Upload
dinhkhuong
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I.
PENDAHULUAN
A. A. Latar Belakang
Indonesia kaya akan sumber daya alam hayati yang beraneka ragam dan
dapat dimanfaatkan untuk keperluan manusia. Salah satu pemanfaatan sumber
daya alam hayati itu adalah sebagai bahan obat. Penggunaan sumber daya alam
hayati sebagai bahan obat termasuk bagian dari bidang lingkup pengobatan
alternatif dan komplementer yaitu pengobatan tradisional. Salah satu bidang yang
diliputi adalah homeophatic medicine, yaitu obat-obatan yang berasal dari alam,
baik tumbuh-tumbuhan, hewan atau mineral (Sutaryo,1999).
Obat asli Indonesia ialah obat yang diperoleh langsung dari bahan-bahan
alam yang terdapat di Indonesia, diolah secara sederhana atas dasar pengalaman,
penggunaannya sebagai penyempurnaan usaha pengobatan dan dapat untuk
mencukupi kebutuhan rakyat dalam hal logistik kesehatan (Sastroamidjojo, 1998).
Obat tradisional yang telah diramu dari tumbuhan obat yang banyak
tersedia di Indonesia, diharapkan dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan
formal sebagai obat alternatif. Namun kenyataan menunjukkan bahwa para
praktisi medik belum semua mau memanfaatkan obat tradisional untuk
pengobatan. Hal ini disebabkan karena disamping keterbatasan dalam jenis,
kemanjuran obat tradisional juga masih dipertanyakan karena bukti ilmiah yang
meyakinkan tentang kemanjuran masih amat sangat sedikit. Saat ini sebagian
masyarakat banyak yang beralih menggunakan ramuan obat tradisional dalam
2
usaha pengobatannya, karena tidak puas dengan obat-obatan modern. Sementara
itu masyarakat mulai merasakan khasiat dari ramuan obat tradisional yang
merupakan warisan dari nenek moyang (Anonim, 1998).
Gaya hidup kembali ke alam (back to nature) yang menjadi tren saat ini
membawa masyarakat kembali memanfaatkan bahan alam, termasuk pengobatan
dengan tumbuhan berkhasiat obat (herbal). Sebenarnya penggunaan herbal sudah
lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai salah satu upaya mengatasi masalah
kesehatan. Selain lebih ekonomis efek samping ramuan herbal sangat kecil
(Wijayakusuma, 2008).
Salah satu jenis tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat tradisional
adalah kunyit (Curcuma domestica Vahl). kunyit termasuk salah satu tanaman
suku temu-temuan (Zingiberaceae). Bagian terpenting dalam pemanfaatan kunyit
adalah rimpangnya, meskipun demikian, daun kunyit pun banyak diamanfaatkan
untuk berbagai jenis masakan, karena dapat menghilangkan bau anyir serta
menambah aroma masakan (Winarto, 2005).
Menurut Tonnessen, 1986, kurkuminoid yang terkandung dalam kunyit
sebagai salah satu senyawa hasil isolasi maupun kurkuminnya mempunyai
aktivitas yang sangat luas, antara lain sebagai anti oksidan, anti hepatotoksik, anti
inflamasi dan anti rematik. Kurkumin juga dilaporkan menimbulkan sifat anti
inflamasi pada mencit yang diinduksi karagen (Sudjarwo, 2003).
3
B. B. Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak kunyit terbukti dapat mempercepat penyembuhan luka insisi
pada tikus Wistar?
2. Bagaimana mekanisme ekstrak kunyit sehingga dapat mempercepat
penyembuhan luka insisi pada tikus Wistar?
3. Berapakah dosis efektif dari ekstrak herba kunyit yang menunjukkan
penyembuhan luka?
C. C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui aktivitas ekstrak kunyit untuk penyembuhan luka insisi pada
tikus Wistar.
2. Mengetahui mekanisme ekstrak kunyit dalam mempercepat proses
penyembuhan luka insisi pada tikus putih jantan galur Wistar.
3. Dapat mengetahui dosis efektif ekstrak herba kunyit dalam mempercepat
penyembuhan luka.
4
D. D. Tinjauan Pustaka
1. Kunyit (Curcuma domestica Val).
Gambar 1. Kunyit (Curcuma domestica Val)
1) Nama Tanaman
Tanaman : Kunyit.
Nama Lain : Kunir (Jawa tengah), konyet (Madura), koneng (Sunda)
(Anonim, 1978)
2) Taksonomi
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Subkelas : Zingiberidae
Ordo : Zingiberales
Familia : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Species : Curcuma domestica Val
(Anonim, 2008)
5
3) Morfologi
Kunyit adalah berupa tanaman menahun yang mempunyai ciri khas
tumbuh berkelompok membentuk rumpun. Tinggi tanaman anatar 40 – 100 cm.
Kunyit memiliki batang semu yang tersusun dari kelopak atau pelepah daun yang
saling menutupi. Batang kunyit bersifat basah karena mampu menyimpan air
dengan baik, berbentuk bulat dan berwarna hijau keunguan. Tinggi batang kunyit
sampai 0,75 m sampai 1 m.
Daun kunyit yang tersusun dari pelepah daun, ganggang daun, dan helai
daun. Daun tersebut tersusun secara berselang-seling mengikuti kelopaknya.
Panjang helai daun antara 31 – 84 cm. Lebar daun antara 10 – 18 cm. Daun kunyit
berbentuk bulat telur memanjang dengan permukaan agak kasar. Permukaan daun
berwarna hijau muda. Satu tanaman mempunyai 6 – 10 daun.
Bunga kunyit berbentuk kerucut runcing berwarna putih atau kuning muda
dengan pangkal berwarna putih. Setiap bunga mempunyai tiga lembar kelopak
bunga, tiga lembar tajuk bunga, dan empat helai benang sari. Bunga muncul dari
ujung batang semu dan biasanya mekar bersamaan. Tangkai bunga berambut dan
bersisik dengan panjang tangkai mencapai 16 – 40 cm.
Rimpang atau disebut juga akar rimpang berbentuk bulat panjang dan
membentuk cabang rimpang berupa batang yang ada di dalam tanah. Rimpang
kunyit terdiri atas rimpang induk atau umbi kunyit (Jawa: empu atau ibu kunyit)
dan tunas atau cabang rimpang. Rimpang utama ini biasanya biasanya ditumbuhi
tunas yang tumbuh ke arah samping, mendatar, atau melengkung. Warna kulit
rimpang jingga kecoklatan atau berwarna terang agak kuning atau sampai kuning
6
kehitaman. Warna daging rimpangnya jingga kekuningan dilengkapi bau khas
yang pahit dan pedas. Lebar rumpun mencapai 24,10 cm. Panjang rimpang bisa
mencapai 22,5 cm. Tebal rimpang yang tua 4,06 cm dan rimpang muda 1,61 cm.
Rimpang kunyit yang sudah besar dan tua merupakan bagian yang dominan
sebagai obat.
4) Penyebaran
Pusat penyebaran kunyit di daerah semenanjung melayu, Pulau Sumatera,
Pulau Jawa serta menyebar hingga Australia. Kunyit juga cepat menyebar pada
dari Asia Tenggara ke wilayah-wilayah lain seperti Cina, Kepulauan Solomon,
Haiti, India, Pakistan, Taiwan, dan Jamaika.
Bangsa-bangsa yang mengkonsumsi kunyit dalam jumlah besar, antara
lain, Timur Tengah, Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Bahkan, kebutuhan
kunyit di Eropa jauh lebih besar daripada kebutuhan temulawak yang hanya
0.01%. Negara pengekspor kunyit terbesar adalah India, Pakistan, Jamaika, dan
Taiwan.
5) Khasiat
Di Indonesia kunyit sering digunakan dalam proses pembuatan minyak
kelapa secar basah. Sifat kunyit yang anti oksidan ini juga telah diuji dapat
mengawetkan minyak jagung. Kunyit dalam pengobatan verbal, sudah banyak
jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan rimpang kunyit, seperti demam,
pilek dengan hidung tersumbat, rematik, diare, disentri, gatal-gatal pada kulit,
bengkak, bau badan, malaria, panas dalam atau sariawan usus, dan sariawan
mulut. Disamping itu kunyit dapat menurunkan kadar lemak tinggi
7
(hyperlipidemia), menyembuhkan nyeri dada, asma, rasa tidak enak diperut
(dispepsia), rasa pegal di bahu, terlambat haid karena darah tidak lancar, haid
tidak teratur, sakit perut sehabis melahirkan, radang hidung, radang telinga,
radang gusi, radang rahim, keputihan, radang usus buntu, radang amandel
(tonsilitis), penyakit kuning (jaudice), hepatitis, batu empedu (choleithiasis), dan
tekanan darah tinggi.
Masih banyak manfaat kunyit dalam bidang industri, bidang peternakan,
maupun dalam bidang keamanan pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai
antimikroba sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan makanan.
6) Kandungan Kimia
Komponen kimia yang terdapat dalam rimpang kunyit diantaranya minyak
atsiri, pati, zat pahit, resim, selulosa, dan beberpa mineral. Kandungan minyak
atsiri kunyit sekitar 3-5%. Minyak atsiri kunyit terdiri dari d-alfa-plandren (1%),
d-sabinen (0,56%), cineol (1%), borneol (0,5%), zingiberen (25%), tirmeron
(58%), seskuiterpen alkohol (5,8%), alfa-atlanton dan gama-atlanton. Sementar itu
komponen utama pati berkisar 40-50% dari berat kering rimpang.
Komponen zat warna atau pigmen pada kunyit yang utama adalah
kurkumin, yakni sebesar 2,5-5%. Disamping itu, kunyit juga banyak mengandung
zat warna lain seperti monodesmetoksikurkumin dan diodesmetoksikurkumin
(Said, 2007)
Senyawa kurkumin diduga dapat berkhasiat sebagai penyembuhan luka
karena sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, dan juga antiinflamasi. Selain
itu kurkumin diyakini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dan memacu
8
apoptosis sel kanker. Bahan warna kurkumin dapat juga digunakan untuk
memecah penggumpalan darah di otak seperti yang terjadi pada pasien penyakit
alzheimer (Dheni, 2007).
Partikel kurkumin memiliki bagian dalam yang bersifat hidrofobik dan
bagian luar yang bersifat hidrofilik (Dheni, 2007). Secara kimia dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2. Struktur kimia kurkumin.
2. Tikus Galur Wistar.
Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari
dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau
pengamatan laboratorik. Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak
dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, dan komparatif
zoologi. Pada bidang ilmu kedokteran selain untuk penelitian, hewan percobaan
juga sering digunakan sebagai keperluan diagnostik. Berbagai jenis hewan yang
umum digunakan sebagai hewan percobaan, yaitu mencit, tikus, marmut, kelinci,
hamster, unggas, kambing, domba, sapi, kerbau, kuda, dan simpanse (Malole dan
Pramono 1989).
9
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah
tikus. Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna,
mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk
berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki
berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm,
kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak
lebih dari 20-23 mm (Depkes 2011).
Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus
dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus
lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah
ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada
mencit tetapi tikus dapat berbiak sebaik mencit. Karena hewan ini lebih besar
daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih
menguntungkan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Menurut Besselsen (2004) dan Depkes (2011) taksonomi tikus adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Ordo : Rodensia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
10
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Tikus yang digunakan pada perobaan kali ini adalah tikus wistar (Rattus
norvegicus) dengan umur 1,5-2 bulan dan berkelamin jantan. Tikus dapat tinggal
sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus lain. Jika
dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di
laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal jika dibandingkan
dengan mencit tetapi tikus dapat berbiak sebaik mencit. Karena hewan ini lebih
besar daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih
menguntungkan (Smith dan Mangkoewidjojo,1988).
3. Madecassol®
Madecassol® mengandung Centella asiatica ekstrak, yang merangsang
biosintesis kolagen dengan mengatur proliferasi fibroblas, dalam rangka
meningkatkan produksi jaringan ikat dan tingkat kulit dari dinding pembuluh. Jadi
Madecassol bekerja pada fibroblast dengan meningkatkan sintesis kolagen dan
pengolahan identik dengan kulit normal kolagen, yang menyebabkan
berkurangnya hilangnya substansi seiring dengan peningkatan kekuatan dan
meningkatkan elastisitas jaringan melalui organisasi harmonis serat elastis.
Ekstrak Centella asiatica yang mengandung asam asiatik, asam madecassic dan
asiaticoside dapat meningkatkan kandungan hidroksiprolin peptidic. Asiaticoside,
salah satu konstituen aktif Centella asiatica menginduksi aktivitas antioksidan
yang berperan penting dalam luka penyembuhan (Shukla et.al, 1999).
11
Madecassol® adalah sebuah senyawa yang mengandung ekstrak Centella
asiatica yang dapat menghambat biosintesis asam mucopolysaccharides dan
kolagen dalam granuloma hewan percobaan. Madecassol® juga menghambat
proliferasi fibroblast embrio manusia secara in vitro (Sasaki et.al, 1972 ).
4. Ekstraksi
Salah satu cara pengambilan kurkumin dari rimpangnya adalah dengan
cara ekstraksi. Ekstraksi merupakan salah satu metode pemisahan berdasarkan
perbedaan kelarutan. Secara umum ekstraksi dapat didefinisikan sebagai proses
pemisahan dan isolasi dari zat padat atau zat cair. Dalam hal ini fraksi padat yang
diinginkan bersifat larut dalam pelarut (solven), sedangkan fraksi padat lainnya
tidak dapat larut. Proses tersebut akan menjadi sempurna jika solut dipisahkan dari
pelarutnya, misalnya dengan cara destilasi/penguapan (Wahyuni, 2004)
Cara penyarian dapat dibedakan menjadi infudansi, maserasi, perkolasi,
dan penyarian berkesinambungan. Dari keempat cara tersebut sering dilakukan
modifikasi untuk memperoleh hasil yang lebih baik (Anonim, 1986).
Pemilihan ekstraksi sangat penting untuk mencapai hasil maksimum yang
diinginkan. Zat aktif dalam simplisia mempunyai karakteristik masing-masing
yakni zat yang tahan dalam pemanasan dan yang tidak tahan pada pemanasan
sehingga metode ekstraksi digolongkan 2 yaitu:
1. Metode ekstraksi secara dingin
Metode ekstraksi secara dingin adalah metode ekstraksi yang di dalam
proses kerjanya tidak memerlukan pemanasan. Metode ini diperuntukkan untuk
12
simplisia yang mengandung komponen kimia yang tidak tahan terhadap
pemanasan dan simplisia yang mempunyai tekstur yang lunak atau tipis. Yang
termasuk metode ekstraksi secara dingin adalah metode maserasi, dan perkolasi.
2. Metode secara panas
Metode ekstraksi secara panas adalah metode ekstraksi yang di dalam
prosesnya dibantu dengan pemanasan. Pemanasan dapat mempercepat terjadinya
proses ekstraksi karena cairan penyari akan lebih mudah menembus rongga-
rongga sel simplisia dan melarutkan zat aktif yang ada dalam sel simplisia
tersebut. Metode ini diperuntukkan untuk simplisia yang mengandung zat aktif
yang tahan terhadap pemanasan dan simplisia yang mempunyai tekstur keras
seperti kulit, biji, dan kayu. Yang termasuk metode ekstraksi secara panas adalah
refluks, dan destilasi uap air (Rusli, 2005).
Salah satu metode penyarian yang paling sering digunakan adalah
maserasi. Maserasi (macerare = mengairi, melunakkan) adalah cara ekstraksi
yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat
Farmakope (umumnya terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) disatukan
dengan bahan pengekstraksinya. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan
terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis oleh cahaya
atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Keadaan diam selama maserasi
menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Waktu lamanya maserasi
berbeda-beda antara 4-10 hari. Setelah selesai waktu maserasi, artinya tercapai
13
keseimbangan antara bahan dengan cairan penyari yang berarti proses difusi sudah
berakhir (Voigt, 1984).
Metode maserasi digunakan menyari simplisia yang mengandung
komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, selama waktu tertentu
dalam suatu wadah yang terlindung dari sinar matahari, untuk menghindari
terjadinya reaksi akibat katalisis cahaya dan untuk menghindari terjadinya
perubahan warna (Voight, 1984).
Ada beberapa modifikasi maserasi antara lain :
a). Modifikasi digesti, yaitu maserasi yang dilakukan dengan menggunakan
pemanasan lemah. Pada suhu antara 40-50º C terutama untuk sampel yang
mengandung komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan. Dengan
pemanasan akan diperoleh keuntungan antara lain :
1). Kekentalan pelarut berkurang, yang dapat mengakibatkan berkurangnya
lapisan-lapisan batas.
2). Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan
tersebut mempunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan.
3). Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolut dan berbanding
terbalik dengan kekentalan, sehingga kenaikan suhu akan berpengaruh pada
kecepatan difusi. Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu
dinaikkan.
b). Modifikasi dengan menggunakan mesin pengaduk yang diperuntukkan untuk
mempercepat proses penyarian.
14
c). Remaserasi adalah penyarian yang dilakukan setelah penyarian pertama selesai
diperas dan ditambah lagi cairan penyari.
d). Maserasi melingkar adalah penyarian yang dilakukan dengan cairan penyari
yang selalu bergerak dan menyebar sehinga kejernihan cairan penyari dapat
merata. Keuntungan cara ini adalah :
1). Aliran cairan penyari mengurangi lapisan batas
2). Cairan penyari akan didistribusikan secara seragam sehingga akan
memperkecil kepekatan setempat.
3). Waktu yang diperlukan lebih pendek.
e). Dekoksi metode yang digunakan adalah metode infusa hanya saja waktu
pemanasannya lebih lama sekitar 30 menit (Wintarsih dan Prasetyo, 2006)
Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia yang
sudah dihaluskan dengan derajat kehalusan yang cocok dimasukkan dalam
bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan
selama 5 hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, sambil berulang-
ulang diaduk. Setelah 5 hari, disaring ke dalam bejana wadah penampung,
kemudian ampas diperas dan ditambah cairan penyari lagi secukupnya dan diaduk
kemudian disaring lagi sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian.
Bejana ditutup dan dibiarkan di tempat sejuk yang terlindung dari cahaya selama 2
hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Anonim,
1986).
15
5. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah proses dalam tubuh untuk menyembuhkan luka
menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal tubuh sebelumnya (Vegad,
1995). Berdasarkan keadaan luka yang terjadi, jenis penyembuhan dibagi menjadi
dua macam. Luka yang paling sederhana adalah luka yang dapat ditangani sendiri
oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, yang tepi lukanya dapat saling
didekatkan untuk dimulainya proses persembuhan. Persembuhan semacam itu
disebut dengan persembuhan primer atau healty by first intention (Price dan
Wilson, 1992).
Cedera atau luka yaitu kerusakan jaringan disebabkan oleh banyak hal.
Penyebab yang paling sering adalah :
1. Trauma
2. Tajam seperti luka tersayat pisau
3. Tumpul seperti luka terpukul gada
4. Luka bakar
5. Infeksi
(Handerson, 1992)
Cedera dengan jenis insisi atau tersayat akan menyebabkan rusaknya
jaringan tubuh yang selanjutnya akan pulih kembali melalui proses penyembuhan
luka. Penyembuhan luka pada umumnya berlangsung dalam tiga tahap besar yaitu
inflamasi (peradangan), proliferasi (pembentukan jaringan baru), dan maturasi
(Gurtner et.al, 2008). Pembentukan pembuluh darah kapiler baru pada daerah luka
16
ini disebut dengan angiogenesis. Pada angiogenesis, pembuluh darah baru atau sel
endotel vaskular sangat berperan dalam proses proliferasi (Midwood et.al, 2004).
a. Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari ke-5. Luka
karena trauma atau luka karena pembedahan menimbulkan kerusakan jaringan dan
mengakibatkan perdarahan. Tanda inflamasi dapat berupa, pembengkakan,
kemerahan, panas, nyeri dan fungsi terganggu. Proses inflamasi sangat erat
berhubungan dengan penyembuhan luka. Tanpa adanya inflamasi tidak akan
terjadi proses penyembuhan, luka akan tetap menjadi sumber nyeri sehingga
proses inflamasi dan penyembuhan luka akan cenderung menimbulkan nyeri
(Karnen & Iris, 2009). Pada awalnya darah akan mengisi jaringan yang cedera dan
paparan darah terhadap kolagen akan mengakibatkan terjadinya degranulasi
trombosit dan pengaktifan faktor koagulasi (Ward, 1985). Kemudian akan
memicu sistem biologis lain seperti pengaktifan komplemen kinin, kaskade
pembekuan dan pembentukan plasmin. Keadaan ini memperkuat sinyal dari
daerah terluka, yang tidak saja mengaktifkan pembentukan bekuan yang
menyatukan tepi luka tetapi juga akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik
zat kimia ke daerah luka. Pembentukan kinin dan prostaglandin menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah di daerah luka. Hal ini
menyebabkan edema dan kemudian menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada
awal terjadinya luka (Thomson, 1984).
17
Polimorfonuklear (PMN) adalah sel pertama yang menuju ke tempat
terjadinya luka. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya pada 24-48
jam. Fungsi utamanya adalah memfagositosis bakteri yang masuk. Pada
penyembuhan luka normal tampaknya kehadiran sel-sel ini tidak begitu penting
sebab penyembuhan luka dapat terjadi tanpa keberadaan sel-sel ini. Adanya sel ini
menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi sel-sel
PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun dengan cepat setelah hari ketiga
(Ward, 1985).
Elemen imun seluler yang berikutnya adalah makrofag. Sel ini turunan
dari monosit yang bersirkulasi, terbentuk karena proses kemotaksis dan migrasi.
Muncul pertama 48 – 96 jam setelah terjadi luka dan mencapai puncak pada hari
ke 3. Makrofag berumur lebih panjang dibanding dengan sel PMN dan tetap ada
di dalam luka sampai proses penyembuhan berjalan sempurna. Sesudah makrofag
akan muncul limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke 5 dan mencapai
puncak pada hari ke-7. Sebaliknya dari PMN, makrofag dan limfosit T penting
keberadaanya pada penyembuhan luka normal. Makrofag seperti halnya netrofil,
memfagositosis dan mencerna organisme-organisme patologis dan sisa-sisa
jaringan. Makrofag juga melepas zat biologis aktif. Zat ini mempermudah
terbentuknya sel inflamasi tambahan yang membantu makrofag dalam
dekontaminasi dan membersihkan sisa jaringan (Singer & Clark, 1999).
Makrofag juga melepas faktor pertumbuhan dan substansi lain yang mengawali
dan mempercepat pembentukan formasi jaringan granulasi. Zat yang berfungsi
18
sebagai transmiter interseluler ini secara keseluruhan disebut sitokin (Henson,
1985).
b. Fase Proliferasi
Menurut Tawi (2008), proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini
adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel.
Peran fibroblast sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab
pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama
proses rekonstruksi jaringan.
Fase proliferasi terjadi pada hari ke-3 – 14. Apabila tidak ada kontaminasi
atau infeksi yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek (Sabiston, 1992).
Setelah luka berhasil dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak
berguna, dimulailah fase proliferasi. Fase proliferasi ditandai dengan
pembentukan jaringan granulasi pada luka (Thomson, 1984). Jaringan granulasi
merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi,
yang bersamaan dengan timbulnya kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar
ekstra seluler dari matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik (Singer &
Clark, 1999). Fibroblast muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke-3 dan
mencapai puncak pada hari ke-7. Peningkatan jumlah fibroblast pada daerah luka
merupakan kombinasi dari proliferasi dan migrasi. Fibroblast ini berasal dari sel-
sel mesenkimal lokal, terutama yang berhubungan dengan lapisan adventisia,
pertumbuhannya disebabkan oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag dan
limfosit. Fibroblast merupakan elemen utama pada proses perbaikan untuk
19
pembentukan protein struktural yang berperan dalam pembentukan jaringan.
Fibroblast juga memproduksi kolagen dalam jumlah besar, kolagen ini berupa
glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka ekstraseluler yang berguna
membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen pertama kali dideteksi pada
hari ke-3 setelah luka, meningkat sampai minggu ke-3. Kolagen terus menumpuk
sampai tiga bulan. Penumpukan kolagen pada saat awal terjadi berlebihan
kemudian fibril kolagen mengalami reorganisasi sehingga terbentuk jaringan
reguler sepanjang luka (Rodero & Khosrotehrani, 2010).
Revaskularisai dari luka terjadi secara bersamaan dengan fibroplasia.
Tunas-tunas kapiler tumbuh dari pembuluh darah yang berdekatan dengan luka.
Tunas-tunas kapiler ini bercabang di ujungnya kemudian bersatu membentuk
lengkung kapiler dimana darah kemudian mengalir. Tunas-tunas baru muncul dari
lengkung kapiler membentuk pleksus kapiler. Faktor-faktor terlarut yang
menyebabkan angiogenesis ini masih belum diketahui. Tampaknya proses ini
terjadi dari kombinasi proliferasi dan migrasi. Mediator pertumbuhan sel
endotelial ini dan kemotaksis termasuk sitokin yang dihasilkan trombosit,
makrofag dan limfosit pada luka, tekanan oksigen yang rendah, asam laktat dan
amin biogenik. Sitokin merupakan stimulan potensial untuk pembentukan formasi
baru pembuluh darah termasuk basic fibroblast growth faktor ( bFGF), asidic FGF
(aFGF), transforming growth factor α β ( TGF α β ) dan epidermic growth factor
(EGF). FGF pada percobaan invivo merupakan substansi poten dalam
neovaskularisasi (Karnen & Iris, 2009).
20
Proses tersebut terjadi dalam luka, sementara itu pada permukaan luka
juga terjadi restorasi intregritas epitel. Re-epitelisasi ini terjadi beberapa jam
setelah luka. Sel epitel tumbuh dari tepi luka, bermigrasi kejaringan ikat yang
masih hidup. Epidermis segera mendekati tepi luka dan menebal dalam 24 jam
setelah luka. Sel basal marginal pada tepi luka menjadi longgar ikatannya dari
dermis di dekatnya, membesar dan bermigrasi ke permukaan luka yang sudah
mulai terisi matriks sebelumnya. Sel basal pada daerah dekat luka mengalami
pembelahan yang cepat dan bermigrasi dengan pergerakan menyilang satu dengan
yang lain sampai efek yang terjadi tertutup semua. Ketika sudah terbentuk
jembatan, sel epitel yang bermigrasi berubah bentuk menjadi lebih kolumner dan
meningkat aktivitas mitotiknya. Proses re-epitelisasi sempurna kurang dari 48 jam
pada luka sayat yang tepinya saling berdekatan dan memerlukan waktu lebih
panjang pada luka dengan defek lebar (Cruse & McPhendran, 1992).
Stimulator reepitelisasi ini belum diketahui secara lengkap. Faktor faktor
yang diduga berperan adalah EGF, TGF β, bFGF, eFGF dan insulin like growth
factor (IGFλ) (Karnen & Iris, 2009).
c. Fase Maturasi
Fase maturasi berlangsung dari hari ke-7 sampai dengan 1 tahun. Segera
setelah matrik ekstrasel terbentuk, dimulailah reorganisasi. Pada mulanya matriks
ekstrasel kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel
substratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan penumpukan
kolagen oleh fibroblast. Terbentuk asam hialuronidase dan proteoglikan dengan
21
berat molekul besar berperan dalam pembentukan matrik ekstraseluler dengan
konsistensi seperti gel dan membantu infiltrasi seluler. Kolagen berkembang cepat
menjadi faktor utama pembentuk matrik (Rodero & Khosrotehrani, 2010).
Serabut kolagen pada permulaan terdistribusi acak membentuk persilangan
dan beragregasi menjadi bundel-bundel fibril yang secara perlahan menyebabkan
penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan.
Sesudah 5 hari periode jeda, dimana saat ini bersesuaian dengan pembentukan
jaringan granulasi awal dengan matrik sebagian besar tersusun dari fibronektin
dan asam hialuronidase, terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka
karena fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat.
Sesudah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan
akhir. Bagaimanapun, kekuatan akhir penyembuhan luka tetap kurang dibanding
dengan kulit yang tidak pernah terluka, dengan kekuatan tahanan maksimal
jaringan parut hanya 70 % dari kulit utuh (Henson, 1985).
Pengembalian kekuatan tegangan berjalan perlahan karena deposisi
jaringan kolagen terus menerus, remodeling serabut kolagen membentuk bundel-
bundel kolagen lebih besar dan perubahan dari cross linking inter molekuler.
Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut tergantung pada proses
sintesis dan katabolisme kolagen yang berkesinambungan. Degradasi kolagen
pada luka dikendalikan oleh enzim kolagenase. Kecepatan tinggi sintesis kolagen
mengembalikan luka ke jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun.
Remodeling aktif jaringan parut akan terus berlangsung sampai 1 tahun dan tetap
berjalan dengan lambat seumur hidup (Robbins & Kumar, 1995).
22
Pada proses remodeling terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi
dan selularitas jaringan yang mengalami perbaikan sehingga terbentuk jaringan
parut kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler. Hal ini tampak pada eritema
berkurang dan reduksi jaringan parut yang terbentuk. Gambaran tersebut
merupakan gambaran normal dari penyembuhan. Pada beberapa kasus terjadi
pengerutan jaringan parut yang menyebabkan penurunan mobilitas kulit seperti
pada kontraktur. Pengerutan luka yang terjadi karena pergerakan ke dalam dari
tepi luka juga merupakan faktor berpengaruh dalam penyembuhan luka dan harus
dibedakan dengan kontraktur (Van der veer dkk, 2008).
Awal proses penyembuhan terjadi inflamasi lokal yang disebabkan oleh
zat-zat kimia yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak. Tanda-tanda inflamasi
dapat berupa, pembengkakan, kemerahan, panas, nyeri, dan fungsi terganggu.
Proses inflamasi sangant erat berhubungan dengan penyembuhan luka. Tanpa
adanya tidak akan terjadi proses penyembuhan (Karnen & Iris, 2009). Proses
penyebuhan luka dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Skema penyembuhan luka (Dharmamuliacare, 2010)
23
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Proses inflamasi dan proses perbaikannya (repair) berjalan bersamaan,
hanya arahnya yang berlawanan. Terdapat sejumlah faktor sistemik dan faktor
lokal yang dapat mengganggu proses penyembuhan luka.
Faktor-faktor tersebut antara lain,
Faktor sistemik :
1. Nutrisi, pengaruhnya sangat menonjol. Defisiensi protein dan vitamin C
menggganggu sintesis kolagen dan memperlama penyembuhan.
2. Status metabolik, misalnya diabetes melitus.
3. Status sirkulasi darah.
4. Hormon glukokortikoid mempunyai pengaruh anti inflamasi, dapat
mempengaruhi komponen inflamasi dan fibroplasia, sehingga dapat
mengganggu sintesis kolagen.
Faktor lokal :
1. Infeksi, merupakan penyebab utama keterlambatan penyembuhan.
2. Faktor mekanik misal mobilisasi awal, memperlambat penyembuhan luka.
3. Benda asing seperti benang jahitan yang tidak diserap, fragmen baja, pecahan
tulang, merupakan halangan untuk penyembuhan luka.
4. Macam, lokasi dan ukuran besarnya luka, mempengaruhi penyembuhan.
Perlukaan di wajah lebih cepat sembuh daripada di kaki, karena wajah
kaya vaskularisasi. Luka kecil karena trauma tumpul lebih cepat sembuh daripada
yang besar. Komplikasi penyembuhan luka timbul karena beberapa penyebab
antara lain.
24
1. Pembentukan jaringan parut tidak cukup.
2. Pembentukan komponen perbaikan berlebihan.
3. Terjadinya kontraktur.
(Triyono, 2005)
E. E. Landasan Teori
Pada penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa ekstrak kunyit
mengandung kurkumin yang memiliki karakteristik sebagai antioksidan untuk
menetralkan radikal bebas yang dapat menyerang sel-sel normal dan
mengubahnya menjadi sel kanker. Sifat antioksidan kurkumin dalam kunyit sangat
kuat, oleh karenanya berbagai penelitian menunjukkan bahwa kurkumin dalam
kunyit tidak hanya bermanfaat dalam pencegahan berbagai macam kanker tetapi
juga sebagai agen anti-inflamasi alami yang poten. Hal tersebut terbukti dari
penelitian yang dilakukan pada tikus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa kunyit akan menhambat onset penyakit rheumatoid arthritis pada tikus.
Proses penyembuhan luka diawali dengan inflamasi yang melibatkan
banyak sel radang seperti netrofil, limfosit dan lain-lain. Sel-sel tersebut berfungsi
untuk memfagosit jaringan yang mati dan mengeluarkannya ke permukaan luka,
sedangkan untuk proses proliferasi membutuhkan sel fibroblast. Sel fibroblast
berfungsi untuk pembentukan jaringan baru sehingga menggantikan jaringan yang
sudah rusak artinya dengan mempercepat fase inflamasi dan fase poliferasi dapat
mempercepat proses penyembuhan luka.