Upload
wahyuwulan-nna-part-iv
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Tingkat Pendidikan
2.1.1 Pengertian Pendidikan
Dalam kamus bahasa indonesia pendidikan berasal dari kata
dasar didik (mendidik) yaitu: memelihara dan memberi latihan
(ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian: proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan,
proses pembuatan, dan cara mendidik. Ki Hajar Dewantara
mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan
budi pekerti, pikiran serta jasmani agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan manusia yang
selaras dengan alam dan masyarakatnya. Tujuan pendidikan yaitu:
(1) Mengubah pengetahuan atau pengertian, pendapat dan konsep-
konsep (2) Mengubah sikap dan persepsi (3) Menanamkan tingkah
laku atau kebiasaan yang baru (Notoatmojo, 2007).
Di indonesia terdapat pendidikan formal dan non formal
dimana fungsi pendidikan tersebut adalah membuat manusia bisa
dalam 3 aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kognitif
berkaitan dengan wawasan dan pengetahuan atau pemahaman
terhadap suatu masalah, afektif terkait dengan sikap dan
pandangan terhasap suatu masalah, sedangkan psikomotorik
terkait dengan aspek perilaku atau perbuatan terhadap suatu
masalah.
Ijazah tertinggi yang dimiliki pendudukan merupakan
indikator pokok kualitas pendidikan formal. Semakin tinggi ijazah
yang dimiliki oleh rata-rata penduduk suatu negara mencerminkan
semakin tingginya taraf intelektualitas bangsa dari negara
tersebut.
2.1.2 Tujuan Pendidikan
Berdasarkan Tap.MPR No.II/MPR/1993, tentang GBHN
dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,
keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian dan memepertinggi semangat kebangsaan agar
tumbuh manusia-manusia pembangun yang dapat membangun
dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas empat
yaitu: (1) tujuan umum pendidikan nasional yaitu untuk
membentuk manusia pancasila (2) tujuan institusional yaitu tujuan
yaang menjadi tugas dari lembaga pendidikan tertentu untuk
mencapainya (3) tujuan kurikuler yaitu tujuan bidang studi atau
mata pelajaran (4) tujuan intruksional yaitu tujuan materi
kurikulum yang berupa bidang studi terdiri dari pokok bahasan
dan sub pokok bahasan, terdiri atas tujuan intruksional umum dan
tujuan intruksional khusu (Tirtarahardja, 1994).
2.1.3 Ruang Lingkup Pendidikan
Pada hakekatnya pendidikan merupakan proses yang
berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan didalam lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu pendidikan
adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan
pemerintah. Pendidikan menurut pelaksanaannya dibagi menjadai
pendidikan formal/sekolah dan pendidikan non formal/luar sekolah.
Pembagian pendidikan tersebut sebagai berikut: (1) pendidikan
informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dirumah
dalam lingkungan keluarga (2) pendidikan formal adalah
pendidikan yang mempunyai bentuk atau organisasi tertentu (3)
pendidikan non formal.
Menurut Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 2 tahun
1989 pasal 10) mengemukakan bahwa pendidikan terbagi atas: (1)
pendidikan persekolahan yang mencakup terbagi jenjang
pendidikan dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai perguruan
tinggi (2) pendidikan luar sekolah terbagi atas (a) pendidikan non
formal. Mencakup lembaga pendidikan diluar sekolah, misalnya
kursus, seminar, kejar paket A (b) pendidikan informal. Mencakup
pendidikan keluarga, masyarakat dan program-program sekolah,
misalnya ceramah di radio atau di televisi dan informasi yang
mendidik dalam surat kabar atau majalah. Pendidikan formal yang
sering disebut pendidikan persekolahan, beruba rangkainan
jenjang pendidikan yang telah baku mulai jenjang sekolah dasar
sampai perguruan tinggi (Tirtaraharja, 1994, dalam Putri, 2011).
Ciri-ciri pendidikan formal yaitu: (1) adanya perjenjangan (2)
program untuk mengajar di sekolah juga formal (3) cara atau
metode mengajar di sekolah juga formal (4) penerimaan murid (5)
homogenitas murid (6) jangka waktu (7) kewajiban belajar (8)
penyelenggaraan (9) waktu belajar (10) uniformitas. Dari uraian
diatas jenjang persekolahan atau tingkat-tingkat yang ada pada
pendidikan formal dimengerti bahwa pendidikan merupakan
proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu setiap jenjang atau
tingkat pendidikan itu harus dilaksanakan secara tertib, dalam arti
tidak bisa terbalik penempatannya. Setiap jenjang atau tingkatan
mempunyai tujuan dan meteri pelajaran yang berbeda. Perbedaan
luas dan kedalaman materi ajaran tersebut jelas akan membawa
pengaruh terhadap kualitas lulusannya, baik ditinjau dari segi
pengetahuan, kemampuan, sikap, maupun kepribadiannya. Jadi
dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan formal adalah sebagaimana yang terjadi di sekolah,
yang diselanggarakan secara teratur, sistematis dan mengikuti
berbagai syarat dan peraturan yang di tentukan oleh pemerintah.
2.1.4 Jenjang Pendidikan
1. Pendidikan dasar
Pendidikan dasar memberikan bekal dasar yang
diperlukan untuk hidup dalam masyarakat berupa
pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan
dasar. Pendidikan dasar pada prinsipnya merupakan
pendidikan yang memberikan bekal dasar bagaimana
kehidupan, baik untuk pribadi maupun masyarakat.
2. Pendidikan menengah
Pendidikan menengah yang lamanya 3 tahun sesudah
pendidikan dasar diselengarakan di SLTA atau satuan
pendidikan yan gsedrajat. Pendidikan menengan dalam
hubungan kebawah berfungsi sebagai lanjutan dan
perluasan dasar dan dalam hubungan keatas
mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan
tinggi maupun memasuki lapangan kerja. Pendidikan
menengah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan
kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan,
serta pendidikan keagamaan.
3. Pendidikan tinggi
Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan
menengah yang diselenggarakan, untuk menyiapkan
perserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademikatau profesional yang dapat
menerapkan, mengembangkan, atau menciptakan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kesenian. Satuan pendidikan
yang menyelenggarakan pendidikan tinggi tersebut
perguruan tinggi yang berbentuk akademik, politeknik,
sekolah tinggi, institut atau universitas (Tirtarahardja,
1994, dalam Putri, 2011). Tingkat pendidikan akan
mengubah sikap dan cara berpikir ke arah yang lebih
baik, dan juga tingkat kesadaran yang tinggi akan
memberikan kesadaran lebih tinggi berwarga negara
serta memudahkan bagi pengembangan.
2.1.5 Segi Pendidikan
Pembagian segi-segi pendidikan menurut M. Purwanto,
(2001), adalah sebagai berikut: (1) pendidikan jasmani ini bukan
merupakan badan tetapi merupakan pendidikan yang erat
kaitannya pada pertumbuhan dan kesehatan (2) pendidikan rohani
meliputi: (a) pendidikan kecakapan merupakan pendidikan yang
bertujuan untuk mengembangkan daya pikir dan menambah
pengetahuan (b) pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang
bertujuan untuk membiasakan taat dan patuh menjalankan ibadah
dan bertingkah laku sesuai dengan masing-masing agama (c)
pendidikan kesusilaan, tujuan dari pendidikan ini tidak hanya
mendidik agar bertingkah laku secara sopan, lemah lembut, taat
dan brbakti kepada orang tua (d) pendidikan keindahan ini
bertujuan supaya dapat merasakan dan selalu ingin bertindak sert
berbuat norma-norma keindahan (e) pendidikan kemasyarakatan
tujuan pendidikan ini adalah: (1) menjadikan agar tahu akan ahak
dan kewajiban terhadap bermacam-macam golongan di masyarakat
(2) membiasakan berbuat dan mematuhi semua tugas dan
kewajiban sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan bekal tingkat
pendidikan yang cukup dan memadai diharapkan akan
memperbesar produktivitas kerja.
2.2 Konsep Pelatihan
2.2.1 Pengertian Pelatihan
Pelatihan merupakan proses secara sistematik bagi individu
untuk mendapatkan dan mengembangkan keterampilan dan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk kinerja yang lebih baik, Baron
dan Greenberg, 2000. Sedangkan menurut Bernardin, 2003
menyatkan bahwa pelatihan merupakan upaya untuk
mengembangkan kinerja staf dalam pekerjaanya atau yang
berhubungan dengan pekerjaannya. Menurut Geoge dan Jones,
2002, menyatkan bahwa pelatihan memiliki makna sfektif untuk
meningkatkan kemampuan karyawannya.
Pelatihan merupakan bagian pendidikan yang menyangkut
proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan
di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam relatif singkat.
Keterampilan yang dimaksud dalam hal ini adalah keterampilan
dalam berbagai bentuk antara lain physical skill, intelectual skill,
social skill, dan managerial skill (Rivai & Sagala, 2009). Pelatihan
juga merupakan teknik yang dipilih untuk meningkatkan kualitas,
efisiensi, dan kinerja staf. Marquis & Huston (2006)
mendefinisikan pelatihan sebagai metode yang terorganisir untuk
memastikan bahwa individu memiliki pengetahuan dan
keterampilan tertentu dan mereka memperoleh pengetahuan yang
baik mengenai kewajiaban dalam pekerjaannya. Pengetahuan
tersebut dapat meningkatkan kemampuan afektif, motor dan
kognitif sehingga akan memperoleh suatu peningkatan
produktifitas atau hasil yang baik.
Baron & Greenberg (2000) menyatakan bahwa pelatihan
digunakan untuk menyiapkan karyawan baru menghadapi
tantangan dalam pekerjaannya. Pelatihan juga dapat meningkatkan
keterampilan karyawan yang telah ada. Robbins (2003)
menyatakan bahwa pelatihan merupakan sebuah model yang
bertujuan untuk mengambil perhatian peserta terhadap apa yang
dipelajari, memberikan kesempatan untuk mempraktekkan
perilaku yang baru, serta memberikan penghargaan positif
terhadap prestasi karyawan. Dessler (1997) menyatakan bahwa
dewasa ini pelatihan tidak hanya ditujukan untuk mempersiapkan
agar staf menjadi efektif, akan tetapi juga bertujuan untuk
penguasaan dan penerapan tugas secara khusus.
Marquis & Huston (2006) menyatakan bahwa program
pengembangan staf melalui pelatihan dan pendidikan merupakan
program yang efektif untuk meningkatkan produktifitas perawat.
Cahyono (2008) menyatakan bahwa dampak kegiatan kognitif
diperoleh seseorang melalui pelatihan adalah berupa proses
pengambilan keputusan yang semakin baik sehingga seseorang
akan terhindar untuk melakukan kesalahan. Hal ini berarti bahwa
kontribusi kegiatan kognitif karena pelatihan yang diikuti
seseorang dapat juga berdampak pada penurunan potensi tuntutan
karena pelanggaran kode etik, disiplin dan hukum.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
pelatihan merupakan proses sistematik dan terorganisir untuk
mempengaruhi produktifitas, kinerja dan pekerjaan staf secara
objektif serta penguasaan suatu hal yang khusus yang menjadi
kewajiban dari pekerjaan yang dimiliki oleh staf.
2.2.2 Manfaat Pelatihan
Pelatihan secara umum berhubungan dengan proses belajar
mengarah pada perubahan perilaku. Spence (1956, dalam
Morrison, 1991) menyatakan bahwa teori belajar melalui pelatihan
yang berorientasi pada perilaku dikembangkan untuk melakukan
analisa formal dalam perubahan perilaku tersebut. Terdapat dua
metode prinsip dalam teori belajar yaitu intruksi verbal dan
demonstrasi. Aspek penting pada kemampuan belajar ini terkait
dengan bentuk hasil pengetahuan yang diberikan. Teori law of
response by analogy yang dikemukakan oleh thorndike dalam
Suryabrata (2008) menyatakan mengenai kecendrungan individu
untuk bereaksi dan menampilkan respon terhadap hal tertentu
yang dihadapinya. Reaksi yang terjadi dari intervensi pelatihan
yang diberikan dapat diharapkan sebagai pendorong tercapainya
kemampuan yang optimal.
Pengembangan staf yang sering dihubungkan dengan
pelatihan mengarah pada adanya manfaat desain pembelajaran
dalam pelatihan untuk membantu pertumbuhan staf. Pelatihan
efektif yang adalah pelatihan yang mencakup dan
mempertimbangkan pengalaman belajar, menajdi aktifitas
terencana dari organisasi serta didesain sebagai respon terhadap
suatu kebutuhan. Untuk itu seharusnya organisasi menawarkan
program pelatihan yang bervariasi untuk menemukan dan
memenuhi kebutuhan organisasi akan hal tersebut. Sejalan
dengan hal ini Mc. Cutcheon et. Al. (2006) merekomendasikan
bahwa sdm keperawatan memiliki kebutuhan yang besar untuk
mendapatkan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam
berbagai jenjang untuk mendukung penerapan keselamatan
pasien.
Pelatihan memiliki nilai kemanfaatan yang sangat besar baik
dari aspek staf maupun organisasi. Rivai & sagala (2009),
menyatakan bahwa transfer ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh
staf dalam pekerjaannya berhubungan dengan kinerja staf
selanjutnya. Selain itu manfaat dari pelatihan dan pengembangan
terhadap organisasi adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas
output, menurunkan biaya limbah dan perawatan, menurunkan
jumlah dan biaya kecelakaan, dan meningkatkan kepuasan kerja.
Manfaat lain yang diperoleh staf melalui pelatihan adalah berupa
tanggung jawab dan prestasi yang lebih dapat diinternalisasi,
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta
membantu menghilangkan rasa takut menghadapi tugas baru.
Sikap yang lebih positif terhadap orientasi yang akan dicapai oleh
organisasi dan sikap moral yang lebih baik juga dirasakan sebagai
manfaat oleh organisasi.
Marquis dan huston (2006) menyatakan bahwa seseorang
akan belajar lebih cepat jika mereka memperoleh informasi
mengenai perkembangannya salam proses belajar dengan
mempertimbangkan bahwa individu perlu menyadari
perkembangannya. Gillies (1994) menyatakan bahwa pembelajaran
dalam pelatihan merupakan fenomena aktif daripada pasif. Hal
pembelajaran dalam pelatihan juga akan lebih efektif jika staf
diberikan kesempatan untuk menerapkan fungsi tertentu.
Staf yang mendapatkan pelatihan perlu diberikan umpan
balik atau hasil pengetahuan yagn diperoleh dari pelatihan yang
diterima agar staf dapat mengembangkan kinerjanya dengan lebih
baik (bernardin, 2003). Fakta yang ada memperlihatkan bahwa
adanya pelatihan dipandang secara positif oleh staf. Bernardin
(2003) menuliskan survey yang menunjukkan rata-rata dua pertiga
staf memandang bahwa pelatihan yang diterima staf bermanfaat
dan membantu kinerja staf dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
2.3 Konsep Lama Kerja
2.3.1 Pengertian Lama Kerja
2.4 Konsep Tingkat Kepuasan Pasien
2.4.1 Pengertian Kepuasan Pasien
Menurut, Sumarwan, (2003), menyatakan bahwa kepuasan
adalah tingkat keadaan yang dirasakan seseorang yang merupakan
hasil dari membandingkan penampilan atau outcome produk yang
dirasakan dalam hubungannya dengan harapan seseorang.
Musanto (2004) mengatakan bahwa kepuasan atau
ketidakpuasan adalah respon pelanggan terhadap evolusi
ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan
kinerja aktual produk yang dirasakan
Kepuasan pasien adalah tingkat kepusan dari persepsi pasien
dan keluarga terhadap pelayanan kesehatan dan merupakan salah
satu indikator kinerja rumah sakit. Bila pasien menunjukkan hal-
hal yang bagus mengenai pelayanan kesehatan terutama
pelayanan keperawatan dan pasien mengindikasikan dengan
perilaku positifnya, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa pasien
memang puas terhadap pelayanan tersebut (Purnomo, 2002).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepuasan pasien adalah suatu tanggapan atau respon yang
diberikan oleh pasien setelah membandingkan antara harapan-
harapan pasien dengan apa yang dialami atau diperoleh pasien
terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat. Apabila
hasil yang dirasakan oleh pasien sesuai dengan harapannya maka
pasien akan merasakan kepuasan yang tinggi, sebaliknya jika hasil
yang dirasakan oleh pasien tidak sesuai dengan harapannya maka
pasien akan merasa kecewa dan tidak puas sehingga pasien tidak
akan menggunakan jasa pelayanan di rumah sakit yang sama
ketika pasien tersebut diharuskan menjalani perawatan medis.
2.4.2 Tujuan Tingkat Kepuasan
Menurut, Hadisugito, (2005), pengukuran tingkat kepuasan
pelanggan adalah untuk dapat segera mengetahui faktor-faktor
yang membuat para pelanggan tidak puas, dapat segera diperbaiki,
sehingga pelanggan tidak kecewa.
2.4.3 Aspek-Aspek Kepuasan Pasien
Menurut, Sabarguna, (2004), kepuasan yang dirasakan oleh
pasien merupakan aspek yang sangat penting bagi kelangsungan
kerja suatu rumah sakit. Kepuasan pasien adalah nilai subjektif
terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Penilaian subjektif
tersebut didasarkan pada pengalaman masa lalu, pendidikan,
situasi psikis waktu itu, dan pengaruh lingkungan pada waktu itu.
2.4.4 Aspek-Aspek Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien
Menurut, Sabarguna, (2004), ada beberapa aspek yang
mempengaruhi kepuasan pasien, yaitu:
a. Aspek kenyamanan, meliputi lokasi rumah sakit,
kebersihan rumah sakit, kenyamanan ruangan yang akan
digunakan pasien, makanan yang dimakan pasien, dan
peralatan yang tersedia dalam ruangan.
b. Aspek hubungan pasien dengan petugas rumah sakit,
meliputi keramahan petugas rumah sakit terutama
perawat, informasi yang diberikan oleh petugas rumah
sakit, komunikatif, respontif, suportif, dan cekatan dalam
melayani pasien.
c. Aspek kompetensi teknis petugas, meliputi keberanian
bertindak, pengalaman, gelar, dan terkenal.
d. Aspek biaya, meliputi mahalnya pelayanan, terjangkau
tidaknya oleh pasien, dan ada tidaknya keringanan yang
diberikan kepada pasien.
2.4.5 Kepuasan Pasien Ditinjau dari Kualitas Pelayanan
Perawat
Kualitas pelayanan merupakan merupakan salah satu faktor
yang sangat penting dalam usaha menciptakan kepuasan yang
dirasakan oleh pasien selaku pengguna jasa pelayanan rumah
sakit. Pelayanan yang berkualitas di rumah sakit adalah dengan
memberikan pelayanan kepada pasien yang didasarkan pada
standar kualitas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien
sehingga diperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan
kepercayaan pasien terhadap rumah sakit. Perawat dituntut untuk
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pasien selama
mereka dirawat di rumah sakit. Jika pelayanan yang diterima
pasien memenuhi harapan pasien, maka kualitas pelayanan yang
diberikan perawat baik. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima
pasien lebih rendah dari harapan pasien, maka kualitas pelayanan
yang diberikan perawat buruk (Sabarguna, 2004).
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
kepuasan yang dirasakan oleh pasien didapat dari kualitas jasa
yang diberikan oleh rumah sakit, salah satunya adalah pelayanan
yang diberikan oleh perawat dengan memperhatikan apa yang
menjadi keinginan, kebutuhan, dan harapan dari pasiennya
2.4.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien
Menurut Budiastuti, (2002), mengemukakan bahwa pasien
dalam mengevaluasi kepuasan terhadap jasa pelayanan yang
diterima mengacu pada beberapa faktor, yaitu:
1. Kualitas produk atau jasa
Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka
menunjukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan
berkualitas. Persepsi konsumen terhadap kualitas produk
atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan
kualitas produk atau jasa yang sesungguhnya dan
komunikasi perusahan terutama iklan dalam
mempromosikan rumah sakit nya. Dalam hal pelayanan di
rumah sakit aspek klinis, yaitu komponen yang
menyangkut pelayanan dokter, perawat dan terkait
dengan teknis medis adalah produk atau jasa yang dijual
(Lusa, 2007).
2. Kualitas pelayanan
Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam
industri jasa. Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa
puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau
sesuai dengan yang diharapkan. Mutu pelayanan
kesehatan yang dapat menimbulkan tingkat kepuasan
pasien dapat bersumber dari faktor yang relatif sefesifik,
seperti pelayanan rumah sakit, petugas kesehatan, atau
pelayanan pendukung (Woodside, 1989).
3. Faktor emosional
Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain
kagum terhadap konsumen bila dalam hal ini pasien
memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan
“rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat
kepuasan yang lebih tinggi. Selain itu, pengalaman juga
berpengaruh besar terhadap emosional pasien terhadap
suatu pelayanan kesehatan (Robert dan Richard, 1991).
4. Harga
Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting
dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan
pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi
pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin
mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan
yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas
sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih
tinggi pada pasien.
5. Biaya
Biaya dapat dijabarkan dalam pertanyaan kewajaran
biaya, kejelasan komponen biaya, biaya pelayanan,
perbandingan dengan rumah sakit yang sejenis lainnya,
tingkat masyarakat yang berobat, ada tidaknya
keringanan bagi masyarakat miskin,dan sebagainya.
Selain itu, efisiensi dan efektivitas biaya, yaitu pelayanan
yang murah, tepat guna, tidak ada diagnosa dan terapi
yang berlebihan juga menjadi pertimbangan dalam
menetapkan biaya perawatan, Lusa, (2007).
2.4.7 Pengukuran Tingkat Kepuasan
Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting
dalam penyediaan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien dan
lebih efektif. Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu
pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat
dipastikan tidak efektif dan efisien. Tingkat kepuasan pelanggan
terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam
pengembangan suatu system penyediaan pelayanan yang tanggap
terhadap kebutuhan pelanggan, meminimalkan biaya dan waktu
serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi dan
sasaran (Hadisugito, 2005).
2.4.8 Beberapa Macam Metode Dalam Pengukuran Kepuasan
Pelanggan :
Menurut Kotler, (2003), ada beberapa macam metode dalam
pengukuran kepuasan pelanggan, diantaranya:
a. Sistem keluhan dan saran
Organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer
oriented) memberikan kesempatan yang luas kepada para
pelanggannya untuk menyampaikan saran dan keluhan.
Misalnya dengan menyediakan kotak saran, kartu
komentar, dan hubungan telepon langsung dengan
pelanggan.
b. Ghost shopping
Mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau
bersikap sebagai pengguna potensial, kemudian
melaporkan temuannya mengenai kekuatan dan
kelemahan produk rumah sakit dan pesaing berdasarkan
pengalaman mereka.
c. Lost customer analysis
Rumah sakit seyogianya menghubungi para pelanggan
yang telah berhenti menggunakan jasa pelayanan agar
dapat memahami mengapa hal itu terjadi.
d. Survei kepuasan pelanggan
Penelitian survei dapat melalui pos, telepon dan
wawancara langsung. Responden juga dapat diminta
untuk mengurutkan berbagai elemen penawaran
berdasarkan derajad pentingnya setiap elemen dan
seberapa baik perusahaan dalam masing-masing elemen
(importanse/performance ratings). Melalui survei
perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik
secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan
tanda positif bahwa rumah sakit menaruh perhatian
terhadap para pengguna jasa pelayanannya.
Pengumpulan data survei kepuasan pasien dapat
dilakukan dengan berbagai cara tetapi pada umumnya
dilakukan melalui kuesioner dan wawancara. Adapun
penggunaan kuesioner adalah cara yang paling sering
digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan,
seperti proses yang mudah dan murah, menghasilkan data
yang telah terstandarisasikan, dan terhindar dari bias
pewawancara (Pohan, 2006).
2.4.9 Manfaat Pengukuran Kepuasan
Menurut Gerson, (2004), manfaat utama dari program
pengukuran adalah tersedianya umpan balik yang segera, berarti
dan objektif. Dengan hasil pengukuran orang bisa melihat
bagaimana mereka melakukan pekerjaannya, membandingkan
dengan standar kerja, dan memutuskan apa yang harus dilakukan
untuk melakukan perbaikan berdasarkan pengukuran tersebut.
Ada beberapa manfaat pengukuran kepuasan antara lain sebagai
berikut :
a. pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil
dan berprestasi, yang kemudian diterjemahkan menjadi
pelayanan yang prima kepada pelanggan.
b. Pengukuran bisa dijadikan dasar menentukan standar
kinerja dan standar prestasi yang harus dicapai, yang
akan mengarahkan mereka menuju mutu yang semakin
baik dan kepuasan pelanggan yang meningkat.
c. Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada
pelaksana, terutama bila pelanggan sendiri yang
mengukur kinerja pelaksana atau yang memberi
pelayanan.
d. Pengukuran memberi tahu apa yang harus dilakukan
untuk memperbaiki mutu dan kepuasan pelanggan
bagaimana harus melakukannya. Informasi ini juga bisa
datang dari pelanggan.
e. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan
mencapai tingkat produktivitasnya yang lebih tinggi.
2.4.10 Klasifikasi Kepuasan
Menurut Gerson (2004), untuk mengetahui tingkat kepuasan
pelanggan dapat diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan
sebagai berikut:
a. Sangat memuaskan
Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian
perasaan pasien yang menggambarkan pelayanan
kesehatan sepenuhnya atau sebagian besar sesuai
kebutuhan atau keinginan pasien, seperti sangat bersih
(untuk prasarana), sangat ramah (untuk hubungan
dengan dokter atau perawat), atau sangat cepat (untuk
proses administrasi), yang seluruhnya menggambarkan
tingkat kualitas pelayanan yang paling tinggi.
b. Memuaskan
Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian
perasaan pasien, yang menggambarkan pelayanan
kesehatan tidak sepenuhnya atau sebagian sesuai
kebutuhan atau keinginan seperti tidak terlalu bersih
(untuk sarana), agak kurang cepat (proses administrasi),
atau kurang ramah, yang seluruhnya ini menggambarkan
tingkat kualitas yang kategori sedang.
c. Tidak memuaskan
Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian
perasaan pasien rendah, yang menggambarkan pelayanan
kesehatan tidak sesuai kebutuhan atau keinginan seperti
tidak terlalu bersih (untuk sarana), agak lambat (untuk
proses administrasi), atau tidak ramah.
d. Sangat tidak memuaskan.
Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian
perasaan pasien yang rendah, menggambarkan
pelayanan kesehatan tidak sesuai kebutuhan atau
keinginan seperti tidak bersih (untuk sarana), lambat
(untuk proses administrasi), dan tidak ramah. Seluruh
hal ini menggambarkan tingkat kualitas yang kategori
paling rendah.
2.4.11 Pedoman Pengukuran Pada Skala Tingkat
Kepuasan
Menurut Utama, (2003), pedoman pada skala pengukuran
yang dikembangkan likert dikenal dengan istilah skala likert,
kepuasan pasien dikategorikan menjadi, sangat puas, agak puas,
dan tidak puas. Kategori ini dapat dikuantifikasi misalnya ; sangat
puas bobotnya 3, agak puas bobotnya 2, dan tidak puas bobotnya
1.
2.5 Konsep Pelayanan Keshetan Masyarakat (Puskesmas)
2.5.1 Pengertian Pelayanan Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas)
Keputusan Menteri Kesehatan No. 128/Menkes/SK/II/2004
menyatakan bahwa Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas
adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Departemen
Kesehatan, 2004). Sebagai UPT dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (UPTD), Puskesmas berperan menyelenggarakan
sebagian tugas teknis operasional Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama
serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.
Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan
oleh bangsa Indonesia, untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud
derajat jesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya
pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sesuai dengan kemampuannya (Depkes, 2004).
2.5.2 Wilayah Kerja Puskesmas
Secara nasional ditetapkan bahwa standart wilayah kerja
Puskesmas adalah satu kecamatan. Tetapi apabila di suatu
kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka
tanggungjawab wilayah kerja dibagi di antara puskesmas tersebut
dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (Desa/Kelurahan
atau Rukun Warga). Masing-masing puskesmas tersebut secara
operasional bertanggungjawab langsung kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (Depkes, 2004).
2.5.3 Visi
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju
terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat adalah gambaran
masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui
pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam
lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4
indikator utama yakni: (1) Lingkungan sehat, (2) Perilaku sehat, (3)
Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, (4) Derajat
kesehatan penduduk kecamatan. Rumusan visi untuk masing-
masing puskesmas harus mengacu pada visi pembangunan
kesehatan puskesmas di atas yakni terwujudnya Kecamatan Sehat,
yang harus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat serta
wilayah kecamatan setempat.
2.5.4 Misi
Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan
kesehatan nasional. Misi tersebut adalah:
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah
kerjanya. Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan
sektor lain yang diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar
memperhatikan aspek kesehatan, yakni pembangunan yang
tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, setidak-
tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.
2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan
masyarakat di wilayah kerjanya. Puskesmas akan selalu
berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang bertempat
tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang kesehatan,
melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju
kemandirian untuk hidup sehat.
3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.
Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan
masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan
serta meningkatkan efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat
dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga
dan masyarakat berserta lingkungannya. Puskesmas akan selalu
berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah
dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan
perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan
yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi
dan dengan menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan
yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
yang dilakukan puskesmas mencakup pula aspek lingkungan
dari yang bersangkutan.
2.5.5 Fungsi Puskesmas
Adapun fungsi dari puskesmas ialah :
1. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau
penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh
masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga
berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Di
samping itu puskesmas aktif memantau dan melaporkan
dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program
pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk
pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas
adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan
pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan.
2. Pusat pemberdayaan masyarakat.
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama
pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk
dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan
melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat,
berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan
kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan,
menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program
kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan
masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan
kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat
setempat.
3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama.
Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan
kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama
yang menjadi tanggungjawab puskesmas meliputi:
a. Pelayanan kesehatan perorangan: Pelayanan kesehatan
perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi
(private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan
penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa
mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan
penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat
jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah dengan
rawat inap.
b. Pelayanan kesehatan masyarakat: Pelayanan kesehatan
masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public
goods) dengan tujuan utama memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa
mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan.Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut
antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit,
penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan
kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa
serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.
2.5.6 Upaya Penyelenggaraan Puskesmas
Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui
puskesmas, yakni terwujudnya Kecamatan Sehat Menuju Indonesia
Sehat, puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan upaya
kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang
keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut
dikelompokkan menjadi dua yakni:
1. Upaya Kesehatan Wajib
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang
ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional dan global
serta yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan
derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus
diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah
Indonesia. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah: (1) Upaya
Promosi Kesehatan, (2) Upaya Kesehatan Lingkungan, (3)
Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana, (4)
Upaya Perbaikan Gizi, (5) Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit Menular, (6) Upaya Pengobatan.
2. Upaya Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya
yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang
ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan
kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan
dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang
telah ada, yakni: (1)Upaya Kesehatan Sekolah, (2) Upaya
Kesehatan Olah Raga, (3) Upaya Perawatan Kesehatan
Masyarakat, (4) Upaya Kesehatan Kerja, (5) Upaya Kesehatan
Gigi dan Mulut, (6) Upaya Kesehatan Jiwa, (7) Upaya Kesehatan
Mata, (8) Upaya Kesehatan Usia Lanjut, (9) Upaya Pembinaan
Pengobatan Tradisional.
Apabila puskesmas belum mampu menyelenggarakan
upaya kesehatan pengembangan, padahal menjadi kebutuhan
masyarakat, maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
bertanggunjawab dan wajib menyelenggarakannya. Untuk itu
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota perlu dilengkapi dengan
berbagai unit fungsional lainnya. Dalam keadaan tertentu,
masyarakat membutuhkan pula pelayanan rawat inap. Untuk
ini di puskesmas dapat dikembangkan pelayanan rawat inap
tersebut, yang dalam pelaksanaannya harus memperhatikan
berbagai persyaratan tenaga, sarana dan prasarana sesuai
standar yang telah ditetapkan. Lebih lanjut, di beberapa daerah
tertentu telah muncul pula kebutuhan masyarakat terhadap
pelayanan medik spesialistik. Dalam keadaan ini, apabila ada
kemampuan, di puskesmas dapat dikembangkan pelayanan
medik spesialistik tersebut, baik dalam bentuk rawat jalan
maupun rawat inap. Keberadaan pelayanan medik spesialistik
di puskesmas hanya dalam rangka mendekatkan pelayanan
rujukan kepada masyarakat yang membutuhkan. Status dokter
dan atau tenaga spesialis yang bekerja di puskesmas dapat
sebagai tenaga konsulen atau tenaga tetap fungsional
puskesmas yang diatur oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat (Depkes RI, 2004).