24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Lanjut Usia (Lansia) 2.1.1.Pengertian Lanjut Usia Lansia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang dan tidak bisa dihindari oleh siapapun. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode yang sebelumnya lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock 2000, dalam Arita Muwarni 2011). Menurut Undang-Undang RI nomor 13 tahun 1998, Depkes (2001) mengatakan bahwa lansia adalah seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik secara fisik yang masih berkemampuan potensial maupun karena sesuatu hal yang tidak lagi mampu berperan aktif dalam pembangunan atau tidak potensial. Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi Anna Keliat 1999, dalam R. Siti Maryam 2008) 2.1.2.Batasan Lanjut Usia Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi usia pertengahan (middle age) 6

BAB II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

stase komunitas

Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Lanjut Usia (Lansia)2.1.1.Pengertian Lanjut Usia Lansia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang dan tidak bisa dihindari oleh siapapun. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode yang sebelumnya lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock 2000, dalam Arita Muwarni 2011).Menurut Undang-Undang RI nomor 13 tahun 1998, Depkes (2001) mengatakan bahwa lansia adalah seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik secara fisik yang masih berkemampuan potensial maupun karena sesuatu hal yang tidak lagi mampu berperan aktif dalam pembangunan atau tidak potensial. Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi Anna Keliat 1999, dalam R. Siti Maryam 2008)2.1.2.Batasan Lanjut UsiaMenurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi usia pertengahan (middle age) 45 sampai 59 tahun, usia lanjut (elderly) 60 sampai 74 tahun, usia tua (old) 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Menurut Departemen Kesehatan RI membagi lansia diantaranya kelompok menjelang usia lanjut yang berusia 45 sampai 54 tahun disebut sebagai masa virilitas, usia lanjut yang berusia 55 sampai 64 tahun disebut sebagai presenium dan usia lanjut yang berusia lebih dari 65 tahun disebut sebagai senium. 2.1.3. Teori PenuaanSecara garis besar teori penuaan dibagi menjadi teori biologis dan teori psikososiologis (Stanley dan Beare, 2007).a. Teori BiologisTeori biologis mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekular dan seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. b. Teori PsikososiologisTeori ini memusatkan perrhatian pada perubahan sikap dan perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis. 1. Teori Kepribadian Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. Tahap akhir kehidupan sebagai waktu ketika orang mengambil suatu inventaris dari hidup mereka, suatu waktu untuk lebih melihat ke depan. Selama proses refleksi ini, lanisa harus menghadapai kenyataan hidupnya secara retrospektif. Lanisa sering menemukan bahwa hidup telah memberikan satu rangkaian pilihan yang sekali dipilih, akan membawa orang tersebut pada suatu arah yang tidak bisa diubah.

2. Teori Tugas Perkembangan Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai penuaan yang sukses.3. Teori Disengagement Teori ini menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran bermasyarakat dan tanggung jawabya. Proses penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. 4. Teori Aktivitas Teori ini adalah teori aktivitas penuaan, yang berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. 5. Teori Kontinuitas Teori kontinuitas juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan yang merupakan suatu kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan dampak kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan di usia tua.

2.1.4. Proses Menua Proses menua merupakan proses yang terus-menerus atau berkelanjutan secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Perubahan yanng terjadi seperti kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf dan jaringan lain. Kecepatan proses menua setiap individu pada organ tubuh tidak akan sama. Adakalanya seseorang belum tergolong lanjut usia, tetapi telah menunjukan perubahan yang mencolok. Ada pula seseorang yang telah memasuki lanjut usia tetapi penampilannya masih sehat, segar bugar, dan badan tegap. Manusia secara lambat dan progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menempuh semakin banyak distrosi meteoritik dan struktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi, diabetes melitus dan kanker yang akan menyebabkan timbulnya fase terminal seperti stroke, infark miokard, dan sebagainya. Proses menua didefinisikan sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif dan detrimental. Keadaan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan untuk dapat bertahan hidup (Wahjudi Nugroho, 2008). Menurut Constantinindes, dalam Arita Muwarni 2011, menua atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses terus menerus secara alamiah, yang dimulai sejak lahir dan setiap individu tidak sama cepatnya. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh.

2.1.5 Permasalahan Yang Terjadi Pada Lansia Permasalahan yang sering timbul pada lansia meliputi kecemasan, depresi, insomnia, paranoid, dan demensia.a. Kecemasan Gejala kecemasan yang di alami oleh lansia seperti perasaan khawatir atau takut sesuatu yang tidak diduga akan terjadi, sulit tidur sepanjang malam, rasa tegang, cepat marah, khawatir timbul penyakit yang akan terjadi, sering membayangkan hal-hal yang menakutkan, merasa panik terhadap masalah yang seharusnya bisa terselesaikan. Tindakan yang dapat dilakukan seperti adanya dukungan keluarga dengan rasa kasih sayang. b. Depresi Gejala depresi yang di alami oleh lansia seperti sering mengalami gangguan tidur atau sering terbangun pada dini hari, mudah lelah, lemas, kurang dapat menikmati kehidupan sehari-hari, kebersihan serta kerapian diri sendiri sering diabaikan atau tidak memperdulikan penampilannya, mudah marah, mudah tersinggung, daya konsentrasi berkurang, pada saat berbicara disertai topik yang berhubungan dengan rasa pesimis atau mudah putus asa, berkurang atau hilangnya nafsu makan sehingga berat badan menurun secara cepat, kadang-kadang dalam pembicaraanya ada kecenderungan untuk bunuh diri. Depresi dapat timbul secara spontan ataupun sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan dalam dalam kehidupan seperti cacat fisik atau mental, suasana duka cita dan meninggalnya pasangan hidup. c. InsomniaKebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah sehingga lansia merasa kurang nyaman terhadap diri sendiri. Kebanyakan lansia mengalami insomnia yaitu susah tidur, tidur yang hanya sebentar-sebentar, sering terbangun pada malam hari, serta bangun yang terlalu cepat dari tidur. Insomnia bisa timbul karena adanya rasa khawatir akan kematian atau tekanan batin, timbulnya rasa cemas, depresi dan lingkungan yang berisik sehingga dapat mengganggu pola tidur lansia. d. Paranoid Lansia terkadang merasa bahwa ada orang yang mengancam mereka, membicarakan, serta ingin melukai atau mencuri barang yang dimilikinya. Gejala paranoid seperti perasaan curiga, memusuhi anggota keluarga, teman-teman atau orang disekitarnya, lupa akan barang-barang yang disimpannya kemudian menuduh orang disekelilingnya mencuri barang tersebut. Paranoid merupakan manifestasi dari masalah depresi dan rasa marah yang ditahan. Tindakan yang dapat diberikan pada lansia yang mengalami paranoid yaitu memberikan rasa aman dan mengurangi rasa curiga dengan memberikan alasan yang jelas dalam setiap kegiatan yang dilakukan. e. Demensia Demensia senilis merupakan gangguan mental yang berlangsung progresif, lambat dan serius yang disebabkan oleh kerusakan organik jaringan otak. Gejala demensia seperti meningkatnya kesulitan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, mengabaikan kebersihan diri, sering lupa akan kejadian-kejadian yang dialami, pertanyaan atau kata-kata sering diulang-ulang, tidak mengenal demensia waktu, tempat atau ruang, sifat dan perilaku berubah menjadi keras kepala dan cepat marah.

2.2. Konsep Imobilisasi

Aktivitas adalah suatu energy atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu tanda kesehatan adalah adanya kemampuan seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan system persarafan dan muskuloskeletel.Aktivitas sebagai salah satu tanda bahwa seseorang itu dalam keadaan sehat. Seseorang dalam rentang sehat dilihat dari bagaimana kemampuannya dalam melakukan berbagai aktivitas seperti misalnya berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas seseorang itu tidak terlepas dari keadekuatan system persarafan dan musculoskeletal.Intoreransi aktivitas adalah penurunan kapasitas fisiologis seseorang untuk mempertahankan aktivitas sampai tingkat yang diinginkan atau yang diperlukan. Sedangkan gangguan mobilisasi sendiri adalah suatu keadaan keterbatasan kemampuan pergerakan fisik secara mandiri yang dialami oleh seseorang.Pemenuhan kebutuhan aktivitas dan latihan biasanya menyangkut tentang kemampuan untuk mobilisasi secara mandiri. Gangguan mobilisasi dapat terjadi pada semua tingkatan umur, yang beresiko tinggi terjadi gangguan mobilisasi adalah orang yang lanjut usia, post cedera dan post trauma.

2.3 EtiologiPenyebab imobilitas bermacam-macam. Pada kenyataannya, terdapat banyak penyebab imobilitas yang unik pada orang-orang yang di imobilisasi. Semua kondisi penyakit dan rehabilitasi melibatkan beberapa derajat imobilitas. Ada bebetapa faktor yang berhubungan dengan gangguan aktivitas pada lansia, yaitu:a. Tirah baring dan imobilitasb. Kelemahan secara umumc. Gaya hidup yang kurang gerakd. Ketidakseimbanag antara suplai oksigen dan kebutuhanBerbagai penyebab dari imobilitasi fisik dapat dihubungkan dengan lingkungan internal dan eksternal.a. Faktor Internal Faktor internal yang dapat menyebabkan imobilitas atau gangguan aktivitas adalah:1) Penurunan fungsi musculoskeletalOtot : adanya atrofi, distrofi, atau cederaTulang : adanya infeksi, fraktur, tumor, osteoporosis, atau osteomalaisa.Sendi : adanya artritis dan tumor2) Perubahan fungsi neurologisMisalnya adanya infeksi atau ensefalitis, tumor, trauma, obat-obatan, penyakit vaskuler seperti stroke, penyakit demielinasi seperti sklerosis multiple, penyakit degeneratif, terpajan produk racun, gangguan metabolik atau gangguan nutrisi.3) NyeriNyeri dengan penyebab yang multiple danbervariasi seperti penyakit kronis dan trauma.4) Defisit perceptual5) Berkurangnya kemampuan kognitif6) Jatuh7) Perubahan fungsi social8) Aspek psikologis

b. Faktor EksternalBanyak faktor eksternal yang mengubah mobilitas pada lansia. Faktor tersebut adalah program terapeutik, karakteristik tempat tinggal dan staf, sistem pemberian asuhan keperawatan, hambatan-hambatan,dan kebijakan-kebijakan institusional.1) Program terapeutik Program penanganan medis memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas dan kuantitas pergerakan pasien. Misalnya pada program pembatasan yang meliputi faktor-faktor mekanis dan farmakologis, tirah baring, dan restrain. Faktor-faktor mekanis dapat mencegah atau pergerakan tubuh atau bagian tubuh dengan penggunaan peralatan eksternal (misalnyagipsdan traksi) atau alat-alat (misalnya yang dihubungkan dengan pemberian cairan intravena, pengisapan gaster, kateter urine, dan pemberian oksigen). Agens farmasetik seperti sedatif, analgesik, transquilizer, dan anastesi yang digunakan untuk mengubah tingkat kesadaran pasien dapat mengurangi pergerakan atau menghilangkannya secara keseluruhan. Tirah baring dapat dianjurkan atau merupakan akibat dari penanganan penyakit cedera. Sebagai intervensi yang dianjurkan, istirahat dapat menurunkan kebutuhan metabolik, kebutuhan oksigen, dan beban kerja jantung. Selain itu, istirahat dapat memberikan kesempatan pada sistem muskuloskeletal untuk relaksasi menghilangkan nyeri, mencegah iritasi yang berlebihan dari jaringan yang cedera, dan meminimalkan efek gravitasi. Tirah baring dapat juga merupakan akibat dari faktor-faktor fisiologis atau psikologis lain. Restrain fisik dan pengamanan tempat tidur biasanya digunakan pada lansia yang diinstitusionalisasi. Alat-alat ini turut berperan secara langsung terhadap imobilitas dengan membatasi pergerakan ditempat tidur dan secara tidak langsung terhadap peningkatan resiko cedera ketika seseorang berusaha untuk memperoleh kebebasan dan mobilitasnya.2) Karakteristik penghuni institusi Tingkat mobilitas dan pola perilaku dari kelompok teman sebaya klien dapat mempengaruhi pola mobilitas dan perilakunya. Dalam suatu studi tentang status mobilitas pada penghuni panti jompo, mereka yang dapat berjalan dianjurkan untuk menggunakan kursi roda karena anggapan para staf untuk penghuni yang pasif.3) Karakteristik staf Karakteristik dari staf keperawatan yang mempengaruhi pola mobilitas adalah pengetahuan, komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dan pemahaman tentang konsekuensi fisiologis dari imobilitas dan tindakan-tindakan keperawatan untuk mencegah atau melawan pengaruh imobilitas penting untuk mengimplementasikan perawatan untuk memaksimalkan mobilitas. Jumlah anggota staf yang adekuat dengan suatu komitmen untuk menolong lansia mempertahankan kemandiriannya harus tersedia untuk mencegah komplikasi imobilitas.4) Sistem pemberian asuhan keperawatan Jenis sitem pemberian asuhan keperawatan yang digunakan dalam institusi dapat mempengaruhi status mobilitas penghuninya. Alokasi praktik fungsional atau tugas telah menunjukkan dapat meningkatkan ketergantungan dan komplikasi dari imobilitas.5) Hambatan-hambatan Hambatan fisik dan arsitektur dapat mengganggu mobilitas. Hambatan fisik termasuk kurangnya alat bantu yang tersedia untuk mobilitas, pengetahuan dalam menggunakan alat bantu mobilitas tidak adekuat, lantai yang licin, dan tidak adekuatnya sandaran untuk kaki. Sering kali, rancangan arsitektur rumah sakit atau panti jompo tidak memfasilitasi atau memotivasi klien untuk aktif dan tetap dapat bergerak.6) Kebijakan-kebijakan institusi Faktor lingkungan lain yang penting untuk lansia adalah kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur institusi. Praktik pengaturan yang formal dan informal ini mengendalikan keseimbangan antara perintah institusional dan kebebasan individu. Semakin ketat kebijakan, semakin besar efeknya pada mobilitas.

2.4. Dampak Masalah pada LansiaLansia sangat rentan terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis dari imobilitas. Perubahan yang berhubungan dengan usia disertai dengan penyakit kronis menjadi predisposisi bagi lansia untuk mengalami komplikasi-komplikasi ini. Secara fisiologis, tubuh bereaksi terhadap imobilitas dengan perubahan-perubahan yang hamper sama dengan proses penuaan, oleh karena itu memperberat efek ini.Suatu pemahaman tentang dampak imobilitas dapat diperoleh dari interaksi kompetensi fisik, ancaman terhadap imobilitas, dan interpretasi pada kejadian. Imobilitas dapat mempengaruhi tubuh yang telah terpengaruh sebelumnya. Sebagai contoh, setelah masa dewasa awal terdapat penurunan kekuatan yang jelas dan berlangsung terus secara tetap.Oleh karena itu, kompetensi fisik seorang lansia mungkin berada pada atau dekat tingkat ambang batas untuk aktivitas mobilitas tertentu. Perubahan lebih lanjut atau kehilangan dari imobilitas dapat membuat seseorang menjadi tergantung.

2.6 Manifestasi KlinisDampak fisik dari imobilitas dan ketidakaktifan sangat banyak dan bermacam-macam. Masalah-masalah yang berhubungan dapat mempengaruhi semua sistem pada tubuh.

Tabel 2.1 Dampak Fisiologis dari imobilitas dan ketidakaktifanNOEFEKHASIL

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

Penurunan konsumsi oksigen maksimum

Penurunan fungsi ventrikel kiri

Penurunan curah jantung

Penurunan volume sekuncup

Peningkatan katabolisme protein

Peningkatan pembuangan kalsium

Perlambatan fungsi usus

Pengurangan miksi

Gangguan metabolisme glukosa

Penurunan ukuran thoraks

Penurunan aliran darah pulmonal

Penurunan cairan tubuh total

Gangguan sensori

Gangguan tidurIntoleransi ortostatik

-Peningkatan denyut jantung-Sinkop

Penurunan toleransi latihan

Penurunan kapasitas kebugaran

-Penurunan massa otot tubuh-Atrofi muskular-Penurunan kekuatan otot

Osteoporosis

Konstipasi

Penurunan evakuasi kandung kemih

Intoleransi glukosa

Penurunan kapasitas fungsional residual

-Atelektasis-Penurunan PO2-Peningkatan pH

-Penurunan volume plasma-Penurunan keseimbangan natrium-Penurunan volume darah total

-Perubahan kognisi-Depresi dan ansietas-Perubahan persepsi

-Bermimpi pada siang hari-Halusinasi

2.6 Penatalaksanaana. Pencegahan primerPencegahan primer merupakan proses yang berlangsung sepanjang kehidupan dan episodik. Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang kehidupan, moblilitas dan aktivitas tergantung pada fungsi system musculoskeletal, kardiovaskuler, pulmonal. Sebagai suatu proses episodikpencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-masalah yang dapat tmbul akibat imoblitas atau ketidak aktifan.1) Hambatan terhadap latihan Bahaya-bahaya interpersonal termasuk isolasi social yang terjadi ketika teman-teman dan keluarga telah meninggal. Perilaku gaya hidup tertentu (misalnya merokok dan kebiasaan diet yang buruk) Depresi gangguan tidur Kurangnya transportasi dan kurangnya dukungan. Hambatan lingkungan termasuk kurangnya tempat yang aman untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak mendukung. Sikap budaya Gender juga dianggap sebagai hambatan karena aktivitas fisik diterima sebagai sesuatu yang lebih penting bagi kaum pria daripada wanita.2) Pengembangan program latihanProgram latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan, dan mengalami peningkatan. Program tersebut disusun untuk memberikn kesempatan pada klien untuk mengembangkan suatu kebiasaan yang teratur dalam melakukan bentuk aktif dari rekreasi santai yang dapat memberikan efek latihan. Aktivitas atau latihan harus disesuaikan dengan kapasitas klien. Sebelum seorang lansia memulai program latihan, dianjurkan untuk melakukan pengkajian sebelum latihan, yang meliputi sedikitnya riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter atau praktisi keperawatan. Ketika klien telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang faktor-faktor pengganggu berikut ini akan membantu untuk memastikan keterikatan dan meningkatkan pengalaman, yaitu: Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadsi sebelum, selama dan setelah aktivitas diberikan). Kecenderungan alami (predisposisi atau penngkatan kearah latihan khusus). Kesulitan yang dirasakan. Tujuan dan pentingnya lathan yang dirasakan. Efisiensi latihan untuk dirisendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang akan berhasil)3) KeamananKetika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh klien, instruksi tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien untuk mengenali tanda-tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras sama pentingnya dengan memilih aktivitas yang tepat.

b. Pencegahan SekunderSpiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari imobilitas dapat dkurangi atau dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi berasal dri suatu pengertian tentang berbagai factor yang menyebabkan atau turut berperan terhadap imobilitas dan penuaan. Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawatan dihubungkan dengan pencegahan sekunder adalah gangguan mobilitas fisik.

c. Penatalaksanaan terapeutikPengobatan terapeutik ditujukan kearah perawatan penyakit atau kesakitan yang dihasilkan atau yang turut berperan terhadap masalah imobilitis dan penanganan konsekuensi aktual atau potensial dari imobilitas. Contoh-contoh pendekatan terhadap penanganan imobilitas meliputi terapi fisik untuk mempertahankan mobilitas dan kekuatan otot, kompresi pneumatik intermiten dan kekuatan otot, kompresi pneumatik intermiten atau stoking kompresi gradien untuk meningkatkan aliran darah vena dan mencegah tromboembolisme, spirometri insesif untuk hiperinflasi alveoli, dan tirah baring, kecuali untuk eliminasi.

DAFTAR PUSTAKA

Wartonah, Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 3. Jakarta: Salemba MedikaWilkinson M. Judith. 2006.Buku Saku Diagnosis Keperawatandengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOCEdisi 7.Jakarta : EGCMaryam, R.Siti, Ekasari, Mia Fatma, Rosidawati, Jubaedi, Ahmad, Batubara, Irwan. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik Edisi 3. Jakarta: EGC Muwarni, Arita & Priyantari, Wiwin. 2011. Gerontik Konsep Dasr dan Asuhan Keperawatan Homecare dan Komunitas. Yogyakarta: Fitramaya Stanley, Mickey & Beare, Patricia Gauntlet. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC

20