21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang merupakan salah satu problematika yang dihadapi komunitas internasional saat ini. Semua negara, dalam level yang berbeda-beda, dihadapkan dengan isu perdagangan orang. Dalam konteks perdagangan orang, negara dapat menjadi negara sumber, transit, tujuan, atau kombinasi dari ketiganya. Menurut UN Office on Drugs and Crime, perdagangan orang menempati posisi ketiga kejahatan internasional dengan tingkat pertumbuhan tercepat setelah perdagangan senjata dan perdagangan obat-obatan terlarang. 1 Jumlah korban perdagangan orang ini tidak dapat ditentukan secara pasti, namun diperkirakan terdapat setidaknya 2,6 juta jiwa yang terjebak dalam jaringan perdagangan orang 2 dan sedikitnya 800.000 orang tiap tahunnya diselundupkan melewati lintas batas negaranya untuk tujuan eksploitasi. 3 Jumlah ini belum termasuk jumlah perdagangan manusia yang terjadi di dalam negeri. 4 1 Sixty-seventh General Assembly Third Committee Meeting, 11 Oktober 2012, “Heinous, Fast-Growing Crimes of Human, Drug Trafficking Will Continue to Ravage World’s Economies without Coordinated Global Action, Third Committee Told,press release, diakses melalui http://www.un.org/News/Press/docs/2012/gashc4039.doc.html tanggal 1 April 2014. 2 ILO Global Alliance Against Forced Labour, 2005, Global Report under the Follow-up to The ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work 2005,International Labour Conference 93th Session 2005, Report I(B), International Labour Office, Geneva, diakses melalui: http://apflnet.ilo.org/resources/a-global-alliance-against-forced- labour/at_download/file1 tanggal 1 April 2014, para. 37 & 217. 3 United States Department of State, 12 Juni 2007, U.S. Department of State 2007 Trafficking in Persons Report, diakses melalui http://www.refworld.org/docid/467be3b823.html tanggal 1 April 2014. Angka yang dicantumkan di atas adalah berdasarkan penelitian US State Department pada tahun 2006. Angka yang didapat dari Laporan U.S. State Department dan Laporan ILO di atas merupakan data yang paling sering dikutip dalam berbagai laporan dan penelitian mengenai perdagangan orang. 4 Ibid.. Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban Perdagangan Orang yang Menolak Repatriasi JUNITA WARDANI MG Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78445/potongan/S1-2014-267102...Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, korban memiliki alasan-alasan

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdagangan orang merupakan salah satu problematika yang dihadapi

komunitas internasional saat ini. Semua negara, dalam level yang berbeda-beda,

dihadapkan dengan isu perdagangan orang. Dalam konteks perdagangan orang,

negara dapat menjadi negara sumber, transit, tujuan, atau kombinasi dari ketiganya.

Menurut UN Office on Drugs and Crime, perdagangan orang menempati posisi

ketiga kejahatan internasional dengan tingkat pertumbuhan tercepat setelah

perdagangan senjata dan perdagangan obat-obatan terlarang.1 Jumlah korban

perdagangan orang ini tidak dapat ditentukan secara pasti, namun diperkirakan

terdapat setidaknya 2,6 juta jiwa yang terjebak dalam jaringan perdagangan orang2

dan sedikitnya 800.000 orang tiap tahunnya diselundupkan melewati lintas batas

negaranya untuk tujuan eksploitasi.3 Jumlah ini belum termasuk jumlah

perdagangan manusia yang terjadi di dalam negeri.4

1Sixty-seventh General Assembly Third Committee Meeting, 11 Oktober 2012, “Heinous, Fast-Growing Crimes of Human,

Drug Trafficking Will Continue to Ravage World’s Economies without Coordinated Global Action, Third Committee Told,”

press release, diakses melalui http://www.un.org/News/Press/docs/2012/gashc4039.doc.html tanggal 1 April 2014. 2 ILO Global Alliance Against Forced Labour, 2005, “Global Report under the Follow-up to The ILO Declaration on

Fundamental Principles and Rights at Work 2005,” International Labour Conference 93th Session 2005, Report I(B),

International Labour Office, Geneva, diakses melalui: http://apflnet.ilo.org/resources/a-global-alliance-against-forced-labour/at_download/file1 tanggal 1 April 2014, para. 37 & 217. 3 United States Department of State, 12 Juni 2007, U.S. Department of State 2007 Trafficking in Persons Report, diakses

melalui http://www.refworld.org/docid/467be3b823.html tanggal 1 April 2014. Angka yang dicantumkan di atas adalah berdasarkan penelitian US State Department pada tahun 2006. Angka yang didapat

dari Laporan U.S. State Department dan Laporan ILO di atas merupakan data yang paling sering dikutip dalam berbagai

laporan dan penelitian mengenai perdagangan orang. 4 Ibid..

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

Tidak dapat dipungkiri bahwa perdagangan orang merupakan bentuk

pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Manusia diperlakukan seolah-olah barang

yang dapat diperjual-belikan dan dieksploitasi. Korban ditipu, diancam, dan

dipaksa untuk bekerja tanpa diberikan hak-haknya sebagai pekerja. Selama dalam

jeratan trafficker (pelaku tindak perdagangan orang), korban menderita ancaman

dan kekerasan baik fisik, mental, dan seksual. Banyak kasus menunjukkan bahwa

korban perdagangan sering kali dikurung di bawah tanah tanpa cahaya.5 Korban

kerap dipukuli hingga babak belur, dan lukanya tidak mendapat perawatan medis.6

Kekerasan yang dialami korban perdagangan orang ini bisa dianggap setara dengan

tindak penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman kejam, tidak manusiawi, dan

merendahkan martabat manusia lainnya.7

Solusi ideal bagi korban perdagangan orang adalah repatriasi atau pulang ke

tempat asalnya agar dapat berkumpul kembali bersama keluarga dan teman-

temannya. Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, korban memiliki alasan-alasan

yang wajar untuk menghindar pulang ke negara asalnya. Ada kalanya,

sekembalinya ke rumahnya, korban mengalami pengucilan dari masyarakat akibat

dianggap pernah terlibat dalam perdagangan orang, terutama jika korban

merupakan korban dari perdagangan orang untuk tujuan sex.8 Selain itu, korban

yang telah lama terisolasi dari dunia luar akan kesulitan memperoleh pekerjaan

5Human Rights Council, 15 Januari 2008, UN Special Rapporteur on Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (A/HRC/7/3), diakses melalui

http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/HRCouncil/RegularSession/Session22/A.HRC.22.53_English.pdf tanggal 1

April 2014, para. 53. 6 Ibid. 7 Ibid. 8 Anders Lisborg dan Sine Plambech, 2009, “Going Back Moving On: A Synthesis Report of The Trends And Experiences Of Returned Trafficking Victims in Thailand And The Philippines,” Laporan Penelitian, ILO - HSF Project: Economic and

Social Empowerment of Returned Victims of Trafficking in Thailand and the Philippines, ILO Regional Office for Asia and

the Pacific, Bangkok, Thailand, diakses melalui: http://www.ilo.org/asia/whatwedo/publications/WCMS_116030/lang--en/index.htm tanggal 20 April 2014, hlm.40.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

yang layak, mengingat kebanyakan dari mereka tidak memiliki pengetahuan dan

keterampilan cukup untuk bersaing dalam pangsa kerja.9 Akibatnya, korban justru

rentan terhadap risiko re-trafficking (diperdagangkan lagi). Dalam situasi tersebut,

repatriasi bukanlah pilihan yang aman bagi korban.

Di sisi lain, dalam hukum internasional terdapat prinsip non-refoulement yang

melarang negara untuk mengusir atau memulangkan individu asing ke negara di

mana keselamatan atau kebebasan individu tersebut terancam. Keberadaan prinsip

non-refoulement ini disebutkan secara eksplisit dalam 2000 Protocol to Prevent,

Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children,

supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized

Crime (selanjutnya Protokol Perdagangan Orang)10 yang merupakan perangkat

hukum internasional yang mengatur perihal perdagangan orang. Dalam Pasal 14

sub alinea (a) selengkapnya disebutkan bahwa:

“Nothing in this Protocol shall affect the rights, obligations and

responsibilities of States and individuals under international

human rights law and, in particular, where applicable, the 1951

Convention and the 1967 Protocol relating to the Status of

Refugees and the principle of non-refoulement as contained

therein.”

(Tidak ada dalam Protokol ini yang dapat mempengaruhi hak,

kewajiban dan tanggung jawab Negara dan individu berdasarkan

hukum internasional hak asasi manusia Internasional dan,

khususnya, di mana dapat diterapkan, Konvensi 1951 dan

Protokol 1967 mengenai Status Pengungsi dan prinsip non-

refoulement sebagaimana tercantum di dalamnya).

9 Ibid, hlm. 38. 10 2000 Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime, (Protokol Perdagangan Orang) ratifikasi dan aksesi

berdasarkan General Assembly Resolution 55/25 Annex II, U.N. GAOR, UN Doc. A/45/49 tanggal 15 November 2000,

berlaku mengikat sejak 25 Desember 2003. Sebanyak 161 Negara Pihak sampai dengan November 2014, diakses melalui http://www2.ohchr.org/english/law/protocoltraffic.htm tanggal 1 April 2014.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

Berdasarkan rumusan Pasal tersebut berarti Protokol Perdagangan Orang

mengakui dan menghormati prinsip non-refoulement. Dengan demikian, jika

kepulangan korban ke negara asalnya justru berisiko membahayakan keselamatan

jiwa atau kebebasan hak asasi korban, maka non-refoulement berlaku dan Negara

tidak dapat mengusir atau memulangkan paksa korban. Berangkat dari fakta

tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai hubungan

antara prinsip non-refoulement dan perdagangan orang dan mengkaji penerapan

prinsip non-refoulement sebagai alternatif perlindungan korban perdagangan orang

yang karena alasan tertentu menolak repatriasi atau pulang ke negara asalnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang menjadi

fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan prinsip non-

refoulement sebagai alternatif perlindungan dalam konteks korban perdagangan

orang yang menolak repatriasi atau pulang ke negara asalnya?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian hukum ini menitik-beratkan pada penerapan prinsip non-refoulement

dalam konteks korban perdagangan orang yang menolak repatriasi atau pulang ke

negara asalnya. Penulisan hukum yang mengangkat isu mengenai perdagangan

orang yang ada di Fakultas Hukum Gajah Mada hingga saat ini cenderung berfokus

pada masalah pencegahan dan proses hukum para pelaku serta perlindungan korban

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

perdagangan orang secara umum. Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian

terhadap topik non-refoulement dalam kasus perdagangan orang belum dilakukan.

Dengan demikian, penulis menyatakan bahwa penelitian ini murni merupakan hasil

karya penulis dan keasliannya tidak dapat diragukan.

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam

penelitian ini, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan prinsip

non-refoulement sebagai alternatif perlindungan dalam konteks korban

perdagangan orang yang menolak repatriasi atau pulang ke negara asalnya.

E. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang diharapkan dapat dicapai melalui penelitian ini. Manfaat

pertama, yakni manfaat obyektif, adalah agar hasil penelitian ini kiranya dapat

berkontribusi dalam pengembangan pengetahuan hukum internasional, khususnya

dalam hal upaya perlindungan korban perdagangan orang yang menolak pulang ke

negara asalnya. Manfaat kedua yang ingin dicapai adalah manfaat subyektif, yaitu

hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penulisan hukum memenuhi

syarat memperoleh gelar sarjana hukum.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

F. Tinjauan Pustaka

Protokol Perdagangan Orang yang merupakan standar internasional dalam

upaya pencegahan, pemberantasan, dan perlindungan korban perdagangan orang,

memberikan batasan definisi perdagangan orang atau trafficking in person sebagai

berikut:

a. perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan

penerimaan seseorang dengan cara:

- ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-

bentuk lain dari pemaksaan;

- penculikan;

- penipuan;

- kebohongan;

- penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan; atau

- memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh

keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari

seseorang yang berkuasa atas orang lain untuk tujuan

eksploitasi

eksploitasi termasuk paling tidak:

- eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-

bentuk lain dari eksploitasi seksual;

- kerja atau layanan paksa;

- perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan;

- penghambaan;

- pengambilan organ tubuh

b. Persetujuan korban perdagangan manusia terhadap

eksploitasi yang dimaksud dalam sub-alinea (a) ini tidak

akan relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat

dalam sub-alinea (a) digunakan;

c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau

penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi

dipandang sebagai “perdagangan manusia” sekalipun

tindakan ini tidak melibatkan satu pun cara yang

dikemukakan dalam sub-alinea (a) Pasal ini;

d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah delapan

belas tahun.11

11 Pasal 3 Protokol Perdagangan Orang.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

Berdasarkan definisi perdagangan orang tersebut di atas, maka terdapat tiga

unsur untuk menentukan apakah suatu tindak kejahatan telah memenuhi kualifikasi

tindak perdagangan orang. Ketiga unsur tersebut adalah:

1. perbuatan (way) yaitu berupa perekrutan, transportasi, pemindahan,

penempatan dan penerimaan orang.

2. Cara (means) melalui unsur ancaman atau penggunaan kekerasan atau

bentuk-bentuk paksaan lain seperti penculikan, tipu daya, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau

penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh

persetujuan dari orang-orang. Tipu daya terjadi dalam bentuk

ketidaksesuaian antara apa yang dijanjikan dan realisasinya terutama

menyangkut jenis pekerjaan dan kondisi kerja, misalnya seorang

wanita yang diiming-imingi akan dipekerjakan sebagai pembantu

rumah tangga di luar negeri, sesampainya di negara tujuan justru

dijadikan pelacur.12 Penyalahgunaan kedudukan rentan (abuse of

position of vulnerability) haruslah dimengerti sebagai sebuah situasi di

mana seseorang tidak memiliki alternatif nyata atau yang dapat

diterima, terkecuali untuk pasrah pada penyalahgunaan yang terjadi.13

3. Tujuan (purpose), yaitu untuk eksploitasi, mencakup setidak-tidaknya

-namun tidak terbatas pada- pelacuran, bentuk-bentuk eksploitasi

12Supriyadi Widodo Eddyono, 2005, Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP, ELSAM, Jakarta, diakses melalui

http://docs.perpustakaan-elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/5.pdf tanggal 1 April 2014, hlm. 8. 13 Ibid.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan

pengambilan organ tubuh.

Terkait dengan persetujuan korban, Protokol Perdagangan Orang secara jelas

menegaskan bahwa persetujuan korban tersebut tidak lagi berarti bilamana cara-

cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam definisi di atas telah

digunakan. Hal ini didasarkan bahwa secara rasional, tidak ada seorang pun yang

mau untuk diperdagangkan dan dieksploitasi dan diperlakukan semena-mena.

Korban mungkin “setuju” untuk diselundupkan dan bekerja di luar negeri misalnya

dalam bisnis prostitusi, namun hal itu tidak berarti bahwa korban setuju untuk

bekerja dalam kondisi eksploitasi yang terjadi dalam perdagangan orang.

Ketika yang menjadi korban perdagangan orang adalah seseorang yang

berumur di bawah delapan belas tahun maka korban adalah seorang anak di mata

Protokol Perdagangan Orang. Dalam kasus demikian, maka perbuatan perekrutan,

pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk

tujuan eksploitasi sudah memenuhi kualifikasi tindak perdagangan orang tanpa

perlu mempertimbangkan ada tidaknya unsur cara seperti ancaman atau

penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya,

penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau

penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari

orang-orang.

Kasus perdagangan orang sering kali disalah-fahami dengan kasus

penyelundupan orang (human smuggling). Meskipun terdapat kemiripan antara

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

praktik perdagangan orang dan penyelundupan orang, namun keduanya pada

dasarnya merupakan dua bentuk tindak kejahatan yang berbeda. Dalam

perdagangan orang terdapat unsur ancaman, paksaaan, kekerasan, atau tipu daya,

sebaliknya penyelundupan orang terjadi karena permintaan dari orang yang ingin

diselundupkan. Orang yang diselundupkan dengan suka rela membayar

penyelundup atau smuggler agar dapat masuk ke negara lain. Penyelundupan orang

hanya memiliki tahap pemindahan atau transportasi dari negara asal ke negara

tujuan. Sesampainya di negara tujuan, hubungan antara orang yang diselundupkan

dengan penyelundupnya selesai. Hal ini berbeda dengan kasus perdagangan orang

di mana korban mengalami ekploitasi di negara tujuan. Perbedaan lain adalah

perdagangan orang dapat tejadi baik secara internal dalam negeri maupun lintas

batas negara, sedangkan penyelundupan orang selalu dalam bentuk lintas batas

negara.

Masuknya orang-orang melalui jalur penyelundupan orang adalah ilegal.

Pada umumnya orang-orang yang menggunakan jasa penyelundup untuk masuk ke

negara lain mengetahui dan sadar bahwa tindakan tersebut adalah melanggar

hukum. Oleh karena itu, negara-negara pada umumnya tidak memandang mereka

sebagai korban, melainkan pelaku kejahatan dan oleh karena itu dapat dikenai

sanksi hukum, misalnya dalam bentuk deportasi. Akan tetapi, perlu digaris-bawahi

bahwa kasus penyelundupan orang dapat berubah menjadi kasus perdagangan

orang, tergantung dengan ada tidaknya unsur eksploitasi yang menjadi ciri khas

perdagangan orang sesampainya di negara tujuan. Telah disebutkan sebelumnya

bahwa persetujuan korban dalam perdagangan orang menjadi tidak relevan jika

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

cara-cara pemaksaan atau penipuan telah digunakan. Contoh kasus misalnya

seseorang setuju menggunakan dan membayar jasa penyelundup untuk masuk ke

wilayah snegara lain. Namun sesampainya di negara tujuannya, penyelundup atau

pihak lain memanfaatkan kondisi rentannya sebagai orang asing tak berdokumen

dan mengeksploitasinya. Dalam situasi tersebut maka kasus yang semula adalah

kasus penyelundupan orang biasa telah berubah menjadi kasus perdagangan orang.

Orang tersebut, terlepas dari niatnya semula untuk menyelundup masuk ke negara

lain, harus dipandang sebagai korban perdagangan orang yang berhak mendapat

perlindungan.

Di sisi lain, dalam hukum internasional dikenal prinsip non-refoulement.

Istilah refoulement berasal dari bahasa Prancis, “refouler” yang berarti memukul

mundur (to repel) atau mengembalikan (to drive back).14 Maka non-refoulement

secara sederhana dapat diartikan tidak boleh mengembalikan. Larangan terhadap

refoulement dimuat secara eksplisit dalam Pasal 33 ayat (1) 1951 Geneva

Convention Relating to the Status of Refugees (selanjutnya Konvensi Jenewa

1951)15 yang menyebutkan:

No Contracting State shall expel or return

(“refouler”) a refugee in any manner whatsoever to

the frontiers of territories where his [or her] life or

freedom would be threatened on account of his [or

her] race, religion, nationality, membership of a

particular social group or political opinion

14 Lami Bertan Tokuzlu, 2006, “Non-Refoulement Principle in a Changing European Legal Environment with Particular

Emphasis on Turkey, a Candidate Country at the External Borders of The EU.” Disertasi. Marmara Universitesi, Istambul, Turkey, diakses melalui:http://www.academia.edu/578117/ tanggal 20 April 2014, hlm. 16. 151951 Geneva Convention Relating to the Status of Refugees, 189 U.N.T.S. 150 diadopsi tanggal 28 Juli 1951, berlaku

mengikat sejak 22 April 1954, 145 Negara Pihak sampai dengan tahun 2014, dapat diakses melalui http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/ocref.htm tanggal 1 April 2014.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

(Tidak ada Negara Pihak yang boleh mengusir atau

mengembalikan (refouler) pengungsi dengan cara

apa pun ke perbatasan wilayah ketika hidup atau

kebebasannya akan terancam karena rasnya,

agamanya, kebangsaannya, keanggotaannya dalam

kelompok sosial tertentu, atau pandangan

politiknya)16

Ketentuan Pasal 33 (1) di atas mengandung konsekuensi hukum bahwa

Negara-Negara Pihak dalam Konvensi Jenewa 1951 terikat untuk tidak mengusir

atau memulangkan individu asing yang berada di wilayah teritorialnya ke negara di

mana keselamatan jiwa dan kebebasan individu yang bersangkutan terancam atas

dasar alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok tertentu, atau

opini politiknya. Penggunaan frase “....in mannner whatsoever (dengan cara apa

pun)......” dalam Pasal 33 ayat 1 Konvensi Jenewa 1951 ini menunjukan bahwa

non-refoulement berlaku pada segala bentuk pengusiran atau pemindahan paksa

(forcible removal) termasuk di dalamnya deportasi, pengusiran (expulsion),

ekstradisi, rendition, penolakan izin masuk, dan segala bentuk pengusiran atau

pengembalian paksa lainnya.

Konvensi Jenewa 1951 merupakan landasan perlindungan internasional bagi

pengungsi, maka berarti hak-hak dan kewajiban yang diatur di dalamnya, termasuk

pula prinsip non-refoulement, berlaku terhadap pengungsi dan pencari suaka.

Pengungsi menurut Konvensi 1951 adalah individu yang berada di luar wilayah

negaranya, memiliki ketakutan yang beralasan akan mengalami persekusi atau

penganiayaan, karena dasar ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok

16 Pasal 33 ayat (1) Konvensi Jenewa 195, cetak tebal oleh Penulis.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

sosial tertentu atau opini politiknya, dan individu tersebut tidak mau pulang atau

menolak pelindungan hukum dari negara asalnya. Sedangkan pencari suaka adalah

individu yang mencari suaka di negara lain. Pencari suaka mungkin adalah seorang

pengungsi sehingga prinsip non-refoulement menurut Konvensi Jenewa 1951 juga

berlaku baginya sampai status pengungsinya ditentukan. Prinsip non-refoulement

berlaku mutlak dan hanya dapat dikecualikan jika terdapat kondisi yang

menggugurkan hak individu terhadap prinsip non-refoulement sebagaimana

dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi Jenewa 1951. Ada pun pengecualian

tersebut yaitu jika individu yang bersangkutan merupakan ancaman yang serius

terhadap keamanan negara di mana ia mencari suaka atau individu tersebut telah

diputuskan oleh pengadilan untuk kejahatan yang serius, dan putusan tersebut tidak

dapat diajukan banding lagi, dan selanjutnya masih menjadi ancaman bagi

masyarakat di negara di mana ia mencari suaka.17

Kelemahan prinsip non-refoulement yang dimuat dalam Konvensi Jenewa

1951 tersebut adalah larangan refoulement dibatasi hanya untuk dasar alasan yang

diterima Konvensi yaitu karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam

kelompok tertentu, atau opini politik. Untuk kasus-kasus di mana ancaman

bahayanya dikarenakan alasan di luar yang disebutkan dalam Konvensi Jenewa

1951, Negara-Negara Pihak cenderung berpendapat bahwa perlindungan pengungsi

tidak berlaku, sehingga individu dapat dipulangkan paksa. Dalam

17Pasal 33 ayat (2) Konvensi Jenewa 1951 menyebutkan: “The benefit of [Article 33(1)] may not, however, be claimed by a

refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he [or she] is,

or who, having been convicted by a final judgement of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of

that country”

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

perkembangannya, saat ini walaupun perlindungan pengungsi berdasarkan

Konvensi Jenewa 1951 tersebut masih kaku dan terbatas pada lima dasar alasan

tersebut, negara pada umumnya mempertimbangkan alasan kemanusiaan dalam

menanggapi kasus-kasus klaim perlindungan pengungsi di luar alasan konvensi.

Prinsip non-refoulement tidak hanya ditemukan dalam hukum perlindungan

pengungsi, tetapi juga diakui dalam perangkat hukum hak asasi manusia

internasional, antara lain dalam The 1984 United Nations Convention Against

Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CaT),

1966 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan

Convention on the Rights of the Child (CRC). Hukum HAM berlaku untuk setiap

orang. Oleh karena itu maka, prinsip non-refoulement yang berkembang dalam

hukum HAM internasional berlaku untuk setiap orang dan tidak mengenal

pembatasan alasan. Hal ini berarti sepanjang hak asasi individu yang diatur dalam

perjanjian HAM tersebut dilanggar jika individu dipindahkan ke suatu negara

tertentu, maka kewajiban non-refoulement akan muncul. Dengan demikian maka

perlindungan dari refoulement dalam hukum HAM internasional cenderung bersifat

lebih luas dari hukum pengungsi.

Dalam konteks perdagangan orang, pada dasarnya korban tidak memerlukan

perlindungan internasional. Korban perdagangan orang umumnya tidak

meninggalkan negara asalnya dengan tujuan melarikan diri dan mencari

perlindungan negara lain, melainkan karena adanya unsur paksaan, kekerasan, atau

tipu daya. Dalam kasus perdagangan lintas batas negara, eksploitasi tidak terjadi di

negara asal, tetapi terjadi ketika korban berada di negara tujuan. Solusi ideal bagi

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

korban perdagangan orang adalah repatriasi atau pulang ke negara asalnya agar bisa

berkumpul lagi bersama keluarga dan teman-temannya. Terkait repatriasi korban,

Protokol Perdagangan Orang mengatur bahwa ketika negara memulangkan korban

perdagangan orang ke Negara Pihak di mana korban adalah warga negaranya atau

ke negara di mana korban memiliki domisili tetap, pemulangan tersebut harus

mempertimbangkan keselamatan korban dan status proses hukum yang tengah

berlangsung, dan sebaiknya bersifat voluntary (sukarela).18 Ketika negara

mengambil langkah untuk me-repatriasi individu yang telah diidentifikasi sebagai

korban perdagangan orang, negara tersebut harus menjalankan risk assessment

untuk menentukan apakah repatriasi korban ke negara asalnya aman atau tidak.19

Jika hasil dari risk assessment menunjukkan bahwa tidak ada alasan yang

membahayakan korban sekembalinya ke negara asalnya, masa proses repatriasi

dapat dilanjutkan.20 Jika ditemukan bahwa repatriasi korban justru dapat

membahayakan keselamatan korban, maka repatriasi hendaknya tidak dilakukan.21

Dalam kasus-kasus tertentu, terdapat kemungkinan korban perdagangan

orang mendapati dirinya dalam risiko yang membahayakan jiwa dan kebebasan hak

asasinya sekembalinya ke negara asal. Misalnya dalam kasus korban yang menjadi

saksi dalam proses hukum melawan trafficker-nya. Berkat kesaksian korban

trafficker-nya dihukum penjara. Namun trafficker-nya merupakan bagian dari

18Pasal 8 ayat (2) Protokol Perdagangan Orang mengatur bahwa: “When a State Party returns a victim of trafficking in

persons to a State Party of which that person is a national or in which he or she had, at the time of entry into the territory of the receiving State Party, the right of permanent residence, such return shall be with due regard for the safety of that person

and for the status of any legal proceedings related to the fact that the person is a victim of trafficking and shall preferably

be voluntary” 19 United Nations Global Initiative to Fight Human Trafficking (UN.GIFT), 2008, An Introduction to Human Trafficking:

Vurnerability, Impact, and Action, United Nations, New York, hlm. 122. 20 Ibid. 21 ibid.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

jaringan kejahatan yang memiliki pengaruh kuat di negara asal korban. Akibat

perannya dalam menjebloskan trafficker-nya, korban menjadi target balas dendam

dari jaringan tersebut. Jika jaringan trafficker tersebut memiliki sumber daya dan

pengaruh untuk mewujudkan balas dendam terhadap korban, ditambah jika negara

asal tidak mampu menjamin keselamatan korban, maka berarti repatriasi korban

bukan pilihan yang aman bagi korban. Dalam kasus tersebut, korban memerlukan

alternatif perlindungan.

Dalam Protokol Perdagangan Orang disebutkan mengenai prinsip non-

refoulement yakni dalam Pasal 14 sub-alinea (a):

“Nothing in this Protocol shall affect the rights,

obligations and responsibilities of States and

individuals under international human rights law

and, in particular, where applic able, the 1951

Convention and the 1967 Protocol relating to the

Status of Refugees and the principle of non-

refoulement as contained therein.”

(Tidak ada dalam Protokol ini yang dapat

mempengaruhi hak, kewajiban dan tanggung jawab

Negara dan individu berdasarkan hukum

internasional hak asasi manusia Internasional dan,

khususnya, di mana dapat diterapkan, Konvensi 1951

dan Protokol 1967 mengenai Status Pengungsi dan

prinsip non-refoulement sebagaimana tercantum

didalamnya).

Dengan demikian maka Protokol Perdagangan Orang mengakui dan

menghormati berlakunya prinsip non-refoulement dan hukum pengungsi

sebagaimana dimuat dalam Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol 196722. Oleh

221967 Protocol Relating to the Status of Refugee, 606 U.N.T.S. 267, berlaku mengikat sejak 22 April 1954, 146 Negara Pihak sampai dengan November 2014, diakses melalui http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/opref.htm tanggal 1 April 2014.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16

karena itu, dalam situasi di mana korban perdagangan orang yang menghadapi

bahaya yang mengancam keselamatan jiwa atau kebebasannya sekembalinya ke

negara asalnya maka berdasarkan prinsip non-refoulement, negara tidak

diperbolehkan untuk mengusir atau memulangkan paksa korban yang

bersangkutan.

G. Metode Penelitian

Metode merupakan unsur mutlak dalam pelaksanaan penelitian. Tanpa

adanya metode penelitian yang jelas, penelitian akan menjadi tidak terarah. Metode

adalah rangkaian dari cara/kegiatan pelaksanaan penelitian guna memperoleh data

yang akurat, lengkap serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga

tujuan penelitian dapat tercapai. Adapun metode yang digunakan penulis dalam

penelitian ini adalah:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan keterkaitan antara prinsip non-

refoulement dengan korban perdagangan orang yang karena suatu alasan tertentu

menolak untuk pulang ke negara asalnya. Dilihat dari tujuannya, penelitian ini

menggunakan pendekatan yuridis-normatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk

menemukan prinsip-prinsip hukum, dasar-dasar hukum, dan falsafah-falsafah

hukum serta korelasinya dalam suatu gejala hukum.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17

Sedangkan jenis penelitian termasuk ke dalam kategori penelitian deskriptif-

analitis di mana korelasi antara unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh pengungsi

dengan korban perdagangan orang dalam kasus yang diangkat digambarkan dan

dianalisis secara logis dan sistematis.

2. Sumber data

Sebagai penelitian yuridis-normatif, maka dalam penelitian ini digunakan

data-data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka (library research). Data-

data yang menjadi sumber penelitian ini antara lain sebagai berikut

a. Primary source of international law

Data-data ini merupakan data-data yang diperoleh dari sumber hukum

internasional, sebagaimana yang dicantumkan dalam ketentuan Pasal 38 Statuta

Mahkamah Internasional yaitu berupa perjanjian internasional, kebiasaan

internasional, doktrin internasional, dan yurisprudensi. Ada pun beberapa primary

source of international law yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

UN Convention Relating to the Status of Refugees 1951

UN Convention Against Transnational Organized Crime 2000

The Council of Europe Convention on Action against Trafficking in

Human Beings 2005

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18

UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,

Especially Women and Children 2000

UN Protocol Relating to the Status of Refugees 1967

b. Subsidiary source

Sumber lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah subsidiary source

atau sumber tambahan berupa buku, jurnal ilmiah, artikel, makalah, lokakarya, hasil

seminar, laporan atau hasil penelitian yang memberi penjelasan lebih lanjut tentang

data-data dari primary source. Beberapa subsidiary source yang dirujuk dalam

penelitian ini yaitu:

Guidelines on International Protection: The Application of Article

1A(2) of the 1951 Convention and/or the 1967 Protocol Relating to

the Status of Refugees to Victims of Perdagangan orang and Persons

at Risk of Being Trafficked (7 April 2006).

Office of UNHCR, Advisory Opinion on the Extraterritorial

Application of Non-Refoulement Obligations under the 1951

Convention relating to the Status of Refugees and its 1967 Protocol

(26 Januari 2007).

Kaori Saito, International Protection for Trafficked Persons and

Those Who Fear Being Trafficked, United Nations Refugee Agency

Policy Development and Evaluation Service, Research Paper No. 149

(2007).

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

19

Vladislava Stoyanova, Complementary Protection for Victims of

Human Trafficking under the European Convention on Human Rights,

Goettingen Journal of International Law 3 (2011).

Vijay Padmanabhan, To Transfer or Not to Transfer: Identifying and

Protecting Human Rights Interests in Non-refoulement, 80

Fordham Law Review 73 (2011).

Joint UN Commentary on the EU Directive – A Human Rights-Based

Approach, Prevent, Combat, Protect Human Trafficking ( November

2011).

OSCE Office of the Special Representative and Co-ordinator for

Combating Trafficking in Human Beings in partnership with the

Ludwig Boltzmann Institute of Human Rights and the Helen Bamber

Foundation, Trafficking in Human Beings Amounting to Torture and

other Forms of Ill-treatment, Occasional Paper Series no. 5 (Juni

2013).

3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data dikumpulkan melalui studi pustaka. Data-data yang dicari

merupakan data-data yang dianggap relevan dengan topik penelitian mengenai

prinsip non-refoulement dan korban perdagangan orang yang menolak pulang ke

negara asalnya. Data-data tersebut digolongkan ke dalam kategorisasi bahan hukum

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

20

masing-masing kemudian dicari persamaan dan perbedaannya untuk kemudian

dianalisis lebih lanjut. Media yang dijadikan lokasi pencarian data antara lain:

a. Perpustakaan Fakultas Hukum UGM

b. Perpustakaan Pusat UGM

c. Internet

4. Analisis Data

Analisis data pada hakikatnya adalah menemukan makna yang terkandung

dalam temuan data.23 Analisis data dalam penelitian normatif menekankan pada

proses penyimpulan dan dinamika hubungan antar fenomena yang diamati.24 Dalam

penelitian ini, keseluruhan data yang berhasil terkumpul kemudian dianalisis

menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Maksudnya fakta-fakta hukum yang

diperoleh selama penelitian akan dijelaskan dan digambarkan secara sistematik dan

akurat kemudian diteliti berdasarkan penggolongan bahan-bahan hukum yang

paling relevan dengan masalah.

Untuk membantu dalam proses menganalisis data, digunakan beberapa

metode penafsiran, yaitu:

23 M Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 132. 24 Ibid, hlm. 133.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

21

a. Penafsiran gramatikal yaitu menafsirkan bahan-bahan hukum yang

diperoleh dengan cara menguraikannya sesuai dengan bahasa,

susunan kata, atau bunyinya secara logis.

b. Penafsiran sistematis yaitu penafsiran bahan-bahan hukum dengan

cara menghubungkan antara bahan hukum yang satu dengan bahan

hukum yang lain secara logis.

Berdasarkan hasil penafsiran yang diperoleh, kemudian akan ditarik suatu

kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah yang sudah ditetapkan. Penarikan

kesimpulan menggunakan metode yaitu dengan menyesuaikan hal-hal yang

bersifat khusus dengan ketentuan hukum umum.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Alternatif Perlindungan bagi Korban PerdaganganOrang yangMenolak RepatriasiJUNITA WARDANI MGUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/