25
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia kaya akan sumber daya alam hayati yang beraneka ragam dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan manusia. Salah satu pemanfaatan sumber daya alam hayati itu adalah sebagai bahan obat. Penggunaan sumber daya alam hayati sebagai bahan obat termasuk bagian dari bidang lingkup pengobatan alternatif dan komplementer yaitu pengobatan tradisional. Salah satu bidang yang diliputi adalah homeophatic medicine, yaitu obat-obatan yang berasal dari alam, baik tumbuh-tumbuhan, hewan atau mineral (Sutaryo,1999). Obat asli Indonesia ialah obat yang diperoleh langsung dari bahan-bahan alam yang terdapat di Indonesia, diolah secara sederhana atas dasar pengalaman, penggunaannya sebagai penyempurnaan usaha pengobatan dan dapat untuk mencukupi kebutuhan rakyat dalam hal logistik kesehatan (Sastroamidjojo, 1998). Obat tradisional yang telah diramu dari tumbuhan obat yang banyak tersedia di Indonesia, diharapkan dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan formal sebagai obat alternatif. Namun kenyataan menunjukkan bahwa para praktisi medik belum semua mau memanfaatkan obat tradisional untuk pengobatan. Hal ini disebabkan karena disamping keterbatasan dalam jenis, kemanjuran obat tradisional juga masih dipertanyakan karena bukti ilmiah yang meyakinkan tentang kemanjuran masih amat sangat sedikit. Saat ini sebagian masyarakat banyak yang beralih menggunakan ramuan obat tradisional dalam

BAB I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69978/potongan/S1-2014...aktivitas yang sangat luas, ... Taksonomi Kerajaan : Plantae Divisi :

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I.

PENDAHULUAN

A. A. Latar Belakang

Indonesia kaya akan sumber daya alam hayati yang beraneka ragam dan

dapat dimanfaatkan untuk keperluan manusia. Salah satu pemanfaatan sumber

daya alam hayati itu adalah sebagai bahan obat. Penggunaan sumber daya alam

hayati sebagai bahan obat termasuk bagian dari bidang lingkup pengobatan

alternatif dan komplementer yaitu pengobatan tradisional. Salah satu bidang yang

diliputi adalah homeophatic medicine, yaitu obat-obatan yang berasal dari alam,

baik tumbuh-tumbuhan, hewan atau mineral (Sutaryo,1999).

Obat asli Indonesia ialah obat yang diperoleh langsung dari bahan-bahan

alam yang terdapat di Indonesia, diolah secara sederhana atas dasar pengalaman,

penggunaannya sebagai penyempurnaan usaha pengobatan dan dapat untuk

mencukupi kebutuhan rakyat dalam hal logistik kesehatan (Sastroamidjojo, 1998).

Obat tradisional yang telah diramu dari tumbuhan obat yang banyak

tersedia di Indonesia, diharapkan dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan

formal sebagai obat alternatif. Namun kenyataan menunjukkan bahwa para

praktisi medik belum semua mau memanfaatkan obat tradisional untuk

pengobatan. Hal ini disebabkan karena disamping keterbatasan dalam jenis,

kemanjuran obat tradisional juga masih dipertanyakan karena bukti ilmiah yang

meyakinkan tentang kemanjuran masih amat sangat sedikit. Saat ini sebagian

masyarakat banyak yang beralih menggunakan ramuan obat tradisional dalam

2

usaha pengobatannya, karena tidak puas dengan obat-obatan modern. Sementara

itu masyarakat mulai merasakan khasiat dari ramuan obat tradisional yang

merupakan warisan dari nenek moyang (Anonim, 1998).

Gaya hidup kembali ke alam (back to nature) yang menjadi tren saat ini

membawa masyarakat kembali memanfaatkan bahan alam, termasuk pengobatan

dengan tumbuhan berkhasiat obat (herbal). Sebenarnya penggunaan herbal sudah

lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai salah satu upaya mengatasi masalah

kesehatan. Selain lebih ekonomis efek samping ramuan herbal sangat kecil

(Wijayakusuma, 2008).

Salah satu jenis tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat tradisional

adalah kunyit (Curcuma domestica Vahl). kunyit termasuk salah satu tanaman

suku temu-temuan (Zingiberaceae). Bagian terpenting dalam pemanfaatan kunyit

adalah rimpangnya, meskipun demikian, daun kunyit pun banyak diamanfaatkan

untuk berbagai jenis masakan, karena dapat menghilangkan bau anyir serta

menambah aroma masakan (Winarto, 2005).

Menurut Tonnessen, 1986, kurkuminoid yang terkandung dalam kunyit

sebagai salah satu senyawa hasil isolasi maupun kurkuminnya mempunyai

aktivitas yang sangat luas, antara lain sebagai anti oksidan, anti hepatotoksik, anti

inflamasi dan anti rematik. Kurkumin juga dilaporkan menimbulkan sifat anti

inflamasi pada mencit yang diinduksi karagen (Sudjarwo, 2003).

3

B. B. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak kunyit terbukti dapat mempercepat penyembuhan luka insisi

pada tikus Wistar?

2. Bagaimana mekanisme ekstrak kunyit sehingga dapat mempercepat

penyembuhan luka insisi pada tikus Wistar?

3. Berapakah dosis efektif dari ekstrak herba kunyit yang menunjukkan

penyembuhan luka?

C. C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui aktivitas ekstrak kunyit untuk penyembuhan luka insisi pada

tikus Wistar.

2. Mengetahui mekanisme ekstrak kunyit dalam mempercepat proses

penyembuhan luka insisi pada tikus putih jantan galur Wistar.

3. Dapat mengetahui dosis efektif ekstrak herba kunyit dalam mempercepat

penyembuhan luka.

4

D. D. Tinjauan Pustaka

1. Kunyit (Curcuma domestica Val).

Gambar 1. Kunyit (Curcuma domestica Val)

1) Nama Tanaman

Tanaman : Kunyit.

Nama Lain : Kunir (Jawa tengah), konyet (Madura), koneng (Sunda)

(Anonim, 1978)

2) Taksonomi

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Subkelas : Zingiberidae

Ordo : Zingiberales

Familia : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Species : Curcuma domestica Val

(Anonim, 2008)

5

3) Morfologi

Kunyit adalah berupa tanaman menahun yang mempunyai ciri khas

tumbuh berkelompok membentuk rumpun. Tinggi tanaman anatar 40 – 100 cm.

Kunyit memiliki batang semu yang tersusun dari kelopak atau pelepah daun yang

saling menutupi. Batang kunyit bersifat basah karena mampu menyimpan air

dengan baik, berbentuk bulat dan berwarna hijau keunguan. Tinggi batang kunyit

sampai 0,75 m sampai 1 m.

Daun kunyit yang tersusun dari pelepah daun, ganggang daun, dan helai

daun. Daun tersebut tersusun secara berselang-seling mengikuti kelopaknya.

Panjang helai daun antara 31 – 84 cm. Lebar daun antara 10 – 18 cm. Daun kunyit

berbentuk bulat telur memanjang dengan permukaan agak kasar. Permukaan daun

berwarna hijau muda. Satu tanaman mempunyai 6 – 10 daun.

Bunga kunyit berbentuk kerucut runcing berwarna putih atau kuning muda

dengan pangkal berwarna putih. Setiap bunga mempunyai tiga lembar kelopak

bunga, tiga lembar tajuk bunga, dan empat helai benang sari. Bunga muncul dari

ujung batang semu dan biasanya mekar bersamaan. Tangkai bunga berambut dan

bersisik dengan panjang tangkai mencapai 16 – 40 cm.

Rimpang atau disebut juga akar rimpang berbentuk bulat panjang dan

membentuk cabang rimpang berupa batang yang ada di dalam tanah. Rimpang

kunyit terdiri atas rimpang induk atau umbi kunyit (Jawa: empu atau ibu kunyit)

dan tunas atau cabang rimpang. Rimpang utama ini biasanya biasanya ditumbuhi

tunas yang tumbuh ke arah samping, mendatar, atau melengkung. Warna kulit

rimpang jingga kecoklatan atau berwarna terang agak kuning atau sampai kuning

6

kehitaman. Warna daging rimpangnya jingga kekuningan dilengkapi bau khas

yang pahit dan pedas. Lebar rumpun mencapai 24,10 cm. Panjang rimpang bisa

mencapai 22,5 cm. Tebal rimpang yang tua 4,06 cm dan rimpang muda 1,61 cm.

Rimpang kunyit yang sudah besar dan tua merupakan bagian yang dominan

sebagai obat.

4) Penyebaran

Pusat penyebaran kunyit di daerah semenanjung melayu, Pulau Sumatera,

Pulau Jawa serta menyebar hingga Australia. Kunyit juga cepat menyebar pada

dari Asia Tenggara ke wilayah-wilayah lain seperti Cina, Kepulauan Solomon,

Haiti, India, Pakistan, Taiwan, dan Jamaika.

Bangsa-bangsa yang mengkonsumsi kunyit dalam jumlah besar, antara

lain, Timur Tengah, Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Bahkan, kebutuhan

kunyit di Eropa jauh lebih besar daripada kebutuhan temulawak yang hanya

0.01%. Negara pengekspor kunyit terbesar adalah India, Pakistan, Jamaika, dan

Taiwan.

5) Khasiat

Di Indonesia kunyit sering digunakan dalam proses pembuatan minyak

kelapa secar basah. Sifat kunyit yang anti oksidan ini juga telah diuji dapat

mengawetkan minyak jagung. Kunyit dalam pengobatan verbal, sudah banyak

jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan rimpang kunyit, seperti demam,

pilek dengan hidung tersumbat, rematik, diare, disentri, gatal-gatal pada kulit,

bengkak, bau badan, malaria, panas dalam atau sariawan usus, dan sariawan

mulut. Disamping itu kunyit dapat menurunkan kadar lemak tinggi

7

(hyperlipidemia), menyembuhkan nyeri dada, asma, rasa tidak enak diperut

(dispepsia), rasa pegal di bahu, terlambat haid karena darah tidak lancar, haid

tidak teratur, sakit perut sehabis melahirkan, radang hidung, radang telinga,

radang gusi, radang rahim, keputihan, radang usus buntu, radang amandel

(tonsilitis), penyakit kuning (jaudice), hepatitis, batu empedu (choleithiasis), dan

tekanan darah tinggi.

Masih banyak manfaat kunyit dalam bidang industri, bidang peternakan,

maupun dalam bidang keamanan pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai

antimikroba sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan makanan.

6) Kandungan Kimia

Komponen kimia yang terdapat dalam rimpang kunyit diantaranya minyak

atsiri, pati, zat pahit, resim, selulosa, dan beberpa mineral. Kandungan minyak

atsiri kunyit sekitar 3-5%. Minyak atsiri kunyit terdiri dari d-alfa-plandren (1%),

d-sabinen (0,56%), cineol (1%), borneol (0,5%), zingiberen (25%), tirmeron

(58%), seskuiterpen alkohol (5,8%), alfa-atlanton dan gama-atlanton. Sementar itu

komponen utama pati berkisar 40-50% dari berat kering rimpang.

Komponen zat warna atau pigmen pada kunyit yang utama adalah

kurkumin, yakni sebesar 2,5-5%. Disamping itu, kunyit juga banyak mengandung

zat warna lain seperti monodesmetoksikurkumin dan diodesmetoksikurkumin

(Said, 2007)

Senyawa kurkumin diduga dapat berkhasiat sebagai penyembuhan luka

karena sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, dan juga antiinflamasi. Selain

itu kurkumin diyakini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dan memacu

8

apoptosis sel kanker. Bahan warna kurkumin dapat juga digunakan untuk

memecah penggumpalan darah di otak seperti yang terjadi pada pasien penyakit

alzheimer (Dheni, 2007).

Partikel kurkumin memiliki bagian dalam yang bersifat hidrofobik dan

bagian luar yang bersifat hidrofilik (Dheni, 2007). Secara kimia dapat

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2. Struktur kimia kurkumin.

2. Tikus Galur Wistar.

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja

dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari

dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau

pengamatan laboratorik. Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak

dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, dan komparatif

zoologi. Pada bidang ilmu kedokteran selain untuk penelitian, hewan percobaan

juga sering digunakan sebagai keperluan diagnostik. Berbagai jenis hewan yang

umum digunakan sebagai hewan percobaan, yaitu mencit, tikus, marmut, kelinci,

hamster, unggas, kambing, domba, sapi, kerbau, kuda, dan simpanse (Malole dan

Pramono 1989).

9

Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah

tikus. Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna,

mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk

berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki

berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm,

kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak

lebih dari 20-23 mm (Depkes 2011).

Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus

dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus

lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah

ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada

mencit tetapi tikus dapat berbiak sebaik mencit. Karena hewan ini lebih besar

daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih

menguntungkan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Menurut Besselsen (2004) dan Depkes (2011) taksonomi tikus adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Subkelas : Theria

Ordo : Rodensia

Subordo : Sciurognathi

Famili : Muridae

10

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus yang digunakan pada perobaan kali ini adalah tikus wistar (Rattus

norvegicus) dengan umur 1,5-2 bulan dan berkelamin jantan. Tikus dapat tinggal

sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus lain. Jika

dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di

laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal jika dibandingkan

dengan mencit tetapi tikus dapat berbiak sebaik mencit. Karena hewan ini lebih

besar daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih

menguntungkan (Smith dan Mangkoewidjojo,1988).

3. Madecassol®

Madecassol® mengandung Centella asiatica ekstrak, yang merangsang

biosintesis kolagen dengan mengatur proliferasi fibroblas, dalam rangka

meningkatkan produksi jaringan ikat dan tingkat kulit dari dinding pembuluh. Jadi

Madecassol bekerja pada fibroblast dengan meningkatkan sintesis kolagen dan

pengolahan identik dengan kulit normal kolagen, yang menyebabkan

berkurangnya hilangnya substansi seiring dengan peningkatan kekuatan dan

meningkatkan elastisitas jaringan melalui organisasi harmonis serat elastis.

Ekstrak Centella asiatica yang mengandung asam asiatik, asam madecassic dan

asiaticoside dapat meningkatkan kandungan hidroksiprolin peptidic. Asiaticoside,

salah satu konstituen aktif Centella asiatica menginduksi aktivitas antioksidan

yang berperan penting dalam luka penyembuhan (Shukla et.al, 1999).

11

Madecassol® adalah sebuah senyawa yang mengandung ekstrak Centella

asiatica yang dapat menghambat biosintesis asam mucopolysaccharides dan

kolagen dalam granuloma hewan percobaan. Madecassol® juga menghambat

proliferasi fibroblast embrio manusia secara in vitro (Sasaki et.al, 1972 ).

4. Ekstraksi

Salah satu cara pengambilan kurkumin dari rimpangnya adalah dengan

cara ekstraksi. Ekstraksi merupakan salah satu metode pemisahan berdasarkan

perbedaan kelarutan. Secara umum ekstraksi dapat didefinisikan sebagai proses

pemisahan dan isolasi dari zat padat atau zat cair. Dalam hal ini fraksi padat yang

diinginkan bersifat larut dalam pelarut (solven), sedangkan fraksi padat lainnya

tidak dapat larut. Proses tersebut akan menjadi sempurna jika solut dipisahkan dari

pelarutnya, misalnya dengan cara destilasi/penguapan (Wahyuni, 2004)

Cara penyarian dapat dibedakan menjadi infudansi, maserasi, perkolasi,

dan penyarian berkesinambungan. Dari keempat cara tersebut sering dilakukan

modifikasi untuk memperoleh hasil yang lebih baik (Anonim, 1986).

Pemilihan ekstraksi sangat penting untuk mencapai hasil maksimum yang

diinginkan. Zat aktif dalam simplisia mempunyai karakteristik masing-masing

yakni zat yang tahan dalam pemanasan dan yang tidak tahan pada pemanasan

sehingga metode ekstraksi digolongkan 2 yaitu:

1. Metode ekstraksi secara dingin

Metode ekstraksi secara dingin adalah metode ekstraksi yang di dalam

proses kerjanya tidak memerlukan pemanasan. Metode ini diperuntukkan untuk

12

simplisia yang mengandung komponen kimia yang tidak tahan terhadap

pemanasan dan simplisia yang mempunyai tekstur yang lunak atau tipis. Yang

termasuk metode ekstraksi secara dingin adalah metode maserasi, dan perkolasi.

2. Metode secara panas

Metode ekstraksi secara panas adalah metode ekstraksi yang di dalam

prosesnya dibantu dengan pemanasan. Pemanasan dapat mempercepat terjadinya

proses ekstraksi karena cairan penyari akan lebih mudah menembus rongga-

rongga sel simplisia dan melarutkan zat aktif yang ada dalam sel simplisia

tersebut. Metode ini diperuntukkan untuk simplisia yang mengandung zat aktif

yang tahan terhadap pemanasan dan simplisia yang mempunyai tekstur keras

seperti kulit, biji, dan kayu. Yang termasuk metode ekstraksi secara panas adalah

refluks, dan destilasi uap air (Rusli, 2005).

Salah satu metode penyarian yang paling sering digunakan adalah

maserasi. Maserasi (macerare = mengairi, melunakkan) adalah cara ekstraksi

yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat

Farmakope (umumnya terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) disatukan

dengan bahan pengekstraksinya. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan

terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis oleh cahaya

atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Keadaan diam selama maserasi

menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Waktu lamanya maserasi

berbeda-beda antara 4-10 hari. Setelah selesai waktu maserasi, artinya tercapai

13

keseimbangan antara bahan dengan cairan penyari yang berarti proses difusi sudah

berakhir (Voigt, 1984).

Metode maserasi digunakan menyari simplisia yang mengandung

komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, selama waktu tertentu

dalam suatu wadah yang terlindung dari sinar matahari, untuk menghindari

terjadinya reaksi akibat katalisis cahaya dan untuk menghindari terjadinya

perubahan warna (Voight, 1984).

Ada beberapa modifikasi maserasi antara lain :

a). Modifikasi digesti, yaitu maserasi yang dilakukan dengan menggunakan

pemanasan lemah. Pada suhu antara 40-50º C terutama untuk sampel yang

mengandung komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan. Dengan

pemanasan akan diperoleh keuntungan antara lain :

1). Kekentalan pelarut berkurang, yang dapat mengakibatkan berkurangnya

lapisan-lapisan batas.

2). Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan

tersebut mempunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan.

3). Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolut dan berbanding

terbalik dengan kekentalan, sehingga kenaikan suhu akan berpengaruh pada

kecepatan difusi. Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu

dinaikkan.

b). Modifikasi dengan menggunakan mesin pengaduk yang diperuntukkan untuk

mempercepat proses penyarian.

14

c). Remaserasi adalah penyarian yang dilakukan setelah penyarian pertama selesai

diperas dan ditambah lagi cairan penyari.

d). Maserasi melingkar adalah penyarian yang dilakukan dengan cairan penyari

yang selalu bergerak dan menyebar sehinga kejernihan cairan penyari dapat

merata. Keuntungan cara ini adalah :

1). Aliran cairan penyari mengurangi lapisan batas

2). Cairan penyari akan didistribusikan secara seragam sehingga akan

memperkecil kepekatan setempat.

3). Waktu yang diperlukan lebih pendek.

e). Dekoksi metode yang digunakan adalah metode infusa hanya saja waktu

pemanasannya lebih lama sekitar 30 menit (Wintarsih dan Prasetyo, 2006)

Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia yang

sudah dihaluskan dengan derajat kehalusan yang cocok dimasukkan dalam

bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan

selama 5 hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, sambil berulang-

ulang diaduk. Setelah 5 hari, disaring ke dalam bejana wadah penampung,

kemudian ampas diperas dan ditambah cairan penyari lagi secukupnya dan diaduk

kemudian disaring lagi sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian.

Bejana ditutup dan dibiarkan di tempat sejuk yang terlindung dari cahaya selama 2

hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Anonim,

1986).

15

5. Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah proses dalam tubuh untuk menyembuhkan luka

menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal tubuh sebelumnya (Vegad,

1995). Berdasarkan keadaan luka yang terjadi, jenis penyembuhan dibagi menjadi

dua macam. Luka yang paling sederhana adalah luka yang dapat ditangani sendiri

oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, yang tepi lukanya dapat saling

didekatkan untuk dimulainya proses persembuhan. Persembuhan semacam itu

disebut dengan persembuhan primer atau healty by first intention (Price dan

Wilson, 1992).

Cedera atau luka yaitu kerusakan jaringan disebabkan oleh banyak hal.

Penyebab yang paling sering adalah :

1. Trauma

2. Tajam seperti luka tersayat pisau

3. Tumpul seperti luka terpukul gada

4. Luka bakar

5. Infeksi

(Handerson, 1992)

Cedera dengan jenis insisi atau tersayat akan menyebabkan rusaknya

jaringan tubuh yang selanjutnya akan pulih kembali melalui proses penyembuhan

luka. Penyembuhan luka pada umumnya berlangsung dalam tiga tahap besar yaitu

inflamasi (peradangan), proliferasi (pembentukan jaringan baru), dan maturasi

(Gurtner et.al, 2008). Pembentukan pembuluh darah kapiler baru pada daerah luka

16

ini disebut dengan angiogenesis. Pada angiogenesis, pembuluh darah baru atau sel

endotel vaskular sangat berperan dalam proses proliferasi (Midwood et.al, 2004).

a. Fase Inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari ke-5. Luka

karena trauma atau luka karena pembedahan menimbulkan kerusakan jaringan dan

mengakibatkan perdarahan. Tanda inflamasi dapat berupa, pembengkakan,

kemerahan, panas, nyeri dan fungsi terganggu. Proses inflamasi sangat erat

berhubungan dengan penyembuhan luka. Tanpa adanya inflamasi tidak akan

terjadi proses penyembuhan, luka akan tetap menjadi sumber nyeri sehingga

proses inflamasi dan penyembuhan luka akan cenderung menimbulkan nyeri

(Karnen & Iris, 2009). Pada awalnya darah akan mengisi jaringan yang cedera dan

paparan darah terhadap kolagen akan mengakibatkan terjadinya degranulasi

trombosit dan pengaktifan faktor koagulasi (Ward, 1985). Kemudian akan

memicu sistem biologis lain seperti pengaktifan komplemen kinin, kaskade

pembekuan dan pembentukan plasmin. Keadaan ini memperkuat sinyal dari

daerah terluka, yang tidak saja mengaktifkan pembentukan bekuan yang

menyatukan tepi luka tetapi juga akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik

zat kimia ke daerah luka. Pembentukan kinin dan prostaglandin menyebabkan

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah di daerah luka. Hal ini

menyebabkan edema dan kemudian menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada

awal terjadinya luka (Thomson, 1984).

17

Polimorfonuklear (PMN) adalah sel pertama yang menuju ke tempat

terjadinya luka. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya pada 24-48

jam. Fungsi utamanya adalah memfagositosis bakteri yang masuk. Pada

penyembuhan luka normal tampaknya kehadiran sel-sel ini tidak begitu penting

sebab penyembuhan luka dapat terjadi tanpa keberadaan sel-sel ini. Adanya sel ini

menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi sel-sel

PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun dengan cepat setelah hari ketiga

(Ward, 1985).

Elemen imun seluler yang berikutnya adalah makrofag. Sel ini turunan

dari monosit yang bersirkulasi, terbentuk karena proses kemotaksis dan migrasi.

Muncul pertama 48 – 96 jam setelah terjadi luka dan mencapai puncak pada hari

ke 3. Makrofag berumur lebih panjang dibanding dengan sel PMN dan tetap ada

di dalam luka sampai proses penyembuhan berjalan sempurna. Sesudah makrofag

akan muncul limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke 5 dan mencapai

puncak pada hari ke-7. Sebaliknya dari PMN, makrofag dan limfosit T penting

keberadaanya pada penyembuhan luka normal. Makrofag seperti halnya netrofil,

memfagositosis dan mencerna organisme-organisme patologis dan sisa-sisa

jaringan. Makrofag juga melepas zat biologis aktif. Zat ini mempermudah

terbentuknya sel inflamasi tambahan yang membantu makrofag dalam

dekontaminasi dan membersihkan sisa jaringan (Singer & Clark, 1999).

Makrofag juga melepas faktor pertumbuhan dan substansi lain yang mengawali

dan mempercepat pembentukan formasi jaringan granulasi. Zat yang berfungsi

18

sebagai transmiter interseluler ini secara keseluruhan disebut sitokin (Henson,

1985).

b. Fase Proliferasi

Menurut Tawi (2008), proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini

adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel.

Peran fibroblast sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab

pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama

proses rekonstruksi jaringan.

Fase proliferasi terjadi pada hari ke-3 – 14. Apabila tidak ada kontaminasi

atau infeksi yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek (Sabiston, 1992).

Setelah luka berhasil dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak

berguna, dimulailah fase proliferasi. Fase proliferasi ditandai dengan

pembentukan jaringan granulasi pada luka (Thomson, 1984). Jaringan granulasi

merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi,

yang bersamaan dengan timbulnya kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar

ekstra seluler dari matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik (Singer &

Clark, 1999). Fibroblast muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke-3 dan

mencapai puncak pada hari ke-7. Peningkatan jumlah fibroblast pada daerah luka

merupakan kombinasi dari proliferasi dan migrasi. Fibroblast ini berasal dari sel-

sel mesenkimal lokal, terutama yang berhubungan dengan lapisan adventisia,

pertumbuhannya disebabkan oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag dan

limfosit. Fibroblast merupakan elemen utama pada proses perbaikan untuk

19

pembentukan protein struktural yang berperan dalam pembentukan jaringan.

Fibroblast juga memproduksi kolagen dalam jumlah besar, kolagen ini berupa

glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka ekstraseluler yang berguna

membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen pertama kali dideteksi pada

hari ke-3 setelah luka, meningkat sampai minggu ke-3. Kolagen terus menumpuk

sampai tiga bulan. Penumpukan kolagen pada saat awal terjadi berlebihan

kemudian fibril kolagen mengalami reorganisasi sehingga terbentuk jaringan

reguler sepanjang luka (Rodero & Khosrotehrani, 2010).

Revaskularisai dari luka terjadi secara bersamaan dengan fibroplasia.

Tunas-tunas kapiler tumbuh dari pembuluh darah yang berdekatan dengan luka.

Tunas-tunas kapiler ini bercabang di ujungnya kemudian bersatu membentuk

lengkung kapiler dimana darah kemudian mengalir. Tunas-tunas baru muncul dari

lengkung kapiler membentuk pleksus kapiler. Faktor-faktor terlarut yang

menyebabkan angiogenesis ini masih belum diketahui. Tampaknya proses ini

terjadi dari kombinasi proliferasi dan migrasi. Mediator pertumbuhan sel

endotelial ini dan kemotaksis termasuk sitokin yang dihasilkan trombosit,

makrofag dan limfosit pada luka, tekanan oksigen yang rendah, asam laktat dan

amin biogenik. Sitokin merupakan stimulan potensial untuk pembentukan formasi

baru pembuluh darah termasuk basic fibroblast growth faktor ( bFGF), asidic FGF

(aFGF), transforming growth factor α β ( TGF α β ) dan epidermic growth factor

(EGF). FGF pada percobaan invivo merupakan substansi poten dalam

neovaskularisasi (Karnen & Iris, 2009).

20

Proses tersebut terjadi dalam luka, sementara itu pada permukaan luka

juga terjadi restorasi intregritas epitel. Re-epitelisasi ini terjadi beberapa jam

setelah luka. Sel epitel tumbuh dari tepi luka, bermigrasi kejaringan ikat yang

masih hidup. Epidermis segera mendekati tepi luka dan menebal dalam 24 jam

setelah luka. Sel basal marginal pada tepi luka menjadi longgar ikatannya dari

dermis di dekatnya, membesar dan bermigrasi ke permukaan luka yang sudah

mulai terisi matriks sebelumnya. Sel basal pada daerah dekat luka mengalami

pembelahan yang cepat dan bermigrasi dengan pergerakan menyilang satu dengan

yang lain sampai efek yang terjadi tertutup semua. Ketika sudah terbentuk

jembatan, sel epitel yang bermigrasi berubah bentuk menjadi lebih kolumner dan

meningkat aktivitas mitotiknya. Proses re-epitelisasi sempurna kurang dari 48 jam

pada luka sayat yang tepinya saling berdekatan dan memerlukan waktu lebih

panjang pada luka dengan defek lebar (Cruse & McPhendran, 1992).

Stimulator reepitelisasi ini belum diketahui secara lengkap. Faktor faktor

yang diduga berperan adalah EGF, TGF β, bFGF, eFGF dan insulin like growth

factor (IGFλ) (Karnen & Iris, 2009).

c. Fase Maturasi

Fase maturasi berlangsung dari hari ke-7 sampai dengan 1 tahun. Segera

setelah matrik ekstrasel terbentuk, dimulailah reorganisasi. Pada mulanya matriks

ekstrasel kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel

substratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan penumpukan

kolagen oleh fibroblast. Terbentuk asam hialuronidase dan proteoglikan dengan

21

berat molekul besar berperan dalam pembentukan matrik ekstraseluler dengan

konsistensi seperti gel dan membantu infiltrasi seluler. Kolagen berkembang cepat

menjadi faktor utama pembentuk matrik (Rodero & Khosrotehrani, 2010).

Serabut kolagen pada permulaan terdistribusi acak membentuk persilangan

dan beragregasi menjadi bundel-bundel fibril yang secara perlahan menyebabkan

penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan.

Sesudah 5 hari periode jeda, dimana saat ini bersesuaian dengan pembentukan

jaringan granulasi awal dengan matrik sebagian besar tersusun dari fibronektin

dan asam hialuronidase, terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka

karena fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat.

Sesudah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan

akhir. Bagaimanapun, kekuatan akhir penyembuhan luka tetap kurang dibanding

dengan kulit yang tidak pernah terluka, dengan kekuatan tahanan maksimal

jaringan parut hanya 70 % dari kulit utuh (Henson, 1985).

Pengembalian kekuatan tegangan berjalan perlahan karena deposisi

jaringan kolagen terus menerus, remodeling serabut kolagen membentuk bundel-

bundel kolagen lebih besar dan perubahan dari cross linking inter molekuler.

Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut tergantung pada proses

sintesis dan katabolisme kolagen yang berkesinambungan. Degradasi kolagen

pada luka dikendalikan oleh enzim kolagenase. Kecepatan tinggi sintesis kolagen

mengembalikan luka ke jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun.

Remodeling aktif jaringan parut akan terus berlangsung sampai 1 tahun dan tetap

berjalan dengan lambat seumur hidup (Robbins & Kumar, 1995).

22

Pada proses remodeling terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi

dan selularitas jaringan yang mengalami perbaikan sehingga terbentuk jaringan

parut kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler. Hal ini tampak pada eritema

berkurang dan reduksi jaringan parut yang terbentuk. Gambaran tersebut

merupakan gambaran normal dari penyembuhan. Pada beberapa kasus terjadi

pengerutan jaringan parut yang menyebabkan penurunan mobilitas kulit seperti

pada kontraktur. Pengerutan luka yang terjadi karena pergerakan ke dalam dari

tepi luka juga merupakan faktor berpengaruh dalam penyembuhan luka dan harus

dibedakan dengan kontraktur (Van der veer dkk, 2008).

Awal proses penyembuhan terjadi inflamasi lokal yang disebabkan oleh

zat-zat kimia yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak. Tanda-tanda inflamasi

dapat berupa, pembengkakan, kemerahan, panas, nyeri, dan fungsi terganggu.

Proses inflamasi sangant erat berhubungan dengan penyembuhan luka. Tanpa

adanya tidak akan terjadi proses penyembuhan (Karnen & Iris, 2009). Proses

penyebuhan luka dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Skema penyembuhan luka (Dharmamuliacare, 2010)

23

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Proses inflamasi dan proses perbaikannya (repair) berjalan bersamaan,

hanya arahnya yang berlawanan. Terdapat sejumlah faktor sistemik dan faktor

lokal yang dapat mengganggu proses penyembuhan luka.

Faktor-faktor tersebut antara lain,

Faktor sistemik :

1. Nutrisi, pengaruhnya sangat menonjol. Defisiensi protein dan vitamin C

menggganggu sintesis kolagen dan memperlama penyembuhan.

2. Status metabolik, misalnya diabetes melitus.

3. Status sirkulasi darah.

4. Hormon glukokortikoid mempunyai pengaruh anti inflamasi, dapat

mempengaruhi komponen inflamasi dan fibroplasia, sehingga dapat

mengganggu sintesis kolagen.

Faktor lokal :

1. Infeksi, merupakan penyebab utama keterlambatan penyembuhan.

2. Faktor mekanik misal mobilisasi awal, memperlambat penyembuhan luka.

3. Benda asing seperti benang jahitan yang tidak diserap, fragmen baja, pecahan

tulang, merupakan halangan untuk penyembuhan luka.

4. Macam, lokasi dan ukuran besarnya luka, mempengaruhi penyembuhan.

Perlukaan di wajah lebih cepat sembuh daripada di kaki, karena wajah

kaya vaskularisasi. Luka kecil karena trauma tumpul lebih cepat sembuh daripada

yang besar. Komplikasi penyembuhan luka timbul karena beberapa penyebab

antara lain.

24

1. Pembentukan jaringan parut tidak cukup.

2. Pembentukan komponen perbaikan berlebihan.

3. Terjadinya kontraktur.

(Triyono, 2005)

E. E. Landasan Teori

Pada penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa ekstrak kunyit

mengandung kurkumin yang memiliki karakteristik sebagai antioksidan untuk

menetralkan radikal bebas yang dapat menyerang sel-sel normal dan

mengubahnya menjadi sel kanker. Sifat antioksidan kurkumin dalam kunyit sangat

kuat, oleh karenanya berbagai penelitian menunjukkan bahwa kurkumin dalam

kunyit tidak hanya bermanfaat dalam pencegahan berbagai macam kanker tetapi

juga sebagai agen anti-inflamasi alami yang poten. Hal tersebut terbukti dari

penelitian yang dilakukan pada tikus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa kunyit akan menhambat onset penyakit rheumatoid arthritis pada tikus.

Proses penyembuhan luka diawali dengan inflamasi yang melibatkan

banyak sel radang seperti netrofil, limfosit dan lain-lain. Sel-sel tersebut berfungsi

untuk memfagosit jaringan yang mati dan mengeluarkannya ke permukaan luka,

sedangkan untuk proses proliferasi membutuhkan sel fibroblast. Sel fibroblast

berfungsi untuk pembentukan jaringan baru sehingga menggantikan jaringan yang

sudah rusak artinya dengan mempercepat fase inflamasi dan fase poliferasi dapat

mempercepat proses penyembuhan luka.

25

F. F. Hipotesis

Ekstrak kunyit yang mengandung kurkumin memiliki kemampuan sebagai

antiinflamasi dan dapat mempercepat penyembuhan luka insisi pada tikus galur

Wistar