
analisis regresi dengan metode causal step dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
Analisis regresi antara variabel independen (X) dengan variabel
dependen (Y), nilai persamaannya dapat dinamakan sebagai jalur XY.
Analisis regresi antara variabel independen (X) dengan variabel mediator
(M), nilai persamaannya dapat dinamakan sebagai jalur XM.
Analisis regresi antara variabel independen (X) dengan variabel
dependen (Y), dengan memasukkan variabel mediator (M). Nilai
persamaan dari hubungan antara variabel mediator dan dependen dapat
disebut MY, sedangkan nilai persamaan antara variabel independen dan
dependen dapat dinamakan sebagai jalur XY’.
9. Timeline Penelitian
Tabel 1.3
Timeline Penelitian
Tanggal Kegiatan
12 – 18 September 2013 Penyebaran Uji Kuesioner
19 September 2013 Uji Validitas & Uji Reliabilitas
23 September – 25 Oktober 2013 Penyebaran Kuesioner
28 Oktober – 10 November 2013 Pengolahan Data