51
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan dalam sistem hukum di Indonesia dimulai sejak tahun 1981, dahulu Indonesia masih menggunakan sistem hukum warisan kolonial Belanda yaitu Herziene Indische Reglement (HIR), boleh dikatakan bahwa Herziene Indische Reglement sendiri tidak mengatur ketentuan mengenai praperadilan sedangkan upaya paksa sebagai wewenang dari aparat penegak hukum merupakan pengurangan hak asasi manusia bagi seseorang dan tidak jarang wewenang dalam upaya paksa tersebut menimbulkan kerugian bagi seseorang yang berimbas pada perampasan hak asasi manusia, hal ini tidak sejalan dengan cita-cita pancasila dan UUD 1945 yang menjamin tegaknya hukum dan hak asasi manusia, sehingga pemberlakuan Herziene Indische Reglement tidak sesuai lagi dengan perkembangan Negara Indonesia, oleh sebab itu munculah gagasan pembaharuan (legal reform) dalam hukum acara pidana nasional sehingga lahirlah UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai karya agung bangsa Indonesia yang menjamin tegaknya hukum dan Hak Asasi Manusia termasuk yang utama adalah adanya pengaturan mengenai Praperadilan sebagai mekanisme kontrol terhadap wewenang aparat penegak hukum.

BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Praperadilan dalam sistem hukum di Indonesia dimulai sejak tahun 1981,

dahulu Indonesia masih menggunakan sistem hukum warisan kolonial Belanda

yaitu Herziene Indische Reglement (HIR), boleh dikatakan bahwa Herziene

Indische Reglement sendiri tidak mengatur ketentuan mengenai praperadilan

sedangkan upaya paksa sebagai wewenang dari aparat penegak hukum

merupakan pengurangan hak asasi manusia bagi seseorang dan tidak jarang

wewenang dalam upaya paksa tersebut menimbulkan kerugian bagi seseorang

yang berimbas pada perampasan hak asasi manusia, hal ini tidak sejalan dengan

cita-cita pancasila dan UUD 1945 yang menjamin tegaknya hukum dan hak asasi

manusia, sehingga pemberlakuan Herziene Indische Reglement tidak sesuai lagi

dengan perkembangan Negara Indonesia, oleh sebab itu munculah gagasan

pembaharuan (legal reform) dalam hukum acara pidana nasional sehingga

lahirlah UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) sebagai karya agung bangsa Indonesia yang menjamin

tegaknya hukum dan Hak Asasi Manusia termasuk yang utama adalah adanya

pengaturan mengenai Praperadilan sebagai mekanisme kontrol terhadap

wewenang aparat penegak hukum.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

2

Sebelumnya dalam Kitab Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa

penetapan tersangka tidak termasuk ke dalam ranah praperadilan, maka hal ini

telah diubah oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan permohonan

perkara tersangka korupsi bioremediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah1. MK

memutuskan bahwa Pasal 77 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk

penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Jika di dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP mengatur kewenangan

praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan atau penuntutan, maka melalui putusan ini MK

memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka,

penggeledahan dan penyitaan.

Selama ini penetapan status tersangka yang diberikan oleh penyidik

kepada seseorang dilekatkan tanpa batas waktu yang jelas. Akibatnya, orang

tersebut secara terpaksa menerima statusnya tanpa memiliki kesempatan untuk

menguji keabsahan penetapan itu. Pengajuan praperadilan dalam praktik banyak

di ajukan tersangka/terdakwa guna melindungi haknya dari kesewenangan

1 Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, dikutip dari situs mahkamahkonstitusi.go.id. MK

memiliki dua pertimbangan Pertama, MK mempertimbangkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang

menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hokum. Kedua, mengacu pada KUHAP, Mahkcamah

Konstitusi berpandangan prinsip due process of law belum diterapkan secara utuh lantaran

KUHAP tidak mengakomodir pengujian terhadap alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai

tersangka apakah diperoleh dengan cara yang sah atau tidak.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

3

penegak hukum. Praperadilan ini juga memiliki kepastian hukum yang di atur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 1 butir

10 dan Bab X, bagian kesatu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.2

Menurut Pasal 1 butir 10 menyatakan “praperadilan adalah wewenang

pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini, tentang :

a. Sah atau tidaknya penangkapan dan penahan atas permintaan tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan

dan tegaknya keadilan

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya

atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak dilanjutkan ke

pengadilan,”

Praperadilan telah memiliki kepastian hukum dalam melindungi hak-hak

tersangka/terdakwa dalam upaya paksa, seperti yang dinyatakan dalam pasal 77

KUHAP bahwa:

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai

dengan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:

a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan.

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara

pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

2 R. Soeparmono, Praperadilan Dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian Dalam

KUHAP, Mandar Maju, Bandung , 2003, hlm. 16

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

4

Menurut R. Soeparmono, tujuan diadakannya lembaga praperadilan

adalah demi tegaknya hukum, kepastian hukum dan perlindungan hak asasi

tersangka3. M. Yahya Harahap, bahwa tujuan praperadilan ini adalah untuk

melakukan pengawasan horizantal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan

terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau

penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan

hukum dan undang-undang4. Pada hakikatnya praperadilan berfungsi untuk

kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi

tersangka/terdakwa.

Mengacu pada Pasal 1 angka 14 KUHAP, “Tersangka adalah seorang

yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut

diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Kapan seseorang dapat ditetapkan menjadi

tersangka? Karena ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP di atas menyaratkan

adanya “bukti permulaan”, maka kita harus melihat apa yang dimaksud dengan

bukti permulaan itu.

Bahwa KUHAP tidak menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang

sebenarnrya dimaksud dengan “bukti permulaan”, khususnya definisi “bukti

permulaan” yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan tersangka. Penjelasan

3 Ibid

4 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika, Jakarta, 2006,

hlm.4

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

5

mengenai apa yang dimaksud dengan “bukti permulaan” hanya disinggung secara

tanggung dan tidak menyelesaikan masalah oleh KUHAP dalam penjelasan Pasal

17 KUHAP, yang berbunyi "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan

untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.”

Karena KUHAP tidak mendefinisikan lebih lanjut mengenai apa itu “bukti

permulaan yang cukup”, khususnya yang dapat digunakan sebagai dasar

menetapkan seseorang menjadi tersangka, maka kita harus mencari definisi

tersebut dari sumber yang lain. Pada faktanya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan dalam Pasal 44

Ayat (2) bahwa “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila

ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas

pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik

secara biasa maupun elektronik atau optik”

Pembahasan mengenai “bukti permulaan” pernah dilakukan oleh Chandra

M. Hamzah5, dalam bukunya “Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan

Yang Cukup”. Menurutnya bahwa “bukti permulaan yang cukup” berfungsi

sebagai prasyarat dilakukannya penyidikan dan penetapan tersangka dan “bukti

permulaan yang cukup” dapat terdiri atas Keterangan (dalam proses

penyelidikan), keterangan saksi (dalam proses penyidikan), keterangan ahli

5 Chandra M. Hamzah, Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup, Pusat

Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, 2014, hlm. 23

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

6

(dalam proses penyidikan), dan barang bukti, bukan alat bukti (dalam proses

penyelidikan dan penyidikan).

Pemilihan terminologi “barang bukti” mengacu kepada hal dimana “bukti

permulaan yang cukup” hanya dikenal dalam proses penyelidikan atau

penyidikan, dan mengacu kepada Pasal 8 Ayat (3) huruf b KUHAP, dimana

dinyatakan bahwa “dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik

menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut

umum.”

Apabila kita mengacu pendapat Chandra Hamzah tersebut, maka jelas

bahwa terdapat ukuran yang objektif untuk menentukan bahwa telah terdapat

“bukti permulaan yang cukup”, yang mana ukuran tersebut dapat kita gunakan

sebagai ukuran telah terdapatnya “bukti permulaan yang cukup” untuk

menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Masuknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan pada dasarnya

mengundang banyak perdebatan, tidak hanya dikalangan pemerhati hukum, tapi

juga terjadi dilingkungan kehakiman seperti yang terjadi sebelum adanya putusan

Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Saat itu hakim Suko Harsono

(Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) mengabulkan gugatan praperadilan terhadap

status penetapan tersangka dalam kasus korupsi Remediasi PT. Chevron Pasific

Indonesia, namun Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut dan hakim

Suko Harsono dikenai sanksi administratif karena dianggap unprofessional

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

7

conduct.6 Selain itu dalam perkara yang berbeda, hakim M. Razzad (Hakim

Pengadilan Jakarta Selatan) juga mengabulkan gugatan praperadilan terhadap

penetapan status tersangka oleh Ditjen Pajak dengan tersangka Toto Chandra

(Pimpinan Permata Hijau Group). Putusan tersebut bernasib sama, Mahkamah

Agung membatalkan dan hakim M. Razzad diproses oleh Komisis Yudisial (KY)

karena dianggap unprofessional conduct.7 Belakangan ini mencuak kasus

penetapan tersangka yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

terhadap Calon Kapolri Budi Gunawan, dan dijukan pra peradilan di Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan. Hasilnya Hakim Sarpin (Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan) mengabulkan permohonan praperadilan penetapan status tersangka atas

nama Budi Gunawan. 3 (tiga) putusan tersebut menimbulkan polemik, antara

pihak yang mendukung putusan dengan landasan argument putusan agresif dan

contra legem dan pihak yang tidak mendukung dengan landasan argument

pelanggaran terhadap undang-undang.

Dalam kasus Budi Gunawan, mekanisme hukum yang ditempuh adalah

mekanisme praperadilan, dengan mengacu pada Pasal 77 KUHAP yang berbunyi

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah atau tidaknya

penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

6 Menggugat Praperadilan Penetapan Status Tersangka,

http://blogperadilan.blogspot.co.id/2015/ diangkses tanggal 27 Mei 2017. 7 ibid

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

8

dan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.” Berdasarkan pasal tersebut,

kita bisa melihat bahwa pada dasarnya, pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan

tersangka bukanlah objek atau hal yang dapat diuji dengan mekanisme

praperadilan. Tidak dimasukkannya penetapan tersangka dalam ruang lingkup

praperadilan tidak dapat dipersalahkan menurut hukum internasional

(internationally wrongful act) yang dapat dijadikan dasar menuntut adanya

tanggung jawab negara (state responsibility). Pasal 9 International Convenant on

Civil and Political Rigt (ICCPR) menegaskan8:

1) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun

dapat ditangkap secara sewenang-wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas

kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan

prosedur yang ditetapkan oleh hukum.

2) Setiap orang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus

segera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan kepadanya.

3) Setiap orang yang ditahan atau berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera

dihadapkan ke pejabat pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan

oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak diadili

dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan suatu ketentuan

8 Pendapat kedua Hakim Mahkama Konstitusi (MK) tersebut dikutip dari putusan MK

Nomor 21/PUU-XII/2014.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

9

umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan

dapat diberikan dengan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu

persidangan, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan,

apabila diputuskan demikian.

4) Siapapun yang dirampas, kebebasannya dengan cara penangkapan,

penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan tanpa menunda-

nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya dan memerintahkan

pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.

Indonesia hakikatnya telah mengatur substansi perlindungan terhadap hak

asasi manusia. Hal yang sama Muhammad Alim. Penetapan tersangka sebetulnya

bukanlah kewenangan praperadilan asal prosedur yang ditetapkan oleh hukum

acara pidana dilaksanakan dengan baik.9

Kemudian Budi Gunawan mengajukan praperadilan atas status tersangka

oleh Komisi Pemberantas Korupsi dan kemudian dikabulkan oleh hakim Sarpin

Rizaldi di Pegadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim membuat terobosan dengan

memasukan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, dan menyatakan

penetapan Budi Gunawan tidak sah. Atas putusan tersebut menuai pro dan kontra,

ada yang setuju dan tidak setuju. Ketidak setujuan banyak pihak karena dinilai

putusan hakim Sarpin tidak sesuai dengan KUHAP, yang tidak mengatur

penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.

9 Ibid.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

10

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, Penulis tertarik

melakukan penelitian terhadap penetapan tersangka sebagai objek praperadilan

dalam kerangka penegakan hukum yang dikaitkan dengan sistem hukum pidana

di Indonesia. Namun untuk memberikan gambaran secara menyeluruh terhadap

inti daripada penelitian ini maka Penulis akan merumuskannya dalam suatu judul

penelitian yakni “Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim Tentang

Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan Dalam Sistem Peradilan

Pidana di Indonesia (Studi Kasus Putusan Praperadilan No.

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel)”.

B. Masalah Pokok

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah diatas,

maka Penulis akan merumuskan beberapa masalah pokok dalam penelitian ini

sebagai berikut:

1. Bagaimana Pertimbangan Hakim Tentang Penetapan Tersangka Sebagai

Objek Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Studi Kasus

Putusan Praperadilan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel) ?

2. Bagaimana Prospektif Lingkup Praperadilan Pada Masa Mendatang ?

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

11

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Dari rumusan masalah dalam penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa

tujuan penelitian yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut yaitu:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim tentang penetapan tersangka sebagai

objek praperadilan dalam sistem peradilan pidana di indonesia dalam perkara

praperadilan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

2. Untuk mengetahui prospektif lingkup praperadilan pada masa mendatang.

Selain merupakan penelitian yang bertujuan untuk kepentingan ilmiah

ataupun ilmu pengetahuan, penulisan penelitian ini pada pokoknya memiliki

beberapa manfaat atau kegunaan yakni antara lain dapat penulis kemukakan

sebagai berikut:

1. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang eksistensi surat

penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia.

2. Memberikan pemahaman bagi penulis tentang apa saja yang termasuk

kedalam objek pemeriksaan praperadilan dan norma-norma maupun

perangkat hukum yang mengaturnya dalam sistem hukum pidana di

Indonesia.

3. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan

hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya tentang kajian

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

12

ilmiah terhadap eksistensi maupun kedudukan sah atau tidak sahnya

penetapan tersangka dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

4. Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi

dibidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis dimasa

yang akan datang.

5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan

kemampuan Penulis dalam bidang hukum khususnya dalam penerapan di

instansi penegak hukum.

D. Kerangka Teori

1. Praperadilan dan Perkembangannya di Indonesia.

Kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hak istimewa dan harus

dipertahankan oleh setiap warga negara. Jaminan akan hak-hak ini tidaklah dapat

hanya diberikan dengan kata-kata atau janji-janji saja namun haruslah dituangkan

ke dalam suatu bentuk, apakah itu amandemen, undang-undang, resolusi, maupun

dalam peraturan-peraturan. Lahirnya KUHAP didasarkan pada dua alasan, yaitu

alasan untuk menciptakan suatu ke tentuan yang dapat mendukung

terselenggaranya suatu peradilan pidana yang adil (fair trial) dan alasan adanya

urgensi untuk menggantikan produk hukum acara yang bersifat kolonialistik

sebagaimana yang tercantum dalam Herziene Inlandsch Reglement atau HIR.

Pedoman pelaksanaan KUHAP menjelaskan bahwa HIR sebagai produk dari

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

13

badan legislatif kolonial belum memberikan jaminan dan perlindungan yang

cukup terhadap hak asasi manusia. Dengan pertimbangan tersebut maka KUHAP

sebagai produk hukum nasional telah merumuskan ketentuan yang lebih baik dari

HIR.10

Ketentuan-ketentuan itu seperti dicantumkannya pengaturan tentang hak-

hak tersangka dan terdakwa, adanya bantuan hukum pada semua tingkatan

pemeriksaan, persyaratan dan pembatasan terhadap upaya paksa penangkapan

atau penahanan, pengajuan jenis-jenis upaya hukum yang lebih lengkap sampai

dengan tingkat yang paling akhir serta adanya bentuk pengawasan terhadap

pelaksanaan putusan merupakan hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam

HIR.11

Disamping pemikiran-pemikiran ingin melakukan pembaharuan mengenai

hak-hak asasi manusia, maka keinginan-keinginan untuk melakukan koreksi

terhadap pelaksanaan hukum juga mendapat perhatian tersendiri, terutama di

bidang proses pidana, bahwa penegakkan dan pelaksanaan hukum harus

memenuhi kebutuhan masyarakat dan perasaan keadilan. Dalam rangka

melaksanakan pembaharuan terhadap bidang hukum acara pidana, kemudian

berkembang pemikiran bahwa tindakan koreksi terhadap penegak hukum seperti

polisi, jaksa, dan lain-lain dalam bentuk penertiban yang melakukan

10

Departemen Kehakiman, Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Pelaksanaan

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Kepmen Kehakiman No. M.01.07.03 TH.1982. 11

ibid

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

14

penyelewengan, penyalahgunaan wewenang serta perbuatan-perbuatan lain harus

dilakukan secara maksimal, agar penegakkan hukum berlangsung dengan tepat

dan oleh karenanya diarahkan kedalam bentuk pengawasan vertikal yaitu ”bulit

in control” dan pengawasan horizontal. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi

manusia lebih banyak terjadi karena penggunaan kekuasaan yang sewenang-

wenang dalam hal ini antara lain muncul dalam bentuk penahanan penahanan

yang tidak tepat atau illegal arrest.12

Disadari bahwa diperlukan tindakan-tindakan tertentu dimana suatu

tindakan akan melanggar hak asasi seseorang, yakni tindakan upaya paksa yang

diperlukan bagi suatu penyidikan sehingga dapat menghadapkan seseorang

kedepan pengadilan karena didakwa telah melakukan tindak pidana, akan tetapi

bagaimanapun juga upaya paksa yang dilaksanakan tersebut akan menuruti aturan

yang telah ditentukan dalam undang-undang sehingga bagi seorang yang

disangka atau didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, mengetahui dengan

jelas hak-hak mereka dan sejauh mana wewenang dari para petugas penegak

hukum yang akan melaksanakan upaya paksa tersebut, dimana tindakan tersebut

akan mengurangi hak asasinya.13

Di Indonesia sendiri, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dari

segala sumber hukum yang berlaku di negara ini telah menjamin adanya

12

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan

Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 68 13

Ibid, hlm. 82

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

15

pengakuan dan perlindungan atas hak asasi manusia. Salah satu realisasi adanya

jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia tercermin pada beberapa

pasal seperti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman:

Pasal 7

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari

kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dengan

undang-undang. 14

Pasal 8

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan

di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan

pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh

kekuatan hukum tetap. 15

Pasal 9

1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa

alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai

orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti

kerugian dan rehabilitasi.

2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi

dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.16

Asas-asas hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 tersirat juga dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981.

Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan

pemeriksaan acara pidana, oleh undang-undang diberi kewenangan untuk

14

Pasal 7 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 15

Ibid, Pasal 8. 16

Ibid, Pasal 9.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

16

melakukan tindakan tindakan berupa upaya paksa yang pada prinsipnya

merupakan pengurangan pengurangan hak asasi manusia. Upaya paksa tersebut

harus mentaati ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-

undangan sehingga seseorang yang disangka atau didakwa telah melakukan

tindak pidana mengetahui dengan jelas hak-hak mereka dan sejauh mana

wewenang dari para petugas penegak hukum yang akan melaksanakan upaya

paksa tersebut.17

Seorang aparat dalam menjalankan kewajibannya sebagai penegak hukum

tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat tidak sesuai dengan ketentuan

undang-undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan

untuk kepentingan pemeriksaan demi terciptanya keadilan dan ketertiban

masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka,

atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin

perlindungan terhadap hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan

tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka KUHAP mengatur

suatu lembaga yang dinamakan praperadilan.

Lembaga praperadilan terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam Habeas

Corpus. Hal ini diterangkan oleh Adnan Buyung Nasution selaku penggagas awal

dari praperadilan: “Munculnya lembaga praperadilan didalam Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

17

Loebby Loqman, Pra-Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 10

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

17

(KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem

Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada

seorang tersangka untuk melakukan tuntutan ataupun gugatan terhadap pejabat

(polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu

benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia.”18

Lahirnya lembaga praperadilan ini dikarenakan adanya dorongan bahwa

tidak terdapatnya pengawasan dan penilaian upaya paksa yang menjamin hak

asasi manusia didalam HIR, yang dibentuk dengan berorientasi atas kekuasaan

pada zaman penjajahan kolonial Belanda. Praperadilan, pada prinsipnya,

bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas segala tindakan upaya

paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan

perkara pidana agar benar benar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan

peraturan hukum dan perundang undangan, disamping adanya pengawasan intern

dalam perangkat aparat itu sendiri. Hadirnya praperadilan bukan merupakan

lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan

fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang

telah ada selama ini.

Pada umumnya pemeriksaan di sidang Pengadilan di bidang hukum acara

pidana merupakan pemeriksaan mengenai perkara pokok dalam artian

18

Adnan Buyung Nasution, Praperadilan VS Hakim Komisaris : Beberapa Pemikiran

Mengenai Keberadaan Keduanya, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan- vs -hakim-

komisaris-beberapa-pemikiran-mengenai-keberadaan - keduanya, diakses tanggal 25 Mei 2017

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

18

pemeriksaan untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum. Kalau kita teliti

istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”praperadilan” maka maksud dan

artinya secara harfiah berbeda. Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti

”praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang Pengadilan (sebelum

memeriksa pokok dakwaan Penuntut Umum).

Di Eropa dikenal lembaga semacam ini, tetapi fungsinya memang benar-

benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi fungsi Hakim Komisaris

(Rechter commisaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis

benar-benar dapat disebut Praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya

penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan

atas suatu perkara. Misalnya penuntut umum di Belanda dapat meminta pendapat

hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan

dengan transaksi (misalnya perkara tidak diteruskan ke persidangan dengan

mengganti kerugian antara korban dengan pelaku tindak pidana) ataukah tidak.

Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun wewenang

praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutus apakah penangkapan atau

penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian penyidikan atau penuntutan

sah ataukah tidak. Tidak disebut apakah penyitaan sah ataukah tidak. Menurut

Oemar Seno Adji, lembaga rechter commisaris (hakim yang memimpin

pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di

Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

19

menangani upaya paksa (dwangmiddelen), penahanan, penyitaan, penggeledahan

badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat.19

Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang

seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah

tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau

tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.

Selain itu kalau Hakim Komisaris di negeri Belanda melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal

yang sama terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia

melakukan pengawasan terhadap kedua instansi tersebut. Begitu juga judge d’

Instruction di Prancis mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan

pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti yang lain. Ia

dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah, dan tempat-tempat tertentu,

melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah

pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu

perkara cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau

cukup alasan ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman

yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan ia akan

membebaskan tersangka dengan ordonace de non lieu. Namun demikian menurut

Lintong Oloan Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction,

19

Oemar Seno Adji, Hukum, Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 88.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

20

hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani

olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan

pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-

petunjuk jaksa.20

Menurut KUHAP tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan

melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan

tidak melakukan penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat

pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup

alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.

Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa

penuntut umum.

Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan

sejak adanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di tengah-

tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ditempatkan dalam Bab X, Bagian

Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi

Pengadilan Negeri.

Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan

lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, bukan pula sebagai instansi tingkat

20

Lintong Oloan Siahaan, Jalanya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 92 - 94.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

21

peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus

peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan

eksistensinya :

a) Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri,

dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat

Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari

Pengadilan Negeri;

b) Dengan demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau disamping

maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan

divisi dari Pengadilan Negeri;

c) Administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan

Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan

dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri;

d) Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial

Pengadilan Negeri itu sendiri.21

Dari gambaran diatas, eksistensi dan kehadiran Praperadilan bukan

merupakan lembaga tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang

dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri,

sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada

selama ini.

Selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan

memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap

tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya

penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum yang wewenang

21

M. Yahya Harahap, Op.,cit, hlm. 1

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

22

pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan. Hal tersebut terlihat dalam Pasal

1 butir 10 KUHAP yang menegaskan Praperadilan adalah wewenang Pengadilan

Negeri untuk memeriksa dan memutus :

a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;

b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

c) Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau

pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Kehadiran praperadilan dalam melindungi hak-hak tersangka/terdakwa

dalam upaya paksa juga dipertegas ditegaskan dalam pasal 77 KUHAP bahwa:

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan

yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:

a) Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan.

b) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya berada

dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai

lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai

satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri, dengan demikian,

Praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun sejajar dengan

Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri,

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

23

administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan

Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan

pembinaan Ketua Pengadilan Negeri, tata laksana fungsi yustisialnya merupakan

bagian dari fungsi yustisial.22

Lebih lanjut Ratna Nurul Alfiah mengatakan bahwa praperadilan

merupakan bagian dari pengadilan negeri yang melakukan fungsi pengawasan

terutama dalam hal dilakukan upaya paksa terhadap tersangka oleh penyidik atau

penuntut umum. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan bagaimana

seorang aparat penegak hukum melaksan akan wewenang yang ada padanya

sesui dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga aparat

penegak hukum tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya.

Sementara itu, bagi tersangka, atau keluarganya sebagai akibat dari tindakan

menyimpang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan

tugasnya, ia berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi.23

Menurut Wahyu Efendi, yang dikutip oleh S.Tanusubroto, kehadiran

Praperadilan ini memberikan peringatan:24

a) Agar penegak hukum hati-hati dalam melakukan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta mejauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang

22

S. Tanusubroto, Peranan Prapeeradilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung.

1982, hlm. 10 23

Ratna Nurul Alfiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, CV. Akademika Presindo,

Jakarta, 1986, hlm . 75 24

S. Tanusubroto, Op.,cit, hlm. 2

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

24

b) Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga Negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari pengak hukum yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

c) Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah, dalam memenuhi dan melaksanakan keputusan itu

d) Dengan rehabilitasi, maka orang tersebut telah dipulihkan haknnya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahaatan.

e) Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi oleh aparat penegak hukum karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.

Titik berat perhatian pemeriksaan Praperadilan dimulai untuk menentukan

apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan pemeriksaan apakah

petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanaan pemeriksaan terhadap

tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan

perintah jabatan yang diwenangkan atau tidak. Selain itu, tindakan sewenang-

wenang yang menyebabkan kekeliruan dalam penerapan hukum yang

mengakibatkan kerugian dan hak asasi tersangka menjadi kurang terlindungi.

Bila memperhatikan objek praperadilan yang diatur dalam KUHAP,

sebelumnya penetapan tersangka tidak termasuk ke dalam ranah praperadilan,

akan tetapi pada perkembangannya hal ini telah diubah oleh Mahkamah

Konstitusi melalui putusan permohonan perkara tersangka korupsi bioremediasi

PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah (Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014), dimana

MK memutuskan Pasal 77 huruf (a) UU Nomor 8 tahun 1981 bertentangan

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

25

dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan

tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Jika di dalam Pasal 77 huruf (a)

KUHAP mengatur kewenangan praperadilan hanya sebatas pada sah atau

tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

maka melalui putusan ini MK memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau

tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Perubahan objek praperadilan yang saat ini semakin luas yakni dengan

memasukkan penetapan tersangka untuk pertama kalinya setelah keluarnya

putusan Mahkamah Konstitusi terjadi saat Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan, Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan

atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam putusannya hakim Sarpin menegaskan penetapan tersangka sebagai objek

praperadilan. Secara eksplisit Penetapan tersangka tak disebut sama sekali baik

dalam Pasal 77 KUHAP maupun dalam Pasal 1 angka 10, dan 95 KUHAP,

sehingga putusan Sarpin memantik perdebatan dikalangan pakar ilmu hukum.

2. Sistem Peradilan Pidana

Pengertian sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro

adalah adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga

kepolisian. kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan terpidana.25

25

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan

Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Fakultas Hukum Unversitas Indonesia,

Jakarta, 1993, hlm.1

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

26

Dikemukakan pula bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice

system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.26

Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam

batas-batas toleransi masyarakat. Pengendalian kejahatan agar masih dalam batas

toleransi masyarakat tidak berarti memberikan toleransi terhadap suatu tindak

kejahatan tertentu atau membiarkannya untuk terjadi. Toleransi tersebut sebagai

suatu kesadaran bahwa kejahatan akan tetap ada selama masih ada manusia di

dalam masyarakat. Jadi, dimana ada masyarakat pasti tetap akan ada kejahatan.

Muladi memberikan pengertian sistem peradilan pidana yaitu suatu

jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana

utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum

pelaksanaan pidana.27

Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat

dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila

dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa kepada

ketidakadilan.

Sedangkan Remington dan Ohlin mengartikan sistem peradilan pidana

sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan

pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi

26

Romli Atmasasmita, Op.,cit, hlm. 15 27

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang, 1995, hlm. 18

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

27

antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau

tingkah laku sosial.28

Adapun tujuan sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro

adalah :29

a) Mencegah masyarakat menjadi objek/korban.

b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana.

c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.

Secara konkrit tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah

seseorang bersalah atau tidak. Peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang

diikat oleh aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-

batas konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan.

Berbeda halnya dengan tujuan hukum acara pidana yang tertuang dalam pedoman

pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa

tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau setidak-

tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara

pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang

28

Romli Atmasmita, Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System) Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1996,

hlm. 14 29

Ibid, hlm. 15

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

28

dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya

meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah

terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang

didakwakan itu dapat dipersalahkan. Dan fungsi dari hukum acara pidana adalah

mendapatkan kebenaran materiil, putusan Hakim, dan pelaksanaan putusan

Hakim.30

Berkaitan dengan tujuan peradilan pidana ini, Harry C. Bredmeire

memandang bahwa tugas pengadilan adalah untuk membuat suatu putusan yang

akan mencegah konflik dan gangguan terciptanya suatu kerjasama, dalam hal ini

untuk mewujudkan tugasnya itu pengadilan membutuhkan tiga masukan (input),

yaitu :

1) Pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab akibat

antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan

diderita akibat dari putusan tersebut.

2) Pengadilan membutuhkan evaluasi tuntutan-tuntutan yang saling

bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan.

3) Pengadilan membutuhkan suatu kemauan para pihak untuk menggunakan

pengadilan untuk penyelesaian konflik.31

30

Yulies Tina Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 83 31

Achmad Ali, Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, BP Iblam, Jakarta,

2004, hlm. 12-14.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

29

Sedangkan Muladi, membagi tujuan dari sistem peradilan pidana ke

dalam beberapa tujuan yaitu sebagai berikut:32

a) Tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana.

Tujuan jangka pendek lebih diarahkan kepada pelaku tindak pidana

dan mereka yang berpotensi melakukan kejahatan, yaitu diharapkan pelaku

sadar akan perbuatannya sehingga tidak melakukan kejahatan lagi, demikian

pula orang lain tidak melakukan kejahatan sehingga kejahatan semakin

berkurang.

b) Tujuan jangka menengah berupa pencegahan kejahatan.

Tujuan jangka menengah adalah terwujudnya suasana tertib, aman dan

damai di dalam masyarakat. Tentu tujuan menengah ini akan dapat tercapai

jika tujuan jangka pendek tercapai sebab tidak mungkin akan tercipta rasa

aman dan damai di masyarakat jika kejahatan masih tetap terjadi

c) Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial

Sementara tujuan jangka panjang sistem peradilan pidana adalah

terciptanya tingkat kesejahteraan yang menyeluruh di kalangan masyarakat.

Tujuan ini adalah konsekuensi dari tujuan jangka pendek dan menengah,

sehingga keberhasilannya juga tergantung pada tujuan-tujuan sebelumnya.

32

Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indoensia, UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm.

3-4.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

30

Barda Nawawi Arif berpendapat sistem peradilan pidana pada hakikatnya

identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pada

dasarnya merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum ini dapat

diidentikan dengan istilah kekuasaan kehakiman33

. Karenanya sistem peradilan

pidana pada hakekatnya juga identik dengan sistem kekuasaan kehakiman

dibidang hukum pidana yang diwujudkan dalam empat sub sistem, yaitu :

1. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik;

2. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum;

3. Kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan; dan

4. Kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.

Keempat subsistem di atas merupakan satu kesatuan penegakan hukum

pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah sistem peradilan pidana,

oleh karena itu maka kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lembaga.

Proses persidangan juga merupakan salah satu tahap terpenting dalam

keseluruhan sistem peradilan. Dalam perkara pidana, tata cara penegakan hukum

dimulai sejak penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan. Apabila

rangkaian proses itu terlambat dapat dipastikan hasil akhir juga bermasalah.

Dalam praktek selama ini ditemukan adanya sumber utama dalam mekanisme

penegakan hukum, yaitu:34

33

Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana

Terpadu, BP Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hlm. 19, 20, 26 34

Moh. Hatta, Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Galang Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 63

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

31

1. Sumber perundang-undangan;

2. Berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM);

3. Budaya Hukum;

4. Alasan Subjektif.

3. Kewenangan Hakim Dalam Memutus Perkara

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk membatasi dan

melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam pergaulan antar manusia,

pada hakekatnya merupakan tugas hukum35

. Hukum berfungsi sebagai

perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi,

hukum harus dilaksanakan36

dalam artian hukum harus ditegakkan.

Hakim dalam hal ini merupakan pengemban tugas dan kewajiban untuk

menyelidiki apakah perbuatan-perbuatan yang benar terjadi itu sungguh sesuai

dengan kaidah hukum yang disusun secara teoritis.37

Kepada hakim dikemukakan kejadian atau fact; hakim harus menyelidiki

apakah facts itu adalah sesuai dengan uraian teoritis yang dinyatakan dalam

kaidah hukum tersebut. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa hakim harus

selalu memberikan keputusan didalam suatu hal (sengketa) khusus diantara dua

35

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2008.hlm. 147 36

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta,

Yogyakarta, 1999, hlm. 145. 37

Soedjono Dirdjosisworo, Op.cit, hlm. 147

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

32

pihak.38

Salah satu kewajiban hakim adalah memberikan putusan yang seadil-

adilnya demi kepentingan masyarakat dan juga demi terwujudnya kepastian

hukum, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

masyarakat. Dengan demikian berusaha untuk mencapai sasaran dari pada tujuan

hukum yang sebenarnya, baik dalam hal memberikan keadilan, kepastian hukum

dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Sejak awal perkembangan teori dan filsafat hukum terutama sejak adanya

ajaran cita hukum (idee des recht) yang dikembangkan oleh Radbruch

sebagaimana dinyatakan juga oleh Sudikno Mertokusumo39

, menyebutkan ada 3

(tiga) unsur yang harus diperhatikan dalam proses penegakan hukum, yaitu:

kepastian hukum (rechtssicherheit), keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan

(zweckmassigkeit). Cita hukum tersebut merupakan satu kesatuan, tidak bisa

dipisahkan satu persatu, ketiganya harus diusahakan ada dalam setiap aturan

hukum. 40

Tiga unsur cita hukum tersebut harus diwujudkan dalam masyarakat.

Kendatipun ketiganya selalu ada dan mendasari dalam kehidupan masyarakat,

tetapi tidak berarti bahwa ketiganya selalu berada dalam keadaan dan hubungan

yang harmonis. Dalam menegakkan hukum harus diusahakan ada kompromi

38

Ibid 39

Sudikno Mertokusumo, 1999, Loc.cit. 40

Fence M. Wantu, Peranan Hakim Dalam Mewujudkan Nilai Kepastian Hukum, Keadilan

dan Kemanfaatan Diperadilan Perdata, Desertasi, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, hlm. 6

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

33

antara ketiga unsur tersebut, tetapi dalam praktik tidak selalu mudah

mengusahakan kompromi secara seimbang antara kepastian hukum, keadilan dan

kemanfaatan, sehingga seringkali mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan

sebenarnya dari hukum.

Hukum hanya dapat mencapai tujuannya apabila dapat menyeimbangkan

antara kepastian hukum dan keadilan atau keserasian antara kepastian yang

bersifat umum atau obyektif dan penerapan keadilan secara khusus yang bersifat

subyektif.41

Sedangkan maksud tujuan hukum itu sendiri adalah menghendaki

kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kepastian memiliki arti

“ketentuan; ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan

kata hukum menjadi “kepastian hukum” memiliki arti “perangkat hukum” suatu

negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.”42

Tema kepastian hukum sendiri, secara historis, merupakan tema yang

muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan dinyatakan oleh

Montesquieu, bahwa dengan adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas

penciptaan undang-undang itu ditangan pembentuk undang-undang, sedangkan

hakim (peradilan) hanya bertugas menyuarakan isi undang-undang saja.43

41

Soedjono Dirdjosisworo, Op.cit, hlm. 18 42

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2008, hlm. 1028 43

E.Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan

Antinomi Nilai, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 92-93

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

34

Radbruch memberi pendapat yang cukup mendasar mengenai kepastian

hukum. Ada 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian

hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif yakni perundang-undangan.

Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang

ditetapkan itu pasti. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan

dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam

pemaknaan, disamping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif

tidak boleh mudah berubah. 44

Sementara Van Apeldoorn berpendapat kepastian hukum yaitu adanya

kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua warga

masyarakat termasuk konsekuensi-konsekuensi hukumnya. Kepastian hukum

dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan dari hukum, dalam hal-hal yang

konkret.45

Nilai kepastian hukum mempunyai relasi yang erat dengan instrument

hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam

hukum positif.

Pada dasarnya kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai

dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum

dilaksanakan. Kepastian hukum intinya adalah hukum ditaati dan dilaksanakan.

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan

perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang

berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam

keadaan tertentu.46

Alasan yang mendasar, bahwa masyarakat mengharapkan adanya

kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih

44

Ibid.,hlm. 7 45

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan dari Inleiding Tot de Studi Van Het

Nederlndse Recht oleh Oetarid Sadino). Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm. 24-25. 46

Sudikno Mertokusumo, 1999, Loc.cit.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

35

tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk

ketertiban umum. Berdasarkan hal tersebut kepastian hukum dapat dimaknai

yakni: Pertama, adanya kejelasan hukum itu sendiri. Kedua, hukum itu tidak

menimbulkan keraguan atau multi tafsir. Ketiga, hukum itu tidak menimbulkan

dan mengakibatkan kontradiktif. Keempat, hukum itu dapat dilaksanakan.

Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya

hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Hukum yang berlaku pada dasarnya

tidak boleh menyimpang, hal ini dikenal juga dengan istilah “fiat justitia et pereat

mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).

Sedangkan unsur kedua yaitu keadilan, memiliki sejarah pemikiran yang

panjang karena merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani

Kuno. Hendry Cambel Black dalam bukunya “Black’s Law Dictionary”

mengatakan:

Keadilan sebagai pembagian yang konstan dan terus menerus untuk

memberikan hak setiap orang. The constant and perpetual disposition to

render every man his due. 47

Menurut Plato, keadilan adalah kemampuan memperlakukan setiap orang

sesuai dengan haknya masing-masing. Dapat dikatakan keadilan merupakan nilai

kebajikan yang tertinggi (justice is the supreme virtue which harmonization all

ather virtues). Selain itu Plato menyatakan keadilan merupakan nilai kebajikan

47

Fence M. Wantu, Op.cit, hlm. 9

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

36

untuk semua yang diukur dari apa yang seharusnya dilakukan secara moral,

bukan hanya diukur dari tindakan dan motif manusia.

Sementara Aristoteles menyatakan bahwa keadilan menuntut supaya tiap-

tiap perkara harus ditimbang tersendiri: ius suum cuique tribuere.48

Akan tetapi

kenyataannya kepentingan perseorangan dan kepentingan golongan selalu

bertentangan. Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian.

Selanjutnya Aristoteles dalam tulisannya “Rhetorica” mengajarkan

adanya dua macam keadilan yakni keadilan distributief dan keadilan

commutatief.49

Keadilan ditributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-

tiap orang jatah menurut jasanya. Keadilan distributief tidak menuntut supaya

tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan,

melainkan kesebandingan. Dalam praktik keadilan distributief dapat dilihat dalam

hubungan antara masyarakat dengan negara dan dengan perseorangan khusus.

Dalam hal ini adalah asas kesebandingan seperti dalam hukum perdata, antara

lain pasal 647 dan pasal 662 BW.

Keadilan commutatief ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang

sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan

commutatief dalam praktiknya dapat dilihat dalam kegiatan tukar menukar, pada

pertukaran barang dan jasa, dimana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan

48

Van Apeldoorn, Op.cit, hlm. 13 49

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 51

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

37

antara apa yang dipertukarkan. Jadi lebih menguasai hubungan antara

perseorangan.

Thomas Aquinas membangun teori keadilan dengan bertolak pada asumsi

bahwa setiap orang memiliki integritas. Integritas diwujudkan melalui aktualisasi

kesetaraan (equality) hak yang dimiliki. Sedangkan Roscoe Pound melihat

keadilan dalam hasil-hasil konkret yang bisa diberikannya kepada masyarakat.50

Selanjutnya Jhon Rawls memberikan pandangannya yakni untuk

mencapai suatu keadilan, disyaratkan sekaligus adanya unsur keadilan yang

substantive (justice) yang mengacu kepada hasil dan unsur keadilan procedural

(fairness). Atas dasar demikian muncullah istilah yang digunakan Rawls yakni

justice as fairness, meskipun dari istilah justice as fairness tersebut mengandung

arti bahwa unsur fairness mendapat prioritas tertentu dari segi metodologinya.

Apabila unsur fairness sudah tercapai, maka keadilan sudah terjadi. Dengan

demikian unsur fairness atau keadilan procedural sangat erat hubungannya

dengan keadilan substantive (justice).51

Keadilan merupakan salah satu hal yang harus diwujudkan oleh

pengadilan. Berbagai pendapat ahli hukum menyatakan hukum salah satunya

adalah memberikan keadilan bagi masyarakat siapa saja. Keadilan merupakan

50

E.Fernando M. Manullang, Op.cit, hlm. 98 51

Fence M. Wantu, Op.cit, hlm. 10

Page 38: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

38

bagian yang tidak terpisahkan dari hukum itu sendiri. Hukum pada dasarnya

berintikan keadilan.

Hans Kelsen dalam bukunya General Theory, mengatakan bahwa hukum

yang dipisahkan dari keadilan adalah hukum positif.52

Sedangkan Soedjono

Dirdjo Sisworo memberi pemikiran tentang hukum dan keadilan, yaitu:

Hukum menghendaki perlakuan yang sama untuk semua orang, serta

diaturnya dalam ketentuan hukum, inilah yang dinamakan persamaan hak.

Persamaan hak ini berdasarkan suatu asas yang luhur, yang sebenarnya

tidak termasuk dalam lapangan hukum, tetapi dilapangan etika. Asas yang

luhur itu ialah keadilan. Persamaan hak yang timbul dari prinsip keadilan,

mengandung pengertian bahwa untuk hal-hal yang bersamaan, berlaku

pula peraturan-peraturan yang sama, yang bersamaan dalam peristiwa-

peristiwa itu mendapat perlakuan yang sama, dan hal-hal yang tidak

bersamaan, memperoleh perlakuan yang berbeda-beda, setimpal dari

penyimpangan dari keadaan yang normal.53

Selanjutnya unsur ketiga yaitu kemanfaatan, Radbruch mengatakan

bahwa hukum adalah segala yang berguna bagi rakyat.54

Sebagai bagian dari cita

hukum (idée des recht), keadilan dan kepastian hukum membutuhkan pelengkap

yaitu kemanfaatan. Kemanfaatan berkembang pada penganut aliran “utilistis”

seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf Von Jhering. Mereka

berpendapat bahwa pada intinya hukum harus bermanfaat untuk membahagiakan

kehidupan manusia. Hukum yang baik menurut aliran ini adalah hukum yang

dapat mendatangkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

52

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 16 53

Soedjono Dirdjosisworo, Op.cit, hlm. 12-13 54

Fence M. Wantu, Op.cit, hlm. 12

Page 39: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

39

Bentham menyatakan pada hakikatnya manusia akan bertindak untuk

mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi

penderitaannya. Kebahagiaan tersebut diartikan sebagai kebebasan untuk

mengemukakan diri dalam membela hak-hak asasi manusia itu sendiri.

Dalam kaitan lain, Bentham berpendapat bahwa pembentuk undang-

undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat

memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebesar-besar

jumlah individu dalam masyarakat. (the greatest happiness of the greatest

number). 55

Sementara Jhon Stuart Mill mengkaitkan lebih jauh hubungan antara

unsur kemanfaatan dan unsur keadilan. Mill berpendapat bahwa: standar keadilan

harus didasarkan pada unsur kemanfaatan, tetapi sumber kesadaran keadilan itu

bukan terletak pada keadilan, melainkan pada 2 (dua) hal yaitu rangsangan untuk

mempertahankan diri dan rasa simpati. Sumber keadilan terletak pada naluri

manusia untuk menolak atau membalas kerusakan yang dideritanya, baik oleh

diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari orang lain. Secara

garis besar pendapat Mill lebih bersifat menyempurnakan gagasan dari Bentham.

Mill mengkaitkan kebahagiaan perorangan dengan keharusan untuk menciptakan

kebahagiaan manusia seharusnya.56

Sementara menurut Sudikno Mertokusumo, masyarakat mengharapkan

manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk

manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus

memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru

karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam

masyarakat.57

55

Ibid. 56

Ibid.,hlm. 13 57

Sudikno Mertokusumo, 1999, Op.cit, hlm. 145-146

Page 40: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

40

Pendapat Mertokusumo tersebut dapat dimaknai bahwa dalam

menegakkan hukum, ketiga unsur cita hukum tersebut memang harus mendapat

perhatian secara proporsional seimbang.

Memandang kepastian hukum dan keadilan, seperti memandang dua sisi

mata uang, karena keduanya harus ada, jika keadaan yang damai hendak dicapai.

Misalnya, sebuah keadilan tidak dapat digapai, apabila kepastian tidak dipenuhi,

karena subyek hukum tertentu dapat dihukum tanpa memerhatikan terlebih

dahulu, apakah tindakan yang dianggap sebagai suatu pelanggaran atau

kejahatan, memang merupakan suatu delik. Dengan kata lain, apakah sebelumnya

sudah dipastikan terlebih dahulu , bahwa tindakan pelanggaran atau kejahatan.itu

merupakan rumusan delik? Jika hal tersebut belum dirumuskan, maka

penghukuman terhadap tindak pelanggaran atau kejahatan dapat dikategorikan

sebagai kesewenang-wenangan, yang pada prinsipnya menghilangkan nilai

keadilan.58

Apa yang pasti dalam hukum, belum tentu memberikan keadilan. Begitu

pula sebaliknya, apabila keadilan saja yang dipenuhi, tanpa memerhatikan apakah

hal itu memberikan kepastian hukum, juga dapat menghancurkan nilai keadilan

itu sendiri. Hakim dapat menyatakan bahwa keputusannya adil, namun apabila

putusannya itu diambil tanpa dasar hukum yang pasti, apakah hal itu dapat

diterima, sehingga apa yang diputuskan sungguh-sungguh dapat

58

E. Fernando M. Manullang, Op.cit, hlm. 102

Page 41: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

41

dipertanggungjawabkan? Apa yang adil, jika tidak berdasarkan pada suatu

kepastian hukum, pada akhirnya tidak bernilai adil. Jadi mengedepankan nilai

keadilan saja, belum tentu akan secara otomatis memberikan kepastian hukum.59

Menanggapi unsur kepastian dan keadilan tersebut, Soedjono Dirdjosisworo60

,

dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum” berpendapat:

Kepastian hukum (yang senantiasa hendak melihat sifat-sifat umum

dalam tiap-tiap hal), menurut asasnya berlawanan dengan keadilan (yang

senantiasa melihat sifat-sifat khusus dalam tiap-tiap hal). Kepastian

hukum adalah syarat mutlak bila dikehendaki supaya hukum dapat

menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, keadilan dijadikan

pedoman bagi kebenaran isi hukum. Kedua-duanya (kepastian dan

keadilan) bertentangan satu sama lain, serta menerbitkan perselisihan

yang tak dapat dihilangkan. Akan tetapi kedua-duanya dibutuhkan, agar

hukum dapat menyelenggarakan tugasnya dengan baik serta dapat

mencapai maksudnya.

Soedjono Dirdjosisworo melakukan pertimbangan dengan menanggapi

persoalan tersebut sebagai berikut:

Karena bukankah: keadilan yang dipegang terus menerus menuntut

supaya tiap-tiap hal senantiasa ditinjau dan dipertimbangkan sendiri-

sendiri. Hal ini berarti, bahwa bilamana tiap-tiap orang harus mendapat

sebanyak-banyaknya apa yang patut diperolehnya, maka hukum itu

selamanya terjerumus dalam penyelidikan perkara-perkara bagian yang

kurang penting, soal-soal detail. Akibatnya ialah bahwa hukum tak dapat

menarik garis-garis besar, tak dapat menyusun peraturan-peraturan umum.

Dan bilamana demikian halnya maka hukum tidak dapat juga

menjalankan tugasnya dengan baik, karena hal yang demikian hanya

mendatangkan kerugian bagi kepastian hukum dan kurang pandangan-

pandangan objektif didalamnya.61

59

Ibid.,hlm. 102-103 60

Soedjono Dirdjosisworo, Op.cit, hlm. 15 61

Ibid.,hlm. 14

Page 42: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

42

Hukum yang pasti, seharusnya juga adil, dan hukum yang adil, juga

seharusnya memberikan kepastian hukum. Disinilah kedua nilai itu mengalami

situasi yang antinomis, karena menurut derajat tertentu, nilai-nilai kepastian dan

keadilan, harus mampu memberikan kepastian terhadap hak tiap orang secara

adil, tetapi juga harus memberikan manfaat dari padanya.62

Kemanfataan hukum sebagai unsur ketiga mutlak diperlukan, mengingat

hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum

harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai karena

justru hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam

masyarakat. Unsur kemanfaatan hukum ini memiliki esensi filosofis yang amat

mendalam., yaitu karena hukum ditujukan kepada manusia maka harus

memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia atau dalam

pernyataan yang lebih tegas menyebutkan: bahwa esensi hukum untuk

(menghamba) manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Jelaslah bahwa

penegakan hukum diperlukan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan

sebagai sebagai hal yang mutlak diperlukan. Jika hal dipenuhi, maka hukum

dapat mencapai tujuan yang sebenarnya.

62

E.Fernando M. Manullang, Op.cit. hlm. 103

Page 43: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

43

E. Konsep Operasional

Guna menghindari terjadinya salah penafsiran dalam penelitian ini, maka

penulis merasa perlu membatasi istilah-istilah yang berkenaan dengan judul

penelitian. Adapun batasan-batasan istilah judul tersebut adalah sebagai berikut:

1. Eksistensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

keberadaan.63

2. Penetapan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan

sebagai perbuatan menetapkan.64

3. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.65

4. Praperadilan adalah suatu proses persidangan tersendiri yang berlangsung

sebelum pokok perkaranya diperiksa atau disidangkan, dengan kata lain

Praperadilan dapat diartikan sebagai sidang pendahuluan yang merupakan

forum untuk menguji sah atau tidaknya upaya paksa atau penggunaan

wewenang yang digunakan oleh aparat penegak hukum.66

63

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramdia Pustaka, Jakarta, 2008, hlm. 378 64

Ibid, hlm. 1357. 65

KUHP & KUHAP, Permata Press, 2007, hlm. 195 66

Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 80

Page 44: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

44

5. Penegakan Hukum adalah merupakan sebuah mekanisme untuk

merealisasikan kehendak pembuat Perundang-Undangan yang dirumuskan

dalam produk hukum tertentu.67

6. Sistem sebagaimana disebutkan Satjipto Rahardjo adalah sebagai jenis satuan,

yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu ini menunjukan kepada

suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Beliau juga memaknai sistem

sebagai suatu rencana, metode atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.68

7. Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri

dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga

Permasyarakatan terpidana.69

Dikemukakan pula bahwa sistem peradilan

pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan.70

67

Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Sinar

Biru, 2005, hlm. 24. 68

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 48 69

Mardjono Reksodiputro, Op.,cit, hlm. 1 70

Romli Atmasasmita, Op.,cit, hlm. 15

Page 45: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

45

F. Metode Penelitian

Sebelum membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan metode

penelitian yang dipakai dalam penulisan tesis ini, terlebih dahulu penulis

paparkan pengertian dari penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki

dalam bukunya “Penelitian Hukum” memberikan pengertian penelitian hukum

sebagai berikut:

“Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu

hukum yang dihadapi.”71

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari

pemecahan atas isu hukum yang timbul. Hasil yang dicapai adalah untuk

memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya atas isu yang

diajukan.72

Pada keilmuan yang bersifat deskriptif jawaban yang

diharapkan didalam penelitian hukum adalah true atau false, sedangkan

jawaban yang diharapkan dalam penelitian hukum adalah right,

oppropriate, inappropriate, atau wrong. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa hasil yang diperoleh didalam penelitian hukum sudah

mengandung nilai.73

Sedangka Soerjono Soekanto memberikan pengertian penelitian hukum

sebagai kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan

pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau

beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. Disamping

itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang

bersangkutan.”74

Penelitian hukum secara umum dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu

penelitian hukum normatif (doctrinal research) dan penelitian hukum survey

71

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 35 72

Ibid.,hlm. 41 73

Ibid.,hlm. 35 74

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 18.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

46

(observational research). Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum normatif

adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder belaka, yang kesemuanya merupakan penelitian yang mencakup

penelitian terhadap:

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum, yaitu bertitik tolak dari bidang-bidang

tata hukum (tertulis) tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih

dahulu terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam

perundang-undangan tertentu.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum, dapat dilakukan terhadap perundang-

undangan tertentu ataupun hukum tercatat, yakni bertujuan untuk

mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam

hukum.

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, yaitu meneliti

sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Hal itu dapat ditinjau

secara vertikal, yakni apakah perundang-undangan yang berlaku bagi suatu

bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut

hierarki perundang-undangan tersebut. Sedangkan secara horizontal maka

yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur

bidang yang sama. .75

75

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2009, hlm. 14

Page 47: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

47

Sedangkan penelitian hukun survey atau penelitian hukum empiris adalah

sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam

artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya

hukum di masyarakat, atau dengan kata lain penelitian yang mengambil sampel

dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data

yang pokok76

Dari penjelasan definisi maupun pembagian penelitian hukum

sebagaimana tersebut diatas, maka dapat dijelaskan metode penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

Sesuai dengan judul maupun rumusan masalah yang penulis angkat

sebagai objek kajian dalam penelitian, maka penyusunan penelitian hukum ini

lebih kepada metode penelitian dengan jenis penelitian hukum normatif

(normative law research).

Sedangkan untuk mengetahui sifat dari pada penelitian ini, maka untuk itu

penulis terlebih dahulu akan mengutip pendapat Sugiono yang mengomentari

tentang sifat penelitian dalam kaitannya dengan metode suatu penelitian.

Pendapat tersebut menyatakan sebagai berikut:

Metode deskriptif analitis menurut Sugiono adalah adalah suatu metode

yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap

76

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta, 1989,

hlm.3

Page 48: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

48

obyek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul

sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan

yang berlaku untuk umum. Dengan kata lain penelitian deskriptif analitis

mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah

sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan hasil penelitian yang

kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.77

Dari penjelasan diatas, maka penulisan penelitian ini bersifat deskriptif

analitis. Dalam hal ini penulis mempelajari data sekunder yang berkaitan dengan

norma-norma hukum tentang praperadilan secara umum dan penetapan tersangka

sebagai objek praperadilan dalam sistem peradilan pidana.

Berdasarkan sifat keilmuan ilmu hukum, Jan Gijssels dan Mark van

Hoecke dalam bukunya membagi ilmu hukum dalam tiga lapisan yaitu,

rechtsdogmatiek (Dogmatik Hukum), rechtsteorie (Teori Hukum), dan

rechtsfilosie (Filsafat Hukum). Akan tetapi kedua penulis tersebut kemudian

menegaskan bahwa hanya dua disiplin yang murni ilmu hukum, yaitu dogmatik

hukum dan teori hukum. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa filsafat hukum

sebagaimana sosiologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum, logika hukum

termasuk kedalam disiplin induknya, yaitu filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah

dan logika.78

Berdasarkan hal tersebut, penulisan penelitian hukum ini tidak lain

merupakan penelitian dalam lapisan rechtsdogmatiek (Dogmatik Hukum),

rechtsteorie (Teori Hukum).

77

Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D),

Alfabeta, Bandung, 2009, hlm. 29 78

Peter Mahmud Marzuki, Op.,cit, hlm. 25

Page 49: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

49

Pada kenyataannya, ilmu hukum mempunyai dua aspek, yaitu aspek

praktis dan aspek teoritis. Mengingat hal itu penelitian hukum dapat dibedakan

menjadi penelitian untuk keperluan praktis dan penelitian untuk kajian

akademis.79

Dalam hal ini penulisan penelitian hukum yang penulis buat adalah

untuk kajian akademis yaitu berupa karya akademis dalam bentuk Tesis.

2. Data dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder.80

Adapun data sekunder yang

digunakan adalah terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat secara yuridis, yaitu :

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Putusan Praperadilan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

4) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer yang berfungsi untuk menambah atau memperkuat dan memberikan

79

Ibid. 80

Ibid.,hlm. 15

Page 50: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

50

penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu semua dokumen yang

merupakan sumber informasi dan bahan referensi berupa hasil-hasil

penelitian dan buku-buku hukum yang berkaitan dengan objek penelitian.

c. Bahan Non Hukum

Merupakan bahan non hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara

lain berupa kamus bahasa, ensiklopedia dan lain sebagainya.

3. Analisis Data

Langkah yang pertama kali dilakukan oleh penulis yaitu mengumpulkan

data dari bahan hukum primer, lalu selanjutnya penulis mempelajari serta

mengelompokkan data tersebut dan kemudian data dianalisis secara kualitatif

yaitu dengan cara mendiskripsikan/menggambarkan data berupa ketentuan

peraturan perundang-undangan kemudian membandingkannya dengan pendapat

para ahli hukum serta mengaitkannya dengan kenyataan yang umumnya terjadi

dalam praktek hukum di Indonesia. Tahapan analisis dimulai dari pengumpulan

data, pengolahan data, dan terakhir penyajian data81

. Adapun penarikan

kesimpulan adalah dengan cara induktif, yaitu penarikan kesimpulan dari hal

yang khusus ke pada hal yang umum.82

81

Pedoman Penulisan Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam Riau,

Pekanbaru, 2015, hlm. 13 82

Ibid, hlm. 13

Page 51: BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,

51

A. Saran

1. Dalam mengadili suatu perkara hakim harus bersikap progresif, futuristik, dan

berani melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Namun dalam

melakukan penemuan hukum terhadap suatu perkara, hakim harus teliti

mempelajari dan memahami nilai-nilai yang berkembang didalam masyarakat

sehingga putusan tersebut tidak dianggap melanggar kode etik. Hakim juga

harus menjalankan sidang dari awal sampai akhir secara independen (tidak

ada konflik kepentingan dan/atau intervensi dari pihak mana pun) dan harus

sesuai prosedur hukum.

2. Pembaharuan Hukum Acara Pidana kita boleh dikatakan belum mendapat

perhatian khusus dari pembuat undang-undang, buktinya sampai saat ini kita

masih memakai Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang tidak lagi

sesuai dengan perkembangan kemajuan masyarakat. Sehingga seharusnya

perlu dilakukan perubahan untuk menciptakan penegakan hukum yang dicita-

citakan oleh masyarakat.