Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia peran dan posisi Koperasi dalam
perekonomian nasional sangatlah penting. Itulah sebabnya
perkataan “Koperasi“ ada disebut di dalam Undang-undang.
Dalam Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 tegaskan
bahwa “Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi
produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah
pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi…”.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33,
implementasi pilar tersebut adalah Koperasi, Badan Usaha
Milik Swasta, dan Badan Usaha Milik Negara. Ketiga pilar
tersebut sama pentingnya dalam perekonomian Indonesia.
Dari ketiga bentuk usaha tersebut, merupakan
pengejawantahan dari nilai-nilai perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dari
bangsa Indonesia.
Koperasi tumbuh subur di bumi Indonesia. Koperasi
adalah organisasi ekonomi yang memiliki ciri-ciri yang berbeda
dengan organisasi ekonomi lain. Perbedaan ini terletak pada
sistem nilai etis yang melandasi kehidupannya dan terjabar
dalam prinsip-prinsipnya yang kemudian berfungsi sebagai
norma-norma etis yang mempolakan tata laku koperasi
sebagai ekonomi.1 Ciri utama koperasi adalah kerjasama
anggota dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup
bersama.
Cita-cita Koperasi Indonesia adalah menentang
individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham
Koperasi Indonesia menciptakan masyarakat yang kolektif,
berakar pada adat-istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi
ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan
tututan jaman modern. Semangat kolektivitas Indonesia yang
akan dihidupkan kembali dengan Koperasi yang
mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antar
manusia pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan.
Koperasi sebagai badan usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan didamaikan dalam keadaan harmonis antara
kepentingan orang seorang dengan kepentingan umum.2
Terdapat bermacam-macam definisi koperasi dan jika
diteliti secara seksama, maka tampak bervariasi sejalan
dengan perkembangan jaman. Definisi awal pada umumnya
menekankan bahwa koperasi itu merupakan wadah bagi
golongan ekonomi lemah, seperti defenisi yang diberikan Fray,
yang menyatakan bahwa koperasi adalah:
1 Fray dalam Asnawi Hasan, Koperasi dalam pandangan Islam, Suatu
Tinjauan dari Segi Falsafah Etik, dalam membangun Sistem
Ekonomi Nasional, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, Sri Edi
Swasono (ed), Jakarta : UI Press, 1987, hal 158 2 Ninik Widiyanti dan Sunindhia, Koperasi dan Perekonomian Indonesia, , Jakarta: Bina Aksara 1989, hal. 174
Suatu perserikatan dengan persetujuan, berusaha bersama
yang terdiri atas mereka yang lemah dan diusahakan selalu
dengan semangat tidak memikirkan diri sendiri sedemikian
rupa, sehingga masing-masing sanggup menjalankan
kewajibannya sebagai anggota dan mendapat imbalan
sebanding dengan pemanfaatan mereka terhadap organisasi.3
Salah satu faktor penting untuk mewujudkan kinerja
koperasi yang baik adalah adanya peran pemerintah dalam
bentuk peraturan perundangan yang dikeluarkan sedemikian
rupa hingga sistem dapat berjalan dengan baik. Beberapa
peraturan perundangan yang mengatur tentang koperasi
adalah sebagai berikut :
1. Undang –undang No 17 tahun 2012 menggantikan Undang-
undang No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam
Oleh Koperasi.
3. Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan
Menengah Republik Indonesia Nomor:
96/KEP/M.KUKM/IX/2004 Tentang Pedoman Standar
Operasional Manajemen Koperasi Simpan Pinjam Dan Unit
Simpan Pinjam Koperasi
4. Peraturan Menteri Negara Koperasi Nomor 19 tahun 2008
5. dll.
3 M. Firdaus dan Agus Edhi Susanto, Perkoperasian: Sejarah, Teori
dan Praktek, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002, hal. 38-39.
Umumnya koperasi dikendalikan secara bersama oleh
seluruh anggotanya, dimana setiap anggota memiliki hak
suara yang sama dalam setiap keputusan yang diambil
koperasi. Pembagian keuntungan koperasi (biasa disebut sisa
hasil usaha atau SHU) dihitung berdasarkan andil anggota
tersebut dalam koperasi, misalnya dengan melakukan
pembagian dividen berdasarkan besar pembelian atau
penjualan yang dilakukan oleh si anggota.
Sebagai suatu perusahaan, koperasi harus menjalankan
sesuatu usaha yang mendatangkan keuntungan ekonomis,
koperasi harus menjalankan usahanya secara terus-menerus
(kontinyu), terang-terangan, berhubungan dengan pihak
ketiga, dan memperhitungkan rugi laba serta mencatat semua
kegiatan usahanya tersebut ke dalam suatu pembukuan.4
Pengelolaan koperasi harus dilaksanakan secara
produktif, efektif dan efisien. Dalam arti koperasi harus
memiliki kemampuan dalam mewujudkan pelayanan usaha,
yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang
sebesar-besarnya pada anggota, dengan tetap
mempertimbangkan untuk memperoleh sisa hasil usaha yang
wajar. Untuk mencapai kemampuan usaha seperti itu, maka
koperasi harus dapat berusaha secara luwes, baik yang
menyangkut industri/produk hulu dan/ atau hilir tersebut. Ini
berarti koperasi mempunyai kesempatan dan peluang yang
sama dengan pelaku ekonomi lainnya dalam melakukan
kegiatan usahanya.
4 R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 101
Koperasi sebagai suatu badan usaha haruslah bekerja
dengan prinsip dan hukum ekonomi perusahaan,
menjalankan asas business efficiency, yaitu mengupayakan
keuntungan financial untuk menghidupi dirinya.5 Koperasi
harus pula menjalankan asas efisiensi ekonomi
(melaksanakan alokasi sumber daya) sebaik mungkin guna
menunjang program kesejahteraan anggota dan pembangunan
ekonomi untuk golongan lemah pada umumnya.
Dengan koperasi bekerja efiensi baik secara ekonomis
maupun bisnis, koperasi akan dapat melayani kepentingan
anggotanya, sekaligus koperasi dapat melayani masyarakat
sekitar dengan baik. Sehingga pada akhirnya koperasi akan
sangat. Menunjang peningkatan kesejahteraan ekonomi
golongan ekonomi lemah di suatu daerah (pedesaan) pada
khususnya dan suatu wilayah perekonomian daerah
(pedesaan) pada umumnya. Koperasi dan para pelakunya
(pengurus, manajer/pengelola,dan anggotanya) harus mampu
bekerja secara efisien, untuk dapat bersaing dengan pelaku
ekonomi lainnya (badan usaha milik swasta dan badan usaha
milik negara) dalam menjalankan kegiatan usaha di segala
bidang kehidupan ekonomi, sehingga mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Ruang lingkup dan luas koperasi sebagai suatu
kesatuan ekonomi akan semakin kompleks sehingga rentang
kendali antara manajemen dan pelaksaannya semakin jauh.
5 Bahri Nurdin, Partisipasi Anggota dan Pemantapan Skala Usaha
Sebagai Alat Penunjang Pelaksaan Koperasi Mandiri, dalam “ Ekonomi Indonesia Masalah dan Prospek 1989/1990”, Jakarta : UII
Press, 1989, hal.379
Untuk dapat mengendalikan aktivitas operasi koperasi,
manajemen memerlukan suatu alat yang dapat mengendalikan
aktivitas koperasi. Jika kebijaksanaan yang diterapkan
koperasi tidak ketat, maka kemungkinan terjadinya
penyelewengan akan semakin besar, kondisi ini akan
menimbulkan resiko yang sangat besar pula. Untuk itu
manajemen dituntut untuk dapat menciptakan suatu struktur
pengendalian intern.
Struktur pengendalian intern yang memuaskan akan
sangat diperlukan dalam membantu manajemen dalam
pengawasan kegiatan bawahannya sesuai dengan tanggung
jawab dan wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Untuk
mengetahui apakah pengendalian intern berjalan dengan baik
maka manajemen perlu melakukan pemeriksaan intern secara
terus menerus terhadap struktur pengendalian intern.
Pemeriksaan intern dalam organisasi koperasi dikenal dengan
badan pengawas yang merupakan penilaian atas keefektifan
dan kecukupan struktur pengendalian intern yang ada,
meliputi cara-cara pengamanan harta milik koperasi dari
kemungkinan terjadinya penyelewengan, kecurangan serta hal
lain yang merugikan koperasi dan jika terjadi tindakan atau
kegiatan diluar batas wewenang dan tujuan yang dilimpahkan.
Ketika melihat koperasi tumbuh demikian subur dimasa
sekarang tidak saja di kota penulis demikian juga di kota-kota
lain mendorong penulis untuk melakukan pengamatan dan
pencarian data. Agaknya ada dua kategori koperasi. Kategori
pertama adalah koperasi yang masih konsisten setia pada tiga
prinsip dasar koperasi yaitu DARI, OLEH dan UNTUK anggota
sebagai kategori yang pertama, di mana koperasi-koperasi ini
tumbuh dan berkembang dalam satu lembaga intern dimana
para anggotanya berada atapun dalam satu komunitas
tertentu. Kategori kedua adalah koperasi-koperasi yang
sebenarnya tidak menghimpun anggota untuk mendirikan
koperasi tetapi koperasi didirikan untuk menghimpun dana
layaknya bank. Inilah koperasi-koperasi yang disebut penulis
sebagai koperasi yang kini nampak tumbuh subur di mana-
mana dengan papan nama yang besar-besar dan keren yang
lebih dikenal dengan koperasi simpan pinjam (KSP)6.
Koperasi jenis ini mengalami perkembangan luar biasa,
pada bulan Juni tahun 2002, tercatat sebanyak 1.257 unit
koperasi simpan pinjam (KSP) dan 35.430 unit simpan pinjam,
dengan volume usaha dan anggota sebanyak Rp. 0,650 triliun
dan 576.840 anggota (nasabah) untuk KSP serta Rp. 3,902
triliun dan 9.923.777 anggota (nasabah) untuk USP. Pada
tahun 2007, jumlah KSP/USP telah meningkat menjadi 1.598
KSP dan 34.458 USP peningkatan jumlah KSP atau koperasi
kredit ini mengindikasikan bahwa peran koperasi sebagai
lembaga keuangan dalam dasawarsa terakhir ini cenderung
diminati masyarakat daripada jenis lembaga keuangan
lainnya7.
Ada keyakinan, bahwa KSP dapat menjadi penyalur
pinjaman pada kelompok masyarakat tertentu (UKM) yang
6 Sri Harini, Fragmentasi Pemikiran Hukum Bisnis, BANK DALAM
TUBUH KOPERASI, 2009, Salatiga ; Widya Sari, hal. 4 7 Kantor Kementrian Koperasi dan UKM, Juli 2002,
selama ini tidak memiliki akses meperoleh pinjaman bank.
Tampaknya pemerintah juga mengakui kenyataan ini,
sehingga dalam menyalurkan kredit lunak pada masyarakat
pun pemerintah masih mengandalkan koperasi.8 Jadi
demikian amat berperan KSP dalam mendorong pertumbuhan
usaha kecil sehingga KSP-KSP ini haruslah dijaga dengan
suatu mekanisme yang baik agar tetap dapat menjalankan
fungsinya yang demikian penting. Memang diakui bahwa ada
KSP-KSP yang pengelolaannya unmanagemen seperti beberapa
contoh yang disinyalir dibawah ini9 :
1. Koperasi A berada tidak jauh dari sebuah perusahaan
besar di daerah Ungaran beralamat di depan persis
perusahaan tersebut yang memiliki karyawan di atas tiga
ribu orang. Koperasi A ini memberikan pinjaman kepada
para karyawan perusahaan tersebut hingga ratusan
karyawan. Penandatanganan perjanjian tersebut dilakukan
di koperasi A demikian juga angsuran-angsuran
dilaksanakan di kantor koperasi A tadi, diberikan pula
bukti telah mengangsur kepada para peminjam yang
karyawan perusahaan tadi. Singkat cerita tiga tahun yang
lalu perjanjian kredit tersebut telah lunas, dan selama tiga
tahun tersebut tidak ada lagi kegiatan menyerahkan
angsuran dan penagihan dari pihak koperasi A karena
memang sudah lunas
Setelah tiga tahun berlalu tiba-tiba muncul tagihan kepada
para karyawan perusahaan tersebut yang sudah lunas tadi
8 Widiyanti, Sinar Harapan, Kamis 27 Juni 2007 9 Sri Harini Dwiyatmi, Op.Cit, hal 5
oleh suatu BPR yang juga beralamat tidak jauh dari
perusahaan tersebut diatas. Tagihan itu menyebutkan
antara lain : karyawan A kurang 10 kali angsuran,
karyawan B kurang 8 kali angsuran dan karyawan C
kurang 11 kali angsuran. Tentu saja karyawan tersebut
merasa kaget dan bertanya-tanya sebab merasa tidak
pinjam uang ke BPR tersebut tiba-tiba ketika hutang-
hutang mereka kepada koperasi A sudah lunas tiga tahun
yang lalu datang tagihan dari BPR yang mengaku para
karyawan hutang pada BPR dan belum lunas. Memang ada
data perjanjian yang ditandatangani para karyawan yang
berhutang pada koperasi A tadi kok bisa?
Kejadian ini mendorong beberapa karyawan yang peduli
terhadap nasib karyawan tadi melakukan pencarian kepada
pengurus koperasi pada saat karyawan tersebut meminjam
dan mengangsur pada tiga tahun yang lalu. Pengurus
koperasi A ditemukan kemudian langsung di bawa ke
kepolisian dan ditahan.
2. Koperasi B di kota SL memiliki modal yang cukup besar
hingga mencapai 4 M. Dengan memberikan bunga cukup
tinggi dan menggiurkan sehingga handai taulan pengurus
dan manajernya turut menyimpan dana di koperasi B ini
sekalipun para deposan tersebut bertempat tinggal jauh
dari tempat kedudukan koperasi B ini. Suatu saat, saat
seorang deposan akan mengambil uang tabungan hasil
pengembangan depositonya dan akan mencairkan
depositonya ternyata ditolak dengan alasan ada kredit
macet sehingga pada saat itu tidak ada uang. Untuk itu
koperasi B meminta waktu beberapa hari untuk membayar
bunga dan deposito yang hendak dicairkan. Keadaan tidak
semakin baik karena setelah keinginan deposan itu
dipenuhi dan deposan tidak lagi percaya ditariklah semua
depositonya. Sudah lebih dari 4 bulan koperasi B tidak bisa
memenuhi permintaan deposannya tersebut. Ternyata tidak
hanya koperasi B di kota SL yang mengalami hal serupa
ada lebih dari tiga koperasi mengalami hal tersebut
colaps/tidak liquit. Ternyata ada rupa-rupa modus
sebagaimana diceritakan kompas Jawa Tengah, bahwa ada
banyak kegiatan yang berkedok koperasi yang ternyata
sebagai sarana pengumpulan dana kemudian untuk
investasi lain seperti dipraktekkan koperasi BMM yang
berpusat di Surabaya. Begitu pula koperasi B ini ternyata
ada aliran dana dalam bungkus kredit kepada seseorang
dengan perjanjian pinjam meminjam tetapi tanpa akta
notaris dalam jumlah yang tidak rasionil dengan
pembuatan akta setiap bulan bahkan ada sebulan dua
sampai tiga kali perjanjian kredit di buat untuk satu nama
dengan jaminan yang sangat tidak layak.
3. Kompas Jawa Tengah tanggal 12 November 200710 yang
bertajuk PENIPUAN BERKEDOK KOPERASI bahwa dalam
kurun waktu Januari – Oktober 2007 Polda Jawa Tengah
menerima laporan 53 kasus penipuan dengan modus
menghimpun dana masyarakat dalam bentuk investasi-
10
Kompas Jawa Tengah,PENIPUAN BERKEDOK KOPERASI, 12 November
2007, Hal 1
tabungan-deposito. Kerugian masyarakat sekitar 113,82
miliyar, sertifikat tanah 11 lembar dan tiga buku pemilik
kendaraan (BPKB).
4. Selanjutnya dimuat pula berita tentang koperasi bernama
BMM yang berpusat di Surabaya yang merekrut anggota
koperasi membuka cabang di Semarang juga di kota-kota
lain, dilaporkan masyarakat Semarang berhubungan ada
dugaan penipuan dan penggelapan uang nasabah
penanggungjawabnya diburu sampai Solo rupanya
melarikan diri kini sedang dalam penyelidikan kepolisian
kota Semarang.
Ada pula koperasi lain sebut saja BGR berkedudukan di
Semarang memang makin besar dalam bidang simpan pinjam
dikalangan pedagang kecil di pasar-pasar semarang. Sangat
bermanfaat bagi pedagang kecil-kecil dipasar-pasar Semarang
dan tingkat peminjaman sebesar sekitar Rp. 100.000 sampai
Rp. 300.000 an setiap kali peminjaman dengan pengenaan
bunga per 100 hari sebesar 10% sehingga kalau dihitung
bunga satu tahunnya bisa mencapai 35%. Syarat agar bisa
meminjam harus sudah menabung 3 kali dan mengajukan
permohonan untuk menjadi anggota. Kehadiran koperasi BGR
ini sangat-sangat menolong para bakul-bakul di pasar-pasar
Semarang11.
Keputusan Mahkamah Agung terhadap penyalahgunaan
dikoperasi di Kabupaten Karanganyar atas dana yang
11
Sri Harini Dwiyatmi, Op.Cit, hal 6
dikucurkan kementrian perumahan, menjadikan pengawas
KSP di kota ini harus mempertanggungjawabkan perbuatan
pengelolaan KSP-nya menjadikan tidak saja pengurus tetapi
juga mantan pengurus bahkan pengawas kini dalam penjara.12
Koperasi Simpan pinjam yang berbadan hukum modal
koperasi tidak hanya berasal dari anggota koperasi tetapi juga
dari non anggota koperasi. Di lihat dari struktur hukum
perusahaan, koperasi simpan pinjam termasuk salah satu
badan usaha yang berbadan hukum selain Perseroan Terbatas
(PT) dan yayasan.
Dengan banyaknya koperasi bermasalah tersebut
memang melahirkan pertanyaan bagaimana tanggungjawab
organ koperasi itu.
Menurut Tri Budiono masing-masing organ memang
mempunyai tugas dan tanggung jawab. Koperasi sebagai
badan usaha yang berbadan hukum, dalam melaksanakan
tanggung jawabnya masing-masing harus mengacu /
berdasarkan asas Good Corporate Governance (GCG) yang
terdiri dari 5 pilar yaitu13: transparansi (transparency),
akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility),
independensi (independency) serta kewajaran dan kesetaraan
(fairness) yang diperlukan untuk mencapai kesinambungan
usaha (sustainability).
12 Putusan MA no. 1420 K/Pid.Sus/2011 13 Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, 2011, Salatiga: Griya Media, hal. 129
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka thesis ini
diberi judul: “Sistem Pertanggungjawaban Koperasi Simpan
Pinjam Berbadan Hukum”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di
atas, maka rumusan masalah yang menjadi topik pembahasan
dalam penulisan tesis ini adalah:
Bagaimana sistem pertanggungjawaban Koperasi Simpan
pinjam sebagai badan hukum?
C. Tujuan Penulisan
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, tujuan
penelitian ini adalah:
Mengetahui sistem pertanggungjawaban masing-masing organ
yang ada di Koperasi Simpan Pinjam
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini bagi pihak-pihak terkait
adalah sebagai berikut:
1. Bagi Koperasi:
Untuk mengetahui bagaimana sistem
pertanggungjawaban masing-masing organ yang ada di
Koperasi Simpan Pinjam
2. Bagi organ Koperasi
Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pada
Rapat Anggota, Pengawas dan Pengurus dalam Koperasi
3. Bagi akademisi maupun mahasiswa yang tertarik untuk
memperdalam mengenai sistem pertanggungjawaban
masing-masing organ yang ada di Koperasi Simpan Pinjam
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk
menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan dalam
tesis ini yaitu penelitian yuridis normatif. Yuridis
normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum yang akan
diteliti.14
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis
dalam tesis ini, yaitu :
a. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konspetual beranjak dari pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum untuk menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep
hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan
isu yang dihadapi.
b. Pendekatan Perundang-undangan (Statute
Approach).
Oleh karena tipe penelitian yang bersifat normatif,
maka pendekatan Perundang-undangan seperti ini
14
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif,Bayumedia Publishing: Jawa Timur, 2009, hal. 45
merupakan suatu pendekatan yang penting dalam
meneliti aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus
tema sentral dari suatu penelitian.15 Pendekatan ini
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang tersangkut paut dengan kasus
yang ditangani.16
c. Pendekatan Analitis (Analytical Appoach).
Pendekatan analisis terhadap bahan hukum seperti
ini, dimaksudkan untuk mengetahui makna yang
terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan
dalam Perundang-Undangan secara konsepsional,
sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik .
3. Jenis Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan tesis
ini adalah:
a. Bahan hukum Primer.
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam
tulisan ini diantaranya:
i. Undang–undang No 17 tahun 2012 menggantikan
Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang
Koperasi
15 Ibid., hal 302. 16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2005, Jakarta: Kencana,
hal. 93
ii. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam Oleh Koperasi.
iii. Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha
Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor :
96 / KEP / M.KUKM / IX /2004 Tentang Pedoman
Standar Operasional Manajemen Koperasi Simpan
Pinjam Dan Unit Simpan Pinjam Koperasi
iv. Peraturan Menteri Negara Koperasi Nomor 19
tahun 2008
v. peraturan-peraturan lain yang terkait.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti dokumen-dokumen
yang merupakan informasi dan artikel-artikel yang
berkaitan dengan peranan pemerintah terhadap
pembinaan serta pengawasan koperasi dikaitkan
dengan aspek hukum administrasi daerah, hasil
penelitian, pendapat pakar hukum serta beberapa
sumber dari internet yang berkaitan dengan
persoalan di atas
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti: kamus,
ensiklopedia dan lain-lain.
F. Landasan Teori
Landasan teori yang dipakai dalam tulisan ini adalah
mengenai teori yang terkait dengan sistem
pertanggungjawaban koperasi simpan pinjam:
1. Teori Penafsiran Hukum
Merupakan salah satu metode penemuan hukum
yang memberi penjelasan yangtidak jelas mengenai
teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa
tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum
terhadap suatu peraturan perundang-undangan
yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas,
seorang ahli hukum tidak dapat bertindak
sewenang-wenang.
Penafsiran hukum menurut R.Soeroso,SH. Adalah
mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil
yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai
dengan yangdikehendaki serta yang dimaksud oleh
pembuat Undang-Undang.
Menurut Prof. J.H.A. Logemann “Dalam melakukan
penafsiran hukum, seorang ahli hukum diwajibkan
untuk mencari maksud dan kehendak pembuat
undang-undang sedemikian rupa sehingga
menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh
pembuat undang-undang itu
Penafsiran sebagai salah satu metode dalam
penemuan hukum (rechtsvinding), berangkat dari
pemikiran, bahwa pekerjaan kehakiman memiliki
karakter logikal.
Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi atau
penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang
harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat
diterima oleh masyarakat mengenai peraturan
hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode
interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk
mengetahui makna Undang-Undang.17
2. Teori Organ (Orgaan Theorie)
Ottoo von Gierke mengemukakan bahwa badan
hukum adalah sesuatu yang sungguh-sungguh ada
di dalam pergaulan hukum yang mewujudkan
kehendaknya dengan perantaraan alat-alat (organ-
organ) yang ada padanya (pengurus). Menurut teori
ini, peraturan-peraturan hukum memiliki organ
yang dipandang sebagai jiwa dari badan hukum
tersebut.18
3. Teori Ultra Vires Koperasi
Ultra Vires Koperasi adalah tindakan-tindakan yang
kebetulan hampir tidak ada hubungannya dengan
sasaran koperasi yang dinyatakan dalam klausul
17 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum 1993. Bandung:
Citra Aditya Bakti, hal. 13
18 P.N.H Simanjuntak,Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: 2009, Hal. 28-29.
mengenai sasaran–sasaran.19Akibat hukum dari
ultra vires adalah batal demi hukum (null and
void).20
19 Prof. Dr. Hans-H Munker, 10 Kuliah Mengenai Hukum
Koperasi,Rekadesa, 2012, hal. 116 20 Tri Budiyono, Transplatasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan, Griya Media, 2009, hal. 163