Upload
dothien
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
GKI Di Tanah Papua dalam menjalankan misinya, kini sedang
menghadapi realitas masa kini yaitu: masyarakat yang majemuk dengan
pluralisme agama-agama, Marginalisasi, Stigmalisasi, Intimidasi, ketidakadilan
sosial, ketertinggalan, konflik serta kerusakan lingkungan.
Propinsi Papua yang terletak di ujung timur Negara Kesatuan Republik
Indonesia, merupakan posisi yang sangat strategis, terletak diantara benua Australia
dan benua Asia sekaligus menjadi pintu gerbang di bagian timur Indonesia. Posisi ini
telah mengundang berbagai suku bangsa dan budayanya memasuki Tanah
Papua. Menurut Rumsarwir.1 Tanah Papua walaupun sejak abad ke 16 telah
didatangi dan berhubugan dengan orang-orang lain dari luar daerah, tetapi kontak
yang singkat dan sporadis itu tidak membawa banyak faedah bagi perubahan
yang berarti di Papua. Baru ketika Injil diberitakan, dibawa masuk oleh dua
orang Zendeling asal Jerman, yaitu: Ottow dan Geissler, maka perubahan dan
pengenalan tentang Papua mulai berarti. Pengaruh-pengaruh dari luar secara pelan
mulai bertumbuh dan menjadi bagian dari kehidupan orang Papua.
1 W F. Rumsarwir, Injil dan Kebudayaan dalam Sejarah GKI Di Irian Jaya, ed. Duim dan
Sulistyo,(Jayapura:Biro Pengabdian dan Penelitian STT I.S. Kijne dan
Dep.Penelitian dan Pengembangan Sinode GKI TP, 1988)Hlm. 25
Menurut F. Ukur dan F.L.Cooley2, kedatangan bangsa barat ke benua
Asia pada umumnya dan Indonesia khususnya didorong oleh dua faktor utama :
faktor ekonomis dan faktor politis, serta diperkuat oleh faktor pendorong lain yaitu
faktor agama.
Tanah Papua yang memiliki luas Tiga setengah kali pulau Jawa, dengan
penduduk yang sedikit serta memiliki tanah yang subur, telah ditetapkan menjadi sala
satu tujuan program transmigrasi masyarakat dari jawa, bali dan nusa tenggara. Para
transmigran ini telah tumbuh dan berkembang menjadi banyak dan hidup
berbaur dengan penduduk asli Papua. Kenyataan lainnya, bahwa Tanah Papua yang
kaya dengan Sumber Daya Alam merupakan daya tarik tersendiri bagi berbagai suku
dari seluruh Indonesia untuk memasuki Tanah Papua dari waktu ke waktu dan
menetap disana. Para pendatang dari luar inilah yang pada akhirnya menguasai
sektor ekonomi, pasar dan perdagangan.
Sejak integrasi Papua ke dalam NKRI, berbondong-bondong masyarakat dari
daerah lain di seluruh Indonesia memasuki Tanah Papua. Tentang hal ini Theo Van
den Broek3, Uskup pada keuskupan Jayapura mengatakan bahwa :
Sejak terintegrasinya Irian Jaya ke dalam pangkuan Republik Indonesia;
yaitu sejak tahun 1970 an terjadi ledakan penduduk yang sangat hebat,
khususnya di daerahdaerah perkotaan. Hal ini dapat dilihat bahwa hanya dalam
kurun waktu sekitar 10 tahun, yaitu tahun 1971 – 1980 tercatat penambahan
penduduk dengan rata-rata 2,79% pertahun dan untuk kurun waktu 1080 -
1985 rata-rata 2,95%. Angka untuk daerah-daerah perkotaan lebih tinggi
2 F.Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, laporan nasional survey menyeluruh gereja di
Indonesia(Jkt:Lembaga Penelitan dan Studi DGI, 1979) 34 3 Van Den Broek, Theo, Pola peran sertat Gereja Katolik dalam proses pengembangan umat dan
masyarakat di Irian Jaya( Jayapura : KPKC Keuskupan Jpr: 1987) 159
lagi, yaitu 5% pertahun(Terendah Biak 2,27% pertahun, Jayapura 6,03%,
Manokwari 7,73% dan tertinggi Nabire 9,43%, Patut dicatat bahwa
kenaikan jumlah penduduk yang sangat cepat itu; sangat dipengaruhi
pula oleh tingginya migrasi spontan khususnya ke daerah-daerah perkotaan.
Van den Broek dalam bukunya yang sama mencatat bahwa 65% dari
seluruh migrasi spontan menetap di daerah-daerah perkotaan. Akibatnya untuk
tahun 1980, 30% dari penduduk kota adalah para pendatang; angka ini terus
melonjak dan mencapai 4o% untuk tahun 1986 dan ditaksir pada tahun 1990,
lebih dari 50% penduduk kota adalah pendatang. Para pendatang dengan
amat cepat merebut berbagai sek tor lapangan ker ja seper t i
perdagangan, sektor-sektor informal dan jabatan-jabatan di pemerintahan.
Kenyataan ini merupakan tantangan sekaligus dorongan bagi GKI di Tanah
Papua untuk membaharui misinya agar sesuai dengan konteks dimana gereja itu
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kenyataan sekarang bahwa
masyarakat di Papua tidak lagi homogen, penduduk di Papua sangat majemuk.
Masyarakat, warga Jemaat dengan berbagai latar belakang budaya terus bertambah.
Di dalam kemajemukan inilah muncul tuntutan suatu sikap dan pola pelayanan yang
dapat menyentuh berbagai budaya dari suku-suku yang ada di Papua.
Realiras sosial dan keadaan Jemaat-jemaat di Papua dewasa ini menjadi
penting dalam penulisan ini, sebab mengungkapkan konteks misi Gereja, yaitu
dunia. Misi tak mungkin ada tanpa dunia. Gereja pun ada di dunia karena
misi yang diembannya dan sasaran misi gereja adalah dunia. Elizabeth
K.Notingham4 mengatakan :
Meskipun perhatian kita tertuju sepenuhnyakepada adanya suatu dunia
yang tidak dapat dilihat(akhirat) namun agama juga melibatkan diri
dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia ini
4 Elizabeth K.Notingham, Agama dan masyarakat, suatu Pengantar Sosiologi Agama
(Jakarta:Rajawali,1992)Hlm.4
Dengan demikian, membicarakan tentang misi Gereja, tak dapat
dipisahkan dengan dunia tempat gereja itu berada serta situasi yang dihadapi
masyarakat. Namun tidaklah objektif jika fungsi agama dalam hal ini misi Gereja
hanya dipahami secara sosiologis dengan mengabaikan momen transendental,
sebagaimana pandangan Berger, yang melihat agama sebagai realitas kudus yang
mengatasi dimensi waktu, sebagai tudung kudus yang melindungi manusia dari
kelemahan eksistensinya, sebagai yang menghubungkan manusia dengan dunia yang
tidak kelihatan atau yang kemudian dirumuskannya sebagai usaha untuk membangun
―kosmos yang kudus‖5
Selain kemajemukan dengan keberagaman agama-agama di Papua, realitas
lain yang penting adalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial, sebab ternyata di
negara yang berdasarkan Pancasila, dimana hak-hak warga negara dijamin secara
adil masih dijumpai rakyat yang diperlakukan secara tidak adil dan hidup dalam
kemiskinan. Berdasarkan Data dari BPS6 Pusat, Propinsi Papua dan Papua Barat
merupakan propinsi yang termiskin di Indonesia sebagai berikut :
1. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan)
di Papua pada bulan Maret 2009 sebesar 760,35 ribu (37,53 persen).
Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2008 yang
berjumlah 733,15 ribu (37,08 persen), berarti jumlah penduduk miskin
5 R.B. Riyo Mursanto, “Peter Berger: Realitas Sosial”, (Jakarta:Gramedia, 1993) Hlm.223-224
6 Jumlah dan persentase Penduduk Miskin di Papua dalam, Berita resmi Statistik no 45/07/th.6XIII,
Juli 2010. Diakses pada 7 Desember 2010.
bertambah sebesar 27,20 ribu.
2. Dilihat menurut tipe daerahnya, selama periode Maret 2008 - Maret 2009,
terjadi penambahan penduduk miskin di daerah perdesaan sebesar 30.660
orang, sebaliknya di daerah perkotaan penduduk miskinnya berkurang
sebanyak 3.460 orang.
3. Persentase penduduk miskin daerah perkotaan tidak banyak berubah,
dibanding periode Maret 2008, persentase penduduk miskin di perkotaan turun
sebesar 0,92 persen (7,02% pada Maret 2008 menjadi 6,10% pada Maret
2009). Sedangkan persentase penduduk miskin di perdesaan melonjak sebesar
0.85 persen (45.96 % pada Maret 2008 menjadi 46,81 persen pada Maret
2009).
4. Garis Kemiskinan (GK) daerah perkotaan pada Maret 2009 sebesar Rp. 285
158 lebih tinggi dari GK perdesaan yang hanya sebesar Rp. 234.727. Hal ini
berarti, biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal yang layak (basic
needs) untuk makanan dan bukan makanan lebih besar di perkotaan daripada
di perdesaan.
Dari data BPS diatas nampak bahwa penduduk termiskin di Papua justru yang
berada di Pedesaan sebanyak 30.660 orang, itu berarti dapat dipastikan bahwa mereka
yang miskin adalah penduduk asli Papua yang berada di pedesaan, bahkan yang
berada jauh di daerah yang sangat terpencil.
Melihat realitas ini, gubernur propinsi Papua, Barnabas Suebu
mengatakan bahwa masalah utama warga Papua adalah kemiskinan akibat
keterbatasan dan keterisolasian wilayahnya selama bertahun-tahun. Jika
kemiskinan di Papua dapat ditasi dan warga Papua menjadi sejahtera, maka
itulah yang disebut Papua Baru7. Sejalan dengan hal tersebut Sekretaris Dewan
Adat Papua, Taha Alhamid menyatakan bahwa Papua kaya degan Sumber
Daya Alam-nya, namun kenyataannya rakyatnya berada dalam kemiskinan.
Menurutnya, ada hal yang tidak beres dalam kehidupan berbangsa.8
Aspek ketidakadilan sosial merupakan suatu realitas yang telah
melahirkan berbagai konflik dan kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat di
Papua. Menurut Frans Maniagasi9 salasatu akar konflik dan kekerasan adalah
perebutan tanah dan hak atas sumber daya alam. Pemerintah Indonesia dinilai
sangat tidak adil dalam mengelola sumber daya alam. Negara kerap memberi
konsensi kepada perusahaan pengelola sumber daya alam dengaan
mengabaikan hak-hak adat masyarakat Papua. Sementara itu Tentara dan Polisi
yang dipakai untuk menjaga konsensi-konsensi tersebut. Mereka seringkali
melakukan tindak kekerasan terhadap warga sipil, dianiya, diteror bahkan
terjadi pembunuhan terhadap mereka. Lebih lanjuta dikatakan bahwa aparat
keamanan Indonesia memiliki kepentingan ekonomi dalam hal ekstrasi sumber
7 Barnabas Suebu,Kemiskinan Dirubah, Itulah Papua Baru, dalam: Muridan S Widjoyo,Papua Road
Map(Jakarta:LIPI, 2009)Hlm.17 8 Wawancara dengan Bapak Taha Alhamid(Sekretaris Dewan Adat Papua) tanggal 26 juli 2010
9 Frans Maniagasi, Dalam Beny Ramandey, Irian Barat, Irian Jaya, sampai Papua(Jayapura,Aji
Press,2000)Hlm.21
daya alam di Papua. Nampak mereka terlibat langsung dalam penebangan kayu
illegal serta mendapat imbalan perlindungan yang dibayarkan oleh perusahaan
pengelola kayu.Banyak perwira aktif maupun yang pensiun mengantongi HPH
(Hak Pengelolaan Hutan) atau kepentingan usaha lainnya.10
Rakyat Papua telah menjadi korban dominasi politik birokrasi sipil dan
Militer. Oleh karena itu sebagian masyarakat melihat OPM (Organisasi Papua
Merdeka) sebagai alternatif perlawanan yang menggunakan simbol-simbol
OPM, kendati pelakunya tidak terkait secara gagasan maupun terlibat dengan
OPM. Sesekali kelompok ini muncul di perkotaan dengan simbol-simbol Papua
Merdeka, dalam bentuk unjuk rasa dan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Akibatnya telah menjerumuskan rakyat Papua dalam situasi ―Maju Kena Undur
Kena‖. Karena pada akhirnya rakyat Papua terseret dalam situasi dimana
pilihan simbol dan praktek perlawanan itu justru melegitimasi kekerasan yang
dilakukan oleh Militer.
Realitas kehidupan warga jemaat/masyarakat ini lantas diperhadapkan dengan
berbagai fakta yang mengarah kepada munculnya berbagai konflik, yang seolah-
olah menempatkan Gereja dan jemaat pada situasi pertentangan (Ambivalen)
menghadapi kondisi dan situasi tersebut. Bahkan tidak jarang jemaat mulai
bersikap tidak peduli (apatis) antara satu dengan yang lainnya. Namun di sisi yang
lain jemaat/masyarakat sebagai korban dari situasi seperti ini secara tidak sadar telah
menjadi pelaku-pelaku kekerasan yang tentu saja semakin memperkeruh dan
10
Ibid
memperpanjang terwujudnya cita-cita damai di Tanah Papua. Sementara di sisi yang
lain fakta-fakta di lapangan menyebutkan bahwa banyak para pekerja sosial
atau HAM termasuk para Pendeta telah mengalami intimidasi11
. Bahkan ada yang
dibunuh, karena dicurigai sebagai anggota OPM, sebagaimana yang terjadi dengan
seorang Penginjil di Serui.
Meskipun demikian nyatanya tidak ada pilihan lain kecuali berada di posisi
sebagai gembala yang harus menuntun dan mengarahkan jemaat dalam menghadapi
masalah Keputusan untuk bertahan dan menghadapi situasi pelayanan seperti ini tidak
lain karena, GKI-TP memahami bahwa Tugas Gereja adalah menegakan keadilan dan
kebenaran.
Gereja bukan hanya mewartakan kebenaran yang terdapat dalam Alkitab,
tetapi sekalius menyikapi dan menegakkan keadilan dan kebenaran dalam situasi
kongkrit yang dialami oleh umatnya. Para Petugas Gereja diharapkan tidak hanya
berkata-kata saja, tetapi juga menyerukan suara kenabian dan
mewujudkannya dalam tindakan nyata, menjadi "Garam dan Terang".
Dalam konteks demikian itu GKI-TP tetap melakukan tugas Tri panggilan
gereja, yaitu bersekutu, bersaksi dan melayani. Karena apapun masalah yang
dihadapi, Misi harus tetap dilaksanakan. Karena gereja pada hakekatnya adalah misi
dan selalu ada dalam keadaan misioner. Misi itu bukan hanya tentang keselamatan
spiritual, melainkan juga kesejahteraan, keadilan, kebenaran dalam kehidupan sehari-
hari. Itu berarti GKI di Tanah Papua harus dapat mengaktualisasikan dan
11
Wawancara dengan Pdt. A. Yoku(wakil sekretaris sinode GKI TP) tanggal 20 oktober 2008.
membahasakan misinya dalam konteks realitas sosial di Papua. maksudnya
gereja harus tetap eksis dan hidup, melaksanakan tugas panggilannya dengan
konsekwen, menerjemahkan misi secara konkrit dan relevan dalam konteks
kehidupan masyarakat di Papua, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi,
budaya,lingkungan hidup dan sebagainya.
Melihat realitas sosial di Papua tersebut maka pendekatan yang akan Penulis
gunakan untuk menyelesaikan tesis ini yaitu dengan menggunakan teori David
J.Bosch tentang Paradigma Misi Ekumenis yang diuraikan dalam bukunya:
Transformasi Misi Kristen, sejarah teologi misi yang mengubah dan berubah.
Diharapkan dengan meggunakan pemikiran misiologis David J. Bosch tentang teologi
misi, maka implementasinya akan nampak dalam misi GKI di Tanah Papua yang
adalah bagian dari gereja-gereja sedunia maupun gereja-gereja di Indonesia dan juga
memiliki kekhasan dan latar belakang yang khusus.
Dengan latar belakang permasalahan seperti diatas, maka Penulis
merumuskan judul penelitian ini sebagai berikut:
Misi GKI DI TANAH PAPUA
(Upaya Memahami Misi GKI DI TANAH PAPUA dan Relevansinya Dalam
Realitas Sosial Masa Kini)
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Rumusan Misi GKI DI TANA PAPUA
2. Bentuk Misi apa yang sudah dilakukan GKI DI TANAH PAPUA.
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mendeskripsikan rumusan misi GKI DI TANAH PAPUA.
2. Mendiskripsikan bentuk-bentuk misi yang dilakukan oleh GKI DI TANAH
PAPUA.
D. SIGNIFIKASI PENELITIAN
1. Diharapkan hasil kajian tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran
secara akademis , khususn ya b idang sos io logi agama dal am
mengembangkan misi yang kontekstual dan relevan dengan realitas sosial
masa kini.
2. Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah referensi GKI-
TP baik secara institusi gereja, maupun warga jemaat yang terlibat langsung
maupun tidak langsung dalam melaksanakan tugas kesaksian dan
pelayanannya
E. METODE PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode deskriptif. Menurut Nawawi12
, metode deskriptif diartikan
sebagai usaha mengungkapkan keadaan dan memberikan gambaran secara
objektif tentang keadaan seluruhnya dari objek yang diselidiki
12
H.B. Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,(Jogjakarta:Gajah Mada University Press, 1990)hl.
131
F. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui penelusuran bahan-bahan
pustaka yang menjadi sumber data. Sumber data tersebut berupa literatur,
dokumen-dokumen gereja: Tata Gereja, keputusan sidang sinode, Klasis dan
jemaat, hasil rapat kerja, pedoman pelayanan, peraturan-peraturan
dan kebijakan yang berkaitan dengan substansi penelitian ini. Sedangkan data
sekunder diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam tidak
terstruktur terhadap pimpinan gereja dan tokoh gereja yang
dikategorikan sebagai informan kunci.
G. TEKNIK PENGOLAHAN DATA
Data yang penulis peroleh akan diolah dalam analisis interaktif, yang terdiri
dari: Reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Selanjutnya data yang direduksi disajikan berdasarkan klasifikasi yang telah
ditetapkan. Siklus interaktif berlanjut hingga penarikan kesimpulan.13
H. LOKASAI DAN WAKTU PENELITIAN
Lokasi yang akan dijadikan fokus penelitian adalah kantor sinode GKI-TP
dan Klasis Jayapura, di kota madya Jayapura, propinsi Papua. Diharapkan
penelitian ini akan dilakukan pada bulan September hingga oktober 2009
13
Sanafiah Faisal,Pengumpulan dan Analisa Data dalam Penelitian Kualitatif
(Jakarta:Grafika Raya Persada,2007), 67
I. GARIS BESAR PENELITIAN
Bab I : Merupakan pendahuluan yang berisi Pendahuluan, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi Penelitian,
Kerangka Teori, Tehnik Pengumpulan Data, Tehnik
Pengolahan Data, Lokasi dan Waktu Penelitian dan Garis
Besar Penelitian
Bab II : Memuat kerangka teoritis yang dipakai untuk menguji hasil
penelitian Bab III akan mengungkapkan hasil penelitian
tentang misi GKI TP
Bab III : Pemaparan hasil penelitian tentang Misi GKI di Tanah Papua
Bab IV : Pembahasan dan Analisa Hasil Penelitian
Bab V : Merupakan Bab penutup berisikan kesimpulan, saran dan
rekomendasi