52
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Pustaka 1. Konseling Behavioristik a. Pengertian Bimbingan dan Konseling Bimbingan dan konseling berasal dari dua kata yaitu bimbingan dan konseling. Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang didalamnya terkandung beberapa makna. Sertzer & Stone (dalam Dahlani, www.konselingindonesia.com , 2009) menemukakan bahwa guidance berasal kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Prayitno dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang 10

BAB II

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kajian Pustaka

1. Konseling Behavioristik

a. Pengertian Bimbingan dan Konseling

Bimbingan dan konseling berasal dari dua kata yaitu bimbingan

dan konseling. Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang

didalamnya terkandung beberapa makna. Sertzer & Stone (dalam

Dahlani, www.konselingindonesia.com, 2009) menemukakan bahwa

guidance berasal kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot,

manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau

mengemudikan).

Prayitno dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa

bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh

orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik

anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat

mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan

memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat

dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Sementara,

Winkel (2005:27) mendefenisikan bimbingan: (1) suatu usaha untuk

melengkapi individu dengan pengetahuan, pengalaman dan informasi

tentang dirinya sendiri, (2) suatu cara untuk memberikan bantuan

10

kepada individu untuk memahami dan mempergunakan secara efisien

dan efektif segala kesempatan yang dimiliki untuk perkembangan

pribadinya, (3) sejenis pelayanan kepada individu-individu agar

mereka dapat menentukan pilihan, menetapkan tujuan dengan tepat

dan menyusun rencana yang realistis, sehingga mereka dapat

menyesuaikan diri dengan memuaskan diri dalam lingkungan dimana

mereka hidup, (4) suatu proses pemberian bantuan atau pertolongan

kepada individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan

pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih,

menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan

tuntutan lingkungan.

Djumhur dan Moh. Surya, (dalam Dahlani,

www.konselingindonesia.com, 2009) berpendapat bahwa bimbingan

adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan

sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang

dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya

(self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self

acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction)

dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai

dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri

dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang

Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa “…Bimbingan merupakan

11

bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka

menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa

depan…” (dalam Dahlani, www.konselingindonesia.com, 2009).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa

bimbingan pada prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang

dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang

individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan

pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih,

menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan

tuntutan lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.

Sedangkan konseling menurut Prayitno dan Erman Amti

(2004:105) adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui

wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada

individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang

bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Sejalan

dengan itu, Winkel (2005: 34) mendefinisikan konseling sebagai

serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha

membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien

dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan

atau masalah khusus.

Berdasarkan pengertian konseling di atas dapat dipahami

bahwa konseling adalah usaha membantu konseli/klien secara tatap

muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab

12

sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus. Dengan kata

lain, teratasinya masalah yang dihadapi oleh konseli/klien.

Dari pengertian bimbingan dan konseling tersebut di atas, maka

dalam penelitian ini dapat disampaikan bahwa bimbingan dan

konseling merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan

konselor kepada konseli dalam hal memahami diri sendiri,

menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan

lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai

dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan berdasarkan norma-

norma yang berlaku dengan cara tatap muka dengan tujuan agar

konseli dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai

persoalan atau masalah khusus

b. Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling

Sebagai suatu bentuk bidang layanan, maka bimbingan dan

konseling memiliki beberapa prinsip, macam, sifat, fungsi, serta tujuan

yang jelas, sehingga dapat memberikan batasan cakupan atau bidang

layanan bimbingan dan konseling tersebut.

Menurut Pusat Kurikulum Depdiknas (2006: 11), prinsip-

prinsip konseling berkenaan dengan sasaran layanan, permasalahan

yang dialami peserta didik, program pelayanan, serta tujuan dan

pelaksanaan pelayanan Terdapat beberapa prinsip bimbingan dan

konseling di sekolah, yang secara garis besar dapat disimpulkan

sebagai berikut:

13

1) Prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan individu

a) Program layanan bimbingan harus diberikan kepada seluruh

siswa, tetapi tidak semua siswa harus dibimbing;

b) Diperlukan suatu kriteria untuk mengatur prioritas layanan

bimbingan kepada siswa tertentu;

c) Program layanan bimbingan harus berpusat kepada individu;

d) Layanan bimbingan harus dapat memenuhi kebutuhan individu

yang dibimbing secara serba ragam dan serba luas;

e) Keputusan terakhir dalam proses bimbingan ditentukan oleh

konseli sendiri;

f) Individu yang dibimbing harus berangsur-angsur dapat

membimbing diri sendiri.

2) Prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan pembimbing atau

konselor

a) Konselor harus melakukan tugasnya sesuai dengan

kemampuannya masing-masing;

b) Konselor dipilih atas dasar kualifikasi kepribadian, pendidikan,

pengalaman, dan kemampuannya;

c) Konselor harus mendapat kesempatan untuk mengembangkan

dirinya serta keahliannya melalui berbagai latihan datau

penataran;

d) Konselor hendaknya senantiasa menggunakan informasi yang

tersedia mengenai individu yang dibimbing dan lingkungannya,

14

sebagai bahan untuk membantu konseli ke arah penyesuaian

diri yang lebih baik;

e) Konselor harus menjaga dan menghormati kerahasiaan

informasi dari konselinya;

f) Konselor hendaknya menggunakan berbagai jenis metode dan

teknik yang tepat dalam melakukan tugasnya.

3) Prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan organisasi dan

administrasi bimbingan

a) Bimbingan harus dilaksanakan secara kontinyu;

b) Dalam melaksanakan bimbingan harus tersedia kartu pribadi

bagi setiap siswa;

c) Program bimbingan harus disusun sesuai dengan kebutuhan

sekolah yang bersangkutan;

d) Pembagian waktu haris diatur untuk setiap petugas secara baik

e) Bimbingan harus dilaksanakan dalam situasi individual atau

kelompok, tergantung masalah dan metode yang digunakan

dalam problem solving;

f) Sekolah sebaiknya terbuka terhadap kerja sama dengan

lembaga-lembaga di luar sekolah yang menyelenggarakan

layanan yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling

pada umumnya;

g) Kepala sekolah memegang tanggung jawab tertinggi dalam

pelaksanaan perencanaan program bimbingan di sekolah.

15

c. Macam-macam Bimbingan

Menurut Winkel (dalam Vitalis, 2006:70-74), terdapat berbagai

macam bentuk bimbingan. Macam-macam bimbingan tersebut dapat

ditinjau dari berbagai segi, antara lain:

1) Ditinjau dari sifatnya, bimbingan dapat dibedakan menjadi:

a) Bimbingan prefentif (preventive), yaitu bimbingan pencegahan

atau bimbingan yang diberikan sebelum timbul permasalahan.

b) Bimbingan kuratif (curative), yaitu bimbingan yang bertujuan

untuk mengatasi atau memecahkan masalah yang menimpa

atau yang sedang dihadapi siswa. Jadi sifat bimbingan ini lebih

menunjuk kepada penyembuhan atau pemecahan masalah.

c) Bimbingan preservatif, yaitu bimbingan yang diberikan dengan

tujuan untuk memelihara keadaan yang sudah baik atau mapan

supaya tetap terjaga kebaikannya, atau dikembangkan menjadi

lebih baik. Jadi lebih menunjuk kepada pemeliharaan agar

masalah yang telah diatasi tidak muncul lagi.

2) Ditinjau dari segi jenisnya, bimbingan dibedakan menjadi:

a) Vocational guidance, yaitu bimbingan dalam memilih lapangan

pekerjaan atau jabatan/profesi, dalam mempersiapkan diri

untuk memasuki lapangan kerja dan dalam menyesuaikan diri

dengan tuntutan dari pekerjaan tertentu.

16

b) Educational guidance, yaitu bimbingan dalam hal menemukan

cara belajar yang tepat, dalam mengatasi kesulitan-kegagalan

belajar, memilih jurusan atau studi lanjut.

c) Personal-social guidance, yaitu bimbingan dalam menghadapi

dan mengatasi masalah kesulitan-kesulitan pribadi.

3) Ditinjau dari fungsinya, dalam Pusat Kurikulum Depdiknas (2006:

9), bimbingan dapat dibedakan menjadi:

a) Fungsi pemahaman

Yang pertama dan paling awal dilakukan oleh konselor sekolah

adalah mengetahui siapa dan bagaimana siswa yang dikenai

bimbingan itu. Mengetahui siapa dan bagaimana individu siswa

berarti berusaha mengungkapkan dan memahami apa masalah

dan kesulitan yang dihadapinya, apa dan bagaimana kekuatan-

kekuatan dan kelemahan-kelemahannya. Hal ini dapat

diperoleh melalui berbagai informasi tentang diri siswa, dengan

menggunakan teknik-teknik tertentu yang sesuai.

b) Fungsi penyesuaian

Layanan bimbingan dan konseling berfungsi membantu

terciptanya penyesuaian antara diri siswa dengan

lingkungannya.

c) Fungsi penyaluran

Dalam keseluruhan proses pendidikan di skeolah siswa perlu

dibantu agar memperoleh hasil belajar yang maksimal. Untuk

17

itu setiap siswa hendaknya memperoleh kesempatan

menyalurkan bakat, minat, dan kemampuannya, serta

kebutuhan dan kecakapannya.

d) Fungsi pemecahan/pemberian bantuan

Fungsi ini merupakan upaya yang banyak membantu siswa

dalam mengatasi masalah-masalah yang antara lain berupa:

sikap dan kebiasaan belajar dalam belajar, masalah pribadi,

masalah emosi, kondisi situasi masa remaja yang belum

dipahami siswa, perasaan rendah diri, masalah adaptasi, dan

lain-lain.

d. Tinjauan tentang Konseling Behavioristik

1) Sejarah Konseling Behavioristik

Sejarah konseling behavioristik bermula dari Ivan

Sechenov (1829-1905), seorang ahli fisiologi Rusia, yang dalam

hipotetiknya (1963) memandang fungsi-fungsi otak sebagai

pancaran reflek yang terdiri atas tiga komponen yaitu input

sensorik, proses, dan efferent outflow. Sechenov berkeyakinan

bahwa tingkah laku terdiri atas respon-respon terhadap stimulasi-

stimulasi dengan interaksi-interaksi dari ransangan dan hambatan

yang beroperasi pada bagian sentral dari pancaran reflek

(www.konselingindonesia.com., 2010).

Konseling behavioristik merupakan konseling yang

mengetengahkan proses belajar pada proses konselingnya. Teori-

18

teori tentang hukum-hukum belajar pun menjadi corak khas dalam

memodifikasi tingkah laku klien. Sebagai proses belajar,

pengertian belajar diartikan sebagai “suatu perubahan dalam

perbuatan atau dalam melakukan sesuatu yang berhubungan

dengan beberapa pengalaman”. Bahaviorisme memandang bahwa

semua respon yang mendatangkan akibat adalah penanda

terjadinya proses belajar (www.konselingindonesia.com., 2010).

Selain itu, penegasan yang terpenting dari behavioristik

terletak pada perhatian mereka yang hanya tertuju pada sesuatu

yang dapat diamati secara ilmiah, yang memungkinkan terjadinya

pengukuran. Ukuran yang dimaksud terletak pada  suatu respon

(perilaku) dan akibat yang mengikuti respon.

Karena itu, dalam realitas behaviorisme, tidak ada dan tidak

akan pernah ada kebebasan memilih, yang ada hanya hokum

perangsang dan jawaban terhadap perangsang (The law of stimulus

and respon). Jikapun ada kebebasan memilih, itu hanya karena

individu sudah dipengaruhi atau dikondisikan untuk mempercayai

itu (www.konselingindonesia.com., 2010).

2) Konsep Dasar Konseling Behavioristik

Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya

dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai

kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya

19

dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian

membentuk kepribadian (Akhmad Sudrajat, 2008).

Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan

macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.

Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan

lingkungan melalui hukum-hukum belajar: (a) pembiasaan klasik;

(b) pembiasaan operan; (c) peniruan. Tingkah laku tertentu pada

individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang

diperolehnya (Akhmad Sudrajat, 2008).

Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar

melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah

dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi

pembentukan tingkah laku.

Karakteristik konseling behavioristik adalah : (a) berfokus

pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan

kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c)

mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan

masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan

konseling (Akhmad Sudrajat, 2008).

3) Pendapat Ahli tentang Konseling Behavioristik

Pendekatan behavioristik merupakan sebuah pendekatan

dalam konseling yang secara umum masih dipergunakan oleh para

konselor. Tokoh pendekatan ini antara lain adalah Bandura,

20

Pavlov, Skinner dan masih banyak yang lainnya. Pendekatan ini

berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serangkaian hasil

belajar. Apa dilakukan oleh seseorang merupakan hasil produksi

dari lingkungan yang dominan seperti orang tua, sekolah,

masyarakat atau orang lain yang berpengaruh (significant other).

Manusia dianggap sebagai mahkluk yang tidak mempunyai daya

apa-apa (determinitif). Manusia identik dengan robot, yang tidak

memiliki inisiatif dan hanya bisa melakukan sesuatu karena

merespon sebuah perintah atau aturan.

Walaupun teori ini (yang klasik) sudah banyak ditentang

oleh aliran-aliran baru dalam konseling, tetapi teori ini tetap saja

eksis dengan melakukan beberapa modifikasi. Skinner (dalam

Soedarmadji dan Sutujono, 2005) menyatakan bahwa pandangan

teori behavioristik terhadap terhadap manusia adalah 1) perilaku

organisme bukan merupakan suatu fenomena mental, lebih

ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek

perkembangan kepribadian, 2) perkembangan kepribadian bersifat

deterministik, 3) perbedaan individu karena adanya perbedaan

pengalaman, 4) dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa

bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan

tidak dapat mengatur perilaku manusia dan 5) walaupun

perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara

umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh

21

yang sangat besar. Uraian tersebut menunjukkan bahwa manusia

adalah sosok yang sangat deterministik.

Chamblers dan Goldstein (dalam Gilliland, 1989)

menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas mengenai pribadi

yang sehat atau tidak sehat. Hal ini disebabkan para tokoh aliran ini

mengakui bahwa perilaku maladaptif adalah seperti perilaku

adaptif, yaitu dipelajari. Sehingga, tujuan konseling dalam

pendekatan ini adalah mengajak konseli untuk belajar perilaku

baru, yaitu perilaku yang dikehendaki oleh lingkungan yang

dominan.

Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-

pendekatan konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai

pada (a) pemusatan perhatian pada bentuk perilaku yang tampak

dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan treatment, (c)

perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan

masalah dan (d) penafsiran yang obyektif terhadap hasil terapi

(Corey, 2005).

Psikologi yang dikenal sebagai ilmu tentang perilaku

manusia sebenarnya banyak dipengaruhi oleh paradigma

behavioris. Paradigma tersebut melihat manusia “as the behaviorist

views it,” sehingga kepribadian manusia dalam perspektif

behavioristik adalah perilaku nampak dari seseorang individu.

Kemunculan behavioris sebagai peradigma merupakan gagasan

22

dari akibat ketidakpuasan terhadap psikologi yang sudah ada

sebelumnya (psikoanalisis).

Asumsi dasar dari psikologi behavioristis antara lain

(Alwisol, 2003: 400):

a) Tingkah laku itu mengikuti hukum tertentu, artinya setiap

peristiwa berhubungan secara teratur dengan peristiwa lainnya.

b) Tingkah laku dapat diramalkan (diprediksikan).

c) Tingkah laku manusia dapat dikontrol.

Dari paradigma behavioris tersebut lahirlah pendekatan

konseling yang disebut dengan konseling behavioristik, yang

menekankan aspek modifikasi perilaku. Sejak perkembangannya

tahun 1960-an, teknik-teknik modifikasi perilaku semakin

bervariasi baik yang menekankan aspek perilaku nampak (fisik)

maupun kognitif. Saat ini konseling behavioristik berkembang

pesat dengan ditemukannya sejumlah teknik-teknik pengubahan

perilaku, baik yang menekankan pada aspek fisiologis, perilaku,

maupun kognitif (Hackman dalam Dani, dkk., 2010). Rachman dan

Wolpe (dalam Dani, dkk., 2010) mengemukakan bahwa terapi

behavioristik dapat menangani masalah perilaku mulai dari

kegagalan individu untuk belajar merespon secara adaptif hingga

mengatasi gejala neurosis.

Koseling behavioristik dapat mengatasi masalah-masalah

klien yang mengalami fobia, cemas, gangguan seksual,

23

penggunaan zat adiktif, obsesi, depresi, gangguan kepribadian,

serta sejumlah gangguan pada anak (Hackmann dalam Dani, dkk.,

2010). Menurut Krumboltz dan Thoresen (dalam Dani, dkk.,

2010), konseling behavior merupakan suatu proses membantu

orang untuk memecahkan masalah.interpersonal, emosional dan

keputusan tertentu.

Urutan pemilihan dan penetapan tujuan dalan konseling

yang digambarkan oleh Cormier and Cormier (Corey dalam Dani,

dkk., 2010) sebagai salah satu bentuk kerja sama antara konselor

dan klien sebagai berikut:

a) Konselor menjelaskan maksud dan tujuan.

b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki

sebagai hasil konseling.

c) Klien dan konselor menetapkan tujuan yang telah ditetapkan

apakah merupakan perubahan yang dimiliki oleh klien.

d) Bersama-sama menjajaki apakah tujuan itu realistik.

e) Mendiskusikan kemungkinan manfaat tujuan.

f) Mendiskusikan kemungkinan kerugian tujuan.

g) Atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien,

konselor dan klien membuat salah satu keputusan berikut:

untuk meneruskan konseling atau mempertimbangkan kembali

tujuan akan mencari referal.

24

4) Asumsi Tingkah Laku Bermasalah dalam Konseling

Behavioristik

a) Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-

kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu

tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.

b) Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar

atau lingkungan yang salah.

c) Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon

tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku

maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam

menanggapi lingkungan dengan tepat.

d) Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan

juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan

prinsip-prinsip belajar (Sugiharto, 2009).

5) Tujuan Konseling Behavioristik

Menurut Akhmad Sudrajat (2008), tujuan dari konseling

behavioristik adalah mengahapus/menghilangkan tingkah laku

maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru

yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien. Tujuan yang

sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik,

yang meliputi:

a) diinginkan oleh klien;

25

b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan

tersebut;

c) klien dapat mencapai tujuan tersebut; dan

d) dirumuskan secara spesifik

Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama)

menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.

6) Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioristik

Menurut Akhmad Sudrajat (2008), prinsip kerja teknik

konseling behavioristik meliputi hal-hal sebagai berikut:

a) Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar

klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan

tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan

dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan

melalui tingkah laku klien.

b) Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak

diinginkan.

c) Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan

mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang

tidak diinginkan.

d) Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian

contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata

langsung).

26

e) Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah

laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya

dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun

keuntungan sosial.

7) Teknik-teknik Konseling Behavioristik

Sedangkan teknik-teknik konseling behavioristik, menurut

Akhmad Sudrajat (2008) dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:

a) Latihan Asertif

Teknik ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami

kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah

layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya

untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan

perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak,

mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang

digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan

konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan

dalam latihan asertif ini.

b) Desensitisasi Sistematis

Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling

behavioristik yang memfokukskan bantuan untuk

menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara

mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah

menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan

27

menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku

yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-

respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara

bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan

teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku

yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan,

dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah

laku yang akan dihilangkan.

c) Pengkondisian Aversi

Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan

buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan

klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya

dengan kebalikan stimulus tersebut.

Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut

diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku

yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini

diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak

dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.

d) Pembentukan Tingkah laku Model

Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku

baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah

terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien

tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio,

28

model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan

dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah

laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari

konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.

2. Persepsi

a. Pengertian Persepsi

Menurut Slameto (2003:102), persepsi adalah proses yang

menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia.

Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan

dengan masyarakat. Hubungan ini dilakukan lewat indranya yaitu

indra pernglihat, indra peraba , pencium, pendengar dan indra perasa.

Atkinson dan Hilgard (dalam Moh. Ali dan Asrori, 2005: 192)

menjelaskan bahwa persepsi adalah proses menginterprestasikan dan

mengorganisasikan pola- pola stimulus yang berasal dari lingkungan.

Sedangkan menurut Maramis (1995: 105), persepsi adalah daya

mengenal sesuatu, kualitas atau hubungan serta perbedaan antara hal

tersebut melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan

setelah panca indra mendapat rangsangan.

Pendapat yang disampaikan oleh Levini dan Shefner (dalam

Moh. Ali 2009: 192) memberi pengertian persepsi adalah cara-cara

individu dalam berperilaku berdasarkan pemahaman, pengetahuan,

pendiriannya masing-masing.

29

Dari uraian beberapa pendapat di atas, maka papat dinyatakan

bahwa persepsi adalah proses individual dalam menginterprestasikan

dan mengorganisir serta memberi makna pada stimulus yang berasal

dari lingkungan dimana ia tinggal dan merupakan hasil dari proses

belajar, pendirian dan keyakinannya masing-masing.

b. Proses Terjadinya Persepsi

Sebagaimana proses belajar, persepsi bukan proses yang sekali

jadi, melainkan melalui proses menggabungkan, menginterprestasi dan

pada akhirnya memberikan penilaian. Proses-proses tersebut dilakukan

dengan menggunakan indranya sehingga bisa mengorganisasi,

menginterprestasi serta mampu memberi nilai pada stimulus yang

berasal dari lingkungan, hasilnya bisa berupa pendapat, keyakinan dan

tingkah laku yang nyata, Bimo Walgito (dalam Sukemi, 2004).

Atkinson (dalam Moh. Ali dan Asrori, 2005: 194) menjelaskan

bahwa proses persepsi tergantung pada pengalaman masa lalu,

pendidikan, perangsang spesifik yang menimbulkan reaksi pada waktu

itu dan interprestasi individu dalam menafsirkan informasi yang

diterimanya.

Adapun tahapan-tahapan terjadinya persepsi, menurut Stagner

dan Solley (dalam Moh. Ali dan Asrori, 2005: 195) meliputi hal-hal

sebagai berikut:

30

1) Adanya stimulus yang ditangkap panca indera

Persepsi tidak akan mungkin muncul tanpa adanya penangkapan

panca indera atas stimulus yang datang kepadanya. Misalkan,

seseorang tidak akan mampu mempersepsi bahwa suatu

pemandangan pegunungan sangat indah atau bunga melati harum

baunya tanpa ada stimulus berupa penglihatan atas pemandangan

pegunungan tersebut dan penciuman hidung atas bau dari bungan

melati.

2) Adanya kesadaran individu akan datangnya stimulus

Tanpa adanya suatu bentuk kesadaran akan datangnya stimulus,

seseorang tidak akan mungkin mampu mempersepsi sesuatu.

Misalnya, sikap seorang teman terhadap seseorang tidak akan dapat

dipersepsikannya jika seseorang tersebut tidak menyadari bahwa

sikap yang ditunjukkan temannya tersebut memang ditujukan

padanya.

3) Individu menginterpretasikan stimulus tersebut

Bagi individu yang tidak mampu menginterpretasikan stimulus

atau tindakan yang datang kepadanya, maka seseorang tersebut

tidak akan mampu mempersepsikan stimulus tersebut. Misalnya,

orang yang sakit flu berat tidak akan mampu mempersepsikan

bahwa bunga melati itu harum baunya.

31

4) Individu mewujudkan stimulus tersebut dalam bentuk tingkah laku.

Perpsepsi biasanya ditindaklanjuti dengan suatu bentuk tingkah

laku, misalnya stimulus yang ebrupa sikap baik seorang teman

akan diikuti dengan suatu bentuk tingkah laku membalas budi atau

bersikap baik pula. Tetapi, jika seseorang tidak mampu

mempersepsikan sikap baik teman tersebut, maka ia tidak akan

dapat bersikap baik atau membalas budi pada teman tersebut.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Irwanto (2002: 96) menyatakan bahwa terdapat beberapa

faktor-faktor mempengaruhi persepsi, antara lain: (1) perhatian yang

selektif, (2) ciri-ciri yang menonjol, (3) nilai dan kebutuhan individu,

dan (4) pengalaman terdahulu. Adapun uraian dari beberapa hal

tersebut adalah sebagai berikut:

1) Perhatian yang selektif

Diantara sekian banyak stimulus yang hadir secara bersamaan

dalam kehidupan manusia, maka stimulus yang banyak mendapat

perhatialah yang nantinya akan muncul dalam perilakunya

(Irwanto, 2002: 96).

2) Ciri-ciri yang menonjol

Rangsangan yang punya ciri-ciri tertentu akan lebih menarik

dibandingkan dengan yang biasa-biasa saja. Seperti halnya

stimulus yang bergerak akan lebih menarik dan diperhatikan dari

pada stimulus yang diam saja (Irwanto, 2002: 96).

32

3) Nilai dan kebutuhan individu

Respon yang akan diterima dari persepsi akan disesuaikan dengan

nilai dan kebutuhannya. Seperti sebuah penelitian menunjukkan

bahwa orang dari ekonomi rendah dalam melihat koin logam akan

lebih berharga daripada orang dari kelas ekonomi lebih tinggi

(Irwanto, 2002: 97).

4) Pengalaman terdahulu

Tingkah laku yang muncul pada seseorang akan sangat dipengaruhi

oleh pengalaman dan kehidupannya di masa lalu dimana ia hidup

(Irwanto, 2002: 97).

Selain faktor tersebut, ada lagi faktor-faktor lain yang

mempengaruhi persepsi. Menurut Slameto (2003:120), faktor-faktor

tersebut adalah:

1) Kemampuan dalam menerima rangsangan

2) Kemauan individu dalam menerima rangsangan dan menjadi pusat

perhatian

3) Kebutuhan dan harapan akan pentingnya stimulus dalam

kehidupannya nanti

4) Latihan. Jika stimulus yang hadir selalu dilatih dan dipelajari maka

stimulus tersebut akan hadir dalam kehidupan seseorang tadi

dengan sendirinya.

Adapun persepsi siswa tentang layanan konseling sekolah,

menurut Tim BK UNESA Surabaya (dalam Hefi Setyorini, 2008) pada

33

dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang antara lain sebagai

berikut:

1) Konsepsi yang keliru tentang Bimbingan Konseling seperti:

a) Menyamakan Layanan

Konseling dengan pendidikan

b) Bantuan dalam Layanan

Konseling hanya untuk siswa yang bermasalah

c) Konseling adalah pendidikan

yang diindividualisasikan

d) Petugas Konseling di Sekolah

adalah tukang menasehati.

2) Faktor kepribadian konselor

Baik atau tidaknya kepribadian konselor sangat berpengaruh

terhadap minat siswa pada layanan konseling tersebut. Hal ini

menyangkut terbuka atau tidaknya konselor, kehangatan dalam

menerima konseli (siswa).

3) Ketrampilan konselor yang menyangkut tentang penggunaan

tehnik dalam merespon alam perasaan konseli secara tepat.

3. Sikap Belajar Siswa

a. Pengertian Sikap

Menurut Zimbardo dan Ebbesen (dalam Vitalis, 2006:24),

sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap

seseorang, ide, atau obyek yang berisi komponen-komponen cognitive,

34

affective, atau behavior. Pendapat ini juga diperkuat oleh John H.

Harvey dan William P. Smith (dalam Vitalis, 2006:24), yang

mendefinisikan sikap sebagai kesiapan merespon secara konsisten

dalam bentuk positif atau negatif terhadap obyek atau situasi.

Sedangkan Winkel (dalam Vitalis, 2006:24) mendefinisikan sikap

sebagai kecenderungan subyek dalam menerima atau menolak suatu

obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek itu sebagai obyek yang

berharga (baik) atau tidak berharga (tidak baik). Dalam sikap terdapat

aspek kognitif dan aspek afektif.

Berdasarkan konsistensi hubungan sikap dan perilaku, dalam

psikologi sosial, secara umum sikap merupakan sebuah variabel antara

yang menghubungkan ke proses mental atau kondisi mental yang

menjelaskan konsistensi tentang tanggapan yang positif-negatif dan

lintas situasi terhadap obyek. Menurut Petty dkk. (1991:21), sikap itu

merupakan evaluasi umum dan relatif tahan lama pada beberapa orang,

termasuk dirinya, kelompok, atau obyek. Tingkat ketahanannya

menunjukkan bahwa memori jangka panjang bertindak sebagai suatu

gudang untuk evaluasi yang disertakan oleh seseorang pada obyek

sikap, dan keumumannya menunjukkan bahwa sikap itu merupakan

penilaian keseluruhan atau global, bukannya sepotong-sepotong.

Menurut Schiffman dan Kanuk (1991:227),” an attitude is a

learned persdipositition to behave in a consistently favorable or

unfavorable way with respect to a given object”. Dari definisi di atas

35

dapat diuraikan bahwa sikap adalah kecederungan untuk bertindak

dalam suatu maksud yang konsisten untuk menerima atau menolak

suatu obyek atau ide yang ditawarkan. Menurut Winardi (1991:136)

sikap adalah: “Suatu predisposisi yang dipelajari untuk bereaksi

dengan cara yang positif atau positif secara konsisten sehubungan

dengan obyek tertentu”. Sikap itu berkaitan dengan perilaku, dalam

arti sikap merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman belajar.

Sehingga sikap merupakan keadaan yang berlangsung lama dan

bukanlah keadaan yang bersifat sementara.

Dari berbagai pendapat para ahli yang menjelaskan tentang

pengertian sikap tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sikap

merupakan:

1) Predisposisi yang dipelajari, yang berpengaruh terhadap tingkah

laku, dapat mengalami perubahan intensitas, dan biasanya berlaku

konsisten dalam waktu yang lama dalam situasi yang sama dan

memiliki komposisi yang hampir selalu kompleks.

2) Kesiapan dalam merespon suatu stimulus atau obyek, sehingga

dapat menimbulkan penilaian terhadap stimulus atau obyek itu

sebagai sesuatu yang positif atau negatif, berharga atau tidak

berharga.

b. Macam-

macam Sikap

36

Menurut Djumhur dan moh. Surya (dalam Vitalis, 2003:24),

sikap dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Sikap Sosial

Merupakan sikap yang diperhatikan oleh masyarakat dan tidak

dinyatakan secara perorangan, yang intinya sikap sosial ditandai

dengan subyek dan obyek sama-sama orang satu kelompok dan

dinyatakan berulang-ulang.

2) Sikap Individu

Merupakan sikap yang dimiliki seseorang secara individu, bisa

positif dan bisa juga negatif. Sikap seseorang yang muncul sangat

dipengaruhi oleh norma-norma dimana ia tinggal.

c. Ciri- ciri Sikap

Bagaimana anak bersikap di sekolah tentu tidak terlepas

dengan aturan dan norma dimana ia berada. Alland L. Edward (dalam

Vitalis 2000:24) menyebutkan ciri-ciri dari sikap, yaitu:

1) Bisa dipelajari

Artinya bisa dipelajari dengan sengaja jika sikap tersebut

mengarah pada sesuatu yang positif.

2) Punya kestabilan

Setelah dipelajari, maka akan menjadi kuat dan lebih stabil dengan

pengalaman yang dialaminya.

3) Membangun hubungan sosial yang signifikan

37

Ini dikarenakan sikap selalu berhubungan dengan orang lain. Jika

obyek menyenangkan maka akan timbul juga perasaan senang.

4) Berisi kognitif dan afektif

Kognitif berupa informasi yang aktual dan afektif merupakan

emosi atau perasaan yang berhubungan dengan sikap tersebut.

5) Pendekatan langsung pada obyek yang berkenaan padanya

Jika subyek memiliki sikap yang berkenan, maka ia dengan

sendirinya akan mendekati obyek tersebut. Tapi jika tidak, maka ia

akan menjauhinya.

6) Bukan bawaan atau hereditas

Sikap bisa dirubah dan bisa dipelajari. Perbedaan sikap yang terjadi

diantara siswa sangat dipengaruhi oleh kematangan emosi masing-

masing siswa.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap

Banyak faktor yang mempengaruhi sikap seseorang,

diantaranya menurut A.G. Lunandi (1991:3), yang menyebutkan

sebagai berikut:

1) Faktor pangetahuan

Sikap seseorang terhadap obyek sangat dipengaruhi seberapa

banyak sedikitnya pengetahuannya.

2) Faktor ketrampilan

38

Ketrampilan yang dimiliki membuat seseorang percaya diri hingga

menghasilkan sikap atau tingkah laku baru.

3) Faktor Material

Material yang berlimpah akan memberi kemudahan siswa dalam

bersikap, menambah ketrampilan dan juga pengetahuan.

e. Fungsi Sikap

Katz (dalam Bimo Walgito, 2002: 83) menjelaskan fungsi

sikap sebagai berikut:

1) Fungsi Instrumental

Merupakan fungsi yang berkaitan dengan sarana atau tujuan.

Artinya orang punya sikap tertentu karena dengan sukap tersebut

memudahkan mencapai tujuan.

2) Fungsi Pertahanan Ego

Karena merasa terancam, maka seseorang menggunakan sikapnya

sebagai pertahanan egonya.

3) Fungsi Ekspresi Diri

Sistem nilai yang ada pada individu dapat dilihat dari sikap yang

diambilnya. Dengan sikap yang mengekspresikan nilai – nilainya

siswa akan memperoleh kepuasan karena telah menunjukkan

keadaan dirinya.

4) Fungsi Pengetahuan

39

Dengan sikap siswa punya semangat untuk membentuk

pengalamannya dan memperoleh pengetahuan yang baru.

Dari uraian tersebut maka dapat dijelaskan bahwa apabila

seseorang memiliki sikap yang positif terhadap suatu obyek, maka dia

akan berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu. Sebaliknya jika

seseorang memiliki sikap yang negatif terhadap suatu obyek, maka dia

akan mengecam, mencela, mengkritiknya bahkan menyerang dan

membinasakannya. (Vitalis, 2006:26). Hal ini juga berlaku pada sikap

belajar siswa. Jika seorang siswa memiliki sikap belajar yang baik, maka

dia akan belajar dengan sungguh-sungguh dan konsisten agar mampu

mencapai cita-cita yang ditentukan.

B. Kerangka Pemikiran

Program layanan konseling behavioristik merupakan bimbingan dan

konseling konseling yang mengetengahkan proses belajar pada proses

konselingnya. Teori-teori tentang hukum-hukum belajar menjadi corak khas

dalam memodifikasi tingkah laku klien. Pertimbangan yang digunakan dalam

penyelenggaraan layanan ini adalah untuk memberikan layanan konseling

dengan menggunakan proses belajar dengan tujuan untuk mempengaruhi hasil

layanan bimbingan dan konseling yang disampaikan, yaitu berupa sikapbelajar

siswa dalam sehari-harinya, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Pembentukan sikap belajar siswa dapat dipengaruhi oleh persepsi

siswa itu sendiri atas konsep belajar sebagai siswa atau pelajar.

Kecenderungan yang terjadi selama ini, siswa masih memiliki sikap belajar

40

yang tidak maksimal, dimana belajar bukan merupakan suatu bentuk

kewajiban dan kesadaran sebagai pelajar atau siswa, melainkan sebagai suatu

rutinitas yang harus dijalani dan bahkan pada beberapa siswa yang malas

belajar, belajar adalah suatu beban.

Dalam membentuk suatu sikap belajar siswa yang positif, diperlukan

berbagai upaya. Dalam penelitian ini, dilakukan suatu penyampaian layanan

konseling behavioristik dan pembentukan persepsi siswa atau penyampaian

layanan konseling di sekolah. Hal ini perlu dilakukan dengan tujuan agar

mampu membentuk sikap belajar siswa yang lebih baik dibandingkan

sebelumnya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini penulis ingin

meneliti tentang pengaruh penyelenggaraan layanan konseling behavioristik

dan persepsi siswa pada layanan konseling sekolah terhadap sikap belajar

siswa. Penelitian ini akan membahas tentang keberadaan pengaruh layanan

konseling behavioristik terhadap sikap belajar siswa maupun pengaruh

persepsi siswa pada layanan konseling sekolah terhadap sikap belajar siswa

kelas II MTsN Doho, Dolopo, Kabupaten Madiun tahun pelajaran 2009/2010.

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dapat

diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1) Terdapat pengaruh yang signifikan antara konseling behavioristik dengan

sikap belajar siswa kelas II semester genap MTsN Doho, Dolopo,

Kabupaten Madiun tahun pelajaran 2009/2010.

41

2) Terdapat pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa pada layanan

konseling sekolah dengan sikap belajar siswa kelas II semester genap

MTsN Doho, Dolopo, Kabupaten Madiun tahun pelajaran 2009/2010.

3) Terdapat pengaruh yang signifikan antara konseling behavioristik dan

persepsi siswa pada layanan konseling sekolah dengan sikap belajar siswa

kelas II semester genap MTsN Doho, Dolopo, Kabupaten Madiun tahun

pelajaran 2009/2010.

42