22
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kegiatan pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur. Kegiatan tersebut meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, sehingga didapatkan aspek propertis dan legal kadaster. Kegiatan tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Titik Dasar Teknik (TDT) dalam pendaftaran tanah didefinisikan sebagai titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik ikat bagi keperluan penyiapan peta pendaftaran/peta dasar pendaftaran serta untuk keperluan rekonstruksi batas bidang tanah (Pasal 1 butir 13 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Pengukuran TDT dapat dilaksanakan dengan metode terestris atau metode lainnya, sesuai dengan Pasal 7 PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Titik Dasar Teknik mempunyai peran yang penting dalam proses pemetaan dan pendaftaran tanah, sehingga perlu dilakukan pemeliharaan secara kontinyu terhadap TDT yang telah ada. Pemeliharaan ini semestinya dilakukan dengan suatu metode pengukuran yang relatif singkat dengan ketelitian yang tinggi sesuai dengan TDT yang diukur serta dengan biaya yang relatif murah karena dilakukan secara periodik. Sebagai langkah awal pelaksanaan pemeliharaan TDT, BPN RI bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) melakukan sebuah studi kajian pustaka mengenai pembangunan sistem GNSS CORS (Global Navigation Satellite System – Continuously Operating Reference Stations). GNSS CORS di BPN RI dikenal sebagai Jaringan Referensi Satelit Pertanahan (JRSP).

BAB I PENDAHULUAN - Gadjah Mada University | …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67906/potongan/S1...data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang

  • Upload
    donhan

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kegiatan pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur. Kegiatan tersebut

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan

data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun, sehingga didapatkan aspek propertis dan legal

kadaster. Kegiatan tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pendaftaran tanah diselenggarakan

oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Titik Dasar Teknik (TDT) dalam pendaftaran tanah didefinisikan sebagai titik

yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan

dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik ikat bagi keperluan

penyiapan peta pendaftaran/peta dasar pendaftaran serta untuk keperluan

rekonstruksi batas bidang tanah (Pasal 1 butir 13 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997). Pengukuran TDT dapat dilaksanakan dengan metode terestris atau

metode lainnya, sesuai dengan Pasal 7 PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Titik Dasar

Teknik mempunyai peran yang penting dalam proses pemetaan dan pendaftaran

tanah, sehingga perlu dilakukan pemeliharaan secara kontinyu terhadap TDT yang

telah ada. Pemeliharaan ini semestinya dilakukan dengan suatu metode pengukuran

yang relatif singkat dengan ketelitian yang tinggi sesuai dengan TDT yang diukur

serta dengan biaya yang relatif murah karena dilakukan secara periodik.

Sebagai langkah awal pelaksanaan pemeliharaan TDT, BPN RI bekerjasama

dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) melakukan sebuah

studi kajian pustaka mengenai pembangunan sistem GNSS CORS (Global

Navigation Satellite System – Continuously Operating Reference Stations). GNSS

CORS di BPN RI dikenal sebagai Jaringan Referensi Satelit Pertanahan (JRSP).

2

JRSP merupakan sebuah teknologi handal dan layak yang memberikan ketelitian

tinggi untuk penentuan posisi di permukaan bumi. JRSP dibangun dengan tujuan

mempermudah dan mempercepat tercapainya tertib pertanahan, meningkatkan

produktifitas dan akurasi data, serta meningkatkan kualitas pelayanan kepada

masyarakat di bidang survei dan pemetaan. Dalam pelaksanaannya, GNSS CORS

dengan metode statik digunakan oleh BPN untuk pengukuran koordinat TDT.

Metode lain yang digunakan untuk pengukuran TDT adalah aplikasi teknologi satelit

GNSS memanfaatkan CORS sebagai base station dengan metode RTK-NTRIP (Real

Time Kinematic-Networked Transport Internet Protocol).

Pengukuran koordinat dengan menggunakan GNSS CORS RTK NTRIP ini

juga lebih efisien dengan ketelitian yang mencapai fraksi sentimeter dan waktu

pengukuran juga relatif cepat dibandingkan metode GPS statik. Oleh karena itu,

aplikasi GNSS CORS ini diharapkan bisa menjadi metode alternatif dalam

pemeliharaan TDT yang telah ada. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap

koordinat TDT yang tersebar di Kabupaten Bantul hasil pengukuran menggunakan

receiver GNSS CORS. Metode yang digunakan adalah RTK NTRIP. Hasil

pengukuran dengan GNSS CORS RTK NTRIP dibandingkan dengan koordinat pada

buku tugu.

I.2. Rumusan Masalah

Penggunaan aplikasi GNSS CORS RTK NTRIP sebagai metode alternatif

dalam pemeliharaan TDT orde 3 masih perlu dievaluasi. Pertanyaan penelitian ini

adalah berapakah koordinat TDT orde 3 dan ketelitian hasil pengukuran

menggunakan GNSS CORS RTK NTRIP dengan koordinat yang ada pada buku

tugu? Dan seberapa besar perbedaan koordinat hasil ukuran GNSS CORS metode

RTK NTRIP terhadap koordinat yang telah ada pada buku tugu BPN RI?

I.3. Batasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Metode pengukuran yang digunakan adalah metode RTK NTRIP.

3

2. Lama waktu pengamatan adalah 15 menit dengan solusi fixed dan

menggunakan sampling rate 10 detik.

3. Pengukuran dilakukan terhadap TDT orde 3 di Kabupaten Bantul dengan

jumlah 30 tugu.

4. Hasil pengukuran TDT orde 3 dengan aplikasi GNSS CORS RTK NTRIP

dibandingkan dengan koordinat TDT orde 3 pada buku tugu BPN.

I.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan nilai koordinat TDT orde 3 hasil pengukuran dengan receiver

GNSS CORS metode RTK NTRIP.

2. Menghitung ketelitian koordinat TDT orde 3 hasil ukuran receiver GNSS

CORS metode RTK NTRIP.

3. Menguji signifikansi perbedaan antara koordinat TDT orde 3 hasil ukuran

receiver GNSS CORS metode RTK NTRIP dengan koordinat buku tugu.

I.5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan rekomendasi bagi BPN sebagai penyelenggara Kerangka Dasar

Kadastral Nasional untuk mengetahui perbandingan ketelitian koordinat hasil

ukuran antara GNSS CORS metode RTK NTRIP dengan koordinat yang ada

pada buku tugu.

2. Memberi masukan dan referensi dalam pengembangan pemanfaatan GNSS

CORS metode RTK NTRIP dalam pengukuran koordinat TDT.

I.6. Tinjauan Pustaka

Kebutuhan terhadap metode pengukuran yang relatif singkat dengan ketelitian

yang tinggi mendorong BPN RI untuk mengembangkan teknologi GNSS CORS. Hal

ini dilakukan untuk mengoptimalkan kegiatan pelayanan pendaftaran tanah yang

dilakukan oleh BPN RI. CORS di BPN dimaksudkan untuk memberikan layanan

4

pendaftaran tanah menuju tertib administrasi pertanahan ke arah yang lebih baik

(Sunantyo, 2010)

Penentuan posisi titik dengan GPS secara diferensial direkomendasikan dapat

mencapai ketelitian yang lebih baik bila dibandingkan dengan penentuan posisi

secara absolut dan untuk beberapa kasus dapat lebih baik daripada metode

konvensional (Djawahir, 1992). Oleh karena itu diharapkan bahwa penggunaan GPS

untuk penentuan TDT kedepan lebih dominan dibandingkan dengan pengukuran

menggunakan metode konvensional.

Dammalage (2006) melakukan penelitian tentang teknologi NTRIP

menggunakan receiver double frequency di Thailand. Pengukuran dilakukan dengan

metode RTK NTRIP dan RTK with radio communication menghasilkan nilai akurasi

sebesar 0,158 m dan 0,16 m dengan jarak baseline antara 5 sampai 30 km. Selain itu,

teknologi NTRIP juga mampu meningkatkan akurasi hasil pengamatan dengan

berbagai variasi jarak baseline antara base dengan rover dibandingkan dengan

metode GPS konvensional.

Penelitian terhadap deformasi akibat gempa Yogyakarta tahun 2006 yang

dilakukan oleh Abidin (2006) menyebutkan bahwa besarnya deformasi koseismik

gempa Yogyakarta 2006 berkisar antara 10 sampai 15 cm dan deformasi

pascaseismik dalam arah horisontal berkisar antara 0,3 sampai 9,1 cm. kemungkinan

besar deformasi pascaseismik tersebut akan terus berlanjut untuk beberapa tahun ke

depan.

Sahroni (2008) menyebutkan bahwa terkait pencapaian target pemerintah yang

ingin memetakan seluruh bidang tanah di Indonesia, CORS diharapkan dapat

menjadi titik dasar yang dapat digunakan dalam bidang tanah secara cepat, murah,

dan memberikan kualitas data posisi yang baik. Dengan memanfaatkan CORS

sebagai kerangka referensi diharapkan dapat menangani berbagai permasalahan yang

timbul dari pelaksanaan pengukuran dengan titik-titik dasar sebelumnya. Selain itu

CORS juga dapat memberikan posisi bidang tanah yang terdefinisi dalam kerangka

referensi global, sehingga setiap bidang tanah yang terdaftar memiliki satu sistem

referensi yang sama.

Menurut Hersanto (2010), ketelitian pengukuran TDT orde 4 menggunakan

GPS CORS metode RTK NTRIP dapat mencapai ketelitian yang disyaratkan untuk

5

melakukan pengukuran TDT orde 4 dengan menggunakan GPS dimana ketelitian

yang dihasilkan oleh pengukuran menggunakan GPS CORS adalah 2,45 cm.

Penelitian terhadap CORS oleh Aries (2010) menggunakan metode pengukuran

RTK NTRIP dengan sampling rate 1 detik selama 15 detik dengan base station

GMU1 untuk studi pemetaan titik batas bidang tanah. Hasil dari penelitian tersebut

adalah pengukuran RTK NTRIP dengan solusi fixed menghasilkan akurasi sebesar

0,015 m, sedangkan untuk solusi float menghasilkan akurasi sebesar 0,076 m.

Penelitian oleh Mahyeda (2011) yang membandingkan metode radial dengan

metode RTK NTRIP pada baseline pendek, yaitu kurang dari 20 km. Hasil dari

penelitian ini adalah pada kasus baseline pendek, penentuan posisi metode radial

menghasilkan ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode RTK NTRIP

yaitu sebesar 0,010 m dan 0,022 m untuk keakuratan posisi horisontal dan vertikal

metode radial, serta 0,023 m dan 0,195 m untuk metode RTK NTRIP.

Penelitian oleh Musaura (2012) yang memanfaatkan GNSS CORS metode

rapid static dengan mode radial untuk penentuan TDT orde 3 di Kabupaten Bantul.

Hasil dari penelitian ini adalah terjadi pergeseran pada TDT yang diukur, dengan

pergeseran rata-rata sebesar 0,892 m dengan arah pergeseran utara-timur rata-rata

sebesar 25o51’4,069”.

I.7. Landasan Teori

BPN telah membuat TDT dengan klasifikasi orde 2, orde 3, dan orde 4 guna

membantu pengikatan bidang tanah sesuai Petunjuk Teknis PMNA/Ka.BPN Nomor

3 Tahun 1997. TDT tersebut membentuk suatu Kerangka Dasar Kadastral Nasional

(KDKN). Dalam memperoleh hasil ukuran TDT dapat dilakukan dengan metode

terestris ataupun metode ekstra-terestris.

Dengan semakin berkembangnya teknologi, maka pengukuran metode ekstra-

terestris dapat dilakukan dengan receiver GNSS metode RTK NTRIP. Dalam metode

RTK NTRIP, streaming data dilakukan secara real time melalui internet protocol.

Ketelitian dari metode ini dapat diketahui dari nilai HRMS hasil pengukuran.

6

I.7.1. TDT dan peta dasar teknik

TDT merupakan titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu

pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik

kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas (Pasal 1

Butir 13 PP Nomor 24 Tahun 1997).

I.5.1.1. Titik Dasar Teknik (TDT) orde 3. TDT orde 3 merupakan titik dasar

yang mempunyai kerapatan ± 1 s.d 2 kilometer, menggunakan sistem koordinat

Transverse Mercator nasional dengan lebar zone 3o (TM-3o) dan menggunakan

datum WGS 1984 sebagai bidang referensinya (Pasal 3 Juknis PMNA/Ka. BPN No 3

Tahun 1997). Spesifikasi teknis pengukuran TDT Orde 3 menurut Juknis PMNA/Ka.

BPN No 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:

1. Metode pengamatan : survei GPS.

2. Lama pengamatan per sesi (minimum) : 1 jam.

3. Data pengamatan utama untuk penentuan posisi : fase satu frekuensi.

4. Metode pengamatan : jaring.

5. Interval pengamatan : 15 detik.

6. Nilai PDOP yang diperlukan : lebih kecil dari 10.

7. Elevasi satelit minimum : 15o.

8. Tipe receiver GPS : geodetic single frequency.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengamatan TDT orde 3 menggunakan

satelit GNSS yaitu :

1. Mempunyai ruang pandang langit bebas ke segala arah di atas elevasi 15o.

2. Jauh dari obyek-obyek relatif yang mudah memantulkan sinyal GPS.

Pemasangan antena juga harus mempunyai tinggi lebih dari 0,3 meter, hal ini

untuk meminimalkan terjadinya multipath.

3. Jauh dari obyek-obyek yang mampu menimbulkan gangguan gelombang

elektris terhadap penerimaan.

I.5.1.2. Peta dasar teknik. Peta dasar teknik adalah peta yang memuat

penyebaran titik-titik dasar teknik dalam cakupan wilayah tertentu (Pasal 1 butir 7

PMNA No 2 Tahun 1996). Pada pembuatan peta dasar teknik ini menggunakan

aturan yaitu : ukuran muka peta adalah 80 cm x 80 cm, dilengkapi informasi tentang

peta tersebut yang berisi judul, arah utara, skala peta, legenda, instansi pembuat,

7

jumlah lembar, bagian pengesahan, instansi pelaksana. Selain itu, pembuatan peta

dasar teknik dibuat sesuai dengan ketentuan yang tertulis pada PMNA/Ka. BPN No 3

Tahun 1997 sebagai berikut:

1. Penomoran TDT :

a. TDT orde 2 diberi nomor yang unik sebanyak 5 digit yang terdiri atas 2

digit kode propinsi dan 3 digit nomer urut. Contoh : 13.xxx untuk propinsi

DIY.

b. TDT orde 3 diberi nomor yang unik sebanyak 7 digit yang terdiri atas 2

digit kode propinsi, 2 digit kode kabupaten/kotamadya dan 3 digit nomer

urut. Contoh : 13.01.xxx untuk kodya Yogyakarta.

c. TDT orde 4 diberi nomer yang unik berdasarkan wilayah desa/kelurahan

yang sebanyak 3 digit.

2. Persebaran TDT dapat dipetakan dalam peta topografi atau peta lainnya yang

ada.

3. Untuk TDT lokal, persebarannya dipetakan dalam skala besar meliputi satu

wilayah desa/kelurahan.

4. Nomer lembar peta yang digunakan untuk peta dasar teknik mengikuti nomer

lembar peta asalnya.

5. Simbol-simbol TDT:

a. TDT orde 0 dan orde 1 dipetakan dengan simbol segiempat dengan

panjang sisi 3 mm, dan diberi warna hitam.

b. TDT orde 2 dipetakan dengan simbol segitiga dengan panjang sisi 3 mm,

dan diberi warna hitam.

c. TDT orde 3 dipetakan dengan simbol segitiga dengan panjang sisi 3 mm.

d. TDT orde 4 Nasional dipetakan dengan simbol lingkaran yang bergaris

tengah 3 mm, sedangkan TDT Lokal dipetakan dengan simbol lingkaran

yang bergaris tengah 3 mm yang diberi warna hitam.

e. TDT orde perapatan dipetakan dengan simbol segiempat dengan panjang

sisi 3 mm.

8

I.7.2. GNSS

Menurut Roberts (2004) mengatakan bahwa GNSS (Global Navigation

Satellite System) merupakan suatu sistem navigasi dan penentuan posisi geospasial

(bujur, lintang, dan ketinggian) dan waktu dengan cakupan dan referensi global yang

menyediakan informasi posisi dengan ketelitian yang bervariasi, yang diperoleh dari

waktu tempuh sinyal radio yang dipancarkan dari satelit ke receiver. Beberapa satelit

navigasi yang merupakan bagian dari GNSS dimiliki dan dikelola oleh beberapa

negara, seperti GPS (Global Positioning System) milik Amerika, GLONASS milik

Rusia, GALILEO milik Uni Eropa, COMPASS milik China, IRNSS (Indian

Regional Navigation Satellite System) milik India, dan QZSS (Quasi-Zenith Satellite

System) milik Jepang (Rizos, 2000). Penjelasan satelit GNSS dari berbagai negara

dapat dilihat pada Tabel I.1.

Tabel I.1. Perbandingan sistem satelit orbital pada GNSS (Sunantyo, 2011)

Sistem GPS GLONASS GALILEO COMPASS

Negara United States Russia European Union China Coding CDMA FDMA/ DMA CDMA CDMA Tinggi Orbit dan Periode

20,200 km 12,0 jam

19,100 km 11,3 jam

23,222 km 14,1 jam

21,150 km 12,6 jam

Jumlah Satelit

≥24 24 (30 ketika sinyal CDMA diluncurkan)

2 test bed satellites, 22 operational satellites budgeted

35

Frekuensi 1.57542 GHz (L1 signal) 1.2276 GHz (L2 signal)

Sekitar 1.602 GHz (L1) Sekitar 1.246 GH (L2)

1.164 s.d 1.215 GHz (E5a and E5b) 1.300 GHz (E6) 1.559 s.d 1.592 GHz (E2-L1- E1)

B1: 1.56098 GHz B1-2: 1.589742 GHz B2: 1.20714 GHz B3: 1.26852 GHz

Status Operational Operational with restriction, CDMA in preparation

In preparation 5 operational satellites, 30 additional satellites planned

9

GPS (Global Positioning System) adalah sistem navigasi dan penentuan posisi

berbasis satelit yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala

cuaca. GPS didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti

dan juga informasi waktu secara kontinyu di seluruh dunia (Abidin, 2007). GPS

pertama kali dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Satelit-

satelit GPS beredar mengelilingi bumi jauh di atas permukaan bumi yaitu pada

ketinggian sekitar 20.200 km dimana satelit tersebut berputar mengelilingi bumi

dengan periode 11 jam 58 menit. GPS telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai

bidang aplikasi, termasuk untuk keperluan survei dan pemetaan. Mengingat GPS

cukup baik untuk membuktikan kepemilikan hak atas tanah, GPS memiliki prospek

yang baik untuk pengembalian batas bidang tanah, baik dari segi ketelitian maupun

dalam pelaksanaan kegiatannya, dan dapat dipertimbangkan sebagai metode altenatif

untuk keperluan tersebut.

I.5.3.1. Sinyal satelit GPS. Menurut Sunantyo (2003), pada dasarnya sinyal

GPS dapat dibagi menjadi 3 komponen, yaitu:

1. Penginformasian jarak (kode) yang berupa kode C/A (clear access atau course

acquisition) dan kode P (Private atau Precise). Kode C/A mewakili ephemeris

standar dari satelit dan memiliki frekuensi yang sama 10,23 MHz, sedangkan

kode P mewakili ephimeris yang teliti dan hanya memiliki 1/10 dari frekuensi

yaitu 1,023 MHz (Weston dan Schweiger).

2. Penginformasian posisi satelit (navigation message) yang direpresentasikan

dalam bentuk modulasi L1 dan L2. Penginformasi posisi satelit menjadi pesan

navigasi yang terdiri dari prediksi satelit ephimeris, koreksi parameter jam

satelit, dan informasi status sistem GPS.

3. Gelombang pembawa (carrier wave) L1 dan L2. Gelombang L1 memiliki

frekuensi 154 kali frekuensi dasar yaitu 1575,42 MHz dengan panjang

gelombang 19 cm dan menggunakan kode P, C/A, dan D. Sedangkan

gelombang L2 memiliki frekuensi 120 kali frekuensi dasar yaitu 1227,6 GHz

dengan panjang gelombang 24 cm dan menggunakan kode P.

Ada dua besaran yang diperoleh dalam pengamatan satelit GPS, yaitu pseudo

range dan carrier beat phase yang dapat digunakan untuk menghitung jarak dari

10

receiver ke satelit GPS.

1. Pseudorange adalah jarak hasil hitungan oleh receiver GPS dari data ukuran

waktu perambatan sinyal satelit ke receiver dengan membandingkan

membandingkan kode yang diterima dari satelit dengan replika kode yang

diformulasikan dalam receiver. Abidin (2000) menyatakan bahwa waktu yang

digunakan untuk mengimpitkan kedua kode tersebut adalah waktu yang

diperlukan oleh kedua kode tersebut untuk menempuh jarak dari satelit ke

pengamat. Akan tetapi jarak yang dihitung menggunakan pseudorange masih

memiliki kesalahan waktu akibat tidak sinkronnya antara jam pada satelit

dengan jam pada receiver.

2. Carrier beat phase adalah fase yang diukur oleh receiver GPS dengan cara

mengurangkan fase sinyal pembawa yang datang dari satelit dengan sinyal

serupa yang dibangkitkan dalam receiver. Data fase pengamatan satelit GPS

adalah jumlah gelombang penuh yang terhitung sejak saat pengamatan dimulai

(Djawahir, 1992).

I.5.3.2. Penentuan posisi dengan GPS. Konsep penentuan posisi dengan GPS

adalah space resection (pengikatan ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan

mengukur jarak ke beberapa satelit GPS yang telah diketahui koordinatnya secara

simultan. Penentuan posisi GPS dilakukan dengan metode absolut dan metode relatif.

1. Penentuan posisi GPS dengan metode absolut. Penentuan posisi metode absolut

merupakan metode penentuan posisi GPS yang paling mendasar, disebut juga

dengan point positioning. Ketelitian yang dihasilkan dengan metode absolut

tidak begitu tinggi, karena pada umumnya metode ini menggunakan data

pseudorange, ataupun carrier beat phasecarrier beat phase yang telah

diketahui cycle ambiguity nya.

2. Penentuan posisi GPS dengan metode relatif. Penentuan posisi metode relatif

adalah metode penentuan posisi dengan cara menentukan vektor jarak antara

dua stasiun pengamat. Vektor jarak ini lebih dikenal dengan jarak basis

(baseline). Penentuan posisi dengan metode relatif sering disebut juga dengan

penentuan posisi secara diferensial (differential positioning) atau Differential

Global Positioning System (DGPS). Pada metode relatif, data ukuran

pengamatan dapat berupa data pseudorange maupun carrier beat phase. Pada

11

penentuan posisi teliti cenderung menggunakan data carrier beat phase (Leick,

1995).

Penentuan posisi GPS metode relatif memiliki ketelitian yang relatif tinggi

karena data yang digunakan berupa data pseudorange dan/atau data fase dengan

pengurangan data yang diamat oleh dua receiver GPS secara bersamaan. Dengan

adanya proses pengurangan data, kesalahan jam receiver dan satelit dapat

dihilangkan, serta kesalahan dan bias troposfer, ionosfer, atau ephemeris dapat

direduksi.

Sunantyo (1999) menyebutkan bahwa tujuan dari penentuan posisi dengan

metode relatif adalah untuk menentukan koordinat sebuah titik yang belum diketahui

dari sebuah titik yang sudah diketahui koordinatnya. Penentuan posisi relatif

diarahkan pada penentuan vektor antara kedua titik yang sering kali disebut sebagai

baseline. Perbedaan antara penentuan posisi metode absolut dengan metode relatif

dapat dilihat pada Tabel I.2.

Tabel I.2. Perbedaan penentuan posisi metode absolut dan metode relatif

(Abidin, 2002)

Parameter Pembeda Penentuan Posisi Absolut Penentuan Posisi Relatif Posisi titik Ditentukan terhadap pusat

massa bumi Ditentukan relatif terhadap monitor stasiun

Prinsip penentuan posisi

Reseksi dengan jarak ke beberapa satelit sekaligus

Differencing process yang dapat mereduksi efek dari kesalahan dan bias

Jumlah receiver Satu receiver Minimal dua receiver Data yang digunakan Biasanya data pseudorange

dan data fase digunakan apabila ambiguitas fase sudah diketahui/diestimasi bersama dengan posisinya

Bisa menggunakan data pseudorange dan/atau data fase

Ketelitian Bergantung pada tingkat ketelitian data serta geometri satelit

Bervariasi dari titik menengah sampai tinggi

Aplikasi utama Untuk navigasi Survei pemetaan, survei geodesi, maupun navigasi ketelitian tinggi

12

Berdasarkan aplikasinya, metode penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi

dalam dua kategori yaitu survei dan navigasi, seperti diilustrasikan oleh Gambar I.1.

Gambar I.1. Metode penentuan posisi dengan GPS (dimodifikasi dari Langley, 1998)

Berikut ini penjelasan masing-masing metode:

1. Penentuan posisi secara statik. Penentuan posisi secara statik (static

positioning) adalah penentuan posisi dari titik-titik yang statik (diam) secara

diferensial dengan menggunakan data fase. Pengukuran receiver GPS pada

umumnya dilakukan per baseline selama selang waktu tertentu dalam suatu

jaringan titik-titik yang akan ditentukan posisinya.

Statik

Pseudo-kinematik

Kinematik

Stop and go

Statik singkat

Navigasi Survei

Jarak fase (RTK)

Pseudorange (DGPS)

Penentuan Posisi dengan GPS

Absolut Diferensial Diferensial Absolut

Real time Post-processing

13

2. Penentuan posisi secara RTK. RTK merupakan penentuan posisi secara

diferensial menggunakan data fase. Pada dasarnya, pengamatan dengan metode

real time menggunakan satu receiver berada pada stasiun referensi yang

koordinatnya telah diketahui. Receiver tersebut mengamati satelit GPS secara

terus menerus, yang kemudian dengan menggunakan komunikasi tertentu, data

koordinat serta koreksi pseudorange maupun fase dikirim secara kontinyu

kepada satu atau lebih receiver rover untuk memperoleh posisi secara real time

relatif terhadap stasiun referensi (Abidin, 2000). Dalam penggunaan sistem

RTK mempunyai tiga komponen penting:

a. Stasiun referensi atau base station, terdiri dari receiver dan antenna. Base

station berfungsi untuk mengolah data diferensial dan melakukan koreksi

carrier phase yang dikirim via radio modem dari base station ke rover.

Koreksi yang dihasilkan receiver pada base station masih dalam bentuk

digital dan tidak dapat langsung dikirimkan ke stasiun rover, sehingga

perlu diubah dalam bentuk gelombang radio.

b. Stasiun rover, berfungsi untuk mengidentifikasi satelit-satelit pada daerah

pengukuran dan menerima data diferensial dan koreksi carrier phase dari

base station via radio link dengan radio modem. Koreksi carrier phase

yang diterima oleh stasiun rover digunakan untuk mendapatkan posisi

yang teliti.

c. Data link (hubungan data) diferensial, berfungsi untuk mengirimkan data

diferensial dan koreksi carrier phase dari base station ke rover melalui

radio modem yang memanfaatkan band frekuensi UHF (Ultra High

Frequency), VHF (Very High Frequency) ataupun HF (High Frequency)

selain itu juga dapat memanfaatkan modem telepon dan GSM.

Ketelitian tipikal posisi yang diberikan oleh sistem RTK adalah sekitar 1

sampai dengan 5 cm, dengan asumsi ambiguitas fase dapat ditentukan secara

benar (Abidin, 2000). Menurut Diggelen (1997), ada 3 jenis solusi pengukuran

pada metode RTK, yaitu:

a. Fixed. Receiver sudah terhubung dengan base station, memiliki ketelitian

posisi 1 sampai dengan 5 cm, ambiguitas fase sudah terkoreksi, jumlah

satelit yang ditangkap > 4, dan bias multipath sudah terkoreksi.

14

b. Float. Receiver sudah terhubung dengan base station, memiliki ketelitian

posisi > 5 cm, ambiguitas fase belum terkoreksi, jumlah satelit yang

ditangkap ≤ 4 (too few satellite), bias multipath belum terkoreksi.

c. Standalone. Receiver tidak terhubung dengan base station, memiliki

ketelitian posisi > 1 m, ambiguitas fase belum terkoreksi, jumlah satelit

yang ditangkap ≤ 4 (too few satellite), bias multipath belum terkoreksi.

I.5.3.3. Kesalahan GPS. Abidin (2000) menyebutkan bahwa kesalahan GPS

dapat dikelompokkan menjadi 5, yaitu:

1. Kesalahan dari satelit, yang terdiri dari:

a. Ketidakpastian ephemeris. Kesalahan yang muncul karena orbit satelit

yang disampaikan oleh ephemeris tidak sama dengan orbit satelit yang

sebenarnya.

b. Ketidakpastian jam satelit. Ketidakpastian jam satelit dapat menyebabkan

kesalahan yang bisa mencapai 300 km.

c. Selective availability. Penerapan kesalahan orbit yang disengaja.

2. Kesalahan dari medium propagasi

a. Bias troposfer. Ketebalan lapisan troposfer yang berkisar antara 9 s.d 16

km dapat berpengaruh terhadap sinyal GPS yang melewatinya, dimana

sinyal GPS mengalami refraksi yang menyebabkan perubahan arah dan

kecepatan sinyal GPS.

b. Bias ionosfer. Kandungan elektron pada lapisan ionosfer dapat

mempengaruhi propagasi sinyal GPS dalam kaitannya dengan kecepatan,

arah, polarisasi, dan kekuatan sinyal GPS yang melaluinya.

3. Kesalahan pada receiver GPS

a. Ketidakpastian jam receiver.

b. Koordinat stasiun GPS.

c. Kesalahan yang terkait dengan antenna.

d. Noise.

4. Kesalahan pada data pengamatan

a. Ambiguitas fase. Jumlah gelombang penuh yang tidak terukur oleh

receiver GPS.

b. Cycle slips. Ketidakkontinyuan jumlah gelombang penuh dari fase

15

pembawa gelombang yang diukur karena pengamatan sinyal oleh receiver

terputus.

5. Lingkungan sekitar receiver GPS

a. Multipath. Fenomena sinyal dari satelit GPS menuju receiver melewati

dua atau lebih lintasan (path) yang berbeda.

b. Imaging

I.7.3. Datum GNSS

Datum merupakan sekumpulan parameter yang mendefinisikan suatu sistem

koordinat dan menyatakan posisinya terhadap permukaan bumi atau lebih dikenal

sebagai Sistem Referensi Terestris. Hal ini mengacu pada penyelenggaraan datum,

yaitu dengan menetapkan suatu elipsoid acuan dan orientasinya terhadap geoid

(bumi) pada suatu lokasi yang dipetakan. Suatu datum ditentukan oleh sebuah

elipsoid yang mendekati bentuk bumi dan posisi elipsoid relatif terhadap pusat bumi.

WGS84 (World Geodetic System 1984) adalah datum geodetik yang

menggunakan elipsoid referensi yang sesuai dengan bentuk geoid seluruh permukaan

bumi dengan pusat elipsoid terletap pada pusat massa bumi. WGS84 digunakan

sebagai sistem referensi dalam penentuan posisi dengan menggunakan GPS.

Parameter yang digunakan pada datum WGS 84 dapat dilihat pada Tabel I.3.

Tabel I.3. Parameter pada datum WGS84

Parameter Notasi Nilai Semi-major Axis a 6378137.0 meter

Flattening Factor of the Earth 1/f 298.257223563

Nominal Mean Angular Velocity of the Earth ω 7292115 x 10-11 radian/detik

Geocentric Gravitational Constant (Mass of Earth’s Atmosphere Included) GM 3.986004418 x 1014

meter3/detik2 Sumber: NIMA Technical Report 8350.2 “Department of Defense, World Geodetic

System 1984, Its Definition and Relationships with Local Geodetic Systems”

Datum WGS84 ini sejalan dengan ITRF (International Terrestrial Reference

Frame) dengan epoch yang sama, 2005. Berbeda dengan WGS84, ITRF dihitung

terhadap epoch yang berbeda, terkait dengan pergeseran lempeng tektonik dan

16

deformasi. Penggunaan datum ITRF didasarkan pada bentuk muka bumi yang

berubah-ubah terhadap waktu. Parameter transformasi dari WGS84 ke ITRF dapat

dilihat pada Tabe I.4.

Tabel I.4. Parameter transformasi dari WGS84 ke ITRF

Reference Frame (reference frame epoch)

Tx (mm) (µ)

Ty (mm) (µ)

Tz (mm) (µ)

D (ppb) (µ)

Rx (mas)

(µ)

Ry (mas)

(µ)

Rz (mas)

(µ)

WGS 84 (2001.0) -4.7 5.9

11.9 5.9

15.6 5.9

4.72 0.92

-0.52 0.24

-0.01 0.24

-0.19 0.22

ITRF2008 (2005.0) 0 0 0 0 0 0 0 Sumber: http://itrf.ensg.ign.fr/

Mengadopsi datum geodetik berbasis ITRF terkait dengan penggunaan standar

tunggal untuk mengumpulkan, menyimpan serta menggunakan data geografis atau

data hasil pengukuran. Hal ini akan memastikan kompatibilitas di berbagai bentuk

geografis, tanah, dan serta sistem survei di tingkat lokal, regional, nasional, dan

global. Inilah yang menjadi alasan utama GNSS CORS menggunakan datum ITRF

sebagai sistem referensinya.

I.7.4. CORS

CORS merupakan salah satu teknologi berbasis GNSS yang berwujud sebagai

suatu jaring kerangka geodetik. Pada setiap titik jaringnya terdapat receiver yang

berguna untuk menangkap sinyal dari satelit-satelit GNSS yang mampu beroperasi

secara kontinyu setiap hari. Stasiun referensi GPS beroperasi aktif selama 24 jam non

stop, sehingga pengguna dapat memanfaatkan data untuk penentuan posisi baik

secara real time maupun post processing. CORS dalam pertanahan sering disebut

dengan JRSP, yaitu sebuah teknologi yang handal dan layak digunakan untuk

kegiatan pengelolaan administrasi pertanahan termasuk kegiatan pendaftaran tanah

yang diselenggarakan BPN RI.

Stasiun-stasiun referensi CORS dibangun secara permanen di beberapa kantor

pertanahan yang ada di Indonesia dengan jarak antar stasiun referensi sekitar 30 s.d

70 km. Stasiun referensi CORS digunakan oleh rover sebagai referensi dalam

penentuan posisi atau koordinat suatu titik pada suatu cakupan atau area secara real

17

time menggunakan receiver GNSS. Jaringan stasiun CORS dikontrol dari jarak jauh

dan diawasi menggunakan sistem otomatis, serta dilakukan pemantauan posisi yang

diperbarui secara periodik. Sistem CORS terintegrasi dengan International Earth

Rotation and Reference SystemService (IERSS), sehingga memberikan posisi yang

bereferensi global dan datanya dapat diakses lewat internet oleh pengguna (Yustia

2008).

Prinsip kerja JRSP secara umum, stasiun-stasiun referensi merekam data dari

satelit GNSS secara kontinyu yang kemudian disimpan dan/atau dikirim ke server

atau pusat kontrol JRSP melalui jaringan internet secara serempak. Tanpa adanya

jaringan referensi satelit, hasil koordinat yang dihasilkan rover adalah posisi absolut

dengan ketelitian 5 s.d 20 meter. Dengan adanya jaringan satelit ini, hasil koordinat

dari receiver GNSS yang berperan sebagai rover akan dikoreksi dengan hasil

hitungan yang didapat melalui sistem algoritma dari data JRSP. Metode pengukuran

Network Real Time Kinematic (NRTK) dapat dihasilkan ketelitian yang memadai

untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan pertanahan.

Data yang dikirim oleh stasiun referensi adalah data dalam format raw data

atau data mentah. Data mentah dari stasiun referensi digunakan oleh server atau

pusat kontrol JRSP sebagai bahan untuk koreksi data yang dapat digunakan oleh

rover. Data raw tersebut dikirimkan secara kontinyu dalam interval tertentu kepada

server JRSP. Data raw dikirim melaui jaringan internet untuk disimpan dan diolah

dalam bentuk Receiver Independent Exchange Format (RINEX) yang dapat

digunakan untuk post-processing, ataupun dalam bentuk Radio Technical

Commission for Maritime Services (RTCM) yang dikirimkan kepada rover yang

membutuhkan koreksi data dari stasiun referensi secara real time. Data yang diamat

menggunakan rover dapat diatur sesuai dengan keperluan, dengan sampling rate per

1 detik, 5 detik, 10 detik, 15 detik, dan 30 detik.

I.7.5. NTRIP

NTRIP (Networked Transportation of RTCM via Internet Protocol) merupakan

koreksi data melalui internet secara real time. Sistem ini menggunakan internet untuk

streaming dan sharing data koreksi DGPS untuk memperoleh posisi yang teliti. Hal

ini memungkinkan pengguna DGPS atau RTK melakukan koreksi data melalui

18

koneksi sebuah modem (via internet) melalui GPRS atau teknologi komunikasi yang

lainnya dan mengambil data pengukuran untuk meningkatkan akurasi (Lenz, 2004).

Teknologi komunikasi lain yang dimaksud adalah GSM, GPRS (2,5G), EDGE

(2,75G), dan UMTS (3G).

Menurut Pedoman dan Petunjuk Teknis JRSP (2009), GSM merupakan

jaringan seluler publik yang menggunakan teknik untuk multi plexing dan

menggunakan transmisi band 900 MHz. GSM merupakan standar yang diakui dunia

dan dapat menyediakan jasa selain telepon, yaitu komunikasi data di dalam sirkuit

dan/atau package mode. Sedangkan GPRS (General Packet Radio Service) adalah

sistem komunikasi global yang dapat melakukan komunikasi data dengan kecepatan

akses antara 9.600 hingga 14.400 bits per second (bps) dengan menambah kompresi

data. Dengan GPRS, transmisi data secara mobile dapat dilakukan dengan cepat

hingga 115 kbps dengan menggunakan infrastruktur base station GSM yang ada.

Enhanced Datarate for Global Evolution (EDGE) adalah skema modulasi baru

yang menggunakan bandwidth yang lebih efisien dari standar yang digunakan oleh

jaringan GSM (Lenz, 2004). EDGE memiliki kecepatan data sebesar 384 kbps atau

tiga kali kecepatan GPRS. Sementara UMTS (Universal Mobile Telephone System)

merupakan generasi ketiga Eropa dari sistem komunikasi seluler yang memiliki

spektrum antara 1900 s.d 2025 MHz dan 2110 s.d 2200 MHz. UMTS memiliki

kecepatan data maksimum mencapai 2 mbps (megabits per second).

NTRIP menggunakan basis protokol HyperText Transfer Protocol (HTTP).

HTTP dapat digunakan untuk memperluas streaming data GPS. Sistem NTRIP

menerapkan tiga aplikasi di dalamnya, yaitu NTRIP client, NTRIP server, dan

NTRIP caster (Lenz, 2004).

1. NTRIP client. Menerima aliran data RTCM. Dalam menerima data RTCM,

client memerlukan pengiriman parameter akses (user ID dan password) ke

NTRIP caster.

2. NTRIP server. Mengirim data RTCM ke NTRIP caster menggunakan koneksi

TCP/IP. NTRIP server mengharuskan diterima pertama oleh NTRIP caster dan

jika diizinkan dapat meneruskan data RTCM ke NTRIP caster.

3. NTRIP caster. NTRIP caster adalah sebuah server internet yang menangani

aliran data yang berbeda dari NTRIP server. NTRIP caster mengecek pesan

19

permintaan yang diterima dari NTRIP client dan server untuk melihat apakah

client dan server tersebut didaftarkan dan diijinkan untuk menerima dan

menyediakan aliran data RTCM.

I.7.6. HRMS

Sickle (2001) menyebutkan bahwa HRMS (Horizontal Root Mean Square)

adalah nilai yang merepresentasikan ketelitian posisi horisontal suatu titik. Semakin

kecil HRMS maka semakin teliti suatu pengukuran yang dilakukan. HRMS

dirumuskan dengan persamaan I.1 berikut:

HRMS = 22 σσ YX+ ........................................................................... (I.1)

Dalam hal ini:

σ x : standar deviasi posisi dari absis (cm)

σ y : standar deviasi posisi dari ordinat (cm)

I.7.7. PDOP

PDOP (Position Dilution of Precision) adalah ketelitian posisi pada koordinat

3D ditinjau dari kekuatan geometri satelit. PDOP membantu untuk mengetahui

akurasi relatif koordinat yang diberikan GPS. Ketika receiver telah melakukan

kalkulasi posisinya dari sekurang-kurangnya empat satelit, receiver tersebut

mengkalkulasi estimasi akurasi menurut geometri satelit pada saat pembacaan.

Karena posisi satelit senantiasa berubah terhadap waktu maka nilai DOP berubah

terhadap waktu. Semakin kecil nilai DOP, maka ketelitian pengukuran semakin teliti

(Sunantyo, 1999).

I.7.8. Nilai toleransi pergeseran

Tahapan hitungan yang pertama adalah menghitung berapa besar serta arah

pergeseran yang terjadi pada masing-masing titik. Besarnya pergeseran terhadap

sumbu Easting (dXi) dan pergeseran terhadap sumbu Northing (dYi) dengan

menggunakan persamaan I.2 dan I.3 berikut:

dXi = Xi – xi .............................................................................................. (I.2)

dYi = Yi – yi .............................................................................................. (I.3)

20

Arah pergeseran dapat ditentukan dengan rumus I.4 berikut ini:

Arah pergeseran = ii

ii

yYxX

arctg−−

............................................................. (I.4)

Tahap selanjutnya adalah melakukan perhitungan besarnya pergeseran horisontal

untuk masing-masing titik (dLi) dan pergeseran rata-rata (dL) dengan persamaan I.5

dan I.6:

dLi = 22 )()( iiii yYxX −+− ................................................................. (I.5)

dL = ndLi∑ .............................................................................................. (I.6)

Dalam hal ini:

(Xi , Yi) : koordinat TDT orde 3 dengan metode RTK NTRIP ke-i

(xi , yi) : koordinat TDT orde 3 buku tugu ke-i

dLi : besarnya pergeseran horisontal ke-i

dL : nilai pergeseran rata-rata

Jika besarnya pergeseran horisontal untuk masing-masing titik dan pergeseran

horisontal rata-rata sudah diketahui, maka nilai simpangan baku (σ ) dapat

ditentukan dengan rumus I.7 berikut ini:

σ = 1

)( 2

−−Σ

ndLdLi ................................................................................ (I.7)

Dalam hal ini:

σ : nilai simpangan baku

n : jumlah data

dLi : besarnya pergeseran horisontal ke-i

dL : nilai pergeseran horisontal rata-rata

Tahap selanjutnya adalah menghitung nilai toleransi pergeseran ukuran. Untuk

mengetahui interval nilai toleransi pergeseran ukuran, dapat digunakan tabel

observasi distribusi normal (tabel Z). Pada penelitian ini digunakan taraf signifikansi

5%. Untuk menentukan interval kepercayaan, terlebih dahulu dicari nilai Zα/2,

dimana α = 0,05. Nilai α disebut dengan tingkat nyata atau taraf signifikansi, yaitu

suatu nilai yang ditolerir di dalam membuat keputusan atau kesimpulan. Perhitungan

toleransi pengukuran dilakukan dengan membuat suatu interval kepercayaan dengan

21

derajat kepercayaan tertentu. Nilai simpangan baku yang diperoleh dari rumus I.8

digunakan untuk perhitungan nilai toleransi pergeseran TDT (Zhit) dengan

menggunakan rumus I.8 berikut ini:

Zhit = σ

dLdLi − ......................................................................................... (I.8)

Dengan menggunakan tabel Z (observasi distribusi normal), interval nilai toleransi

pergeseran ukuran dapat diketahui (Sugiyono, 2007). Setelah nilai Zhit diperoleh,

maka Zhit dibandingkan dengan Ztabel dengan tingkat kepercayaan yang ditentukan.

Apabila Zhit masuk dalam interval –Ztabel ≤ Zhit ≤ +Ztabel maka nilai pergeseran

masing-masing TDT orde 3 masih dalam batas toleransi.

I.7.9. Uji signifikansi dua parameter

Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan uji t two tail berdasarkan

jenis parameter statistik dengan asumsi bahwa sampel yang diambil berdistribusi

normal atau mendekati normal. Budiarto (2002) menyebutkan bahwa sampel yang

besar (n > 30), distribusi rata-rata sampel akan berdistribusi normal atau mendekati

normal.

Uji signifikansi perbedaan dua koordinat dilakukan dengan menggunakan uji

t two tail. Pengujian dilakukan setelah diperoleh nilai t hitungan pergeseran dari

masing-masing TDT orde 3. Nilai t hitungan ditentukan dengan rumus I.9 berikut ini:

thit =

nS

dL2

0μ− ................................................................................ (I.9)

Dalam hal ini:

dL : nilai pergeseran horisontal rata-rata

µ0 : nilai yang dihipotesiskan

S : nilai simpangan baku

n : jumlah data ukuran

Dari tabel-t diperoleh nilai ttabel dengan tingkat kepercayaan tertentu dan derajat

kesalahan n-1, dimana n adalah nilai parameter yang diuji. Uji-t yang dilakukan pada

penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95% dengan asumsi jika –ttabel ≤ thit

≤ +ttabel, maka H0 diterima.

22

H0 diterima berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara koordinat ukuran

GNSS CORS dengan koordinat buku tugu.

H0 ditolak berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara koordinat ukuran GNSS

CORS dengan koordinat buku tugu.

I.8. Hipotesis

Dari penelitian yang dilakukan oleh Hersanto (2010) diperoleh bahwa

ketelitian pengamatan dengan menggunakan GNSS CORS RTK mencapai fraksi

sentimeter. Penelitian yang dilakukan oleh Musaura (2012) menyebutkan bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan antara koordinat dalam buku tugu dengan

koordinat hasil pengukuran menggunakan GNSS CORS metode rapid static dengan

moda radial. Oleh karena itu, pengukuran TDT orde 3 dengan aplikasi GNSS CORS

RTK NTRIP diduga menghasilkan suatu koordinat yang berbeda secara signifikan

berdasarkan uji t two tail terhadap koordinat TDT orde 3 pada buku tugu.