31
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Uraian pertama epidemi penyakit ini ditulis pada tahun 1578 di Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bodet dan Gengou. 1 Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Bordetella pertussis, merupakan penyakit infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. 1-3 Orang yang tinggal di rumah yang sama dengan penderita pertusis lebih mungkin terjangkit. 2 Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kematian dan kesakitan pada anak terutama di negara berkembang. World Health Organization) WHO memperkirakan + 600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun. 1 Imunisasi amat mengurangi risiko terinfeksi, tetapi infeksi ulang dapat terjadi. Jika diderita bayi penyakit ini merupakan penyakit yang gawat dengan

BAB I Penyuluhan Pertusis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I Penyuluhan Pertusis

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,

dan di Cina disebut batuk seratus hari. Uraian pertama epidemi penyakit ini ditulis

pada tahun 1578 di Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun 1908 oleh

Bodet dan Gengou.1 Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

bakteri Bordetella pertussis, merupakan penyakit infeksi saluran napas akut yang

dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi

atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.1-3 Orang yang tinggal di

rumah yang sama dengan penderita pertusis lebih mungkin terjangkit.2

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kematian dan kesakitan pada

anak terutama di negara berkembang. World Health Organization) WHO

memperkirakan + 600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama

pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan

program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.1

Imunisasi amat mengurangi risiko terinfeksi, tetapi infeksi ulang dapat terjadi.

Jika diderita bayi penyakit ini merupakan penyakit yang gawat dengan kematian

15% sampai 30%. Pada anak-anak penyakit ini jarang menyebabkan kematian,

tetapi pengobatan terhadap penyakit ini sulit dan memakan waktu lama

(8 minggu) sehingga pengobatan terhadap pertusis memerlukan biaya yang cukup

tinggi.2

Di Amerika Serikat, sebanyak 71% kasus pertusis diderita oleh anak usia

kurang dari 5 tahun dan 38% pada usia kurang dari 6 bulan. Sebanyak 1,3% kasus

fatal pada bayi usia kurang dari 1 bulan dan 0,3% fatal pada bayi yang berumur 2

sampai 11 bulan.2

Data yang diambil dari profil kesehatan Jawa Barat 1993, jumlah kasus

pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,2%,

menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 4.970 kasus dengan CFR 0%, kemudian

menurun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992.1

1

1

Page 2: BAB I Penyuluhan Pertusis

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk melakukan penyuluhan kepada

masyarakat mengenai penyakit pertusis pada anak. Diharapkan melalui

penyuluhan dan makalah ini, orang tua dapat mengerti dan memahami hal-hal

mengenai penyakit pertusis dan pencegahanya pada anak masing-masing.

1.2.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari makalah ini adalah untuk melakukan penyuluhan ini agar

masyarakat :

1. Mengetahui penyebab penyakit pertusis.

2. Mengerti dan memahami cara penularan penyakit pertusis.

3. Mengerti dan memahami tanda dan gejala penyakit pertusis.

4. Mengerti dan memahami pencegahan penularan penyakit pertusis.

2

Page 3: BAB I Penyuluhan Pertusis

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Pertusis

Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif. Disebut

juga whooping cough karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri

dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi,

karena pasien berupaya keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk

sering disertai bunyi yang khas. Nama pertusis lebih disukai daripada whooping

cough karena tidak semua pasien pertusis disertai bunyi yang khas. Pertusis

merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Bordetella pertussis. 1

2.2 Etiologi Penyakit Pertusis

Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B.pertusis, B.parapertusis,

B.bronkiseptika, dan B.avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis dan

perlu dibedakan denga sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordetella

parapertusis dan adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5).

Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid,

ukuran panjang 0,5 µm sampai 1 µm dan dimeter 0,2 µm sampai 0,3 µm, tidak

bergerak, tidak berspora, tumbuh pada suhu kamar, aerob obligat, segera mati di

luar saluran nafas. Dengan pewarnaan toluidin biru, dapat terlihat granula bipoler

metakromatikdan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B.pertusis,

diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato-blood-

glycerol agar) yang ditambah Penisilin G 0,5 µg/ml untuk menghambat

pertumbuhan organisme lain.1,4

3

3

Page 4: BAB I Penyuluhan Pertusis

Gambar 1. Bordetella pertussis

Spesies Bordetella memiliki tingkat homologi DNA (Deoxynucleic acid)

yang tinggi pada gen virulen. Hanya B.pertussis yang mengeluarkan toksin

pertusis (TP), protein virulen utama. Penggolongan serologis tergantung pada

aglutinogen K labil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 spesifik untuk B.pertussis.

B.pertussis mengahasilkan beberapa bahan aktif secara biologis yang

berperan dalam penyakit dan imunitas. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP

(toksin pertusis) tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea,

faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase menyebabkan cedera epitel lokal yang

menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP.

Toksin pertusis terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis, misalnya

sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit. Toksin pertusis

menyebabkan limfositosis segera pada hewan coba. Toksin pertusis tampak

memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis.

Batuk paroksismal yang mirip pertusis, namun lebih ringan, dari Pertusis

disebabkan B. parapertussis, Chlamydia trachomatis, enterovirus, virus sinsitial

respiratori, dan beberapa jenis Adenovirus. 5

2.3 Faktor Risiko Penyakit Pertusis

Siapa saja berisiko terkena pertusis. Orang yang tinggal serumah dengan penderita

pertusis lebih mungkin terjangkit. Bayi prematur, pasien yang menderita penyakit

jantung, paru-paru, otot atau neuromuscular berisiko tinggi menderita pertusis dan

komplikasinya.2

2.4 Epidemiologi

4

Page 5: BAB I Penyuluhan Pertusis

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80% sampai 100% pada penduduk yang rentan. Sampai

saat ini manusia merupakan satu-satunya host. Pertusis dapat ditularkan melalui

udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.

Pertusis adalah penyakit endemik. Di Amerika Serikat antara tahun 1932

sampai tahun 1989 telah terjadi 1.188 kali puncak epidemi pertusis. Penyebaran

penyakit ini terdapat di seluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur,

yang terbanyak adalah anak umur di bawah 1 tahun. Makin muda usianya makin

berbahaya penyakitnya, lebih sering menyerang anak perempuan daripada laki-

laki. Di Amerika Serikat + 35% penyakit terjadi pada usia kurang dari 6 bulan,

termasuk bayi yang berumur 3 bulan. Sekitar 45% penyakit terjadi pada usia

kurang dari 1 tahun dan 66% pada usia kurang dari 5 tahun. Kematian dan jumlah

kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan.

Antibodi dari ibu (transplansenta) selama kehamilan tidak cukup untuk

mencegah pertusis pada bayi baru lahir. Pertusis yang berat pada neonatus dapat

ditularkan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian sangat menurun

setelah diketahui bahwa dengan pengobatan Eritromisin dapat menurunkan

tingkat penularan pertusis, karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari

pengobatan.1

2.5 Patogenesis

Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Pertusis paling

mudah menular pada stadium kataral, bisa menular selama 3 minggu, atau sebelm

5 hari pengobatan dengan Eritromisin.1,2

Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis

infeksi terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap

mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit

sistemik.

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/

pertusis toxin (PT) dan protein 69 Kd berperan dalam perlekatan B.pertussis pada

5

Page 6: BAB I Penyuluhan Pertusis

silia. Setelah terjadi perlekatan, B.pertusis kemudian bermultiplikasi dan

menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernapasan. Proses ini tidak

invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakterimia. Selama

pertumbuhan B.pertussis akan dihasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit

yang dikenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat

menyebabkan penyakit adalah pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2

subunit, yaitu A dan B. Toksin subunit B selanjutnya berikatan dengan reseptor

sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi

membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah

infeksi.

Toxin mediated adenosine diphosphate mempunyai efek mengatur sintesis

protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi

fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),

meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta

adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan

konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan

limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia, maka

fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder

(tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, dan Staphylococcus

aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan

obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan

pertukaran oksigen saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah

akibat pengaruh langsung toksin atau sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi

perubahan fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami

regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik

terhadap proses penyakit.

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan

kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan

iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,

6

Page 7: BAB I Penyuluhan Pertusis

menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis

lipopolysaccharide (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis

penyakit ini. Kadang-kadang B.pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan

karena tidak menghasilkan toksin pertusis.1

2.6 Gambaran Klinis Penyakit Pertusis

Perjalanan klinis pertusis dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium

kataralis (prodromal, preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal,

spasmodik), dan stadium konvalesens. Manivestasi klinis tergantung dari etiologi

spesifik, umur, dan status imunisasi. Gejala pada anak usia kurang dari 2 tahun

terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Gejala pertusis pada anak usia kurang dari 2 tahun

Batuk paroksismal 100%

Whoops 60-70%

Emesis 66-80%

Dispnea 70-80%

Kejang 20-25%

Pada anak yang lebih besar, manivestasi klinis tersebut lebih ringan dan

lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak kurang dari 2 tahun. Suhu jarang

lebih dari 38,4oC pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan

B.parapertussis atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada B.pertussis dan juga

lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini.1

2.6.1. Stadium Kataral (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya

rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,

7

Page 8: BAB I Penyuluhan Pertusis

lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya

diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan

common cold.

Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet

dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi.1

2.6.2. Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu)

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5 sampai

10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang

mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop) akibat udara yang

dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang

lebih muda, serangan batuk hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar.

Selama serangan, muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,

lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah

(terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai

mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal

cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita

pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat

badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stres emosional (menangis,

sedih, gembira) dan aktivitas fisik.

Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun bayi

tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal terjadi pada

pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak bersuara whoop,

hanya ada batuk ngikil yang bertahan lama. Anak yang sudah divaksinasi lengkap

masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang lebih ringan, tetapi bisa

menular.1

8

Page 9: BAB I Penyuluhan Pertusis

Gambar 2. Batuk paroksismal pada pertusis

2.6.3. Stadium Konvalesen / Penyembuhan (1 sampai 2 minggu)

Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan

puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya

masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 sampai

3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali.

Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan

dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.1

2.7 Diagnosis Penyakit Pertusis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

2.7.1 Anamnesis

Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien

pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas.

Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Gejala klinis yang didapat dari pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat

pasien diperiksa.

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

9

Page 10: BAB I Penyuluhan Pertusis

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 sampai 50.000/ UI

dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium

paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis karena

respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.

Gambar 3.Limfositosis pada pertusis

Isolasi B.pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis

pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95% sampai 100%, stadium

paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu

berikutnya.

Tes serologi terhadap antibodi toksin pertusis berguna pada stadium lanjut

penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan

negatif. ELISA (Enzime Linked Immuno Assay) dapat dipakai untuk menentukan

serum IgM (Immuno globulin M), IgG (Immuno globulin G), dan IgA (Immuno

globulin A) terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan

respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit maupun vaksinasi. Immuno

globulin G toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk

mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.

Pemeriksaa lain yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,

atelektasis, atau emfisema.1

2.8 Diagnosis Banding Penyakit Pertusis

10

Page 11: BAB I Penyuluhan Pertusis

1. Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis (disebabkan oleh

Respiratory Syncitial Virus, pada bayi kurang dari 6 bulan), pneumonia

bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis, dan penyakit lain yang menyebabkan

limfadenopati dengan penekanan di luar trakea dan bronkus.

2. Asma.

3. Obstruksi benda asing di trakea (biasanya gejalanya mendadak dan dapat

dibedakan dengan pemeriksaan radiologik dan endoskopi).

4. Infeksi B.parapertussis, B.bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai

sindrom klinis B.pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab.

5. Lukemia akut (reaksi lukomoid).

2.9 Komplikasi Penyakit Pertusis

Komplikasi pertusis utama adalah apnea, infeksi sekunder (otitis media dan

pneumonia), dan sekuele fisik batuk kuat. Kebutuhan untuk perawatan intensif

dan ventilasi artifisial biasanya terbatas pada bayi kurang dari 36 bulan. Apnea,

sianosis, dan pneumonia bakteri sekunder mempercepat kebutuhan intubasi dan

ventilasi.5 Pneumonia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai,

menyebabkan 90% kematian pada anak kurang dari 3 tahun. Pneumonia dapat

diakibatkan oleh B.pertussis, tetapi lebih sering diakibatkan oleh infeksi sekunder

(H.influenzae, S.pneumoniae, S.aureus, S.pyogenes). Tuberkulosis laten dapat

juga menjadi aktif. Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mukus yang

kental. Aspirasi mukus atau muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas tinggi

merupakan tanda infeksi sekunder oleh bakteri.1

Kenaikan tekanan intratoraks dan intraabdomen selama batuk dapat

menyebabkan perdarahan konjungtiva dan sklera, ptekie pada bagian tubuh atas,

epistaksis, perdarahan pada sistem saraf sentral dan retina, pneumotoraks dan

emfisema subkutan, dan hernia umbilikaslis serta inguinalis. Luka robek frenulum

lidah tidak jarang.5

11

Page 12: BAB I Penyuluhan Pertusis

Gambar 4. Perdarahan konjungtiva dan prolaps rektum

Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis,

hiponatremia sekunder terhadap SIADH (syndrome of inapproriate diuretic

hormon) juga dapat terjadi. Kejang tetanik mungkin dihubungan dengan alkalosis

yang disebabkan oleh muntah persisten. Peneliti Inggris melaporkan di antara

2.295 kasus didapatkan penyulit pada tabel 2.1

Tabel 2. Penyulit pertusis1

Berat badan menurun 16,8%

Bronkitis akut 9,8%

Atelektasis 0,3%

Bronkopneumonia 0,88%

Apnea 1,1%

Kejang 0,6%

Otitis media 7,5%

2.10 Pengobatan Penyakit Pertusis

Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal. Eritromisin

(50 mg/kgBB/hari) atau Ampisilin (100 mg/kgBB/hari) dapat mengeliminasi

organisme dari nasofaring dalam 3 sampai 4 hari. Terapi suportif terutama untuk

menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi, dan

nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan pada distress pernapasan yang akut dan

kronik. Perlu penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan

distress pernapasan. Efek betametasol dan salbutamol tidak berbeda bermakna

dibandingkan dengan plasebo. Eritromisin dapat mengeliminasi pertusis bila

12

Page 13: BAB I Penyuluhan Pertusis

diberikan pada pasien stadium kataral sehingga memperpendek periode

penularan.1

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian imunoglobulin pertusis telah

pada anak kurang dari 2 tahun (1,25 ml/24 jam dalam 3 sampai 5 dosis) tidak

bermakna, oleh karena itu tidak direkomendasikan.1

2.11 Pencegahan

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak

laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis

dengan adanya program imunisasi. Pada tahun 1926 sampai tahun 1930 (era

sebelum imunisasi) di Amerika Serikat dan Inggris terdapat sebanyak 36.013

kematian yang disebabkan pertusis dan setelah era imunisasi berjalan terdapat 26

kematian yang disebabkan pertusis (tahun 1986 sampai tahun 1988). Melalui PPI

(Program Pengembangan Imunisasi), Indonesia telah melaksanakan imunisasi

pertusis dengan vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus). Pencegahan dapat

dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.1

2.11.1. Imunisasi Pasif

Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin. Namun

berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-

akhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan untuk pencegahan.1

2.11.2. Imunisasi Aktif

Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan untuk

mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan

vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU (International

Unit) dan diberikan 3x sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika

prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada

umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak umur lebih dari 7 tahun tidak lagi

memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena

proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang

13

Page 14: BAB I Penyuluhan Pertusis

lebih besar biasanya ringan, tetapi dapat menjadi sumber penularan infeksi

pertusis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml/ im) telah

dipakai untuk mengontrol epidemi di antara orang dewasa yang terpapar.1

Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan

antikonvulsan setiap 4 sampai 6 jam selama 48 sampai 72 jam. Anak dengan

kelainan neurologik dengan riwayat kejang 7,2x lebih mudah terjadi kejang

setelah imunisasi DTP dan 4,5x lebih tinggi bila hanya mempunyai iwayat kejang

dalam keluarga. Maka pada keadaan anak yang demikian hanya diberikan

imunisasi DT (Difteri Tetanus).1

Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami

ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa

demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry

dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, demam lebih dari

40,5oC selama 2 hari yang tidak dapat diterangkan penyebabnya.1

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu

dengan pertusis. Kontak erat pada anak usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya

telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster dan Eritromisin

50 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 4 dosis selama 14 hari. Booster tidak perlu

diberikan bila telah diberi imunisasi dalam 6 bulan terakhir. Kontak erat pada usia

lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis.1

Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran

infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien

pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin selama

14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya

eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat

eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan eritromisin diberikan

waktu terjadi epidemi.1

14

Page 15: BAB I Penyuluhan Pertusis

a. Vaksin Seluruh Sel

Vaksin yang sekarang digunakan untuk seri imunisasi primer di AS (Amerika

Serikat) dan dianjurkan oleh WHO untuk penggunaan seluruh bagian terbesar

dunia adalah vaksin seluruh sel mati yang membentuk suspensi B.pertusis yang

diinaktifkan, digabung dengan toksoid difteri dan tetanus (DT) dan tambahan

berisi aluminium (vaksin DPT). Kekuatan vaksin pertusis di-assay dalam tikus

dengan uji proteksi-tantangn intraserebral, suatu standard yang terbukti

berkorelasi dengan kemajuan protektif vaksin pada manusia. Kekuatan vaksin

diwujudkan pada unit kekeruhan (juga standard keamanan) atau unit protektif

preparat AS berisi 4 sampai 12 unit protektif dan tidak lebih dari 16 unti

kekeruhan per 0,5 ml dosis. Kemanjuran vaksin sel utuh bervariasi menurut

definisi kasus dari 64% untuk batuk ringan, sampai 81% untuk batuk paroksismal,

dan sampai 95% untuk penyakit klinis berat. Komposisi preparat yang digunakan,

tingkat kecocokan antara tipe-tipe aglutinogen dalam vaksin dan strain tantangan,

tipe pajanan, waktu sesudah imunisasi dan kebutuhan untuk konfirmasi biakan

kasus semua berdampak pada perkiraan kemajuan vaksin. Individu lebih dari

7 tahun tidak secara rutin diberi vaksin berisi pertusis. Bila digunakan pada orang

dewasa untuk mengendalikan ledakan serangan rumah sakit, vaksin seluruh sel

ternyata kurang reaktogenik daripada yang dilaporkan pada anak.5

Keterbatasan utama penggunaan vaksin seluruh sel adalah reaktogenisitas

terkaitnya, yang dilaporkan 1 dekade yang lalu terjadi pada 75% vaksin.

Dibanding dengan vaksin DT, DTP mempunyai reaksi lokal yang lebih bermakna

seperti nyeri, pembengkakan, eritema, dan reaksi sitemik seperti demam, rewel,

menangis, mengantuk, dan muntah. Manivestasi ini terjadi dalam beberapa jam

setelah imunisasi dan berkurang secara spontan tanpa sekuele. Penelitian baru-

baru ini melaporkan frekuensi reaksi lokal da sistemik yang lazim menurun,

memberi kesan bahwa modifikasi vaksin seluruh sel telah terjadi. Anafilaksis

berat atau abses steril sangat jarang paska vaksin DTP. Urtikaria sementara jarang,

mungkin terkait dengan kompleks antigen-anti bodi dalam sirkulasi, dan jika

reaksi tidak terjadi dalam beberapa menit imunisasi adalah tidak mungkin menjadi

15

Page 16: BAB I Penyuluhan Pertusis

reaksi serius yang diperantarai IgE (Immunoglobulin E), atau kumat pada

imunisasi berikutnya.5

Kejang-kejang terjadi dalam 48 jam dari sekitar 1:1.750 dosis yang

diberikan, singkat, menyeluruh dan sembuh sendiri, terjadi pada anak demam

pada hampir semua keadaan. Terjadi lebih lazim pada mereka dengan riwayat

pribadi atau keluarga konvulsi dan tidak berakibat epilepsi atau sekuele neurologis

permanen. Menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur atau berteriak selama

3 jam/lebih dilaporkan sesudah diberikan 1% dosis, biasanya pada bayi muda

yang menderita reaksi lokal, tidak aneh pada imunisasi pertusis dan tampak

merupakan manivestasi nyeri pada banyak keadaan. Keadaan kolaps (episode

hipotonik-hipertonik) biasanya tidak terkait dengan demam atau reaksi lokal, telah

diamati sesudah 1:1.750 vaksinasi pertusis, biasanya pada bayi muda. Reaksi ini

tampak terkait secara unik dengan vaksin pertusis dan tidak mempunyai sekuele

neurologis permanen. Sebanyak 60 anak dievaluasi secara teliti segera pasca

kejadian-kejadian yang merugikan akibat vaksin pertusis termasuk kejang-kejang,

menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur, demam sangat tinggi, dan

hipotonik-hiporesponsif. Sebanyak 90% kejang adalah khas kejang demam. Tidak

ada kekacauan metabolik atau toksin pertusis yang dapat diukur ditemukan dalam

darah. Bayi umur kurang dari 1 tahun cenderung mempunyai kadar insulin lebih

tinggi daripada yang diharapkan memberi kesan kemungkinan kerentanan terkait

umur individu atau perubahan akibat vaksin dalam pengaturan insulin.5

Amat jarang (dengan dosis 1:140.000) vaksin pertusis dapat dihubungkan

dengan penyakit neurologis akut yang sebelumnya normal. Kejadian berat yang

merugikan seperti kematian, ensefalopati, mulai gangguan kejang, perkembangan

lambat, atau masalah belajar atau perilaku telah terjadi pada individu yang

berkaitan secara temporal dengan imunisasi pertusis atau diduga keras ada

hubungan sebab akibat. Lima penelitian epidemiologi utama telah memeriksa

risiko neurologis akibat imunisasi pertusis. Kematian bayi mendadak (sudden

infant death) dan spasme infantil ditemukan tidak terkait sementara atau tidak

terkait sebab akibat. Analisis dan reanalisis oleh 7 komisi besar tidak

mendapatkan informasi yang cukup untuk mendapatkan hubungan sebab akibat

16

Page 17: BAB I Penyuluhan Pertusis

antara DTP dan gangguan neurologis kronik. Pertimbangan manfaat lawan risiko

vaksin seluruh sel telah berulang-ulang menyimpulkan setuju penggunaannya.5

b. Vaksin Aseluler

Komponen vaksin pertusis aseluler yang dimurnikan (AP), pada mulanya

berkembang di Jepang adalah imunogenik dan disertai dengan kejadian kurang

merugikan bila dibandingkan dengan DTP. Vaksin yang disediakan oleh 6 pabrik

telah digunakan secara luas di Jepang sejak tahun 1981, dan penggunaannya telah

mengendalikan pertusis. Trial kemanjuran kendali-plasebo, acak (tetapi bukan

kendali DTP) 2 vaksin pertusis aseluler (dikembangkan oleh institut kesehatan

Jepang dan dilakukan di Swedia selama tahun 1986-1987 di bawah sponsor AS)

menunjukkan kemanjuran vaksin aseluler ini sedikit kurang dibandingkan secara

historis dengan vaksin pertusis seluruh sel yang digunakan di AS. Reaktogenisitas

vaksin aseluler yang lebih rendah dan imunogenisitas yang baik pada anak AS

yang baru belajar jalan, digabung dengan bukti kemanjuran pada pemajanan-

rumah tangga dan penelitian berdasar populasi dari Jepang, menyebabkan

keluarnya lisensi AS (tahun 1991 sampai 1992) pada DTAP untuk penggunaan

pada anak umur lebih dari/ sama dengan15 bulan sebagai dosis ke-4 dan/ atau

ke-5 seri DTP yang dianjurkan. Vaksin ini ditoleransi dengan baik, dan

penggunaannya disertai dengan sedikit reaksi lokal yang lazim dan gejala-gejala

sistemik, demam dan kejang demam.5

2.12 Prognosis

Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik.

Pada bayi risiko kematian 0,5-1% disebabkan ensefalopati. Pada observasi jangka

panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual di kemudian

hari.1

BAB 3

17

Page 18: BAB I Penyuluhan Pertusis

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri B.pertussis.

Pertusis disebut juga batuk rejan atau whooping cough karena pasien batuk 5

sampai 10x batuk tanpa berhenti dan berupaya keras untuk menarik napas

sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas (whoop). Pertusis

ditularkan melalui aerosol batuk atau bersin dari penderita pertusis. Tanpa

pengobatan, penderita pertusis dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain

mulai awal batuk sampai berminggu-minggu kemudian hingga batuk berhenti,

namun dapat menjadi tidak infeksius setelah 5 hari pengobatan dengan

eritromisin. Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Stadium

klinis pertusis terdiri dari stadium katar yang ditandai dengan gejala seperti

infeksi saluran pernapasan, stadium paroksismal yang ditandai dengan batuk berat

5 sampai 10x batuk tanpa henti dan diakhiri dengan suara khas (whoop) dan/ atau

muntah, dan stadium konvalesens ditandai dengan batuk berkurang dan tidak

muntah lagi. Penegakan diagnosis berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang

(limfositosis dan biakan bakteri B.pertussis). Eritromisin 50 mg/kgBB/hari dalam

2 sampai 4 dosis dapat membasmi basil dalam 3 sampai 4 hari, namun tidak

meringankan stadium paroksismal penyakit. Terapi suportif diberikan terutama

untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi

dan nutrisi, bila perlu beri oksigen dan pengisapan lendir pada bayi. Komplikasi

pertusis terutama pada sistem pernapasan (apnea dan pneumonia) dan saraf pusat

(ensefalopati dan kejang). Prognosisnya lebih baik pada anak usia lebih tua.

Siapa saja dapat terkena pertusis, terutama bayi muda dan anak yang lebih

tua. Infeksi pada bayi lebih serius dan dapat menimbulkan kematian. Imunisasi

yang diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan efektif untuk mencegah infeksi yang

berat, namun tidak memberikan kekebalan yang permanen. Oleh karena itu, perlu

diberikan booster dan profilaksis eritromisin pada anak usia kurang dari 7 tahun

yang kontak erat dengan penderita pertusis. Efek samping vaksinasi pertusis

18

18

Page 19: BAB I Penyuluhan Pertusis

adalah demam tinggi, nyeri lokal, dan rewel. Kontraindikasi pemberian vaksin

pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi,

kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi,

menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif

hiporesponsif ndalam 2 hari, demam lebih dari 40,5oC selama 2 hari yang tidak

dapat diterangkan penyebabnya. Pemberian vaksin pertusis aseluler memberi efek

samping lebih ringan, namun efek protektifnya lebih rendah dibandingkan

dengan vaksin pertusis sel penuh.

3.2. Saran

Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan pemberian

vaksin DTP pada usia 2, 4, dan 6 bulan sesuai dengan Program Pengembangan

Imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat. Vaksin booster dianjurkan pada

usia 4 tahun dan 15 tahun karena imunisasi dasar pertusis tidak memberi

kekebalan permanen. Selain itu bila ada kontak erat dengan penderita pertusis

perlu diberikan profilaksis eritromisin dan isolirkan penderita, jika tidak mungkin

memutus kontak, maka perlu diberi eritromisin profilaksis hingga batuk berhenti.

DAFTAR PUSTAKA

19

Page 20: BAB I Penyuluhan Pertusis

1. Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis.

Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai

penerbit IDAI. hal.331-336.

2. News Health. 2008. Pertusis (Batuk Rejan). Diunduh dari:

http:www.mhcs.heatlh.nws.gov.au.pdf. [diakses tanggal 20 Agustus 2010]

3. Pertusis (Batuk Rejan). Diunduh dari: http://digilib.unnes.ac.id.pdf.

[diakses tanggal 20 Agustus 2010]

4. Brooks, GF., Butel, JS., Ornston, LN. 1996. Bordetella. Dalam:

Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. hal 268-270.

5. Long, SS. 2000. Pertusis. Dalam: Wahab AS (Editor). Ilmun Kesehatan

Anak Nelson Volume 2 Edisi 15. Jakarta: EGC. hal.960-965.

20

20