Upload
trinhnhi
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ب س ب اب الر س م ب الر ب س ب BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi sunnatullÉh al-kauniyah terjadinya perselisihan (ikhtilÉf)
dan perpecahan (iftirÉq) ditengah kaum muslim sebagaimana terjadi di tengah
Bani Israil. Nabi 1 menegaskan hal ini dalam banyak sabdanya, di antaranya:
ى ا ةى ى ا ا ى تا فت ا ى ا ى,ى ا فت ى ا لت ا ى ى ا ى ا ا فت ى صار ى ى اى ا ةى ى ا ا ى ا ةى,ى تا فت ا تقى متاى ى الثى ا ا تتفا
Artinya: “Yahudi terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, NaÎrani terpecah
belah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah
menjadi 73 golongan”.2
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
ى انىفاى ارى ةىفاى لا ى افانى ى تا تقى ى الثى ى ا ا نىهذهى ام ى فتفاما ى ه ى لا
Artinya: “Dan sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72
akan masuk Neraka dan yang satu akan masuk Surga yaitu al-
jamÉ‟ah ”.3
Dalam riwayat TurmużÊ, disebutkan dengan lafal:
ك ماىفاى ارى الىم ةى ةةىماى ناى لاهى ى صاحاباى
1 MuÍammad IsmÉ‟Êl al-Øan‟ÉnÊ, ×adÊtsu IftirÉqil Ummah IlÉ Nayyifin Wa Sab‟Êna
Firqah, TaÍqÊq Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn, (RiyÉÌ: DÉr „ÓÎimah, Cet. 1, 1424 H), h. 48. 2 HR. al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid I, h. 128, ia berkata bahwa hadis tersebut
adalah sahih sesuai syarat Muslim, pendapat ini disepakati oleh al-ŻahabÊ. Hadis ini di-Íasan-kan ى
oleh SÉlim bin „Ôd al-HilÉlÊ, LimÉża Ikhtartu al-Manhaj al-SalafÊ, (DammÉm: DÉr Ibn al-Qayyim,
Cet.1, Th. 1422 H), h. 39. 3 HR. Ibnu MÉjah , Kitab: al-Fitan, Jilid. II/ 1322, No: 3993. Hadis ini di-Íasan-kan oleh
SÉlim bin „Ôd al-HilÉlÊ, Ibid, h. 39.
1
Artinya: “Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yaitu yang
berjalan di atas jalan yang aku bersama para sahabatku berada
diatasnya”.4
Hanya saja tercerai berainya umat Islam belumlah terjadi di masa Nabi
karena semua perselisihan yang terjadi mendapatkan penyelesaian melalui wahyu
yang ketika itu masih turun. Di masa ke-khilÉfah-an Abu bakar, „Umar, dan
„UtsmÉn , kaum muslim masih dalam satu persatuan dan pemahaman keislaman.
Hingga di masa akhir khalifah „UtsmÉn dan awal ke-khilÉfah-an „AlÊ mulai
bermunculanlah kebidahan dalam hal ibadah dan perselisihan dalam masalah
uÎËlu al-dÊn dan keimanan yang mengakibatkan mulai bermunculannya firqah
dalam Islam. Adalah firqah KhawÉrij5 kemudian firqah SyÊ‟ah
6 dan diikuti oleh
4 HR. TurmużÊ No: 2641, al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid I, h. 129. Hadis ini
diÍasankan oleh al-AlbÉni dalam Silsilah al-AhÉdits al-ØaÍÊÍah No: 203, 204, dan 1492, dan
SÉlim bin „Ôd al-HilÉlÊ, Ibid, h. 39. 5 KhawÉrij adalah firqah yang pertama kali keluar dari Islam dan kemunculan mereka
adalah di antara bukti nubuwwah karena Nabi dalam banyak hadisnya telah mengisyaratkan
kemunculannya. KhawÉrij berasal dari kata KhÉrijah (yang keluar), asal penamaan tersebut
disebabkan karena mereka keluar dari ketaatan kepada „AlÊ dan memeranginya. Ketika ituى
mereka berkumpul di daerah ×arËrÉ‟, jumlah mereka ada sekitar 12.000 orang, sehingga mereka
disebut juga dengan ×arËriyah. Sebab keluarnya mereka dari ketaatan adalah penolakan mereka
terhadap TaÍkÊm yang dilakukan oleh „AlÊ, mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah
kekufuran. „AlÊ mengutus ‘Abdullah bin ‘AbbÉs ى untuk mengajak mereka berdialog sehinggaى
kembalilah sebagian besar mereka kepada ‘AlÊى. Sebutan KhawÉrij kemudian diperuntukkan untuk menyebut mereka yang keluar dari
ketaatan kepada pemimpin yang disepakati oleh jamaah dan mereka yang mengkafirkan para
pelaku dosa besar (murtakibu al-kabÊrah) dan menyerukan pemberontakan kepada imam
(penguasa) yang melanggar sunah sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Firqah ini terpecah
belah menjadi beberapa sekte dan yang tersisa darinya adalah IbÉÌiyyah sedangkan pemikiran dari
firqah ini adalah masih eksis sampai hari ini. Lihat: al-Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa
IkhtilÉfu al-MuÎallÊn, TaÍqÊq Na‟Êm Zarzur, (Beirut: al-Maktabah al-‟AÎriyyah, Cet. 1, Th. 2005),
h. 167, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, (Beirut: DÉr al-ÓfÉq, Cet. 2, Th.
1977 M), h. 72-73, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, TaÍqÊq
MuÍammad Sayyid al-KailÉnÊ, (Beirut: DÉr al-Ma‟rifah, Th, 1404 H), Jilid I, h. 114, „AlÊ „Abd al-
FattÉÍ al-MaghribÊ, al-Firaq al-KalÉmiyah al-IslÉmiyah Madkhal wa al-DirÉsah, (Kairo:
Maktabah al-Wahbah, Cet. 3, Th. 1415 H), h. 169-195 dan GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Firaqun
Mu‟ÉÎarah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, (Jedah: al-Maktabah al-„AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422
H), Jilid I, h. 226-244. 6 SyÊ’ah pada awalnya adalah sebutan untuk mereka yang condong (menganggap) bahwa
‘AlÊى adalah lebih mulia dan berhak atas ke-khilÉfah-an setelah wafatnya Nabi , hal inilah yang
disebut para ulama dengan istilah tasyayyu’. Ketika muncul ‘Abdullah bin SabÉ’ ia mendakwakan
bahwa kepemimpinan (al-imÉmah) ‘AlÊ adalah telah tetap berdasarkan nas. Firqah ini semakinى
jauh dari Islam, sehingga di masa pemerintahan ‘AlÊ mereka dibakar hidup-hidup karenaى
2
firqah-firqah yang lain seperti Murji‟ah7, Mu‟tazilah
8, Jahmiyah
9, Qadariyah
10,
Asy‟ariyah11
, MÉturÊdiyah12
, al-NusËk (Tasawuf13
), dan lain-lain.14
Sehingga dari
menganggap bahwa ‘AlÊ adalah tuhan. Mereka memiliki uÎËl akidah yang bertolak belakangى
dengan ajaran Islam seperti kemaksuman para imam mereka (al-‘ishmah) dan bahwa kedudukan
mereka lebih mulia dan utama dari para Nabi dan Rasul, taqiyah (menyembunyikan keimanan),
raj’ah (reinkarnasi), dan lain-lain. Firqah ini disebut pula dengan RÉfiÌah (orang yang menolak),
sebab penamaannya adalah ketika Zaid bin ‘AlÊ salah seorang imam SyÊ’ah- menolak- ى
mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar maka mereka menyatakan bahwa mereka adalah
RÉfiÌah (menolak Zaid bin ‘AlÊ Sebutan inilah yang pantas untuk mereka setelah terjadinya .(ى
fitnah di masa ‘AlÊ karena mereka memiliki keyakinan atas kafirnya seluruh sahabat dan istri
Nabi kecuali hanya beberapa orang saja. SyÊ’ah terpecah belah menjadi lebih dari 15 firqah,
adapun di masa ini yang dominan adalah sekte IsmÉ’Êliyah, ItsnÉ ‘Asyariyah, BÉÏiniyah, dan Zaidiyah. Lihat al-Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 65, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu
baina al-Firaq, h. 29, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I,
h. 146, dan GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Firaqun Mu‟ÉÎirah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, (Jedah: al-
Maktabah al-„AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422 H), Jilid I, h. 303-346. Untuk mendapatkan
informasi tentang firqah SyÊ’ah dapat merujuk kepada disertasi doctoral NÉÎir „Abdullah al-QifÉrÊ,
UÎËlu Mażhabi al-SyÊ‟ah ItsnÉ „Asyariyah „ArÌun wa Naqdun (KSA: DÉr al-RiÌÉ, Cet. 1, TT). 7 Murji‟ah adalah firqah yang menganggap bahwa amalan anggota badan tidak termasuk
dari keimanan, keimanan seseorang tidaklah dapat dipengaruhi oleh kemaksiatan apapun
sebagaimana ketaatan tidaklah akan bermanfaat bagi mereka yang kafir kepada Allah . Menurut
mereka iman adalah sekedar mengenal (al-ma‟rifah) dan bahwa ia adalah sesuatu yang tetap
keberadaannya, ia tidak naik dan tidak turun sehingga tidak ada perbedaan keutamaan hamba di
hadapan Allah . Lihat al-Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 213, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ,
al-Farqu baina al-Firaq, h. 29, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-
NiÍal, Jilid I, h. 139, dan GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Firaqun Mu‟ÉÎarah Tantasibu ilÉ al-IslÉm,
(Jedah: al-Maktabah al-„AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422 H), Jilid III, h. 1069-1125.
Murji‟ah terbagi menjadi dua; Pertama, Murji‟ah FuqahÉ‟ yaitu mereka yang berpendapat
bahwa amalan bukanlah syarat atau bagian dari iman, pendapat ini banyak dipegang oleh AÍnÉf
(pengikut mazhab ×anafÊ) dan pendapat ini adalah marjËh dan bertentangan dengan Alquran,
sunah, dan pendapat salaf. Kedua, Murji‟ah Mubtadi‟ah, mereka adalah Jahmiyah yang
berpendapat bahwa keimanan adalah sekedar pengenalan kalbu (ma‟rifatu al-qalb). Lihat „ÔsÉ
MÉlullÉh Faraj, al-Mukhtashar al-HatsÊts fÊ BayÉni UÎËli manhaji al-Salaf AÎÍÉbi al-×adÊts fÊ
Talaqqi al-DÊn wa Fahmihi wa al-‘Amal bihi, (Kuwait: GhirÉs, Cet. 2, Th. 1430 H), h. 34. 8 Mu‟tazilah adalah salah satu firqah dalam Islam yang muncul pada awal abad kedua
hijrah dan mengalami puncak kejayaan di masa khilÉfah Abbasiyah yang pertama. Penamaan
Mu‟tazilah diambil dari kata al-i‟tizÉl (memisahkan diri), karena pemimpin mereka yang bernama
WÉÎil bin „AÏÉ‟ memisahkan diri dari Íalaqah ×asan al-BaÎrÊ, yaitu ketika ia ditanya tentang
hukum pelaku dosa besar, ia (×asan al-BaÎrÊ) menjawab, ‘bahwa ia tetap beriman’. Ketika itu
WÉÎil bin „AÏÉ‟ mengatakan, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir akan tetapi
ia berada di antara dua kedudukan (al-manzilah baina al-manzilatain). Kemudian WÉÎil bin „AÏÉ‟
memisahkan diri dan diikuti oleh „Amr bin „Ubaid dan kemudian diikuti oleh pengikut mereka
berdua dan mereka dinamakan Mu‟tazilah.
Firqah ini memiliki ciri mendahulukan akal dari pada naqal, bahkan mereka berlebih-
lebihan dalam mengkultuskan akal sehingga menjadikannya sebagai tolok ukur kebenaran yang
bersifat qaÏ‟Ê sedangkan dilÉlah nas-nas syariat adalah ÐannÊ. Firqah ini memiliki dua pusat
madrasah; Pertama, madrasah BaÎrah dan di antara mereka adalah WÉÎil bin „AÏÉ‟, „Amr bin
„Ubaid, Abu Hużail al-„AllÉf, IbrÉhÊm al-NaÐÐÉm, dan al-JÉhiż. Kedua, madrasah Baghdad dan di
antara mereka adalah Basyar bin Mu‟tamir, Abu MËsÉ al-Murdar, TsumÉmah bin Asyrasy, dan
AÍmad bin Abu Du‟ad. Sedangkan ushËl akidah Mu‟tazilah ada lima (al-uÎËl al-khamsah) yaitu:
al-„adlu, al-tawÍÊd, al-manzilah baina al-manzilatain, al-wa‟du wa al-wa‟Êd, dan al-amru bi al-
3
ma‟rËf wa al-nahyu „an al-munkar. Pemahaman mereka atas lima uÎËl akidah di atas adalah
berbeda dengan Ahlusunah waljamaah. Dan Mu‟tazilah dengan seluruh firqahnya bersepakat atas
kewajiban mengambil al-uÎËl al-khamsah, dan tidaklah seseorang dikatakan sebagai mu‟tazilÊ
melainkan apabila ia harus meyakininya.
Disebutkan dalam al-BurhÉnu fÊ „AqÉidi Ahli al-AdyÉn, h. 26-27, bahwa mazhab
Mu‟tazilah adalah gabungan dari akidah Jahmiyah dalam menafikan ÎifÉt Allah dan akidah
Qadariyah dalam mengingkari takdir dan akidah I‟tizÉl. Mereka bersepakat atas penafian ÎifÉt
Allah dan bahwa KalÉm Allah adalah muÍdats. Dia (Allah ) berbicara dengan suatu
pembicaraan yang Ia ciptakan pada selain diri-Nya sehingga menurut mereka Alquran adalah
makhluk. Mereka juga berakidah bahwa Allah tidaklah menciptakan perbuatan hamba akan
tetapi hambalah yang menciptakan perbuatan mereka sendiri, mereka menyatakan bahwa
seseorang bisa terbunuh sebelum tiba ajalnya, sebagaimana pula mereka mengingkari syafÉ‟at
Nabi untuk para pelaku dosa besar di hari Kiamat. Lihat: MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 235, „Abd
al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 114, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-
SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 46-49, „AlÊ „Abd al-FattÉÍ al-MaghrÊbÊ, al-Firaq al-
KalÉmiyah, h. 196-266, GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Firaqun Mu‟ÉÎarah, Jilid III, h. 1201, dan lihat
pula Ta„lÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim atas al-IbÉnah (Mesir: DÉr al-
BaÎÊrah, Cet. 1, Th. 2003), h. 59-60. 9 Jahmiyah adalah firqah sesat yang muncul di awal abad kedua hijrah setelah masa
sahabat. Penamaan firqah ini adalah nisbah kepada Abu MuÍriz Jahm bin ØafwÉn (w. 128 H) al-
ÌÉll al-mubtadi‟ yang mana ia mengambil akidahnya dari Ja‟ad bin Dirham (w. 124 H) dan
kemudian menjadi penerus pendapat-pendapatnya. Mereka mengingkari ÎifÉt Allah dengan
anggapan tanzÊh (penyucikan) Allah dari tasybÊh sehingga mereka disebut juga dengan
Mu‟aÏÏilah, dan mereka juga menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk, dan bahwasanya Allah
berada di semua tempat. Mereka mengingkari kekekalan surga dan neraka. Lihat: AÍmad bin
„AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ, MaÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ fi NuÎËÎi al-ØifÉt 'ÓrÌun wa Naqdun,
(RiyÉÌ: DÉr al-'AÎimah, TT), h. 26-29, GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Firaqun Mu‟ÉÎarah, Jilid III, h.
1129-1160, dan Ta„lÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim atas al-IbÉnah, h. 64. 10
Qadariyah adalah sebutan bagi mereka yang mengingkari takdir, adapun bidah
pengingkaran terhadap takdir pertama kali disuarakan oleh Ma‟bad al-JuhanÊ di BaÎrah di masa
akhir generasi sahabat. Firqah ini mengingkari ilmu Allah dan mengatakan bahwa semua
kejadian terjadi begitu saja (al-amru unufun) tanpa ada ketetapan takdir sebelumnya. Firqah ini
disebut dengan GhulÉt Qadariyah, kemudian firqah ini berkembang dan mazhab mereka dalam
masalah takdir diikuti oleh Mu‟tazilah, hanya saja yang membedakan antara keduanya adalah
Mu‟tazilah menetapkan ilmu bagi Allah dan menyatakan bahwa hamba menciptakan
perbuatannya sendiri. Lihat: „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 117-120,
MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 43 dan AÍmad bin
„AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ, MaÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ, h. 25. 11
Pembahasan tentang firqah ini ada di Bab IV. 12
MÉturÊdiyah adalah firqah kalÉmiyah yang dinisbatkan kepada Abu ManÎËr MuÍammad
bin MuÍammad al-MÉturÊdÊ (w. 333 H). Firqah ini dalam masalah uÎËl akidahnya mirip dengan
Asy’ariyah, sehingga dalam banyak hal ia mencocoki Ahlusunah dan berbeda dalam hal-hal yang
lain seperti masalah tauhid, penetapan sebagian ÎifÉt Allah , dalam masalah iman mereka sejalan
dengan Murji’ah dalam pendapat bahwa amalan bukan termasuk rukun keimanan, dan bahwa ia
tidaklah dapat naik atau turun. Untuk memperoleh gambaran tentang firqah ini dapat merujuk
kepada MuÍammad bin ‘AbdurraÍman al-Khumayyis, ×iwÉrun Ma’a Asy’ariyyin wa yalÊhi al-
MÉturÊdiyah Raibatu al-KullÉbiyah, (RiyÉÌ: Maktabatu al-Ma’Érif li al-Nasyri wa al-TawzÊ’, Cet.
1, Th. 1426 H), h. 155-168. 13
Ibnu Taimiyah cenderung menilai bahwa Tasawuf adalah nisbah kepada pakaian ÎËf
(wol) sedang pelakunya disebut dengan ÎËfiyyah (ahli tasawuf). Ia merupakan istilah baru yang
tidak pernah digunakan untuk menyebut kaum Salaf yang dikenal dengan sebutan ahli agama, ahli
ilmu dan ahli qirÉ‟Ét. Istilah ini mencakup para ulama dan para ahli ibadah. (al-Furqan Bayna
AuliyÉ‟ al-RaÍmÉn wa AuliyÉ‟ al-SyaiÏÉn, h. 42). Ahli tasawuf dibedakan menjadi dua kelompok:
Pertama, kelompok para syaikh yang makrifat dan lurus, mereka memerintahkan kepada para ahli
4
sini semakin tajamlah perpecahan dan perselisihan di tengah umat Islam,
mengingat setiap firqah memiliki uÎËl yang mereka pertahankan. Hal ini
merupakan bukti kebenaran apa yang disabdakan oleh Nabi di atas.15
Secara lebih khusus, Nabi telah menjelaskan jalan keluar dari
perselisihan yang terjadi di tengah umat sepeninggalnya. Beliau bersabda: ى
فاءى ش يانى ىبس تاى ى ى لا فال ةاىكثلتا ة ى ت لاكما ى سلت ى خا ىبت ا يا ىم اكما ىي شا إنهىمنا اىبا ت اذى ى ى لتا ىبت ا يا ىمنا يت ا ام ا
Artinya: “Sesungguhnya siapa saja yang hidup setelahku ia akan melihat
perselisihan yang sangat banyak, maka hendaklah kalian berpegang
teguh dengan sunahku dan sunah para al-KhulafÉ' al-RÉsyidÊn yang
mendapatkan petunjuk setelahku dan gigitlah ia dengan gigi
geraham”.16
Ibnu Abbas (w. 68 H) meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:
ىت ا ىى ب ةىىكفابى هللى ى تاى ىبماى نا فما ىتسكا ىماى نا ى لاكما تت كاArtinya: “Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua hal yang kalian
tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan
keduanya: kitab Allah dan sunnahku”.17
olah hati dan zuhud agar berpegang kepada Alquran dan sunah. Kelompok ini adalah termasuk
Ahlusunah, di antara mereka adalah al-Junaid bin Muhammad yang telah berkata, „Ilmu kita
dibatasi oleh Alquran dan sunah, maka barangsiapa belum membaca Alquran dan menulis Hadis
tidaklah layak berbicara dengan ilmu kita‟. Kedua, mereka yang memasukkan berbagai macam
bidah, kefasikan, dan penyimpangan ke dalam tarekat mereka. Mereka telah keluar dari Ahlusunah
dan telah dikecam oleh Allah , Rasulullah dan wali-wali yang bertaqwa. Di antara kebidahan
yang mereka perbuat adalah menganggap bahwa ada sebagian wali yang dapat keluar dari syariat
Nabi Muhammad , setara dengannya, atau bahkan lebih hebat darinya. (al-Raddu „ala al-
ManÏÊqiyyÊn, h. 514-516 dan al-Øafdiyyah, Jilid I, h. 267) dengan perantaraan AÍmad bin Abd al-
„AzÊz al-×ulaibÊ, UÎËlu al-×ukmi „ala al-Mubtadi‟ah „Inda Syaikh al-IslÉm Ibn Taimiyah, dengan
terjemah Dasar Membid‟ahkan Orang Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, (Surabaya: Elba,
Cet. 1, Th. 2007), 69. 14
NÉÎir „Abdullah al-QifÉrÊ, UÎËlu Mażhabi al-SyÊ‟ah al-ImÉmiyah al-ItsnÉ „Asyariyah
„ArÌun wa Naqdun (Tanpa Penerbit, Cet. 2, Th. 1415 H), Jilid. I, h. 5-6. 15
MuÍammad BaKarim MuÍammad BaAbdullah, WasaÏiyatu Ahli al-Sunnah Baina al-
Firaq, (Jeddah: DÉr al-RÉyah, Cet. 1, Th. 1994), h. 289. 16
HR. AÍmad dalam al-Musnad, Jilid. IV/ 126 dan Abu Dawud No: 4607 disahihkan
oleh al-AlbÉnÊ dalam ØahÊh al-JÉmi‟, No: 2546. 17
HR. Al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid. I/ 93 dan disahihkan oleh al-AlbÉnÊ dalam
ØahÊh al-JÉmi‟ , No: 2934.
5
Dua hadis diatas menjelaskan bahwa perselisihan di tengah umat Islam
merupakan suatu keniscayaan dan jalan keluar darinya adalah dengan berpegang
teguh dengan sunah beliau dan para sahabatnya.
Syaikh „Abdullah al-GhunaimÉn menjelaskan bahwa sebab perselisihan
dan perpecahan ditengah umat Islam disebabkan oleh dua sebab utama, yaitu:18
1. Sebab-sebab dari dalam umat Islam, di antaranya;
a. memperturutkan hawa nafsu. Hal inilah pendorong utama seseorang untuk
menyimpang dari kebenaran dan menolaknya.
b. kebodohan. Hal ini adalah penyebab utama yang menyebabkan seseorang
jatuh pada kebidahan dan perselisihan.
c. sikap melampaui batas yang telah ditetapkan oleh syariat (al-ghuluw dan
al-ifrÉÏ). Hal ini adalah sebab yang mendorong terjadinya firqah dalam
Islam. Di antara contoh riil dari hal ini adalah ghuluw-nya SyÊ‟ah kepada
„AlÊ bin Abi ÙÉlib dan para imam mereka sehingga muncul keyakinan
adanya al-‟iÎmah pada imam-imam mereka, demikian pula ghuluw-nya
KhawÉrij terhadap ayat-ayat wa‟Êd (ancaman), dan ghuluw-nya Jabariyah19
dalam penetapan takdir.
d. ta‟wÊl terhadap nas-nas syariat dengan tanpa dalil. Hal ini adalah di antara
penyebab utama terjadinya iftirÉq dan ibtidÉ‟ di tengah-tengah umat. Ibnu
18
„Abdullah al-GhunaimÉn, AsbÉbu ÚuhËri al-Firaq al-IslÉmiyah, Majallah Kuliyyatu
UÎËli al-DÊn JÉmi‟atu al-ImÉm, Volume. 2, Th. 1399 M/ 1400 H, h. 154. 19
Firqah ini adalah kebalikan dari firqah Qadariyah, mereka yang berlebihan dalam
menetapkan takdir sehingga menafikan ikhtiar hamba, sehingga tak ubahnya makhluk adalah
boneka-boneka Allah , mereka mengingkari irÉdah syar‟iyah bagi Allah dan mengatakan
bahwa kekafiran dan kemaksiatan adalah sesuatu yang diinginkan dan dicintai oleh-Nya. Lihat:
„Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 117-120, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm
al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 43, AÍmad bin „AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ,
MaÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ, h. 25 dan IbrÉhÊm bin ‟Ómir al-RuÍailÊ, al-MukhtaÎar fÊ ‟AqÊdati al-
Salafi fÊ al-Qadar, (Kairo: DÉr al-ImÉm Aímad, Cet. 1, Th. 1428 H), h. 59.
6
Qayyim (w. 751 H) menjelaskan, ”tidaklah terpecah-belah Ahlu al-KitÉb
dan umat Islam melainkan disebabkan mereka menggunakan ta‟wÊl, dan ia
adalah sebab tertumpahnya darah kaum muslim di perang ØiffÊn dan
Jamal”.20
e. menjadikan akal sebagai tolok ukur dalam menerima nas-nas syariat. Ini
merupakan salah satu prinsip Mu‟tazilah dalam menerima nas. Al-QÉÌÊ
„Abd al-JabbÉr menjelaskan, bahwa dalil itu diambil dari empat hal; ke-
hujah-an akal, Alquran, sunah, dan ijmÉ‟, sedangkan pengenalan terhadap
Allah hanya dapat diperoleh dengan akal.21
2. Sebab-sebab dan pengaruh dari luar umat Islam, di antaranya;
a. adanya pembukaan-pembukaan wilayah Islam (futËÍÉt islÉmiyah) yang
menyebabkan infiltrasi budaya dan pemikiran22
dari luar Islam.
b. banyaknya umat lain yang masuk Islam dalam keadaan belum bersih
akidah, sehingga menimbulkan pengaruh dalam pemahaman keislaman.
20
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I‟lÉmu al-MuwÉqqi‟Ên „an Rabbi al-„ÓlamÊn TaÍqÊq ÙÉhÉ
„Abd al-Ra‟Ëf Sa‟ad, (Beirut: DÉr al-JÊl, Th. 1973), Jilid. IV, h. 317. 21
SyarÍ UÎËli al-Khamsah, h. 88 dinukil dari MuÍammad BaKarim MuÍammad
BaAbdullah, WasaÏiyatu Ahli al-Sunnah, h. 300. 22
Secara etimologi, “pemikiran” berarti proses, cara, atau perbuatan berpikir. Lihat,
Kamus Bahasa Indonesia, hal. 1181. Dalam pengertian istilah, “pemikiran” dapat dipahami
sebagai sesuatu yang dimaksud kalimat “apa yang ada dalam diri mereka”. Ini dapat dipahami
dari firman Allah : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu
kaum sampai mereka mengubah apa yang ada ada dalam diri mereka sendiri” (QS. Al-Ra‟du: 11).
Dengan demikian bidang pemikiran menyangkut suatu wujud batiniah yang sangat eksistensial
yang berperan membentuk, mempertahankan atau mengembangkan apa yang ada pada suatu kaum,
seperti kekayaan, keruntuhan, keadaan masa depan dan sebagainya. Apa yang ada dalam diri
manusia, termasuk di antaranya pemikiran menjadi jelas. Oleh karena adanya keinginan perubahan
“nasib” suatu kelompok manusia, maka salah satu yang amat penting adalah usaha ke arah
terjadinya perubahan dalam cara berpikir kelompok itu. Lihat, Nurcholish Madjid, Masalah
Tradisi dan Inovasi Keislaman dalam bidang Pemikiran serta Tantangan dan Harapannya di
Indonesia (Jakarta: Simposium Festifal Istiqlal, 21-24 Oktober 1991), h. 4-5.
7
c. penerjemahan kitab-kitab filsafat dan mantik (logika) Yunani, serta usaha
untuk mempelajari dan mendalaminya. Sejarah mencatat bahwa diantara
sebab yang menyebabkan perpecahan ditengah umat islam adalah
masuknya ilmu kalÉm23
yang sangat terpengaruh oleh ilmu mantik (logika)
dan filsafat Yunani ke negeri-negeri Islam. Ilmu mantik ini muncul sejak
800 tahun sebelum Islam, karena Aristoteles sang pencetus ilmu ini lahir
pada tahun 384 sebelum Masehi. Adapun filsafat24
, maka dia muncul
23
Menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H), ilmu kalÉm adalah ilmu yang membahas
permasalahan akidah dan iman dengan berdasarkan dalil-dalil akal semata serta membantah para
ahli bidah yang menyimpang dari mazhab Salaf dan Ahlusunah. Dikemudian hari ilmu tersebut
tercampuri oleh filsafat sehingga sulit untuk dibedakan. Secara etimologi al-kalÉm berarti
pembicaraan, sebab penamaan tersebut tidak lain karena ilmu tersebut sebenarnya adalah
pembicaraan atau argumentasi akal tentang akidah dan iman dengan tanpa mengindahkan nas-nas
syariat. Ilmu ini disandarkan kepada Mu‟tazilah, dan pertama kali digunakan dalam memahami
akidah dan iman di masa „Amr bin „Ubaid (w. 114 H) di mana ia mengggunakannya untuk
mengingkari takdir dan memahami nas-nas yang berisi janji dan ancaman (al-wa‟du wa al-wa‟Êd).
Kemudian di masa al-„AllÉf dan al-NaÐÐÉm dan setelahnya dari mutakallimËn, mereka pergunakan
untuk menafikan sifat-sifat Allah . Lihat „AbdurraÍman Ibn Khaldun, MuqaddimÉt Ibn Khaldun,
(Alexandria: DÉr Ibn Khaldun, TT), h. 458, „AlÉ‟ Bakr, MalÉmiÍ RaÊsiyyah li al-Manhaj al-SalafÊ,
(Mesir: Maktabah al-FayyÉÌ, Cet. 1, Th. 1432 H), h. 223, dan „Abdullah Zaen, Imam Syafi‟i
Menggugat Syirik, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, Cet. 1, Th. 1428 H), h. 16. 24
Kata filsafat (al-falsafah) adalah kata „ajam yang berarti hikmah (al-Íikmah), lihat
LisÉn al-„Arab, XI/ 180. Sedangkan kata Filosof, ia berasal dari bahasa Yunani, yaitu filo yang
berarti orang yang mencintai dan sofia yang berarti hikmah, sehingga ia bermakna orang yang
mencintai hikmah. Lihat al-SyahrasytÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid 2, h. 117.
Mengenai pengaruh filsafat terhadap Islam maka ia adalah di antara hal yang telah
merusak akidah Islam dan kaum muslim karena pada dasarnya ia adalah sebuah metode (manhaj)
yang digunakan oleh orang-orang Yunani untuk memahami masalah ilÉhiyyÉt dengan
mengerahkan potensi akal. Dr. ×amdÊ ×ayallÉh dalam kitabnya Atsaru al-Tafalsuf al-IslÉmÊ,
menjelaskan bahwa filsafat telah mengakibatkan adanya penyimpangan pemikiran (al-taÍrÊf al-
manhajÊ) yang menimpa pemikiran Islam disebabkan adanya pencampuradukan dengan pemikiran
paganis Yunani melalui para filosof Ahlu al-KalÉm yang telah mendekonstruksi pemikiran Islam
dengan menggantinya dengan filsafat Yunani melalui para filosof dari kalangan ahli tasawuf. Dr.
SÉmÊ al-NasysyÉr bahkan menyatakan bahwa para filosof muslim seperti al-KindÊ, al-FarÉbÊ, Ibnu
SÊnÉ, Ibnu BÉjah, Abu al-BarakÉt al-BaghdÉdÊ, Ibnu Ùufail, Ibnu Rusyd, dan selain mereka
tidaklah mendatangkan sesuatu yang baru dari hasil kontak mereka terhadap pemikiran para filosof
Yunani yang paganis. Sehingga karya-karya yang mereka tulis adalah daur ulang dari pemikiran
Plato yang telah mereka olah dengan pemikiran Islam dan tidaklah membuahkan melainkan kegagalan. Lihat ulasan masalah ini dalam ta’lÊq dan taÍqÊq „Abdullah SyÉkir al-JunaidÊ dalam
RisÉlatun ilÉ Ahli Tsaghr, (Madinah: Maktabatu al-„UlËmu wa al-Hikam, Cet. 1, Th. 1409 H), h.
135.
8
sekitar 5 abad sebelum kelahiran Isa . Maka jelaslah bahwa ilmu
mantik dan filsafat bukanlah dari Islam. 25
d. masuk islamnya sebagian misionaris Yahudi, NaÎrani, atau agama lain
dengan tujuan untuk merusak Islam. Di antara mereka adalah „Abdullah
bin Saba‟ al-YahËd yang telah menyebarkan ghuluw kepada „AlÊ
sehingga muncullah firqah SyÊ‟ah, Ja‟ad bin Dirham (w. 124 H) yang
menyebarkan akidah ta‟ÏÊl terhadap asmÉ’ dan ÎifÉt Allah dan Alquran
adalah makhluk. Dua pendapat ini merupakan pendapat yang ia warisi dari
LabÊd bin A‟Îam, seorang Yahudi yang telah menyihir Nabi di Madinah.
Demikian pula Ma‟bad al-Juhani yang memprakarsai munculnya firqah
Qadariyah, iapun mengambil pendapatnya dari seorang NaÎrani yang
bernama Sausan, ia masuk Islam kemudian kembali kepada kekafiran.26
Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn menambahkan, bahwa perpecahan di tengah umat
Islam disebabkan pula oleh beberapa hal, di antaranya; 1) adanya makar dan tipu
daya dari musuh-musuh Islam untuk memecah-belah mereka, 2) fenomena
fanatisme (ta‟aÎÎub) kepada mazhab atau golongan tertentu, 3) tidak
diindahkannya kebidahan dan kesesatan hingga tersebar luas di masyarakat, 4)
peremehan terhadap Ïalabu al-‟ilmi syar‟i berdasarkan manhaj27
salaf, 5) sikap
25
MausË‟ah Falsafah, Jilid I, h. 98, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid 2, h. 117, dan JÉnib IlÉhi
Min TafkÊr IslÉmi, h. 10 Diringkas dari Armen Halim Naro, Antara Islam dan Filsafat, Filsafat
Islam Konspirasi Keji, dan Pembawa Bendera Filsafat Islam, Majalah Al Furqon Th. 6
Ramadhan-Syawal 1427 H, h. 3, 27-41. 26
MuÍammad BaKarim MuÍammad BaAbdullah, WasaÏiyatu Ahli al-Sunnah, h. 300-301,
„AlawÊ „Abd al-QadÊr al-SaqqÉf, MukhtaÎar KitÉb al-I‟tiÎÉm, (RiyÉÌ: DÉr al-Hijrah, Cet.1, 1424
H), h. 118-119. 27
Secara etimologi, kata manhaj atau al-minhÉj berarti jalan yang terang dan mudah, hal
ini sebagaimana firman Allah : “Masing-masing dari kalian (para nabi), Kami jadikan
mempunyai syariat dan minhÉj” (QS. Al-MÉidah: 48). Ibnu Abbas menafsirkan kata syariat dan
minhÉj dengan sabÊlan wa sunnatan (jalan dan sunah). Lihat Øafiyyu al-RaÍmÉn al-MubÉrakfËrÊ,
9
menerima semua bentuk pemikiran yang masuk dalam Islam tanpa menimbang
kebenarannya dengan Alquran dan sunah, dan 6) tidak optimalnya amar ma‟ruf
nahi munkar.28
Dua pendapat di atas diakui pula oleh Harun Nasution. Ia menuturkan,
bahwa diantara yang menimbulkan perpecahan umat islam adalah banyaknya
terjadi kontak kaum muslim dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-
pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sehingga dari
sinilah mulai bermunculan paham-paham yang berseberangan dengan Islam
al-MiÎbÉhu al-MunÊr fi TahżÊbi TafsÊr Ibnu KatsÊr, (RiyÉÌ: DÉr al-SalÉm, Cet. 2, Th. 1421 H), h.
515 dan MuÍammad bin „AlÊ al-SyaukÉni, FatÍu al-QadÊr, TaÍqÊq „AbdurraÍman 'Umairah,
(Mesir: DÉr al-WafÉ', Cet. 3, Th. 1426 H), Jilid. II, h. 383. Sehingga makna ayat tersebut secara
global adalah Allah menjadikan bagi para nabi-Nya syariat dan sunah yang berbeda satu dengan
yang selainnya termasuk di dalamnya adalah rincian-rincian darinya secara jelas, hanya saja inti
dakwah mereka adalah satu yaitu tawÍÊdullah. Dari penjelasan makna manhaj diatas dapat
disimpulkan, bahwa ia adalah sinonim dari sunah, sehingga manhaj dapat diartikan dengan cara
beragama yang benar sesuai dengan apa yang telah Allah syariatkan kepada rasul-Nya . Lihat
„Abd al-Hakim bin Abdat, Lau KÉnÉ Khairan LasabaqËnÉ ilaihi, (Jakarta: Darul Qalam, Cet. 2,
Th. 2006), h. 39-42.
Hanya saja kata manhaj memiliki pergeseran makna di kalangan mutaakhkhirÊn, sehingga
ia dimaknai dengan al-ÍuÏÏah al-marsËmah (jalan atau metode yang telah ditetapkan) sebagai
contoh adalah kata manhaj al-dirÉsah yang bermakna kurikulum pembelajaran atau manhaj al-
ta‟lÊm yang bermakna metode pengajaran. Lihat Mujamma' al-Lughati al-„Arabiyyah BilÉdu MiÎr,
al-Mu‟jam al-WasÊÏ, (Mesir: Maktabatu al-SyurËq al-Dawliyyah, Cet. 5, Th. 1431 H), h. 996.
Oleh sebab itu manhaj dapat pula diartikan dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-
ketentuan yang digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiah, seperti kaidah-kaidah bahasa Arab,
uÎËl akidah, uÎËl fikih, dan uÎËl tafsir di mana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam Islam
beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, al-Mukhtashar al-
HatsÊts, hal. 31 dan Yazid Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf”, (Bogor: Pustaka At-
Taqwa, Cet. 4, Th. 2010), h. 13.
Arti penting manhaj adalah sebagai suatu tatanan dan aturan dalam menekuni dan meniti
suatu disiplin ilmu sehingga dapat menghantarkan kepada tujuan yang diinginkan. Sebagaimana
pula ia membatasi dan mengatur akal manusia dan kerja pikirannya dengan kaidah-kaidah yang
telah disepakati dan telah tetap. Karena suatu disiplin ilmu hanyalah dapat tegak dan berkembang
manakala ia memiliki suatu jalan atau aturan yang benar yang menghimpun seluruh hal yang
terkait dengannya. Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, Ibid, hal. 31.
Syaikh Dr. ØÉliÍ bin FauzÉn menjelaskan perbedaan antara akidah dan manhaj, beliau
berkata: “Manhaj lebih umum daripada akidah, manhaj diterapkan dalam aqidah, suluk, akhlak,
muamalah, dan semua kehidupan seorang muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang muslim
dikatakan manhaj. Adapun yang dimaksud dengan akidah adalah pokok iman, makna dua kalimat
syahadat, dan konsekuensinya. Inilah akidah.” Lihat al-Ajwibah al-MufÊdah „an Asilati al-
ManÉhiji al-JadÊdah, (Kairo: Maktabatu al-Hadyu al-MuÍammadÊ, Cet. 1, Th. 1429 H), h. 131. 28
Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn, TaÍqÊq HadÊtsu IftirÉqi al-Ummah, hal: 32-35.
10
seperti Qadariyah, Jabariyah atau yang dikenal dengan Fatalis, dan Mu‟tazilah.29
Kontak dengan filsafat Yunani ini membawa kepada pemujaan terhadap akal ke
dalam Islam. Kaum Mu‟tazilah dalam hal ini adalah yang banyak terpengaruhi
sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam pemikiran teologi mereka banyak
dipengaruhi oleh daya akal atau ratio dan teologi mereka memiliki corak liberal.30
Pada perkembangannya, penggunaan akal telah dipergunakan oleh
Mu‟tazilah31
untuk memahami tentang keimanan (IlÉhiyyÉt) dan mereka tidak lagi
menggunakan nas (dalil) sebagai pijakan dalam memahaminya. Di antara
pendapat yang mereka sebarkan sejak masa pendahulu mereka, WÉÎil bin „AÏÉ‟,
yaitu penafian terhadap sifat-sifat Allah dan mereka berkeyakinan bahwa Allah
tidak mempunyai sifat. Hal itu tidaklah mengherankan karena menurut mereka
pemberian sifat kepada Allah membawa kepada kesyirikan atau politeisme.
Menurut mereka, hal tersebut membawa pengertian bahwa yang bersifat qadÊm
(permulaan) akan banyak, maka untuk memelihara tauhid atau kemahaesaan
Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan memiki sifat. Tuhan tetap mengetahui,
berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi
Tuhan itu sendiri.32
Pemikiran-pemikiran rasional Mu‟tazilah dalam masalah teologi ini terus
dibawa dan disebarkan oleh para penerusnya seperti; Abu Hużail al-„AllÉf (135-
29
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, Jilid 2, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, Th. 1985 ), h. 37. 30
Ibid, h. 38. 31
Vasalou, Sophia. 2009. “Their Intention was Shown by Their Bodily Movements” : The
Basran Mu‟tazilites on the Institution of Language. Journal of The History of Philosophy, 47 (2),
201-221. Retrieved from http://search.proquest.com/dockview/210624993?accountid=34598 32
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, Jilid 2, h. 38, dan SulaimÉn A
Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Grafindo, Th. 1996), h. 118-120.
11
235 H), al-NaÐÐÉm (185-221 H), al-Murdar (w. 226 H), al-JÉÍiÌ (w. 256 H), al-
JubÉ‟Ê (w. 295 H), al-KhayyÉÏ (w. 300 H), Abu HÉsyim (w. 321 H), dan lain-
lain.33
Di antara pembesar Mu‟tazilah ketika itu adalah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ
(873-935 M) yang merupakan murid besar dari al-JubÉ‟Ê.34
Abu al-×asan al-Asy‟arÊ pada perkembangan pemikiran dan pemahaman
teologinya ia berbalik menyerang ideologinya yang dahulu ia pegangi yaitu
Mu‟tazilah. Di antara yang ia tolak dari teologi Mu‟tazilah adalah penafian
terhadap sifat Allah . Ia mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat dan tidak
mungkin ia mengetahui dengan esensi-Nya, maka Tuhan harus mengetahui
dengan sifat-Nya.35
Hanya saja para ulama menjelaskan bahwa pada masa awal
penentangannya terhadap Mu‟tazilah, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ sebenarnya masih
dalam kegoncangan antara pemikiran teologinya yang lama yaitu Mu‟tazilah yang
mana telah terwariskan pada dirinya ilmu mantik (logika) dan kecondongannya
kepada Ahlusunah waljamaah atau AÎÍÉb al-×adÊts dan iapun jatuh pada
pemahaman KullÉbiyah.36
Sehingga dalam penetapan sifat-sifat bagi Allah , ia
hanya menetapkan tujuh sifat bagi Allah yang ia anggap sesuai dengan akal
manusia. Adapun Îifat khabariyah tentang Allah iapun menakwilkannya.37
33
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, h. 39. 34
SulaimÉn A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, h. 158. 35
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, h. 40. 36
MuÍammad bin ØÉliÍ al-„UtsaimÊn, al-QawÉ‟idu al-MutslÉ fi ØifÉtillahi wa AsmÉ‟illahi
al-×usnÉ, TaÍqÊq dan TakhrÊj HÉnÊ al-×Éj, (Kairo: Maktabah al-„Ilmu, Cet. 1, Th. 1427 H), h. 65. 37
Ibid, h. 66.
12
Apa yang dicetuskan oleh al-Asy‟arÊ ketika itu tersebar ditengah
masyarakat dan menjadi titik awal berkembangnya teologi Asy‟ariyah.38
Sikap
sejalan dengan Abu al-×asan al-Asy‟arÊ juga dilakukan oleh Abu ManÎËr al-
MÉtËridÊ (w. 333 H) dimana dalam banyak hal ia sepaham dengan al-Asy‟arÊ
terutama dalam masalah penetapan Îifat bagi Allah dan iapun menentang
Mu‟tazilah.39
Dalam penetapan Îifat Allah ia sejalan dengan al-Asy‟arÊ yaitu
menggunakan akal sebagai tolok ukur, dan ia menambahkan 13 sifat tambahan
bagi Allah selain apa yang diprakarsai oleh al-Asy‟arÊ sehingga genaplah
menjadi 20 sifat bagi Allah .40
Inilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi
Allah yang wajib diyakini menurut AsyÉ'irah41
.42
Dalam perkembangannya, mazhab atau aliran ini berkembang ditengah
masyarakat dan diterima oleh mayoritas kaum muslim di kala itu. Abu al-×asanى
al-Asy‟arÊ dalam perjalanan pemikirannya tidaklah berhenti sampai disitu, namun
ia kemudian menyadari bahwa apa yang ia yakini dan ia tetapkan sebelumnya
adalah keliru dan iapun mengakui bahwa akidah yang ia yakini sebelumnya
adalah keliru dan ia menyatakan bahwa akidah yang benar adalah apa yang Imam
38
Frank, Richard M. 2008. Classical Islamic Theology: The Ash‟arites. Texts and Studies
on The Development and History of Kalam. Vol. III. Variorum Collected Studies Series.
Burlington V.T. and Aldershot: Ashgate. Pp 428 + x. £77.50. 39
SulaimÉn A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, h. 163. 40
Agus Hasan Bashari, Abul Hasan al-Asy‟arÊ Imam yang Terzhalimi, (Malang: Pustaka
Qiblati, Cet. 1, Th 2009), h. 142, Abu IbrÉhÊm, Abu al-Hasan al-Asy‟arÊ, Majalah as-Sunnah, No:
1, Th. 1 November 1992, h. 49, dan Abu Nu‟aim al-Atsary, Menyoal sifat wajib 20 dalam:
http://thetrueideas.multiply.com/journal/item/429. 41
Asy‟ariyah adalah sebutan bagi para pengikut Abu al-×asan al-Asy‟arÊ –dimasa ia
belum bertaubat dan membenarkan akidah Imam AÍmad -, namun AsyÉ‟irah adalah sebutan untuk
ajaran itu sendiri, lihat AÍmad MaÍmËd ØubÍÊ, FÊ Ilmi al-KalÉm, DirÉsah Falsafiah li ÓrÉ‟il
Firaq Al-IslÉmiyah fÊ UÎËli al-DÊn, (Beirut: DÉr al-NahÌah al-‟Arabiyyah, Cet. 1, Th. 1981), Jilid ى
2, h. 14. 42
Agus Hasan Bashari dan Abu Nu‟aim al-Atsary, Abul ×asan al-Asy‟arÊ.
13
AÍmad bin Hanbal berada diatasnya, terutama dalam masalah asmÉ’ dan ÎifÉt
karena pada sisi itulah terjadi perpecahan dan perdebatan dalam dunia ilmu kalÉm.
Ibnu KatsÊr (w. 774 H) berkata, „Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh
Abu al-×asan al-Asy‟arÊ memiliki tiga fase pemikiran: Pertama, mengikuti
pemikiran Mu‟tazilah yang kemudian beliau keluar darinya, Kedua, menetapkan
tujuh ÎifÉt aqliyyah, yaitu; ×ayÉt, ‟Ilmu, Qudrah, IrÉdah, Sama‟, BaÎar, dan
KalÉm, dan beliau menakwil ÎifÉt khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak
kaki, betis, dan yang semisalnya. Ketiga, menetapkan semua Îifat Allah tanpa
takyÊf dan tasybÊh sesuai manhaj para salaf43
, inilah jalan yang ia pilih dalam
kitabnya yang berjudul al-IbÉnah yang merupakan akhir karangannya‟.44
Abu al-×asan al-Asy‟arÊ berkata bahwa, “Pendapat yang kami pegang dan
agama yang kami yakini adalah berpegang kepada kitab Rabb kami dan sunah
Nabi kami dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi‟in, dan para imam
hadis. Kami berpegang kepada semua itu dan kami mengatakan apa yang
diucapkan oleh Abu „Abdillah AÍmad bin MuÍammad bin ×anbal -semoga Allah
mengangkat derajatnya dan mengagungkan pahalanya-. Kami menyelisihi
pendapat yang menyelisihi ucapannya, karena ia adalah imam yang agung,
pemimpin yang mulia, yang dengannya Allah menjelaskan kebenaran dan
menepis kesesatan orang-orang yang ragu. Semoga Allah melimpahkan rahmat
43
Lihat Scharbrodt, Oliver. 2013. The Salafiyya and Sufism: MuÍammad „Abduh and His
RisÉlat al-WÉridÉt (Treatise on Mystical Inspiration). Western Kentucky University. 44
Ibnu KatsÊr, al-BidÉyah wa al-NihÉyah, TaÍqÊq „Abdullah bin „Abd al-MuÍsin al-TurkÊ,
(DÉr al-Hajar, Cet. 1, Th. 1417 H), Jilid XI, h. 187.
14
atasnya.”45
Ucapan al-Asy‟arÊ di atas menunjukkan pertaubatannya dari akidah
yang sebelumnya ia yakini dan pernyataannya atas kebenaran mazhab Ahlusunah
waljamaah atau AÎhÉb al-HadÊts46
, yang mana sosok Imam AÍmad bin ×anbal di
kala itu diakui sebagai salah seorang pembawa benderanya.
Meski demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh al-Asy‟arÊ
sebelum ia kembali kepada manhaj yang Íaq, hingga kini masih bergulir dan
digeluti oleh banyak kaum muslim. Hal yang paling menonjol adalah penetapan 7
sifat wajib bagi Allah yang kemudian dikembangkan oleh mutaakhirÊn
Asy‟ariyah sehingga menjadi 20 sifat47
dan penakwilan ÎifÉt khabariyah. Inilah
yang kemudian menjadi akidah Asy'ariyah dalam penetapan ÎifÉt Allah .48
Dalam perkembangannya, pemikiran kalÉm Asy'ariyah telah melewati
masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan Ahlusunah
waljamaah, terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir memasukkan
prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantik (logika) dan
ilmu kalÉm. Pergeseran inilah yang menyebabkan rentannya mazhab Asy‟ariyah
untuk tersusupi pemikiran-pemikiran batil. Dan secara umum mereka sejalan
45
Abu al-Hasan al-Asy‟arÊ, al-IbÉnah ‟an UÎËli al-DiyÉnah, TaqrÊÐ Syaikh ×ammÉd al-
AnÎÉri dan TaÍqÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim (Mesir: DÉr al-BaÎÊrah,
Cet. 1, Th. 2003), h. 55. 46
Istilah Ahlusunah waljamaah sudah ada sejak masa sahabat Nabi yang kemudian
istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara para perawi hadis yang setia terhadap sunnah
Nabi dan yang menyimpang dari sunnahnya sehingga telah ada pula istilah ahlu al-Bid‟ah atau
ahlu al-AhwÉ‟. Yang perlu diketahui bahwa penamaan Ahlusunah waljamaah memiliki kesamaan
makna dan maksud dengan penamaan AÎhÉbu al-×adÊts, al-SalafiyyËn, Ahlu al-AtsÉr, al-Firqatu
al-NÉjiyah, dan al-ÙÉifah al-ManÎËrah. Lihat pemaparan hal ini dalam IbrÉhÊm bin ‟Ómir al-
RuÍailÊ, Mauqifu Ahlu al-Sunnati wa al-JamÉ‟ah Min Ahli al-AhwÉ‟i wa al-Bida‟i, (Madinah:
Maktabatu al-GhurabÉ‟ al-Atsariah, Cet. 1, Th. 1423 H) , Jilid I, h. 44-72. 47
„Abd al-SalÉm SyÉkir, al-Ta‟lÊqatu al-MufÊdatu „ala ManÐËmatai Jauharati al-TawÍÊd
wa Bad‟i al-AmÉlÊ, (Janub Ifriqiya: al-JÉmi‟ah al-IslÉmiyah Linsyia, Th. 1422 H), h. 13. 48
Abu IbrÉhÊm, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, h. 51.
15
dengan Ahlusunah waljamaah dalam beberapa masalah akidah, dan berbeda
dalam beberapa perkara akidah lainnya.49
Perberkembang pesat mazhab Asy'ariyah menjadikannya sebagai mazhab
kalÉm tersendiri yang tersebar ke banyak negeri Islam50
dan menjadi mazhab
kebanyakan dari kaum muslim. Dari sinilah awal munculnya klaim bahwa mereka
adalah golongan yang berada di atas kebenaran (Íaq) dan mereka adalah
representasi dari Ahlusunah waljamaah.51
49
Ibid, h. 49. 50
Di antara sebab utama tersebarnya akidah Asy‟ariyah di tengah kaum muslim, adalah:
a. Anggapan bahwa paham Asy‟ariyah adalah Ahlusunah dan banyaknya ulama yang
menyibukkan diri dengan sunah Nabi yang berpegang dengan akidah mereka serta menjadi
pembela-pembelanya. Pada umumnya mereka adalah ahli hadis dan fikih yang menisbatkan
diri kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, meskipun dalam kenyataannya banyak dari mereka yang
tidak sejalan dengan akidah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ.
b. Di masa khilÉfÉh „AbbÉsiyah, kota Baghdad merupakan pusat peradaban Islam yang banyak
didatangi ulama, mereka mencari ilmu di dalamnya, dan membawanya ke negeri-negeri
mereka.
c. Dukungan penguasa dan dijadikannya Asy‟ariyah sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini
seperti pernah terjadi di masa pemerintahan Dinasti Gaznawi di India (abad 11-12 M) sehingga
tersebarlah akidah Asy‟ariyah di India, Pakistan, Afghanistan, dan Indonesia. Demikian pula di
masa pemerintahan Dinasti Saljuk (11-14 M) melalui perdana menterinya NiÐÉmu al-Mulk (w.
585 H), ia mendirikan Madrasah NiÐÉmiyah yang menjadi lembaga representatif pengajaran
akidah Asy‟ariyah, dan pengaruhnya sampai ke Asia Tengah dan banyak wilayah Islam yang
lain. Demikian pula al-MahdÊ bin TËmart (524 H) yang menjadikan Asy‟ariyah sebagai
mazhab Dinasti MuwaÍÍidÊn, dan NuruddÊn MuÍammad ZankÊ (w. 569 H) yang mana ia
mendirikan DÉr al-×adÊts di Damaskus yang dipimpin langsung oleh Ibnu ‟AsÉkir. Lihat
„AbdurraÍman bin ØÉliÍ bin ØÉliÍ al-MaÍmËd, Mauqifu Ibnu Taimiyah min al-„AsyÉ‟irah
(RiyÉÌ: Maktabatu al-Rusyd, Th. 1415 H, Cet. 1), h. 498-504 dengan meringkas. 51
MurtaÌÉ al-ZabÊdÊ (w. 1205 H) menyatakan:
اى ا شا ةى اماتت اريا ي ى ى ست ى ا ام ىم تا ى ا ى ها
Artinya: “Apabila dinyatakan Ahlusunah maka yang dimaksudkan adalah AsyÉ‟irah dan
MÉturidiyah.” Lihat dalam Sulaiman A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hal: 150-158.
Pendapat senada juga dituturkan JalÉl MuÍammad MËsÉ dengan menyatakan bahwa sunnÊ
adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy‟ariyah dan merupakan lawan dari Mu‟tazilah. Lihat
JalÉl MuÍammad „Abd al-×amÊd MËsÉ, Nasy‟at al-AsyÉ‟irah wa TaÏawwuruhÉ,(Beirut: DÉr al-
Kutub al-LubnÉni, 1390 H), h. 15. Harun Nasution –dengan meminjam keterangan Tasya Kubra
ZÉdah- juga menyatakan bahwa aliran Ahlusunah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan
al-Asy‟arÊ sekitar tahun 300 H. Lihat Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI press, Th. 1986), h. 64 dan Abdul Rozak dan Rasihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:
Pustaka Setia, Cet. 2, Th. 2006), h. 119.
Dakwaan Asy‟ariyah di atas adalah tidak benar, karena tidaklah samar bagi siapa saja
yang mempelajari akidah salaf, ia akan menjumpai banyak perbedaan antara mazhab Ahlusunah
waljamaah dan mazhab Asy'ariyah dalam masalah uÎËlu al-dÊn. Uraian secara lebih mendalam
akan diulas di pembahasan Bab IV. Lihat „Abd al-‟AzÊz bin Rayyis al-Rayyis, Ta‟kÊdu al-
16
Di Indonesia52
, pemikiran kalÉm Asy'ariyah diajarkan secara mendalam di
kebanyakan pesantren tradisionalis yang pada umumnya mengajarkan fikih
mazhab SyÉfi‟Ê dan akidah Asy‟ariyah.53
Lebih dari itu akidah Asy‟ariyah juga
telah merambah ke kurikulum pendidikan Agama Islam Departemen Agama.54
Tidak hanya sampai di sini, setelah diperhatikan penerjemahan Alquran di
Indonesia, yang pada umumnya mengacu kepada terjemah Departemen Agama
Republik Indonesia, di dalamnya terdapat penakwilan ÎifÉt khabariyah bagi Allah
. Ini menunjukkan kekuatan pengaruh mazhab AsyÉ‟irah di bumi Indonesia. 55
MusallamÉt al-Salafiyah fi NaqÌi al-Fatwa al-JamÉ‟iyyah bi anna al-AsyÉ‟irah min al-Firqah al-
MarÌiyah, (Kairo: DÉr ImÉm AÍmad , Cet. 1, Th. 2007). 52
Bahkan di seluruh Asia Tenggara hal ini sebagaimana dibuktikan dalam hasil penelitian.
Lihat Abdul Øukor Husin, Ahli Sunah Waljamaah Pemaham Semula, (Malaysia: Universiti
Kebangsaan Malaysia, Th. 1998) dan Lik, Arifin Mansurnoor. 2008. Islam in Brunei Darussalam:
Negotiating Islamic Revivalism and religious Radicalism. Islamic Studies, 47 (1), 65-I. Retrieved
from http://search .proquest.com/docview/287950425?accountid=34598. 53
Adalah Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu dari ormas Islam yang terbesar di
Indonesia, secara masif dan tegas mendasarkan pemahaman keagamaan berdasar mazhab SyÉfi‟Ê
dan akidah Asy‟ariyah. Disebutkan dalam situs resminya, bahwa NU menganut paham Ahlussunah
Waljamaah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim akli (rasionalis) dengan
kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Alquran,
Sunah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir
semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu al-×asan al-Asy'arÊ dan Abu ManÎËr al-
MÉtËrÊdÊ dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat mazhab; ×anafÊ,
MÉlikÊ, SyÉfi'Ê, dan ×anbalÊ. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode al-
GhazalÊ dan Junaid al-BaghdÉdÊ, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Lihat
http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,7-t,paham+keagamaan-.phpx. 54
Contoh untuk hal ini adalah diajarkannya sifat wajib 20 di kebanyakan lembaga
pendidikan Islam dari jenjang Taman Pendidikan Alquran (TPA) sampai Perguruan Tinngi Agama
Islam (PTAI), demikian pula pengajaran teori al-kasbu dalam pembahasan takdir di jenjang PTAI.
Sedangkan di pesantren dikaji kitab-kitab yang mengandung pemikiran Asy‟ariyah seperti:
„AqÊdatu al-„AwwÉm, Ummu al-BarÉhin, KÉsyifatu al-HÉj, QaÏru al-Ghaits, MasÉil al-Laits, dan
lain-lain. Lihat AbdurraÍman MubÉrak, Pengaruh Akidah Asy’ariyah Terhadap Umat, Majalah
Asy Syari’ah, No: 74/ VII/ 1432 H/ 2011, h. 25-27. 55
Penulis memperhatikan Alquran terjemah cetakan Departemen Agama RI tahun 1985
dan Alquran terjemah cetakan Tiga Serangkai Solo dengan tashih Departemen Agama RI tahun
2007, dan di dalamnya terdapat penakwilan atas sifat al-ityÉn bagi Allah sebagaimana dalam
terjemah QS. Al-Baqarah: 210 dan QS. Al-An‟Ém: 158, penakwilan sifat wajah bagi Allah
sebagaimana dalam QS. Al-QaÎaÎ: 88 dan QS. Al-RaÍmÉn: 27. Hal yang sama tidak terjadi pada
Alquran terjemah yang dicetak oleh Mujamma‟ al-Malik Fahd li ÙibÉ‟ati al-MuÎÍaf al-SyarÊf,
Madinah KSA tahun 1418 H, meskipun mereka mengacu pada terjemah Departemen Agama
Republik Indonesia, namun Mujamma‟ telah meneliti ulang terjemahan tersebut sehingga tidak ada
penakwilan ÎifÉt khabariyah bagi Allah .
17
Apa yang telah dipaparkan dengan singkat di atas adalah pendorong
utama dilakukannya penelitian untuk meneliti dan mendalami pemikiran asmÉ’
dan ÎifÉt Allah menurut Abu al-×asan al-Asy‟arÊ di akhir perjalanan
keagamaannya, serta berusaha mendudukkan pemikiran asmÉ’ dan ÎifÉt Allah
menurut Asy‟ariyah, mengingat pemikiran mereka tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah
telah tersebar di tengah umat Islam dan terkesan bahwa pemikiran tersebut
adalah akhir dari pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ. Penulis meyakini
diperlukannya suatu penelitian untuk menjelaskan kepada kaum muslim
pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah ?
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ tentang asmÉ’ dan ÎifÉt
Allah ?
2. Bagaimanakah pemikiran Asy‟ariyah tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah ?
C. Tujuan Dan Kontribusi Penelitian
Secara formal, penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
syarat memperoleh gelar sarjana strata dua (S-2) Magister Pemikiran Islam di
Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2013. Adapun tujuan non formal dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran deskriptif yang lebih jelas
tentang pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan Asy‟ariyah tentang asmÉ’ dan
ÎifÉt Allah serta apa yang melatarbelakangi dan membedakan pemikiran
18
keduanya dalam hal akidah secara umum dan secara khusus dalam hal asmÉ’ dan
ÎifÉt Allah .
Adapun kontribusi penelitian yang diharapkan adalah sumbangsih ilmiah
yang berupa kajian tentang pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dalam masalah
asmÉ’ dan ÎifÉt Allah yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kaum muslim
secara umum dan bermanfaat bagi para penuntut ilmu dalam hal akademis secara
khusus.
D. Studi Terdahulu
Abu al-×asan al-Asy‟arÊ adalah tokoh yang mendapat perhatian dari para
sarjana muslim, karena kepadanyalah Asy‟ariyah menisbatkan pemikiran kalam
mereka dan mengingat iktikad akhir beliau yang banyak diperdebatkan oleh para
ahli taÍqÊq. Oleh sebab itulah kajian tentang Abu al-×asan al-Asy‟arÊ
mendapatkan perhatian dari ulama dan ahli taÍqÊq guna diketahui pemikiran
akidah beliau yang sebenarnya. Di antara kajian yang penulis dapatkan tentang
pemikiran kalam Abu al-×asan al-Asy‟arÊ adalah sebagai berikut, yaitu:
1. Nukman Abbas, “Al-Asy‟arÊ (874-935 M) Misteri Perbuatan Manusia Dan
Takdir Tuhan”, (Jakarta: Erlangga, Cet. 1, Th. 2008). Nukman Abbas diawal
pembahasannya menyoroti sebab dari terjadinya perpecahan di tubuh kaum
muslim –sebagaimana umumnya para peneliti-, ia memandang bahwa hal
tersebut adalah disebabkan karena percaturan politik yang berkembang
menjadi percaturan pemikiran kalam. Ia juga menjelaskan bahwa munculnya
mazhab al-Asy‟arÊ adalah penengah dari santernya percaturan pemikiran
19
kalam dalam masalah ilÉhiyÉt, dan ia adalah representasi dari Ahlusunah
waljamaah. Kajian Nukman Abbas hanya menitik beratkan pembahasannya
pada pergulatan pemikiran dalam masalah takdir dan secara khusus ia
mengkaji teori al-kasbu yang mana itu adalah hasil pemikiran dari Abu al-
×asan al-Asy‟arÊ untuk menengahi polemik antara Qadariyah dan Jabariah
ketika itu. Ia juga menyoroti tentang bagaimanakah akibat dari teori al-kasbu
yang telah banyak dianut oleh manusia yang dikatakannya sebagai sebab
kemunduran umat Islam ?!
2. Agus Hasan Bashari, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ Imam yang TerÐalimi, (Malang:
Pustaka Qiblati, Cet. 1, Th. 2009). Dalam kajiannya, Agus Hasan Bashari
mengawali kajian dengan biografi Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan penjelasan
akan akidah beliau secara umum dan secara khusus ia menjelaskan secara
ringkas akidah Asy‟ariyah disertai dengan penukilan dari para imam mereka,
para ulama‟ yang terpengaruh dengan pemikiran kalam Asy‟ariyah, dan di
akhir kajiannya, ia membawakan kajian tentang sikap ulama‟ Ahlusunah
waljamaah terhadap Asy‟ariyah.
3. ×amËdah GharÉbah, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, (Kairo: Majma‟ al-Buhuts al-
Islamiyyah, Th. 1973). Dalam kajiannya, ×amËdah GharÉbah mengawali
dengan menjelaskan tentang awal terjadinya perpecahan di tengah umat Islam,
kemudian menjelaskan biografi dari Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan pemikiran
kalamnya secara umum sebagaimana terdapat dalam karya-karyanya. Dalam
penelitian ini ×amËdah GharÉbah tidak menjelaskan akidah akhir yang
diyakini oleh al-Asy‟arÊ sebagaimana terdapat dalam al-IbÉnah dan MaqÉlÉt
20
al-IslÉmiyyÊn. Di akhir kajiannya, ×amËdah GharÉbah menjelaskan posisi al-
Asy’arÊ di hadapan para pembela dan penentangnya.
4. MuÍammad SulaimÉn al-Asyqar, Mu‟taqadu al-ImÉm AbÊ al-×asan al-Asy‟arÊ
wa Manhajuhu, (Jordania: DÉr al-NafÉis, Cet. 1, Th. 1994). Dalam kajiannya,
MuÍammad SulaimÉn al-Asyqar menjelaskan secara global tentang biografi
dari Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, kedudukan beliau di hadapan para ulama dan
pendapat ulama atasnya. Beliau juga menjelaskan tentang manhaj Abu al-
×asan al-Asy‟arÊ dalam akidah dan akidah beliau secara umum sebagaimana
terdapat dalam tiga karya akhir al-Asy‟arÊ. Beliau menguatkan bahwa al-
Asy‟arÊ telah rujuk kepada mazhab Salam dalam akidah.
5. Abu Bakr KhalÊl IbrÉhÊm al-MËÎilÊ, Syu‟batu al-AqÊdah baina Abi al-×asan
al-Asy‟arÊ wa al-MuntasibÊna ilaihi fÊ al-AqÊdah, (Beirut: Dar kutub al-Arabi,
Cet.1, Th. 1410). Dalam kajiannya, Abu Bakr KhalÊl IbrÉhÊm al-MËÎilÊ lebih
menyoroti masalah ÎifÉt Allah menurut Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan
Asy’ariyah. Ia tidak menjelaskan tentang asmÉ’ Allah menurut Abu al-
×asan al-Asy‟arÊ dan Asy’ariyah, serta apa yang melatarbelakangi pemikiran
Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan Asy’ariyah tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah .
Dan di akhir kajiannya, ia menegaskan akan kesalafian Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ dalam masalah akidah.
6. „Abdullah SyÉkir al-JunaidÊ, TaÍqÊq wa DirÉsah ’alÉ RisÉlatun ilÉ Ahli al-
Tsaghr, (Madinah: Maktabatu al-„Ulumu wa al-Hikam, Th. 1409 H, Cet. 1).
Kitab ini asalnya adalah tesis yang diajukan kepada Universitas Islam
Madinah KSA tahun 1422 H. Dalam kajiannya, „Abdullah SyÉkir al-JunaidÊ
21
melakukan penelitian dan pembuktian atas kebenaran penisbatan kitab
RisÉlatun ilÉ Ahli al-Tsaghr kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ. Ia juga
menjelaskan –dengan memberikan ta’lÊq- akan kesesuaian akidah al-Asy‟arÊ
dalam kitab tersebut dengan akidah salaf saleh. Ia menyimpulkan benarnya
penisbatan kitab RisÉlatun ilÉ Ahli al-Tsaghr kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ
dan kesesuaian akidahnya dengan Ahlusunah waljamaah salaf saleh.
7. ØÉlih Muqbil al-„UÎaimÊ, al-IbÉnah ‟an UÎËli al-DiyÉnah, TaÍqÊq wa SyarÍ,
(RiyÉÌ: DÉr al-FaÌlilah, Cet. 1, Th. 1432 H). Kitab ini asalnya adalah disertasi
doctoral yang diajukan kepada Universitas al-Imam Malik bin Su‟Ëd RiyÉÌ
KSA tahun 1432 H dan ia adalah penelitian terkini yang mengungkapkan
kekurangan penelitian-penelitian yang terdahulu atas kitab al-IbÉnah ‟an
UÎËli al-DiyÉnah. Dalam kajiannya, ØÉlih Muqbil al-„UÎaimÊ melakukan
penelitian dan pembuktian atas kebenaran penisbatan kitab al-IbÉnah ‟an
UÎËli al-DiyÉnah kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ sebagaimana pula ia
memberikan sanggahan atas argumentasi pengingkar kitab al-IbÉnah ‟an
UÎËli al-DiyÉnah. Ia juga menjelaskan secara detail –dengan memberikan
ta’lÊq- akan kesesuaian akidah al-Asy‟arÊ dalam kitab tersebut dengan akidah
salaf saleh. Ia menyimpulkan benarnya penisbatan kitab al-IbÉnah ‟an UÎËli
al-DiyÉnah kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan kesesuaian akidahnya dengan
Ahlusunah waljamaah salaf saleh.
Adapun penelitian secara khusus tentang pemikiran Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah dengan membandingkan dan mengkaji
pemikiran Asy‟ariyah dalam masalah yang sama dan melihat kepada latar
22
belakang pemikiran kalam (akidah) keduanya, maka belum ditemukan, baik yang
berupa skripsi, tesis, disertasi, ataupun kajian kepustakaan lain dari peneliti di
Indonesia. Oleh sebab itu penulis beranggapan bahwa penelitian secara khusus
tentang pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah
adalah belum pernah dilakukan.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pembuka bagi para peneliti lain
untuk mengkaji lebih dalam tentang pemikiran kalam (akidah) Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ, menambah wawasan, dan menerangkan kepada masyarakat tentang
kebenaran yang belum terungkap dari karya-karyanya serta kesalahan yang harus
dihindarkan terkait dengan Abu al-×asan al-Asy‟arÊ.
E. Kerangka Teori
Yang menjadi kerangka teori pada penelitian ini adalah teori tentang
asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Ulama membahasnya secara terintegrasi dalam
pembahasan iman kepada Allah yang di dalamnya mengharuskan keimanan
atas wujud-Nya, kekhususan perbuatan-Nya (rubËbiyah), hak peribadatan hanya
kepada-Nya (ulËhiyah), dan kekhususan asmÉ’ dan ÎifÉt-Nya.56
Pembahasan
tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah adalah bagian dari pembahasan keimanan atau
pembahasan tauhid57
sehingga lazim dikenal dalam kitab-kitab akidah dengan
istilah tawÍÊd al-asmÉ’ wa al-ÎifÉt.
56
MuÍammad bin ØÉliÍ al-‟UtsaimÊn, SyarÍu TsalÉtsatu al-UÎËl, (Kairo: DÉr al-ImÉm
AÍmad , Cet. 1, Th. 2006), h. 80-90. 57
Kata tauhid dalam bahasa Arab terambil dari kata waÍÍada- yuwaÍÍidu- tawÍÊdan yang
berarti menyatukan atau mengesakan. Lihat AÍmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir,
(Yogyakarta: Pustaka Progresif, Cet. 2, Th. 1997), h. 1103.
Pembagian tauhid menjadi tiga (rubËbiyah, ulËhiyah, dan asmÉ’ wa al-ÎifÉt) adalah
berdasarkan nas-nas Alquran dan sunah yang dirumuskan berdasarkan istiqrÉ‟, sehingga ia
bukanlah suatu hal yang baru (bidah) dan bukan pula pembagian yang berdasar pada kaidah-
kaidah Ahlu al-KalÉm. Sebagian ulama salaf yang lain membaginya menjadi dua; Pertama:
23
Kata asmÉ’ adalah bentuk plural dari ismu yang berarti nama, sedangkan
kata ÎifÉt adalah plural dari Îifah yang berarti sifat. Adapun arti dari tawÍÊd al-
asmÉ’ wa al-ÎifÉt adalah mengesakan Allah pada seluruh nama dan sifat-Nya
dengan cara menetapkan semua yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya
dalam kitab-Nya atau sunah rasul-Nya dari asmÉ’ dan ÎifÉt sesuai keagungan-
Nya dengan tanpa memalingkan maknanya (taÍrÊf), mengingkarinya (ta‟ÏÊl),
menyerupakannya dengan makhluk (tamtsÊl), menanyakan tentang hakikat
sebenarnya (takyÊf), dan tidak pula dengan menyerahkan maknanya kepada Allah
(tafwÊÌ) 58
. Bahkan harus diyakini bahwa Zat-Nya disifati dengan ÎifÉt yang
sempurna dan tidak menyerupai zat-zat yang lain, namun pada masing-masingnya
memiliki hakikat yang berbeda.59
Dalam hal ini Allah telah menjelaskan kewajiban mengimani asmÉ’ dan
ÎifÉt–Nya dengan tanpa penyimpangan dalam banyak ayat-Nya, di antaranya:
نىماىكانت ا ىيت ام انى ا آهى ل ا ى ا ا اهىباى ر ا ى ذيانىيت اح انىفاى ا سا هى ا ا ءى ااArtinya: “Hanya milik Allah asmÉ’ al-ÍusnÉ
60, Maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmÉ’ al-ÍusnÉ itu dan tinggalkanlah orang-orang
Tauhid pengenalan dan penetapan (tawÍÊd al-ma‟rifah wa al-itsbÉt) yang masuk di dalamnya
tawÍÊd rubËbiyah dan asmÉ’ wa al-ÎifÉt, semua nas yang menerangkan tentang perbuatan Allah
serta nama dan sifat-Nya adalah masuk dalam kelompok ini. Kedua: Tauhid tuntutan dan tujuan
(tawÍÊd al-Ïalab wa al-qaÎd) yang mana ia merupakan tawÍÊd ulËhiyah, semua nas yang
menerangkan tentang kewajiban beribadah kepada Allah dan meninggalkan peribadatan kepada
selain-Nya (syirik) adalah masuk dalam kelompok ini. Sedangkan pembagian tauhid menjadi
empat yaitu dengan menambahkan tawÍÊd al-ÍÉkimiyah, maka hal tersebut adalah tidak tepat
karena tawÍÊd al-ÍÉkimiyah adalah masuk dalam tawÍÊd ulËhiyah dari sisi keharusan
penegakannya dan ia masuk dalam tawÍÊd rubËbiyah dari sisi hak pembuatan syariat (al-tasyrÊ‟)
yang merupakan mutlak milik Allah . Lihat ØÉliÍ bin FauzÉn al-FauzÉn, I‟Énatu al-MustafÊd fÊ
SyarÍi KitÉb al-TawÍÊd, (Beirut: Muassasah al-RisÉlah, Cet. 3, Th. 1423 H), Jilid I, h. 24 dan Jilid
II, h. 139-140. 58
MuÍammad bin ØÉliÍ al-‟UtsaimÊn, SyarÍu TsalÉtsatu al-UÎËl, h. 87-88 dan
MuÍammad JamÊl ZainË, MinhÉj al-Firqatu al-NÉjiyatu wa al-ÙÉifah al-ManÎËrah, (Kairo: DÉr
al-×aramain, Cet. 1, Th. 2005), h. 20. 59
MuÍammad AmÉn bin „AlÊ al-JÉmÊ, al- ØifÉt al-IlÉhiyyatu fÊ al-KitÉb wa al-Sunnah fi
Öau‟i al-ItsbÉt wa al-TanzÊh, (Kairo: DÉr al-MinhÉj, Cet. 1, Th. 1426 H), h. 337. 60
Maksudnya, nama-nama yang agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah .
24
yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya61
,
nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan” (Q.S. Al-A‟rÉf: 180).
كلامى هى امث ى ا ا ىفاى سما تى ا را ى ه ى ا يتا ى ااArtinya: “Dan milik-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan
Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-RËm: 27).
ءى ه ى سملا ى ا صلتا ى لا ىكمثا هىش اArtinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat” (Q.S. Al-SyËrÉ: 11).
Bertolak dari nas-nas di atas, ulama salaf membangun akidah tentang
asmÉ’ wa al-ÎifÉt di atas sikap ketundukan (taslÊm) dan mengimaninya
sebagaimana makna ÐÉhir-nya karena ia termasuk nas-nas yang muÍkamÉt.
Mereka menafikan adanya tasybÊh antara khalik dan makhluk, tidak melampaui
Alquran dan sunah, dan menyerahkan hakikat sifat-sifat Allah kepada-Nya
serta tidak memperdebatkannya.62
Dalam mengimani nas-nas asmÉ’ wa al-ÎifÉt, terdapat dua firqah
(golongan) yang menyimpang dari jalan (manhaj) salaf saleh; Pertama,
musyabbihah yaitu mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan
menjadikan ÎifÉt Allah sebagaimana ÎifÉt makhluk-Nya, termasuk dari mereka
adalah RÉfiÌah yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Kedua,
mu’aÏÏilah yaitu mereka yang menafikan ÎifÉt Allah dengan argumentasi
mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk (tasybÊh), termasuk dari
mereka adalah Jahmiyah yang menafikan seluruh asmÉ’ dan ÎifÉt Allah ,
Mu’tazilah yang menetapkan asmÉ’ Allah dengan menafikan maknanya serta
61
Maksudnya, janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan
nama-nama yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan keagungan Allah , atau dengan memakai al-
asmÉ‟ al-ÍusnÉ, tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan al-asmÉ‟ al-
ÍusnÉ untuk nama-nama selain Allah . 62
ØÉliÍ bin FauzÉn al-FauzÉn, MajmË‟atu RasÉil fÊ al-TawÍÊd, (Kairo: DÉr al-‟AqÊdah,
Cet. 1, Th. 2004), h. 204.
25
menafikan ÎifÉt Allah secara total, dan AsyÉ’irah serta MÉtËrÊdiyah yang
menetapkan asmÉ’ Allah dan sebagian dari ÎifÉt Allah yang dibenarkan
secara akal dan menafikan ÎifÉt Allah yang lain.63
F. Metode Penelitian
Penelitian tesis ini merupakan penelitian kualitatif64
yang akan
dikembangkan dalam sebuah metode penelitian ilmiah (the scientific method of
research). Secara teknis penelitian akan dioperasikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian kepustakaan (library research)
dengan menggunakan sumber-sumber primer dan sekunder65
termasuk terhadap
penelitian-penelitian sebelumnya yang mengkaji tema paralel. Sumber-sumber
primer diperoleh dari karya-karya Abu al-×asan al-Asy‟arÊ yang menerangkan
akhir pemikiran keagamaannya yaitu: MaqÉlÉtu al-IslamiyyÊn wa IkhtilÉfu al
MuÎallÊn, RisÉlatun ilÉ Ahli al-Tsaghr, dan al-IbÉnah ‟an UÎËli al-DiyÉnah.
Sedangkan sumber-sumber sekunder diperoleh dari tulisan-tulisan tentang Abu al-
63
ØÉliÍ bin FauzÉn al-FauzÉn, Muqarrar al-TawÍÊd li al-Øaffi al-Awwali al-‟ÓlÊ fÊ al-
Ma’Éhid al-IslÉmÊ, (Jakarta: Muassasah al-Øafwah, Th. 1429 H), h. 122. 64
Bogdan dan Taylor mendefinisikan “metodologi kualitatif ” sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu
tersebut secara holistic (utuh). Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, Cet. 3, Th. 1991), h. 3. 65
Menurut Bekker, istilah untuk sumber primer adalah “pustaka primer” yaitu karya-
karya tulis pribadi tokoh yang diteliti. Adapun sumber data sekunder disebut “pustaka sekunder”,
yaitu karangan atau monografi yang ditulis khusus tentang tokoh yang diteliti. Anton Bakker dan
A. Charris Zubaidi, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. 7, Th.
1999), h. 63.
26
×asan al-Asy‟arÊ dan pemikiran kalamnya yang terdokumentasikan dalam buku,
makalah, artikel, jurnal, dan majalah yang mempunyai relevansi dengan maksud
uraian tesis ini, di antaranya: al-Żabbu „an AbÊ al-×asan al-Asy‟arÊ wa Kitabihi
al- al-IbÉnah ‟an UÎËli al-DiyÉnah oleh Ibnu Darbas, Mu‟taqadu al-ImÉm AbÊ al-
×asan al-Asy‟arÊ wa Manhajuhu oleh MuÍammad SulaimÉn al-Asyqar, Abul
×asan al-Asy‟arÊ Imam yang TerÐalimi oleh Agus ×asan Bashari, Abu al-×asan
al-Asy‟arÊ oleh ×amËdah GharÉbah, dan Manhaju al-AsyÉ‟irah fÊ al-„AqÊdah oleh
Safar bin „AbdurraÍmÉn al-×awalÊ, dan lain-lain.
2. Sifat dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, analitis kritis, dan perbandingan66
, yaitu
berupaya menggali dan menemukan pemikiran-pemikiran Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ lewat beberapa karangannya sebagai sumber data primer. Data-data yang
diperoleh kemudian dideskripsikan serta dianalisa dengan pendekatan kategorisasi
dan perbandingan. Yang dimaksud pendekatan kategorisasi di sini adalah
merumuskan pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dalam bentuk kategori dan
pengelompokan tema-tema tertentu, sehingga pemikirannya dapat dilihat melalui
data yang telah ada. Adapun pendekatan perbandingan (comparative approach)
yang digunakan adalah membandingkan pandangan-pandangan Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ dengan pandangan-pandangan Asy‟ariyah tentang asmÉ‟ dan ÎifÉt Allah
66
Menurut Yuyun, metode analisis kritis data dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
Pertama, mendiskripsikan gagasan yang menjadi obyek penelitian. Kedua, melakukan interpretasi
terhadap gagasan dengan melakukan komparasi pemikiran yang berbicara pada pada topik yang
sama. Ketiga, melakukan kritik dalam metode analisis kritis adalah dengan mengungkapkan
kelebihan dan kekurangan gagasan yang menjadi obyek penelitian. Keempat, melakukan studi
analisis terhadap serangkaian gagasan primer yang menjadi obyek penelitian ini dalam bentuk
perbandingan. Lihat M. Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan
Antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, Cet. 1, Th. 2001), h. 45-46.
27
serta pandangan-pandangan lain yang berkaitan dengan tema yang ditentukan.
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui letak persamaan dan perbedaannya.
Pada pembahasan latar belakang pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ,
digunakan pendekatan sosiologis67
dan historis68
. Pendekatan ini menjadi sebuah
keniscayaan untuk mengungkap hal-hal yang melatarbelakangi pemikiran Abu al-
×asan al-Asy‟arÊ dengan melihat sejarahnya, berangkat dari tesis bahwa fase
terbentuknya aspek fisik dan mental (intelegensi) seseorang dipengaruhi oleh
faktor geografis, iklim, dan budaya tempat mereka berada69
.
3. Metode Analisis Data
Penelitian ini mengunakan metode content analisyst (analisis isi)70
,
sebagaimana dinyatakan Yuyun S. Sumantri71
, metode ini meniscayakan
digunakannya analisyst comparative (analisis perbandingan) untuk memetakan
posisi pemikiran tokoh yang menjadi obyek penelitian di antara pemikir-pemikir
lainnya. Pada proses penarikan kesimpulan, penelitian ini menggunakan metode
deduksi, induksi, dan komparasi. Metode deduksi adalah tata cara penarikan
kesimpulan dengan berangkat dari kaidah-kaidah umum, sedangkan induksi
adalah tata cara penarikan kesimpulan dengan berangkat dari sebab-sebab khusus.
67
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap
dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini,
suatu fenomena social dapat dianalisa dengan factor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan,
mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari proses tersebut. Abudin Nata,
Metodologi Studi Islam, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, Cet. 6, Th. 2001), h. 39. 68
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa
tersebut. Ibid, h. 46. 69
Lihat „AbdurraÍman Ibn Khaldun, MuqaddimÉt Ibn Khaldun, h. 30. 70
Metode content analisyst adalah menganalisa data melalui isinya melalui sumber
primer, data yersebut dianalisa secara kritis dari sudut pandang historis, sosial budaya. Lihat Imam
Suprayogi dan Thobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
Cet. 1, Th. 2001), h. 71-73. 71
M. Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, h. 46.
28
Adapun komparasi, maka ia adalah tata cara penarikan kesimpulan dengan
berangkat dari membandingka antara dua obyek atau lebih.
Adapun alur proses penelitian ini maka dapat diterangkan secara singkat
sebagai berikut; karena penelitian ini menggunakan jenis penelitian pustaka, maka
dimulai dengan mengumpulkan kepustakaan. Pertama-tama dicari segala buku
yang ada mengenai tokoh yang dijadikan obyek penelitian, kemudian
dikonsultasikan kepustakaan yang umum dan yang khusus.72
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah gambaran tentang bahasan yang dilakukan dalam
tulisan ini maka disini akan disampaikan garis-garis besar yang terdiri dari lima
bab dengan rincian berikut:
Bab pertama berisikan tentang latar belakang masalah yang akan diangkat
dalam penulisan tesis ini, rumusan masalah, penelitian terdahulu, kerangka teori,
sistematika penulisan.
Bab kedua berisikan tentang biografi Abu al-×asan al-Asy‟arÊ yang
mencakup tentang situasi politik dan pemikiran Islam yang berkembang di
masanya.
Bab ketiga berisikan pembahasan tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah dan
akidah Ahlusunah waljamaah tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah .
Bab keempat berisikan pembahasan tentang pemikiran Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah dan apa yang melatarbelakangi
diskrepansi pemikirannya dengan AsyÉirah.
72
H Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif, (Surakarta: PP UNS, Th. 1986), h. 51.
29
Dan bab kelima berisi kesimpulan hasil analisis terhadap data penulisan
tesis ini, dan diakhiri dengan penutup yang mencakup kritik dan saran.