BAB II

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Logam Berat Cr(Fardiaz, 1992) dalam Sudarmadji dkk (2006) Logam berat merupakan logam yang memiliki densitas lebih dari 5 gr/cm3. Logam berat akan memberikan efek toksik jika terakumulasi di dalam tubuh, namun ada logam berat yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit. Logam berat termasuk bahan berbahaya dan beracun yang biasanya dihasilkan oleh industri berupa limbah (Sudarmadji dkk., 2006).

Gambar 1. Logam Kromium (Anonim,2013).

Keracunan tubuh manusia terhadap kromium (Cr), dapat berakibat buruk terhadap saluran pernafasan, kulit, pembuluh darah dan ginjal. Efek kromium (Cr) terhadap sistem saluran pernafasan (Respiratory sistem effects), berupa kanker paru dan ulkus kronis/ perforasi pada septum nasal. Pada kulit (Skin effects), berupa ulkus kronis pada permukaan kulit. Pada pembuluh darah (Vascular effects), berupa penebalan oleh plag pada pembuluh aorta (Atherosclerotic aortic plaque), sedangkan pada ginjal (Kidney effects), kelainan berupa nekrosis tubulus ginjal (Sudarmadji dkk., 2006).Menurut Anonim (2007) dalam Hardiani (2009) Pusat Penelitian Biologi LIPI menyatakan Dahlia sp. dan Helianthus annus (Compositae) diketahui memiliki kemampuan untuk mengakumulasi logam Cr dengan kuantitas yang hampir sama dengan beberapa tanaman Brassicaceae yaitu sebesar 167 -196 mg/kg. Berdasarkan daya tahan dan serapan kromium, tanaman terseleksi diujikan lebih lanjut dalam limbah cair industri penyamakan kulit. Kemampuan toleransi dan serapan tanaman terhadap kromium didasarkan pada pengamatan morfologi dan analisis kadar Cr dalam biomas (Saffarida, 2007).

2.2 FitoremediasiSalah satu metode pemulihan kualitas lingkungan tercemar adalah menggunakan teknik fitoremediasi. Fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan zat pencemar dalam tanah atau air dengan menggunakan bantuan tanaman (Chussetijowati dkk., 2011). Fitoremediasi Sampai saat ini dikenal lima jenis fitoremediasi yaitu; fitoekstraski, fitodegradasi, filtrasi akar, fitostabilisasi, dan fitovolatilisasi (Pilon-Smith,2005; Fellet et al.,2007; Padmavathiamma and Li, 2007).Tanaman yang berpotensi untuk fitoremediasi adalah tanaman yang termasuk spesies hiperakumulator (hyperacumulator species). Spesies hiperakumulator adalah spesies tanaman yang mampu mengakumulasi logam berat 100 kali lipat dibandingkan tanaman pada umumnya (nonaccumulator plants). Keberhasilan fitoremediasi dengan menggunakan tanaman hiperakumulator sangat cocok digunakan dalam menurunkan kadar pencemar sampai memenuhi kriteria yang disyaratkan (Hardiani, 2009). Tanaman hiperakumulator harus mampu mentranslokasikan unsur-unsur tertentu tersebut dengan konsentrasi sangat tinggi ke pucuk dan tanpa membuat tanaman tumbuh dengan tidak normal dalam arti kata tidak kerdil dan tidak mengalami fitotoksisitas. Tanaman juga dikriteriakan sebagai hiperakumulator jika nilai bioakumulasi unsur tersebut adalah lebih besar dari nilai 1, di mana "nilai bioakumulasi" dihitung dari konsentrasi unsur tersebut di pucuk (shoot concentration) di bagi konsentrasi unsur di dalam tanah (defined as shoot concentration/total soil concentration). Tanaman, misalnya, dapat dikatakan hiperakumulator Mn, Zn, Ni jika mampu menyerap lebih dari 10.000 ppm unsur- unsur tersebut, lebih dari 1.000 ppm untuk Cu dan Se, dan harus lebih dari 100 ppm untuk Cd, Cr, Pb, dan Co (Aiyen, 2006).Menurut Priyanto dan Prayitno (2007) dalam Hardiani (2009), mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tanaman dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, yaitu: 1. Penyerapan oleh akar. Agar tanaman dapat menyerap logam, maka logam harus dibawa ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara bergantung pada spesies tanaman. Senyawa-senyawa yang larut dalam air biasanya diambil oleh akar bersama air, sedangkan senyawa-senyawa hidrofobik diserap oleh permukaan akar.2. Translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain. Setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut (xilem dan floem) ke bagian tanaman lainnya.3. Lokalisasi logam pada sel dan jaringan. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme tanaman. Sebagai upaya untuk mencegah peracunan logam terhadap sel, tanaman mempunyai mekanisme detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti akar. 2.3 Bayam Duri (Amaranthus spinosus L).Bayam duri merupakan tanaman liar yang dikenal juga dalam bahasa latin sebagai Amaranthus spinosus. Tanaman ini berasal dari daerah Amerika. Biasanya tumbuh liar bersama rerumputan yang lain. Tanaman ini cepat tersebar karena memiliki biji yang banyak yang tersebar dengan bantuan angin dan bantuan lainnya (Yanto, 2013).Memiliki nama-nama lokal yaitu Bayem eri, bayem raja, bayem roda, bayem cikron (Jawa), Senggang cucuk (Sunda), Bayam keruai (Lampung), Ternyak duri, ternyak lakek (Madura), Podo aduri (Bugis), Thorny amaranthus (Inggris), Bayam Duri (Indonesia) (Yanto, 2013).Tanaman ini termasuk dari famili Amaranthaceae. Bayam duri tumbuh baik di tempat-tempat yang cukup sinar matahari dengan suhu udara antara 25 - 35 C. Sebagai tanda khas dari tumbuhan bayam duri yaitu pada pohon batang, tepatnya dipangkal tangkai daun terdapat duri, sehingga orang mengenal sebagai bayamduri. Bentuk daunnya menyerupai belahan ketupat dan berwarna hijau. Manfaat bayam duri adalah mengobati kencing nanah, gangguan pernafasan dan bronkhitis, memproduksi ASI, tambah darah, eksim dan bisul, serta dan demam (Yanto, 2013).

Gambar 2. Bayam Duri ( Amaranthus spinosus )

Menurut Yanto (2013), klasifikasi bayam duri ( Amaranthus spinosus ), yaitu:Kingdom : Plantae (Tumbuhan)Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)Sub Kelas : HamamelidaeOrdo : CaryophyllalesFamili : Amaranthaceae (suku bayam-bayaman)Genus : AmaranthusSpesies : Amaranthus spinosus L.

Suku Hamamelidae merupakan tumbuhan berkayu dengan daun tunggal yang duduknya tersebar atau berhadapan hampir selalu mempunyai daun-daun penumpu. Bunga amat kecil, tersusun sebagai bunga majemuk dengan bentuk beraneka rupa. Kurang lebih 100 jenis termasuk dalam suku ini, terbagi dalam 25 marga, tersebar di daerah panas dan sedang, kebanyakan ditemukan di Asia tenggara (Tjitrosoepomo, 1989).

2.4 Spektrofotometri Serapan Atom (AAS)Metode AAS berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, bergantung pada sifat unsurnya. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi. Spektrum atomik untuk masing-masing unsur terdiri atas garis-garis resonansi. Garis-garis lain yang bukan garis resonansi dapat berupa spektrum yang berasosiasi dengan tingkat energi molekul, biasanya berupa pita-pita lebar ataupun garis tidak berasal dari eksitasi tingkat dasar yang disebabkan oleh proses atomisasinya (Khopkar, 2010).Atomisasi sempurna sampai saat ini sulit dicapai, meskipun sudah banyak kombinasi bermacam gas. Dalam analisisnya, AAS menggunakan tungku grafit yang dengan mudah dalam beberapa detik dapat mencapai temperatur 2000-3000 K. Berbagai kondisi optimum penentuan logam secara AAS pada berbagai panjang gelombang ditunjukkan pada Tabel 1. Jelas pada teknik AAS, diperlukan sumber radiasi yang mengemisikan sinar pada panjang gelombang yang tepat sama pada proses absorpsinya. Dengan cara ini, efek pelebaran puncak dapat dihindarkan (Khopkar, 2010).Tabel 1. Kondisi Beberapa Logam Berat untuk Analisis AAS

Unsur Panjang Gelombang (nm)Tipe NyalaSensivitas (g/mL)Range Kerja (g/mL)Batas Deteksi (g/mL)

CdCoCrHgMnPb228,8240,7357,9253,7279,5217Asetilen Asetilen Asetilen Asetilen Asetilen Asetilen

0,0110,0530.0552,20,0210,110,5-23-122-8100-4001,45-200,00070,0070.0050,160,0020.015

Sensivitas dan batas deteksi merupakan dua paramater yang sering digunakan dalam AAS. Sensivitas didefinisikan sebagai konsentrasi suatu unsur dalam larutan air (g/mL) yang mengabsorpsi 1 % dari intensitas radiasi yang datang. Sedangkan batas deteksi adalah konsentrasi suatu unsur dalam larutan yang memberikan signal setara denga dua kali deviasi standar suatu seri pengukuran standar yang konsentrasinya mendekati blanko (Khopkar, 2010).