15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 DEFINISI FORENSIK KLINIK Forensik Klinik adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mencakup pemeriksaan forensik terhadap korban hidup dan investigasinya, kemudian aspek medikolegal, juga psikopatologinya, dengan kata lain forensik klinik merupakan area praktek medis yang mengintegrasikan antara peranan medis dan hukum. 1 II.2 PERAN FORENSIK KLINIK DALAM BIDANG HUKUM II.2.1 UU Kesehatan UU KESEHATAN No. 23 TAHUN 1992. 9 Pasal 70 (1) Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga kesehatan. (2) Bedah mayat hanya dapat dilakukan koleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat. (3) Ketentuan mengenai bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. UU KESEHATAN No. 36 TAHUN 2009. 10 Pasal 28 4

BAB II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

vbdfv

Citation preview

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI FORENSIK KLINIK

Forensik Klinik adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mencakup

pemeriksaan forensik terhadap korban hidup dan investigasinya, kemudian aspek medikolegal,

juga psikopatologinya, dengan kata lain forensik klinik merupakan area praktek medis yang

mengintegrasikan antara peranan medis dan hukum.1

II.2 PERAN FORENSIK KLINIK DALAM BIDANG HUKUM

II.2.1 UU Kesehatan

UU KESEHATAN No. 23 TAHUN 1992.9

Pasal 70

(1) Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk

penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga kesehatan.

(2) Bedah mayat hanya dapat dilakukan koleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.

(3) Ketentuan mengenai bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

UU KESEHATAN No. 36 TAHUN 2009.10

Pasal 28

(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas

permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.

(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi dan

kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.

Pasal 121

(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai

dengan keahlian dan kewenangannya.

4

Page 2: BAB II

5

(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan

adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 122

(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli

forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat

yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.

(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya pelayanan bedah

mayat forensik di wilayahnya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan Peraturan

Menteri.

Pasal 124

Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma agama,

norma kesusilaan, dan etika profesi.

Pasal 150

(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et repertum

psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas

pelayanan kesehatan.

(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan

jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar

profesi.

II.2.2 UU Rumah Sakit

UU No 44 Tahun 2009.11

Pasal 37

(1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan

pasien atau keluarganya.

(2) Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 3: BAB II

6

Pasal 38

(1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran.

(2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuka untuk

kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam

rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan

perundangundangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

II.2.3 UU Praktek kedokteran.12

Pasal 46

1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalanka praktik kedokteran wajib membuat

rekam medis.

2. Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah

pasien selesai meneriman pelayanan kesehatan.

3. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang

memberikan pelayanan atau tindakan.

Pasal 47

1. Dokumen rekam medis sebagai mana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,

dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan

milik pasien.

2. Rekam medis sebagaimana simaksudkan pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga

kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

3. Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

diatur dengan Peraturan Menteri.

Menurut PERMENKES No: 269/MENKES/PER/III/200813 data-data yang harus

dimasukkan dalam Medical Record dibedakan untuk pasien yang diperiksa di unit rawat jalan

dan rawat inap dan gawat darurat. Setiap pelayanan baik di rawat jalan, rawat inap dan gawat

darurat dapat membuat rekam medis dengan data-data sebagai berikut:

Page 4: BAB II

7

1. Pasien Rawat Jalan.3

Data pasien rawat jalan yang dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya

antara lain:

a. Identitas Pasien.

b. Tanggal dan waktu.

c. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit).

d. Hasil Pemeriksaan fisik dan penunjang medis.

e. Diagnosis.

f. Rencana penatalaksanaan.

g. Pengobatan dan atau tindakan.

h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

i. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik.

j. Persetujuan tindakan bila perlu.

2. Pasien Rawat Inap.3

Data pasien rawat inap yang dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya

antara lain:

a. Identitas Pasien.

b. Tanggal dan waktu.

c. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit.

d. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.

e. Diagnosis.

f. Rencana penatalaksanaan.

g. Pengobatan dan atau tindakan.

h. Persetujuan tindakan bila perlu.

i. Catatan obsservasi klinis dan hasil pengobatan.

j. Ringkasan pulang (discharge summary).

k. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang

memberikan pelayanan ksehatan.

l. Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.

m. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik.

Page 5: BAB II

8

3. Ruang Gawat Darurat.3

Data pasien rawat inap yang harus dimasukkan dalam medical record sekurang-

kurangnya antara lain:

a. Identitas Pasien.

b. Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan.

c. Identitas pengantar pasien.

d. Tanggal dan waktu.

e. Hasil Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit).

f. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.

g. Diagnosis.

h. Pengobatan dan/atau tindakan.

i. Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan

rencana tindak lanjut.

j. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang

memberikan pelayanan kesehatan.

k. Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana

pelayanan kesehatan lain.

l. Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.

Data-data rekam medis diatas dapat ditambahkan dan dilengkapi sesuai kebutuhan yang

ada dalam palayanan kesehatan

II.3 DEFINISI REKAM MEDIS.2,5

Dalam penjelasan undang undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang

praktek kedokteran pasal 46 ayat (1), yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang

berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan

pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

Berdasarkan Permenkes RI No. 749A/Menkes/Per/XII/198914 tentang rekam medis

dijelaskan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas

pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada pelayanan

kesehatan.

Page 6: BAB II

9

Berdasarkan Permenkes RI No.269/Menkes/Per/III/200815 tentang rekam medis, rekam

medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,

pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis harus

dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik.

Menurut pernyataan IDI tentang rekam medis, rekam medis/ kesehatan adalah rekaman

dalam bentuk tulisan atau gambar aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan

medis/kesehatan kepada seorang pasien yang meliputi identitas lengkap pasien, catatan tentang

penyakit ( diagnosis, terapi dan pengamatan perjalanan penyakit), catatan dari pihak ketiga, hasil

pemeriksaan laboratorium, foto roentgen, pemeriksaan USG dan lainnya serta resume.

II.3.1 Dasar Hukum Rekam Medis.2,7

Undang undang Republik Indonesia No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran pasal

46 menyebutkan bahwa:

1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran wajib membuat

rekam medis.

2. Rekam medis sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 harus segera dilengkapi setelah

pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.

Tidak jauh berbeda dengan undang undang praktek kedokteran, Permenkes No.269 tahun

2008 juga mengatur tentang penyelenggaraan rekam medis. Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa:

1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat

rekam medis.

2. Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah

pasien menerima pelayanan kesehatan.

3. Pembuatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui

pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan

pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

SK PB IDI No. 315/PB/A.4/88 dalam butir 3 menyebutkan bahwa “Rekam medis /

kesehatan harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya paling lambat 48 jam setelah pasien

pulang atau meninggal”. Rekam medis / kesehatan harus ada untuk mempertahankan kualitas

pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi locum tennens, untuk

Page 7: BAB II

10

kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang,

serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien. Untuk itu, rekam medis /kesehatan

wajib ada di RS, Puskesmas atau balai kesehatan dan praktik dokter pribadi atau praktik

berkelompok.

Apabila terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis, berkas dan

catatan tidka boleh dihilangkan atau dihapus dengan cara apapun. Perubahan catatan atau

kesalahan dalam rekam medis hanya dapat dilakukan dengan pencoretan dan dibubuhi paraf

petugas yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan penjelasan UU Praktik kedokteran Pasal 46

ayat (2) dan PERMENKES No. 69 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (5) dan (6).

II.3.2 Kegunaan Rekam Medis.2,7

Kegunaan rekam medis menurut Permenkes No.269 Tahun 2008 adalah sebagai berikut :

a. Sebagai dasar evaluasi pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien selama dalam

perawatan.

b. Sebagai bahan pembuktian dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan

kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi.

c. Bahan untuk kepentingan penelitian dan pendidikan.

d. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan.

e. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

Pemanfaatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang

menyebutkan identitas pasien harus mendapat persetujuan secara tertulis dari pasien atau ahli

warisnya dan harus dijaga kerahasiaannya.

II.4 DEFINISI VISUM.4

Visum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah jabatannya

terhadap apa yang dilihat dan diperiksa berdasarkan keilmuannya.

II.4.1 Maksud Dan Tujuan Pembuatan Visum Et Repertum.4

Maksud pembuatan Visum et Repertum adalah sebagai salah satu barang bukti (corpus

delicti) yang sah di pengadilan karena barang buktinya sendiri telah berubah pada saat

Page 8: BAB II

11

persidangan berlangsung. Jadi Visum et Repertum merupakan barang bukti yang sah karena

termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184.

Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu:

1. Keterangan saksi.

2. Keterangan ahli.

3. Keterangan terdakwa.

4. Surat-surat.

5. Petunjuk.

II.4.2 Susunan Visum Et Repertum.4

Ada 5 bagian dalam Visum et Repertum, yaitu:

1. Pembukaan

Ditulis “PRO JUSTITIA,” yang berarti demi keadilan dan ditulis di kiri atas sebagai

pengganti materai.

2. Pendahuluan

Bagian pendahuluan berisi:

a. Identitas tempat pembuatan visum berdasarkan surat permohonan mengenai jam,

tanggal dan tempat dilakukannya pemeriksaan.

b. Pernyataan dokter dan identitas dokter.

c. Identitas peminta visum.

d. Wilayah.

e. Identitas korban.

f. Identitas tempat perkara.

3. Pemberitaan

Bagian pemberitaan memuat hasil pemeriksaan, berupa:

a. Apa yang dilihat, yang ditemukan sepanjang pemeriksaan sesuai dengan pengetahuan

dokter.

b. Hasil konsultasi dengan teman sejawat lain.

c. Untuk ahli bedah yang mengoperasi diminta keterangan mengenai apa yang

diperoleh; jika diopname, tulis diopname; jika pulang, ditulis pulang.

d. Tidak dibenarkan menulis dengan menggunakan kata-kata latin.

Page 9: BAB II

12

e. Tidak dibenarkan menulis dengan angka, harus dengan huruf untuk mencegah

pemalsuan.

f. Tidak dibenarkan menulis diagnosis, melainkan hanya menulis cirri-ciri, sifat dan

keadaan luka.

4. Kesimpulan

Bagian kesimpulan memuat pendapat pribadi dokter tentang hubungan sebab akibat

antara apa yang dilihat dan ditemukan dokter dengan penyebabnya. Misalnya jenis luka,

kualifikasi luka atau bila korban meninggal maka dokter menuliskan sebab kematiannya.

5. Penutup

Bagian penutup memuat sumpah atau janji, tanda tangan dan nama terang dokter yang

membuat visum. Sumpah atau janji dokter dibuat sesuai dengan sumpah jabatan atau pekerjaan

dokter.

II.4.3 Kualifikasi Luka.6

Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah visum et repertum adalah

derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum, VeR dikatakan baik apabila substansi yang

terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik rumusan dalam KUHP.

1: Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar belakang individual dokter seperti

pengalaman, keterampilan, keikutsertaan, dalam pendidikan kedokteran berkelanjutan

dan sebagainya.

13: Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik, psikis,

social, dan pekerjaan, yang dpaat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun jangka

panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting bagi hakim dalam

menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan.

4,13: Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga

tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3

bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan

yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan

penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan,

pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan

yang menimbulkan luka berat.

Page 10: BAB II

13

Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang

dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam,

termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan.Rumusan hukum tentang

penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa

“penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan

jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan”.

Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak

menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori

tersebut. Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur dalam

pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa

seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke

dalam kategori tersebut.

Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur

dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa” Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka

berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Luka berat itu

sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang

korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka

korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut.

Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah :

jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,

atau yang menimbulkan bahaya maut;

tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;

kehilangan salah satu panca indera;

mendapat cacat berat;

menderita sakit lumpuh;

terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;

gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.