Upload
danghuong
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENGANTAR
A. LATAR BELAKANG
Bong Suwung merupakan sebuah kawasan hunian liar yang menempati lahan
kosong di sepanjang jalur rel kereta api di sisi barat stasiun Tugu Yogyakarta dengan
berbagai aktifitas ilegal di dalamnya. Ingatan kolektif masyarakat Kota Yogyakarta
memandang Bong Suwung sebagai sebuah paradoks yang terus berlanjut dari sebuah kota.
Sejak 2013, Bong Suwung atau sekarang dikenal dengan Ngeril menjadi hangat kembali
dengan rencana penggusuran oleh PJKA sebagai bagian dari rencana penataan kawasan
pusat perbelanjaan dan wisata kawasan Malioboro ke arah stasiun Tugu1. Bagaimana
kondisi perkembangan Bong Suwung dari periode awal hingga sekarang dalam bertahan
menghadapi penguasa dan dinamika keseharian ditengah stigma terhadap masyarakat
miskin kota merupakan perhatian dari kajian penelitian ini.
Keberadaan komunitas miskin kota yang membentuk hunian liar di Kawasan Bong
Suwung dianggap meresahkan warga kota oleh penguasa sehingga berbagai upaya
penertiban dan penggusuran dilakukan melibatkan aparat. Keberadaan para pemukim liar
1 PJKA merencanakan penggusuran lapak-lapak di Bong Suwung sejak 1 Mei 2010, tetapi belum
terwujud hingga sekarang. Komunitas masyarakat penghuni Bong Suwung melakukan perlawanan dengan
mengadukan perihal penggusuran ke DPRD untuk dimediasikan dengan PJKA (Koran Sindo, 16 Juli 2013,
Harian Jogja, 17 Juli 2013) . Rencana Penggusuran ini tidak lepas dari Kebijakan Pemerintah Kotamadya
Yogyakarta merencanakan pembenahan Kawasan Pusat Kegiatan Ekonomi dan Pariwisata di Malioboro dan
sekitarnya termasuk Stasiun Tugu sebagai sentra layanan transportasi publik, pusat perbelanjaan modern dan
parkir sebagai upaya optimalisasi sentra layanan publik kota Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata di Asia
Tenggara seperti diatur dalam Perda Provinsi DIY no. 28 Tahun 2010 tentang RPJP Daerah Istimewa
Yogyakarta 2009 – 2029 bdk Dokumen Pembenahan Malioboro Tahun 1983.
2
di Bong Suwung di sebelah barat stasiun kereta api Tugu Yogyakarta secara teoritik
merupakan ekses pertumbuhan Kota Yogyakarta yang dihadapkan dengan problem sosial
seperti keterbatasan ruang untuk permukiman. Sebagai perbandingan, Basundoro
memberikan gambaran senada tentang kondisi orang miskin Surabaya di Kawasan
Kembang yang menduduki lahan pekuburan yang seharusnya merupakan lahan orang
mati2. Para pendatang yang tidak memiliki akses ruang dan secara ekonomi terbatas ini
kemudian mendirikan hunian-hunian semi permanen di atas tanah kosong bekas kuburan
etnis Tionghoa. Menurut ingatan kolektif masyarakat setempat lokasi Bong Suwung pada
masa kolonial menjadi tempat eksekusi mati para penjahat kota sebuah lokasi penuh semak
belukar yang banyak ditumbuhi ilalang dan rerumputan. Belakangan sejak 1970an,
kawasan Bong Suwung menjadi tujuan para pendatang yang tidak memiliki akses tempat
tinggal dan pekerjaan formal. Para pendatang tersebut membentuk komunitas Bong
Suwung dan mengembangkan aktifitas ekonomi di sektor informal dengan berdagang,
prostitusi dan perjudian sebagai sumber penghidupannya3.
Kawasan Bong Suwung dikenal sebagai daerah hitam sebagai sarang penjahat dan
berbagai tindak kriminal. Dalam ingatan beberapa orang tua jika malam hari, hampir tidak
ada yang berani melewati kampung sekitar Bong Suwung karena alasan keamanan.
Kemudian lahir kebijakan pembersihan kelompok yang dianggap pengganggu “keamanan
dan ketertiban” dengan Operasi Pemberantasan Keamanan4 (OPK) yang dilakukan
2 Purnawan Basundoro, Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang kota Surabaya, 1900 -1960-an,
Disertasi S3 Sejarah, Program Studi Humaniora, Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta,
2011 hlm. 2-5
3 Wawancara Jati Nugroho (58 thn), 18 Oktober 2013.
4 Berburu Gali di Yogyakarta. Tempo, no. 7, 16 April 1983.
3
Kopkamtib dikenal dengan penembakan misterius atau petrus, terhadap mereka yang
dianggap sebagai „gali‟.5 Mayatnya kemudian dimasukan dalam karung dan dibuang
ditempat umum sebagai terapi kejut (shock therapy). Sebagian besar target OPK adalah
bagian tidak terpisahkan dari komunitas miskin kota yang tinggal di lorong-lorong sempit,
menempati lahan Bong Cina dan kampung-kampung pinggir kali. OPK ini merupakan
sekuel sejarah gelap yang belum terungkap secara transparan. Sebuah peristiwa
pengadilan jalanan, eksekusi tanpa pengadilan, sekitar tahun 1982-1985 yang dilakukan
oleh Kekuasaan. Penghilangan nyawa mereka yang (dianggap) sebagai kelompok orang
yang „mengganggu ketentraman dan ketertiban‟ dalam sistem politik pemerintah Orde
Baru menjadi deretan sejarah kekerasan struktural yang dilakukan oleh penguasa tanpa
pengadilan yang mengundang keprihatinan setelah tragedi politik 1965. Peristiwa ini
merefleksikan bagaimana pemerintah mengkonstruksi sejarah komunitas miskin kota yang
tidak lebih dari „sampah masyarakat‟ dan perlu diwaspadai. Kisah mereka menjadi bagian
integral dari sejarah sosial komunitas Bong Suwung dan masyarakat kampung Badran
yang menghadapi permasalahan sosio spatial, sosio-ekonomi dan sosio-politik pada
pemerintahan rezim Soeharto hingga masa reformasi.
Menurut berbagai kajian, gejala hunian liar merupakan bagian dari sejarah
modernisasi kota yang mendorong arus migrasi penduduk dari desa ke kota-kota besar di
Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lain. Proses urbanisasi merupakan
dampak dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berpusat di perkotaan, dan kebijakan
revolusi hijau yang menuntut rasionalisasi pekerjaan dan berakibat lahirnya pengangguran
5 Istilah gali ini merupakan akronim Gabungan Anak Liar Indonesia, yang secara sosial hidup di
perkotaan sebagai orang yang ditakuti dan memiliki „kekuasaan‟ mengatur tata kehidupan di luar kontrol
penguasa.
4
di pedesaan. Oleh karenanya, banyak angkatan kerja dari penduduk pedesaan tergerak
untuk mencari penghidupan di kota, sementara pemerintah kota tidak siap dengan
pelayanan fasilitas perumahan bagi kaum migran. Disamping karena alasan rendahnya
ketrampilan para pendatang, mereka tidak bisa masuk dalam sistem formal. Gelombang
urbanisasi pada 1970 – 1980an merupakan dampak dari ketimpangan sistem pembangunan
pemerintah Orde Baru yang memprioritaskan pertumbuhan perekonomian Indonesia
memusat di kota-kota besar dan intensifikasi sistem pertanian pedesaan.
Dalam sejarah Indonesia, fenomen urbanisasi ke kota besar bukan hal baru. Sejak
paruh abad ke-20, kota-kota di Indonesia berkembang sebagai akibat perkembangan
industri perkebunan dan pembangunan alat transportasi kereta api sebagai pendukungnya.
Dampaknya perkembangan kota-kota melahirkan kelompok miskin yang disebut sebagai
gelandangan dan pengemis. Kelompok miskin ini mengais rejeki di sekitar pasar, stasiun
kereta api dan tempat-tempat pekuburan. Kelompok ini dalam terminologi Jawa disebut
sebagai:wong kere, atau wong kramatan – karena mereka memilih bertempat tinggal di
dekat makam-makam, untuk meminta sedekah dari peziarah. Terdesak oleh keadaan
menyebabkan sebagian dari kelompok ini berprofesi sebagai pencuri atau pekerja seks.
Menurut Purwanto, gelombang gelandangan ini meningkat jumlahnya secara tajam sejak
pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan. Di Jakarta, mereka banyak ditemukan di
dekat pasar atau stasiun, terutama di sekitar Jatinegara, Pasar Senen dan Tanah Abang6.
Persoalan sosio-ekonomi menjadi motif utama kenapa orang bermigrasi ke kota, mencari
penghidupan lebih baik meskipun realita berbicara sebaliknya.
6 Bambang Purwanto. Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial
Indonesia, dalam:Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Saptari Ratna. Perspektif Baru Penulisan
Sejarah Indonesia(Jakarta: YOI dan KTLIV, Bali: Pustaka Larasan, 2008), hlm. 263-264
5
Para gelandangan atau kaum miskin kota berperan penting selama revolusi fisik.
Saat perang revolusi, sebagian besar penduduk kota, meninggalkan wilayah perang yang
dikuasai sekutu dan mencari tempat yang lebih aman. Dalam taktik perang gerilya, tidak
sedikit para pejuang yang menyamar sebagai pengemis agar lolos dari kejaran tentara
sekutu. Dengan cara ini komunikasi antara wilayah sekutu dan wilayah yang dikuasai
republik tetap terjalin. Tidak sedikit pula, menurut Denis Lombard7, akibat pengaruh
pejuang kota, para pengemis di Jawa, khususnya di Yogyakarta, ada yang terlibat secara
aktif dalam perang gerilya.
Sejak Indonesia merdeka, khususnya pada tahun 1970an terjadi arus urbanisasi
mengalir ke pusat kota Yogyakarta dari pedesaan sekitarnya untuk mencari pekerjaan.
Akan tetapi, ketersediaan peluang kerja tidak sebanding dengan jumlah pendatang,
disamping pertumbuhan angkatan kerja baru penduduk kota Yogyakarta yang tidak
tertampung di dunia kerja formal. Akibatnya angkatan kerja ini berupaya menciptakan
lapangan pekerjaan sendiri di sektor informal dengan memanfaatkan kemajuan kehidupan
kota8. Apakah keberadaan Bong Suwung terkait dengan kondisi tersebut? Bagaimana
komunitas ini mengembangkan strategi dan siasat hidup di kota dalam perkembangan
ruang kota Yogyakarta?
Komunitas marginal kota yang menempati lahan Bong Suwung bertahan hidup dari
residu perkembangan kota dan merebut ruang-ruang kosong lahan pekuburan untuk tempat
tinggal dan membangun sumber penghidupan. Mereka berkontestasi dengan pemegang
otoritas negara. Sejarah Kota Yogyakarta pasca proklamasi kemerdekaan tidak bisa
7 Denis Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya ( Jakarta: Gramedia, 2005).
8 Tadjuddin Noer Effendi, Permukiman Kumuh: Gelaja dan alternatif Kebijakan. Kompas, 10 Juli
1987.
6
dilepaskan dari keberadaan kelompok sub-altern yang menduduki lahan-lahan kosong di
sepanjang jalur rel kereta api, pinggir-pinggir Sungai Code, Winongo dan Gajah Wong
sebagai bagian dari perkembangan perkotaan Yogyakarta. Hunian liar berkembang pesat di
Kota Yogyakarta sebagai bagian dari belum jelasnya sebagian status penguasaan lahan
(land-use) di kota Yogyakarta sebagai daerah istimewa khususnya tanah-tanah SG (Sultan
Ground) dan memberikan peluang para pendatang melakukan pendudukan atas tanah-tanah
tersebut9 .
Komunitas Bong Suwung hidup mengelompok membentuk kerumunan dengan
cara menduduki tanah-tanah terlantar dan tidak terurus di kanan-kiri jalur rel kereta api, di
atas tanah-tanah wedi kengser milik negara, atau milik Sultan yang belum difungsikan
dan di tanah-tanah yang peruntukannya bukan sebagai tempat tinggal, seperti kuburan etnis
Tionghoa. Kerumunan tempat tinggal seperti ini disebut sebagai hunian liar (urban
squatters)10
.
Karakteristik dari hunian liar ini berbeda dengan perumahan yang dibangun dengan
rencana tata ruang kota yang memperhatikan fasilitas-fasilitas perkotaan seperti listrik,
tilpun, pembuangan air (drainase), sanitasi lingkungan, ruang terbuka hijau, seperti daerah
hunian-hunian elite di kawasan Kota Baru, sisi sebelah timur Kali Code, perumahan di
daerah Sagan, dan Pingit yang dirancang pada abad 20 sebagai kawasan perumahan oleh
arsitek ternama Thomas Kaarsten11
dengan mempertimbangkan aspek perencanaan tata
9 A. Ima‟an Sukri, Cahyadi Joko Sukmono, dkk., Masa Depan Yogyakarta Dalam Bingkai
Keistimewaan (Yogyakarta: Parwi Foundation,2002), hlm. 47-52.
10 Squatter adalah seseorang yang menghuni tanah publik atau tanah yang tidak jelas siapa
pemiliknya.
11 Thomas Kaarsten adalah figure perancang kota-kota satelit zaman kolonial pada awal abab 20
yang sangat memperhatikan aspek-aspek perumahan dengan konsep ideal seperti, infrastruktur memadai,
7
kota yang nyaman, sehat, dan tertata sebagai ruang tinggal bagi warga kelompok
masyarakat kelas atas. Sebaliknya, kerumunan hunian liar ini membangun kelompoknya
dengan cara yang samasekali berbeda. Sebagai kelompok yang termarjinalkan oleh
dominasi kekuasaan, mereka menciptakan siasat tersendiri untuk mendapatkan pengakuan
dan hak sebagai bagian dari warga yang tidak terfasilitasi oleh Negara.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Permasalahan utama penelitian ini membahas tentang perkembangan keseharian
dan perubahan di Bong Suwung dari sebuah wilayah yang awalnya dihuni komunitas ilegal
menjadi permukiman terorganisir dalam berbagai dimensi kehidupan mereka yang
dalamnya tetap berkembang aktifitas bawah tanah. Pembahasan kondisi Bong Suwung
tersebut meliputi; pertama, Bong Suwung sebagai bagian dari perkembangan ruang kota
Yogyakarta, sejak kapan dan bagaimana Bong Suwung menjadi bagian perkembangan
kota? Mengapa Bong Suwung berkembang di Kota Yogyakarta, faktor-faktor apa yang
ikut menentukan keberdaan Bong Suwung? Siapa saja kelompok yang mendapatkan
kehidupan dari Bong suwung? Apa yang dilakukan oleh penguasa terhadap perkembangan
komunitas Bong Suwung?
Kedua, dinamika keseharian komunitas Bong Suwung dalam interaksi dan
interelasi dengan lingkungan sekitar. Bagaimana strategi mereka menghadapi pemangku
kekuasaan dengan ancaman penggusuran? Bagaimana komunitas Bong Suwung bersiasat
sanitasi, drainase, jaringan sarana prasarana, ruang pubilk, dan ruang terbuka hijau. Sementara pasca
Indonesia merdeka, perkembangan kota tidak terencana dan mengalir organik, seperti kasus pertumbuhan
hunian-hunian liar yang marak di berbagai sudut kota Yogyakarta menyuguhkan pemandangan kontras
dengan kawasan elite perkotaan. Lih. Thomas Kaarsten dalam Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia oleh
Julianto Sumalyo (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1993), hlm. 39 – 48.
8
secara ekonomi dan politik dalam memperjuangkan hak-hak hidupnya sebagai pribadi atau
kelompok dalam menghadapi penguasa? Siapa saja (agency) yang terlibat dalam
memperjuangkan eksistensi mereka? bagaimana negara „hadir‟ atau tidak hadir dalam
memperjuangkan kehidupan komunitas Bong Suwung? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
menjadi kerangka untuk membangun narasi sejarah sosial Bong Suwung di Kota
Yogyakarta dalam ruang lingkup 1970an – awal abad 21.
C. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk memahami sejarah komunitas, khususnya
historiografi orang biasa (common people) komunitas miskin kota yang tinggal di lahan-
lahan kosong sebagai bekas pekuburan Cina (Bong Cina) Kota Yogyakarta. Kajian sejarah
komunitas ini bermaksud memberikan sudut pandang tertentu tentang perkembangan
sebuah kota dari perspektif orang biasa. Penulisan sejarah dari dimensi-dimensi keseharian
orang-orang yang ”tidak punya sejarah” dalam istilah Eric Wolf12
atau orang-orang biasa
menjadi salah satu motivasi utama dari penelitian ini. Pengembangan perspektif sejarah
komunitas sebagai unit kajian seperti yang dikembangkan Sartono Kartodirjo melalui
pendekatan multidimensi13
dalam pengembangan sejarah kontemporer menjadi perlu
dalam mengembangkan historiografi Indonesia.
12
Definisi “Sejarah dari orang-orang yang tidak punya sejarah” merujuk pada pengertian yang
dikembangkan oleh Eric Wolf yang dialamatkan pada budak atau orang-orang non-Eropa yang tidak
memiliki tradisi tulisan sejarah secara formal, dan penegasan Wolf bahwa orang-orang non-Eropa menjadi
bagian aktif dari sejarah dunia, bukan hanya statis. lih. Eric Wolf, Europe and The People without History,
1983
13 Sartono kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia,
1992), hlm. 66.
9
Penelitian ini bertujuan memberikan suatu sumbangan bagi kajian sejarah
Indonesia dari realitas-realitas historis mikro yang masih terbatas dikaji para peneliti
sejarah umumnya dan kini menunjukkan perkembangan minat dan gerakan historiografi
Indonesia baru seperti yang dirintis sejarahwan Bambang Purwanto14
, Henk Schulte
Nordholte15
, Adrian Vikers16
, dan sejarahwan kontemporer Asia lainnya. Pengalaman
lokalitas di komunitas Bong Suwung Kota Yogyakarta sebagai bagian dari realitas sejarah
perkotaan dalam historiografi Indonesia modern.
D. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dalam historiografi Indonesia modern, penulisan sejarah komunitas marginal kota
masih terbatas. Tulisan Purwanto17
tentang sejarah keseharian masyarakat di Jakarta paruh
awal abad 20 merupakan terobosan baru penulisan sejarah dengan kesadaran membangun
praktik dan wacana baru tentang kehidupan orang-orang kecil di belantara kota besar
dengan segala bentuk himpitan dan tekanan dari berbagai dimensi; politik, sosial-ekonomi
maupun sosio-spasial. Penulisan sejarah orang-orang biasa dapat membuka ruang untuk
mengkonstruksi identitas kemanusiaan dan peradaban sebagai wacana alternatif dari
dominasi historiografi politik dalam historiografi Indonesiasentris18
. Sebuah pendekatan
12
Bambang Purwanto. Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah
Sosial Indonesia, dalam:Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Saptari Ratna. Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: YOI dan KTLIV, Bali: Pustaka Larasan, 2008)
15 Ibid.
16 Adrian Vikers dalam menyusun Historiografi Indonesia modern memanfaatkan berbagai sumber-
sumber non tertulis seperti karya fiksi novel, foto, catatan harian, peta, dan kelisanan sebagai sumber
sejarah. Lih. Adrian Vikers, A History of Modern Indonesia (Cambrige: Cambrige University Press, 2005).
17 Bambang Purwanto, Op.cit. hlm 245-276
18 Wacana kritis tentang historiografi Indonesiasentris secara khusus telah digulirkan di kalangan
sejarawan Indonesia oleh Bambang Purwanto dalam bukunya: Gagalnya Historiografi Indonesiasentris!,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006).
10
untuk menggali narasi-narasi kecil yang berceceran menjadi sebuah bingkai narasi tertentu
yang bermanfaat dalam membangun sebuah peradaban bangsa.
Kajian sejarah komunitas subaltern dipengaruhi oleh karya seorang ahli linguistik
Gayatri Spivak yang menarasikan secara kritis sistem kasta (cast system) di India. Sebuah
kritik atas praktik ketidakadilan budaya patriarki terhadap kelompok perempuan yang
mengalami hegemoni kultural dalam hierarki kasta sekaligus ketidakberdayaan dari
penindasan kapital dan kolonialisme19
. Pemikiran Spivak kemudian menginspirasi para
ilmuwan di Asia mengembangkan pemikiran dekonstruksi sebagai alternatif penulisan
sejarah Asia. Sejarah hidup komunitas miskin kota yang masuk dalam komunitas sub-
altern, komunitas marginal yang mengalami ketidakberdayaan secara sosial-ekonomi,
kultural dan politik membangun sebuah kelas tersendiri yang „bebas‟ dari kriteria nilai
komunitas yang dibangun oleh kelas penguasa baik elit lokal maupun asing, sebagai
pemegang kontrol atas kehidupan bersama. Kajian sejarah orang biasa masih terbatas
dilakukan para sejarahwan professional. Kajian-kajian sejarah Yogyakarta khususnya
banyak didominasi oleh kajian sejarah elit kekuasaan seperti kajian Heather Sutterland
(1983)20
tentang terbentuknya elite birokrasi, Riyadi Gunawan dkk mengkaji sejarah sosial
DIY awal abad 20 (1993)21
, Selo Sumardjan (1988) tentang perubahan sosial Yogyakarta
pasca Indonesia Merdeka. Tulisan tentang sejarah masyarakat biasa sejak 1970an di
Yogyakarta lebih banyak dilakukan oleh para antropolog seperti Patrick Guiness yang
19
Gayatri spivak, Can Subaltern Speak? dalam C. Nelson and L. Grossberg (eds.), Marxism and
The Interpretation of Culture (Macmillan Education: Basingstoke, 1988 ), hlm. 271 – 313.
20Heather Sutterland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, 1979 (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).
21Riyadi Gunawan, Harnoko, Darto, Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Periode awal
abad dua puluhan. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993).
11
menulis kisah lima keluarga pengali pasir dan Rukun Kampung (1977;1986), John Sullivan
tentang studi kasus komunitas perkotaan dan pemerintah lokal (1992), Hotze lonzt tentang
arisan PKK (2002). Kurun waktu yang kurang lebih sama kajian masyarakat biasa
dilakukan oleh Lea Jellineck (1994) dan Allison Murray (1994) konteks masyarakat kecil
tentang kehidupan Pedadang dan Pelacur di Jakarta.
Sebuah gambaran tentang kondisi kaum miskin secara menarik dilukiskan dalam
hasil sebuah penelitian berjudul My Neighbour Your Neigbour: Governance, Poverty and
Civic Engagement in five Jakarta community oleh Lea Jellinek dkk22
memberikan
deskripsi tentang kaum miskin kota berikut:
“Kaum miskin cenderung tersembunyi di sudut-sudut jalan atau tepi sungai.
Biasanya rumah mereka berada di sudut-sudut jalan di sepanjang lembah
sempit dan gelap dimana matahari, udara maupun listrik tidak dapat masuk,
bahkan di waktu siang. Sebagai gantinya mereka membangun rumahnya di tepi
kali-kali yang baunya tidak enak, atau di sepanjang tembok dari bangunan-
bangunan umum yang ada. Mereka sering digusur–jauh dari pandangan
maupun pikiran, jadi tidaklah mengherankan bila pemerintah maupun pihak
lain tidak memperhatikan mereka”23
.
Lea Jellinek menggambarkan lebih jauh tentang kondisi kaum miskin melalui kasus
seorang janda yang bekerja sebagai tukang pijat. Tidak hanya lokasi tinggal, problem yang
dihadapi oleh kaum miskin kota luar biasa kompleks mulai dari perilakunya yang selalu
menghindar untuk bertatap muka langsung dengan orang asing, kesulitan menyampaikan
22
Lea Jellinek, Susiladiharti, dkk., My Neighour Your Neigbour: Governance, poverty and civic
engagement in five Jakarta communities ( Jakarta: Laporan penelitian DFID (Departemen Pembangunan
Internasional, Januari 2002). Bdk. Penggambaran kondisi kaum miskin Jakarta ini mirip dengan kondisi
kaum miskin kota di Yogyakarta yang ditulis oleh Patrick Guiness dalam bukunya Harmony and Hierarchy
in a Javanese Kampung, Singapore and New York: Oxford University Press, (1986) dan John Sullivan,
Local Government and Community in Java, and Urban Case-Study (New York: Oxford University Press,
1992).
12
pikiran tentang permasalahannya, selalu curiga, penghasilan sekedar memenuhi subsistensi
melalui jasa minim ketrampilan, dan kondisi-kondisi ketiadaan akses untuk hidup dalam
normalitas umum24
.
Tidak mengherankan jika kaum miskin kota seperti disinyalir oleh Lea Jellinek
“digusur jauh dari pandangan dan pikiran” oleh penguasa. Mereka dianggap berbeda,
kadang membahayakan maka perlu „ditata dan ditertibkan‟. Di Yogyakarta, pada awal
1970an, Polisi Pamong Praja banyak melakukan razia gepeng yang tinggal di gubuk-gubuk
di bawah kolong jembatan, dipinggir kali untuk kemudian dimasukan dalam sebuah panti
rehabilitasi sosial25
, semacam penjara sipil, tempat rehabilitasi penderita gangguan jiwa.
Dalam perspektif penguasa, orang miskin (gelandangan dan pengemis) dikategorikan
sebagai orang yang mengalami sakit kegilaan (kejiwaan). Pendekatan yang dilakukan oleh
penguasa terhadap kaum miskin kota ini menggunakan perpektif struktural dan cenderung
dengan pola intervensi seragam dalam logika “keamanan dan ketertiban”.
Sebuah tulisan yang mendokumentasikan perjuangan komunitas pinggiran
Yogyakarta dilakukan oleh Darwis Khudori (2002) tentang gerakan alternatif komunitas
Ledhok Gondolayu, dan masyarakat miskin kota yang tinggal di permukiman Ngebong
Terban, pada tahun 1980an yang dilakukan oleh Mangunwijaya dengan pendekatan
komprehensif dan manusiawi, mengintegrasikan kajian ilmiah dengan praksis untuk
melakukan perubahan. Kelompok yang terdiri dari kaum intelektual dan kelompok non
24
Ibid.
25 Di Yogyakarta terdapat beberapa panti sosial untuk merehabilitasi Gepeng seperti Panti Sosial di
Tegal rejo, dan Panti Sosial di Tungkak Mergangsan. Sebagian diantara gepeng yang dirazia kemudian
berbaur ke dalam kampung sekitar (kampungisasi) menjalani hidup normal, sebagian ada yang memilih
mengikuti program transmigrasi ke luar Pulau Jawa lih. Dokumentasi Penelitian “ Sejarah dan Politik
Keruangan Kampung” Tungkak, (Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat, Mei 2003).
13
pemerintah mengembangkan riset aksi penataan dan advokasi komunitas yang menempati
lahan pekuburan Bong Cina di Terban yang dihuni oleh komunitas miskin kota yang
sebagian besar bekerja di sektor infomal. Strategi integral secara bersama dilakukan di dua
level. Level grassroot, melalui pengembangan daya tawar dan ikatan komunitas miskin
kota dengan pendidikan berorganisasi komunitas ibu-ibu dengan peningkatan ketrampilan
dan sumber daya ekonominya, peningkatan kualitas pendidikan untuk anak-anaknya. Level
pemerintah, melakukan lobby dan dialog dengan Komandan Kopkamtib dan Menteri
Lingkungan hidup karena sebagian besar komunitas menduduki wilayah sempadan Kali
Code, tentang gagasan solutif tanpa menggusur kelompok miskin kota melalui pendekatan
sosio-kultural, pengakuan (recognition) keberadaan mereka sebagai warga, dan pemberian
status lahan tinggal dengan hak pakai. Gerakan pemberdayaan masyarakat pinggiran yang
cukup berhasil melakukan perubahan “dari komunitas nge-bong yang menempati bekas
kuburan Cina dan menjadi bagian dari Rukun Ketetanggaan (RT) yang diakui oleh
pemerintah adalah komunitas Ngebong Terban. Komunitas ini mendapatkan pengakuan
dari pemerintah kota Yogyakarta dan memperoleh kekancingan untuk tempat tinggalnya di
bekas lahan kuburan Cina dari Keraton Yogyakarta26
.
Sementara, konteks masyarakat Bong Suwung diteliti oleh Tadjuddin Noer Effendi
(1983) dalam perspektif anthropologi sosial yang mengkaji kehidupan komunitas Bong
Suwung yang dalam penulisannya menggunakan pseudonym untuk penyebutan lokasinya.
Kajian Tadjuddin memberikan gambaran kehidupan masyarakat pinggiran yang hidup dari
kawasan prostitusi liar di lahan miliki PJKA, kanan-kiri rel kereta api sebagai dampak
26
Darwis Khudori, Menuju Kampung Pemerdekaan Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-
akarnya Belajar dari Romo Mangun di Pinggir Kali Code (Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat, 2002), hlm
: 34-43.
14
proses urbanisasi . Penelitian ini menjadi satu-satunya tulisan yang mengkaji secara ilmiah
perilaku, karakter, sistem kehidupan yang berkembang di komunitas Bong Suwung27
.
Tulisan ini belum mengkaji keterkaitan lebih jauh relasinya dengan penguasa, dan
perubahan-perubahan komunitas dalam aspek historis.
Selain di sepanjang rel kereta api, lahan pinggir kali, sejak meningkatnya urbanisasi
pada 1970-an diperebutkan oleh banyak pihak. Daerah pinggir kali menjadi jujugan
(tempat tujuan) bagi warga kota yang kian kehabisan ruang tinggal, sekaligus sebagai
komoditas bagi spekulan tanah dan pengembang. Mereka berburu lahan disepanjang
pinggir kali, karena hanya disitulah ruang-ruang tersisa di perkotaan. Gejala spekulasi
tanah di kota-kota dunia menjadi fenomena. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari Evers
yang mengingatkan bahwa tanah merupakan komoditas tersendiri, dikarenakan kurangnya
peluang-peluang alternatif untuk investasi, di wilayah perkotaan, khususnya di dunia
ketiga28
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Secara konseptual ada beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang komunitas
miskin kota. Konsepsi yang dapat menjelaskan tentang kehidupan komunitas miskin kota
sebagai kelompok subaltern seperti teori tentang budaya kemiskinan (culture of poverty)
dari Oscar Lewis (1969). Sebagian prinsip dari budaya kemiskinan dapat digambarkan
dalam empat dimensi meliputi hubungan antara subculture dengan masyarakat yang lebih
27
Tadjuddin Noer Effendi , Masyarakat Hunian Liar di Kota: Sebuah Studi Kasus di Wonosito, Kotamadya (Yogyakarta: Pusat Penelitian, dan Studi Kependudukan, UGM, 1983).
28 Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff, Urbanisme di Asia Tenggara (Jakarta: Penerbit Obor, 2002
), hlm : 302 -304. Bdk. Hermawan Tri Nugroho, Kali, Ruang Kota, dan Siasat dalam Jurnal Kampung
Menulis Kota (Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat, 2005), hlm: 68 – 69.
15
luas; karakter dari komunitas masyarakat hunian liar; karakter dari keluarga; sikap, nilai
dan struktur karakter dari individu. Lebih lanjut Lewis menyatakan “tidak terintegrasinya
komunitas miskin dengan institusi masyarakat yang utama adalah elemen pokok dari
kebudayaan kemiskinan. Budaya kemiskinan merupakan kombinasi dari berbagai faktor
meliputi kemiskinan, pengelompokan, diskriminasi, ketakutan, kecurigaan, dan apatisme
dari komunitas hunian liar. Masyarakat yang hidup dalam budaya kemiskinan
menghasilkan sedikit kekayaan dan menerima sedikit penghasilan. Masyarakat mengalami
pengangguran kronis, upah rendah dan tidak memiliki properti, tidak memiliki tabungan
dan cadangan makanan, menggunakan pakaian bekas dan alat-alat rumah tangga bekas.
Pendek kata, masyarakat yang hidup dalam budaya kemiskinan ini mengalami sebuah
pengulangan-pengulangan dan stagnasi terus-menerus dari kondisi hidup mereka, maka
solusinya adalah menurut Lewis sebuah perubahan struktural yang radikal sehingga
memungkinkan terjadinya pendistribusian kekayaan dalam masyarakat dengan
pengorganisiran kaum miskin, membangun rasa saling memiliki, kekuatan
kepemimpinan.29
Pendapat tersebut merupakan penggambaran yang diberikan oleh masyarakat
umum, kelas menengah dan pemerintah yang tidak mengerti secara mendalam tentang
kehidupan kaum miskin sebenarnya, dan sudah mendapat banyak kritikan dari para ahli,
tragisnya tidak semua penggambaran tersebut adalah keliru. Clinard, misalnya menemukan
tiga ciri pokok penduduk permukiman kumuh, yakni “berupa perilaku yang menyimpang”,
29
Oscar Lewis, The Culture of Poverty dalam Science, conflict and Society with introduction by
Garrett Hardin, University of California, Santa Barbara ( San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1969),
hlm: 134-140.
16
“budaya permukiman kumuh” dan “apatisme dan keterasingan sosial”30
yang mirip dengan
sinyalemen dari Lewis.
Perilaku menyimpang, seperti kejahatan, kenakalan, pelacuran, perjudian, kesukaan
mabuk, telah lama menjadi setereotif dan stigma dari kehidupan di permukiman kumuh,
sebagaimana tercermin juga pada kondisi permukiman kumuh di Yogyakarta, seperti
Komunitas Bong Suwung, Komunitas Ngebong Terban di Code dan Kawasan merah di
daerah Pasar kembang. Budaya Permukiman Kumuh merupakan sintesa dari budaya kelas
bawah oleh Clinard digambarkan berikut:
“…Kehidupan di dalam permukiman kumuh biasanya terbentuk kelompok-
kelompok berpusat di suatu kawasan dimana dengan mudah ditemukan kawan,
warung dan tempat peminjaman uang. Disana tidak ada kehidupan pribadi yang
terpisah (privacy). Pengalaman seksual biasanya dimulai lebih awal, baik melalui
pernikahan atau tidak;…diatas segalanya ada toleransi yang tinggi terhadap
perilaku menyimpang; …penduduk permukiman kumuh biasanya bersikap apatis
terhadap kehidupannya. …di seluruh kawasan kumuh, sikap-sikap tersebut
berkembang menjadi kecurigaan terhadap “dunia luar”, termasuk pemerintah,
politisi, pekerja sosial, dan golongan menengah serta golongan atas pada umumnya.
Penghuni permukiman kumuh sering kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan
fasilitas yang disediakan, baik oleh pemerintah maupun swasta…seperti sarana
kesehatan, pendidikan bahkan jasa polisi31
.
Pandangan yang positif ditunjukkan oleh kasus-kasus yang dipelajari oleh Koalisi
Habitat Internasional yang mendapatkan gambaran yang samasekali berbeda dengan
pendapat Lewis dan Clinard. Kasus perjuangan para penduduk yang dianggap liar di Villa
El Salvador (Lima, Peru) menunjukkan bahwa kaum miskin kota punya watak yang kuat
dan aktif. Perjuangan komunitas di Lima untuk mendapatkan tempat tinggal dengan
30
Clinard Marshal B., Slums and Community Development. Experiment in Self-help (New York,
The Free Press, 1970), hlm. 9-14.
31 Clinard, Ibid.
17
membangun kota mereka sendiri merupakan realitas yang mengagumkan. Dalam jangka
waktu 15 tahun, sebuah padang pasir di pinggiran kota Lima telah diubah oleh sekelompok
imigran miskin menjadi kota kecil berpenduduk 200 ribu, diatur dan dikelola oleh sebuah
pemerintahan yang mereka ciptakan sendiri. Awalnya pembangunan permukiman
mendapatkan tantangan keras dari pemerintah. Perjuangan penduduk tidak berhenti meski
banyak jatuh korban. Akhirnya pemerintah mengakui keberadaan mereka dan mengangkat
mereka sebagai bagian dari kota Lima yang sah32
. Hal senada juga disampaikan oleh
Nelson dari penelitiannya di berbagai negara berkembang, berkesimpulan bahwa kaum
miskin kota secara politis tidaklah pasif.
“Kaum miskin kota ikut ambil bagian dalam politik melalui berbagai saluran dan
didorong oleh banyak alasan. Banyak dari kegiatan politik mereka memiliki motif
dan bentuk yang mirip dengan partisipasi kaum yang tidak miskin “.33
Karakter kaum miskin tersebut dapat ditelisik lebih terang melalui kacamata Teori
Marginalitas dan Teori Ketergantungan34
. Teori marginalitas memandang gejala
permukiman kumuh sebagai hasil dari berpindahnya penduduk dari perdesaan ke perkotaan
yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik tidak terintegrasi dengan kehidupan
masyarakat kota. Secara sosial, penghuni permukiman kumuh memiliki ciri-ciri yang
mengungkapkan kurangnya kohesi sosial dan terisolir secara eksternal karena mereka tidak
terintegrasi dengan masyarakat kota. Secara budaya mereka mengikut pola “budaya
kemiskinan”. Secara ekonomi mereka hidup sebagai parasit karena lebih banyak menyerap
32
Turner Bertha (ed.) Building Community. A Third World Case Book From Habitat International
Coalition, London, Building community Books, 1988, dalam Darwis Khudori, Menuju Kampung
Pemerdekaan Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-Akarnya Belajar dari Romo Mangun di Kali Code
(Yogyakarta, Yayasan Pondok Rakyat, 2002), hlm: 118-119.
33 Nelson Joan M., Access to Power, Politics and Urban Poor in Developing Nations (New Jersey:
Princeton University, 1979).
34 Mansyur Fakhih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 1996)
18
sumber-sumber daya kota daripada menyumbangkannya, boros, konsumtif dan tidak
berorientasi pasar. Secara politik, mereka berwatak apatis, tidak berpartisipasi dalam
kehidupan politik, mudah terpengaruh oleh gerakan-gerakan politik revolusioner karena
frustasi, diorganisasi sosial dan ketidakpastian yang dialami.
Sementara, Teori ketergantungan melihat gejala permukiman kumuh sebagai akibat
dari masuknya ekonomi kapitalis ke perdesaan yang penduduknya padat dan secara
struktural diperas oleh perkotaan. Hadirnya ekonomi kapital di pedesaan yang dikenal
dengan “revolusi hijau” dengan program intesifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi
pertanian untuk mendongkrak hasil pangan sebanyak-banyaknya untuk memenuhi
swasembada pangan nasional dan ekspor. Proses ini dilakukan dengan menggunakan
mesin (traktor), bibit unggul, obat-obatan dan penggunaan tenaga yang rasional. Modalnya
sebagian didatangkan dari negara kapitalis maju. Pada tahun 1980an, Indonesia
mengembangkan bibit unggul di IRRI (Indonesian Rice Research Institute), sehingga
tercipta ketergantungan dari negara berkembang kepada negara industri maju. Akibatnya
adalah meningkatnya pengangguran di perdesaan dan akhirnya justru terjadi “shared
poverty” atau “involusi pertanian” dalam istilah Clifford Geertz35
, yang kemudian
mendorong terjadinya urbanisasi dari perdesaan ke perkotaan.
Teori Ketergantungan mengungkapkan bahwa penghuni permukiman kumuh itu
secara sosial, ekonomi, budaya dan politik terintegrasi ke dalam kehidupan masyarakat
kota, suatu bentuk integrasi yang merugikan mereka. Secara sosial, mereka memiliki
35
Clifford Geertz, Involusi Pertanian (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976). Bdk. J. Alexander
dan P. Alexander, “ Shared Poverty as Ideology: Agrarian Relationship in Colonial Java,” Man, Vol. 17, No.
4 (1982) dan Ben White,” Agricultural Involution” and Its Critics: Twenty Years after Clifford Geertz”, ISS
Working Paper No. 6 (The Hague: Institute of Social Studies, 1983).
19
organisasi dan kohesi kelompok. Mereka tidak mau kembali ke desanya, karena tidak ada
lagi harapan di desa. Mereka mau memanfaatkan prasarana pelayanan dan kelembagaan
yang ada di kota, tetapi mereka tidak diterima. Kehadiran mereka sering tidak diakui.
Secara budaya, mereka memiliki ciri-ciri sama dengan golongan lain: ingin hidup lebih
baik, menyekolahkan anak-anaknya. Tetapi dalam imaginasi golongan berkuasa, mereka
dipandang rendah, sumber malapetaka kota: kejahatan, pelacuran dan kekotoran. Secara
ekonomi, mereka lebih banyak memberi daripada menerima. Dengan adanya sektor
informal yang digerakan oleh mereka, biaya hidup lebih murah bagi golongan yang
berpenghasilan rendah. Dari sampah yang mereka pilah dan kumpulkan mereka memasok
bahan mentah yang murah kepada industri. Mereka menyumbang dalam pertumbuhan
ekonomi, tetapi mereka tidak menerima pembagian keuntungan yang adil. Secara politis,
mereka tidak apatis, karena mereka berkepentingan dengan keputusan-keputusan yang
menyangkut nasib mereka. Tetapi kesempatan dan akses mereka untuk berpartisipasi
terbatas. Partisipasi mereka ditolak oleh “struktur makro” yang dikuasai oleh golongan
menengah ke atas melalui ancaman: penggusuran, pemenjaraan, ketidakpastian hidup dan
penyakit yang tidak terobati. Perilaku politik mereka tidak berbeda dengan masyarakat
pada umumnya36
.
Singkat kata, teori ketergantungan menarik kesimpulan bahwa penghuni
permukiman kumuh merupakan sekelompok masyarakat yang secara sosial ditolak, secara
budaya dihina, secara ekonomi diperas, dan secara politis ditekan oleh struktur dominan
masyarakat yang ada. Mereka tinggal di permukiman kumuh bukan karena “marginalitas”
36
Surbakti A. Ramlan,Kemiskinan di Kota dan Perbaikan Kampung, dalam Prisma No.6/XIII,
Jakarta, 1984.
20
atau “budaya kemiskinan”, melainkan karena mereka dibikin “marginal” oleh sistem
politik dan ekonomi yang ada. Asumsinya, terdapat struktur ekonomi dan sosial “makro”
yang membuat peluang dari masyakat miskin semakin sulit mengalami mobilitas sosial.
Ada dua model pembangunan yang selama ini menjadi perdebatan yakni, sektor formal
dan informal. Apakah konsep sektor informal dapat menjelaskan realitas sosial-ekonomi
pekerja miskin di kota yang berdampak terhadap dinamika kehidupan komunitas miskin
kota sebagai bagian dari warga negara yang setara dengan golongan menengah dan atas
lainnya. Para ahli telah mengkaji konsep informal berhadapan dengan konsep formal yang
banyak diacu untuk menjelaskan tentang ketimpangan dan kemiskinan masyarakat di
perkotaan.
Breman mengembangkan konsep sektor informal dengan membedakan pekerja
sektor informal menjadi tiga kelompok berdasarkan kondisi sosial-ekonomi tiap pekerja.
Pertama, kelompok pekerja yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki
ketrampilan. Kedua, kelompok buruh pada usaha kecil dan usaha sendiri tanpa modal atau
modal kecil. Ketiga, kelompok pekerja miskin yang kegiatannya cenderung melanggar
hukum atau mirip gelandangan, pemungut puntung rokok37
. Breman menarik kesimpulan
bahwa hubungan antara sektor informal dan sektor formal tidak bisa dilihat sebagai
dualitas dari dua sektor yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebagai hubungan
ketergantungan. Berbagai penelitian menunjukkan ketertinggalan dan ketidakberdayaan
sektor informal merupakan syarat bagi kemajuan sektor formal, sedang hubungan
keduanya menunjukkan subordinasi dan ketergantungan. Pada masa kolonial, ketimpangan
37
Breman, J. C., The Sector Informal in Research, Theory and Practice (Rotterdam:The
comparative Asian Study Programme, Erasmus University, 1980).
21
pertukaran terjadi menurut Breman, ketika surplus ekonomi dan kebutuhan dasar
subsistensi penduduk jajahan disedot ke negara induk penjajahnya. Bagi Breman yang ada
adalah suatu sektor kapitalis yang berhubungan erat dengan ekonomi internasional dan
sektor lain yang mengikuti cara-cara produksi pra kapitalis atau bukan kapitalis.
Komponen-komponen sektor ini saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan secara
berangsur-angsur kehilangan identitas dan otonominya, watak dan dinamikanya. Dengan
pandangan bahwa sektor informal ada berkat sektor formal, Breman menegaskan bahwa
ketertinggalan sektor informal hanya dapat diakhiri dengan perubahan radikal keseluruhan
sistem ekonomi38
. Breman mengkritisi sistem kapitalis tetapi tidak memberikan program
yang lebih praktis. Beberapa konsep sektor informal lain yang mirip konsep Breman
adalah konsep dari Friedman dan Sullivan yang membagi konsep informal ke dalam dua
kelompok yakni; (1) kelompok pengusaha kecil yang mirip dengan kelompok ke dua
Breman, dan (2) pekerja usaha sendiri atau buruh tidak tetap. Meski beberapa aspek secara
teoritis konsep informal dan formal bisa berguna menjelaskan soal kemiskinan di
Indonesia akan tetapi pendekatan dualisme yang membedakan pekerja ke dalam dua kotak
sektor formal dan informal secara biner tampaknya kurang sesuai dengan realitas.
Keanekaragaman kegiatan yang dicakup dalam sektor informal dapat menyesatkan apabila
hendak dipakai sebagai acuan dalam menangani permasalahan kemiskinan di perkotaan.
Perubahan masyarakat miskin kota perlu pendekatan yang komprehensif meliputi
tataran “makro” dan “mikro”. Selama ini memang belum ada pengalaman perubahan pada
tingkat makro yang cukup bisa menjelaskan dan menjadi solusi untuk memecahkan
persoalan kemiskinan di perkotaan. Secara historis, Indonesia pernah mengalami krisis
38
Ibid.
22
hebat, pada tahun 1929 sebagai dampak dari resesi ekonomi dunia, yang memberikan
pukulan hebat pada sistem pasar yang menjadi jantung dari ekonomi kapital masa itu.
Krisis moneter 1997 memberikan pukulan hebat pada sektor formal, dan justru sektor
informal yang kecil-kecil menjadi “penyelamat” dan yang mampu bertahan dari
guncangan. Dalam masa-masa sulit seperti ini seperti pendapat Breman, sektor informal
yang memberikan sumbangan dalam perkembangan ekonomi di saat sektor formal
bertumbangan.
Pengalaman historis ini memperkuat pendapat beberapa ahli ekonomi dunia seperti
Hernado de Soto, yang menyatakan bahwa sektor informal yang hampir semuanya berbasis
pada tingkat keluarga menunjukkan jumlah mereka hampir 80 % di seluruh dunia.
Artinya, sektor informal menjadi tonggak bagi ekonomi dunia, khususnya pada negara-
negara berkembang seperti Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Dengan kata lain, problem
kemiskinan perkotaan di banyak negara berkembang tidak mustahil berubah jika pada
level makro didukung oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang berpihak kepada
masyarakat kecil. Akan tetapi, paradigma dan konsep formal yang berkembang lebih
mengedepankan teori pembangunan model “trickle down effect” (menetes ke bawah)
warisan aliran Adam Smith, sangat sedikit konsep dan teori yang menggunakan
pendekatan “bottom up” yang partisipatif dan memberdayakan sebagai sebuah sejarah
sosial di Indonesia.
Faktor keagenan (agency) menjadi kunci dalam menciptakan perubahan-perubahan
sosial pada level mikro. Kajian kasus Code memperlihatkan bagaimana pendekatan multi
level baik pada level makro dan mikro menghasilkan sebuah perubahan yang nyata dari
kisah perjuangan kaum miskin kota yang menempati lahan wedi kengser (sempadan
23
sungai) yang melakukan negosiasi dengan pemerintah melalui proses panjang yang
melibatkan multi agensi seperti tokoh masyarakat lokal, mahasiswa, pekerja sosial, dan
intelektual yang memiliki jiwa altruis dan berempati bersama-sama melakukan perubahan
di berbagai level melalui pengorganisasian komunitas, membangun kohesi sosial, dan
mendorong perubahan kebijakan dalam pendekatan penanganan masalah komunitas miskin
kota yang hampir tidak memiliki akses untuk pelayanan kesehatan, pendidikan dan
perumahan yang layak39
.
Pendekatan terpadu yang sesuai dengan konteks lokal dapat memberikan perubahan
(perbaikan) kondisi kehidupan kaum miskin kota yang secara makro “ketiadaan akses” dan
dominasi budaya kemiskinan yang menjerat kaum miskin kota. Permukiman liar di
perkotaan pada tingkat makro dapat dipandang sebagai ketidakseimbangan antara
pertumbuhan permukiman “spontan” di berbagai bagian kota di satu pihak, dan usaha-
usaha untuk mengelola seluruh kota secara sistematis di pihak lain.
Kaum miskin kota di satu pihak tidak mampu membeli rumah melalui sektor formal
(real estate). Mereka hanya bisa mendapatkan perumahan melalui “sektor informal”.
Masyarakat yang relatif kaya dapat menyewa rumah di kawasan permukiman yang sah
seperti di kampung-kampung tua, sedangkan yang tidak cukup kaya hanya bisa membeli
atau menyewa sepetak rumah atau menduduki sepetak tanah tanpa izin siapapun, dan
membangun sebuah hunian di kawasan permukiman yang dianggap “liar”, atau “tidak
sah”, seperti yang terdapat disepanjang sungai atau jalur kereta api.
39
Darwis Khudori, Op. Cit., hlm. 126 - 134
24
Di pihak lain, pemerintah perlu memasukkan permukiman-permukiman ini ke
dalam pengelolaannya, sehingga pembangunan kota dapat mencapai tujuannya, yang
dianggap sebagai tujuan bersama seluruh warganegara. Maka dibuatlah kebijakan Rencana
Induk Kota (Master Plan) yang menata suatu kawasan kota, termasuk permukiman-
permukiman “spontan”. Sudut pandang ini, memandang permukiman-permukiman
“spontan” mendapatkan label sebagai “tidak terkendali”, “tidak terencana”, “tidak masuk
aturan” harus “dikendalikan”, “direncanakan”, “dikenai aturan” dengan yang disebut
sebagai peraturan zonasi40
.
Masalah permukiman di perkotaan merupakan potensi konflik sosial, ekonomi, dan
politik. Pengelolaan potensi ini tergantung dengan tindakan pemerintah. Kalau pemerintah
menerima dan mengakui kehadiran kaum miskin kota, tindakannya berupa “perbaikan”.
Jika pemerintah ragu-ragu maka tindakannya akan berupa pembiaran. Jika pemerintah
mengutamakan pertumbuhan ekonomi makan tindakannya akan berupa “pemindahan”
atau “penggusuran”. Paradigma permasalahan permukiman liar mengandung segi-segi
masalah struktural yang lengkap, baik “makro”, “mikro” maupun kaitan dari keduanya.
Oleh karenanya, proses institusionalisasi dan integrasi komunitas ke dalam sebuah
mekanisme formal yang sah, merupakan salah satu persoalan pokok dari perubahan
struktural41
.
40 Ibid. hlm 134-135. Kebijakan Perencanaan Tata Ruang Wilayah ( RTRW ) pada tingkat Propinsi
dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) sebagai payung hukum bagi pemerintah dalam melakukan penataan
peruntukan kawasan, sekaligus menyusun peraturan zonasinya, untuk memperjelas peruntukannnya. Lih. UU
No. 27 Tahun 2007 tentang penyusunan Rencana Tata Ruang. Dengan payung hukum ini maka pendudukan
atas tanah-tanah negara atau Sultan Ground secara normatif dapat dikelola dengan mekanisme insentif
maupun disinsentif.
41 Ibid. hlm 136
25
F. Metode dan Sumber
Sumber-sumber sejarah tentang kisah keseharian komunitas miskin kota yang
dalam tradisi penelitian sejarah dikategorikan sebagai orang yang tidak punya sejarah,
karena miskinnya tradisi tulis. Penggalian data-data primer menggunakan metode Oral
History dari komunitas miskin kota yang memiliki ingatan kolektif tentang sejarah
perkembangan komunitas Bong Suwung. Hasil dari oral history dikomparasikan sebagai
trianggulasi dengan sumber-sumber sekunder dari arsip, surat kabar, majalah, buku dan
terbitan ilmiah tentang komunitas miskin kota. Sumber-sumber sekunder lain yang dapat
digunakan adalah dokumen kebijakan yang mengatur tentang tata ruang kota, Undang-
Undang terkait dengan status hak kepemilikan tanah.
Mengenai data-data perubahan tata guna lahan di wilayah studi penulis
mengeksplorasi sumber-sumber Peta lama pada awal tahun 1930an dari dokumentasi
perpustakaan Sonobudoyo dan arsip daerah untuk mendapatkan gambaran perubahan-
perubahan kondisi keruangan dari tata guna lahan pada awal di kawasan Bong Suwung
dan perkembangan kampung-kampung sekitarnya. Potret perubahan keruangan ini
khususnya perubahan penggunaan lahan dari pekuburan menjadi permukiman memberikan
deskripsi persebaran bagi komunitas miskin kota dalam mendapatkan tempat tinggal dalam
hubungan dengan institusi pemilik tanah, kraton atau negara.
Pembacaan terhadap perkembangan sosial maupun spatial penulis menggunakan
beberapa konsep sosial, ekonomi, budaya dan spatial yang relevan terkait dengan sistem
sosial, mentalitas dan gerakan permukiman komunitas miskin kota di Yogyakarta.
26
Konsekwensinya, seperti disinyalir Peter Burke42
karena tema penelitian ini tentang sejarah
hidup orang biasa dengan proses jatuh bangunnya, eksplanasi berdasarkan periodisasi
sederhana. Oleh karena itu, untuk memudahkan analisa penulis membingkai
perkembangan komunitas Bong Suwung ini dalam periode perubahan masyarakat masa
pemerintahan rezim Orde Baru dan sesudahnya antara tahun 1970 – 2000an sebagai
kerangka waktu.
G. Sistematika Penulisan
Dalam historiografi Indonesia penulisan sejarah komunitas yang menulis tentang
keseharian orang-orang biasa adalah satu persoalan tersendiri dari gerakan pemikiran
pengembangan sejarah Indonesia masa kini. Urbanisasi masyarakat pedesaan ke kota-kota
menimbulkan kerumitan masalah baru terkait dengan kemiskinan, permukiman, kerawanan
sosial dan aspek politik keamanan. Komunitas miskin kota dalam masa pemerintah Orde
Baru menjadi „objek‟ kambing hitam sebagai „warga kelas dua‟ yang selalu jadi target
pembersihan karena dianggap mengancam „ketertiban dan kenyamanan‟ kota. Gambaran
konteks dan signifikansi permasalahan komunitas kaum miskin kota dalam perjuangan
menjadi bagian dari warga kota dengan mengembangkan komunitas Bong Suwung
merupakan strategi survival dengan melakukan pendudukan tanah-tanah kuburan Cina
yang masih kosong sebagai ruang tinggal yang berhadapan dengan pendekatan struktural
negara.
Bagian 2 menarasikan tentang konteks perkembangan dari awal terbentuknya
komunitas Bong Suwung dalam ruang Kota Yogyakarta dan relasinya dengan perubahan-
42
Peter Burke, History and Social Theory (USA: Polity Press, 2005), hlm. 16-20.
27
perubahan kebijakan penguasa terhadap komunitas mereka. Bagaimana mereka
memperoleh tempat tinggal di atas lahan-lahan terlantar terlantar dan belum terpakai
khususnya kawasan pinggir kali dan sepanjang rel kereta api di Yogyakarta, hingga
terbentuk perluasan kampung baru. Proses kampungisasi kelompok-kelompok miskin
dengan penggusuran dan penataan kawasan Bong Suwung secara fisik dan Operasi
Pemberantasan Keamanan, yang diikuti proses alih fungsi lahan dan institusionalisasi
kampung.
Bagian 3 mendiskusikan tentang perkembangan keseharian masyarakat Bong
Suwung dalam membangun sistem kehidupan yang tidak terakomodir dalam logika
formalitas. Peristiwa penggusuran dan kekerasan untuk menyingkirkan masyarakat Bong
Suwung merupakan ketidakmampuan negara dalam melindungi warganegara. Strategi
komunitas Bong Suwung dalam menghadapi absennya negara membentuk “informalitas
komunitas Bong Suwung” secara sosial-ekonomi, perilaku budaya dan siasat politik massa
rakyat miskin kota dalam berinteraksi dengan “formalitas” negara. Membaca dan menafsir
konstruksi realitas terkait dengan pandangan memarginalkan kelompok miskin kota
sehingga perlu “dikontrol, dan ditertibkan”, dinormalisasikan dalam perspektif struktural.
Bagian ini mendiskusikan tentang siasat yang dibangun oleh komunitas miskin kota dalam
berinteraksi dengan negara. Bagaimana komunitas Bong Suwung membangun interaksi
dengan aparat yang bertindak sebagai pelindung semu (pseudo protector) dalam praktik
sejarah keseharian. Hubungan ini ternyata tidak menjamin karena mereka setiap saat dapat
dirazia, digusur, dan „dibersihkan‟.
Bagian 4 mendiskukan tentang politik keseharian massa pinggiran. Bagaimana
masyarakat Bong Suwung mengembangkan siasat ekonomi dan siasat politik dalam
28
keseharian berhadapan „negara‟. Menegaskan kembali bagaimana mereka membangun
narasinya sendiri untuk membangun sistem kehidupan yang berada diluar normalitas
umum. Secara khusus bagian ini membincangkan ketidakhadiran negara dalam proses
keseharian masyarakat Bong Suwung.