Upload
buitu
View
233
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan antara manusia dengan tanah dapat menimbulkan beberapa
fungsi tanah, yaitu fungsi ekonomis dan fungsi sosial. Fungsi ekonomis atas tanah
dimana tanah berfungsi untuk mendirikan rumah, diperjualbelikan, disewakan
atau dikontrakkan dan lain sebagainya. Sedangkan tanah dalam fungsi sosial
adalah hak atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, tidak
semata – mata boleh dipergunakan untuk kepentingan pribadi dengan sewenang –
wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun mentalitas tanah
tersebut sehingga tidak ada manfaatnya.1Secara aksiologis, tanah sangat berguna
bagi kehidupan manusia karena tanpa tanah manusia tidak bisa hidup. Sejarah
perkembangan atau kehancurannya ditentukan oleh tanah, masalah tanah dapat
menimbulkan persengketaan dan peperangan yang dahsyat karena manusia-
manusia atau sesuatu bangsa ingin menguasai tanah orang/bangsa lain karena
sumber-sumber alam yang terkandung di dalamnya”.2 Manusia akan dapat hidup
senang serba berkecukupan jika mereka mampu menggunakan tanah yang
dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia
akan dapat hidup tenteram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak
1K. Wantjik Saleh, 1997, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta,hal.16.
2G.Kartasapoetra, dkk, 1991, Hukum Tanah : Jaminan UUPA bagiKeberhasilan Pendayagunaan Tanah, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 1.
2
dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum
yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat. Hukum
alam telah menentukan bahwa :
a. Keadaan tanah yang statis itu akan menjadi tempat tumpuan manusia yang
tahun demi tahun akan berkembang dengan pesat.
b. Pendayagunaan tanah dan pengaruh-pengaruh alam akan menjadikan
instabilitas kemampuan tanah tersebut. 3
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanah dalam kehidupan manusia
mempunyai peranan yang sangat penting baik karena sifatnya yang tetap maupun
sebagai tempat tinggal. Sehubungan dengan ini, Surojo Wignjodipuro,
mengemukakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki
kedudukan yang sangat penting yaitu : 4
a. Karena sifatnya.
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya,
bahkan terkadang menjadi lebih menguntungkan. Contohnya : sebidang tanah
itu dibakar, di atasnya terdapat bom, tanah tersebut tidak akan lenyap; setelah
api padam ataupun setelah pemboman selesai sebidang tanah tersebut akan
muncul kembali tetap berwujud tanah seperti semula. Jika dilanda banjir
misalnya, setelah airnya surut muncul kembali sebagai sebidang tanah yang
lebih subur dari semula.
3Ibid.4Surojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat,
PT.Gunung Agung, Jakarta, hal. 197.
3
b. Karena fakta :
Yaitu suatu kenyataan, bahwa tanah itu :
− merupakan tempat tinggal persekutuan.
− memberikan penghidupan kepada persekutuan.
− merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal
dunia dikebumikan.
− merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung
persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.
Dengan demikian, di atas tanah manusia “dapat mencari nafkah seperti
bertani, berkebun dan berternak. Di atas tanah pula manusia membangun rumah
sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk
perkantoran dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan
alam yang dapat dimanfaatkan manusia”.5
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) pada pokoknya menentukan jenis-jenis hak
atas tanah yang dapat dimiliki oleh subyek hukum. Beberapa diantaranya yaitu:
Hak Milik, Hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak
membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk
dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta
hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.
Namun lebih lanjut yang akan dibahas adalah mengenai Hak Milik atas tanah.
5Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum DalamPengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45.
4
Hak Milik adalah hak atas tanah yang paling kuat, sesuai dengan
penjelasan UUPA bahwa pemberian sifat terkuat dan terpenuh tidak berarti bahwa
hak itu merupakan hak yang mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat,
sebagaimana hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dahulu, karena sifat
yang demikian tentu akan bertentangan dengan hukum adat dan fungsi sosial dari
tiap-tiap hak. Kata terkuat dan terpenuh itu untuk membedakan dengan hak atas
tanah yang lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah
yang dapat dimiliki orang, hak miliklah yang paling terkuat dan terpenuh.6 Hak
Milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya
untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang
dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan, hak pakai, dengan
pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara
(sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini
meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom, atas
tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disingkat
KUHPer), yang memberikan kewenangan yang paling luas pada pemiliknya,
dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang
menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Peralihan atau pemindahan hak yaitu berpindahnya Hak Milik atas tanah
dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum,
yaitu: jual-beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal
perusahaan. Setiap peralihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk
6A.P. Parlindungan, 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan I), hal. 137
5
jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).Dengan merujuk pada Pasal 23Ayat (1) UUPA, mewajibkan
peralihan hak ini untuk didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional
kabupaten/kota setempat untuk dicatat di dalam buku tanah dan dilakukan
perubahan nama dalam sertipikat dari pemilik tanah yang lama kepada pemilik
tanah yang baru.
Peralihan hak milik atas tanah karena proses jual beli dapat dilakukan
dengan berbagai cara baik itu dilakukan dengan cara pembayaran tunai mapun
pihak pembeli tanah dapat meminta bantuan dari pihak bank untuk mendanai
pembayaran tanah tersebut. Dalam proses yang kedua ini yang dimaksud dengan
meminta bantuan kepada bank adalah dengan cara peminjaman sejumlah dana
atau yang biasa dikenal dengan istilah kredit.
Bank memiliki peran dalam bidang bisnis untuk menyimpan dana
masyarakat dan menyalurkan dana tersebut kembali ke masyarakat. Berdasarkan
pengertian bank sebagimana diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan Juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut
UU Perbankan), maka ada dua fungsi utama bank yaitu :
a. Menghimpun dana dari masyarakat
Fungsi utama perbankan adalah melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat. Dana yang dikumpulkan oleh bank pada dasarnya berasal dari
beberapa sumber, yaitu dari masyarakat yang mempunyai kelebihan pendapat
dalam bentuk : simpanan giro, simpanan deposito, tabungan, dana yang
6
mengendap sebagai akibat pembukaan L/C, dana jaminan garansi bank,
pengiriman uang nasabah yang belum diambil dari lembaga-lembaga
penanaman modal yang mempunyai kelebihan dana sementara.
b. Memberikan kredit
Selain menghimpun dana dari masyarakat bank mempunyai fungsi
memberikan atau menyalurkan kredit (pinjaman) kepada masyarakat. Dengan
dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat, maka selanjutnya bank
menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit.
Pemberian kredit oleh bank dapat berupa kredit jangka pendek yang
memberikan pengaruh langsung terhadap pasar uang, atau kredit jangka
menengah dan panjang yang mempunyai pengaruh langsung terhadap pasar
modal dalam arti luas.7
Pemberian kredit dilihat dari sudut bahasanya berarti kepercayaan, dalam
arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapatkan kredit dari Bank
maka orang atau badan hukum tersebut mendapat kepercayaan dari bank. dalam
hal pemberian kredit adanya persyaratan penyertaan barang jaminan oleh debitur,
yang pelaksanaan dilakukan pada saat pengikatan jaminan yaitu pada saat akad
kredit. Bank umumnya menerima barang jaminan berupa : hak-hak atas tanah,
rumah/bangunan, deposito, emas, kendaraan, piutang dagang, mesin-mesin
pabrik, bahan baku, stok barang dagangan, saham dan masih banyak lagi. Hak
atas tanah merupakan jaminan yang lebih diminati oleh bank, karena hak atas
tanah dapat memberikan kepastian dan perlindungan bagi kreditur karena adanya
7Sinungan Muchdarsyah,1990,Manajemen Dana Bank, Rineke Cipta,Jakarta, hal 3.
7
ketentuan atau dasar hukum yang lebih jelas dan pasti serta nilai ekonomis selalu
meningkat terus.
Tanah sebagai agunan kredit sangat diminati oleh bank, tentunya
mempunyai tujuan yaitu untuk menjamin pelunasan kredit melalui penjualan
agunan secara umum yang dikenal dengan lelang, ataupun dengan cara lain yang
dapat dimungkinkan yaitu secara dibawah tangan dalam hal debitur wanprestasi.
Namun upaya tersebut adalah upaya terakhir sebelumnya telah dilakukan dengan
melalui cara pendekatan kekeluargaan, ataupun peringatan sebelumnya. Sehingga
didapatkan suatu lembaga pengikatan jaminan yang memberikan kepastian dan
perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait.
Hukum Jaminan secara umum yang berlaku di Indonesia, dapat membagi
jaminan atas 2 (dua), yaitu Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan.8
Jaminan kebendaan adalah hak dari kreditur mendapatkan prioritas untuk
memperoleh pelunasan piutangnya didahulukan dari kreditur yang lain.
Sedangkan Jaminan perorangan adalah jaminan perorangan secara pribadi atas
utang tertentu dari seorang debitur. Khusus mengenai jaminan berupa tanah
akhirnya setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, lahir juga Undang-
Undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 UUPA yaitu Undang–Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda –
benda yang berkaitan dengan Tanah (yang selanjutnya disebut UUHT).
Benda-benda yang dapat dijadikan jaminan tentunya adalah benda-benda
yang memiliki nilai ekonomis, baik benda tak bergerak yang dapat menjamin
8Habib Adjie, 2000, Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan AtasTanah, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie I), hal. 1.
8
pelunasan utang secara utuh. Salah satu benda jaminan tersebut adalah berupa
tanah melalui haknya.Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran yang
paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit, sebab
tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda
bukti, sulit digelapkann dan dapat dibebani Hak Tanggungan yang memberikan
hak istimewa pada kreditur.9 Namun tidak semua Hak Atas Tanah yang akan
diserahkan sebagai jaminan memiliki dokumen kepemilikan yang sempurna atau
yang sudah bersertipikat atas nama debitur sendiri atau atas nama orang lain
sebagai peminjam. Bukti kepemilikan yang belum sempurna dapat berupa pipil,
Grik, Petuk D selain itu sering pula terjadi hak-hak atas tanah yang akan
diserahkan debitur masih berupa akta jual-beli yang artinya Hak Atas Tanah yang
bersangkutan sudah terdaftar di Kantor Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya
disingkat BPN) namun belum di balik nama atas nama Debitur tersebut.
Bank (kreditur) terlebih dahulu melakukan penelitian dan apabila
dianggap cukup sesuai standar kelayakan pemberian kredit dengan kriteria bank,
kemudian pihak bank dan pemilik tanah datang ke Kantor Notaris/Pejabat
Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang wewenangnya meliputi
daerah dimana tanah tersebut terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak
Tanggungan (selanjutnya disebut APHT). Pemberian Hak Tanggungan itu
dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Akta Pemberian Hak Tanggungan
tersebut ditandatangani oleh pemilik tanah selaku pemberi hak tanggungan,
9Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah DariSudut Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta, hal. 10
9
pemegang Hak Tanggungan yaitu pihak bank, dua orang saksi, dan PPAT sendiri.
Selanjutnya APHT ini wajib didaftarkan pada kantor pertanahan yang wilayahnya
meliputi daerah tempat dimana tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu terletak
disertai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Pasal 6 dan Pasal 7 UUHT memberikan kepastian hukum kepada
kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa
“Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut. Kemudian Pasal 7 UUHT menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tepat
mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada”.
Substansi dari Pasal 6 UUHT menunjukkan hak yang dipunyai pemegang
Hak Tanggungan untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
apabila debitur cidera janji. Kemudian Pasal 7 UUHT menunjukkan jaminan
kepentingan pemegang Hak Tanggungan, walaupun objek Hak Tanggungan sudah
berpindah tangan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat
menggunakan haknya untuk mengeksekusi.
Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas
tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada sertipikat Hak Tanggungan dimaksudkan
untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak
Tanggungan. Sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti
10
halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai
dengan Pasal 14 ayat (3) UUHT.10
Hak Tanggungan memang dirancang sebagai hak jaminan yang kuat,
dengan ciri khas eksekusi mudah dan pasti, akan tetapi dalam praktiknya banyak
menimbulkan kendala-kendala. Seperti terjadi dalam hal nasabah bank (debitur)
wanprestasi, dan tanah yang dijadikan jaminan oleh nasabah bank (debitur)
tersebut telah dibangun rumah, kemudian dijual kepada pihak lain (pembeli tanah
dan rumah) yang hasil penjualannya tidak diberikan kepada bank sebagai
kewajiban pembayaran kredit debitur. Jadi dapatlah dikatakan bahwa debitur telah
cidera janji sehingga Bank berhak untuk sekaligus menagih pelunasan atas seluruh
sisa hutang debitur serta untuk setiap saat melaksanakan hak eksekusi atas tanah
dan rumah yang digunakan sebagai jaminan. Pihak bank (kreditur) kesulitan
dalam mengeksekusi jaminan yang telah ditempati oleh pihak lain selaku pembeli
tanah serta rumah yang tetap ingin mempertahankan tanah dan rumah yang telah
dibelinya.
Jaminan yang masih berupa akta jual beli atau belum di balik nama atas
nama debitur saat ini masih bisa diterima sebagai jaminan kredit karena proses
balik nama masih bisa dimungkinkan diselesaikan dengan proses yang tidak
terlalu lama namun dalam menerima jaminan ini bank sebagai pihak kreditur
harus mempertimbangkan matang-matang dan melakukan analisa yang baik
terhadap pihak debitur dan aspek-aspek lainnya karena bank akan memikul resiko
10Ardian Sutedi ,Op.cit hal.118
11
yang cukup besar dimana pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan tersebut
baru dapat dilakukan setelah proses balik nama selesai dilakukan oleh BPN.
Dalam prakteknya pihak BPN rata-rata tidak mampu menyelesaikan balik nama
satu sertipikat dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh UUHT pada pasal 15
ayat (3). Sehingga dengan demikian pihak notaris/PPAT biasanya membuat
pembaharuan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut
SKMHT) apabila jangka waktu tersebut telah habis dan begitu seterusnya. Maka
para pihak harus kembali datang kehadapan notaris/PPAT untuk membuatkan
SKHMT yang baru.
Dalam pembuatan SKMHT yang objeknya sedang dalam proses balik
nama belum terlahirnya tujuan hukum dimana kepastian hukum mengenai
sertipikat atas Hak Milik atas tersebut sedang dalam proses pengerjaan BPN yang
akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keadilan hukum mengenai
SKMHT ini sebenarnya tidak memberikan rasa keadilan bagi pihak debitur
dimana debitur telah menandatangani perjanjian baku yang telah dibuatkan oleh
Pihak Bank. Mengenai kemanfataan hukum dimana pembebanan sertipikat yang
sedang dalam proses balik nama dapat saja dibuatkan SKMHT oleh pihak
Notaris/PPAT namun hal akan memakan waktu yang cukup lama karena
Notaris/PPAT akan mengerjakan proses balik nama terlebih dahulu setelah hal
tersebut selesai barulah sertipikat tersebut dapat dibebankan Hak Tanggungan,
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUHT menyebutkan bahwa “Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar
12
wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan”. Apabila dalam jangka waktu
tersebut sertipikat belum juga selesai maka SKMHT tersebut akan menjadi gugur
dan tidak dapat dipergunakan untuk pembuatan APHT atas objek jaminan
tersebut. Namun biasanya SKMHT yang sudah habis jangka waktunya akan
diperbaharui lagi dengan dibuatkan SKMHT yang baru di hadapan notaris. Dalam
prakteknya pihak debitur akan menandatangani SKMT dalam beberapa rangkap,
itu dilakukan agar pihak bank dan Notaris/PPAT tidak perlu mendatangkan
debitur. Hal tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan apabila dikemudian hari
hal tersebut dipertanyakan maka tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam
UUHT tidak disebutkan berapa kali SKMHT yang dapat diperbaharui oleh
Notaris/PPAT apabila SKMHT yang pertama telah jatuh tempo. Sehingga dalam
UUHT terjadi kekaburan norma mengenai berapa kali SKMHT yang dapat
diperbaharui oleh Notaris/PPAT.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut maka penulis terdorong
untuk mengangkat masalah ini ke dalam Penelitian Hukum yang berjudul
“PEMBEBANAN HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI OBJEK HAK
TANGGUNGAN YANG SEDANG DALAM PROSES BALIK NAMA”. Melalui
penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaturan mengenai Hak Milik Atas
Tanah yang dijadikan objek hak tanggungan, serta akibat hukum bagi penjual
yang tanahnya dijadikan objek hak tanggungan oleh pembeli yang belum dibalik
nama ke nama pembeli.
13
Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui
penelusuran dengan media internet, ditemukan judul tesis yang menyangkut
pembebanan hak milik atas tanah dan objek hak tanggungan. Penelitian ini
merupakan penelitian yang masih original atau asli karena belum ada penelitian
secara khusus menulis tesis dengan judul ini meskipun demikian ada sejumlah
tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substansial. Adapun judul beserta
rumusan masalah penelitian lain yang tidak sama dengan penelitian ini adalah:
1. Tesis yang berjudul “Kendala-Kendala Pembebanan Hak Tanggungan
Bagi Tanah Yang Belum Bersertipikat” oleh Ni Luh Gede Purnamawati,
mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Udayana
Denpasar Tahun 2012. Dengan permasalahnya: kapankah terjadinya peristiwa
hukum pembebanan hak tanggungan dari debitur ke kreditur terhadap tanah yang
masih dalam proses pensertipikatan dan apakah kendala-kendala pembebanan hak
tanggungan atas tanah yang dalam proses pensertipikatan. Dalam tesis yang di
bahas berikut ini lebih menekankan pada pembebanan peralihan hak milik atas
tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.
2. Tesis yang berjudul “Efektivitas Pemberian Hak Tanggungan Terhadap
Hak Atas Tanah Berasal Dari Konversi Hak Lama Yang Belum Terdaftar Dalam
Praktek Perbankan Di Kota Denpasar” oleh I Putu Darma Aditya Westa,
mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Udayana
Denpasar Tahun 2013. Dengan permasalahnya: bagaimana efektivitas
pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di kota
14
Denpasar dan apakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak
tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Dalam tesis yang di bahas
berikut ini lebih menekankan pada pembebanan hak milik atas tanah yang
dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.
3. Tesis yang berjudul “Proses Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap
Tanah Yang Belum Bersertipikat (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Unit
Bekasi Kota)” oleh Nur HAyatun Nufus, mahasiswa S2 Program Studi Magister
Kenotariatan Universistas Diponegoro Semarang Tahun 2010. Dengan
permasalahnya: bagaimana pelaksanaan pembebanan hak tanggungan terhadap
tanah yang belum bersertipikat dan bagaimana penyelesaiannya apabila pemberi
Hak Tanggungan atas tanah yang belum bersertipikat tersebut meninggal dunia
dan memiliki ahli waris, sementara piutang kredtur tidak terbayar. Dalam tesis
yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada pembebanan peralihan hak milik
atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik
nama.
4. Tesis yang berjudul “Penetapan Pengadilan Dalam Proses Pelaksanaan
Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Warisan (Studi Kasus Penetapan Nomor
729/PDT.P/2003/PN.SBY Oleh Pengadilan Negeri Surabaya)” oleh Petrus Dibyo
Yuwono, mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas
Diponegoro Tahun 2009. Dengan permasalahnya: bagaimanakah cara
penyelesaian secara yuridis mengenai ketidakhadiran seseorang dari salah satu
pihak (penjual) sebelum proses pelaksanaan jualbeli hak milik atas tanah warisan
15
dilakukan dan bagaimanakah proses pelaksanaan jual beli hak milik atas tanah
warisandengan berdasarkan Penetapan Nomor: 729/Pdt.P/2003/PN.Sby oleh
Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih
menekankan pada pembebanan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak
tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah
yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak
tanggungan yang sedang dalam proses balik nama?
2. Bagaimanakah kedudukan pihak kreditur terhadap objek hak tangungan yang
sertipikatnya sedang proses balik nama?
1.3 Tujuan Penelitian
Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus
memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan
penelitian ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang
bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melatih diri dalam menyampaikan
pikiran secara tertulis,melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya
pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa mengenai suatu
permasalahan hukum, sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini terkait
16
dengan pembebanan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan
yang sedang dalam proses balik nama. Selain itu penelitian ini juga bertujuan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan Hukum, khususnya bidang hukum
Kenotariatan, sebagai media untuk mengemukakan pendapat secara tertulis, kritis
dan sistematis serta objektif, serta sebagai pemenuhan syarat untuk menyelesaikan
jenjang strata dua (2) di Magister Kenotariatan Universitas Udayana.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan khusus, untuk mengkaji dan menganalisis lebih
dalam mengenai pengaturan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan
objek hak tanggungan yang sedang proses balik nama. Selain itu bertujuan pula,
untuk mengkaji dan menganalisis mengenai kedudukan kreditur terhadap objek
hak tangungan yang sertipikatnya sedang proses balik nama.
1.4 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Kenotariatan,
memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian kritis, asas-asas, teori-
teori serta kajian teoritis tentang pembebanan hak milik atas tanah yang sedang
dalam proses balik nama. Hal ini secara keilmuan diharapkan dapat membantu
pengembangan teori-teori yang terkait.
17
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada para pihak yang terkait dengan penulisan dan pembahasan tesis ini. Para
pihak yang dimaksud adalah:
1. Bagi penulis sendiri, disamping untuk penyelesaian studi pada program
Magister Kenotariatan, juga untuk menambah wawasan di bidang Hukum
Kenotariatan mengenai pengaturan peralihan hak milik atas tanah yang
sertipikatnya sedang proses balik nama dijadikan objek hak tanggungan serta
kedudukan kreditur terhadap objek hak tanggungan yang sertifikatnya sedang
dalam proses balik nama.
2. Bagi Perbankan, hasil penelitian ini diharapkan manambah pemahaman
mengenai pembebanan hak tanggungan yang objeknya sedang dalam proses
balik nama agar lebih cermat dan berhati-hati.
3. Bagi pembuat kebijakan, maka diharapkan agar dapat membentuk ketentuan
yang dapat memberikan kejelasan mengenai pengaturan peralihan hak milik
atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses
balik nama.
1.5 Landasan Teoritis
Duane R.Munette mengemukakan teori adalah seperangkat proposisi atau
keterangan yang saling berhubungan dengan sistem deduksi, yang mengemukakan
penjelasan atas suatu masalah.11Jan Gijssels dan Mark van Hoccke juga
mengemukakan pengertian teori adalah sebuah sistem pernyataan-pernyataan
11H.Salim, 2009, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,Jakarta, hal.9.
18
(klaim-klaim), pandangan-pandangan dan pengertian-pengertian yang saling
berkaitan secara logikal berkenaan dengan suatu bidang kenyataan, yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga menjadi mungkin untuk menjabarkan
(menurunkan) hipotesis-hipotesis yang dapat diuji.12Adapun teori yang
dipergunakan dalam penulisan ini adalah Teori Perundang-undangan, Teori
Penafsiran Hukum, Teori Perjanjian, dan Konsep Kepastian Hukum sebagai
berikut:
1.5.1 Teori Perundang-undangan
Dalam Teori Perundang-Undangan disebutkan bahwa dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa asas yang
diperlukan untuk memastikan bahwa suatu perundang-undangan yang dihasilkan
merupakan suatu produk kekuasaan yang berdasarkan konsep negara hukum
secara baik, atau disebut sebagai peraturan perundang-undangan yang baik.13
Adapun asas-asas tersebut antara lain:
1. asas undang-undang tidak berlaku surut;
2. Asas hierarki, atau tata urutan peraturan perundang-undangan menurut
teori jenjang norma hukum atau Stufenbautheorie yang dikemukakan Hans
Kelsen.14 Asas ini menyebutkan bahwa undang-undang yang dibuat oleh
12Ibid.13Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia,
Penerbit IND-HILL.CO, Cetakan Pertama, Jakarta, hal. 13-1514Natabaya, 2008, Sistem Peraturam Perundang-Undangan Indonesia,
Penerbit Konstitusi Press dan Tatanusa, Jakarta, hal. 23-32.
19
Penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
pula.15
3. Asas lex posteriore derogate lex priori (hukum yang baru mengalahkan
hukum yang lama).16
4. Asas hukum lex spesialis derogate legi generalis (hukum yang lebih
khusus mengalahkan hukum yang bersifat umum jika pembuatnya sama).
Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen,
yang menyatakan bahwa sistem hukum yang berbentuk perundang-undangan
merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum
yang paling rendah harus berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan
kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegang pada norma
hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang
paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak),17 contoh norma
hukum paling dasar dan abstrak adalah Pancasila.
Salah seorang tokoh yang mengembangkan Teori Stufenbau adalah Hans
Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der
rechtsordnung. Susunan norma menurut teori ini adalah:18
1. Norma fundamental negara
2. Aturan dasar negara
3. Undang-undang formal. dan
15Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1986, Bahan P.T.H.I:Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 16.
16 Ibid, hal 17.17Hans Kelsen, 2006, Teori tentang Hukum (Penerjemah Soemadi),
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 124-126.18 Ibid.
20
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar atau (staatsverfassung) dari
suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai
syarat bagi berlakunya suatu konstitusi.
Struktur hierarki tata hukum Indonesia dan dikaitkan dengan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden; dan
6. Peraturan Daerah, Provinsi, dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten Kota.
Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan
pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk
mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk
menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila
sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila.
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa keberadaan suatu
norma hukum harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan sudah
21
semestinya antara tingkatan norma hukum yang satu dan yang lain saling
mendukung dan melengkapi bukan saling mematahkan, atas dasar pancasila
sebagai cita hukum bangsa. Selanjutnya untuk menghasilkan peraturan
perundang-undangan yang baik, juga perlu diperhatikan dari aspek peraturan
peralihan dan ketentuan penutup tentang pemberlakuan atau pengundangannya.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan asas-
asas, selain itu diperlukan pula syarat bahwa suatu perundang-undangan (undang-
undang) harus memiliki :
1. Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undang atau
suatu peraturan perundang-undangan, harus lahir dari pihak yang
mempunyai kewenangan membuatnya (landasan yuridis formal),
mengakuan terhadap jenis peraturan yang diberlakukan (landasan yuridis
material).
2. Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum
masyarakatnya agar ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman
dan kesadaran hukum masyarakatnya sesuai dengan hal-hal yang diatur.
3. Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan
filsafat hidup masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan
yang intinya berisi nilai-nilai moral, etika, budaya maupun keyakinan dari
22
bangsa tersebut,19 sebagaimana dikenal dalam adagium quid legex sine
moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas).
Teori Perundang-undangan dalam pengadaan tanah, undang-undang
memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah,
termasuk untuk kepentingan umum. Teori ini dipergunakan untuk membahas
rumusan masalah pertama yaitu pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai
objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama. Dimana peraturan
mengenai hak tanggungan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Bekaitan
Dengan Tanah apabila ada peraturan yang lainnya dapat mengetahui yang mana
lebih di khususkan atau peraturan yg lebih tinggi dari UUHT.
1.5.2 Teori Penafsiran Hukum
Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-
daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.
Untuk menjamin kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan
yang diaanggap kabur normanya, hakim dapat melakukan penemuan-penemuan
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Selain itu, hakim dapat pula
melakukan interpretasi-interpretasi hukum dalam menyelesaikan kasus yang
dihadapinya, khususnya dalam hal ketentuan undang-undang yang sudah
ketinggalan zaman dan ketentuan undang-undang yang memakai istilah-istilah
19Sukanda Husin, 2009, Hukum dan Perundanga-undangan, PusatPengembangan Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru, hal. 17-18.
23
yang tidak jelas atau yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-
beda.20Hakim dapat menggunakan beberapa cara penafsiran,antara lain21:
1. Menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan (istilah) atau biasa
disebut penafsiran gramatikal. Antara bahasa dengan hukum terdapat
hubungan yang erat sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang
dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Karena
itu, pembuat undang-undang yang ingin menyatakan kehendaknya secara
jelas harus memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas
dan tidak bisa ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya pembuat undang-
undang tidak mampu memakai kata-kata yang tepat. Dalam hal ini hakim
wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim dipakai dalam
percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus bahas atau
meminta penjelasan dari ahli bahasa.
2. Menafsirkan undang-undang menurut sejarah atau penafsiran historis.
Setiap ketentuan perundang-undangan mempunyai sejarahnya. Dari
sejarah peraturan perundang-undangan hakim dapat mengetahui maksud
pembuatnya. Terdapat dua macam penafsiran sejarah yaitu penafsiran
menurut sejarah dan sejarah penetapan sesuatu ketentuan perundang-
undangan. Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu:22
20Chainur Arrasjid, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika,Jakarta, hal. 87
21Yudha Bhakti Ardiwisastra, 2008, Penafsiran dan Konstruksi Hukum,Bandung, PT Alumni, hal. 9
22Chainur Arrasjid, Op.cit, hal. 91
24
a. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorische
interpretatie) yaitu merupsksn suatu cara penafsiran hukum dengan
jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala
sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Penafsiran
tersebut adalah penafsiran yang luas yang meliputi penafsiran
menurut sejarah penetapan perundang-undangan.
b. Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-
undangan (wetshistorische interpretatie) yaitu penafsiran yang
sempit, yaitu dengan cara melakukan penafsiran undang-undang
dengan menyelidiki perkembangannya sejak dibuat dan untuk
mengetahui apa maksud ditetapkannya peraturan itu.
3. Menafsirkan undang-undang menurut sistem yang ada didalam hukum
atau biasa disebut dengan penafsiran sistematik. Perundang-undangan
suatu Negara merupakan kesatuan, artinya tidak sebuah pun dari peraturan
tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran
peraturan perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya dengan
peraturan perundangan lainnya. Penafsiran sistematis tersebuit dapat
menyebabkan kata-kata dalma undnag-undang diberi pengertian yang
lebih luas atau yang lebih sempit daripada pengertiannya dalam kaidah
bahasa yang biasa. Hal yang pertama disebut penafsiran meluaskan dan
yang kedua disebut penafsiran menyempitkan.23
23Yudha Bhakti Ardiwisastra, Op.cit.hal 20
25
4. Menafsirkan undang-undang menurut cara tertentu sehingga undang-
undang itu dapat dijalankan sesuai dengan keadaan sekarang yang ada di
dalam masyarakat, atau biasa disebut dengan penafsiran sosilogis atau
penafsiran teologis. Setiap penafsiran undnag-undang yang dimulai
dengan penafsiran gramatikal harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis.
Apabila tidak demikian, keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan
keadaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat. Karena itu, setiap
peraturan hukum mempunyai suatu tujuan sosial, yaitu membawa
kepastian hukum dalam pergaulan anatar anggota masyarakat. Hakim
wajib mencari tujuan sosial baru dari peraturan yang bersangkutan.
Apabila hakim mencarinya, masuklah ia ke dalam lapangan pelajaran
sosilogi. Melalui penafsiran sosiologi hakim dapat menyelesaikan adanya
perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif dari hokum
(rechtspositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtswekelijkheid),
sehingga penafsiran sosiologis atau teologis menjadi sangat penting.24
5. Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi. Adakalnya pembuat
undang-undang itu sendiri memberikan tafsiran tentang arti atau istilah
yang digunakannya didalam perundangan yang dibuatnya. Tafsiran ini
dinamakan tafsiran otentik atau tafsiran resmi. Disini hakim tidak
diperkenakan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang
telah ditentukan pengertiannya didalan undang-undang itu sendiri.25
24Ibid.25Ibid, hal 20
26
6. Penafsiran interdisipliner. Penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu
analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Disini
digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum, misalnya adanya
keterkaitan asas-asas hukum dari satu cabang ilmu hukum, misalnya
hukum perdata dengan asas-asas hukum publik.26
7. Penafsiran multidisipliner. Berbeda dengan penafsiran interdispliner yang
masih berada dalam rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam
penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu
atau beberapa disiplim ilmu lainnya diluar ilmu hukum. Dengan lain
perkataan, disini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain
disiplin ilmu.27
Teori ini dipergunakan untuk membahas rumusan masalah pertama yaitu
pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan yang
sedang dalam proses balik nama. Dengan adanya ketentuan Pasal 15 Ayat (3)
UUHT terdapat norma kabur mengenai berapa banyak pembaharuan mengenai
pembuatan SKMHT jika jangka waktu 1 (satu) bulan yang ditetapkan oleh
undang-undang tidak terlaksana oleh pihak BPN.
1.5.3 Teori Perjanjian
Dalam KUHPerdata hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang
Perikatan, dimana dalam tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan
yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau
26Ibid.27Ibid.
27
pihak tertentu.28Perjanjian dalam pengaturan Pasal 1313 KUHPer menyebutkan
bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengaitkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.Menurut Abdul
Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUHPer tersebut
sebagai berikut “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan
harta kekayaan”29
Pasal 1338 menyebutkan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang.” Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi unsur
pada Pasal 1320 KUHPer yaitu:
1. Sepakat mereka mengikatkan diri;
2. Cakap untuk membuat suatu peikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal;
Keempat syarat tersebut harus terpenuhi dengan tidak adanya paksaan
seperti yang disebutkan dalam pasal 1321 KUHPer yaitu “tiada sepakat yang sah
apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan
paksaan (dwang) atau penipuan. Sehingga dalam hal ini jika perjanjian tersebut
ada paksaan dari pihak lain maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
28R Subekti dan R Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang HukumPerdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet 28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,hal 323.
29Abdul Kadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,Bandung, hal 34.
28
Linda A. Spagnola berpendapat mengenai perjanjian, bahwa “A contract
must be certain in its terms. It is generally accepted that there are four elements
that must be certain in a contract in order for there to be a valid offer : parties,
price, subject matter, and time for performance”30. (Terjemahannya: Persyaratan-
persyaratan sebuah kontrak harus pasti. Agar sebuah kontrak dapat dikatakan sah,
terdapat empat elemen yang pada umumnya diterima sebagai sesuatu yang harus
pasti dalam sebuah kontrak, yaitu: para pihak, harga, permasalahan dan waktu
pelaksanaannya).
Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi perjanjian itu adalah suatu
perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan anatara dua pihak, dimana satu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak
melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksaaan janji
itu.31 Perjanjian juga dapat dipersamakan dengan kontrak. Menurut Catherine
Elliott dan Frances Quinn, bahwa:32
Normally a contract is formed when a effective acceptance has beencommunicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if itindicates the terms on which the offeror is prepared to make a contract (suchas the price of the goods for sale), and gives a clear indication that theofferor intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree.Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of thatoffer.(Terjemahan bebasnya: Biasanya sebuah kontrak terbentuk ketika penerimaanefektif telah dikomunikasikan kepada pihak penerima penawaran.Komunikasi akan dianggap sebagai penawaran apabila penawaran tersebutmembuat persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh pihak yang menawarkan
30 Linda A. Spagnola, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principlesand Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States, hal. 4
31Wirjono Prodjodikoro, 1985. Hukum Perdata Tentang PersetujuanTertentu. Cet.VIII, Sumur, Bandung. hal.11
32Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, PerasonEducation Limited, England, hal. 10
29
untuk membuat sebuah kontrak (misalnya, harga barang yang akan dijual),dan memberikan pernyataan yang jelas bahwa pihak yang menawarkanbermaksud untuk terikat dengan persyaratan-persyaratan tersebut apabilapersyaratan-persyaratan tersebut diterima oleh pihak penerima penawaran.Penerimaan suatu penawaran berarti kesepakatan tanpa syarat terhadap semuapersyaratan yang ditawarkan tersebut).
Terminologi kontrak adalah, pertama dengan kontrak akan dapat
menunjukkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, kedua suatu saat nanti ada
perselisihan antara pihak kontrak ini dapat memutuskan yang mana pihak yang
menyalahi kontrak, sehingga perselisihan itu dapat dipecahkan. Menurut
R.Subekti, dalam bukunya:“The debtor has done something what is in
contravention of the contract, it is obvios that he is default. Also when in the
contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed
this time limit, it is clear that the debtor is in default”.33(Terjemahan
bebasnya:Debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan
kontrak itu dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila dalam kontrak
ditentukan batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur tidak
mengindahkan limit waktu tersebut, maka debitur dinyatakan bersalah).
Teori perjanjian menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah perjanjian
mengandung asas kekuatan mengikat. Para pihak tidak semata-mata hanya terikat
sebatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain
sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.34
33 R. Subekti, 1982. Law In Indonesia, Centre For Strategic AndInternational, And Studies. Third Edition, Jakarta. hal.55
34Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam DarusBadrulzaman I), hal.87-88.
30
Teori perjanjian ini kiranya dapat digunakan untuk mengkaji rumusan
masalah kedua yaitu kedudukan kreditur terhadap objek hak tangungan yang
sertipikatnya sedang proses balik nama yang akan dibebankan hak tanggungan.
Pihak Notaris/PPAT akan membuatkan akta berupa SKMHT agar tanah yang
masih dalam proses balik nama dapat dijadikan objek hak tanggungan.
1.5.4 Konsep Kepastian Hukum
Keberlakuan hukum dalam masyarakat harus memperhatikan kepastian
hukum didalamnya agar hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Kepastian
hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan
konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaaan
yang sifatnya subjektif. Kepastian hukum menurut Gustav Radbruch dalam Theo
Huijbers adalah:
Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Olehsebab itu kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, makahukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau jugakurang sesuai dengan tujuan hukum. tetapi terdapat kekecualian, yaknibilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitubesar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum ituboleh dilepaskan.35
Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan
dengan makna kepastian hukum, yaitu :36
1. bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalahperundang-undangan.
2. bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan padakenyataan.
35Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,Yogyakarta, hal 163.
36http://ngobrolinhukum.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/, diakses tanggal 01 April 2015.
31
3. bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehinggamenghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudahdilaksanakan.
4. hukum positif tidak boleh mudah diubah.
Menurut Peter Mahmud Marzuki mengenai konsep kepastian hukum
mengemukakan:
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan
yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya
berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya
konsistensi dalam putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang
telah diputus.37
Menurut L.JVan Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi.
Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam
hal-hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin
mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum
ia memulai perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum.
Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.38
37Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, KencanaPrenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I)hal 158.
38Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran KerangkaBerfikir PT Revika Aditama, Bandung, hal. 82-83.
32
Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya
memang lebih berdimensi yuridis. Untuk itu ia mendefinisikan kepastian
hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:
a. Tersedia aturan-aturan yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh
(accessible), diterbitkan oleh dan diakui negara;
b. Instansi-instansi pemerintahan menerapkan aturan-aturan hukum tersebut
secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
c. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-
aturan tersebut;
d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum, dan;
e. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.39
Lawrence M. Friedmen, berpendapat bahwa untuk mewujudkan kepastian
hukum terdapat unsure-unsur sistem hukum yang harus terpenuhi. Unsur-unsur
sistem hukum itu terdiri dari:40
a. Substansi hukum, yaitu tentang isi daripada ketentuan-ketentuan tertulis
dalam hukum itu sendiri
b. Aparatur hukum, adalah perangkat berupa sistem tata kerja dan pelaksana
daripada apa yang diatur dalam substansi hukum tadi
39Ibid, hal 8540H. Syafruddin Kalo, 2007, “Penegakan Hukum Yang Menjamin
Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat Suatu Sumbangan Pemikiran”,Makalahpada Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator DaerahSumatera Utara, Sumatera Utara, Tanggal 27 April 2007, hal 2.
33
c. Budaya hukum, yaitu yang menjadi pelengkap untuk mendorong
terwujudnya kepastian hukum adalah bagimana budaya hukum masyarakat
atas ketentuan hukum dan aparatur hukumnya. Unsur budaya hukum ini
juga tidak kalah pentingnya dari kedua unsur yang lain karena tegaknya
peraturan-peraturan hukum akan sangat tergantung kepada budaya hukum
masyarakatnya.
Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu.41
Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah
yang berdaulat. Teori kedaulatan hukum menurut Krabbe42 : bahwa hukumlah
memiliki kedaulatan tertinggi. Bahwa hukum dalam konteks kredit adalah
Perjanjian Kredit yang telah dibuat oleh para pihak (Kreditur-Debitur), sehingga
para pihak terikat dan tunduk dalam suatu perjanjian yang telah mereka buat
Keterkaitan teori kepastian hukum dengan tesis ini dipergunakan untuk
memberikan kepastian hukum kepada kreditur selaku pemberi kredit dimana
jaminannya berupa tanah masih dalam proses balik nama sehingga kreditur
merasa yakin untuk memberikan kreditnya kepada debitur.
41Peter Mahmud Marzuki I, Op.cit, hal.13742Soehino, 1998.Ilmu Negara. Liberty, Yogyakarta. hal.156
34
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal dari berbagai peraturan
perundang-undangan dan bahan lain dari berbagai literatur. Dengan kata lain
penelitian ini meneliti bahan pustaka atau data sekunder.43 Penelitian hukum yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum dengan praktek;
- Tidak menggunakan hipotesis
- Menggunakan landasan teori
- Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.44
Jenis penelitian ini digunakan dalam penelitian ini karena berangkat dari
adanya kekaburan norma mengenai pengaturan berapa kali SKMHT dapat
diperbaharui oleh pihak Notaris/PPAT terkait dengan ketentuan pasal 15 ayat (3)
UUHT yang menyatakan bahwa SKHMT mengenai hak atas tanah yang sudah
terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan sesudah diberikan namun dalam jangka waktu 1 (satu) bulan pihak BPN
tidak dapat melakukan proses balik nama maka notaris akan membuat SKMHT
yang baru.
43Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif(Suatu Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada.hal.13.
44Ibid. hal 15.
35
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian45.
Dalam penelitian ini dipergunakan 3 pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach)
Dalam pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) dilakukan
penelitian sinkrunisasi perundang-undangan baik vertical maupun horizontal.
Morris L. Cohen and Kent C. Olson mengatakan bahwa “ legal research is an
essential component of legal practise. It is the process of finding the law that
governs an activity an mateials that explain or analyze that law.”46 Dalam
penulisan tesis ini pendekatan ini digunakan untuk mensinkrunkan peraturan
perundang-undangan yang akan digunakan dalam hal pemberian hak
tanggungan yang objeknya masih sedang dalam proses balik nama.
2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)
Konsep-konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan
bagi analisis penelitian hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi
suatu fakta hukum. Pendekatan konsep ini dimana konsep-konsep hukum
dapat membantu menjawab masalah yang muncul baik mengenai pengaturan
pengalihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan dan
kedudukan kreditur terhadap objek hak tanggungan yang sedang dalam
proses balik nama.
45Suharsini Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu PendekatanPraktek, Rieneka Cipta,Jakarta, hal. 23
46Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group,T. Paul Minn. Printed in the United States of America, hal 1
36
3. Pendekatan Analitis (Analytical Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum
yang terdapat didalam perundang-undangan dengan begitu peneliti
memperoleh pengertian atau makna baru istilah-istilah hukum dan menguji
penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum.
Dalam penulisan tesis ini pendekatan ini digunakan untuk mengetahui
maksud dari pasal 15 Ayat 3 yang menyatakan SKMHT mengenai hak atas
tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan APHT selambat-lambatnya 1
(satu) bulan sesudah diberikan. Mengenai apabila jangka waktunya telah
habis tidak dijelaskan lebih lanjut, disini penulis mencari tahu apabila jangka
waktu 1 (satu) bulan ini habis SKMHT tersebut berapa kali dapat
diperbaharui oleh Notaris/PPAT
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum normatif tidak dikenal adanya data, sebab dalam
penelitian hukum khususnya normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari
kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan
hukum47. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum yang bersumber dari penelitian Kepustakaan (Library Research),
bertujuan untuk mencari data sekunder yaitu dengan menggali data dari bahan-
bahan bacaan berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, maupun
47 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana PrenadaMedia Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II) hal. 41
37
pendapat para sarjana yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Data
sekunder terdiri dari48 :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu Bahan hukum primer ini diperoleh dari sumber
yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok AgrariaUndang-Undang No 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104);
3. Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182);
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117);
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3);
48Amarudin dan Zainal Asikin,2004, Pengantar Metodologi PenelitianHukum, Raja Grafindo Persada, hal. 31.
38
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 59);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 52);
9. Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah; dan
10. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun
2003 Tentang Kenotarisan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain yang berkaitan
dengan isi dari sumber bahan hukum primer serta implementasinya dan dapat
membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang dapat berupa :
- Buku-buku literatur;
- Jurnal hukum dan Majalah Hukum;
- Makalah, hasil-hasil seminar, majalah dan Koran
- Tesis, artikel ilmiah dan disertasi.49
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Ensiklopedia.
49Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit. hal. 33
39
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan(library research),
yaitu memperoleh bahan hukum dengan mempelajari perundang-undangan dan
buku-buku atau literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dengan
melakukan kegiatan membaca secara kritis permasalahan dan isu hukum yang
akan diteliti dan mengumpulkan semua informasi yang ada kaitannya dengan
permasalahan yang diteliti, kemudian dipilih informasi yang relevan dan esensial.
1.6.5 Teknik Analisa Bahan Hukum
Metode analisa bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
deskripsi, teknik arumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi yakni
teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaanya. Deskripsi yang
memaparkan situasi atau peristiwa, dalam teknik ini tidak mencari atau
menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.50
Teknik argumentasi adalah teknik yang tidak dapat dilepaskan dari teknik
evaluasi yang artinya penilaian harus didasrkan pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum. Dalam pembahasan masalah hukum makin banyak argumen
makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.
Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan konsep
hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat
maupun antara yang tidak sederajat.
50M. Hariwijaya, 2007, Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, TesisDan Disertasi,Azzagrafika, Yogyakarta, hal.48.
139