Upload
iwanhariyanto
View
14
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kajian Pustaka
1. Konseling Behavioristik
a. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling berasal dari dua kata yaitu bimbingan
dan konseling. Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang
didalamnya terkandung beberapa makna. Sertzer & Stone (dalam
Dahlani, www.konselingindonesia.com, 2009) menemukakan bahwa
guidance berasal kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot,
manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau
mengemudikan).
Prayitno dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa
bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh
orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik
anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat
mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan
memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat
dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Sementara,
Winkel (2005:27) mendefenisikan bimbingan: (1) suatu usaha untuk
melengkapi individu dengan pengetahuan, pengalaman dan informasi
tentang dirinya sendiri, (2) suatu cara untuk memberikan bantuan
10
kepada individu untuk memahami dan mempergunakan secara efisien
dan efektif segala kesempatan yang dimiliki untuk perkembangan
pribadinya, (3) sejenis pelayanan kepada individu-individu agar
mereka dapat menentukan pilihan, menetapkan tujuan dengan tepat
dan menyusun rencana yang realistis, sehingga mereka dapat
menyesuaikan diri dengan memuaskan diri dalam lingkungan dimana
mereka hidup, (4) suatu proses pemberian bantuan atau pertolongan
kepada individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan
pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih,
menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan
tuntutan lingkungan.
Djumhur dan Moh. Surya, (dalam Dahlani,
www.konselingindonesia.com, 2009) berpendapat bahwa bimbingan
adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan
sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya
(self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self
acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction)
dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai
dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri
dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang
Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa “…Bimbingan merupakan
11
bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka
menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa
depan…” (dalam Dahlani, www.konselingindonesia.com, 2009).
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa
bimbingan pada prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang
dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang
individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan
pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih,
menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan
tuntutan lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Sedangkan konseling menurut Prayitno dan Erman Amti
(2004:105) adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui
wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada
individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang
bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Sejalan
dengan itu, Winkel (2005: 34) mendefinisikan konseling sebagai
serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha
membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien
dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan
atau masalah khusus.
Berdasarkan pengertian konseling di atas dapat dipahami
bahwa konseling adalah usaha membantu konseli/klien secara tatap
muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab
12
sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus. Dengan kata
lain, teratasinya masalah yang dihadapi oleh konseli/klien.
Dari pengertian bimbingan dan konseling tersebut di atas, maka
dalam penelitian ini dapat disampaikan bahwa bimbingan dan
konseling merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan
konselor kepada konseli dalam hal memahami diri sendiri,
menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan
lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai
dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan berdasarkan norma-
norma yang berlaku dengan cara tatap muka dengan tujuan agar
konseli dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai
persoalan atau masalah khusus
b. Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling
Sebagai suatu bentuk bidang layanan, maka bimbingan dan
konseling memiliki beberapa prinsip, macam, sifat, fungsi, serta tujuan
yang jelas, sehingga dapat memberikan batasan cakupan atau bidang
layanan bimbingan dan konseling tersebut.
Menurut Pusat Kurikulum Depdiknas (2006: 11), prinsip-
prinsip konseling berkenaan dengan sasaran layanan, permasalahan
yang dialami peserta didik, program pelayanan, serta tujuan dan
pelaksanaan pelayanan Terdapat beberapa prinsip bimbingan dan
konseling di sekolah, yang secara garis besar dapat disimpulkan
sebagai berikut:
13
1) Prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan individu
a) Program layanan bimbingan harus diberikan kepada seluruh
siswa, tetapi tidak semua siswa harus dibimbing;
b) Diperlukan suatu kriteria untuk mengatur prioritas layanan
bimbingan kepada siswa tertentu;
c) Program layanan bimbingan harus berpusat kepada individu;
d) Layanan bimbingan harus dapat memenuhi kebutuhan individu
yang dibimbing secara serba ragam dan serba luas;
e) Keputusan terakhir dalam proses bimbingan ditentukan oleh
konseli sendiri;
f) Individu yang dibimbing harus berangsur-angsur dapat
membimbing diri sendiri.
2) Prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan pembimbing atau
konselor
a) Konselor harus melakukan tugasnya sesuai dengan
kemampuannya masing-masing;
b) Konselor dipilih atas dasar kualifikasi kepribadian, pendidikan,
pengalaman, dan kemampuannya;
c) Konselor harus mendapat kesempatan untuk mengembangkan
dirinya serta keahliannya melalui berbagai latihan datau
penataran;
d) Konselor hendaknya senantiasa menggunakan informasi yang
tersedia mengenai individu yang dibimbing dan lingkungannya,
14
sebagai bahan untuk membantu konseli ke arah penyesuaian
diri yang lebih baik;
e) Konselor harus menjaga dan menghormati kerahasiaan
informasi dari konselinya;
f) Konselor hendaknya menggunakan berbagai jenis metode dan
teknik yang tepat dalam melakukan tugasnya.
3) Prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan organisasi dan
administrasi bimbingan
a) Bimbingan harus dilaksanakan secara kontinyu;
b) Dalam melaksanakan bimbingan harus tersedia kartu pribadi
bagi setiap siswa;
c) Program bimbingan harus disusun sesuai dengan kebutuhan
sekolah yang bersangkutan;
d) Pembagian waktu haris diatur untuk setiap petugas secara baik
e) Bimbingan harus dilaksanakan dalam situasi individual atau
kelompok, tergantung masalah dan metode yang digunakan
dalam problem solving;
f) Sekolah sebaiknya terbuka terhadap kerja sama dengan
lembaga-lembaga di luar sekolah yang menyelenggarakan
layanan yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling
pada umumnya;
g) Kepala sekolah memegang tanggung jawab tertinggi dalam
pelaksanaan perencanaan program bimbingan di sekolah.
15
c. Macam-macam Bimbingan
Menurut Winkel (dalam Vitalis, 2006:70-74), terdapat berbagai
macam bentuk bimbingan. Macam-macam bimbingan tersebut dapat
ditinjau dari berbagai segi, antara lain:
1) Ditinjau dari sifatnya, bimbingan dapat dibedakan menjadi:
a) Bimbingan prefentif (preventive), yaitu bimbingan pencegahan
atau bimbingan yang diberikan sebelum timbul permasalahan.
b) Bimbingan kuratif (curative), yaitu bimbingan yang bertujuan
untuk mengatasi atau memecahkan masalah yang menimpa
atau yang sedang dihadapi siswa. Jadi sifat bimbingan ini lebih
menunjuk kepada penyembuhan atau pemecahan masalah.
c) Bimbingan preservatif, yaitu bimbingan yang diberikan dengan
tujuan untuk memelihara keadaan yang sudah baik atau mapan
supaya tetap terjaga kebaikannya, atau dikembangkan menjadi
lebih baik. Jadi lebih menunjuk kepada pemeliharaan agar
masalah yang telah diatasi tidak muncul lagi.
2) Ditinjau dari segi jenisnya, bimbingan dibedakan menjadi:
a) Vocational guidance, yaitu bimbingan dalam memilih lapangan
pekerjaan atau jabatan/profesi, dalam mempersiapkan diri
untuk memasuki lapangan kerja dan dalam menyesuaikan diri
dengan tuntutan dari pekerjaan tertentu.
16
b) Educational guidance, yaitu bimbingan dalam hal menemukan
cara belajar yang tepat, dalam mengatasi kesulitan-kegagalan
belajar, memilih jurusan atau studi lanjut.
c) Personal-social guidance, yaitu bimbingan dalam menghadapi
dan mengatasi masalah kesulitan-kesulitan pribadi.
3) Ditinjau dari fungsinya, dalam Pusat Kurikulum Depdiknas (2006:
9), bimbingan dapat dibedakan menjadi:
a) Fungsi pemahaman
Yang pertama dan paling awal dilakukan oleh konselor sekolah
adalah mengetahui siapa dan bagaimana siswa yang dikenai
bimbingan itu. Mengetahui siapa dan bagaimana individu siswa
berarti berusaha mengungkapkan dan memahami apa masalah
dan kesulitan yang dihadapinya, apa dan bagaimana kekuatan-
kekuatan dan kelemahan-kelemahannya. Hal ini dapat
diperoleh melalui berbagai informasi tentang diri siswa, dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu yang sesuai.
b) Fungsi penyesuaian
Layanan bimbingan dan konseling berfungsi membantu
terciptanya penyesuaian antara diri siswa dengan
lingkungannya.
c) Fungsi penyaluran
Dalam keseluruhan proses pendidikan di skeolah siswa perlu
dibantu agar memperoleh hasil belajar yang maksimal. Untuk
17
itu setiap siswa hendaknya memperoleh kesempatan
menyalurkan bakat, minat, dan kemampuannya, serta
kebutuhan dan kecakapannya.
d) Fungsi pemecahan/pemberian bantuan
Fungsi ini merupakan upaya yang banyak membantu siswa
dalam mengatasi masalah-masalah yang antara lain berupa:
sikap dan kebiasaan belajar dalam belajar, masalah pribadi,
masalah emosi, kondisi situasi masa remaja yang belum
dipahami siswa, perasaan rendah diri, masalah adaptasi, dan
lain-lain.
d. Tinjauan tentang Konseling Behavioristik
1) Sejarah Konseling Behavioristik
Sejarah konseling behavioristik bermula dari Ivan
Sechenov (1829-1905), seorang ahli fisiologi Rusia, yang dalam
hipotetiknya (1963) memandang fungsi-fungsi otak sebagai
pancaran reflek yang terdiri atas tiga komponen yaitu input
sensorik, proses, dan efferent outflow. Sechenov berkeyakinan
bahwa tingkah laku terdiri atas respon-respon terhadap stimulasi-
stimulasi dengan interaksi-interaksi dari ransangan dan hambatan
yang beroperasi pada bagian sentral dari pancaran reflek
(www.konselingindonesia.com., 2010).
Konseling behavioristik merupakan konseling yang
mengetengahkan proses belajar pada proses konselingnya. Teori-
18
teori tentang hukum-hukum belajar pun menjadi corak khas dalam
memodifikasi tingkah laku klien. Sebagai proses belajar,
pengertian belajar diartikan sebagai “suatu perubahan dalam
perbuatan atau dalam melakukan sesuatu yang berhubungan
dengan beberapa pengalaman”. Bahaviorisme memandang bahwa
semua respon yang mendatangkan akibat adalah penanda
terjadinya proses belajar (www.konselingindonesia.com., 2010).
Selain itu, penegasan yang terpenting dari behavioristik
terletak pada perhatian mereka yang hanya tertuju pada sesuatu
yang dapat diamati secara ilmiah, yang memungkinkan terjadinya
pengukuran. Ukuran yang dimaksud terletak pada suatu respon
(perilaku) dan akibat yang mengikuti respon.
Karena itu, dalam realitas behaviorisme, tidak ada dan tidak
akan pernah ada kebebasan memilih, yang ada hanya hokum
perangsang dan jawaban terhadap perangsang (The law of stimulus
and respon). Jikapun ada kebebasan memilih, itu hanya karena
individu sudah dipengaruhi atau dikondisikan untuk mempercayai
itu (www.konselingindonesia.com., 2010).
2) Konsep Dasar Konseling Behavioristik
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya
dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai
kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya
19
dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian
membentuk kepribadian (Akhmad Sudrajat, 2008).
Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan
macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan
lingkungan melalui hukum-hukum belajar: (a) pembiasaan klasik;
(b) pembiasaan operan; (c) peniruan. Tingkah laku tertentu pada
individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang
diperolehnya (Akhmad Sudrajat, 2008).
Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar
melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah
dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi
pembentukan tingkah laku.
Karakteristik konseling behavioristik adalah : (a) berfokus
pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan
kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c)
mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan
masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan
konseling (Akhmad Sudrajat, 2008).
3) Pendapat Ahli tentang Konseling Behavioristik
Pendekatan behavioristik merupakan sebuah pendekatan
dalam konseling yang secara umum masih dipergunakan oleh para
konselor. Tokoh pendekatan ini antara lain adalah Bandura,
20
Pavlov, Skinner dan masih banyak yang lainnya. Pendekatan ini
berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serangkaian hasil
belajar. Apa dilakukan oleh seseorang merupakan hasil produksi
dari lingkungan yang dominan seperti orang tua, sekolah,
masyarakat atau orang lain yang berpengaruh (significant other).
Manusia dianggap sebagai mahkluk yang tidak mempunyai daya
apa-apa (determinitif). Manusia identik dengan robot, yang tidak
memiliki inisiatif dan hanya bisa melakukan sesuatu karena
merespon sebuah perintah atau aturan.
Walaupun teori ini (yang klasik) sudah banyak ditentang
oleh aliran-aliran baru dalam konseling, tetapi teori ini tetap saja
eksis dengan melakukan beberapa modifikasi. Skinner (dalam
Soedarmadji dan Sutujono, 2005) menyatakan bahwa pandangan
teori behavioristik terhadap terhadap manusia adalah 1) perilaku
organisme bukan merupakan suatu fenomena mental, lebih
ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek
perkembangan kepribadian, 2) perkembangan kepribadian bersifat
deterministik, 3) perbedaan individu karena adanya perbedaan
pengalaman, 4) dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa
bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan
tidak dapat mengatur perilaku manusia dan 5) walaupun
perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara
umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh
21
yang sangat besar. Uraian tersebut menunjukkan bahwa manusia
adalah sosok yang sangat deterministik.
Chamblers dan Goldstein (dalam Gilliland, 1989)
menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas mengenai pribadi
yang sehat atau tidak sehat. Hal ini disebabkan para tokoh aliran ini
mengakui bahwa perilaku maladaptif adalah seperti perilaku
adaptif, yaitu dipelajari. Sehingga, tujuan konseling dalam
pendekatan ini adalah mengajak konseli untuk belajar perilaku
baru, yaitu perilaku yang dikehendaki oleh lingkungan yang
dominan.
Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-
pendekatan konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai
pada (a) pemusatan perhatian pada bentuk perilaku yang tampak
dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan treatment, (c)
perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan
masalah dan (d) penafsiran yang obyektif terhadap hasil terapi
(Corey, 2005).
Psikologi yang dikenal sebagai ilmu tentang perilaku
manusia sebenarnya banyak dipengaruhi oleh paradigma
behavioris. Paradigma tersebut melihat manusia “as the behaviorist
views it,” sehingga kepribadian manusia dalam perspektif
behavioristik adalah perilaku nampak dari seseorang individu.
Kemunculan behavioris sebagai peradigma merupakan gagasan
22
dari akibat ketidakpuasan terhadap psikologi yang sudah ada
sebelumnya (psikoanalisis).
Asumsi dasar dari psikologi behavioristis antara lain
(Alwisol, 2003: 400):
a) Tingkah laku itu mengikuti hukum tertentu, artinya setiap
peristiwa berhubungan secara teratur dengan peristiwa lainnya.
b) Tingkah laku dapat diramalkan (diprediksikan).
c) Tingkah laku manusia dapat dikontrol.
Dari paradigma behavioris tersebut lahirlah pendekatan
konseling yang disebut dengan konseling behavioristik, yang
menekankan aspek modifikasi perilaku. Sejak perkembangannya
tahun 1960-an, teknik-teknik modifikasi perilaku semakin
bervariasi baik yang menekankan aspek perilaku nampak (fisik)
maupun kognitif. Saat ini konseling behavioristik berkembang
pesat dengan ditemukannya sejumlah teknik-teknik pengubahan
perilaku, baik yang menekankan pada aspek fisiologis, perilaku,
maupun kognitif (Hackman dalam Dani, dkk., 2010). Rachman dan
Wolpe (dalam Dani, dkk., 2010) mengemukakan bahwa terapi
behavioristik dapat menangani masalah perilaku mulai dari
kegagalan individu untuk belajar merespon secara adaptif hingga
mengatasi gejala neurosis.
Koseling behavioristik dapat mengatasi masalah-masalah
klien yang mengalami fobia, cemas, gangguan seksual,
23
penggunaan zat adiktif, obsesi, depresi, gangguan kepribadian,
serta sejumlah gangguan pada anak (Hackmann dalam Dani, dkk.,
2010). Menurut Krumboltz dan Thoresen (dalam Dani, dkk.,
2010), konseling behavior merupakan suatu proses membantu
orang untuk memecahkan masalah.interpersonal, emosional dan
keputusan tertentu.
Urutan pemilihan dan penetapan tujuan dalan konseling
yang digambarkan oleh Cormier and Cormier (Corey dalam Dani,
dkk., 2010) sebagai salah satu bentuk kerja sama antara konselor
dan klien sebagai berikut:
a) Konselor menjelaskan maksud dan tujuan.
b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki
sebagai hasil konseling.
c) Klien dan konselor menetapkan tujuan yang telah ditetapkan
apakah merupakan perubahan yang dimiliki oleh klien.
d) Bersama-sama menjajaki apakah tujuan itu realistik.
e) Mendiskusikan kemungkinan manfaat tujuan.
f) Mendiskusikan kemungkinan kerugian tujuan.
g) Atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien,
konselor dan klien membuat salah satu keputusan berikut:
untuk meneruskan konseling atau mempertimbangkan kembali
tujuan akan mencari referal.
24
4) Asumsi Tingkah Laku Bermasalah dalam Konseling
Behavioristik
a) Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-
kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu
tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
b) Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar
atau lingkungan yang salah.
c) Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon
tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku
maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam
menanggapi lingkungan dengan tepat.
d) Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan
juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan
prinsip-prinsip belajar (Sugiharto, 2009).
5) Tujuan Konseling Behavioristik
Menurut Akhmad Sudrajat (2008), tujuan dari konseling
behavioristik adalah mengahapus/menghilangkan tingkah laku
maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru
yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien. Tujuan yang
sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik,
yang meliputi:
a) diinginkan oleh klien;
25
b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan
tersebut;
c) klien dapat mencapai tujuan tersebut; dan
d) dirumuskan secara spesifik
Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama)
menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.
6) Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioristik
Menurut Akhmad Sudrajat (2008), prinsip kerja teknik
konseling behavioristik meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar
klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan
tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan
dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan
melalui tingkah laku klien.
b) Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak
diinginkan.
c) Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan
mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang
tidak diinginkan.
d) Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian
contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata
langsung).
26
e) Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah
laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya
dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun
keuntungan sosial.
7) Teknik-teknik Konseling Behavioristik
Sedangkan teknik-teknik konseling behavioristik, menurut
Akhmad Sudrajat (2008) dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Latihan Asertif
Teknik ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami
kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah
layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya
untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan
perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak,
mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang
digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan
konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan
dalam latihan asertif ini.
b) Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling
behavioristik yang memfokukskan bantuan untuk
menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara
mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah
menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan
27
menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku
yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-
respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara
bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan
teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku
yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan,
dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah
laku yang akan dihilangkan.
c) Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan
buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan
klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya
dengan kebalikan stimulus tersebut.
Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut
diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku
yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini
diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak
dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
d) Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku
baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah
terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien
tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio,
28
model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan
dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah
laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari
konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
2. Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Menurut Slameto (2003:102), persepsi adalah proses yang
menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia.
Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan
dengan masyarakat. Hubungan ini dilakukan lewat indranya yaitu
indra pernglihat, indra peraba , pencium, pendengar dan indra perasa.
Atkinson dan Hilgard (dalam Moh. Ali dan Asrori, 2005: 192)
menjelaskan bahwa persepsi adalah proses menginterprestasikan dan
mengorganisasikan pola- pola stimulus yang berasal dari lingkungan.
Sedangkan menurut Maramis (1995: 105), persepsi adalah daya
mengenal sesuatu, kualitas atau hubungan serta perbedaan antara hal
tersebut melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan
setelah panca indra mendapat rangsangan.
Pendapat yang disampaikan oleh Levini dan Shefner (dalam
Moh. Ali 2009: 192) memberi pengertian persepsi adalah cara-cara
individu dalam berperilaku berdasarkan pemahaman, pengetahuan,
pendiriannya masing-masing.
29
Dari uraian beberapa pendapat di atas, maka papat dinyatakan
bahwa persepsi adalah proses individual dalam menginterprestasikan
dan mengorganisir serta memberi makna pada stimulus yang berasal
dari lingkungan dimana ia tinggal dan merupakan hasil dari proses
belajar, pendirian dan keyakinannya masing-masing.
b. Proses Terjadinya Persepsi
Sebagaimana proses belajar, persepsi bukan proses yang sekali
jadi, melainkan melalui proses menggabungkan, menginterprestasi dan
pada akhirnya memberikan penilaian. Proses-proses tersebut dilakukan
dengan menggunakan indranya sehingga bisa mengorganisasi,
menginterprestasi serta mampu memberi nilai pada stimulus yang
berasal dari lingkungan, hasilnya bisa berupa pendapat, keyakinan dan
tingkah laku yang nyata, Bimo Walgito (dalam Sukemi, 2004).
Atkinson (dalam Moh. Ali dan Asrori, 2005: 194) menjelaskan
bahwa proses persepsi tergantung pada pengalaman masa lalu,
pendidikan, perangsang spesifik yang menimbulkan reaksi pada waktu
itu dan interprestasi individu dalam menafsirkan informasi yang
diterimanya.
Adapun tahapan-tahapan terjadinya persepsi, menurut Stagner
dan Solley (dalam Moh. Ali dan Asrori, 2005: 195) meliputi hal-hal
sebagai berikut:
30
1) Adanya stimulus yang ditangkap panca indera
Persepsi tidak akan mungkin muncul tanpa adanya penangkapan
panca indera atas stimulus yang datang kepadanya. Misalkan,
seseorang tidak akan mampu mempersepsi bahwa suatu
pemandangan pegunungan sangat indah atau bunga melati harum
baunya tanpa ada stimulus berupa penglihatan atas pemandangan
pegunungan tersebut dan penciuman hidung atas bau dari bungan
melati.
2) Adanya kesadaran individu akan datangnya stimulus
Tanpa adanya suatu bentuk kesadaran akan datangnya stimulus,
seseorang tidak akan mungkin mampu mempersepsi sesuatu.
Misalnya, sikap seorang teman terhadap seseorang tidak akan dapat
dipersepsikannya jika seseorang tersebut tidak menyadari bahwa
sikap yang ditunjukkan temannya tersebut memang ditujukan
padanya.
3) Individu menginterpretasikan stimulus tersebut
Bagi individu yang tidak mampu menginterpretasikan stimulus
atau tindakan yang datang kepadanya, maka seseorang tersebut
tidak akan mampu mempersepsikan stimulus tersebut. Misalnya,
orang yang sakit flu berat tidak akan mampu mempersepsikan
bahwa bunga melati itu harum baunya.
31
4) Individu mewujudkan stimulus tersebut dalam bentuk tingkah laku.
Perpsepsi biasanya ditindaklanjuti dengan suatu bentuk tingkah
laku, misalnya stimulus yang ebrupa sikap baik seorang teman
akan diikuti dengan suatu bentuk tingkah laku membalas budi atau
bersikap baik pula. Tetapi, jika seseorang tidak mampu
mempersepsikan sikap baik teman tersebut, maka ia tidak akan
dapat bersikap baik atau membalas budi pada teman tersebut.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Irwanto (2002: 96) menyatakan bahwa terdapat beberapa
faktor-faktor mempengaruhi persepsi, antara lain: (1) perhatian yang
selektif, (2) ciri-ciri yang menonjol, (3) nilai dan kebutuhan individu,
dan (4) pengalaman terdahulu. Adapun uraian dari beberapa hal
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Perhatian yang selektif
Diantara sekian banyak stimulus yang hadir secara bersamaan
dalam kehidupan manusia, maka stimulus yang banyak mendapat
perhatialah yang nantinya akan muncul dalam perilakunya
(Irwanto, 2002: 96).
2) Ciri-ciri yang menonjol
Rangsangan yang punya ciri-ciri tertentu akan lebih menarik
dibandingkan dengan yang biasa-biasa saja. Seperti halnya
stimulus yang bergerak akan lebih menarik dan diperhatikan dari
pada stimulus yang diam saja (Irwanto, 2002: 96).
32
3) Nilai dan kebutuhan individu
Respon yang akan diterima dari persepsi akan disesuaikan dengan
nilai dan kebutuhannya. Seperti sebuah penelitian menunjukkan
bahwa orang dari ekonomi rendah dalam melihat koin logam akan
lebih berharga daripada orang dari kelas ekonomi lebih tinggi
(Irwanto, 2002: 97).
4) Pengalaman terdahulu
Tingkah laku yang muncul pada seseorang akan sangat dipengaruhi
oleh pengalaman dan kehidupannya di masa lalu dimana ia hidup
(Irwanto, 2002: 97).
Selain faktor tersebut, ada lagi faktor-faktor lain yang
mempengaruhi persepsi. Menurut Slameto (2003:120), faktor-faktor
tersebut adalah:
1) Kemampuan dalam menerima rangsangan
2) Kemauan individu dalam menerima rangsangan dan menjadi pusat
perhatian
3) Kebutuhan dan harapan akan pentingnya stimulus dalam
kehidupannya nanti
4) Latihan. Jika stimulus yang hadir selalu dilatih dan dipelajari maka
stimulus tersebut akan hadir dalam kehidupan seseorang tadi
dengan sendirinya.
Adapun persepsi siswa tentang layanan konseling sekolah,
menurut Tim BK UNESA Surabaya (dalam Hefi Setyorini, 2008) pada
33
dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang antara lain sebagai
berikut:
1) Konsepsi yang keliru tentang Bimbingan Konseling seperti:
a) Menyamakan Layanan
Konseling dengan pendidikan
b) Bantuan dalam Layanan
Konseling hanya untuk siswa yang bermasalah
c) Konseling adalah pendidikan
yang diindividualisasikan
d) Petugas Konseling di Sekolah
adalah tukang menasehati.
2) Faktor kepribadian konselor
Baik atau tidaknya kepribadian konselor sangat berpengaruh
terhadap minat siswa pada layanan konseling tersebut. Hal ini
menyangkut terbuka atau tidaknya konselor, kehangatan dalam
menerima konseli (siswa).
3) Ketrampilan konselor yang menyangkut tentang penggunaan
tehnik dalam merespon alam perasaan konseli secara tepat.
3. Sikap Belajar Siswa
a. Pengertian Sikap
Menurut Zimbardo dan Ebbesen (dalam Vitalis, 2006:24),
sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap
seseorang, ide, atau obyek yang berisi komponen-komponen cognitive,
34
affective, atau behavior. Pendapat ini juga diperkuat oleh John H.
Harvey dan William P. Smith (dalam Vitalis, 2006:24), yang
mendefinisikan sikap sebagai kesiapan merespon secara konsisten
dalam bentuk positif atau negatif terhadap obyek atau situasi.
Sedangkan Winkel (dalam Vitalis, 2006:24) mendefinisikan sikap
sebagai kecenderungan subyek dalam menerima atau menolak suatu
obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek itu sebagai obyek yang
berharga (baik) atau tidak berharga (tidak baik). Dalam sikap terdapat
aspek kognitif dan aspek afektif.
Berdasarkan konsistensi hubungan sikap dan perilaku, dalam
psikologi sosial, secara umum sikap merupakan sebuah variabel antara
yang menghubungkan ke proses mental atau kondisi mental yang
menjelaskan konsistensi tentang tanggapan yang positif-negatif dan
lintas situasi terhadap obyek. Menurut Petty dkk. (1991:21), sikap itu
merupakan evaluasi umum dan relatif tahan lama pada beberapa orang,
termasuk dirinya, kelompok, atau obyek. Tingkat ketahanannya
menunjukkan bahwa memori jangka panjang bertindak sebagai suatu
gudang untuk evaluasi yang disertakan oleh seseorang pada obyek
sikap, dan keumumannya menunjukkan bahwa sikap itu merupakan
penilaian keseluruhan atau global, bukannya sepotong-sepotong.
Menurut Schiffman dan Kanuk (1991:227),” an attitude is a
learned persdipositition to behave in a consistently favorable or
unfavorable way with respect to a given object”. Dari definisi di atas
35
dapat diuraikan bahwa sikap adalah kecederungan untuk bertindak
dalam suatu maksud yang konsisten untuk menerima atau menolak
suatu obyek atau ide yang ditawarkan. Menurut Winardi (1991:136)
sikap adalah: “Suatu predisposisi yang dipelajari untuk bereaksi
dengan cara yang positif atau positif secara konsisten sehubungan
dengan obyek tertentu”. Sikap itu berkaitan dengan perilaku, dalam
arti sikap merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman belajar.
Sehingga sikap merupakan keadaan yang berlangsung lama dan
bukanlah keadaan yang bersifat sementara.
Dari berbagai pendapat para ahli yang menjelaskan tentang
pengertian sikap tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sikap
merupakan:
1) Predisposisi yang dipelajari, yang berpengaruh terhadap tingkah
laku, dapat mengalami perubahan intensitas, dan biasanya berlaku
konsisten dalam waktu yang lama dalam situasi yang sama dan
memiliki komposisi yang hampir selalu kompleks.
2) Kesiapan dalam merespon suatu stimulus atau obyek, sehingga
dapat menimbulkan penilaian terhadap stimulus atau obyek itu
sebagai sesuatu yang positif atau negatif, berharga atau tidak
berharga.
b. Macam-
macam Sikap
36
Menurut Djumhur dan moh. Surya (dalam Vitalis, 2003:24),
sikap dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Sikap Sosial
Merupakan sikap yang diperhatikan oleh masyarakat dan tidak
dinyatakan secara perorangan, yang intinya sikap sosial ditandai
dengan subyek dan obyek sama-sama orang satu kelompok dan
dinyatakan berulang-ulang.
2) Sikap Individu
Merupakan sikap yang dimiliki seseorang secara individu, bisa
positif dan bisa juga negatif. Sikap seseorang yang muncul sangat
dipengaruhi oleh norma-norma dimana ia tinggal.
c. Ciri- ciri Sikap
Bagaimana anak bersikap di sekolah tentu tidak terlepas
dengan aturan dan norma dimana ia berada. Alland L. Edward (dalam
Vitalis 2000:24) menyebutkan ciri-ciri dari sikap, yaitu:
1) Bisa dipelajari
Artinya bisa dipelajari dengan sengaja jika sikap tersebut
mengarah pada sesuatu yang positif.
2) Punya kestabilan
Setelah dipelajari, maka akan menjadi kuat dan lebih stabil dengan
pengalaman yang dialaminya.
3) Membangun hubungan sosial yang signifikan
37
Ini dikarenakan sikap selalu berhubungan dengan orang lain. Jika
obyek menyenangkan maka akan timbul juga perasaan senang.
4) Berisi kognitif dan afektif
Kognitif berupa informasi yang aktual dan afektif merupakan
emosi atau perasaan yang berhubungan dengan sikap tersebut.
5) Pendekatan langsung pada obyek yang berkenaan padanya
Jika subyek memiliki sikap yang berkenan, maka ia dengan
sendirinya akan mendekati obyek tersebut. Tapi jika tidak, maka ia
akan menjauhinya.
6) Bukan bawaan atau hereditas
Sikap bisa dirubah dan bisa dipelajari. Perbedaan sikap yang terjadi
diantara siswa sangat dipengaruhi oleh kematangan emosi masing-
masing siswa.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap
Banyak faktor yang mempengaruhi sikap seseorang,
diantaranya menurut A.G. Lunandi (1991:3), yang menyebutkan
sebagai berikut:
1) Faktor pangetahuan
Sikap seseorang terhadap obyek sangat dipengaruhi seberapa
banyak sedikitnya pengetahuannya.
2) Faktor ketrampilan
38
Ketrampilan yang dimiliki membuat seseorang percaya diri hingga
menghasilkan sikap atau tingkah laku baru.
3) Faktor Material
Material yang berlimpah akan memberi kemudahan siswa dalam
bersikap, menambah ketrampilan dan juga pengetahuan.
e. Fungsi Sikap
Katz (dalam Bimo Walgito, 2002: 83) menjelaskan fungsi
sikap sebagai berikut:
1) Fungsi Instrumental
Merupakan fungsi yang berkaitan dengan sarana atau tujuan.
Artinya orang punya sikap tertentu karena dengan sukap tersebut
memudahkan mencapai tujuan.
2) Fungsi Pertahanan Ego
Karena merasa terancam, maka seseorang menggunakan sikapnya
sebagai pertahanan egonya.
3) Fungsi Ekspresi Diri
Sistem nilai yang ada pada individu dapat dilihat dari sikap yang
diambilnya. Dengan sikap yang mengekspresikan nilai – nilainya
siswa akan memperoleh kepuasan karena telah menunjukkan
keadaan dirinya.
4) Fungsi Pengetahuan
39
Dengan sikap siswa punya semangat untuk membentuk
pengalamannya dan memperoleh pengetahuan yang baru.
Dari uraian tersebut maka dapat dijelaskan bahwa apabila
seseorang memiliki sikap yang positif terhadap suatu obyek, maka dia
akan berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu. Sebaliknya jika
seseorang memiliki sikap yang negatif terhadap suatu obyek, maka dia
akan mengecam, mencela, mengkritiknya bahkan menyerang dan
membinasakannya. (Vitalis, 2006:26). Hal ini juga berlaku pada sikap
belajar siswa. Jika seorang siswa memiliki sikap belajar yang baik, maka
dia akan belajar dengan sungguh-sungguh dan konsisten agar mampu
mencapai cita-cita yang ditentukan.
B. Kerangka Pemikiran
Program layanan konseling behavioristik merupakan bimbingan dan
konseling konseling yang mengetengahkan proses belajar pada proses
konselingnya. Teori-teori tentang hukum-hukum belajar menjadi corak khas
dalam memodifikasi tingkah laku klien. Pertimbangan yang digunakan dalam
penyelenggaraan layanan ini adalah untuk memberikan layanan konseling
dengan menggunakan proses belajar dengan tujuan untuk mempengaruhi hasil
layanan bimbingan dan konseling yang disampaikan, yaitu berupa sikapbelajar
siswa dalam sehari-harinya, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Pembentukan sikap belajar siswa dapat dipengaruhi oleh persepsi
siswa itu sendiri atas konsep belajar sebagai siswa atau pelajar.
Kecenderungan yang terjadi selama ini, siswa masih memiliki sikap belajar
40
yang tidak maksimal, dimana belajar bukan merupakan suatu bentuk
kewajiban dan kesadaran sebagai pelajar atau siswa, melainkan sebagai suatu
rutinitas yang harus dijalani dan bahkan pada beberapa siswa yang malas
belajar, belajar adalah suatu beban.
Dalam membentuk suatu sikap belajar siswa yang positif, diperlukan
berbagai upaya. Dalam penelitian ini, dilakukan suatu penyampaian layanan
konseling behavioristik dan pembentukan persepsi siswa atau penyampaian
layanan konseling di sekolah. Hal ini perlu dilakukan dengan tujuan agar
mampu membentuk sikap belajar siswa yang lebih baik dibandingkan
sebelumnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini penulis ingin
meneliti tentang pengaruh penyelenggaraan layanan konseling behavioristik
dan persepsi siswa pada layanan konseling sekolah terhadap sikap belajar
siswa. Penelitian ini akan membahas tentang keberadaan pengaruh layanan
konseling behavioristik terhadap sikap belajar siswa maupun pengaruh
persepsi siswa pada layanan konseling sekolah terhadap sikap belajar siswa
kelas II MTsN Doho, Dolopo, Kabupaten Madiun tahun pelajaran 2009/2010.
C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dapat
diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1) Terdapat pengaruh yang signifikan antara konseling behavioristik dengan
sikap belajar siswa kelas II semester genap MTsN Doho, Dolopo,
Kabupaten Madiun tahun pelajaran 2009/2010.
41
2) Terdapat pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa pada layanan
konseling sekolah dengan sikap belajar siswa kelas II semester genap
MTsN Doho, Dolopo, Kabupaten Madiun tahun pelajaran 2009/2010.
3) Terdapat pengaruh yang signifikan antara konseling behavioristik dan
persepsi siswa pada layanan konseling sekolah dengan sikap belajar siswa
kelas II semester genap MTsN Doho, Dolopo, Kabupaten Madiun tahun
pelajaran 2009/2010.
42