Upload
soniabdullah
View
45
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
BAB II PKL
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Mikroalga
Mikroalga merupakan sumber bahan baku alternatif yang menjanjikan
untuk produksi biodiesel. Mikroalga termasuk dalam kelompok mikroorganisme
prokariotik dan eukariotik fotosintetik dengan struktur sederhana dan
memungkinkan mereka untuk tumbuh dengan pesat (Kawaroe, 2010). Dalam hasil
penelitian yang dilakukan oleh Chisti (2007), mikroalga tampaknya satu-satunya
sumber bahan terbarukan untuk biodiesel yang mampu memenuhi permintaan
global untuk bahan bakar transportasi, dan berpotensi untuk menggantikan
penggunaan bahan bakar fosil secara penuh (Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Perbandingan Potensi Bahan Baku untuk Memproduksi Biodiesel
Jenis TanamanPotensi Minyak yang dihasilkan
(Liter/Hektar)
Jagung 172
Kedelai 446
Kanola 1190
Jarak 1892
Kelapa 2689
Kelapa Sawit 5950
Mikroalgaa) 136.900
Mikroalgab) 58.700
Keterangan : a) 70% minyak (Basis Basah) dalam biomasb) 30% minyak (Basis Basah) dalam biomas Sumber : Chisti (2007).
Pada kondisi pertumbuhan optimal, beberapa spesies mikroalga bisa
menghasilkan dan mengumpulkan hidrokarbon sampai dengan 30-70 % dari berat
kering mereka, dan bahwa kandungan minyak tinggi dari beberapa spesies alga
9
10
memungkinkan mereka untuk menghasilkan 1000 kali lebih banyak dibandingkan
dengan minyak kedelai yang ditanam pada luasan tanah yang sama. Kandungan
minyak di mikroalga dapat melebihi 80 % dari berat biomassa kering, tetapi pada
umumnya kandungan minyak yang dapat dicapai berkisar antara 20 sampai 50 %
(Chong dkk, 2000).
Manfaat lainnya dari mikroalga adalah (1) sebagai salah satu sumber
makanan sehat, dimana mikroalga ini menghasilkan senyawa tertentu yang
berguna untuk tubuh), (2) sebagai biofilters untuk menghilangkan nutrisi dan
polutan lainnya dari air limbah dan (3) sebagai indikator perubahan lingkungan.
Mikroalga juga dibudidayakan secara komersial untuk kepentingan farmasi,
kosmetik dan aquakultur (Borowitzka, 1999). Menurut Umdu dkk (2008),
mikroalga merupakan biota yang menjanjikan hasil lebih baik karena (1) Memiliki
laju pertumbuhan tinggi (2) Kandungan lipid dapat disesuaikan dengan mengubah
komposisi media untuk tumbuh (3) Dapat dipanen lebih dari satu kali dalam satu
tahun (4) Dapat menggunakan air laut atau air limbah.
2.2 Chlorella sp.
2.2.1 Deskripsi Chlorella sp.
Chlorella sp. adalah alga hijau satu sel yang tidak mempunyai
kemampuan bergerak. Chlorella sp. termasuk ke dalam mikroorganisme tingkat
rendah karena bentuknya mikroskopik dan tidak memiliki akar, batang dan daun
sejati (thallus) (Kabinawa et al. 1989). Menurut Gupta (1981), Chlorella sp.
dikelompokkan kedalam phylum Thallophyta. Zat warna hijau dan pigmen yang
dimilikinya terdiri atas klorofil, karotenoid dan xanthofil. Klorofil yang terdapat
pada Chlorella sp. adalah klorofil a dan b sebagi pigmen utama dan terdapat pula
klorofil c dan e (Becker, 1994). Chlorella sp. merupakan mikroorganisme
fotosintestik yang muncul sejak masa pre-cambrian ± 2,5 milyar tahun lalu
(Saclan, 1982). Keberhasilan hidupnya hingga sekarang merupakan tanda
kestabilan sifat genetik dan kemampuan mempertahankan pembawa sifatnya
selama milyaran tahun (Jensen, 1992).
11
Klasifikasi Chlorella sp. Menurut Gupta (1981) adalah sebagai berikut:
Devisi : Thallophyta
Sub Devisi : Algae
Kelas : Chlorophyceae
Famili : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella sp.
Gambar 2.1. Bentuk umum Chlorella sp. (Sumber: http://www.rbgsyd.nsw.gov.au,12 Maret 2012)
Sel Chlorella sp. berbentuk bulat, hidup soliter, berukuran 2-8 μm. Dalam
sel Chlorella sp. mengandung 50% protein, lemak serta vitamin A, B, D, E dan K,
disamping banyak terdapat pigmen hijau (klorofil) yang berfungsi sebagai
katalisator dalam proses fotosintesis (Sachlan, 1982).
Sel Chlorella sp. umumnya dijumpai sendiri, kadang-kadang bergerombol.
Protoplast sel dikelilingi oleh membran yang selektif, sedangkan di luar membran
sel terdapat dinding yang tebal terdiri dari sellulosa dan pektin. Di dalam sel
terdapat suatu protoplast yang tipis berbentuk seperti cawan atau lonceng dengan
posisi menghadap ke atas. Pineroid-pineroid stigma dan vacuola kontraktil tidak
ada. Warna hijau pada alga ini disebabkan selnya mengandung klorofil a dan b
12
dalam jumlah yang besar, di samping karotin dan xantofil (Bellinger & Sigee,
2010).
Chlorella sp. tumbuh pada salinitas 25 ppt. Alga tumbuh lambat pada
salinitas 15 ppm, dan hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ppm dan 60 ppm.
Chlorella sp. tumbuh baik pada suhu 20oC, tetapi tumbuh lambat pada suhu 32oC.
Tumbuh sangat baik sekitar 200-230 C (Bellinger & Sigee, 2010).
Sejak ditemukan, Chlorella sp. berpotensi sebagai sumber protein non
konvensional karena mikroalga ini mengandung profil asam amino yang memadai
baik esensial, semi esensial dan non esensial dan lainnya hampir setara dengan
telur (Priestey et al. 1976). Saat sekarang Chlorella sp. banyak digunakan sebagai
makanan kesehatan bagi manusia (Steenblock. 1996).
Chlorella sp. merupakan alga yang pertama kali dapat diisolasi secara
murni. Kultur murni Chlorella sp. pertama kali dibuat oleh Beijernik (Belanda)
pada tahun 1980. Chlorella sp. mengandung klorofil yang tertinggi dari jenis
tumbuhan yang ada. Kata Chlorella sp. terdiri dari dua suku kata yaitu “chlor”
yang artinya hijau dan “ella” yang artinya kecil. Selanjutnya pada tahun 1919,
Otto Warburg memperkenalkan penggunaan Chlorella sp. sebagai objek untuk
mempelajari fotosintesis (Miyachi. 1998).
Chlorella sp. bersifat kosmopolit (dapat tumbuh dimana-mana), kecuali
pada tempat yang sanagat kritis bagi kehidupan. Chlorella sp. dapat tumbuh pada
kisaran salinitas yang luas. Salinitas optimum untuk pertumbuhan Chlorella sp.
adalah 10-20 ppt. Alga masih dapat bertahan hidup pada suhu 400C tetapi tidak
tumbuh. Suhu optimum pertumbuhan yaitu 25-300C (Isnansetyo dan Kurniastuty.
1995).
Dinding sel Chlorella sp. Terdiri dari selulosa yang kuat dan merupakan
karbohidrat komplek dan bermanfaat unutk mengikat zat-zat toksik sehingga
dapat dikeluarkan dari tubuh serta mampu meningkatkan system kekebalan tubuh.
Pada bagian inti sel Chlorella sp. ini (Chlorella sp. Growth Promotor) merupakan
13
komponen gizi yang paling berharga pada Chlorella sp., yang terdiri atas unsure-
unsur gizi yaitu nukleotida-peptida komplel (Hansakul. 1991).
Komposisi dari asam lemak marine Chlorella sp. yang dikulturkan pada
15 ppt salinitas, menunjukkan jumlah asam C18:3n-3, C18:2n-6, C16:0, C18:1n-9
dalam skala medium sampai tinggi, ini mirip dengan komposisi asam lemak yang
terdapat pada Chlorella sp. sp yang hidup pada air tawar. Pada penelitian ini juga
diketemukan kalau kandungan High Unsaturated Fatty acids (HUFAs) pada
Chlorella sp. sangat kecil (Pratoomyot, 2005).
2.2.2 Habitat dan Ekologi
Berdasarkan habitat hidupnya Chlorella sp. dapat dibedakan menjadi
Chlorella sp. air tawar dan Chlorella sp. air laut. Chlorella sp. air tawar dapat
hidup dengan kadar salinitas hingga 5 ppt, sementara Chlorella sp. air laut dapat
mentolerir salinitas antara 33-40 ppt (Bold dan Wynne, 1985). Menurut Hirata
(1981), beberapa spesies Chlorella sp. air laut dapat mentolerir kondisi
lingkungan yang relatif bervariasi. Tumbuh optimal pada salinitas 25-34 ppt
sementara pada salinitas 15 ppt tumbuh lambat dan tidak tumbuh pada salinitas 0
ppt dan 60 ppt. Contoh Chlorella sp. yang hidup di air laut adalah Chlorella sp.
vulgaris, Chlorella sp. pyrenoidosa, Chlorella sp. virginica dan lain-lain
(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Umumnya Chlorella sp. bersifat planktonis
yang melayang di dalam perairan, namun beberapa jenis Chlorella sp. juga
ditemukan mampu bersimbiosis dengan hewan lain misalnya Hydra dan beberapa
ciliata air tawar seperti Paramaecium bursaria (Dolan, 1992).
2.2.3 Reproduksi Chlorella sp. sp.
Reproduksi Chlorella sp. adalah aseksual dengan pembentukan autospora
yang merupakan bentuk miniatur dari sel induk. Tiap satu sel induk (parrent cell)
akan membelah menjadi 4, 8, atau 16 autospora yang kelak akan menjadi sel-sel
anak (daughter cell) dan melepaskan diri dari induknya (Bold dan Wynne, 1985). Anonymous (2012) menyatakan bahwa Chlorella sp. dapat hidup bebas.
Tahapan daur hidup sel Chlorella sp. dapat dibagi dalam empat fase, yaitu:
14
a. Fase pertumbuhan adalah fase pertambahan besar dan ukuran sel
Chlorella sp.
b. Fase pemasakan dini adalah fase terjadinya berbagai proses dalam
persiapan pembentukan sel anak.
c. Fase pemasakan akhir adalah fase terbentuknya sel induk muda
d. Fase pelepasan sel anak.
Setiap sel yang telah dewasa membelah menghasilkan 4-8 atau jarang
melebihi 16 autospora. Pada saat pemisahan terjadi membelah atau pemecahan
dinding sel induk (Gupta, 1981, Richmond. 1986). Dalam system kultur system
kultur menurut Fogg (1975), alga akan mengalami lima fase pertumbuhan yaitu:
a. Fase lag ditandai dengan meningkatnya populasi secara tidak nyata.
b. Fase eksponensial ditandai dengan pesatnya laju pertumbuhan hingga
kepadatan bertambah beberapa kali lipat.
c. Fase penurunan laju pertumbuhan ditandai dengan penurunan laju
pertumbuhan bila dibandingkan dengan fase eksponensial.
d. Fase stasioner ditandai dengan laju pertumbuhan yang sama dengan
laju kematian sehingga tidak tampak adanya sel.
e. Fase kematian ditandai dengan laju kematian yang jauh lebih besar
dari pertumbuhan.
Fase pertumbuhan alga dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
15
Kurva 2.1: Pola Pertumbuhan Sel Alga
Keterangan: (1) fase lag, (2) Fase eksponensial, (3) fase penurunan laju
pertumbuhan (4) fase stasioner, (5) fase kematian (fogg. 1975).
Terjadinya penurunan kecepatan pertumbuhan yang berhubungan dengan
umur suatu kultur pada mikroorganisme sering dihubungkan dengan bahan
penghambat yang berasal dari produk metabolisme sel yang terakumulasi. Pada
alga, karena tingginya kapasitas sintetik dan tingkat ekskresi yang rendah, maka
pengaruh akan menghambat (inhibitor) menjadi kurang penting (Myres dalam
Burlew, 1953.)
Sel Chlorella sp. mampu memproduksi inhibitor yang disebut Clorellin
yang dikeluarkan dari sel kemudian dikulturnya, yang dapat menghambat
pertumbuhan kultur dan pertumbuhan alga lain serta beberapa jenis bakteri
(Burlew. 1953). Chlorellin yang diisolasi dari selnya secara invitro, ternyata
bersifat antibiotic dan efektif terhadap beberapa bakteri gram positif dan gram
negative (Saclab. 1982, Steenblock. 1987).
Pertumbuhan Chlorella sp. dapat diukur dengan cara mengamati dan
menghitung perkembangan jumlah sel dari waktu ke waktu antara menumbuhkan
Chlorella sp. dengan menggunakaan medium walne untuk mengetahui terjadinya
perubahaan nutrisi dan kondisi sel dari Chlorella sp. selama masa penyimpanan.
Dapat diketahui bahwa pada penyimpanaan biomasa Chlorella sp. dalam bentuk
16
pasta selama 4 minggu, masih terdapat sel hidup sebanyak 46 %. Penurunan sel
yang hidup diikuti dengan penurunan isi sel selama penyimpanan. Kadar protein
pasta mikroalga dan juga mikroalga kering tidak mengalami perubahan yang
nyata selam penyimpanan, namun kandungan β-karoten mengalami penurunan
demikian pula kapasitas antioksidannya (Vashista, 1979, Rostini, 2007).
Chlorella sp. termasuk cepat berkembang biak, mengandung gizi yang
cukup tinggi yaitu protein 42,2 %, lemak kasar 15,3 %, nitogen dalam bentuk
ekstrak, kadar air 5,7 % dan serat 0,4 %. Chlorella sp. juga menghasilkan suatu
antibiotik yang disebut Chlorellin yang dapat melawan penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh bakteri. Chlorella sp. memiliki laju pertumbuhan spesifik k =
0,6486 dan mencapai puncak kepadatan pada hari ke-10 dan hari ke-16. Laju
pertumbuhan tertinggi dicapai oleh perlakuan dengan kepadatan awal terendah
dan diikuti dengan kepadata awal yang lebih tinggi (Watanabe, 1978).
2.2.3 Kultur Chlorella sp. sp.
Chlorella sp. merupaka jenis mikroalga yang pertama kali dikembangkan
dalam kultur murni, mula-mula ditumbuhkan oleh Departemen Biologi Carnegia
Institute pada agar miring (Oh-Hama dan Miyachi. 1988).
Budidaya Chlorella sp. sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
nutrient, karbondioksida dan cahaya (Reham dan reed. 1981). Selanjutnya
Soeroso (1993) mengatakan disamping faktor nutrien, karbondioksida dan cahaya
masih terdapat faktor lingkungan yang menentukan keberhasilan kultur Chlorella
sp. diantaranya suhu, pH, oksigen dan salinitas. Semua komponen lingkungan ini
harus dalam kondisi optimal agar tercapai pertumbuhan maksimum.
Unsur nutrien yang dibutuhkan alga hijau dalam jumlah besar
(makronutrien) adalah C, H, O, N, S, P, K dan Mg yang dibutuhkan untuk
pembentukan sel Chlorella sp., sedangkan unsur makronutrien seperti Fe, Mn, Co,
Na, Cu, dan Ca digunakan sebagai katalis proses biosintesis (Kabinawa et al.
1993).
Sumber nitrogen yang umum digunakan untuk kultur alga adalah garam
ammonium, nitrar dan urea. Jika ammonium atau nitrat digunakan sebagai sumber
17
nitrogen, maka pH medium berubah dengan adanya pertumbuhan alga. Absorbs
ion nitrat (NO3) menaikkkan pH medium, sedangkan konsentrasi ion NH4+ dapat
menurunkan pH. Urea hanya sedikit menyebabkan perubahan pH medium untuk
jenis pertumbuhan autotrof dan heterotrof . Jika ada suplai ammonium dan nitrat, alga lebih suka menggunakan ammonium sebagai sumber nitrogennya. Penambahan amonium pada sel yang telah mengasimilasi nitrat menyebabkan penghambatan yang segera dan tuntas pada proses asimilasi tersebut. Asimilasi amonium menyebabkan penekan pada enzim nitrat reduktase. Chlorella sp. dapat menggunakan urea sebagai satu-satunya sumber nitrogen (Richmond. 1986).
Kombinasi pupuk komersial yaitu: urea, TSP dan KCL dapat digunakan untuk kultur Chlorella sp.. Urea dapat dimanfaatkan sebagai
sumber nitrogen (N) bagi pertumbuhan Chlorella sp.. Percepatan pertumbuhan sel
alga pada umumnya sangat bergantung pada ketersediaan nitrogen dalam media
kultur. Kebanyakan mikroalga mengandung 7-9% nitrogen atau berat kering
biomassa (Richmond. 1986).
Cahaya berperan penting dalam proses fotosintesis, dimana energi cahaya
diubah menjadi energi kimia oleh aktifitas klorofil. Di alam sumber cahaya
berasal dari matahari yang mampu dimanfaatkan oleh organism autotrof. Reaksi
yang terjadi adalah (Umebayashi. 1995):
Menurut Umebayashi (1995) pengaruh intensitas cahaya
terhadap pertumbuhan alga berbandingan terbalik dengan suhu. Jika suhu
meningkat, intensitas cahaya sebaiknya diturunkan. Begitu pula sebaliknya, bila
suhu air turun maka intensitas cahaya harus dinaikkan. Di dalam laboratorium,
pengkulturan Chlorella sp. biasanya menggunkan lampu sebagai sumber cahaya
dengan intensitas berkisar 500-5000 lux dan lama pencahayaan 12 jam terang 12
jam gelap (Umebayashi. 1995).
18
Pengembangbiakn Chlorella sp. dapat dilakukan di dalam (indoor) atau
dalam ruangan terpisah yang tertutup untuk menjamin kebersihan dan kesterillan,
tetapi proses tersebut lebih banyak membutukan biaya dan dapat mengakibatkan
rendahnya mutu komponen yang berguna terutama klorofil dan faktor
pertumbuhan (Kabinawa. 1999).
Budidaya system outdoor merupakan system yang sangat kompleks,
tergantung pada interaksi berbagai factor eksternal dan internal. Skema umum
diagram alir dari berbagai input dan output pada kultivasi alga. Berdasarkan input
yang diberikan untuk mendapatkan biomassa alga terdapat 2 macam sistem
sebagai berikut (Kabinawa. 1999):
1. Clean process (kultur murni). Sistem ini menggunakan air bersih,
mineral dan penambahan sumber karbon. Alga yang dihasilkan
terutama digunakan sebagai food supplement.
2. Sistem yang menggunakan air limbah industry sebagai media
kultur tanpa penambahan mineral dan karbon eksternal. Pada
sistem ini terdapat simbiosis nutrisi antara alga dan bakteri.
Biomassa yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pakan.
2.2.4 Peranan Chlorella sp.
2.2.4.1 Peranan dalam budidaya perikanan
Kegunaan Chlorella sp. secara tidak langsung mulai berkembang.
Chlorella sp. merupakan makanan hidup bagi jenis-jenis tertentu golongan ikan
sehingga seringkali sangat diperlukan dalam budidaya. Penyediaan makanan
alami berupa plankton nabati dan plankton hewani yang tidak cukup tersedia,
seringkali menyebabkan kegagalan dalam mempertahankan kelangsungan hidup
larva pada pemeliharan larva udang Penaeid. Seperti halnya Chlorella sp. (
Prescott. 1976).
2.2.4.2 Peranan bagi manusia
19
Menurut Prescott (1976) jasad renik dengan kesanggupannya tumbuh dan
berkembang biak dengan cepat serta bergizi tinggi, merupakan potensi sumber
bahan makanan yang dapat membantu mengatasi masalah kebutuhan protein bagi
kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari berbagai
penelitian yang telah dilakukannya mengenai Chlorella sp., ternyata jenis alga
memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai bahan makanan manusia.
Chlorella sp. termasuk cepat dalam berkembang biak, mengandung gizi
yangcukup tinggi, yaitu protein 42,2%, lemak kasar 15,3%, nitrogen dalam bentuk
ekstrak, kadar air 5,7%, dan serat 0,4%. Untuk setiap berat kering yang sama,
Chlorella sp. mengandung vitamin A, B, D, E, dan K, yaitu 30 kali lebih banyak
dari pada vitamin yang terdapat dalam hati anak sapi, setta empat kali vitamin
yang terkandung dalam sayur bayam, kecuali vitamin C (Watanabe, 1978).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Chlorella sp. dapat digunakan
sebagai makanan tambahan yakni ditambahkan ke dalam es cream, roti, ataupun
air susu sapi. Dengan penambahan tepung Chlorella sp., ternyata dapat
meningkatkan kadar protein sebesar 20% dan lemak 75% di dalam roti dan mie,
dan kira-kira 30% protein dan lemak 15% di dalam es krim (Verkarataman, 1969).
Chlorella sp. juga menghasilkan suatu antibiotik yang disebut Chlorellin, yaitu
suatu zat yang dapat melawan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri
(Vashista, 1979).
2.1 Industri Tahu
2.1.1 Limbah cair Industri Tahu
Limbah industri tahu terdiri dari dua jenis, yaitu limbah cair dan padat.
Dari kedua jenis limbah tersebut, limbah cair merupakan bagian terbesar dan
berpotensi mencemari lingkungan. Sebagian besar limbah yang dihasilkan
bersumber dari cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu pada proses
penggumpalan dan penyaringan yang disebut air dadih atau whey. Sumber limbah
lainnya berasal dari proses sortasi dan pembersihan, pengupasan kulit, pencucian,
penyaringan. Pencucian peralatan proses dan lantai. Jumlah limbah cair yang
dihasilkan oleh nutrisi pembuatan tahu sebanding dengan penggunaan air untuk
20
pemrosesannya. Menurut Nuraida (1985) jumlah kebutuhan air proses dan jumlah
limbah cair yang dihasilkan dilaporkan berturut-turut sebesar 45 dan 43.5 liter
untuk tiap kilogram bahan baku kacang kedelai. Pada beberapa industri tahu,
sebagian kecil dari limbah cair tersebut (khusus air dadih) dimanfaatkan kembali
sebagai bahan penggumpal (Dhahiyat. 1990).
Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik kompleks
yang tinggi terutama protein dan asam-asam amino (EMDI-Bapedal. 1994) dalam
bentuk padatan tersuspensi maupun terlarut (BPPT. 1997). Adanya senyawa-
senyawa organic tersebut menyebabkan limbah cair industry tahu mengandung
BOD, COD dan TSS yang tinggi (BPTT 1997 dan Husin 2003) yang apabila
dibuang kedalam pearairan tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat menyebabkan
pencemaran.
Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu
maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah yang dihasilkan berupa limbah
padat dan cair. Limbah padat industri tahu belum dirasakan dampaknya karena
limbah padat industri tahu bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Nuraida.
1985).
Air banyak digunakan sebagai bahan pencucian dan merebus kedelai untuk
proses produksinya. Akibat dari banyaknya pemakaian air dalam proses
pembuatan tahu maka limbah cair yang dihasilkan juga cukup besar. Limbah cair
industri tahu memiliki beban pencemar yang tinggi. Pencemaran limbah cair
industri tahu berasal dari bekas pencucian kedelai, perendaman kedelai, air bekas
pembuatan tahu dan air bekas perendaman tahu (Hermana. 1985).
Air limbah tersebut mengandung bahan organik, bila langsung dibuang
kebadan air penerima tanpa ada nya proses pengolahan maka akan menimbulkan
pencemaran, seperti menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap dan
berkurangnya oksigen yang terlarut dalam air sehingga mengakibatkat organisme
yang hidup didalam air terganggu karena kehidupannya tergantung pada
lingkungan sekitarnya. Pencemaran yang dilakukan terus menerus akan
21
mengakibatkan mati nya organisme yang ada dalam air, menginggat air berubah
kondisinya menjadi anaerob. (Astuti,2007).
Menurunnya kadar oksigen yang terlarut dalam air berati kondisi
pencemaran didalam air semakin meningkat, maka diperlukan pencegahan
pencemaran akibat limbah cair industri tahu agar habitat dan kehidupan air yang
ada disekitar lingkungan tetap terlindungi (Farid, 2008).
Air limbah tahu sendiri didefinisikan sebagai air sisa penggumpalan tahu
yang dihasilkan selama proses pembuatan tahu. Pabrik tahu di Indonesia
mengalami kesulitan dalam mengelola limbahnya. Bahkan, tak jarang pengusaha
industri tersebut membuang limbah cair mereka tanpa adanya pengolahan terlebih
dahulu. Hal ini tentu saja merugikan lingkungan. Berdasarkan penelitian-
penelitian terdahulu, limbah cair tahu mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan
tanaman. Limbah cair tahu tersebut dapat dijadikan alternatif baru yang digunakan
sebagai pupuk sebab di dalam limbah cair tahu tersebut memiliki ketersediaan
nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman (Handajani. 2005).
Limbah cair tahu dimanfaatkan menjadi pupuk cair organik dengan
menambahkan EM4. Data dari penelitian tersebut adalah total kandungan nitrogen
dalam pupuk cair organik dengan berbagai konsenterasi EM4 dan tanpa
pemberian EM4 sangat tinggi jika dibandingkan dengan Permetan No
28/Permetan/OT.140/2/2009 tentang Standar Mutu Pupuk Organik. Sumbernya
berasal setelah proses pengendapan dengan cuka (Triawati. 2010).
Menurut Handajani (2005) hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian limbah cair tahu dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh
berbeda sangat nyata terhadap laju pertumbuhan relatif populasi Spirullina.
Perlakuan terbaik adalah pemberian limbah cair tahu dosis 31 mg/l dimana
kandungan N dan P pada media kultur sebesar 21,04 ppm dan 2,098 ppm.
Menurut Mackentum (1969) berdasarkan uji pendahuluan pada limbah cair tahu
mengandung Nitrat sebesar 14,628 ppm dan kandungan Orthophosfat sebesar 13,5
ppm.
22
Berdasarakan penelitian Triawati (2010) terhadap tiga sampel limbah tahu
pabrik Kedung Tarukan mengandung Nitrogen berturut-turut 16,59%, 16,74%,
dan 17,04%. Menurut Suriadikata, dkk (2006), syarat komposisi N dan P yang
diperlukan untuk pupuk cair yakni sebesar kurang dari 5%. Komposisi limbah
tahu dapat memenuhi persyaratan pupuk cair tersebut.
2.1.3 Karakteristik Limbah Cair Industri
Bahan-bahan organik terkandung di dalam buangan industri tahu pada
umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organic didalam air buangan tersebut
dapat berupa protein, karbohidrat lemak, dan minyak. Di antara senyawa-senywa
tersebut, protein dan lemaklah yang jumlah paling besar (Nurhasan dan
Pramudyanto. 1991), yang mencapai 40-60% protein, 25-50% karbohidrat, dan
10% lemak (Sugiharto. 2009). Semakin lama jumlah dan jenis bahan organik ini
semakin banyak, dalam hal ini akan menyulitkan pengelolaan limbah, karena
beberapa zat sulit diuraikan oleh mikroorganisme didalam air limbah tahu
tersebut (Nurhasan dan Pramudyanto. 1991).
Berdasarkan hasil studi Balai Perindustrian Medan terdapat karakteristik
air buangan industri tahu di Medan (Bappeda Medan. 1993), diketahui bahwa
limbah cair industri tahu rata-rata mengandung BOD (4583 mg/l), COD (7050
mg/l), TSS (4743 mg/l) dan minyak atau lemak 26 mg/l serta pH 6.1. Sementara
menurut Laporan EMDI-Bapedal (1994) limbah cair industri tersebut rata-rata
mengandung BOD, COD dan TSS berturut-turut sebesar 3250, 6520 dan 1500
mg/l.
2.1.4 Aspek Ekonomi Pengolahan Limbah
Aspek ekonomi pengolahan limbah cair menyangkut manfaat yang
diperoleh dari unit pengolahan dengan mikroalga Chlorella sp. Adata kompensasi
pengolahan limbah yang dilakukan dan biaya (cost) yang dikeluarkan untuk
mengolah limbah tersebut. Beberapa ukuran yang digunakan antara lain (Garrison.
1996):
1. Manfaat (Benefit) Pengolahan Limbah
23
Manfaat langsung dari kegiatan mengelola limbah berupa
hasil penjualan biomassa kering Chlorella sp. Sebagai bahan baku
pakan (feed grade).
2. Harga Pokok Biaya Pengolahan Limbah
Harga pokok biaya pengolahan limbah adalah besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk mengola limbah setiap m3 limbah
cair. Harga pokok biaya pengolahan limbah cair diperoleh hasil
bagi antara biaya total (total cost ) dengan volume yang diolah
selama periode tertentu.
3. Biaya total pengolahan Limbah
Biaya total adalah semua biaya yang dikeluarkan selama
periode waktu tertentu, dipergunakan untuk membayar pengolahan
limbah yang dihasilkan oleh industry pupuk. Biaya total terdiri dari
biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang besar
kecilnya tidak dipengaruhi oleh volume limbah yang diolah, seperti
penyusutan atau amortisasi sedangkan biaya variabel adalah biaya
yang perubahannya dipengaruhi oleh perubahan volume limbah
yang diolah, seperti biaya pemeliharaan dan perbaikan peralatan,
biaya listrik dan air.