Upload
others
View
54
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
41
BAB II
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Dalam analisis data penulis akan membahas 4 hal, yaitu (1) pemanfaatan
dan pemilihan aspek-aspek bunyi bahasa dalam novel Alun Samudra Rasa karya
Ardini Pangastuti Bn, (2) diksi atau pemilihan kosakata dalam novel Alun
Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn, (3) penggunaan gaya bahasa dalam
novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn, (4) aspek pencitraan dalam
novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn. Adapun uraiannya sebagai
berikut:
A. Pemanfaatan dan Pemilihan Aspek-aspek Bunyi dalam Novel Alun
Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn
Kajian Stilistika Novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn
tidak luput menggunakan pemanfaatan aspek bunyi, seperti purwakanthi
„pengulangan bunyi‟. Adapun purwakanthi yang sering muncul dalam NASR
karya APBn, yaitu asonansi atau purwakanthi swara „pengulangan bunyi vokal‟,
aliterasi atau purwakanthi sastra „pengulangan konsonan‟ dan purwakanthi
basa/lumaksita „perulangan kata atau suku kata‟. Perulangan suku kata dalam
NASR karya APBn terdiri atas lumaksita, epizeuksis, epistrofa, anafora dan
anadiplosis.
Pemanfaatan ketiga aspek bunyi yang digunakan pengarang bertujuan
untuk menimbulkan kesan estetis atau keindahan dalam karya sastra, serta
menimbulkan efek-efek tertentu dalam melukiskan peristiwa atau keadaan
tertentu.
42
1. Asonansi (Purwakanthi Swara)
Asonansi merupakan gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
vokal yang sama (Gorys Keraf, 2004:130). Adapun macam asonansi yang terdapat
dalam NASR karya APBn, yaitu berupa perulangan vokal [a], [i], [u], [e] dengan
bunyi vokal [O], [a],[i], [I], [u], [U], [e] dengan bunyi vokal [ȇ].
Adapun data yang mengandung asonansi atau purwakanthi swara
„perulangan bunyi vokal‟ yang terdapat dalam NASR karya APBn sebagai
berikut:
a. Asonansi [a] dengan bunyi vokal [O]
(1) sing kanthi gamblang bisa
crita
ngenani apa kang sinerat ing
kana
sing kanthi trawaca tansah
aweh sasmita marang mobah mosiking
swasana
(ASR/P1/1)
„yang dengan jelas dapat
bercerita‟
„mengenai apa yang tertulis
disana‟
„yang sudah terbaca akan
memberi pelajaran‟
„terhadap hiruk pikuk
suasana‟
(ASR/P1/1)
(2) sawise sakabehe prastawa
sing ngremukake jiwaraga.
(ASR/P2/56)
„setelah semua peristiwa‟
„yang menghancurkan jiwa raga‟
(ASR/P2/56)
(3) apa ana usada
kanggo nambani sakabehe lara
kang tumanduk ing jiwa raga?
(ASR/12/120)
„apa ada obat‟
„untuk mengobati semua sakit‟
„yang menimpa jiwa raga?‟
(ASR/12/120)
(4) larik-larik ukara tanpa aksara
Bali ngebaki akasa
Nyesaki dhadha
(ASR/18/187)
„baris-baris kata tanpa aksara‟
„Kembali memenuhi langit‟
„menyesakkan dada‟
(ASR/18/187)
(5) geter-geter tresna
ing pucuke alun rasa
„getar-getar asmara‟ „di pucuk ombak rasa‟
43
wis suwe ilang
kapracondhang dening
samirana(ASR/25/263)
„yang lama hilang‟
„dihempas oleh
angin‟(ASR/25/263)
(6) angin pancaroba ngobrak-abrik
swasana ngrusak impen sing durung
sawutuhe sampurna
endahe kluwung ing birune langit
sirna (ASR/P26/274)
„angin pancaroba mengobrak-abrik
suasana‟
„merusak impian yang belum
sepenuhnya sempurna‟
„indahnya sinar di birunya langit
hilang‟(ASR/P26/274)
(7) Cilakane Bregas isih tetep nglibatake rasa. Kamangka Intan cetha wis
kipa-kipa. Kejaba iku dheweke uga isih jinja yen kudu omah-omah maneh
karo priya liya. (ASR/P29/311)
„Celakanya Bregas masih tetap melibatkan rasa. Sedangkan Intan jelas
sudah tidak sudi. Selain itu dia juga masih trauma kalau harus berumah
tangga lagi dengan pria lain‟
(8) Ning kasunyatan sing ana, akeh priya sing rumangsa luwih kuwasa,
...(ASR/P29/313)
„tapi kenyataan yang ada, banyak pria yang merasa lebih berkuasa,...
(9) Ines isih tresna lan tetep tresna senajan ngerti Pram ora setya.
(ASR/P31/336)
„Ines masih cinta dan tetap akan cinta meskipun Pram tidak setia‟
Pada data (1) sampai dengan (6) merupakan geguritan pada novel perangan
1, 2, 12, 18, 25, dan 26. Ke enam datanya dengan pola persajakan a-a-a-a pada
akhir kata disetiap barisnya. Setiap barisnya terdapat asonansi [a] dengan bunyi
vokal [O] yang didominasi kenyaringan bahasanya terletak pada suku kata kedua
dan ketiga atau akhir kalimat. Data (1) bersajak a-a-a-a yaitu pada kata crita
„cerita‟, kana „sana‟, sasmita „pelajaran‟, dan swasana „suasana‟. Baris satu dan
dua terdapat bunyi vokal [O] yang mendukung keindahan sajak terletak pada suku
kata kedua pada kata bisa „bisa‟, crita „cerita, apa „apa‟, dan kana „sana‟. Baris
ketiga dan keempat bunyi vokal [O] pada kata trawaca „terbaca‟, dan swasana
„suasana‟. Keduanya terletak pada suku kata kedua dan ketiga, serta kata sasmita
44
„pelajaran‟ pada suku kata ketiga. Data (2) terletak pada kata prastawa
„peristiwa‟, dan frasa jiwa raga „jiwa raga‟. Pada data (3) bersajak a-a-a-a yaitu
pada suku kata kedua dan ketiga kata usada „obat‟, yang sebelumnya di ikuti
bunyi vokal [O] pada kata apa ana „apa ada‟ pada suku pertama dan kedua, dan
pada kata lara „sakit‟ dan raga „raga‟ dibaris kedua dan ketiga. Data (4) yaitu
pada kata ukara tanpa aksara „kata tanpa aksara‟ pada baris pertama, kata akasa
„langit‟ pada baris kedua suku kata kedua dan ketiga, dan kata dhadha „dada‟
baris ketiga suku kata pertama dan kedua. Pada data (5) bunyi vokal [O] pada kata
tresna „cinta‟, rasa „rasa‟ dan samirana „angin‟. Serta data (6) terletak pada suku
kata kedua dan ketiga kata swasana „suasana,suku kata kedua kata sampurna
„sempurna‟ dan sirna „sirna‟. Pada data (7) bunyi vokal [O] pada kata rasa „rasa‟
di akhir kalimat, kamangka „padahal‟ pada awal kalimat kedua, pada reduplikasi
utuh kata kipa-kipa „tidak sudi‟. Kalimat ketiga Kejaba iku dheweke uga isih jinja
yen kudu omah-omah maneh karo priya liya. „selain itu dia juga masih trauma
kalau harus berumah tangga lagi dengan pria lain‟ bunyi vokal [O ] terdapat pada
kata pertama, keempat, keenam, ketigabelas dan keempatbelas. Data (8) bunyi
vokal [O ] terdapat pada kata ana „ada‟ suku kata pertama dan kedua, kata priya
„pria‟ pada suku kata kedua, kata rumangsa „merasa‟ suku kata kedua dan ketiga,
kata kuwasa „berkuasa‟ suku kata kedua dan ketiga.Data (9) terletak pada kata
ketiga dan keenam kata tresna „cinta‟ dan kata kesepuluh dan kesebelas pada kata
ora setya „tidak setia‟.
b. Asonansi [a]
45
(10) Apa jangkah keconggah ngranggeh angkah. (ASR/P22/230)
„apakah langkah tercapai meraih arah‟
Data (10) asonansi suku tertutup [h] dengan variasi vokal [a], pada kata
jangkah „langkah‟ suku kata kedua, keconggah „tercapai‟ suku kata ketiga,
angkah „arah‟ suku kata kedua. Asonansi tersebut mendukung keindahan dalam
kalimat yang mempertandakan kegelisahan hati Intan.
(11) mitra rowang ing madyaning bebrayan, tembang endah tumrap
panguripan. (ASR/P2/12)
„sahabat ditengah masyarakat, lagu indah terhadap kehidupan‟
(12) yen biyen maca sawijining kebutuhan, uga keasyikan, saiki maca
mujudake sawenehe kemewahan. (ASR/P9/92)
„kalau dahulu membaca adalah salah satu kewajiban, juga keasyikan,
sekarang membaca mewujudkan sebagian kemewahan‟
Pada data (11) dan (12) di atas purwakanthi swara suku tertutup [n] dengan
variasi vokal [a] yang semuanya berada pada akhir kata yaitu data (11) pada kata
bebrayan „masyarakat‟, panguripan „ kehidupan‟, dan data (12) pada suku kata
keempat kata berbahasa indonesia kebutuhan, keasyikan, dan kemewahan. Suku
tertutup [n] dengan asonansi [a] dalam data di atas memberikan penekanan pada
hal-hal yang disebutkan dianggap penting.
(13) Samono abote panandhang kang kudu disandhang. (ASR/P28/305)
„Segitu beratkah beban yang harus di pikul‟
Data diatas merupakan kombinasi asonansi [a] yang diikuti dengan
konsonan [ng] pada kata panandhang „beban‟ terletak pada suku kata ketiga, kata
kang „yang‟, dan kata disandhang „dipikul‟ terletak pada suku kata ketiga dengan
posisi tertutup.
c. Asonansi [i]
46
(14) Siti Sundari uga nimbangi kanthi mesem banjur bali...(ASR/P2/17)
„Siti Sundari juga mengimbangi dengan tersenyum lalu kembali‟
Pada data (14) asonansi [i] terdapat pada kata pertama dan kedua kata Siti
Sundari „Siti Sundari‟, kata nimbangi „mengimbangi‟ pada suku pertama dengan
posisi tertutup, dan suku kata ketiga dengan posisi terbuka, kata kanthi „dengan‟
kata kelima suku kata kedua, dan kata bali „kembali‟ pada suku kata kedua.
(15) tanpa guna rembulan nyingitake
tatu wengi
awit sorote ora bisa ngapusi
eseme rinasa ngiris
ing remmenge pedhut kang ngiteri
(ASR/P10/100)
„tiada gunanya bulan
menyembunyikan luka malam‟
„dari sinarnya tidak bisa berbohong‟
„senyumnya terasa mengiris‟
„digelapnya kabut yang mengelilingi‟
(ASR/P10/100)
(16) rembulan nyingitake tatune ati
jroning esem kang sinandhi
ora ana sing langgeng ing jagad
iki(ASR/P13/131)
„bulan menyembunyikan luka hati‟
„disenyum yang bersandi‟
„tidak ada yang bisa abadi di dunia
ini(ASR/P13/131)
(17) katon mbleret ing remenge pedhut
wengi
nanging rasah wedi
sesuk dina uga bakal gumanti
(ASR/P13/131)
„terlihat redup disamarnya kabut
malam‟
„tapi tak usah takut‟ „esuk hari juga akan berganti‟
(ASR/P13/131)
Pada data (15), (16), (17) asonansi [i] di variasikan kedalam geguritan
disetiap perangan. Sajak yang dihasilkan didominasi berbentuk a-a-a-a bertujuan
memberikan kesan estetis serta keserasian saat mengucapkan maupun
mendengarkanya. Data (15) asonansi [i] terdapat pada kata wengi „malam‟
terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata ngapusi „membohongi‟
terdapat pada suku kata ketiga dengan posisi terbuka, untuk baris ketiga terdapat
pada kata kedua kata rinasa „terasa‟ di suku kata pertama, kata ngiris „ mengiris‟
terdapat pada suku kata pertama, dan untuk baris keempat pada kata ngiteri
„mengelilingi‟ terdapat di akhir suku kata dengan posisi terbuka. Data (16) pada
47
kata ati „hati‟ terdapat pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata sinandhi
„bersandi‟ terletak pada suku kata ketiga dengan posisi terbuka, dan kata iki „ini‟
terletak pada suku kata pertama dan kedua dengan posisi terbuka. Data (17) pada
kata wengi „malam‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata
wedi „takut‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, dan kata
gumanti „berganti‟ terletak pada suku kata ketiga dengan posisi terbuka.
(18) Masakan iwak kali. Najan menune mung prasaja ditanggung rasane ora
ana sing nandhingi. Mula senajan ndhelik tetep digoleki. Ana siji maneh
sing unik, pramuladi ing warung iki ora ana sing nganggo rok apa maneh
clana dawa. (ASR/P17/183)
„Masakan ikan sungai. Meskipun menunya tidak mewah dijamin rasanya
tidak ada yang menandingi. Maka meskipun tersembunyi masih tetap
dicari. Ada satu lagi yang unik, pramusaji diwarung ini tidak ada yang
memakai rok apalagi celana.
Data di atas merupakan kumpulan kalimat yang ada dalam satu paragraf.
Satu kalimat terdapat asonansi [i]. Namun dominasi asonansi [i] lebih terdengar
indah ketika membaca keseluruhan kalimat yaitu pada kata kali „sungai‟ dikalimat
pertama, kata nandhingi „menandingi‟ dikalimat kedua, digoleki „dicari‟ di
kalimat ketiga. Ketiganya terdapat di akhir kalimat dengan posisi terbuka, dan
kata iki „ini‟ yang terdapat pada kalimat keempat kata kesembilan suku kata kedua
dengan posisi terbuka. Asonansi [i] disetiap barisnya dapat diajabarkan sebagai
berikut: kalimat pertama asonansi [i] terdapat pada frasa iwak kali „ikan sungai‟
yang terletak pada suku kata pertama dari kata iwak „ikan‟ dan suku kata kedua
kata kali „sungai‟, yang keduanya dengan posisi terbuka. Kalimat kedua terdapat
pada kata ditanggung „dijamin‟ terletak di suku kata pertama, kata nandhingi
„menandingi‟ terletak pada suku kata kedua dan ketiga. Kalimat ketiga terdapat
pada kata digoleki „dicari‟ terletak pada suku kata pertama dan keempat. Kalimat
keempat terdapat pada kata siji „satu‟ terdapat pada suku kata pertama dan kedua
48
dengan posisi terbuka, kata unik „unik‟ terletak pada suku kata kedua dengan
posisi tertutup, kata pramuladi „pramusaji‟ terletak pada suku kata keempat
dengan posisi terbuka, kata iki „ini‟ terletak pada suku kata pertama dan kedua,
dengan posisi terbuka. Semua asonansi [i] yang terdapat pada setiap kalimat
mendukung kesinambungan keindahan kata yang ada pada akhir kalimat,
sehingga terkesan lebih ritmis.
(19) Kanggo sauntara dheweke lali karo reribet kang lagi diadhepi, lali
marang tujuane teka menyang papan iki.(ASR/P27/295)
„Untuk sementara dia lupa dengan permasalahan yang sedang
dihadapi, lupa akan tujuannya datang ke tempat ini‟
Data tersebut terdiri atas dua unsur langsung. Unsur langsung pertama
terletak pada kata kanggo sauntara dheweke lali „ untuk sementara dia lupa‟,
unsur langsung kedua terletak pada kata karo reribet kang lagi diadhepi „dengan
permasalahan yang sedang dihadapi‟. Pada data (19) asonansi [i] terdapat pada
kata lali „lupa‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata reribet
„permasalahan‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata lagi
„sedang‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, dan kata diadhepi
„dihadapi‟ terletak pada suku kata pertama dan kedua dengan posisi terbuka.
Asonansi [i] dalam data di atas mewujudkan penekanan terhadap beratnya beban
pikir yang sejenak ingin dilupakan.
(20) critakna marang langit
ngenani jerit kang siningit
jroning klawune gurit (ASR/P11/110)
„ceritakan kepada langit‟
„mengenai jerit yang tersembunyi‟
„dalam biru abu lagu‟
49
Data nomor (20) merupakan potongan geguritan dalam novel Alun Samudra
Rasa perangan sewelas. Asonansi [i] yang ada dalam data di atas merupakan
perpaduan antara bunyi vokal [I] di ikuti dengan konsonan [t] yaitu pada kata
langit „langit‟, terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup, kata siningit
„tersembunyi‟ terletak pada suku kata ketiga dengan posisi tertutup, dan kata gurit
„lagu‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup. Kesepadanan bunyi
terjadi di akhir baris yang memberikan kesan kata terdengar lebih berpola.
d. Asonansi [u]
(21) Nalika sisa tatu biru, dumadakan ilang dipangan wektu..
(ASR/P23/241)
„ketika sisa luka biru, tiba-tiba hilang di makan waktu‟
(22) Sacleret kenangan klawu
Ing lintasan wektu
Ngosak-asik kalbu..(ASR/P24/252)
„secoret kenangan biru abu‟
„Di lintasan waktu‟
„mengobrak-abrik kalbu‟
Data (21) dan (22) terdapat asonansi [u] dengan posisi terbuka. Data (21)
terdapat pada frasa tatu biru „luka biru‟ yang terletak pada suku kedua kata tatu,
dan suku kata kedua dari kata biru „biru‟, serta kata wektu „waktu‟ suku kata
kedua dengan posisi terbuka. Data (22) terdapat pada akhir baris geguritan yaitu
pada kata klawu „biru abu‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka,
kata wektu ‟waktu‟ pada baris kedua suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata
kalbu „kalbu‟ pada akhir baris ketiga suku kata kedua dengan poisisi terbuka,
sehingga menimbulkan kesan ritmis di ujung kalimatnya.
(23) Siluet lan kanyatan dadi sansaya jumbuh
„Siluet dan kenyataan menjadi semakin sesuai‟
Sauntara kapasten isih embuh..(ASR/P23/241)
„Sementara kepastian masih entahlah...‟
50
Data (23) menunjukan adanya perpaduan asonansi [u] dengan bunyi vokal
[U] yang diikuti konsonan [h] dengan posisi tertutup yaitu pada kata jumbuh
„sesuai‟ pada suku kata kedua, kata embuh „entahlah‟ terletak pada suku kata
kedua. Keduanya nampak terpola di akhir kata dalam baris.
(24) Ing ngomah kaya wong bingung, ing kantor kaya wong
pengung.(ASR/P27/285)
„Dirumah seperti orang bingung, di kantor seperti orang bodoh‟
Data nomor (24) menunjukan wujud asonansi [u] dengan bonyi vokal [U]
yang diikuti dengan konsonan [ng] yaitu pada kata bingung „bingung‟ terletak
pada suku kata kedua, kata pengung „bodoh‟ yang terletak pada suku kata kedua.
Kesepadanan bunyi di akhir kalimat mmberikan penekan mengenai rasa bingung
yang dihadapi.
(25) Angin sumilir lembut, ngelus kulit lan kala-kala nakal dolanan
rambut.(ASR/P28/307)
„Angin semilir lembut, meraba kulit dan kadang-kadang nakal
bermain rambut‟
Data (25) merupakan kombinasi asonansi [u] dengan bunyi vokal [U] yang
diikuti dengan konsonan [t] yaitu pada kata lembut „lembut‟ terletak pada suku
kata kedua dengan posisi tertutup, dan kata rambut „rambut‟ terletak pada suku
kata kedua dengan posisi tertutup dapat menimbulkan efek indah pada akhir
pelafalannya.
e. Asonansi [e]
(26) Ben wae kenangan iku tetep mapan ana ing panggone, kaya apa
anane. (ASR/P27/287)
„Biar saja kenangan ini tetap bertempat di tempatnya, seperti apa
adanya‟
51
Data (26) terdapat asonansi [e] pada kata wae „saja‟ terletak pada suku kata
kedua, kata panggone „tempatnya‟ terdapat pada suku kata ketiga dengan posisi
terbuka, dan kata anane „adanya‟ terletak pada suku kata ketiga dengan posisi
terbuka.
(27) Tatu saya njarem, jroning warna sing biru erem. (ASR/P12/120)
„Luka yang keram, pada warna yang biru gelap‟
(28) Tatu sing emu
Rinasa njarem
Nunjem ! (ASR/P15/153)
„Luka yang nampak‟ „Terasa keram‟
„Menancap ! (ASR/P15/153)
Data (27) dengan (28) menunjukan pemakaian asonansi [e] dengan bunyi
vokal [ȇ] yang diikuti dengan konsonan [m]. Data (27) pada kata njarem „keram‟
terdapat pada suku kata kedua dengan posisi tertutup, kata erem „gelap‟ terletak
pada suku kata pertama dengan posisi terbuka dan suku kata kedua posisi tertutup.
Data (28) merupakan potongan geguritan yang terdapat di perangan limalas pada
kata njarem „keram‟ dan kata nunjem „menancap‟. Keduanya terletak pada akhir
baris pada suku kedua dengan posisi tertutup. Dominasi bunyi yang terpola di
akhir kalimat memberikan kesan estetis saat mengucapkan maupun didengar.
(29) Sing ditakoni ora enggal wangsulan. Malah mingseg-mingseg. Tangise
keprungu saya seseg.(ASR/P21/226)
„Yang ditanyai tidak lekas menjawab. Malah tersedu-sedu. Tangisnya
terdengar semakin menyesak‟
(30) Rasane judheg, jibeg, kuwur lan embuh apa maneh istilahe, pokoke Intan
rumangsa bener-bener judheg. (ASR/P27/285)
„Rasanya pusing, penat, bingung dan entahlah apa lagi istilahnya,
pokoknya Intan merasa benar-benar susah‟
Data (29) dan (30) menunjukkan adanya data asonansi [e] dengan bunyi
vokal [ȇ] yang dipadukan dengan konsonan [g]. Data (29) pada kata mingseg-
mingseg „tersedu-sedu‟ terletak pada suku kata kedua yang diulang sebagai
52
reduplikasi utuh, dan kata seseg „sesak‟ terletak pada suku kata kedua dengan
posisi tertutup. Data (30) pada kata judheg „pusing‟ terletak pada suku kata kedua
dengan posisi tertutup dan diulang di akhir kalimat sebagai penekanan yang
menunjukkan kebingungan yang luar biasa, kata jibeg „penat‟ terletak pada suku
kata kedua dengan posisi tertutup.
(31) Intan ngedhep-ngedhepake mripate sing krasa teles. Atine pepes. Angkles!
(ASR/P11/119)
„Intan mengkedip-kedipkan matanya yang terasa basah. Hatinya tak
berdaya. Lemah !
Data (31) merupakan wujud penggunaan asonansi [e] dengan bunyi vokal
[ȇ] diikuti konsonan [s] di setiap akhir kalimat, yaitu pada kata teles „basah‟ pada
akhir kalimat pertama, kata pepes „tak berdaya‟ pada akhir kalimat kedua, dan
kata angkles „lemah‟ pada akhir kalimat ketiga. Ketiga kalimat terletak pada suku
kata kedua dengan posisi terbuka, yang di setiap akhir kalimat menjelaskan
keadaan secara detail dengan alur cerita yang mengerucut.
(32) Langit timbreng
Sajembare panyawang mung ana
ireng lan peteng. (ASR/P30/319)
„Langit mendung‟
„seluas memandang hanya ada
hitam dan gelap‟(ASR/P30/319)
Data (32) asonansi [e] dengan bunyi vokal [ȇ] terdapat pada baris satu dan
dua, asonansi di setiap barisnya saling mendukung bunyi vokal [ȇ] yang diikuti
konsonan [ng] di suku kata kedua dan di akhir baris. Baris pertama pada kata
timbreng „mendung‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup serta
diikuti konsonan [ng]. Baris kedua pada kata sajembare „seluas‟ terletak pada
suku kata kedua dengan posisi tertutup, kata ireng „hitam‟ terletak pada suku kata
kedua dengan posisi tertutup, dan kata peteng „gelap‟ terletak pada suku kata
pertama dan suku kata kedua diikuti dengan konsonan [ng] dengan posisi tertutup.
53
2. Aliterasi
a. Aliterasi [d]
(33) Rasa sing angel dipahami lan amung bisa dinikmati, dilaras, lan
dihayati.(ASR/P28/308)
„Rasa yang sulit dipahami dan hanya bisa dinikmati, dirasa, dan dihayati‟
Data (33) menunjukkan aliterasi atau purwakanthi sastra dengan konsonan
[d] yang diikuti dengan bunyi vokal [i] yaitu pada kata dipahami „ dipahami‟,
dinikmati „dinikmati‟, dilaras .‟dirasa‟, dan dihayati „dihayati‟. Keempat kata
terletak pada suku kata pertama dengan posisi terbuka. Kesepadanan di awal suku
kata tersebut menjadikan bunyi kata terlihat ritmis dan terpola, memberikan
penjabaran hati yang sedang dirasakannya.
b. Aliterasi [s]
(34) Sun sayang marang Sekar.(ASR/P1/1)
„Sun sayang pada Sekar‟
(35) “Kuwi masakan ndesa asli sing sugih serat....(ASR/P23/249)
„Itu masakan desa asli kaya serat..‟
Data (34) dan (35) merupakan data yang mengandung aliterasi [s]. Data (34)
aliterasi atau purwakanthi sastra [s] terdapat pada kata sun „sun‟, sayang
„sayang‟, dan Sekar „Sekar‟. Ketiga kata tersebut aliterasi [s] terletak pada awal
kata, dengan kata pertama diikuti vokal [u], kata kedua diikuti bunyi vokal [a] dan
kata ketiga diikuti bunyi vokal [ȇ]. Penggunaan aliterasi [s] pada awal kata
berfungsi untuk menciptakan keritmisan pola kata yang diucapkan. Data (35)
aliterasi [s] terdapat pada kata masakan „masakan‟, ndesa „desa‟, asli „asli‟, dan
puncak keritmisan bunyi konsonan [s] terdapat pada kata sing „yang‟, sugih
„kaya‟, serat „serat‟, keseluruhan terletak di awal kata.
54
3. Purwakanthi Lumaksita
a. Anafora
(36) Serik!Serik marang sing lanang kang wis tumindak degsiya lan sawiyah-
wiyah. (ASR/P3/26)
„Benci! Benci terhadap laki-laki yang sudak bertindak kasar dan semena-
mena‟
Data (36) sampai (40) terdapat data yang berupa perulangan kata pertama
yang diulang kembali pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Seperti kata serik
„serik‟ pada data (36), kata langit „langit‟ dan kata sing kanthi „yang dengan‟ pada
data (37) diulang sebanyak dua kali di awal kalimat selanjutnya. Selanjutnya kata
tresna kang... „cinta yang...‟ pada data (38), kata tresna sing... „cinta yang...‟ data
nomor (39), dan kata Nglanggeran! „Nglanggeran!‟, data (40) diulang sebanyak
tiga kali pada awal kalimat atau baris berikutnya secara berurutan. Perulangan
kata pertama ini menunjukkan bahwa kata yang diulang dalam kalimat pertama
tersebut dianggap penting.
(37) langit kadidene...
Sing kanthi... Langit uga ora... Sing kanthi..(ASR/P1/1)
„Langit seperti halnya...‟
„yang dengan..‟ „Langit juga tidak...‟
„yang dengan...‟ (ASR/P1/1)
(38) Tresna kang karajut.. Tresna kang agung... Tresna sing kanggone Intan...
(ASR/P9/99)
„Cinta yang terajut...‟
„Cinta yang agung...‟
„Cinta yang buat Intan...
(ASR/P9/99)
(39) Tresna sing padha dene...
Tresna sing padha dene...
Tresna sing mahanani...
(ASR/P29/314)
„Cinta yang saling...‟
„Cinta yang saling...‟ „Cinta yang saling...‟
(ASR/P29/314)
(40) Nglanggeran!
Nglanggeran!
Nglanggeran!...(ASR/P27/293)
„Nglanggeran!‟
„Nglanggeran!‟
„Nglanggeran!‟ (ASR/P27/293)
55
b. Epistrofa
(41) Kadhang-kadhang wong ora bisa uwal saka jiret masa lalu. Ning kita
kudu sadhar yen wong ora tumapak ing masa lalu. (ASR/P23/246)
„Kadang-kadang orang bisa saja lepas dari ikatan masa lalu. Tetapi kita
harus sadar kalau orang tidak berjalan di masa lalu‟
(42) Tegese ayu banget ora, elek banget uga ora. (ASR/P1/3)
„Artinya cantik sekali tidak, jelek sekali juga tidak‟
(43) wong tuwane wae ora tau mara tangan, lha kok saiki wong lanang
sing dipasrahi uripe tega-tegane mara tangan. (ASR/P3/24)
„Orang tuanya saja tidak pernah main tangan, lha kok sekarang laki-laki
yang diserahi hidup tega-teganya main tangan‟
Data (41) sampai (43) merupakan wujud perulangan kata atau frasa di akhir
baris atau akhir kalimat, yaitu terdapat pada data (41) kata masa lalu „masa lalu‟
yang diulang sebanyak dua kali pada akhir kalimat. Data (42) kata ora „tidak‟
yang diulang sebanyak dua kali, dan kata mara tangan „main tangan‟ data (43) di
ulang pula sebanyak dua kali. Pengulangan pada akhir kalimat difungsikan untuk
memberikan kejelasan kepada pembaca mengenai kalimat sebelumnya diingatkan
lagi pada ide pokok yang ada di akhir kalimat.
c. Epizeuksis
(44) ing Semarang sawise oleh kanca-kanca anyar, swasana kampus sing uga
beda karo Yogya lan srawung karo kanca-kanca anyar kanthi pakulinan-
pakulinan sing uga anyar,...(ASR/P3/28)
„di Semarang setelah mendapat teman-teman baru, suasana kampus yang
juga berbeda dengan Yogya dan berkenalan dengan teman-teman baru
dengan kebiasaan-kebiasaan yang juga baru,..‟
(45) marang mobah mosiking swasana...swasana...karo swasana atine...
(ASR/P1/1)
„terhadap hiruk-pikuk suasana...suasana...suasana...sama suasana
hatinya..‟
(46) Seneng amarga dheweke bisa ketemu Nami maneh, bisa nyawang
pasuryane, bisa krungu swarane, bisa... lan sedhih. (ASR/P18/196)
56
„Senang karena dirinya bisa ketemu dengan Nami lagi, bisa melihat
wajahnya, bisa mendengar suaranya, bisa... dan sedih‟
(47) Liwat proses sing dawa pungkasane aku bisa mahami, urip kuwi apa lan
kanggo apa aku urip, kepriye urip kudu diuripi. (ASR/P28/301)
„Lewat proses yang panjang akhirnya aku bisa memahami, hidup itu apa,
dan untuk apa hidup, bagaimana hidup harus menghidupi‟
(48) Ning iki mung saderma sesambungan batin, sesambungan ati, dudu
sesambungan ragawi. (ASR/29/316)
„Tetapi sekarang hanya sebatas hubungan batin, hubungan hati bukan
hubungan ragawi‟.
(49) Dinikmati rasa anget kang mili ing dhadhane. Rasa anget kang
nentremake, rasa anget kang bisa nggawa pikirane nglayang ing awang-
awang, mabur ing antarane mega-mega lan njoged ing sorote kluwung...
(ASR/P28/307)
„Dinikmati rasa hangat yang mengalir di dadanya. Rasa hangat yang
menentramkan, rasa hangat yang bisa membawa pikiran melayang ke
langit, terbang di antara awan-awan dan menari di lengkungan cahaya‟
(50) Tresna sing padha dene ngajeni, padha dene mbutuhake, padha dene asih
sihnisihan. Tresna sing padha dene bisa andum lan nampa,...
(ASR/P29/314)
„Cinta yang saling menghormati, saling membutuhkan, saling mengasihi.
Cinta yang bisa saling memberi dan menerima,...
(51) Ning kasunyatan sing ana, akeh priya sing rumangsa luwih kuwasa, luwih
unggul, luwih kuwat...mula kadhang-kadhang sikape sawiyah-wiyah
marang wong wadon.(ASR/P29/3130
„Tetapi kenyataan yang ada, banyak pria yang merasa lebih berkuasa, lebih
unggul, lebih kuat, ...maka kadang-kadang sikapnya semena-mena
terhadap wanita‟
(52) Mung Pram sing bisa mangerti aku, mung dheweke sing bisa aweh
ketentreman marang jiwaku, mung dheweke sing bisa gawe atiku nangis
lan ngguyu, mung dheweke...ning dheweke ana sing
nduweni.(ASR/29/315)
„Cuma Pram yang bisa mengerti aku, cuma dia yang bisa memberikan
ketentraman pada jiwaku, cuma dia yang bisa buat hatiku menangis dan
tertawa, cuma dia...tetapi dia sudah ada yang punya‟
Data (44) sampai (52) menunjukan wujud perulangan kata yang
dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut atau biasa disebut dengan
epizeuksis. Seperti kata anyar „baru‟, swasana „suasana‟, urip „hidup‟,
57
sesambungan „hubungan‟, rasa anget „rasa hangat‟, dan mung dheweke „cuma
dia‟ diulang sebanyak tiga kali, padha dene „saling halnya‟, luwih „lebih‟ pada
data nomor (51), dan kata bisa „bisa‟ diulang sebanyak empat kali pada data
nomor (46). Perulangan kata ditempatkan secara bervariasi, baik di awal kalimat,
tengah kalimat, maupun akhir kalimat. Perulangan tersebut dimaksudkan bahwa
kata yang diulang dianggap penting, penting untuk dipahami, diketahui maupun
penting untuk didengarkan bagi pembaca.
d. Anadiplosis
(53) “Rungokna swarane atimu. Swara atimu sing paling jero. Swara ati
kuwi mujudake cahaya surgawi kang dikirim Gusti kanggo nuntun
jangkahmu.... (ASR/P28/308)
„Dengarkan suara hatimu. Suara hati yang paling dalam. Suara hati itu
mewujudkan cahaya surgawi yang dikirim Allah untuk menuntun
langkahmu...‟
(54) Rasa lara sing banjur manjalma dadi rasa sengit. Sengit sing ndulit.
(ASR/P29/311)
„Rasa sakit yang kemudian menjelma menjadi rasa benci. Benci yang
dalam‟
(55) Isih nabet. Nabet jero. Jero banget! (ASR/P25/271)
„Masih membekas. Membekas dalam. Dalam sekali.‟
(56) Ana rasa lara. Lara kang endah. (ASR/P29/317)
„Ada rasa sakit. Sakit yang indah‟.
(57) Dheweke isih nesu. Nesu tenan.(ASR/P31/333)
„Dirinya masih marah. Marah sekali‟.
(58) Intan rumangsa isin. Isin banget. (ASR/P31/337)
„Intan merasa malu. Malu sekali‟.
Data (53) sampai (58) terdapat perulangan berupa pengulangan kata di akhir
kalimat yang kemudian diulang kembali di awal kalimat atau biasa disebut dengan
58
anadiplosis. Seperti kata swara atimu „suara hatimu‟, sengit „benci‟, kata nabet
„membekas‟, kata jero „dalam‟, kata lara „sakit‟ dan kata nesu „marah‟ serta kata
isin „malu‟ semuanya terletak di akhir kalimat kemudian diulang kembali di awal
kalimat yang berurutan.
B. Diksi atau Pemilihan Kosakata dalam Novel Alun Samudra Rasa karya
Ardini Pangastuti Bn.
Diksi (diction) adalah pemilihan kata-kata, frasa, dan gaya dalam karya
sastra. Pemilihan kata dipilih untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan.
Pemilihan kata merupakan unsur stilistika yang berhubungan dengan variasi.
Diksi yang digunakan dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti
Bn antara lain: pemanfaatan bentuk kata, reduplikasi, kosakata bahasa Indonesia,
kosakata bahasa asing, sinonimi, antonimi, abreviasi atau panyudaning swara
(wancah), panambahing swara (wuwuh), tembung saroja, tembung garba,
tembung entar, paribasan dan bebasan.
1. Pemanfaatan bentuk kata
a. Kata Berafiks (Afiksasi)
1) Prefiks/ ater-ater
a) Prefiks {pa-}
(59) Intan isih kober ngucapake atur panuwun. (ASR/P1/10)
„Intan masih sempat mengucapkan terima kasih‟
Data (59) kata panuwun „terima kasih‟ berasal dari kata nuwun „terima
kasih‟ dan mendapat prefiks {pa-} sehingga menjadi panuwun „terima kasih‟ dan
membentuk kata benda yang menyatakan sesuatu dikenai perbuatan pada kata
dasar, artinya mengucapkan terima kasih.
59
b) Prefiks {ma-}
(60) Ora bisa mawujud jroning kanyatan saiki.”Intan nyawang Pram
kanthi perasaan sing campur adhuk. (ASR/P23/247)
„Tidak bisa terwujud dikenyataan sekarang.” Intan menatap Pram
dengan perasaan yang campur aduk‟.
Data (60) terdapat wujud prefiks {ma-} yaitu pada kata mawujud „terwujud‟
yang berasal dari kata dasar wujud „wujud‟ mendapat prefiks {ma-} membentuk
kata kerja pasif mawujud „terwujud‟.
c) Prefiks {ka-}
(61) saka kenangan mangsa kawuri.(ASR/P7/67)
„dari kenangan masa lalu‟
(62) katatah jronging lungite tresna. (ASR/P8/78)
„tertatah dalam besarnya cinta‟
(63) Prasasti lawas kang tinatah ing tapak sejarah
„Prasasti lama yang tertatah di tapak sejarah‟
Banjur kakubur lebet, adoh saka ranggehan angkah.(ASR/P17/176)
„Lalu terkubur dalam, jauh dari gapaian arah‟
(64) ..., minangka... pokoke Ines mujudake kanyatan sing ora bisa
kapisah karo uripe sing saiki. (ASR/P21/225)
„..., sebagai... pokoknya Ines mewujudkan kenyataan yang tidak bisa
terpisah dari hidupnya yang sekarang‟.
(65) Ora kawilang dina-dina kebak aruming kembang sing tau dilewati
bebarengan. (ASR/P26/283)
„Tidak terhitung hari-hari penuh harumnya bunga (kenangan masa
lalu) yang pernah dilewati bersama‟.
Data (61) sampai (65) penggunaan prefiks {ka-} bergabung dengan kata
benda, yaitu pada kata kawuri „lalu/buri‟ berasal dari kata dasar wuri „lalu/buri‟,
kata katatah „tertatah‟ berasal dari kata tatah „tatah‟ dan kata kakubur „terkubur‟
berasal dari kata dasar kubur, (64) kata kanyatan „kenyataan‟ berasal dari kata
nyata „nyata‟, dan data (65) kata kawilang„dihitung‟ berasal dari kata dasar wilang
60
„hitung‟dan mendapat imbuhan prefiks {ka-} yang berfungsi membentuk kata
kerja pasif.
d) Prefiks {sa-}
(66) Sajroning rong taun iki wis kaping telu Bregas pindhah gaweyan.
(ASR/P1/7)
Selama dua tahun ini sudah tiga kali Bregas pindah pekerjaan‟
(67) Wong lanang kuwi ora mung saderma kaget, nanging atine uga panas
weruh Toyota Yaris sing isih kinyis-kinyis iku diparkir ing garasi.
(ASR/P2/19)
„Lelaki itu tidak sekedar kaget, tetapi hatinya juga panas melihat
Toyota Yaris yang masih mulus itu diparkir di garasi‟
(68) Kula namung kepengin wonten Yogya sawetawis kanggo ngleremaken
manah.(ASR/P6/64)
„Aku hanya ingin di Yogya sementara untuk menenangkan hati‟
(69) Sakawit Intan ora arep kandha marang wong tuwane... (ASR/P13/131)
„Awalnya Intan tidak mau bilang pada orang tuanya‟
(70) Sacleret kenangan klawu. (ASR/P24/252)
„seberkas kenangan abu-abu‟
Data (66) sampai (70) menunjukan penggunakan prefiks {sa-} yaitu pada
kata sajroning „selama‟, saderma „sekedar‟, sawetawis „sementara‟, sakawit
„awalnya‟, dan kata sacleret „seberkas‟. Prefiks {sa-} data (66-69) mempunyai
makna menyatakan waktu, menyatakan seluruh atau sebagian, dan data (70)
menyatakan sebuah satuan.
2) Infiks atau seselan
a) Infiks {-um-}
(71) langit kadidene buku kang sumeblak.(ASR/P1/1)
„Langit seperti halnya buku kosong‟
(72) adegan kaya mau meh dumadi ing saben esuk. (ASR/P1/3)
„adean seperti itu hampir terjadi di setiap pagi‟
(73) langite tetep mawon mboten ramah,” tumanggape Intan karo
mbenakkake posisi lungguhe. (ASR/P1/4)
61
„langitnya tetap saja tidak ramah,” jawab Intan sambil membetulkan
posisi duduknya‟
(74) sawise ngampiri Indri mobil perusahaan kasebut lagi nerusake laku
tumuju kantor kawasan industri Kaligawe.(ASR/P1/4)
„Setelah menghampiri Indri mobil perusahaan tersebut lalu
meneruskan perjalanan menuju kantor kawasan industri Kaligawe‟
(75) Lagi wae mlebu wewengkon wisata Bandungan udan deres tumiba
tanpa angkan-angkan. (ASR/P3/29)
„baru saja Intan masuk daerah wisata Bandungan hujan deras jatuh
tanpa disangka-sangka‟
(76) Wengi terus rumambat. (ASR/P3/34)
„malam terus merambat‟
(77) Mung langsung tumandang ngusungi barang-barange karo direwangi
dening Mona.(ASR/P6/60)
„Cuma langsung bergegas mengangkat barang-barangnya sambil
dibantu oleh Mona‟
(78) Mona manthuk. Banjur jumangkah mlebu kamar sing disedhiyakake
kanggo dheweke.(ASR/P6/62)
„Mona mengangguk. Lalu melangkah masuk kamar yang sudah
disediakan untuk dirinya‟
(79) “menawi purik ngaten inggih mboten, Pak.” Intan
tumungkul.(ASR/P7/64)
„kalau pergi juga tidak, Pak,”Intan menunduk‟
(80) Mung saderma kanggo panglipur ing kalane atine lagi sedhih kaya
saiki, senajan dheweke sadhar, urip ora kena terus tumoleh menyang
mburi supaya lakune bisa jejeg. (ASR/P7/77)
„Cuma sekedar untuk penghibur dikala hati sedang sedih seperti
sekarang, meskipun dirinya sadar, hidup tidak boleh menoleh
kebelakang supaya langkahnya bisa lurus‟
(81) Sebab urip kudu tumapak maju menyang ngarep, ora mlangkah
mundur menyang mburi.(ASR/P7/77)
„Sebab hidup itu harus menapak maju kedepan, tidak melangkah
mundur kebelakang‟
(82) Intan mung njegreg. Ora bisa kumecap. Jantunge dhag-dhig-dhug
ora karuan.(ASR/P8/87)
„Intan Cuma diam. Tidak bisa berbicara. Jantungnya dag-dig-dug
tidak karuan‟
62
(83) padhang peteng tansah gilir gumanti (ASR/P13/131)
„terang gelap nampak silih berganti‟
(84) Sawenehe idhe dumadakan wae kumlebat ing pikirane.
(ASR/P17/178)
„beberapa ide mendadak berkeliaran dipikirannya‟
(85) Kaganti mendhung anggendhanu, sing sawayah-wayah bisa
mbungkem guyu, liwat udan sing gumbrojok tanpa larapan.
(ASR/P26/274)
„Berganti mendung hitam, yang kapan saja bisa menutup tawa, lewat
hujan yang mengguyur tanpa petir‟
(86) sairing lumakune wektu lagi nyadhari yen Bregas pancen dudu
priya sing pas kanggone. (ASR/P13/131)
„seiring berjalannya waktu baru menyadari kalau Bregas memang
bukan priya yang pas buat dirinya‟
(87) Lan jroning pikiran sing wening, ati sing biasane tansah polah lan
mothah iku bisa luwih sumeleh, luwih ening. (ASR/P28/300)
„dan didalam pikiran yang jernih, hati yang biasanya bergejolak dan
tidak tenang itu bisa lebih sabar, lebih jernih‟
(88) Rembulan gumandhul ing langit sing biru resik. (ASR/P29/310)
„Bulan menggantung dilangit yang biru bersih‟
(89) ing meja ngarepe gumlethak amplop soklat...(ASR/P2/12)
„di meja depan tergeletak amplop coklat...‟
(90) Mungkin kenalane Astri utawa kanca orang tua wali murid. Wong
ketoke wis cukup rumaket. (ASR/P17/177)
„Mungkin kenalannya Astri atau teman orang tua wali murid.
Terlihat sudah cukup akrab.‟
(91) “Maaf yen pitakonku ngganggu perasaanmu,” Pram ndandani
sikape. Tangane kumlawe ngremet pundhake wanita sing lagi
tumungkul ana ngarepe itu. (ASR/P23/246)
“maaf kalau pertanyaanku mengganggu perasaanmu,” Pram
membenarkan sikapnya. Tangannya merangkul meremas
pundaknya‟
(92) Sawise adoh lumajar. (ASR/P24/252)
„Setelah jauh menjalar‟
(93) Jam siji awan, panas kang sumelet ing setengahe mangsa
rendheng,... (ASR/P17/181)
„jam satu siang, panas yang menyengat di tengah musim hujan,...‟
63
(94) Samudra sing ora tau anteng, kadhang ombak kekitrang nut
tumiyupe samirana. (ASR/P27/285)
„samudra yang tidak pernah tenang, kadang ombak bergerak searah
tiupan angin‟
(95) “kanggo sliramu, mesthi wae aku tansah sumadya wektu. Ana apa
ta Nami?”pitakone rada gupuh. (ASR/P27/291)
„Untuk dirimu, pasti aku akan menyediakan waktu. Ada apa Nami?”
tanyanya sedikit tergesa-gesa‟
(96) kaya tumetes bun ing ketiga ngerak. (ASR/P2/12)
„seperti tetesan embun di musim panas kering‟
Data (71) sampai (96) wujud penggunaan infiks {-um-} oleh Ardini
Pangastuti Bn bergabung dengan kata kerja, yaitu kata sumeblak „terbuka lebar‟
berasal dari kata dasar seblak „membuka‟, dumadi „terjadi‟ berasal dari kata dasar
dadi „terjadi‟, tumanggape „jawab‟ berasal dari kata dasar tanggap
„menjawab/jawab‟, tumuju „menuju‟ berasal dari kata dasar tuju „menuju‟, tumiba
„jatuh‟ berasal dari kata dasar tiba „jatuh‟, rumambat „merambat‟berasal dari kata
rambat „merambat‟,tumandang „bergegas‟ berasal dari kata tandang
„melakukan‟,jumangkah „melangkah‟ berasal dari kata dasar jangkah „ langkah‟ ,
tumungkul „menunduk‟ berasal dari kata tungkul „menunduk, tumoleh „menoleh‟
berasal dari kata dasar toleh „menoleh‟, tumapak „menapak‟ berasal dari kata
dasar tapak „jejak/menapak‟, kumecap „berbicara‟ berasal dari kata dasar kecap
„bicara‟, gumanti „berganti‟ berasal dari kata ganti „ganti‟, kumlebat
„bergelayutan‟berasal dari kata klebat „sekelebat‟, gumbrojok „mengguyur‟
berasal dari kata dasar grojok „mengalir‟, lumakune „berjalannya‟ berasal dari kata
dasar laku „jalan‟, sumeleh „sabar‟ berasal dari kata seleh „meletakkan‟,
gumandhul „menggantung‟ berasal dari kata dasar gandhul „menggantung‟,
gumlethak „tergeletak‟ berasal dari kata dasar glethak „tergeletak‟, rumaket
64
„akrab‟ berasal dari kata dasar raket „kenal/akrab‟, kumlawe „merangkul‟ berasal
dari kata dasar klawe „bergerak‟, lumajar „menjalar‟ berasal dari kata dasar jalar
„menjalar‟, sumelet „menyengat‟ berasal dari kata dasar selet „sengat‟, tumiyupe
„tiupan‟ berasal dari kata dasar tiyup „tiup‟, sumadya „menyediakan‟ berasal dari
kata dasar sadya „sedia‟, dan tumetes „menetes‟ berasal dari kata dasar tetes
„tetes/menetes‟. Penambahan infiks {-um-} jarang diucapkan pada kehidupan
sehari-hari, membuat kata terdengar lebih indah diucapkan dan didengar.
Penggunaan infiks {-um-} dalam NASR selain data di atas, terdapat juga
pada data di bawah ini.
(97) “kopi apa iki kok enak?” pitakone karo irunge plendas-plendus
nyerot aroma kopi sing kumebul saka cangkire. (ASR/P12/122)
“kopi apa ini kok enak?” bertanya sambil hidungnya kembang-
kempis menghirup aroma asap kopi yang berasap dari cangkirnya‟
(98) Srengenge sumunar endah kaya-kaya aweh prasaja marang bumi
sing isih katisen sawise sewengi digrujug udan. (ASR/P16/164)
„Matahari bersinar indah seprti memberi tau kepada bumi yang
masih kedinginan setelah semalam hujan‟
(99) Ora ana lukisan kaya sing ditakonake Pram sing cumanthel ana
kono. (ASR/P22/238)
„tidak ada lukisan seperti yang ditanyakan Pram yang tercantel di
sana.‟
Pada data (97) sampai (99) merupakan wujud penggunaan infiks {-um-}
bergabung dengan kata benda, yaitu pada kata kumebul „asap‟ berasal dari kata
dasar kebul „asap‟, sumunar „bersinar‟ berasal dari kata dasar sunar „sinar‟,
cumanthel „cantel‟ berasal dari kata canthel „cantel‟.
Selain itu prefiks {-um-} dalam novel Alun Samudra Rasa juga terdapat
pada data sebagai berikut.
(100) Mripate tumlawung adoh, ngetutake playune angen-angen sing
ibut...(ASR/P3/32)
65
„matanya menggantung jauh, mengikuti larinya angan-angan yang
ribut‟
(101) Dumadakan wae Intan dadi kangen marang ibune. (ASR/P3/25)
„Mendadak saja Intan jadi kangen pada ibunya.‟
(102) Wangi mawar, arum melathi , saka mangsa kawuri. Isih sumegrak
angambar. (ASR/P9/90)
Harum mawar, bau melati, dari masa lalu. Masih tetap menyengat
mewangi‟
(103) “Becike kowe saiki bali Yogya wae,” ujare ibune sawise ana
putusan kang gumathok saka pengadilan agama. (ASR/P14/143)
„Baiknya kamu sekarang balik Yogya saja,” kata ibunya setelah ada
putusan yang pasti dari pengadilan agama‟.
(104) Nanging akeh sing rumangsa kelangan lan katon sumedhot nalika
dipamiti. (ASR/P14/151)
„Tetapi banyak yang merasa kehilangan dan terlihat sedih saat
dipamiti‟.
(105) Pram nyruput jeruke dhisik sadurunge wangsulan. Rasane awake
luwih kumepyar saiki. (ASR/P18/187)
„Pram meminum jeruknya terlebih dahulu sebelum menjawab. Rasa
badannya lebih segar sekarang‟
(106) Ora semata-mata harga dhiri, nanging bojoku bisa uga nyingkrik-
nyingkrik lan kumawasa. (ASR/P18/190).
„Tidak semata-mata harga diri, tetapi suamiku juga bisa semaunya
sendiri dan berkuasa‟
(107) Ines nyawang Intan kanthi mripat sing kumilat. (ASR/P30/327).
„Ines melihat Intan dengan mata yang bersinar‟
(108) “Bundha...?!” Keprungu swarane Sekar sing cumengkling lan
kenes saka njaba kamar. (ASR/P26/281)
„Bundha...?!” Terdengar suara Sekar yang nyaring dan kemayu dari
luar kamar‟.
(109) Angin sumilir lembut, ngelus kulit lan kala-kala nakal dolanan
rambut. (ASR/P28/307)
„Angin bersemilir lembut, meraba kulit dan kadang-kadang nakal
bermain rambut‟.
Ardini Pangastuti Bn menggabungkan infiks {-um-} pada data di atas
dengan kata sifat difungsikan agar kata tersebut lebih terkesan estetis, karena
66
biasanya jarang digunakan dalam percakapan di masyarakat. Seperti pada kata
tumlawung „menggantung merunduk‟ berasal dari kata dasar tlawung
„menggantung merunduk, dumadakan „mendadak‟ berasal dari kata dasar dadak
„mendadak‟ dengan imbuhan infiks {-um-} dan konfiks {-an}, sumegrak
„menyengat/berbau tajam‟ berasal dari kata segrak ‟menyengat/berbau tajam‟.
Kata gumathok „sudah pasti/tetap‟ berasal dari kata dasar gathok „tetap‟ mendapat
imbuhan {-um-} menjadi gumathok „sudah pasti/tetap‟, kata sumedhot „mendadak
merasa sedih/hati terasa kencang‟ berasal dari kata dasar sedhot „meresa
sedut/sedih‟ mendapat imbuhan {-um-} menjadi sumedhot „merasa sedih‟, kata
kumepyar „terasa segar/enteng/butiran halus satu per satu‟ berasal dari kata dasar
kepyar „ringan‟. Kata kepyar memiliki beberapa arti sehingga harus disesusaikan
dengan konteksnya. Selanjutnya kata kumawasa „berkuasa‟ berasal dari kata
kuasa „kuasa‟, dan kata kumilat „mengkilat‟ berasal dari kata dasar kilat
„mengkilat‟ dalam konteks kalimat di atas mempunyai maksud matanya menatap
tajam. Data (108) terdapat kata cumengkling „terdengar nyaring‟ berasal dari kata
cengkling „seperti suara besi dipukul‟ mendapat imbuhan {-um-} membentuk kata
sifat cumengkling „suara terdengar seperti besi dipukul‟. Konteks kalimat di atas
maksudnya suaranya nyaring seperti suara besi yang dipukul. Kata (109) sumilir
„sejuk‟ yang berasal dari kata dasar silir „sejuk‟ mendapat imbuhan {-um-}
menjadi sumilir „sejuk‟.
b) Infiks {-in-}
(110) ngenani apa kang sinerat ing kana. (ASR/P1/1)
„mengenai apa yang tertulis disana‟
(111) Kuwi swarane Mona sinambi ngangkat tangane Sekar diajak dha-
dha. (ASR/P1/2)
„Itu suara Mona sambil mengangkat tangannya Sekar diajak dha-dha‟
67
(112) aloke Pak Paimin saderma kanggo abang-abang lambe. Tinimbang
amem. (ASR/P1/4)
„kata Pak Paimin sekedar untuk obrolan daripada diam‟
(113) “Aku lagi mengagumi reriptane Sang Kreator Agung, Gusti Kang
Maha linuwih. (ASR/P28/297)
„Aku sedang mengagumi ciptaan Sang Kreator Agung, Tuhan Yang
Maha Lebih ‟
(114) Aku mung peduli marang wong-wong tinamtu. (ASR/P16/74)
„Aku hanya peduli kepada orang-orang tertentu‟
(115) tapak-tapak jangkah kan tinatah ing cemani bumi.(ASR/P4/34)
„jejak-jejak langkah yang tertatah di cemani bumi‟
(116) Kanggo wanita kinasih iiku dheweke wis bisa aweh kenangan sing
ora bakal dilalekake. (ASR/P20/216)
„Untuk wanita terkasih itu dia sudah bisa memberi kenangan yang
tidak bakal dilupakan‟.
(117) Dheweke ora kepengin wong ngonangi mendhung ing ginayut ing
mripate.(ASR/P31/337)
„Dirinya tidak ingin orang mengetahui permasalahan yang
bersemayam di matanya‟
(118) wong tuwane klebu wong kinormat...(ASR/P3/25)
„Orang tuanya termasuk orang terhormat...‟
(119) toh nominal sing ana kartu ATM iku jumlahe mung winates.
(ASR/P4/36)
„toh nominal yang ada di kartu ATM itu jumlahnya juga terbatas‟
(120) Nyes..atine Intan rasane kaya siniram banyu es oleh sun sayang
saka gantilaning atine kuwi. (ASR/P5/51)
„Nyes... hati Intan rasanya seperti disiram air es mendapat sun
sayang dari pujaan hatinya itu‟
(121) Keputusan nerusake kuliah maneh menyang Semarang, keputusan
rabi, kabeh tanpa linambaran nalar wening. (ASR/P9/98)
„Keputusan melanjutkan kuliah lagi ke Semarang, keputusan
menikah, semua tanpa berlandaskan penalaran yang jernih‟
(122) Eseme rinasa ngiris (ASR/P10/100)
„Senyumnya terasa menyayat‟
(123) “Ayo, jeng takaturi pinarak...” (ASR/P13/139)
„Ayo jeng silahkan masuk...‟
68
(124) Bangunan pondhok makan iku isih ajeg kaya biyen. Ginawe saka
pring wulung lan payone saka alang-alang. (ASR/P17/182)
„Bangunan pondhok makan itu masih tetap sama seperti dulu.
Terbuat dari bambu wulung dan atapnya dari alang-alang‟
(125) Merga ing antarane awake dhewe saiki pinisah jurang jero sing ora
mungkin kita lumpati,” kandhane Intan ngati-ati. (ASR/P19/203)
„Karena di anatara kita sekarang terpisah jurang dalam yang tidak
mungkin bisa kita lompati,” kata Intan berhati-hati‟
(126) “Wonten ingkang saget kula biyantu, Mas?” ujare sopan karo
dikantheni sinugging esem ing lambene. (ASR/P22/233)
„Ada yang bisa saya bantu, Mas? “ katanya sopan sambil bersamaan
tergurat senyum di bibirnya‟
(127) Intan kaget kepati weruh sapa sing teka. Rasane kaya sinamber
gelap ing wayah awan sing tanpa mendhung. (ASR/P23/251)
„Intan terkejut bukan kepalang mengetahui siapa yang datang.
Rasanya seperti tersambar petir gelap di waktu siang tanpa
mendung‟
(128) Sawah, kebon lan wit-witan ijo ngrembuyung ngupengi bangunan
pomahan pendhudhuk, katon endah sinawang saka kadohan.
(ASR/P28/296)
„Sawah, kebun dan pepohonan hijau lebat mengitari bangunan rumah
penduduk, terlihat indah dipandang dari kejauhan‟
(129) Intan migatekake kabeh kaendahan kang ginelar iku kanthi maneka
rasa.(ASR/P28/296)
„Intan memperhatikan semua keindahan yang terhampar itu dengan
berbagai rasa‟
(130) Priya lan wanita,pancen cinipta beda. (ASR/P29/312)
„Pria dan wanita, memang diciptakan berbeda‟
(131) Kekuwatane kuwi murih dheweke bisa ngayomi wanita sing kahanan
awake pancen tinakdir luwih ringkih. (ASR/P29/312)
„Kekuatan itu supaya kita dapat mengayomi wanita yang keadaan
badannya memang ditakdirkan lebih lemah‟
(132) Bregas mung salah siji conto saka wong lanang sing ora patut
tinuladha.(ASR/P29/313)
„Bregas Cuma salah satu contoh pria yang tidak pantas diteladani‟
Data (110) sampai (132) bukti wujud infiks {-in-} juga sering digunakan
oleh Ardini Pangastuti untuk mempercantik kata sehingga terkesan lebih arkhais
69
dan puitis, seperti pada kata sinerat „tertulis, sinambi „sambil‟, tinimbang
„daripada‟, linuwih „lebih‟, tinamtu „tertentu‟, tinatah „tertatah‟, kinasih „terkasih‟,
ginayut „bersemayam‟. Sedangkan data (118) sampai (132) infiks {-in-}
membentuk kata kerja pasif pada kata kinormat „terhormat‟, winates „terbatas‟,
siniram„tersiram‟, linambaran „beralaskan‟, rinasa „terasa‟, pinarak „diajak pergi
ke-/dipersilahkan masuk‟, ginawe „terbuat‟, pinisah „terpisah‟, sinungging
„tergambar‟, sinamber „tersambar‟, sinawang „terlihat‟, ginelar „terhampar‟,
cinipta „tercipta‟, tinakdir „ditakdirkan‟, tinuladha „diteladani‟.
3) Konfiks
a) Konfiks {pa-, -an}
(133) ...embuh rumangsa bayare kurang pakaryan kuwi banjur
ditinggalake,...(ASR/P1/7)
„...entah merasa gajinya kurang pekerjaan itu lalu ditinggalkan,...‟
(134) tembang endah tumrap panguripan. (ASR/P2/12)
„lagu indah terhadap kehidupan.‟
(135) Nanging Sekar Melur terus kepriye? Iku tansah dadi
pamikiran. (ASR/P3/33)
„Tetapi Sekar Melur bagaimana? Ini begitu jadi pikiran‟
(136) Nanging ing liya wektu pakulinan elek iku dibaleni maneh dening
bojone. (ASR/P5/54)
„Tetapi di lain waktu kebiasaan jelek itu diulang kembali oleh
suaminya.‟
(137) Mesthi wae dheweke isih apal karo kabeh kebiasaane priya iku,
kalebu sifat-sifate sing luwih seneng ngutamakake keselarasan
jroning pasrawungan. (ASR/P18/189)
„Pasti dirinya masih hafal dengan semua kebiasaan pria itu, termasuk
sifat-sifatnya yang lebih senang mengutamakan keselarasan dalam
bermasyarakat‟
(138) Kamangka olehe ngadisalira, ngadibusana lan thethek bengek
pasiksan awak liyane kuwi bot-bote rak saking tresnane marang
sing lanang. (ASR/P21/221)
„Padahal dirinya berdandan, berpenampilan dan segala hal
wewangian badan lainya itu bentuk cintanya kepada suami.‟
70
(139) Gunung kuwi dianggep cocok kanggo papan
palereman,...(ASR/P28/302)
„Gunung itu dianggap cocok untuk tempat menenangkan diri‟
(140) Senajan mengko yen wis bali mlebu kamar maneh pasuryan sing
sumringah langsung malik suntrut. (ASR/P30/320)
„Meskipun nanti kalau sudah kembali masuk kamar lagi raut wajah
yang ceria langsung berbalik sedih.‟
(141) Ngecek pasedhiyan, transaksi-transaksi dol tinuku lan liya-liyane.
(ASR/P30/320)
„Mengecek persediaan, transaksi-transaksi jual beli dan lain-lainnya‟
(142) Ning nalika patemon iku kudu dumadi saora-orane dheweke wis
siap. (ASR/P30/322)
„Tetapi saat pertemuan itu harus terjadi setidak-tidaknya dirinya
sudah siap‟
Penggunaan konfiks {pa-,-an} terdapat pada data nomor (133) sampai (136).
Konfiks {pa-,-an} merupakan gabungan dua buah afiks yaitu prefiks {pa- } dan
sufiks {-an} bergabung dengan kata benda seperti pakaryan „pekerjaan‟ berasal
dari kata dasar karya „pekerjaan‟ mendapat konfiks {pa-,-an} menjadi pakaryan
„pekerjaan‟, panguripan „kehidupan‟ berasal dari kata dasar nguripi
„menghidupi‟ yang merupakan kata kerja, mendapat konfiks {pa-,-an} berubah
menjadi kata benda panguripan „kehidupan‟, kata pamikiran „pikiran‟ berasal
dari kata dasar mikir „mikir‟ ditambah dengan konfiks {pa-,-an} membentuk kata
benda pamikiran „pikiran‟, kata pakulinan „kebiasaan‟ berasal dari kata dasar
kulina „terbiasa‟ mendapat imbuhan konfiks {pa-,-an} berubah menjadi pakulinan
„kebiasaan‟. Data (137) sampai (142) kata pasrawungan „bermasyarakat‟ berasal
dari kata dasar srawung „kenal‟ mendapat imbuhan {pa-, -an} membentuk kata
pasrawungan „bermasyarakat/mengenal orang banyak‟. Kata palereman „tempat
menenangkan diri‟ berasal dari kata lerem „tenang‟ mendapat imbuhan konfiks
{pa-,-an} menjadi palereman „tempat menenangkan diri‟. Kata pasiksan
71
„wewangian‟ terbentuk dari kata dasar siksa „wangi-wangian‟ bergabung dengan
konfiks {pa-, -an} membentuk kata pasiksan „wewangian‟, kata pasuryan „raut
wajah‟ berasal dari kata dasar surya „wajah‟ bergabung dengan konfiks {pa-,-an}
menjadi pasuryan „perwajahan/raut muka‟, kata pasedhiyan „persediaan‟ berasal
dari kata dasar sedhiya „sedia‟ bergabung dengan konfiks {pa-,-an} menjadi
pasedhiyan „persediaan‟, dan kata patemon „pertemuan‟ berasal dari kata dasar
temu „ketemu‟ mendapat konfiks {pa-,-an} patemuan „pertemuan‟ dan mengalami
variasi menjadi patemon „pertemuan‟.
b) Konfiks {ka-, -an}
(143) Kuwi mujudake kawicaksanan Bos, dudu wewenangku!(ASR/P2/22)
„Itu mewujudkan kebijaksanaan Bos, bukan wewenangku!‟
(144) Kang saya ndadi kaprabawan panase hawa (ASR/P3/24)
„Yang semakin menjadi penguasa panasnya hawa‟
(145) “Aku ora kepengin ngregeti katresnan kita kanthi bab-bab sing ora
semesthine. (ASR/P3/30)
„Aku tidak ingin mengotori cinta kita dengan hal-hal yang tidak
semestinya‟
(146) Malah ora apik tumrap kasarasan raga.(ASR/P6/63)
„Malah tidak baik untuk kesehatan raga‟
(147) Angin ketiga wiwit ngithik-ithik katentreman jiwa.(ASR/P7/67)
„Angin kemarau mulai menggelitik ketentraman jiwa‟
(148) Nanging inggih ningali kawontenan.(ASR/P8/87)
„Tetapi ya melihat keadaan‟
(149) Ambegane Intan sing kebak kalegan iku ora uwal saka kawigatene
Pram.(ASR/P19/206)
„Nafas Intan yang penuh kelegaan itu tidak lepas dari perhatian
Pram‟
(150) “...,nanging kaendahan tetep mili jroning kaweningan ati.” Pram
merem. (ASR/P27/299)
„...,tetapi keindahan tetap mengalir dalam kebersihan hati‟
72
(151) Dadi kaya sing takkandhakake mau, kaendahan tetep mili jroning
kaweningan ati.(ASR/P28/301)
„Jadi seperti yang aku bilang tadi, keindahan tetap mengalir dalam
kejernihan hati‟
(152) .., kanggo mangerteni tugas uripe sing kudu nengenake kautaman,
kanggo nggayuh sampurnane urip.(ASR/P28/302)
„...,untuk mengerti tugas hidup yang harus keutamakan kebaikan,
untuk meraih kesempurnaan hidup.‟
(153) Kasedhihan, kabagyan, seneng, bungah lan sapanunggalane, kabeh
mapane ana rasa.(ASR/P28/303)
„Kesedihan, kebahagiaan, senang, gembira dan lain-lainnya, semua
berada pada rasa‟
(154) ..., padha dene ngajeni kanthi ukara liya priya lan wanita nduweni
kalungguhan kang sababag. (ASR/P29/313)
„...,saling menghormati dengan kalimat lain pria dan wanita
mempunyai posisi yang sama‟.
(155) Ning kasunyatan sing ana, akeh priya sing rumangsa luwih
kuwasa,...(ASR/P29/313)
„Tapi kenyataan yang ada, banyak priya yang merasa lebih
berkuasa,...‟
Data (143) sampai (155) merupakan wujud konfiks {ka-, -an} dalam novel
Alun Samudra Rasa. Konfiks {ka-,-an} terjadi pada kata kawicaksanan
„kebijaksanaan‟ berasal dari kata dasar wicaksana „bijaksana‟ ditambah konfiks
{ka-,-an} menjadi kawicaksanan „kebujaksanaan, kata kaprabawan „prabawa‟
berasal dari kata dasar prabawa „penguasa‟ ditambah konfiks {ka-, -an} menjadi
kaprabawan „penguasa‟, kata katresnan „cinta‟ berasal dari kata dasar tresna
„cinta‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi katresnan ‟cinta‟, kata kasarasan
„kesehatan‟ berasal dari kata dasar saras „sehat‟ ditambah konfiks {ka-,-an}
menjadi kasarasan „kesehatan‟, kata katentreman „ketentraman‟ berasal dari kata
dasar tentrem „tentram‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi katentreman
„ketentraman‟, kata kawontenan „keadaan‟ berasal dari kata dasar wonten „ada‟
ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi kawontenan „keadaan‟, kata kalegan
73
„kelegaan‟ berasal dari kata dasar lega „lega‟ ditambah konfiks {ka-, -an} menjadi
kalegan „kelegaan‟, kata kaweningan „kebersihan‟ berasal dari kata dasar wening
„bersih/jernih/bening‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi kaweningan
„kebersihan‟, kata kaendahan „keindahan‟ berasal dari kata endah „indah‟
ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi kaendahan „keindahan‟, kata kautaman
„keutamaan‟ berasal dari kata dasar utama „pertama‟ ditambah konfiks {ka-, -an}
menjadi kautaman „keutamaan‟, kata kasedhihan „kesedihan‟ berasal dari kata
dasar sedhih „sedih‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi kasedihan „kesedihan‟,
kata kabagyan „kebahagiaan‟ berasal dari kata dasar bagya „bahagia‟ ditambah
konfiks {ka-,-an} menjadi kabagyan „kebahagiaan‟, kata kalungguhan „posisi,
pangkat‟ berasal dari kata dasar lungguh „posisi/pangkat‟ ditambah konfiks {ka-,
an} menjadi kalungguhan „posisi/pangkat‟, dan kata kasunyatan „kenyataan‟
berasal dari kata dasar sunyata „nyata‟ mendapat imbuhan konfik {ka-,-an}
menjadi kasunyatan „kenyataan‟, yang semuanya berfungsi sebagai pembentuk
kata benda atau tembung aran.
c) Konfiks {sa-, -an}
(156) ya sing sabar. Perkawinanmu karo Bregas paribasane rak lagi
saumuran jagung. (ASR/P6/66)
„Yang sabar. Perkawinanmu dengan Bregas ibarat baru seumur
jagung‟
Data (156) merupakan wujud bentuk konfiks {sa-,-an} yaitu pada kata
saumuran „seumuran‟ berasal dari kata dasar umur „umur‟ ditambah konfiks {sa-,
-an} menjadi saumuran „seumuran‟, membentuk kata benda yang pada konteks
kalimat di atas artinya diibaratkan atau sepantaran dengan umur jagung,
maksudnya baru sebentar.
74
b. Proses Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa atau proses
morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian
(parsial), maupun dengan perubahan bunyi.
1) Pengulangan seluruh
a) Pengulangan bentuk dasar secara keseluruhan dengan variasi fonem
(dwilingga salin swara).
Berikut data yang menggunakan pengulangan seluruh bentuh dengan variasi
fonem dalam NASR karya APBn.
(157) Dimong rasane seprana-seprene isih ora krasa,..(ASR/P3/27)
„Di jaga perasaannya dari dulu hingga sekarang masih tidak sadar,...‟
(158) Runtang-runtung kawit isih padha dene ing SMA nganthi kuliah
bareng, (ASR/P3/27)
„Tidak pernah pisah dari masih sama di SMA sampai kuliah sama-
sama‟
(159) Sekar ora wangsulan. Nanging langsung mulungake tangane lan
ngethapel njaluk gendhong. Banjur ngesun pipine bundane sengak-
sengok kiwa tengen. (ASR/P5/51)
„Sekar tidak menjawab. Tetapi langsung mengulurkan tangan dan
mendekap meminta dendong. Lalu mencium pipi bundanya cipika-
cipiki kiri kanan.‟
(160) Angin ketiga wiwit ngithik-ithik katentreman jiwa. Ngosak-asik
swasana. (ASR/P7/67)
„Angin kemarau mulai menggelitik ketentraman jiwa. Memporak-
porandakan suasana.‟
(161) Olehe kasar, olehe gelem mara tangan lan liya-liyane nanging
rasane kok isih gojag-gajeg. Mula njur trima meneng. (ASR/P7/67)
„perlakuannya yang kasar, perlakuannya yang mau maen tangan dan
lain sebagainya tetapi rasanya masih saja maju-mundur. Makanya
lalu pilih diam.‟
(162) Pak Surtana ora kepengin anake sing mung ontang-anting ngalami
urip sengsara. (ASR/P7/72)
„Pak Surtana tidak ingin anaknya yang semata wayang mengalami
hidup sengsara.‟
75
(163) “kopi apa iki kok enak?” pitakone karo irunge plendas-plendus
nyerot aroma kopi sing kumebul saka cangkire. (ASR/P12/122)
„Kopi apa ini kok enak? tanya dia sambil hidungnya kembang
kempis menghirup aroma kopi yang berasap dari cangkirnya.‟
(164) “Cobanen yen wani! Bregas malah nantang karo pringas-pringis
nggilani. (ASR/P13/135)
„Coba saja kalau berani! Bregas menantang sambil senyam-senyum
menjijikan.‟
(165) Intan lungguh. Nyawang sing duwe omah kakung putri genti-genten.
(ASR/P13/139)
„Intan duduk. Melihat yang punya rumah laki-perempuan
bergantian.‟
(166) Yen ora sibuk Pram mesthi kerep jedhal-jedhul, utawa saora-orane
aweh prasapa najan mung liwat tilpun.(ASR/27/290)
„Kalau tidak sibuk Pram pasti sering muncul, atau setidak-tidaknya
memberi kabar meskipun hanya lewat telepon.‟
(167) Mula rumah makan kuwi kerep dadi rumah makan alternatip
mungguhe wong loro mau, ngiras-ngirus karo nitipake kendharaan
ing sacedhake kono. (ASR/P27/292)
„Maka rumah makan itu kerap jadi rumah alternatif mereka berdua,
makan sambil menitipkan kendaraan didekat sana.‟
Data (157) sampai (167) merupukan wujud pengulangan secara utuh dengan
variasi fonem (dwi lingga salin swara) yang digunakan Ardini Pangastuti Bn
dalam novel Alun Samudra Rasa. Pengulangan ini berfungsi sebagai penanda
suatu hal yang dilakukan bisa lebih dari satu kali atau berulang-ulang, selalu
bersamaan, bergantian, rentang waktu yang lama ataupun penunjuk tunggal, yaitu
seperti kata seprana-seprene „dari dulu hingga sekarang‟, runtang-runtung „tidak
pernah pisah/selalu bersama‟, sengak-sengok „cipika-cipiki/mencium secara
bergantian‟, ngosak-asik „memporak-porandakan/dibuat berantakan‟ berasal dari
dwilingga salin swara osak-asik „membuat berantakan‟ dengan penambahan nasal
{Ng-} di awal kata, gojag-gajek „maju-mundur‟, ontang-anting „semata wayang‟
artinya tidak ada yang lainnya, plendas-plendus „kembang-kempis‟ maksudnya
76
adalah mengendus-endus aroma kopi yang akan diminumnya (melakukan lebih
dari satu kali), pringas-pringis „senyam-senyum‟, genti-genten „bergantian‟,
jedhal-jedhul „sering muncul‟, ngiras-ngirus „makan bersamaan sambil
melakukan yang lain‟ . Perulangan yang divariasikan dengan bunyi fonem yang
berbeda menimbulkan penekanan pada bunyi fonem yang sama dan makna kata
yang merupakan wujud tindakan yang dilakukan lebih dari satu.
2) Pengulangan suku pertama dari bentuk dasar (dwipurwa)
(168) langit uga ora tau nyingitake wewadi marang bumi. (ASR/P1/1)
„langit juga tidak menutupi kejelekan kepada bumi.‟
(169) ..., sadurunge dheweke njupuk cuti lan tetirah menyang omahe wong
tuwane ing Yogya,...(ASR/P11/111)
„..., sebelum dirinya mengambil cuti dan pindah ke rumah orang
tuanya di Yogya,...‟
(170) Kenangan-kenangan mangsa kawuri tansah leledhang ngiwi-iwi.
(ASR/P10/102)
„Kenangan-kenangan masa lalu bersenang-senang melambai-lambai‟
(171) Tulung aku aja mbok geguyu, aja mbok cecenges. (ASR/P11/119)
„Tolong aku jangan ditertawakan, jangan kamu ledek‟.
Data (168) sampai (171) terdapat pengulangan suku kata pertama atau
dwipurwa yaitu pada wewadi „kejelekan‟ yang berasal dari kata wadi „kejelekan‟
yang mengalami perulangan suku kata awal menjadi wewadi „kejahatan‟, kata
tetirah „pindah/minggir‟ berasal dari kata dasar tirah „pindah/pinggir‟ mengalami
perulangan sebagian di awal suku kata menjadi tetirah „pindah‟. Selanjutnya kata
leledhang „bersenang-senang/bermain‟ yang berasal dari kata dasar ledhang
„bermain‟ mengalami perulangan di awal suku kata menjadi leledhang
„bersenang-senang‟. Kemudian kata geguyu „menertawai‟ berasal dari kata dasar
guyu „tawa/ketawa‟ mengalami perulangan pada awal suku kata menjadi kata
kerja pasif geguyu dalam konteks kalimat di atas bermakna „ditertawakan‟, dan
77
kata kerja cecenges termasuk dwipurwa yang mengalami perulangan di awal suku
kata, dari kata cenges „ledek‟ menjadi cecenges „ledek‟. Perulangan pada awal
suku kata berfungsi mempertegas makna dari kata hasil pola perulangan bunyi.
3) Pengulangan berkombinasi dengan penambahan afiks
Novel Alun Samudra Rasa selain menggunakan reduplikasi utuh dengan
variasai fonem dan dwipurwa, juga banyak menggunakan perulangan
berkombinasi dengan penambahan afiks seperti data dibawah ini.
a) Perulangan berkombinasi dengan penambahan afiks (sufiks –an)
(172) kerep menehi tip utawa oleh-oleh yen mentas lelungan.(ASR/P)
„sering memberi tip atau oleh-oleh sehabis berpergian.‟
(173) Wis ngono isih diunek-unekake kanthi tetembungan kasar sing ora
tau dirungu...(ASR/P3/24)
„Sudah begitu masih dimarah-marahi dengan perkataan kasar yang
tidak pernah didengar...‟
(174) “Sing jenenge wong jejodhowan kuwi pancen gampang-gampang
angel...” (ASR/P7/67)
„Yang namanya orang berumah tangga itu memang gampang-
gampang susah...‟
(175) ...ujug-ujug lunga menyang Yogya, tanpa kandha-kandha, tanpa
rerasanan sadurunge. (ASR/P8/80)
„...tiba-tiba pergi ke Yogya, tanpa bilang-bilang, tanpa pembicaraan
sebelumnya.
(176) Kenangan mangsa kawuri iku terus jejogetan ing tlapukan mripat.
(ASR/P7/76)
„Kenangan masa lalu itu terus menari-nari dipelupuk mata‟
Perulangan atau reduplikasi juga terjadi pada data (172) sampai (176).
Reduplikasi atau perulangan awal suku kata berkombinasi dengan sufiks {-an} di
akhir kata, yaitu pada kata lelungan „berpergian‟ berasal dari kata dasar lunga
„pergi‟ mengalami perulangan di awal suku kata menjadi lelunga „bepergian‟ dan
mendapat sufiks {-an} menjadi lelungan „bepergian‟, kata tetembungan
78
„perkataan‟ berasal dari kata dasar tembung „kata‟ mengalami perulangan
keseluruhan di awal suku kata menjadi tetembung „perkataan‟ mendapat sufiks {-
an} di akhir kata menjadi tetembungan „perkataan‟, kata jejodhowan „berumah
tangga‟ berasal dari kata jodho „jodoh‟ mengalami perulangan sebagian diawal
suku kata menjadi jejodho dan mendapat tambahan sufiks {-an} menjadi
jejodhowan „berumah tangga‟. Data (197) kata rerasanan „pembicaraan‟ berasal
dari kata rasan „berbicara‟ mengalami perulangan sebagian di awal suku kata
menjadi rerasan „melakukan pembicaraan‟ mendapat sufiks {-an} menjadi
rerasanan „saling melakukan pembicaraan‟, kata (198) jejogetan „menari-nari‟
berasal dari kata dasar joget „menari‟ mengalami perulangan di awal suku kata
menjadi jejoget „menari‟ ditambah denagn sufiks {-an} menjadi jejogetan
„menari-nari‟. Sufiks {-an} yang ditambahkan pada kata yang mengalami
perulangan di awal suku kata berfungsi menambah kelitereran pada novel ASR.
2. Kosakata Bahasa Indonesia.
Kosakata bahasa Indonesia dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini
Pangastuti Bn digunakan karena suatu kata atau istilah kata akan terdengar ganjil
jika menggunakan bahasa Jawa. Berikut adalah beberapa data yang menggunakan
bahasa Indonesia:
(177) ...Pak Paimin , sopir perusahaan sing biasa antar jemput dheweke.
(ASR/P1/2)
„... Pak Paimin, sopir perusahaan yang biasa antar jemput dirinya‟
(178) Pakaryan minangka sales alat-alat pertanian,..(ASR/P1/5)
„Pekerjaan menjadi sales alat-alat pertanian‟
(179) ..., ngono wae kadhang uga isih dadi jubir perusahaan...(ASR/P1/6)
„..., seperti itu kadang juga masih jadi jubir perusahaan‟
79
Data (177) sampai (179) terdapat penggunaan kosakata bahasa Indonesia,
yaitu antar jemput, sales alat-alat pertanian, dan jubir. Kosakata bahasa
Indonesia antar jemput, sales alat-alat pertanian, dan jubir tergolong pada
kosakata yang berhubungan dengan jenis pekerjaaan. Pak Paimin sebagai sopir
perusahaan yang kerjaannya antar jemput karyawan. Bregas, suami Intan yang
bekerja sebagai sales alat-alat pertanian, dan Intan yang terkadang menjabat
sebagai jubir di perusahaannya. Penggunaan kosakata berbahasa Indonesia
dalam novel ASR berfungsi untuk menggambarkan latar belakang pekerjaan
tokoh-tokoh yang terdapat dalam NASR. Penggunaan kosakata berbahasa
Indonesia sebagai wujud memperkenalkan latar belakang sosial tokohnya,
digambarkan pada awal-awal perangan.
(180) Intan dianggep bisa dadi jembatan penghubung antarane
perusahaan karo karyawan. (ASR/P2/15)
„Intan dianggap bisa menjadi jembatan penghubung atara perusahaan
dan karyawan‟
(181) Dadi sambil menyelam minum kopi. (ASR/P8/83)
„Jadi sambil menyelam minum kopi‟
(182) Antarane tresna marang anak utawa demi anak sing kuwi ateges
dheweke kudu ngorbanake dhiri lan tresna marang priya idhaman
sing ora ana kabul kawusanane alias cinta yang tak berujung.
(ASR/P26/284)
„Antara cinta kepada anak atau demi anak yang artinya dia harus
mengorbankan diri dan cinta kepada lelaki idaman yang tidak ada
kabul kawusanane alias cinta yang tak berujung.‟
(183) Ning wong sing kalem kaya iku kadhang-kadhang malah nyolong
pethek. Kowe ngerti peribahasa air tenang menghanyutkan ta?
Rame swara-swara ing njero dhadhane. (ASR/P19/207)
„Tetapi orang yang pendiam seperti itu kadang-kadang malah
berkebalikan dengan yang diperkirakan. Kamu tau peribahasa air
tenang menghanyutkan kan? Ramai suara-suara di dalam dadanya‟
(184) Kesempatan kanggo kuwi temene ana, ning Pram ora duwe
kuwanen. Wedi yen dianggep manfaatke kesempatan dalam
kesempitan. (ASR/P20/214)
80
„Kesempatan untuk itu sebenarnya ada, Tetapi Pram tidak punya
keberanian. Takut kalau dianggap memanfaatkan kesempatan dalam
kesempitan‟
(185) Sebab atas nama cinta, ora arang wong sing tega lan tegel marang
wong kang jare ditresnani, cilike mung nyiksa, gedhene tekan
merjaya. (ASR/P22/237)
„Sebab atas nama cinta, tidak jarang orang yang tega dan tidak
berbelas kasih, sedikitnya hanya menyiksa, parahnya sampai
dibunuh.‟
Data nomor (180) sampai (185) terdapat penggunaan kosakata oleh Ardini
Pangastuti Bn dalama NASR. Ardini Pangastuti Bn, mencoba memasukan
peribahasa, istilah, perumpamaan dan pengibaratan berbahasa Indonesia kedalam
novel yang dikarangnya, seperti jembatan penghubung, sambil menyelam minum
kopi, alias cinta yang tak berujung, air tenang menghanyutkan, kesempatan dalam
kesempitan, atas nama cinta. Kosakata bahasa Indonesia yang berwujud
peribahasa, istilah, perumpamaan maupun pengibaratan tersebut berfungsi agar
pembaca tidak hanya sekedar membaca novel tanpa adanya pengalaman lain yang
didapat, tetapi juga mendapatkan pelajaran ataupun motivasi baik itu tersurat
maupun tersirat yang terdapat dalam peribahasa, istilah, perumpamaan maupun
pengibaratan yang ada didalamnya.
Selain itu kosakata bahasa Indonesia juga terdapat pada data sebagai
berikut.
(186) Dina sesuke Intan langsung ngadhep Mister Tanaka, kandha terus
terang yen arep mengundurkan diri saka perusahaan.
(ASR/P14/146)
„Hari berikutnya Intan langsung menghadap Mister Tanaka,
berbicara terus terang kalau ingin mengundurkan diri dari
perusahaan‟
(187) Ning kober nembung yen omah Semarang arep dipanggoni dhisik,
sinambi nunggu papan penempatan saka perusahaan.
(ASR/P26/281)
81
„Tetapi sempat meminta kalau rumah di Semarang akan ditempati
dahulu, sembari menunggu tempat penempatan dari perusahaan.‟
Data (186) dan (187) merupakan wujud kosakata berbahasa Indonesia yang
berhubungan dengan kegiatan dunia pekerjaan, seperti kata mengundurkan diri
dan penempatan. Data (186) menceritakan Intan Purnami yang ingin keluar dari
perusahaaan dan ingin memulai hidup barunya dan tinggal di Yogyakarta.
Sedangkan data (187) menceritakan Bregas, mantan suami Intan meminta ijin
agar diperbolehkan menempati rumahnya terlebih dahulu, sampai menunggu
penempatan atau dipindahkan pekerjaan.
(188) Intan dhewe uga bisa menempatkan diri. (ASR/P14/148)
„Intan sendiri juga bisa menempatkan diri‟
(189) Intan cukup tau diri, sapa dheweke lan sapa Pram. (ASR/P20/211)
„Intan cukup tau diri, siapa dirinya dan siapa Pram.‟
(190) Biasane ya ngono. Ines tansah meledak-ledak, nanging mengko saya
suwe-saya suwe njur nglendhoh.Lilih dewe. (ASR/P31/335)
„Biasanya ya seperti itu. Ines begitu meledak-ledak, tetapi nanti
semakin lama semakin berkurang. Luluh sendiri.‟
Data (188) sampai (190) wujud lain kosakata bahasa Indonesia yang
digunakan APBn dalam NASR. Kali ini APBn memasukkan kosakata bahasa
Indonesia yang berhubungan dengan sikap manusia, seperti kata menempatkan
diri dalam konteks kalimat di atas artinya Intan mampu memposisikan siapa
dirinya, dan siapa Mr. Tanaka. Kata tau diri mempunyai maksud bahwa Intan
cukup bisa memahami siapa dirinya dan siapa Pram, sehingga dia harus bisa
bersikap dengan baik, karena keadaannya yang terjadi antara dirinya dan Pram
sudah berbeda. Selanjutnya kata meledak-ledak yang mewujudkan ekspresi sikap
marah seseorang yang berlebihan.
82
(191) Pembukaan cukup regeng senajan mung diestreni pejabat setempat.
Kiriman bunga ucapan selamat teka saka ngendi-
endi,...(ASR/P20/210)
„Pembukaan cukup ramai meskipun hanya didatangi pejabat
setempat. Kiriman bunga ucapan selamat datang dari berbagai
kalangan,...‟
(192) Dina iki ana seminar Peluang di Pariwisata dan Ekonomi Kreatip
sing digelar ing sawijining hotel bintang papat. (ASR/P16/166)
„Hari ini ada seminar Peluang di Pariwisata dan Ekonomi Kreatip
yang digelar disalah satu jotel bintang empat‟
Data (191) dan (192) merupakan wujud kosakata bahasa Indonesia yaitu
pada kata bunga ucapan selamat dan Peluang di Pariwisata dan Ekonomi
Kreatip. Kosakata bahasa Indonesia tersebut digunakan karena jika ditranslate
kedalam bahasa Jawa akan terdengar aneh.
(193) Semangat untuk melayani dengan setulus hati ora mung saderma
slogan, ning bener-bener diayati tenan.(ASR/P22/235)
„Semangat untuk melayani dengan setulus hati tidak hanya sekedar
slogan, tetapi sungguh-sungguh dihayati benar.‟
Seperti pada data (193) di atas merupakan kosakata bahasa Indonesia yang
berhubungan dengan slogan yang biasanya digunakan oleh seseorang yang
bekerja dalam bidang jasa, seperti Intan Purnami yang menjual jasa penjualan
lukisan. Di harapkan kata tersebut tidak hanya sebatasa slogan, tetapi pelayanan
yang benar-benar harus dihayati.
(194) Biasane Intan mesthi dikontak dhisik yen arep ana kunjungan kaya
iku. (ASR/P22/236)
„Biasanya Intan pasti dikontak dahulu kalau akan ada kunjungan
seperti itu.‟
(195) Pokoke sauger isih bisa dijangkau bakal diupayakake nekani dhewe.
(ASR/P25/271)
„Pokoknya seumpama masih bisa dijangkau bakal diupayakan‟
(196) Kamangka rasa kuwi benda abstrak sing ukurane uga relatip.
(ASR/P28/304)
„Padahal rasa itu benda abstrak yang ukurannya juga relatif‟
83
Data (194) sampai (196) merupakan kosakata yang juga digunakan oleh
APBn dalam novel ASR yaitu terdapat pada kata kunjungan, dijangkau, benda
abstrak, dan relatip. Penggunaan kosakata bahasa Indonesia pada data di atas
selain sebagai variasi bahasa agar tidak monoton memakai bahasa Jawa, kesulitan
untuk memadankan kata kedalam bahasa Jawa mungkin juga dialami, sehingga
agar tidak mengubah makna maka digunakanlah kosakata bahasa Indonesia
tersebut.
3. Kosakata Bahasa Asing.
Sebuah novel berbahasa Jawa, selain kadang memasukan beberapa
kosakata berbahasa Indonesia, tidak jarang pula memasukan kosakata berbahasa
asing. Pada NASR karya APBn terdapat beberapa kata yang menggunakan
kosakata berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Kosakata bahasa Inggris
digunakan untuk memberikan paduan yang indah ketika membaca, selain itu juga
kosakata bahasa inggris akan terasa ganjil jika harus diterjemahkan ke dalam
bahasa Jawa. Adapun data yang memuat kosakata berbahasa Inggris, adalah
sebagai berikut:
(197) Intan noleh. Dha-dha marang Sekar sing banjur dibales kanthi kiss
by dening bocah cilik iku. (ASR/P1/2)
„Intan menoleh. Da-da kepada Sekar yang langsung dibalas dengan
kiss by oleh bocah kecil itu‟
(198) Sadurunge buka lawang mobil, isih keprungu swarane Mona, baby
sitter sing momong Sekar. (ASR/P1/2)
„Sebelum membuka pintu mobil, masih terdengar suara Mona, baby
sitter yang mengasuh Sekar.‟
(199) Saiki ing playgroup apa dene TK, kata pengantare wis nganggo
basa Indonesia.(ASR/P6/59)
„Sekarang di Play group seperti halnya TK, kata pengantarnya sudah
memakai bahasa Indonesia.‟
84
(200) Intan tumuju parkiran sepedha motor ing bassemen(ASR/P10/101)
„Intan menuju parkiran sepeda motor di bassemen.‟
(201) Kejaba ora mood, Intan uga isih trauma karo sing lanang.
(ASR/P13/135)
„Selain tidak mood, Intan juga masih trauma dengan suaminya‟
(202) Kita bisa nyiptakake image kanggo narik minat para turis kuwi.
(ASR/P19/201)
„ Kita bisa menciptakan image untuk menarik minat para turis itu‟
(203) Sawise kabeh persiapan mateng, pungkasane art shop iku klakon
dibuka. (ASR/P20/209)
„Setelah semua persiapan matang, akhirnya art shop itu terlakasana
dibuka.‟
(204) Piyayine pancen ayu, kanthi status single parent. (ASR/P20/218)
„Orangnya memang cantik, dengan status single parent.‟
(205) Kowe dadi katon anggun kanthi sepatu modhel stiletto kaya
iku..”(ASR/P21/222)
„Kamu jadi terlihat anggun dengan sepatu model stiletto seperti itu.‟
Penggunaan kosakata bahasa asing dalam hal ini adalah bahasa Inggris yang
digunakan APBn nampak pada data nomor (197) sampai (205) yaitu kata kiss by,
baby sitter, play group, bassemen, mood, image, art shop, single parents, dan
stiletto merupakan kosakata bahasa Inggris yang sudah sering digunakan dalam
percakapan maupun dalam kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Kosakata
bahasa asing tersebut dianggap sudah familiar digunakan dalam kehidupan
masyarakat, seperti kata kiss by, kata tersebut digunakan saat seseorang mau
berpisah ataupun pamit berpergian, memiliki padanan dalam bahasa Indonesia
yaitu cium jauh. Kata baby sitter, kata tersebut biasa digunakan sebagai sebutan
untuk seseorang yang bekerja sebagai pengasuh anak. Kata play group biasa
digunakan seseorang dalam bidang pendidikan anak, play group adalah sebuatan
untuk instasi yang bergerak dalam bidang pendidikan anak, berbentuk sekolah
untuk anak-anak sebagai tempat bermain sebelum menginjak usia wajib belajar
85
ataupun sebelum masuk TK, hal tersebut sesuai dengan umur Sekar yang
menginjak umur 3 tahun. Kata bassemen merupakan sebutan untuk tempat parkir
yang berada di lantai paling bawah, biasanya terdapat pada mall, atau pusat
perbelanjaan berbentuk gedung bertingkat dan besar. Istilah mood biasa
berhubungan dengan naik turunnya emosi seseorang, dikatakan mood jika
seseorang tersebut mau dan sedang baik kondisi pikiran serta perasaannya. Kata
image dan art shop, merupakan istilah yang biasa dikaitkan dengan karya seni
khususnya seni gambar, lukis, maupun patung yang memiliki panjang dan lebar,
maupun panjang lebar dan tinggi. Istilah single parent digunakan karena dianggap
lebih sopan, lebih terkesan ilmiah dibanding dengan istilah janda maupun duda.
Selanjutnya adalah stiletto, istilah tersebut digunakan untuk sebutan model sepatu
wanita yang memiliki hak tinggi dan terkesan modis. Penggunaan kosakata
maupun istilah berbahasa Inggris oleh APBn dalam NASR yaitu agar bahasa
nampak lebih ilmiah, dapat menyatu dengan bahasa yang digunakan oleh
keseharian pembaca dan mungkin istilah tersebut akan terasa ganjil, terlalu
bertele-tele jika harus diterjemahkan kedalam bahasa Jawa.
4. Sinonim
Sinonim adalah kata, frasa atau klausa yang memiliki kemiripan makna
dengan kata bentuk lain. Sinonim (padan kata) dilihat dari unsur-unsur bahasa
atau kategorinya dapat dibedakan anatara sinonimi kata dengan kata, kata dengan
frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, dan klausa dengan klausa (Sumarlam,
2013:157).
(206) sebab senajan negara agraris, olah tani utawa tetanen...
(ASR/P1/5)
„sebab meskipun negara agraris, bertani atau tetanen...‟
86
(207) Kuwi wae jenenge uga dudu sepedha motor nanging sepedha
kumbang utawa udhug. (ASR/P1/8)
„Itu saja namanya bukan sepeda motor tetapi sepeda kumbang atau
udug‟
(208) ...,sesambungane intan karo bose pancen ora kaya sesambung
anantarane majikan lan karyawan, nanging luwih mujudake mitra.
Sahabat! (ASR/P2/15)
„..., hubungan Intan dengan bosnya memang tidak seperti hubungan
antara majikan dan karyawan, tetapi lebih mewujudkan teman.
Sahabat!‟
(209) ...,mligine karyawan cilik sing kerep oleh embel-embel kanthi
sebutan buruh. (ASR/P2/15)
„..., khususnya karyawan kecil yang kerap dapat embel-embel
dengan sebutan buruh‟
(210) Wangi mawar, arum melathi , saka mangsa kawuri.(ASR/P9/90)
„Harum mawar, bau melati, dari masa lalu.‟
(211) “Ibu tetep nunggoni ing Semarang kene nganti urusanmu
rampung...(ASR/P14/145)
„Ibu tetap menunggu di Semarang sini sampai urusanmu selesai...‟
Tresnane biyung marang anak sing ora bisa diukur jerone lan ora
bisa diganteni nganggo apa wae. (ASR/P25/272)
„Kasih sayang ibu kepada anak tidak bisa diukur dalamnya dan tidak
bisa diganti dengan apapun‟.
(212) Kanthi ngusung konsep tradhisional modern, nyawijekake utawa
ngawinake antarane sing tradhisional karo modern, kaya sing
dirancang sakawit. (ASR/P20/209)
„Dengan mengusung konsep tradisional modern, menggabungkan
atau memadukam antara yang tradisional dengan modern, seperti
yang dirancang dari awal.‟
(213) Sebab atas nama cinta, ora arang wong sing tega lan tegel marang
wong kang jare ditresnani, cilike mung nyiksa, gedhene tekan
merjaya. (ASR/P22/237)
„Sebab atas nama cinta, tidak jarang orang tega dan tidak punya
belas kasih terhadap orang yang dianggap dicintai, sedikitnya hanya
menyiksa, parahnya sampai dibunuh‟
87
(214) Kuwi rumah makan anyar sing ngusung konsep masakan kampung
alias masakan ndesa kang saiki lagi digandrungi.(ASR/P23/249)
„Itu rumah makan sayur baru yang mengusung konsep masakan
kampung alias masakan desa yang sekarang sedang diminati‟
(215) Temene Intan wis wegah urusan karo Bregas. Ora mung saderma
jeleh, bosen, lan sapanunggalane, nanging luwih saka kuwi.
(ASR/P25/271)
„Sebenarnya Intan sudah tidak mau berurusan dengan Bregas. Tidak
hanya sekedar jeleh, bosan dan lain sebagainya, tetapi lebih dari itu.‟
(216) Samudra sing ora tau anteng, kadhang ombak kekitrang nut
tumiyupe samirana. (ASR/P27/285)
„samudra yang tidak pernah tenang, kadang ombak bergerak searah
tiupan angin‟
Angin sumilir lembut, ngelus kulit lan kala-kala nakal dolanan
rambut. (ASR/P28/307)
„Angin bersemilir lembut, meraba kulit dan kadang-kadang bermain
rambut‟
(217) Samudra sing ora tau anteng, kadhang ombak kekitrang nut
tumiyupe samirana.
„samudra yang tidak pernah tenang, kadang ombak bergerak searah
tiupan angin‟
Kadhang alun gumulung tanpa kendhat. (ASR/P27/285)
„Kadang ombak bergulung tanpa berhenti‟
(218) Awit urip iku sejatine perjuangan. Sebab hukume jagad iku obah,
gerak. (ASR/P28/298)
„Mulai hidup itu sejatinya perjuangan. Sebab hukumnya alam itu
obah, gerak.‟
(219) ..., yen lagi buneg Pram biasane munggah gunung, golek
katentreman- dene piyayi mau tujuane arep manekung ing pucuking
ardi. (ASR/P28/302)
„..., kalau sedang susah Pram biasanya naik gunung, mencari
ketentraman-sedangkan orang tadi tujuannya mau bertapa di pucuk
gunung‟
(220) Ati sing ora tau goroh. (ASR/P29/306)
„Hati yang tidak pernah bohong‟
..., banjur katut iline getih mlebu jroning nala. (ASR/P29/308)
„..., lalu ikut mengalirnya darah masuk ke dalam hati‟.
88
(221) Rembulan gumandhul ing langit sing biru resik. (ASR/P/29/310)
„Rembulan menggantung dilangit yang biru bersih‟
Dinikmati rasa anget kang mili ing dhadhane. Rasa anget kang
nentremake, rasa anget kang bisa nggawa pikirane nglayang ing
awang-awang, mabur ing antarane mega-mega lan njoged ing
sorote kluwung...(ASR/P28/307)
Dinikmati rasa hangat yang mengalir di dadanya. Rasa hangat yang
menentramkan, rasa hangat yang bisa membawa pikiran melayang di
langit, terbang di antara awan-awan dan menari di pancaran sinar.‟
(222) Nalika angin pancaroba ngendhih sumilire samirana.
(ASR/P30/319)
„Ketika angin pancaroba mengalahkan semilirnya angin‟.
Data (206) sampai (222) merupakan bentuk data yang mengandung sinonim
yang digunakan APBn dalam ASR. Sinonim yang terjadi adalah sinonimi frasa
dengan kata, dan sinonim kata dengan kata, yaitu frasa olah tani bersinonim
dengan kata tetanen keduanya bermakna bertani, frasa sepedha kumbang
bersinonimi dengan kata udhug keduanya bermakna sepeda motor, kata mitra
bersinonimi dengan kata dalam bahasa indonesia sahabat keduanya memiliki
makna teman, frasa karyawan cilik „buruh‟ bersinonim dengan kata buruh
„buruh‟, kata wangi „harum/bau‟ bersinonim dengan kata arum „harum/bau‟, kata
ibu „ibu‟ bersinonim dengan kata biyung „ibu‟, kata nyawijekake „memadukan‟
bersinonim dengan kata ngawinake „memadukan‟, kata tega „tega‟ bersinonim
dengan kata tegel „tega‟, kata kampung „kampung‟ bersinonim dengan kata ndesa
„kampung‟, kata jeleh „bosan‟ bersinonim dengan kata bosen „bosan‟, kata
samirana „angin‟ bersinonim dengan kata angin „angin‟, kata ombak „ombak‟
bersinonim dengan kata aluni „ombak‟, kata obah „bergerak‟ bersinonim dengan
kata gerak „gerak‟, kata gunung „gunung‟ bersinonim dengan kata ardi „gunung‟,
89
kata ati „hati‟ bersinonim dengan nala „hati‟, dan kata langit „langit‟ bersinonim
dengan kata awang-awang „langit‟, serta kata angin „angin‟ bersinonim dengan
kata samirana „angin‟. Sinonim tersebut digunakan agar kata yang digunakan
lebih bervariasi, tidak menimbulkan kemonotonan bahasa dan dapat menjadi tolak
ukur pembendaharaan kata sang pengarang.
Sinonimi yang memiliki jumlah persamaan kata lebih dari satu bentuk kata
terdapat pada data di bawah ini.
(223) ..Intan lagi wani ngutahake banyu mripat. (ASR/P3/24)
„...Intan baru berani mengeluarkan air mata.‟
Luhe enggal diusapi banjur menyat marani kaca pangilon.
(ASR/P3/26)
„Air mata buru-buru diusap lalu bergegas menghampiri kaca
berhias...
Kepeksa sinerat nganggo tetesan waspa. (ASR/P14/142)
„Terpaksa tersampaikan dengan tetesan air mata‟
(224) Ines kedanan alias jatuh cinta setengah mati marang Pram...
(ASR/P21/223)
„Ines tergila-gila alias jatuh cinta setengah mati kepada Pram...‟
Intan isih nyimpen tresna kanggo Pram,...(ASR/P20/211)
„Intan masih menyimpan cinta untuk Pram,...‟
(225) dhasare sing lanang kuwi wis suwe olehe cubriya marang sing
wadon. (ASR/P2/21)
„Dasar laki-laki itu sudah lama curiga dengan wanitanya‟
Saru, mosok jejere wanita kok ngrembug prekara libido.
(ASR/P3/33)
„Gak baik, masak dekat wanita kok membahasa masalah libido‟.
“...Aku akan berbaik hati mengambilkan uang untukmu,” kandhane
Ika salah siji saka cewek sing ngancani iku. (ASR/P4/35)
„...Aku akan berbaik hati mengambilkan uang untukmu,” kata Ika
salah satu dari wanita yang menemani itu.
Bregas minangkani panjaluke Ika kanthi menehi tip tambahan
marang kenya iku. (ASR/P4/36)
90
„Bregas menuruti permintaan Ika dengan memberi tip tambahan
kepada wanita itu.
Intan lungguh. Nyawang sing duwe omah kakung putri genti-genten.
(ASR/P13/139)
„Intan duduk. Melihat yang punya rumah laki perempuan bergantian.
Jarene yen anak wedok kuwi bapak luwih berhak tinimbang ibu.
(ASR/P27/289)
„Katanya kalau anak perempuan itu bapak lebih berhak daripada
ibu‟.
(226) “Wong lanang sing gelem maratangan utawa mularasa sing wadon
dudu priya sing jantan, ora sembada karo olehe dadi lanang sing
kudune ngayomi wanita kang ringkih nanging dheweke malah kosok
baline”... (ASR//P6/53)
„Lelaki yang mau main tangan atau menyakiti perempuan bukan pria
yang jantan, tidak sebanding denganya menjadi laki-laki yang
harusnya mengayomi wanita yang lemah tetapi dia malah
sebaliknya‟.
“...Nanging ora kena menghakimi,” ujare Bu Surtana marang sing
kakung. (ASR/P6/65)
„...tetapi tidak boleh menghakimi,” kata Bu Surtana kepada
suaminya‟.
Tresna kang karajut antarane jalu lan wanita. (ASR/P9/98)
„Cinta yang terajut antara laki-laki dan perempuan‟.
Akeh cowok sing kedanan lan ngarep-arep tresnane. (ASR/P21/223)
„Banyak laki-laki yang tergila-gila dan mengharap cintanya‟.
Data (223) sampai (226) merupakan bentuk sinonim kata dan frasa, yang
memiliki bentuk kata lebih dari dua tetapi masih mempunyai persamaan makna
yang sama, seperti frasa banyu mripat „air mata‟ yang bersinonim dengan kata luh
„air mata‟, dan kata waspa „air mata‟, ketiganya memiliki makna sama yaitu
airmata. Kata kedanan „jatuh cinta‟, bersinonim dengan frasa jatuh cinta „jatuh
cinta‟ dan bersinonim pula dengan kata tresna „jatuh cinta‟. Kata yang
mempunyai persamaan kata lebih dari dua serta mempunyai makna hampir sama,
terdapat pada persamaan makna kata „wanita‟ dengan bentuk kata lain menjadi
91
wadon, wanita, cewek, kenya, putri, dan kata wedok. Sedangkan kata priya,
lanang, kakung, jalu, dan kata cowok, kelima kata tersebut mempunyai makna
kata yang berdekatan dengan kata lelaki. Makna kata „wanita‟ dan „lelaki‟
dimasukan dalam kategori sinonim kata bukan dasanama, karena dalam novel
bentuk kata yang ditemukan tidak mencapai sepuluh kata. Sedangkan dimaksud
dasanama adalah wong siji darbe jeneng sepuluh „satu orang mempunyai nama
sebanyak sepuluh‟. Sinonim kata dalam novel ASR dimaksudkan untuk
menambah variasi agar tidak menimbulkan kejenuhan, meningkatkan kosakata
bahasa Jawa pembaca dan sebagai tolak ukur penguasaan bahasa oleh pengarang.
5. Antonim
Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang
lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan
lingual yang lain (Sumarlam, 2013:63). Antonimi disebut juga oposisi makna.
Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu
(a) oposisi mutlak, (b) oposisi kutub, (c) oposisi hubungan, (d) oposisi hirarkial,
dan (e) oposisi majemuk.
a. Oposisi Mutlak
(227) Gelem ora, wegah uga ora. (ASR/P3/28)
„Mau tidak, menolak juga tidak‟
(228) Nanging Intan sadhar, kuwi hake Tedy kanggo nolak utawa nampa.
(ASR/P23/258)
„Tetapi Intan sadar, itu haknya Tedy untuk menolak atau menerima.‟
(229) Turis manca pancen ora tau urusan karo dina, tanggal, neton lan
liya-liyane. Beda karo turis domestik, akeh sing padha nyingkiri
dina jum‟at. (ASR/P22/236)
„Turis mancanegara memang tidak pernah berurusan dengan hari,
tanggal, tahun, dan lain sebagainya. Berbeda dengan turis domestik,
banyak yang menghindari hari jum‟at.‟
92
(230) Dadi sakabehe kenangan iku senajan urip ana atiku nanging aku
ora kepengin mujudake jroning kanyatan. (ASR/P27/287).
„Jadi semua kenangan itu meskipun hidup dalam hatiku, tetapi aku
tidak ingin mewujdkannya di kenyataan.‟
Data (227) sampai (230) terdapat penggunaan antonim oposisi mutlak yaitu
pertentangan makna secara mutlak pada kata gelem „mau‟ >< wegah „tidak‟, nolak
„menolak‟ >< nampa „menerima‟, manca „luar negeri‟ >< domestik „dalam
negeri‟, kenangan „kenangan‟ >< kanyatan „kenyataan‟.
Penggunaan antonim oleh Ardini Pangastuti Bn dalam novel Alun Samudra
Rasa juga terdapat pada data sebagai berikut.
b. Oposisi Kutub
(231) Nanging sing keri iki mandhege alus. Ora kasar kaya mau.
(ASR/P1/9)
„Tetapi yang terakhir ini menatapnya halus. Tidak kasar seperti tadi.‟
(232) Padhang peteng tansah gilir gumanti...(ASR/P13/131)
„Terang gelap silih berganti...‟
(233) Kaya nalika tali perkawinan iku isih pengkuh, durung rapuh kaya
saiki. (ASR/P13/P135)
„Seperti saat tali perkawinan itu masih kokoh, belum rapuh seperti
sekarang‟.
(234) Sebab wektu ora lumaku mundur, nanging terus maju menyang
ngarep. (ASR/P14/150)
„Sebab waktu tidak berjalan mundur, tetapi terus maju ke depan‟
(235) “...Mumpung isih anget. Yen wis adhem kurang enak,”...
(ASR/P18/188)
„...Mumpung masih hangat. Nanti kalau sudah dingin kurang
enak,”...‟
(236) Sebab atas nama cinta, ora arang wong sing tega lan tegel marang
wong kang jare ditresnani, cilike mung nyiksa, gedhene tekan
merjaya.(ASR/P22/237)
„Sebab atas nama cinta, tidak jarang orang yang tega dan tidak
peduli terhadap orang yang katanya dicintai, sedikitnya hanya
menyiksa, parahnya sampai dibunuh‟
93
(237) Nganti toko tutup,...(ASR/P24/261)
„Sampai toko tutup...‟
Intan nglegakake mbukak cendhela mobil dhisik,... (ASR/P1/2)
„Intan menyempatkan membuka jendela mobil dahulu,...‟
(238) “Ah, Sekar jelek kalau begitu. Enggak jadi cantik. Ora sida ayu!”
(ASR/P25/265)
“Ah, Sekar jelek kalau begitu. Enggak jadi cantik. Tidak jadi
cantik!.‟
(239) Perasaan kuwi krasa saya nyiksa. Ing sesisih dheweke tresna
marang anake, ing sisih liya dheweke sengit karo bapake.
(ASR/P25/272)
„Perasaan itu terasa semakin menyiksa. Di sisih lain dirinya cinta
terhadap anaknya, disisih lain dirinya benci dengan bapaknya.‟
(240) “Kok sepi, Bu. Sekar karo Mona menyang ngendi?” (ASR/P5/279)
„Kok sepi, Bu. Sekar sama Mona pergi kemana?
Gunung sing biyen dianggep sakral lan wingit iku saiki wis dadi
papan wisata sing rame kang dikemonah dening Karang
Taruna,...(ASR/P27/294)
„Gunung yang dahulu dianggap sakral dan menyeramkan itu
sekarang sudah menjadi tempat wisata yang ramai dikelola oleh
Karang Taruna,...‟
(241) Bahagia, sedhih, sing manggone kabeh aneng rasa, kuwi pancen
sandhangane wong urip. (ASR/P28/300)
„Bahagia, sedih, yang semuanya bertempat dirasa, itu memang
bawaan orang hidup.‟
(242) Ing babagan phisik, awake priya pancen luwih kuwat lan otot-otote
uga luwih keker. Kekuwatane kuwi murih dheweke bisa ngayomi
wanita sing kahanan awake pancen tinakdir luwih ringkih.
(ASR/P29/312)
„Di bab fisik, badan pria memang lebih kuat dan otot-ototnya juga
lebih kekar. Kekuatanya itu supaya dirinya bisa mengayomi wanita
yang keadaan badannya memang ditakdirkan lebih lemah‟.
(243) Ora ana sing luwih asor lan ora ana sing luwih unggul.
(ASR/P29/313)
„Tidak ada yang lebih rendah dan tidak ada yang lebih tinggi.‟
(244) Rasa sumelang, wedi kelangan, cemburu lan liya-liyane njalari
pikiran buthek lan ora bisa mikir wening maneh. (ASR/P29/314)
„Rasa khawatir, takut kehilangan, cemburu dan lain-lainya
menyebabkan pikiran kotor dan tidak bisa berpikir jernih lagi‟.
94
(245) Tresna sing padha dene bisa andum lan nampa. (ASR/P29/314)
„Cinta yang sama halnya bisa memberi dan menerima‟.
(246) Senajan mengko yen wis bali mlebu kamar maneh pasuryan sing
sumringah langsung malik suntrut. (ASR/P30/320)
„Meskipun nanti kalau sudah balik masuk kamar lagi raut wajah
yang gembira langsung balik cemberut.‟
Antonimi yang terdapat pada data nomor (231) sampai (246) merupakan
jenis antonim oposisi kutub, yaitu oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi
bersifat gradasi, contohnya terdapat pada kata alus „halus‟ >< kasar „kasar‟,
padhang „terang‟ >< peteng „gelap‟, pengkuh „kokoh‟ >< rapuh „rapuh‟, mundur
„mundur‟ >< maju „maju‟, anget „hangat‟ >< adhem „dingin‟, cilike „kecilnya‟ ><
gedhene „besarnya‟, tutup „tutup‟ >< mbukak „membuka‟ berasal dari kata dasar
buka „buka‟, jelek „jelek‟ >< cantik „cantik‟, tresna ‟cinta‟ >< sengit „benci‟, sepi
„sepi‟ >< rame „ramai‟, bahagia „bahagia‟ >< sedhih „sedih‟, bungah „bahagia‟
>< susah „susah‟, kuwat „kuat‟ >< ringkih „lemah‟, asor „rendah‟ >< unggul
„tinggi‟, buthek „kotor‟ >< wening „bening/jernih‟, andum „memberi‟ >< nampa
„menerima‟, dan kata sumringah „gembira‟ >< suntrut „cemberut‟.
Antonimi dalam bentuk lain juga terdapat pada data sebagai berikut.
c. Oposisi Hubungan
(247) Dheweke banjur nudingi nganggo mripate marang bocah loro
lanang wadon...(ASR/P1/8)
„Dirinya kemudian menunjuk dengan matanya kepada dua bocah
laki perempuan...‟
(248) ..,sesambungane intan karo bose pancen ora kaya sesambung
anantarane majikan lan karyawan, nanging luwih mujudake mitra.
Sahabat! (ASR/P2/15)
..., hubungan Intan dengan bosnya memang tidak seperti hubungan
antara majikan dan karyawan, tetapi lebih mewujudkan teman.
Sahabat!
95
(249) Priya lan wanita, pancen cinipta beda. (ASR/P29/312)
Pria dan wanita, memang diciptakan berbeda.‟
(250) Ibu lan bapak, panyawijian saka pribadi loro, priya lan wanita.
(ASR/P29/313)
„Ibu dan bapak, gabungan dari dua pribadi, pria dan wanita.‟
(251) Ngecek pasedhiyan, transaksi-transaksi dol tinuku lan liya-liyane.
(ASR/P30/320)
„Mengecek persediaan, transaksi-transaksi jual-beli dan lain
sebagainya.‟
Data (247) sampai (251) merupakan wujud penggunaan antonim oposisi
hubungan yaitu oposisi makna yang bersifat saling melengkapi, seperti pada kata
lanang „laki‟ >< wadon „perempuan‟, majikan „majikan‟ >< karyawan
„karyawan‟, pria „pria‟ >< wanita „wanita‟, ibu „ibu‟ >< bapak „bapak‟, dol
„menjual‟ >< tinuku „membeli‟. Oposisi di atas saling melengkapi, seperti data
(247) lanang „laki‟ adanya pria mengandaikan adanya wadon „wanita‟, begitu
dengan data berikutnya yang dimungkinkan kehadirannya dapat saling
melengkapi.
d. Oposisi Majemuk
Adapula bentuk antonimi lain yaitu oposisi majemuk yang terdapat pada data
di bawah ini.
(252) Tanah pekarangan ing kiwa-tengen omah uga isih
jembar...(ASR/P6/62)
„Tanah pekarangan di kiri-kanan rumah juga masih luas...‟
(253) Malah kepara bisa diarani ngrujak sentul, siji ngalor siji ngidul.
(ASR/P11/111)
„Malah bisa dikatakan bercabang, satu ke utara satunya ke selatan.‟
Tanah pekarangan di kiri-kanan rumah juga masih luas...‟
(254) Kamangka jan-jane prawan sing luwih ganas tinimbang randha uga
akeh. (ASR/P16/170)
„Padahal sebenarnya perawan yang lebih ganas daripada janda juga
banyak‟.
96
(255) Lha yen dibandhing karo jembare gelaran langit lan bumi, durung
kalebu planet-planet...aku ora bisa mbayangake” tumanggape
Pram. (ASR/P27/297)
„Kalau dibandingkan dengan luasnya hamparan langit dan bumi,
belum termasuk planet-planet... aku tidak bisa membayangkan,”
jawab Pram.‟
(256) Kabeh wong ngalami bungah, susah, bahagia lan sedhih.
(ASR/P28/300)
„Semua yang dialami, senang, susah, bahagia dan sedih.‟
(257) Ngimpi apa mau bengi kok awan-awan diwirang-wirangake dening
wong wedok ora duwe isin kaya kuwi. (ASR/P30/327)
„Mimpi apa tadi malam kok siang-siang dijelek-jelekan oleh wanita
yang tidak punya malu seperti itu‟.
Kelingan marang prastawa mau awan. (ASR/P31/335)
„Teringat pada peristiwa tadi siang‟.
Data di atas termasuk wujud antonimi oposisi majemuk karena tidak
memungkinkan bersanding dengan kata agak, lebih, dan sangat. Kata-kata yang
beroposisi majemuk antara lain: kiwa „kiri‟ >< tengen „kanan‟, ngalor „ke utara‟
>< ngidul „ke selatan‟, prawan „perawan‟ >< randha „janda‟, langit „langit‟ ><
bumi „bumi‟, bungah „senang‟ >< susah „susah‟ >< bahagia „bahagia‟ >< sedhih
„sedih‟, seseorang dikatakan sedhih „sedih‟ tidak mesti mengalami susah „susah‟
bisa jadi sebelumnya mengalami bungah „senang‟ atau perasaan yang lain, dan
dan kata bengi malam‟ >< awan „siang‟. Kata bengi „malam‟ bukan berarti dari
posisi awan „siang‟ saja, tetapi harus melewati pagi, siang, dan sore dahulu
sebelum menjelang malam.
6. Abreviasi atau Panyudaning Swara (Wancah)
a. Aferesis yaitu pengurangan suara (suku kata) pada awal kata. Walaupun
begitu makna kata tidak berubah. (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka,
2008:22)
97
(258) Bengine nalika Sekar wis turu, Pak lan Bu Surtana ngundang anake
wadon, Intan Purnami sing ayu. (ASR/P6/62)
„Malamnya saat Sekar sudah tidur, Pak lan Bu Surtana memanggil
anak perempuannya, Intan Purnami yang paling cantik‟
(259) Adegan kaya mau meh dumadi ing saben esuk. (ASR/P1/3)
„Adegan seperti itu hampir terjadi di tiap pagi.‟
(260) Pak Paimin mung mlengeh.(ASR/P1/4)
„Pak Paimin Cuma tersenyum.‟
(261) “Oh Mau Mr.Tanaka pesen yen Mbak Intan wis teka didhawuhi
langsung nemoni ing ruwangane,” (ASR/P1/10)
„Oh tadi Mr. Tanaka berpesan kalau Mbak Intan sudah datang
disuruh langsung menemui di ruangannya,‟
(262) Iya, kowe cen loyal banget yen marang si Mister. (ASR/P2/21)
„Iya, kamu memang loyal sekali dengan si Mister.‟
(263) “Suk yen Mister wis teka aku arep njaluk cuti ana ka seminggu,..
(ASR/P2/26)
„Besok kalau Mister sudah datang aku akan minta cunti setidaknya
seminggu,...‟
(264) Nggo mundhut apa, Dhik?”ujare Mona kanggo ngalihake
kawigatene Sekar. (ASR/P5/48)
Untuk beli apa, Dhik?” tanya Mona sambil mengalihkan perhatian
Sekar.
(265) Basa Indonesia njur dibaleni nganggo basa Jawa. (ASR/P6/59)
„Bahasa Indonesia lalu diulang dengan bahasa Jawa.‟
(266) “Nggih, nderek, Bu.” (ASR/P6/61)
„Iya, ikut, Bu‟.
(267) Ibu ki biyen kejaba mulang Bahasa Indonesia rak ya ngrangkep
guru BK ta, wuk. (ASR/7/69)
Ibu ini dulu selain mengajar Bahasa Indonesia juga merangkap guru
BK kn, wuk.
(268) Ra sah didhedhes-dhedhes dhisik,...(ASR/P6/70)
„Tidak usah didesak-desak dahulu,...‟
(269) Saora-orane wong tuwa rak ya perlu ngerteni bot ribete anak,”
celathune ibune. (ASR/P10/106)
„Setidak-tidaknya orang tua perlu mengerti berat permasalahan anak‟
98
(270) “njenengan ki pikirane tansah ngeres. (ASR/P12/123)
„kamu itu pikirannya kotor.‟
(271) Nem tau, wis akeh banget owah-owahane. (ASR/P17/182)
„Enam tahun, sudah banyak perubahannya‟
(272) “Sik tak tilikane....” (ASR/P22/238)
„Sebentar aku lihat dulu....”
(273) Sasi ngarep wong kuwi arep mara maneh karo ngganepi
kekurangane. (ASR/P22/238)
„Bulan depan orang itu akan datang lagi sambil menggenapi
kekurangannya‟
(274) “Ya ayo. Aku uga durung maem.”(ASR/P23/248)
„Ya ayo. Aku juga belum makan.‟
(275) “Wis kana, gek ndang nyang mburi dhisik kana, mengko magribe
selak entek”. (ASR/P25/266)
„Sudah sana, buruan lekas ke belakang dahulu sana, nanti
maghribnya keburu habis‟
(276) ...cilik banget lan ora ana tegese dibandhing karo jembare alam
najan mung sawates panyawang. (ASR/P28/297)
„...kecil sekali dan tidak ada apa-apanya dibanding dengan luasnya
alam meskipum hanya sebatas penglihatan‟
Pada data (258) sampai (276) terdapat aferesis, yaitu pengurangan suku kata
pada awal kata seperti kata pak (bapak) „bapak/ayah‟, Bu (ibu) „ibu‟, meh (ameh)
„akan‟, mung (namung/amung) ‟hanya‟, wis (uwis) „sudah‟, cen (pancen)
„memang‟, suk (sesuk) „besok‟, ka (saka) ‟dari‟, nggo (kanggo) „untuk‟, njur
(banjur) „lalu‟, nggih (inggih) „iya‟, ki (iki) „ini‟, nem (enem) „enam‟, sik (kosik)
„sebentar‟, wong (uwong) „orang‟, ra (ora) „tidak‟, bot (abot) „berat‟, ki (iki) „ini‟,
ya (iya) ‟iya‟, ndang (endang) „lekas‟, nyang (menyang) „pergi ke-‟, dan
penggunaan kata najan (sanajan) „meskipun‟. Penggunaan aferesis difungsikan
untuk mempercepat bunyi keluar dari mulut, mengurangi spase dalam pembuatan
karangan, dan sering digunakan karena tidak merubah makna kata.
99
b. Sinkop adalah pengurangan suara (fonem/suku kata) yang terdapat di
tengah kata tanpa mengubah makna kata.
(277) Nanging saplok prastawa wengi kuwi, syaraf-syarafe sajake ora bisa
dijak kompromi. (ASR/P11/113)
„Tetapi semenjak peristiwa malam itu, syaraf-syarafnya tidak bisa
diajak kompromi‟
Data diatas termasuk kategori sinkop, terbukti adanya kata dijak „diajak‟
berasal dari kata diajak kemudian mengalami pengurangan suku kata {-a-}
menjadi dijak „diajak‟.
(278) Semangat untuk melayani dengan setulus hatiora mung saderma
slogan, ning bener-bener diayati tenan. (ASR/P22/235)
„Semangat untuk melayani dengan setulus hati tidak hanya sekedar
slogan, tetapi sungguh-sungguh dihayati benar.‟
Data (278) adalah wujud penggunakaan sinkop, terdapat pada kata tenan
„benar‟. Kata tenan „benar‟ merupakan hasil pengurangan suku kata {me-}
ditengah kata temenan „benar‟, sehingga menjadi tenan „benar‟. Pengurangan
suku kata tersebut selain tidak merubah makna kata juga lebih umum digunakan
oleh masyarakat.
(279) Saiki sithik-sithik Sekar wis bisa omongan nganggo basa Jawa.
(ASR/P15/155)
„Sekarang sedikit-sedikit Sekar sudah bisa berbicara memakai
bahasa Jawa‟
Data di atas termasuk dalam jenis sinkop, terbukti adanya pengurangan suku
kata bagian tengah dari kata sethithik-sethithik „sedikit-sedikit‟ membentuk kata
sithik-sithik „sedikit-sedikit‟. Pengurangan salah satu suku kata tersebut dianggap
lebih relevan, lebih singkat tanpa harus mengubah makna kata.
(280) “Ning nyatane dheweke dimong wong tuwamu”. (ASR/P24/254)
„Tapi kenyatannya dirinya diasuh orang tuamu‟.
100
Data diatas terdapat pengurangan suku kata bagian tengah, yaitu pada kata
dimong „diasuh‟. Kata tersebut berasal dari kata dimomong „diasuh‟ yang
kemudian mengalami pengurangan suku kata {-mo-} menjadi dimong „diasuh‟.
Pengurang tersebut terjadi tanpa mengubah maksud dan makna kata.
c. Apokop adalah pengurangan suara (fonem/suku kata) yang terdapat di akhir
kata tanpa mengubah makna kata.
(281) “Oh Mau Mr.Tanaka pesen yen Mbak Intan wis teka didhawuhi
langsung nemoni ing ruwangane,” (ASR/P1/10)
„Oh tadi Mr. Tanaka berpesan kalau Mbak Intan sudah datang disuruh
langsung menemui di ruangannya,‟
Data di atas terdapat pengurangan suku kata bagian akhir, yaitu pada kata
mbak „mbak/kakak‟. Kata mbak „mbak/kakak‟ berasal dari kata mbakyu
„mbak/kakak‟ mengalami pengurangan suku kata {-yu} di akhir kata menjadi
mbak „mbak/kakak‟.
7. Panambahing Swara (Wuwuh)
a. Protesis yaitu penambahan suara di awal kata tanpa merubah makna kata.
(282) “...Nanging ora kena menghakimi,” ujare Bu Surtana marang sing
kakung. (ASR/P6/65)
„...tetapi tidak boleh menghakimi,” kata Bu Surtana kepada
suaminya‟.
Data di atas terbukti adanya penggunaan protesis yaitu pada kata ujare
„kata‟ yang berasal dari kata jare „kata‟ mendapat tambahan fonem [u] di awal
kata menjadi ujare „kata‟. Penambahan di awal kata tersebut tidak merubah
makna kata.
b. Epentesis yaitu penambahan suara di tengah kata. Penembahan yang
berwujud imbuhan suara (fonem/suku kata) tanpa merubah makna kata.
101
(283) Umpama ana sing digetuni dening Intan jroning uripe ing donya iki,
yaiku patemone karo Bregas,...‟ (ASR/P24/262)
„Seumpama ada yang disesali oleh Intan selama hidupnya didunia
ini, yaitu pertemuannya dengan Bregas,..‟
Data di atas merupakan bukti penggunaan epentesis, yaitu pada kata
umpama „seumpama/seandainya‟ yang berasal dari kata upama
„seumpama/seandainya‟ mendapat imbuhan suara berupa fonem [m] menjadi
umpama „seumpama/seandainya‟. Penambahan suara di tengah kata tersebut tidak
merubah makna kata.
(284) “Inggih, sampun. Awit Sekar mbekta bonekah lajeng didangu Eyang
Uti, kok pikantuk bonekah apik.” (ASR/P25/264)
“Iya, sudah. Sejak Sekar membawa boneka lalu dipanggil Eyang Uti,
kok dapat boneka bagus.”
Data di atas merupakan wujud epentesis, yaitu pada kata mbekta „membawa‟
yang berasal dari kata beta „membawa‟ dengan penambahan nasal [m] menjadi
mbeta „membawa‟, kemudian ditambahkan dengan imbuhan suara fonem [k] pada
tengah kata menjadi mbekta „membawa‟, tanpa mengurangi makna kata.
8. Tembung Saroja
Tembung saroja adalah dua kata yang digabung menjadi satu tetapi
memiliki arti yang sama, seperti pada data berikut ini.
(285) marang mobah mosiking swasana. (ASR/P1/1)
„terhadap hiruk-pikuk suasana‟
(286) mitra rowang ing madyaning bebrayan. (ASR/P2/12)
„Sahabat ditengah masyarakat‟
(287) ...ora mungkin si Bos lila legawa...(ASR/P2/21)
„...tidak mungkin si Bos tulus ikhlas...‟
(288) Minangka wong tuwa Pak Surtana kepengin bisa nyawang anake
urip mulya, ayem tentrem ora kurang sawiji apa. (ASR/P7/73)
„Sebagai orang tua Pak Surtana berkeinginan bisa melihat hidup
anaknya mulia, tentram damai tidak kurang satu apapun.
102
(289) Mula bener kandhane wong tuwa-tuwa, tukar padu kuwi rabuke bale
wisma. (ASR/P8/80)
„Benar kata orang tua, pertengkaran itu pupuk dalam rumah tangga‟
(290) Tukar padu mungguhe wong omah-omah kuwi lumrah,...
(ASR/P10/105)
„Pertengkaran untuk seseorang yang berumah tangga itu wajar,...‟
Data nomor (285) sampai (290) merupakan wujud tembung saroja yang
digunakan APBn dalam ASR. Tembung saroja tersebut terdapat pada kata mobah
mosiking, kata mobah memiliki arti bergerak, kata mosiking juga memiliki arti
kata yang sama yaitu bergerak. Keduanya saling menguatkan dan membentuk
makna yang sama. Data (286) terdapat pada kata mitra rowang, kata mitra
diartikan sebagai teman atau sahabat, dan kata rowang juga memiliki makna
teman atau sahabat, keduanya bergabung menjadi satu dan memiliki makna yang
saling menguatkan. Data (287) terdapat pada kata lila legawa, kata lila memiliki
makna tulus atau ikhlas, kata legawa juga diartikan tulus atau ikhlas, keduanya
bergabung menjadi satu, karena keduanya memiliki makna yang sama sehingga
saling menguatkan satu sama lain. Data (288) terdapat pada kata ayem „tenang‟
dan tentrem „tentram‟, keduanya bergabung menjadi ayem tentrem, memiliki
makna saling berdekatan yaitu tenang, damai. Bergabung berurutan
mengisyaratkan saling menguatkan satu sama lain. Data (289) terdapat kata bale
„rumah‟ dan wisma „rumah‟, bila digabung menjadi bale wisma jika diartikan
dalam bahasa Jawa menjadi omah-omah. Keduanya saling menguatkan memiliki
makna kata „berumah tangga‟. Data (290) terdapat pada kata tukar padu, kata
tukar memiliki makna bertengkar, kata padu juga dimaknai bertengkar, keduanya
bergabung menjadi satu membentuk kata yang dimaknai menjadi pertengkaran,
keduanya memiliki makna yang sama sehingga saling menguatkan satu sama lain.
103
9. Tembung Garba
(291) Nyawang alam kanthi sakabehe kaendahane kuwi rasane aku kaya
manggon aneng swargaloka,”...(ASR/P28/297)
„Melihat alam dengan segala keindahan itu rasanya aku seperti
berada di surga,”...‟
Data di atas termasuk dalam tembung garba terletak pada kata aneng
„berada di‟. Kata aneng „berada di‟ merupakan gabungan dari dua kata yaitu kata
ana „ada‟ dan ing „di‟ bergabung menjadi ana ing „ada di‟ kemudian mengalami
persandian dengan pengurangan satu suku kata menjadi aneng „ada di‟.
Persandian tersebut difungsikan mengurangi jumlah suku kata, dan memperingkas
dua kata atau lebih menjadi satu.
(292) Umpama ana sing digetuni dening Intan jroning uripe ing donya iki,
yaiku patemone karo Bregas,...‟ (ASR/P24/262)
„Seumpama ada yang disesali oleh Intan selama hidupnya didunia
ini, yaitu pertemuannya dengan Bregas,..‟
Data (292) ditemukan persandian yaitu pada kata yaiku „yaitu‟. Kata yaiku
„yaitu‟ merupakan hasil dari penggarbaan tembung atau persandian dua kata iya
„iya‟ dan iku „itu‟, keduanya bergabung menjadi satu membentuk kata yaiku
„yaitu‟ dengan pengurangan satu suku kata dibagian depan kata iya „iya‟
dimaksudkan mengurangi jumlah suku katanya.
(293) “Yen kowe isih kepengin slamet, dohana bojoku....” (ASR/P30/324)
„Kalau kamu isih ingin selamat, jauhi suamiku...‟
Data di atas terdapat persandian yang terletak pada kata dohana „jauhi‟,
merupakan gabungan dua kata adoh „jauh‟ dan kata ana „ada‟ keduanya
bergabung menjadi satu, mengalami pengurangan suku kata dan membentuk kata
dohana „menjauhi‟.
104
10. Tembung Entar
(294) ..., sesambungane karo sing lanang pancen durung pulih kaya wingi
uni. Malah kepara bisa diarani ngrujak sentul, siji Ngalor, siji
Ngidul! (ASR/P11/111)
„..., hubunganya dengan sang suami memang belum pulih seperti
sedia kala. Malah bisa dibilang berseberangan, satu ke utara, satu ke
selatan‟.
Data (294) terdapat penggunaan tembung entar pada kata ngrujak sentul.
Kata ngrujak sentul berasal dari dua kata yaitu ngrujak „membuat rujak‟ dan
sentul „nama pohon‟, makna kata tersebut saling melengkapi serta tidak boleh
dimaknai sewajarnya „membuat rujak dari pohon‟, tetapi terselip maksud lain
sebagai kata yang bermakna „berseberangan‟ yang satu ke utara yang satu ke
selatan.
(295) ..,banjur diangkat dadi tangan tengene bos sing kepeksa kerep
ambyur ing lapangan. (ASR/P1/6)
„..., lalu diangkat menjadi tangan kanan bos yang terpakasa sering
terjun kelapangan.‟
Data (295) tuturan tangan tengene „tangan kanan‟. Tangan terdiri dari dua
bagian, tangan kanan dan tangan kiri, tangan kanan umumnya berkaitan dengan
segala hal yang baik, seperti makan memakai tangan kanan, berjabat tangan
menggunakan tangan, dan lain-lainnya. Sedangkan tangan kiri identik dengan
tangan yang kurang bagus, jarang digunakan, maksud dari tangan tengene „tangan
kanannya‟ bukan berarti orang tersebut tangannya diminta untuk menjadi tangan
kanan orang lain. Akan tetapi tuturan tersebut ditujukan bagi orang yang dapat
dipercaya.
(296) “...Paling ya ora tepat waktu. Ing kene kulinane rak jam
karet,”...(ASR/P16/165)
„...Paling ya tidak tepat waktu. Di sini kebiasaan jamnya molor‟
105
Data di atas terdapat penggunaan tembung entar pada kata jam karet. Kata
jam karet tidak boleh dimaknai sewajarnya sebagai jam yang terbuat dari karet.
Akan tetapi maksud dari jam karet di sini „waktunya molor‟ tidak tepat waktu.
Waktu diibaratkan seperti karet yang dapat merenggang, sama halnya waktu yang
tidak bisa tepat sehingga dapat mundur lebih lama.
(297) ...,biasane Intan ngajak Sekar lan Mona mlaku-mlaku utawa
ngumbah mata ing mal. (ASR/P22/236)
„..., biasanya Intan mengacak Sekar lan Mona jalan-jalan atau cuci
mata di mal‟.
Data di atas terdapat penggunaan tembung entar yaitu pada kata ngumbah
mata „cuci mata‟. Kata ngumbah „mencuci‟ yang identik dengan ngumbah klambi
„mencuci baju‟ diterapkan dengan kata mata „mata‟ menjadi ngumbah mata
bukan berarti mencuci mata dengan air dan sabun seperti ketika mencuci baju,
tetapi dimaknai „cuci mata/ jalan-jalan/melihat-lihat‟
11. Paribasan
(298) Ning wong sing kalem kaya iku kadhang-kadhang malah nyolong
pethek. (ASR/P19/207)
„Tetapi orang yang pendiam seperti itu kadang-kadang malah
berkebalikan dengan yang diperkirakan‟.
Data di atas terdapat ungkapan nyolong pethek yang tergolong dalam
tembung entar dan bermakna orang yang terlihat pendiam karena wajahnya yang
baik tidak banyak omong, tapi ternyata malah sebaliknya, seperti Pram dalam
tokoh NASR, sosoknya yang pendiam ternyata sering keluar dengan banyak
wanita, meskipun hanya sekedar mitra kerja.
(299) “Jane ora ngono kuwi. Bahasa ibu kuwi tetep perlu supaya bocah
ora kabedhol saka oyote. (ASR/P6/59)
„ Harusnya tidak seperti itu. Bahasa ibu itu tetap perlu agar anak
tidak lupa akan asal-usulnya‟
106
Data (299) terdapat ungkapan kabedhol saka oyote „lepas dari akarnya‟.
Peribahasa tersebut mempunyai maksud bahwa bahasa ibu sebagai bahasa asli
yang dipunya tidak boleh lepas dan diabaikan, agar anak tidak lupa dengan bahasa
sendiri, sejatinya dengan bahasa seseorang dapat diketahui asal-usulnya.
(300) Ning wong sing kalem kaya iku kadhang-kadhang malah nyolong
pethek. Kowe ngerti peribahasa air tenang menghanyutkan ta?
Rame swara-swara ing njero dhadhane. (ASR/P19/207)
„Tetapi orang pendiam seperti itu kadang-kadang malah
berkebalikan dengan yang kita pikirkan. Kamu tau peribahasanya air
tenang menghanyutkan kan? Ramai suara-suara di dalam hatinya.‟
Data (300) terdapat ungkapan air tenang menghanyutkan. Ungkapan
tersebut menggambarkan sosok orang pendiam, meskipun nampak pendiam bisa
jadi banyak hal-hal yang tidak terduga dari dirinya tersebut. Sehingga kita tidak
boleh menilai seseorang hanya luarnya saja, bukan berarti orang pendiam tersebut
juga baik sikapnya, ataupun sebaliknya. Semuanya bergantung pada pembawaan
diri masing-masing.
(301) Senajan nasip mahanani aluring crita dadi beda, dheweke lan Pram
kudu nempuh dalan dhewe-dhewe, ning tresna sing wis kebacut
ngoyot iku tetep ora bisa dipunthes ngono wae. Paribasane tetep
urip ngrembaka senajan diseleh ing pot sing beda. (ASR/P26/283)
„Meskipun nasib mempertandakan alurnya cerita menjadi berbeda,
dirinya dan Pram harus menempuh jalan sendiri-sendiri, tetapi cinta
yang sudah terlanjur mengakar itu tetap tidak bisa diputus begitu
saja. Peribahasanya akan tetap hidup berkembang meskipun
ditempatkan di pot yang berbeda.‟
Kutipan (301) terdapat peribahasa tetep urip ngrembaka senajan diseleh ing
pot sing beda, peribahasa tersebut nampaknya cocok digambarkan dengan
seseorang yang pernah menjalin kasih seperti halnya Intan dan Pram, meskipun
keduanya sudah sama-sama memiliki suami dan istri, karena jalinan asmara yang
lama tidak menjadikan kasih di antara keduanya hilang begitu saja. Malah sampai
107
detik itu masih tetap hidup meskipun sudah dalam waktu, keadaan, dan bahkan
dengan status yang berbeda.
(302) Umpama dheweke ora cepet-cepet oncat, mungkin dheweke saiki
mung kari aran, wis pralaya! (ASR/P22/237)
„Seumpama dirinya tidak cepat-cepat menyingkir, mungkin dirinya
sekarang hanya tinggal nama, sudah meninggal!
Data di atas merupakan wujud paribasan dibuktikan dengan adanya kata
yang tergolong tembung entarkari aran „tinggal nama‟, kata tersebut sering
digunakan untuk menyebut kata meninggal. Sejatinya orang mati hanya
meninggalkan aran „nama‟, maka disebut kari aran „meninggal‟. Hal tersebut
diperjelas dengan tuturan selanjutnya wis pralaya „sudah meninggal‟.
(303) Nalika tatu biru, dumadakan ilang dipangan wektu. (ASR/P23/241)
„Saat luka, mendadak hilang dimakan waktu‟.
Data (303) terdapat kutipan tatu biru „luka biru‟, paribasan tersebut
mempunyai arti bahwa luka identik dengan warna biru/lebam maka disebut
dengan tatu biru‟ luka biru‟. Dalam konteks kalimat tersebut tatu biru yang
dimaksud adalah luka bekas tamparan, siksaan, tuduhan dari tokoh Intan Purnami
oleh mantan suaminya, Bregas.
(304) Mung penake Mas Ilham oleh jabatan ing papan teles.
(ASR/P16/172)
„Hanya enaknya Mas Ilham mendapat jabatan ditempat yang enak‟.
Kutipan data (304) merupakan pengibaratan keadaan Mas Ilham mengenai
pekerjaan yang didapat sekarang, terbukti adanya kalimat papan teles „papan
basah‟, makna papan teles tidak boleh dimaknai sebagai papan yang terasa basah,
ataupun tempat penuh air dan membuat basah, akan tetapi papan teles diibaratkan
tempatnya enak, tidak panas, dan bergaji besar‟
(305) Aja rangu-rangu. Aja wedi. Gusti ora sare. (ASR/28/306)
„Jangan ragu-ragu. Jangan takut. ALLAH tidak tidur.‟
108
Data (305) terdapat kutipan Gusti ora sare, yang artinya bahwa Allah akan
selalu ada, tidak pernah tidur, melihat segala apa yang kita lakukan. Sehingga
semua apa yang kita lakukan, pada akhirnya akan kembali kepada kita,. Sebagai
manusia kita hanya bisa pasrah, berusaha dan berdoa yakin Allah melihatnya dan
memberi jalan bagi hambanya.
(306) ..., aloke Pak Paimin saderma kanggo abang-abang lambe.
(ASR/P1/4)
„..., kata Pak Paimin sekedar bertanya.‟
Data (306) terdapat gaya bahasa yang terletak pada kata abang-abang
lambe. Kata abang-abang lambe yang dimaksud di sini adalah sekedar pertanyaan
tidak sesuai dengan hatinya, bertujuan untuk mencairkan suasana keakrabpan agar
tidak hening.
12. Bebasan
(307) Intan lali yen Bregas kuwi wong sing rai gedhek. (ASR/P25/269)
„Intan lupa kalau Bregas itu orang yang tidak punya malu.‟
Data (307) merupakan wujud bebasan, yaitu terdapat pada kata rai gedhek
„muka gedhek‟, kata rai „muka/wajah‟ diabstrakan dengan benda mati seperti
gedhek yaitu anyaman yang terbuat dari bambu, terdapat sela-sela lubang
dianyamannya. Ungkapan rai gedhek dalam hal ini mengandung pengertian
seseorang yang tidak punya rasa malu.
(308) Rada mangkel jan-jane. Wis diwenehi ati isih ngrogoh rempela.
(ASR/P24/258)
„Sedikit dongkol sebenarnya. Sudah dikasih hati masih minta
rempela‟
Data di atas terdapat penggunaan bebasan diwenehi ati isih ngrogoh
rempela „dikasih hati masih minta rempela‟, mempunyai arti seseorang yang
109
sudah dikasihani, sudah diberi hati, tidak berterima kasih dan malah meminta
lebih.
(309) Perkawinan ora tansah endah kaya sing ana ing angen-angen.
Ibarate wong lelayaran, nalika isih ing pinggir angine durung
patiya banter...(ASR/P15/156)
„Pernikahan tidak indah seperti yang dibayangkan. Ibarat orang
berlayar, saat masih dipinggir anginnya belum begitu kencang...‟
Kutipan data (309) terdapat ungkapan Jawa ibarate wong lelayaran, nalika
isih ing pinggir angine durung patiya banter. Ungkapan tersebut menggambarkan
sebuah rumah tangga, artinya suatu rumah tangga itu diibaratkan seperti dua orang
yang sedang berlayar, rumah tangga diibaratkan kapal, saat mulai berlayar angin
yang mengenai kapal tidaklah begitu kencang, semakin kapal melaju ketengah
hembusan angin yang mengenai kapal akan semakin kencang. Begitu pula dengan
sebuah rumah tangga atau pernikahan, awalnya rumah tangga mungkin akan
nampak harmonis, namun lambat laun kerikil-kerikil permasalahan muncul
seiring bertambah usia sebuah pernikahan. Ada saja cobaan, namun bagaimana
dua orang yang menjalaninya saling mendukung, saling mengerti agar kapal tetap
berlayar tetap utuh meskipun terhempas angin. Begitu pula rumah tangga yang
sedang dihadapi oleh Bregas dan Intan, semuanya bergantung pada bagaimana
keduanya dalam menjaga baita „kapal‟ (rumah tangga).
110
Tabel 1. Persentase Penggunaan Diksi atau Pilihan Kosakata dalam
Novel Alun Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn
No
Diksi atau Pemilihan
kosakata
(X)
Jumlah Diksi atau
Pemilihan
Kosakata
Persentase
1. Bentuk kata
a. Kata Berafiks (Afiksasi)
1) Prefiks 12 5,3
2) Infiks 39 17,1
3) Konfiks 24 10,5
b. Proses Reduplikasi
1) Pengulangan seluruh
(Dwilingga salin swara) 11 4,8
2) Pengulangan suku pertama
dari bentuk dasar (dwipurwa) 4 1,8
3) Pengulangan berkombinasi
dengan penambahan afiks
(sufiks –an)
5 2,2
2. Kosakata Bahasa Indonesia 20 8,8
3. Kosakata Bahasa Asing 9 3,9
4. Sinonim 21 9,2
5. Antonim 31 13,6
6. Abreviasi 23 10,1
7. Panambahing swara 4 1,8
8. Tembung Saroja 6 2,6
9. Tembung Garba 3 1,3
10. Tembung Entar 4 1,8
11. Paribasan 9 3,9
12. Bebasan 3 1,3
Jumlah 228 100
Keterangan:
X = Banyaknya diksi atau pemilihan kosakata yang muncul
ΣX = Total keseluruhan diksi atau pemilihan kosakata yang muncul
111
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa diksi atau pemilihan kosakata
yang sering digunakan oleh pengarang adalah didominasi diksi berwujud infiks
ditemukan pada 39 data (17,1%). Pemanfaatan bentuk kata tersebut bertujuan
untuk menambah kesan arkhais dari sebuah kata, sehingga terdengar lebih indah.
C. Penggunaan Gaya Bahasa dalam Novel Alun Samudra Rasa Karya
Ardini Pangastuti Bn
Setiap pengarang mempunyai cara sendiri dalam menuangkan ide, gagasan
atau pikiran. Ide, gagasan atau pikiran pengarang biasanya dituangkan ke dalam
gaya bahasa yang khas. Setiap pengarang mempunyai gaya bahasa yang berbeda-
beda. Adapun gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam NASR karya APBn,
diantaranya:
1. Simile
Simile adalah bahasa kiasan yang mempergunakan kata pembanding yang
eksplisit untuk menyamakan suatu hal dengan hal lain. Simile dalam
membandingkan banyak menggunakan kata kadya, lir, kaya, prasasat, bebasan,
dan sebagainya.
(310) Langit kadidene buku kang sumeblak. (ASR/P1/1)
„Langit seperti halnya buku kosong‟
(311) ...eseme manis kaya gula tebu. (ASR/P1/10)
„...senyumnya manis seperti gula tebu‟
(312) Tangis sing kawit mau diampet iku pungkasane ambrol kaya
bendungan jebol (ASR/P3/24)
„Tangis yang sedari tadi ditahan akhirnya membludak seperti
bendungan yang jebol‟
(313) Bandungan, udan deres kaya disokake saka langit. (ASR/P3/29)
„Bandungan, hujan deras seperti ditumpahkan dari langit‟
112
(314) Nyes..atine Intan rasane kaya siniram banyu es oleh sun sayang
saka gantilaning atine kuwi. (ASR/P5/51)
„Nyes... hati Intan rasanya seperti disiram air es mendapat cium
sayang dari pujaan hatinya itu.‟
(315) Kowe tansah golek menange dhewe lan nggugu karepe dhewe.
Kaya-kaya ngedir-ngedirake dupeh kowe bisa golek dhuwit dhewe.
(ASR/P8/79)
„Kamu mau menang sendiri dan semaunya sendiri. Seperti
menyombongkan diri kamu bisa mencari uang sendiri‟
(316) Srengenge sumunar endah kaya-kaya aweh prasaja marang bumi
sing isih katisen sawise sewengi digrujug udan. (ASR/P16/164)
„Matahari bersinar indah seperti memberi pertanda pada bumi yang
masih kedinginan setelah semalaman diguyur hujan.‟
(317) Bener-bener pasangan sing idheal! Kaya dene mimi lan
mintuna,...(ASR/P16/165)
„Benar-benar pasangan yang ideal! Seperti halnya mimi lan
mintuna‟
(318) Intan kaget kepati weruh sapa sing teka. Rasane kaya sinamber
gelap ing wayah awan sing tanpa mendhung. (ASR/P23/251)
„Intan terkejut bukan kepalang melihat siapa yang datang. Rasanya
seperti tersambar gelap di siang hari tanpa mendung.‟
(319) Mbokmanawa selawase ora bakal ilang. Kuwi kaya dene tatu abadi
kang kauikir ing kono mawa peso super landhep. (ASR/P25/271)
„Kalausaja sampai nanti tidak akan hilang. Itu seperti luka abadi
yang terukir di sana dengan pisau super tajam.‟
(320) Ati kaya dene samudra kang jembar tanpa wangenan.
(ASR/P27/285)
„Hati seperti halnya samudra yang luas tanpa batas.‟
(321) Angin kadidene polahe pikiran, sing ora anteng. (ASR/P28/296)
„Angin seperti halnya gerak pikiran, tidak bisa tenang.‟
(322) Apa dheweke bisa „bertahan‟ kaya watu karang ing satengahe
samudra,...(ASR/P29/317)
„Apa dirinya bisa bertahan seperti batu karang di tengah samudra.‟
Data (310) sampai (322) merupakan wujud simile ditunjukkan dengan
adanya penggunaan perbandingan dua hal secara eksplisit menggunakan kata kaya
„seperti‟ dan kadidene „sepertihalnya‟, seperti pada data (310) terdapat kata langit
113
kadidene buku kang sumeblak „langit seperti halnya buku yang terbuka lebar‟. Hal
ini langit digambarkan seperti buku yang terbuka lebar yang secara gamblang bisa
menceritakan segala hal tulisan/cerita yang tertulis di sana. Data (311) terdapat
kata kaya pada kalimat eseme manis kaya gula tebu dikatakan sebagai gaya
bahasa simile, karena senyum diibaratkan seperti gula tebu, hal itu menandakan
senyum gadis tersebut manis sekali. Gaya bahasa simile (312) sampai (314)
disajikan dengan perbandingan yang sedikit berlebihan, seperti pada data nomor
(312) pungkasane ambrol kaya bendungan jebol, dalam hal ini tangis Intan yang
pecah disamakan dengan bendungan jebol „bendungan yang jebol‟, bukan berarti
tangis Intan seperti kucuran air dari bendungan jebol yang meluap deras, tetapi
maksudnya di sini tangis Intan menggebu-gebu dan air matanya bercucuran
karena sudah sejak tadi Intan menahan air matanya. Hal tersebut nampak pula
pada data (313) udane deres kaya disokake saka langit , hal ini maksudnya hujan
lebat sekali ditandai dengan turunnya air hujan rasanya seperti air ditumpahkan
semua dari langit. Data (314) rasane kaya siniram banyu es, pengarang
menggunakan kata kaya „seperti‟ untuk membandingan rasanya dicium oleh Sekar
seperti disiram air es yang dingin, begitu menyegarkan.
Penggunaan kata kaya „seperti‟ juga terdapat pada data nomor (315) sampai
(322). Data (315) merupakan wujud simile luapan seseorang yang sedang merasa
kesal, terbukti dengan adanya kata Kaya-kaya ngedir-ngedirake dupeh, saking
merasa tidak terima karena dianggap kerjaannya tidak seperti sang istri, Bregas
menganggap istrinya seperti ngedir-ngedirake dupeh „membesar-besarkan
omongan‟. Data (316) srengenge sumunar endah kaya-kaya aweh prasaja
marang bumi, hal bermaksud membandingkan cerahnya matahari yang bersinar
114
seperti akan menghadirkan pertanda baik, seperti halnya sehabis hujan, mendung
berganti denan panas yang dianggap sebagai kabar baik. Data (317) pasangan
yang ideal dalam budaya jawa dibandingkan Kaya dene mimi lan mintuna „
seperti sepasang kepiting‟ yang selalu bersama. Sedangkan rasa kaget disamakan
rasanya seperti (318) kaya sinamber gelap ing wayah awan sing tanpa mendhung
„rasanya seperti tersambar gelap di siang hari tanpa mendung‟. Menyamakan
suatu hal secara langsung, dalam hal ini menggambarkan luka yang dialami Intan
disamakan (319) kaya dene tatu abadi kang kauikir ing kono mawa peso super
landhep „seperti luka abadi yang terukir disana dengan pisau super tajam‟, artinya
selalu membekas karena sayatan yang menggores terlalu dalam, sehingga
menimbulkan rasa sakit yang tidak bisa dilupakan. Masih berbicara dengan
perasaan, hati adalah pusat perasaan manusia, data (320) Ati kaya dene samudra
kang jembar tanpa wangenan. Data di atas menyamakan hati seperti samudra,
luas tanpa batasan. Jika hati luas seperti samudra selayaknya hati dapat menerima
segala hal yang terjadi dalam diri seseorang. Namun jika hati seseorang sempit,
manusia mudah sakit hati, sehingga menimbulkan beban pikiran. Beban pikiran
disamakan seperti gerak angin, yang tidak pernah tenang (321) angin kadidene
polahe pikiran, sing ora anteng „angin seperti halnya gerak pikiran, tidak bisa
diam‟. Di situlah kekuatan manusia di uji, akankah dirinya dapat bertahan (322)
kaya watu karang ing satengahe samudra „seperti batu karang ditengah samudra‟.
Jika dapat menyamakan diri dengan karang di tengah samudra, sedahsyat apapun
cobaan yang menimpa kita, sekeras apapun ombaknya, kita tetap bersikeras
seperti kerasnya karang, agar dapat melalui semuanya dengan baik.
115
2. Interupsi
(323) Intan Purnami, ibu putra siji, wanita karier sing ayu lan enerjik.
(ASR/P1/1)
„Intan Purnami, ibu putra satu, wanita karier yang cantik dan enerjik‟
Pada data (323) termasuk kedalam gaya bahasa interupsi, yaitu menegaskan
sosok Intan Purnami, ibu berputra satu, wanita karier yang cantik dan enerjik.
Intan Purnami sebagai subyek kalimat, yang di belakangnya disisipkan kalimat
penjelas guna menekankan bagian kalimat sebelumnya.
(324) ...Sekar melur, anake wadon sing sasi ngarep umure ganep telung
taun. (ASR/P1/2)
„...Sekar Melur, anak perempuannya yang bulan depan genap tiga
tahun.‟
Data (324) termasuk ke dalam gaya bahasa interupsi, yaitu menegaskan
sosok Sekar, anak Intan Purnami. Sekar Melur sebagai subyek kalimat, diikuti
dengan kata anake wadon „anak perempuannya‟, kemudian disisipkan kata sing
sasi ngarep umure ganep telung taun „yang bulan depan genap berumur tiga
tahun‟ sebagai kata yang menegaskan kalimat sebelumnya.
3. Antonomasia
Menurut Gorys Keraf, 2004:142, antonomasia merupakan sebuah bentuk
khusus dari sinekdoce yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk
menggantikan nama diri, tau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama
diri.
(325) lho si Mister ora ing pabrik ta? (ASR/P1/11)
„Lho si Mister tidak di pabrik kah?‟
(326) Dheweke mbatin, si bajingan Bregas kuwi mesthi weruh Pram
nalika pas mbukakake lawang mobil mau. (ASR/P24/256)
„Dirinya membatin, si bajingan Bregas itu pasti melihat ketika Pram
membukakan pintu mobil tadi‟.
116
(327) “Aku lagi mengagumi reriptane Sang Kreator Agung, Gusti Kang
Maha linuwih. (ASR/P28/297)
„Aku sedang mengagumi ciptaan Sang Kreator Agung, Allah Yang
Maha Segalanya.‟
Data (325) sampai (327) terdapat gaya bahasa antonomasia, yaitu tampak
pada kata (325) si Mister „si Mister‟ merupakan sebutan atau kata ganti untuk
lelaki yang dianggap terhormat yang berasal dari luar negeri, kata (326) si
bajingan „si bajingan‟ disebut demikian, karena laki-laki tersebut dianggap
memiliki sikap yang tidak baik, bahkan berlaku kurang ajar terhadap wanita,
seperti kelakuan para bajingan, dan kata (327) Sang Kreator Agung yang
digunakan untuk menyebut Allah Sang Pencipta alam semesta.
4. Sinekdoce
Sinekdoce adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian
dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte).
Ardini Pangastuti mengaplikasikan gaya bahasa sinekdoce dalam data berikut.
(328) Wong jepang kuwi fanatik karo klambi bathik,...(ASR/P2/17)
„Orang Jepang itu fanatik dengan baju batik,..‟
(329) Ana Bule Swedia sing golek lukisan iwak koi. (ASR/P22/237)
„Ada Bule Swedia yang mencari lukisan ikan koi‟.
Data (328) dan (329) terdapat gaya bahasa sinekdoce oleh APBn, yaitu
pada kata wong Jepang „orang Jepang‟ dan kata Bule Swedia „Bule Swedia‟. Kata
wong Jepang „orang Jepang‟ merupakan bagian keseluruhan untuk sebagiam
manusia, artinya orang tersebut memiliki ciri fisik dan berasal dari Jepang, namun
bukan berarti semua orang Jepang menyukai batik, akan tetapi tuturan yang
dimaksud adalah untuk orang Jepang yang bernama Mr. Tanaka yang tidak lain
adalah bos dari Intan Purnami. Kata Bule Swedia „Bule Swedia‟ merupakan
117
bagian dari keseluruhan manusia, yang menandakan bahwa Bule yang berasal dari
Swedia adalah salah satu dari kesuluruhan warga negara, namun bukan berarti
semua Bule Swedia mencari lukisan ikan koi. Bule Swedia yang dimaksud
bernama Miss Clara. Pengarang bisa saja menyebut wong Jepang itu dengan
nama Mr. Tanaka, dan memanggil Bule Swedia tersebut dengan Miss Clara,
namun untuk menimbulkan nilai estetik dan pengagambaran tokoh baik
keseluruhan maupun sebagian, maka gaya bahasa sinekdoce digunakan oleh
pengarang.
5. Tautologi
Tautologi adalah gaya bahasa yang menggunakan acuan kata lebih dari satu,
yang mana acuan kata tersebut merupakan perulangan dari kata sebelumnya.
Seperti pada data berikut.
(330) Kamangka nalika budhal saka kos-kosan langite ora patia
mendhung banget. Isih ana sulake padhang. (ASR/P3/29)
„Padahal saat berangkat dari kos-kosan langitnya tidak begitu
mendung. Masih ada sinar terang‟
(331) Wong sing duwe mobil saya akeh, nanging dalan ora tambah.
Tegese tetep ciyut kaya biyen, ora bisa diambakake maneh.
(ASR/P8/86)
„Orang yang punya mobil semakin banyak, tetapi jalan tidak
nambah. Artinya tetap sempit seperti dulu, tidak bisa dilebarkan lagi‟
Data (330) dan (331) merupakan wujud gaya bahasa tautologi yang
digunakan APBn dalam ASR, yaitu terletak pada data (330) kata ...langite ora
patia mendhung banget. Isih ana sulake padhang langite ora patia mendhung
banget. Isih ana sulake padhang „langitnya tidak begitu mendung. Masih ada
sinar terang‟. Tuturan isih ana sulake padhang „masih ada sinar terang‟
merupakan wujud perulangan dari kata langite ora patia mendhung banget
„langitnya tidak terlalu mendung sekali‟. Data (331) dalan ora tambah. Tegese
118
tetep ciyut kaya biyen „jalan tidak nambah. Artinya tetap sempit seperti dulu‟.
Tuturan tetep ciyut kaya biyen „tetap sempit seperti dulu‟ merupakan wujud
perulangan dari tuturan ora nambah „tidak bertambah‟.
6. Metafora
Metafora adalah keserupaan atau kemiripan anatara dua hal atau dua
referen, yaitu kemiripan objektif atau konkret dan kemiripan emotif atau
perseptual (Edi Subroto, dkk., 1999:123 dalam Sumarlam, 2013:128). Metafora
digunakan oleh pengarang difungsikan untuk menghindari kemonotonan suatu
bahasa. Adapun data yang termasuk gaya bahasa metafora adalah sebagai berikut.
(332) Sawah lan tegal akeh sing padha disulap dadi alas beton.
(ASR/P1/5)
„Sawah dan kebun banyak yang disulap menjadi kawasan
perumahan‟
Data (332) terdapat gaya bahasa yang terletak pada kata alas beton. Kata
beton „bangunan‟ berdimensi abstrak disamakan seperti pohon yang tumbuh
dihutan. Ungkapan alas beton dalam tuturan di atas mengandung pengertian
banyak bangunan dan gedung-gedung tinggi yang bermunculan. Gedung atau
bangunan tersebut disamakan pohon dihutan. Akan tetapi alas „hutan‟ yang
biasanya sebagai sawah, kebun dan tumbuhnya pohon berubah menjadi kawasan
perumahan.
(333) Aja mikir sing ngeres. Aku dudu priya hidung belang kaya iku.
(ASR/P19/208)
„Jangan berpikiran kotor. Aku bukan pria hidung belang seperti itu.‟
Data (333) terdapat tuturan hidung belang dalam hal ini hidung manusia
disamakan dengan kulit harimau yang seakan-akan mempunyai belang. Belang
identik dengan sesuatu kejelekan yang ditutupi yang lambat laut pasti akan
119
tercium baunya. Maksud dari hidung belang yakni pria yang sudah mempunyai
istri, namun mencari kesenangan dengan perempuan lain.
(334) Ning Astri percaya marang omongane Intan, yen tekane saiki
kekarone isih padha dene njaga, ora nganti nerak pager ayu.
(ASR/P22/234)
„Tapi Astri percaya pada omongan Intan, kalau kedatangannya
sekarang keduanya masih saling menjaga, tidak sampai melebihi
batas.‟
Data (334) terdapat tuturan metafora pada kata pager ayu „batas‟, dalam hal
ini bukan berarti pagar tersebut adalah wanita-wanita cantik yang membentuk
pagar. Akan tetapi dalam tuturan di atas mengandung pengertian tidak berbuat
jahat dan jangan sampai melampaui batas hingga melakukan hal-hal yang tidak-
tidak, keluar dari norma aturan yang ada.
(335) Nuruti perasaan, mbokmanawa dheweke wis klakon ciblon ing
segara madu. (ASR/P27/284)
„Menuruti perasaan, barangkali dirinya bisa saja berbuat lebih‟
Data (335) tuturan segara madu „lautan kenikmatan‟ merupakan contoh
gaya bahasa metafora yang menggambarkan lautan kenikmatan yang dirasakan
seperti manisnya madu dalam hal ini maksudnya bermesraan dengan suami orang,
meskipun terasa nikmat namun menyimpan dosa jika dilakukan karena melanggar
norma..
(336) Yen pancen kaya ngono kahanane, kanggo apa mbaleni sega
wadhang sing wis bosok. (ASR/P27/289)
„Kalau memang seperti itu keadaannya, untuk apa rujuk kembali
dengan mantan suami‟
Data (336) tuturan sega wadhang „nasi basi‟. Perumpamaan sega wadhang
„rujuk dengan mantan suami‟ adalah gaya bahasa metafora mengabstrakan mantan
suami seperti sega wadhang „nasi bekas‟ yang identik dengan nasi basi, terasa
120
dingin, lembek dan akan menimbulkan penyakit apabila dimakan lagi. Begitu pula
jika Intan rujuk dengan mantan suaminya yang dulu sering menyakitinya,
kedepannya tidak akan baik bagi Intan.
7. Eufemisme
Menurut Gorys Keraf, 2004:132, eufemisme adalah semacam acuan berupa
ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-
ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan
menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak
menyenangkan.
(337) Ayune Intan klebu standar kanggo ukuran wong Indonesia, mligine
wong Jawa. Tegese ayu banget ora, elek banget uga ora.
(ASR/P1/3)
„Cantiknya Intan termasuk standar untuk ukuran orang Indonesia,
khususnya orang Jawa. Maksudnya cantik sekali tidak, jelek sekali
juga tidak.‟
(338) Priye yen bojomu kuwi ujug-ujug ora ana? Aku ora ndongakake, iki
mung kanggo njagani bab-bab sing ora kita pengini. (ASR/P22/231)
„Bagaimana kalau suamimu itu tiba-tiba tidak ada? Aku tidak
mendoakan, ini cuma untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak kita
inginkan.‟
Data (337) dan (338) terdapat gaya bahasa eufemisme, yaitu terdapat pada
kalimat (337) Ayune Intan klebu standar kanggo ukuran wong Indonesia, mligine
wong Jawa. Tegese ayu banget ora, elek banget uga ora „cantiknya Intan
termasuk standar untuk ukuran orang Indonesia, khususnya orang Jawa.
Maksudnya cantik sekali tidak, jelek sekali juga tidak.‟. Kata standar „standar‟
yang merupakan kosakata bahasa Indonesia dirasa lebih sopan, tidak
menyinggung dan lebih estetis dibanding dengan mengucap ora patiya ayu „tidak
begitu cantik‟, hal tersebut mirip dengan kata standar namun lebih terkesan terasa
lebih menjelekan. Data (338) terdapat gaya bahasa eufemisme, yaitu terdapat pada
121
kalimat priye yen bojomu kuwi ujug-ujug ora ana? „bagaimana kalau suamimu itu
tiba-tiba tidak ada?‟. Kata ora ana „tidak ada‟ mensugestikan jika kelak suaminya
meninggal bagaimana?, tetapi tidak diungkapkan secara langsung. Hal tersebut
dilakukan supaya tidak menyinggung mitra tutur yang menjadi lawan bicaranya.
8. Personifikasi
Menurut Gorys Keraf, 2004:140, personifikasi adalah semacam gaya bahasa
kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Berikut adalah data yang
termasuk kedalam gaya bahsa personifikasi.
(339) Langit tetep mawon mboten ramah. (ASR/P1/4)
„Langit tetap tidak ramah.‟
Data (339) kata langit „langit‟ dipersonifikasikan seperti manusia yang
mempunyai sikap kurang baik yang kadang bertindak tidak ramah. Kata mboten
ramah „tidak ramah‟ dalam data ini yang dimaksud adalah langitnya sedang
mendung.
(340) Mripate tumlawung adoh, ngetutake playune angen-angen sing
ibut...(ASR/P3/32)
„Matanya menggelantung jauh, mengikuti larinya angan-angan yang
ribut...‟
Data (340) angan-angan „angan-angan‟ dilukiskan seperti manusia yang
dapat berlarian. Pengarang mencoba mengimajinasikan angan-angan dalam benak
seseorang itu banyak, berwujud berbagai hal yang berputar-putar di kepala seperti
manusia yang berlarian kesegala arah sesuai keinginan kita.
(341) Geter-geter rasa, kroncalan ing dhadha.(ASR/P6/56)
„Getar-getar rasa, bergejolak di dada.‟
122
Data (341) terdapat gaya bahasa personifikasi yang terdapat pada kata
kroncalan „bergejolak/bergerak-gerak‟. Getar-getar rasa disamakan dengan salah
satu aktivitas bayi yang dalam bahasa Jawa disebut dengan kroncalan
„bergejolak/bergerak-gerak‟. Begitulah getaran rasa yang ada dalam dadanya,
bergejolak/bergerak-gerak‟ memunculkan berbagai rasa.
(342) Kenangan mangsa kawuri iku terus jejogetan ing tlapukan mripat.
(ASR/P7/76)
„Kenangan masa lalu itu selalu nampak di pelupuk mata.‟
Data (342) terdapat gaya bahasa personifikasi yang terdapat pada kata
kenangan mangsa kawuri iku terus jejogetan „kenangan masa lalu itu selalu
teringat‟. Kata kenangan mangsa kawuri „kenangan masa lalu‟ mengalami
penginsanan seperti manusia yaitu jejogetan ‟berjogetan/menari-nari‟. Maksud
dari jejogetan „menari-nari‟ menggambarkan masa lalu tersebut masih terus
membayangi, selalu ada dalam pikiran.
(343) Jogede angin, tembang kewan iber-iberan. (ASR/P16/164)
„Tarian angin, tembang hewan berterbangan.‟
Data (343) menunjukkan sifat-sifat penginsanan pada kata angin „angin‟
yang memiliki sifat kemanusiaan yaitu joged „menari‟. Seharusnya yang dapat
menari adalah manusia. Namun pengarang menggambarkan angin pun juga bisa
menari, berhembus dari mana saja
(344) Langit, kowe tau dadi seksi bisu tresna biru
Sadurunge angin ngontalake impen merpati. (ASR/P17/176)
„Langit, pernah jadi saksi bisu cinta indah.
„Sebelum angin menelan impian sepasang kekasih‟
(345) Sorote kuwawa ngelus impen merpati.(ASR/P21/219)
„Sorot kuat meraba impian merpati.‟
123
(346) Angin sumilir lembut, ngelus kulit lan kala-kala nakal dolanan
rambut. (ASR/P28/307)
„Angin bersemilir lembut, meraba kulit dan kadang-kadang nakal
bermain rambut‟.
(347) Lumembake angin
Ngumbulake impen..(ASR/P22/230)
„Geraknya angin.‟
„Menerbangkan impian.‟
Data (344) sampai (347) menunjukkan sifat-sifat penginsanan pada kata
angin „angin‟ yang memiliki sifat kemanusiaan seperti (344) ngontal „menelan‟,
(345) ngelus „mengelus‟, (346) ngelus „meraba‟ dan dolanan „bermain‟, (347)
ngumbulake „menerbangkan‟. Seharusnya yang dapat menelan, mengelus,
menerbangkan adalah manusia. Namun pengarang menggambarkan angin juga
dapat menelan, mengelus dan menerbangkan.
(348) Surub wiwit anguk-anguk ing petenge wengi nalika kekarone
ninggalake papan parkiran. (ASR/P28/309)
„Petang mulai mengintip di gelapnya malam saat keduanya
meninggalkan tempat parkiran.‟
Data (348) menunjukkan penggunaan gaya bahasa metafora yang terdapat
dalam kata surub wiwit anguk-anguk „petang mulai mengintip‟. Kata surub
„petang‟ mengalami penginsanan seperti manusia yaitu anguk-anguk „mengintip‟.
Seharusnya yang dapat mengintip adalah manusia, namun pengarang
menggambarkan petang juga bisa mengintip. Kondisi seperti ini menggambarkan
situasi menjelang malam, yaitu matahari yang mulai terbenam berganti malam
yang gelap.
9. Litotes
Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai bertujuan untuk merendahkan diri.
Terdapat pertentangan antara kenyataan dan perkataannya.
124
(349) Mobil banjur ngudhuni gumuk cilik sing dadi lokasi perumahan elit
iku. (ASR/P1/4)
„Mobil lalu menuruni gubuk kecil yang menjadi lokasi perumahan
elit itu.‟
Data (349) terdapat gaya bahasa litotes yang terletak pada kata gumuk cilik
„gubuk kecil‟. Gubuk kecil diibaratkan sebagai rumah, kesan yang ada rumah
tersebut berbentuk kecil. Namun di dalamnya mengalami pertentangan, karena
pada kenyataannya, rumah yang dianggap kecil tersebut berada dikawasan
perumahan elit. Hal tersebut dilakukan agar tidak terkesan berlebihan.
10. Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang
berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal (Gorys Keraf, 2004:135).
(350) Tekan ngomah kabeh wis padha turu kepati. (ASR/P1/7)
„Sampai rumah semua sudah tidur pulas.‟
Data (350) tuturan turu kepati bukan berarti orang tersebut tidur
hingga dirinya meninggal. Akan tetapi tuturan turu kepati „tidurnya
pulas/nyenyak‟ diabstrakan seperti mayat yang diam tidak bangun-bangun.
Tuturan tersebut mempunyai pengertian bahwa tidurnya pulas.
(351) Aku kuwatir yen sirahku mengko langsung mbledhos krungu
pangalembanane. (ASR/P1/10)
„Aku khawatir kalau kepalaku nanti akan meledak mendengar
pujiannya.‟
Pada data (351) sirahku mengko langsung mbledhos „kepalaku nanti akan
meledak‟ menunjukkan pernyataan yang berlebihan, karena tersanjungnya
seseorang karena dipuji tidak akan pernah bisa membuat kepala orang tersebut
meledak. Dalam hal ini menggambarkan takut menjadi besar kepala karena terlalu
disanjung.
125
(352) Intan mung mesem tipis. Atine rasane kaya diiris. (ASR/P9/99)
„Intan hanya tersenyum tipis. Hatinya seperti tersayat.‟
Data (352) atine rasane kaya diiris „hatinya terasa seperti disayat‟
menunjukkan pernyataan sakit yang dirasa berlebihan, yang rasanya seperti
disayat. Faktanya kita tidak pernah tau bagaimana rasanya hati kalau disayat,
karena hati merupakan organ dalam yang terlindungi oleh rangka sehingga tidak
bisa begitu saja disayat.
(353) Intan kaget kepati weruh sapa sing teka. (ASR/P23/251)
„Intan kaget bukan kepalang melihat siapa yang datang.‟
Data (353) kaget kepati „kaget bukan kepalang‟, menunjukkan
pengungkapan yang berlebihan. Rasa kaget yang dialami seperti membuat orang
mati jika mendengarnya. Faktanya manusia tidak pernah tau kapan dirinya akan
meninggal. Kondisi tersebut digambarkan dengan situasi kaget bukan kepalang.
(354) Tatu ing njero ati iku kaya-kaya urip, lan sawayah-wayah bisa
manjalma dadi kanker ganas kang nggrogoti jiwa raga.
(ASR/P25/271)
„Luka dalam hati itu seperti hidup, dan sewaktu-waktu bisa
menjelma menjadi kanker ganas yang menggerogoti jiwa raga.‟
Data (354) tatu ing njero ati iku kaya-kaya urip, lan sawayah-wayah bisa
manjalma dadi kanker ganas „luka dalam hati itu seperti hidup, dan sewaktu-
waktu bisa menjelma menjadi kanker ganas‟ menunjukkan pernyataan yang
berlebihan, luka lama di dalam hati dianggap bisa menjelma menjadi kanker
ganas, karena penyakit kanker ganas tidaklah disebabkan karena luka hati,
melainkan karena pola hidup yang tidak sehat.
(355) Ora merga anggone nyawang super mesra, ning sorote mripat ing
foto kuwi katon sumunar luwih endah tinimbang sewu lintang.
(ASR/P30/324)
„Bukan karena dirinya melihat super mesra, tapi sorot matanya
difoto itu seperti bersinar lebih indah daripada seribu bintang.‟
126
Data (355) ning sorote mripat ing foto kuwi katon sumunar luwih endah
tinimbang sewu lintang „tapi sorot matanya difoto itu seperti bersinar lebih indah
daripada seribu bintang‟, pernyataan tersebut dianggap berlebihan, karena pada
kenyataanya gambar dalam foto tidak dapat memunculkan sinar, apalagi sinar
yang dideskripsikan terlihat lebih indah daripada seribu bintang.
11. Koreksio
Koreksio atau epanortosis merupakan gaya bahasa yang pada wujud
awalnya menegaskan sesuatu, tetapi kemudian menyangkal atau memperbaikinya.
(356) Intan langsung bali menyang ruwang kerjane dhewe saperlu tata-
tata, eh jane ora tata-tata. Mung jupuk tas karo mbenakake lipstik
lan ngandeli pupure sethithik. (ASR/P2/15)
„Intan langsung balik ke ruang kerjanya sendiri sambil bersiap-siap,
eh sebenarnya tidak bersiap-siap. Hanya mengambil tas dan
membetulkan lipstik dan menebalkan bedaknya sedikit.‟
Data (356) mewujudkan majas koreksio dengan melakukan pengkoreksian
pada pernyataan sebelumnya, ditandai dengan kalimat Intan langsung bali
menyang ruwang kerjane dhewe saperlu tata-tata „Intan langsung balik ke ruang
kerjanya sendiri sambil bersiap-siap‟ kemudian dikoreksi dalam kalimat
selanjutnya menjadi eh jane ora tata-tata. Mung jupuk tas karo mbenakake lipstik
lan ngandeli pupure sethithik „eh sebenarnya tidak bersiap-siap. Hanya
mengambil tas dan membetulkan lipstik dan menebalkan bedaknya sedikit‟
12. Sarkasme
Sarkasme adalah acuan yang lebih besar dari ironi dan sinisme.Gaya bahasa
ini selalu menyakitkan dan kurang enak didengar (Gorys Keraf, 2006:14).
Sarkasme dianggap sebagai gaya bahasa sindiran yang paling kasar karena
menggunakan kata-kata tertentu yang tidak sopan. Adapun data yang termasuk ke
dalam sarkasme adalah sebagai berikut.
127
(357) “Dasar lonthe! Plak...!” Tangane Bregas mampir ing pipine
Intan.(ASR/P2/23)
“Dasar lonthe! Plak...!” Tangan Bregas mendarat di pipinya Intan.‟
(358) “yen dudu bonekah njur apa? WTS? Sebab mung WTS utawa
lonthe sing gelem ngrebut bojone liyan.” (ASR/P30/326)
„kalau bukan boneka terus apa? WTS? Sebab hanya WTS atau
lonthe yang mau merebut suami orang.‟
(359) “Dhasar wong wedok gatel!” (ASR/P11/116)
„Dasar wanita gatel!‟
(360) “aku ngerti, kowe selak gatel kepengin bisa sesandhingan karo
dhemenanmu...(ASR/P12/125)
„Aku paham, kamu sudah keburu gatal berkeinginan bisa
bersandingan dengan selingkuhanmu...‟
(361) Kowe wanita lemer! Saiki kowe arep endha? (ASR/P13/136)
„Kamu wanita selingkuh! Sekarang kamu mau mengelak?‟
(362) “Geneya kok ndadak mulih barang, kok ora ngeloni lonthemu wae,”
kandhane Ines karo menjet remote ing tangane. Tivi mati pet!
(ASR/P20/217)
„Kenapa kok harus pulang segala, kok tidak menemani
selingkuhanmu saja,” kata Ines sambil memencet remote
ditangannya. Tv langsung mati!‟
(363) Umpama ana sing digetuni dening Intan jroning uripe ing donya iki,
yaiku patemone karo Bregas, Priya nggantheng sing pranyata
awatak sato lan duwe ati iblis. (ASR/P24/262)
„Seumpama ada yang disesali oleh Intan selama hidupnya di dunia
ini, yaitu pertemuannya dengan Bregas, pria ganteng yang nyatanya
berwatak binatang dan mempunyai hati iblis.‟
(364) Ah, Bregas Jatmika, priya iku kaya dene iblis apengawak
manungsa. Geneya biyen dheweke bisa ketarik karo manungsa iblis
kaya iku? (ASR/P25/271)
„Ah, Bregas Jatmika, lelaki itu seperti halnya iblis berbadan
manusia. Kenapa dulu dirinya bisa tertarik dengan manusia iblis
seperti itu?‟.
(365) Ah, kuwi tresnane wong kenthir alias ora waras.(ASR/P29/314)
„Ah, itu cinta orang gila alias tidak waras.‟
(366) “Kurang ajar! Dheweke wis kumawani ngilani dhadhaku!”
(ASR/P5/47)
„Kurang ajar! Dirinya sudah berani menghina dadaku!‟
128
(367) “Aku ra peduli. Dhasar wong lanang bajingan.” (ASR/P31/334)
„Aku tidak peduli. Dasar laki-laki bajingan.‟
Data (357) sampai (367) terdapat gaya bahasa sarkasme, yaitu berupa
sebutan kasar yang ditunjukan kepada seseorang, yang sebagian besar sebutan
tersebut bahasa kasar khas daerah Jawa yang berkaitan dengan perselingkuhan,
seperti (357) lonthe , (358) bonekah, WTS, (359) gatel, (360) dhemenanmu, (361)
lemer, (362) lonthemu, (363) awatak sato dan ati iblis, (364) iblis apengawak
manungsa „iblis berbadan manusia‟ dan manusia iblis „manusia iblis‟, (365)
wongkenthir alias orawaras, (366) kurang ajar, (367) bajingan. Kata lonthe,
gatel, bajingan merupakan bahasa kasar khas daerah Jawa yang inti artinya adalah
kurang ajar. Namun di sisi lain kata (362) lonthemu „selingkuhanmu‟ dapat
diartikan pula sebagai selingkuhan, orang yang suka bermain wanita disebut (357)
lonthe, orang yang diselingkuhi disebut (360) dhemenanmu „selingkuhanmu‟,
sedangkan wanita yang suka bermain selingkuh disebut dengan (361) lemer.
Perbuatan selingkuh termasuk kedalamperbuatan yang (366) kurang ajar „kurang
ajar‟.
Data (363) awatak sato „berwatak binatang‟ dan ati iblis „berhati iblis‟
adalah umpatan yang biasanya ditujukan kepada orang yang kita benci karena
sudah pernah menyakiti dan sering berbuat kasar. Data (364) iblis apengawak
manungsa „iblis berbadan manusia‟ dan manusia iblis „manusia iblis‟ adalah salah
satu sindiran kasar dari wujud kemarahan seseorang terhadap orang lain yang
dianggap bertindak kasar, dan dianggap telah membuat trauma mendalam, tokoh
yang dimaksud adalah Bregas Jatmika, mantan suami Intan Purnami. Sedangkan
(365) wong kenthir „orang gila‟ dan ora waras „tidak waras‟ sebagai umpatan
yang ditunjukan seseorang sebagai ungkapan kemarahan.
129
13. Erotesis
Erotesis atau pertanyaan retoris adalah gaya bahasa mempergunakan
kalimat tanya sebagai pertanyan retoris yang memiliki maksud untuk mencapai
efek mendalam, namun tidak mengharapkan suatu jawaban.
(368) “Tresna?” swara ing teleng atine. Intan mlenggak. Apa bener aku
tresna karo dheweke? Apa bener perkawinanku karo dheweke
adhedhasar tresna? Pitakone marang awake dhewe. (ASR/P3/31)
“Cinta? suara di dalam hatinya. Intan lenggak-lenggok. Apa benar
aku cinta dengan dia? Apa benar perkawinanku dengan dia
berdasarkan cinta? Tanyanya pada dirinya sendiri.‟
(369) Apa aloke sing lanang mengko?(ASR/P3/33)
„Apa kata suaminya nanti?‟
(370) Nanging Sekar Melur terus kepriye? Iku tansah dadi pamikiran.
(ASR/P3/33)
„Tetapi Sekar Melur terus bagaimana? Itu begitu menjadi pikiran.‟
Data (368) sampai (370) mewujudkan gaya bahasa retoris yang digunakan
untuk menanyakan apakah yang akan terjadi kemudian. Pertanyaan tersebut tidak
memerlukan jawaban dari orang lain, karena jawabannya sudah bisa dijawab
penanya sendiri setelah mengalami segala kejadian yang sebelumnya.
(371) Apa sesuk isih ana angete srengenge
Sing bakal aweh prasapa? (ASR/P4/34)
„Apa besok masih ada matahari‟
Yang bakal memberi sumpah untuk tidak melakukan?‟
(372) Apa sing kudu digelani? Ing terase nasip, rakitan crita pancen ora
tau sampurna. (ASR/P5/45)
„Apa yang harus disesalkan? Di hadapan nasib, rakitan cerita
memang tidak pernah sempurna.‟
(373) Prasasti lawas kang tinatah ing tapak sejarah
Banjur kakubur lebet, adoh saka ranggehan angkah.
Apa iya kudu didhudhah ? (ASR/17/176)
„Prasasti lama yang tertatah di tapak sejarah‟
„Lalu terkubur dala, jauh dari jangkauan maksud‟
„Apa iya harus dibuka?‟
130
Data (371) sampai (373) adalah penggambaran gaya bahasa retoris yang
digunakan untuk menanyakan kepastian dari apa yang akan terjadi, tentang apa
yang disesalkan, dan tentang kebingungan mengenai lembaran lama yang sudah
ditutupnya rapat-rapat. Pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab, karena yang
sudah pasti bisa menjawab adalah penanya itu sendiri.
14. Metonimia
Metonimia berasal dari bahasa Yunani meta „menunjukkan perubahan‟ dan
anoma „nama‟, dapat disimpulkan metonimia adalah suatu gaya bahasa yang
mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu ha lain, karena mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil
penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk
akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya (Gorys Keraf, 2010:142).
Adapun penggunaan gaya bahasa metonimia terdapat pada data dibawah ini.
(374) Dina iku uga Toyota Yaris werna abang metalik kuwi sida digawa
bali menyang omahe. (ASR/P2/19)
„Hari itu juga Toyota Yaris warna merah metalik itu jadi dibawa
pulang kerumahnya.‟
(375) Ing parkiran mung ana kendharaan siji, Toyota Land Cruiser putih
metalik, duweke. (ASR/P18/197)
„Di parkiran cuma ada satu kendaraan, Toyota Land Cruiser putih
metalik, miliknya‟
Data (374) dan (375) merupakan wujud penggunaan gaya bahasa
metonimia. Hal tersebut terbukti, terdapat kata Toyota Yarisdan Toyota Land
Cruiser yang mendengarnya kita akan terpacu kepada sebuah mobil. Maksudnya
mobil tersebut bermerk Toyota. Penggunaan gaya bahasa metonimia ini
difungsikan untuk mengurangi kemonotonan bahasa, karena meskipun
menggantinya dengan sebutan lain, pembaca masih tetap paham akan maksudnya.
131
15. Polisindenton
Polisindenton adalah gaya bahasa menyebutkan beberapa benda, hal, atau
keadaan secara berurutan dengan mempergunakan kata sambung.
(376) Sawise ngentekake cemilan lan ngombe putih, Intan banjur bali
mlebu kamarae, salin penganggo sarta dandan saperlune njur
jumangkah marani bapake ing teras. (ASR/P8/86)
„Setelah menghabiskan cemilan dan minum putih, Intan kemudian
kembali masuk kamarnya, ganti baju dan berhias seperlunya lalu
berjalan menghampiri bapaknya di teras.‟
Data (376) merupakan perwujudan gaya bahasa polisindenton, yaitu gaya
bahasa yang menyebutkan keadaan secara berturut-turut dengan mempergunakan
kata sambung yang menceritakan keadaan sawise ngentekake cemilan lan ngombe
putih „setelah menghabiskan cemilan dan minum putih‟ kemudian dilanjutkan
Intan banjur bali mlebu kamarae, salin penganggo sarta dandan saperlune „Intan
kemudian kembali masuk kamarnya, ganti baju dan berhias seperlunya‟ yang
dibuktikan dengan penggunaan kata sambung banjur „kemudian‟ dan kata sarta
„dan‟, dan menuju keadaan berikutnya yaitu njur jumangkah marani bapake ing
teras „lalu berjalan menghampiri bapaknya di teras‟ dibuktikan kata sambung njur
„lalu‟ untuk menyatakan keadaan berikutnya.
16. Alegori
Alegori atau allgoria: allos,lain, agoreurein: ungkapan, pernyataan adalah
gaya bahasa yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan cara lain, melalui
kiasan atau penggambaran.
(377) Nanging beras wis kebacut dadi liwet, ora bisa bali wutuh dadi
beras maneh. (ASR/P9/95)
„Tetapi beras sudah terlanjur dimasak, tidak bisa utuh menjadi beras
lagi.‟
132
Data (377) menunjukkan penggambaran penggunaan gaya bahasa alegori,
yaitu terdapat kata beras wis kebacut dadi liwet, ora bisa bali wutuh dadi beras
maneh „beras sudah terlanjur dimasak, tidak bisa utuh menjadi beras lagi‟
ungkapan tersebut untuk menggantikan keadaan yang sudah terjadi tidak mungkin
untuk dirubah lagi, seperti halnya pernikahan Bregas dengan Intan yang sudah
terjadi, tidak mungkin dirubah karena sudah ada Sekar anaknya semata wayang.
(378) Aku salah merga menilai wong mung saka gebyare. Ibarate milih
barang aku kepencut marang bungkuse, marang kemasane, ora
naliti luwih adoh apa isine uga apik kaya tampilan njabane.
(ASR/P10/102)
„Aku salah karena menilai orang hanya dari luarnya. Ibaratnya
memilih barang aku tertarik dengan bungkusnya, pada kemasannya,
tidak meneliti lebih dalam apa isinya juga bagus seperti tampilan
luarnya.‟
Data (378) merupakan wujud gaya bahasa alegori, yaitu terdapat pada kata
aku salah merga menilai wong mung saka gebyare „aku salah karena menilai
orang hanya dari luarnya‟, dengan pengibaratan ibarate milih barang aku
kepencut marang bungkuse, marang kemasane, ora naliti luwih adoh apa isine
uga apik kaya tampilan njabane „ibaratnya memilih barang aku tertarik dengan
bungkusnya, pada kemasannya, tidak meneliti lebih dalam apa isinya juga bagus
seperti tampilan luarnya‟. Pengibaratan tersebut digunakan untuk mengganti
pengalaman Intan yang hanya melihat Bregas dari penampilan luarnya saja, Intan
terkecoh dengan penampilan Bregas yang ganteng dan perawakan tubuh
proposional.
17. Asindenton
Menurut Gorys Keraf, 2004:131 asindenton adalah gaya bahasa yang berupa
acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa
133
yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk ini
biasanya dipisahkan dengan koma.
(379) “Yen ing rumah makan liyane piye? Pring Sewu, Lombok Abang,
Lombok cimpling, Seruni, apa ngendi kek,..(ASR/P17/180)
„Kalau dirumah makan yang lain bagaimana? Pring Sewu, Lombok
Abang, Lombok cimpling, Seruni, apa dimana gitu,..‟
(380) Bisa ngaras mripate, pipine, lathine, njur...ah, ora!Yen sing keri
dhewe kuwi Pram isih bisa ngendhaleni. (ASR/P20/214)
„Bisa mencium matanya, pipinya, bibirnya, terus...ah, tidak! Kalau
yang terakhir sendiri itu Pram masih bisa mengendalikan.‟
Data (379) dan (380) merupakan penggambaran gaya bahasa asindenton,
seperti (379) Pring Sewu, Lombok Abang, Lombok cimpling, Seruni, apa ngendi
kek,..‟Pring Sewu, Lombok Abang, Lombok cimpling, Seruni, apa dimana gitu,..‟,
ketika menyebutkan berbagai pilihan tidak dengan kata hubung. Begitu pula data
(380) bisa ngaras mripate, pipine, lathine, njur...ah, ora! „bisa mencium matanya,
pipinya, bibirnya, terus...ah, tidak!‟ juga tanpa menggunakan kata penghubung,
karena dianggap semua pilihan tersebut sederajat.
Tabel 2. Persentase Penggunaan Gaya bahasa dalam Novel Alun
Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn
No Penggunaan Gaya Bahasa Jumlah Penggunaan
Gaya Bahasa (X)
Persentase
1. Simile 13 18,3
2. Interupsi 2 2,8
3. Antonomasia 3 4,2
4. Sinekdoce 2 2,8
5. Tautologi 2 2,8
6. Metafora 5 7,1
7. Eufemisme 2 2,8
8. Personifikasi 10 14,1
9. Litotes 1 1,4
134
10. Hiperbola 6 8,5
11. Koreksio 1 1,4
12. Sarkasme 11 15,5
13. Erotesis 6 8,5
14. Metonimia 2 2,8
15. Polisindenton 1 1,4
16. Alegori 2 2,8
17. Asindenton 2 2,8
Jumlah 71 100
Keterangan:
X = Banyak penggunaan gaya bahasa
ΣX = Total keseluruhan penggunaan gaya bahasa
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa penggunaan gaya bahasa yang
sering digunakan oleh pengarang adalah gaya bahasa simile ditemukan pada 13
data (18,3%). Penggunaan gaya bahasa simile tersebut bertujuan untuk
mengibaratkan serta membandingkan suatu hal dengan hal lain agar makna
ataupun hal yang dirasakan oleh pelaku dapat tersampaikan dengan jelas.
Sehingga pembaca seolah-olah terhanyut dalam suasana yang tercipta didalam
alur novel.
D. Aspek Pencitraan dalam Novel Alun Samudra Rasa Karya Ardini
Pangastuti Bn
Sebagai reproduksi mental, pencitraan merupakan suatu ingatan masa lalu
yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual.
Pencitaan menurut Wellek dan Warren (dalam Sutejo 2010:20) dibagi menjadi 5
macam yaitu citra penglihatan (visual imagery), citra pendengaran (audio
imagery), citra penciuman, citra perabaan (tactil imagery) dan citra gerak
(movement imagery). Aspek pencitraan yang hadir dalam sebuah novel
135
dimaksudkan untuk mensugestikan pembaca larut dalam pengalaman visual yang
ada dalam cerita. Berikut ini pencitraan yang ada dalam novel Alun Samudra
Rasa.
1. Citra Penglihatan (Visual Imagery)
Citra penglihatan adalah citraan yang memberikan rangasangan kepada
indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat.
Citra penglihatan dalam NASR dikategorikan menjadi beberapa bagian, di
antaranya terdapat hasil penglihatan yang mendeskripsikan keadaan dalam cerita,
mendeskripsikan tetang Intan, Bregas, Sekar Melur, Pram, dan tamu pembeli
lukisan ikan koi. Berikut adalah data-data yang termasuk kedalam citra
penglihatan (visual imagery).
(381) swasana langit sing mendhung....(ASR/P1/1)
‘suasana langit yang mendung‟
(382) Kamangka nalika budhal saka kos-kosan langite ora patia
mendhung banget. Isih ana sulake padhang. (ASR/P3/29)
„Padahal saat berangkat pergi dari kos-kosan langitnya tidak begitu
mendung sekali. Masih ada awan cerah‟
(383) “...,”kandhane Pram karo masrahake pigura sing dibuntel kertas
coklat. (ASR/P7/75)
„...” kata Pram sambil menyerahkan pigura yang dibungkus kertas
coklat‟.
(384) Kaendahanmu rembulan, katon mbleret ing remenge pedhut wengi.
(ASR/P13/131)
„Keindahan bulan, terlihat meredup di gelapnya kabut malam‟
(385) Ing taman, kembang-kembang mekrok mamerake kaendahane.
(ASR/P16/164)
„Di taman, bung-bunga mekar memamerkan keindahannya‟
(386) Sawah, kebon lan wit-witan ijo ngrembuyung ngupengi bangunan
pomahan pendhudhuk, katon endah sinawang saka kadohan.
(ASR/P28/296)
136
„Sawah, kebun dan pepohonan hijau lebat mengelilingi bangunan
rumah penduduk, terlihat indah dilihat dari kejauhan‟
(387) Langit timbreng
Sajembare panyawang mung ana ireng lan peteng.. (ASR/P30/319)
„langit mendung‟
„Seluas mata memandang hanya ada hitam dan gelap‟
(388) Rembulan gumandhul kepleng ing langit, ing antaranemayuta-yuta
lintang.(ASR/P31/339)
„Bulan menggantung nyata di langit, dia antara berjuta-juta bintang.‟
Data (381) sampai (388) merupakan citraan penglihatan hasil rangsangan
yang didapat melalui indera penglihatan yang mendeskripsikan suasana dan
keadaan yang ada dalam cerita ASR. (381) swasana langit sing
mendhung„suasana langit yang mendung‟ yaitu menceritakaan latar yang ada
dalam cerita ASR langit sedang mendung. (382) langite ora patia mendhung
banget „langitnya tidak begitu mendung sekali‟, pencitraan langit dalam data ini
menandakan kala Intan dan Bregas bepergian langat kala itu cerah, tidak begitu
mendung. Data (383) ...masrahake pigura sing dibuntel kertas coklat
„...menyerahkan pigura yang dibungkus kertas coklat‟, kata kertas coklat „kertas
coklat‟ merupakan tangkapan hasil dari penglihatan mata saat mendeskripsikan
wujud barang dan warna pemberian dari Pram. Data (384) kaendahanmu
rembulan, katon mbleret ing remenge pedhut wengi „keindahan bulan, terlihat
meredup di gelapnya kabut malam‟, menceritakan bulan di dalam cerita tertutup
oleh kabut malam. Data (385) dan (388) mendeskripsikan bunga yang mekar di
taman ditandai dengan kalimat (385) Ing taman, kembang-kembang mekrok
mamerake kaendahane „di taman, bunga-bunga mekar memamerkan
keindahannya‟, dan kata (386) wit-witan ijo „pepohonan hijau‟, terdapat kata
mekrok „mekar‟ dan ijo „hijau‟ yang merupakan rangsangan dari hasil indera
137
penglihatan. Data (387) mendeskripsikan hasil yang ditangkap oleh organ visual
mata ketika melihat keadaan mendung semua terlihat hitam dan gelap. Hal
tersebut terbukti adanya kata sajembare panyawang mung ana ireng lan peteng
„seluas mata memandang hanya ada hitam dan gelap‟. Data (388) citraan
penglihatan terletak pada kalimat rembulan gumandhul kepleng ing langit, ing
antarane mayuta-yuta lintang „bulan menggantung nyata di langit, dia antara
berjuta-juta bintang‟, merupakan hasil pendeskripsian mengenai bulan kala itu
yang berjajar dengan beribu-ribu bintang dilangit.
(389) Wanita karier sing ayu lan enerjik. (ASR/P1/1)
„Wanita karier yang cantik dan enerjik‟
(390) Raine katon bingar. (ASR/P1/1)
„Wajahnya nampak bahagia‟
(391) Sumringah kaya padatan. (ASR/P1/1)
„Bahagia seperti biasanya‟
(392) Mripate katon urip lan lambene kaya-kaya nyungging esem.
(ASR/P1/3)
„Matanya nampak hidup dan bibirnya seakan-akan tersenyum‟
(393) Mripate katon mbendhul lan abang amarga kesuwen ngempet
tangis. (ASR/P3/26)
„Matanya nampak besar dan merah karena terlalu lama menahan
tangis‟
(394) Pipine sing mau kena tangane sing lanang uga isih nyisahake werna
abang lan malah katon rada bengeb. (ASR/P3/26)
„Pipinya yang tadi terkena tangan suaminya dan masih menyisakan
warna merah dan terlihat bengkak‟
(395) ...golek banyu anget kanggo ngompres pipine sing isih
tembem.(ASR/P3/27)
„...Mencari air hangat untuk mengompres pipinya yang masih
tembem‟
(396) Mripate rasane isih mbriyut, nanging dipeksakake tangi.
(ASR/P4/43)
„Matanya terasa masih ngantuk, tetapi dipaksa bangun‟
138
(397) Sing katon cetha, mripate ora sumunar endah kaya biasane,...
(ASR/P7/70)
„Yang nampak jelas, matanya tidak bersinar indah seperti
biasanya,...‟
(398) Intan mung mesem tipis. Atine rasane kaya diiris. (ASR/P9/99)
„Intan hanya tersenyum tipis. Hatinya seperti diiris.‟
(399) Intan mleruk. (ASR/P10/101)
„Intan cemberut‟
(400) “Ana apa mbakyu, wajahmu kelihatan sendu,” aloke Ndari karo
nyedhaki mejane. (ASR/P12/129)
„Ada apa mbak, wajahmu kelihatan sendu,” tanya Ndari sambil
mendekati mejanya.‟
(401) Digatekake, awake Intan tetep langsing lan singset kaya isih prawan
lan raine tetep wae sumringah senajan mripate katon mendung.
(ASR/P16/171)
„di perhatikan, badannya Intan tetap langsing dan singset seperti
masih prawan dan mukanya tetap ceria meskipun matanya nampak
mendung‟
(402) “Masukan soal apa?” Pram nyawang Intan. Wanita iku isih tetep
ayu lan katon luwih mateng. (ASR/P17/184)
„Masukan soal apa?” Pram menatap Intan. Wanita itu masih tetap
cantik dan terlihat matang‟
(403) “Eh Nami awakmu kurang sehat, Nami,” aloke manehsawise
migatekake pasuryane Intan sing pancen katon rada pucet.
(ASR/P26/274)
„Eh Nami dirimu kurang sehat, Nami,” kata dia sehabis
memperhatikan wajah Intan yang memang terlihat pucat.‟
(404) Pasuryane ora mung saderma pucet, nanging uga katon yen ora
sehat. Lan mripate, senajan Intan ora crita nanging Pram ngerti yen
wanita kang banget diasihi iku lagi digubel masalah. Mripate iku
katon goreh. (ASR/P26/275)
„Wajahnya tidak hanya sekedar pucat, tetapi juga terlihat tidak sehat.
Dan matanya, meskipun Intan tidak bercerita tetapi Pram tau kalau
wanita yang sangat dikasihi itu lagi terbelit masalah. Matanya itu
nampak luka‟
(405) Luwih-luwih nalika nyawang pasuryane sing alum lan mripat sing
biasane mencorong endah saiki uga katon rada mbleret.
(ASR/P27/292)
„Lebih-lebih saat melihat wajahnya yang lemas dan mata yang
biasanya indah sekarang juga nampak sedikit redup‟
139
Data (389) sampai (405) merupakan citraan penglihatan yang
mendeskripsikan keadaan Intan selama di dalam cerita. Data (389) ayu lan enerjik
„cantik dan enerjik‟, mulanya Intan dideskripsikan sebagai gadis cantik yang
enerjik, dengan muka terlihat (390) bingar „bahagia‟, (391) sumringah „ceria‟,
dengan kelebihan mempunyai mata (392) urip lan lambene kaya-kaya nyungging
esem „hidup dan bibirnya seakan-akan tersenyum‟. Data (393) mripate katon
mbendhul lan abang amarga kesuwen ngempet tangis „matanya nampak besar dan
merah karena terlalu lama menahan tangis‟, mendeskripsikan mata Intan yang
besar dan nampak merah karena terlalu lama menangis memingat tamparan dari
suaminya. Terlihat dari kata mbendhul „besar‟ dan abang „merah‟. Data (394)
mendeskripsikan pipi Intan yang berwarna merah dan nampak lebam setelah
ditampar suaminya. Terlihat data (394) terdapat kata abang „merah‟ dan bengeb
„bengkak‟. Data (395) mendeskripsikan pipi Intan yang masih nampak tembem,
terbukti adanya kata tembem pada kalimat golek banyu anget kanggo ngompres
pipine sing isih tembem „mencari air hangat untuk mengompres pipinya yang
masih tembem‟. Data (396) mripate rasane isih mbriyut, nanging dipeksakake
tangi „matanya terasa masih ngantuk, tetapi dipaksa bangun‟, mendeskripsikan
hasil rangsangan yang didapat indera penglihatan mengenai kondisi mata Intan
yang masih belum dapat terbuka lebar saat bangun tidur.
Data (397) sampai (400) merupakan citraan penglihatan mengenai sosok
Intan setelah ditampar oleh Bregas. Data (397) mripate ora sumunar „matanya
tidak bersinar‟, merupakan hasil pendeskripsian oleh Ibu Intan yang melihat
adanya perubahan dari diri Intan saat datang kekediaman orang tuanya, yaitu
matanya tidak bersinar seperti biasa. Data (398) Intan mung mesem tipis „Intan
140
hanya tersenyum tipis‟ adalah citraan penglihatan Pram saat bertemu di toko
buku. Data (399) Intan mleruk „Intan cemberut‟ merupakan ekspresi Intan saat
sedang berbicara dengan Pram. Data (400) “Ana apa mbakyu, wajahmu kelihatan
sendu,” aloke Ndari „ada apa mbak, wajahmu kelihatan sendu,” tanya Ndari‟,
pertanyaan yang diucapkan ndari menceritakan kekagetan raut muka Intan yang
beda dari biasanya, terbukti dengan adanya kata kelihatan sendu „terlihat sendu‟.
Data (401) digatekake, awake Intan tetep langsing lan singset kaya isih
prawan lan raine tetep wae sumringah senajan mripate katon mendung
„diperhatikan, badannya Intan tetap langsing dan singset seperti masih prawan dan
mukanya tetap ceria meskipun matanya nampak mendung‟, termasuk dalam
citraan penglihatan yang mendeskripsikan hasil penglihatan mengenai sosok Intan
yang masih tetap langsing dan singset seperti masih perawan, wajah Intan yang
tetap ceria meskipun matanya terlihat memikul beban yang berat di pikirannya.
Data (402) sampai (405) citraan penglihatan mengenai Intan yang terletak pada
(402) tetep ayu lan katon luwih mateng „tetap cantik dan terlihat matang‟
mendeskripsikan wajah Intan yang nampak cantik dan terlihat matang
dikondisinya saat itu. Data selanjutnya mendeskripsikan wajah Intan yang nampak
pucat dan tidak sehat, hal tersebut terdapat kata pucet „pucat‟ pada data (403)
pasuryane Intan sing pancen katon rada pucet dan (404) Pasuryane ora mung
saderma pucet, nanging uga katon yen ora sehat „wajahnya tidak hanya sekedar
pucat, tetapi juga terlihat tidak sehat‟. Data (405) Luwih-luwih nalika nyawang
pasuryane sing alum lan mripat sing biasane mencorong endah saiki uga katon
rada mbleret „lebih-lebih saat melihat wajahnya yang lemas dan mata yang
biasanya indah sekarang juga nampak sedikit redup‟, terdapat citraan penglihatan
141
saat melihat wajah Intan yang wajahnya nampak lemas, matanya tidak bersinar
indah, terlihat agak redup, seperti (404) mripate sing endah iku katon goreh
„matanya yang indah menyimpan masalah.
(406) Mripate katon kumilat nyawang Bregas...(ASR/P2/20)
„Matanya tajam melihat Bregas...‟
Citraan penglihat data (406) menggambarkan mata Intan yang nampak
mengkilat dalam artian menatap dengan tajam saat melihat Bregas.
(407) Rupane Bregas sing nggantheng cocok karo jenenge, kanthi dedeg
lan bobot awak sing imbang,...(ASR/P3/8)
„Wajahnya Bregas yang tampan cocok dengan namanya, dengan
tinggi dan berat yang seimbang,...‟
(408) Raine Bregas sanalika langsung abang. Tangane nggegem. Kertas
diremet karo untune digeget rapet .(ASR/P8/78)
„Wajahnya Bregas saat itu juga merah. Tangannya menggenggam.
Kertas diremas sambil giginya digigit rapat‟
(409) Mripate Bregas murup abang. (ASR/P13/134)
„Matanya Bregas merah menyala‟
Citraan penglihatan data (407) sampai (409) menggambarkan sosok Bregas.
Data (407) mendeskripsikan sosok Bregas yang tampan, dengan badan dan berat
badan yang proposional. Data (408) mendeskripsikan wajah Bregas berwarna
merah ketika marah. Sedangkan data (409) mendeskripsikan mata Bregas
berwarna merah saat sedang marah dengan Intan.
(410) Ditamat-tamatke raine sing kaya rembulan ndadari, pipine
thipluk-thipluk lan awake katon kiyeng mratandhani yen sehat.
(ASR/P7/74)
„Diliat-liat wajahnya yang seperti rembulan ndadari, pipinya tembem
dan badannya gemuk mempertandakan kalau sehat‟
Citraan penglihatan data (410) mendeskripsikan kondisi Sekar yang nampak
seperti rembulan ndadari, pipinya tembem dan badannya terlihat gemuk yang
mempertandakan Sekar sehat.
142
(411) Kecut! Bocah cilik iku nuduhake ekspresi sing lucu. Lambene
nyungir-nyungir karo mripate merem-merem. (ASR/P15/153)
„Kecut! Anak kecil itu menampakan ekspresi lucu. Bibirnya manyun
sambil menutup mata‟
Data (411) mendeskripsikan ekspresi Sekar saat mencoba memakan buah
mangga yang terasa kecut, bibirnya manyun sambil matanya merem-merem.
(412) Saumpama sawayah-wayah kowe butuh bantuan kowe bisa kontak
aku,” ujare Mr. Tanaka nalika dipamiti. Mripate uga katon
mbrabak. Kembeng-kembeng. (ASR/P14/151)
„Seumpama sewaktu-waktu butuh bantuan kamu bisa mengkontak
aku,” kata Mr. Tanaka saat dipamati. MatanYa juga terlihat berkaca-
kaca‟
Citraan penglihatan data (412) mendeskripsikan Mr. Tanaka yang nampak
terharu ketika Intan pamit untuk mengundurkan diri dari perusahaannya.
(413) Saka lawang mlebu katon priya nganggo klambi garis-garis warna
biru lembut nenteng tas ireng lan nggawa stop map. (ASR/P16/173)
„Dari pintu nampak pria memakai baju garis-garis berwarna biru
lembut membawa tas hitam dan membawa stop map‟
Data (413) citraan penglihatan yang mendeskripsikan penampilan Pram
saat menghadiri seminar, yaitu dengan baju bergaris-garis warna biru lembut,
menenteng tas hitam dan membawa stop map.
(414) Tamu kuwi sawenehe wanita kang ayu merak ati. Nganggo sepatu
hak dhuwur, tas kulit import merek kondhang, rok sutra motif
kembang kanthi ndhuwuran polos warna abang maron saka bahan
kang alus. (ASR/P30/321)
„Tamu itu ternyata wanita cantik yang menyenangkan hati. Memakai
sepatu hak tinggi, tas kulit import bermerk terkenal, rok sutra motif
bunga dengan atasn polos berwarna merah marun dari bahan yang
halus ‟
Data (414) citraan penglihatan yang mendeskripsikan sosok Ines ketika
datang ke artshop Intan, yaitu dengan sepatu hak tinggi, tas kulit import, memakai
rok sutra bermotif bunga dengan atasan polos warna merah marun dengan bahan
yang halus.
143
(415) Mleset adoh karo bayangane Intan, tamu kuwi pranyata wanita ayu
umur-umurne watara seket taunan. Nanging isih katon enerjik,
kebak semangat. (ASR/P22/239)
„Meleset jauh dari bayangannya Intan, tamu itu adalah wanita cantik
berumur kira-kira lima puluh tahunan. Tetapi masih kelihatan
enerjik, penuh semangat.‟
Citraan penglihatan data (415) mendeskripsikan Miss. Clara yang nampak
masih cantik, enerjik, penuh semangat meskipun sudah berumur limapuluh
tahunan.
2. Citra Pendengaran (Audio Imagery)
Citra pendengaran adalah wujud dari pengalaman pendengaran atau audio.
Citra pendengaran dapat memberi rangsangan kepada indera pendengar sehingga
mengusik imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara utuh (Sutejo,
2010:21-22). Berikut data yang memuat mengenai citra pendengaran.
(416) Kuwi wae jenenge uga dudu sepedha montor, nanging sepedha
kumbang utawa udhug. Mbok menawa merga swarane sing
dhug...dhug...dhug...(ASR/P1/8)
„Itu sja namanya bukan sepeda motor, tetapi sepeda kumbang atau
udhug. Barang kali kalau karena suaranya yang
dhug...dhug...dhug...‟
Data (416) memberi gambaran mengenai penamaan sepeda kumbang atau
udhug, karena hasil mendengar bunyinya dari sepeda motor yang menimbulkan
suara dhug...dhug...dhug.. sehingga jaman dahulu sepeda motor disebut dengan
sebutan udhug.
(417) “Selamat ulang tahun?!” Pram narik tangane menyang papan sing
rada peteng ing pojok teras, banjur cup..cup!(ASR/P7/75)
„Selamat ulang tahun?!” Pram menarik tangannya menuju tempat
yang sedikit gelap dipojok teras, lalu cup..cup!‟
Data (417) adegan mencium dalam cerita bisa digambarkan dengan
onomatope cup...cup... karena ketika mencium dapat menimbulkan bunyi
144
cup..cup.., sehingga bunyi cup..cup dapat dijadikan sebagai penunjuk dari
mencium.
(418) Intan mung njegreg. Ora bisa kumecap. Jantunge dhag-dhig-dhug
ora karuan. (ASR/P8/87)
„Intan hanya terdiam. Tidak bisa berbicara. Jantungnya dhag-dhig-
dhug‟
(419) Intan nyendhekake sirahe ing dhadhane Pram, ngrungokake keteg
jantunge priya iku. Dhig-dhug, dhig-dhug...dinikmati swara kuwi.
(ASR/P28/308)
„Intan menyenderkan kepalanya di dada Pram, mendengarkan detak
jantung pria itu. Dhig-dhug, dhig-dhug...dinikmati suara itu‟
Data (418) dan (419) jantung diposisikan sebagai sumber bunyi karena
ketika sedang berdetak indera pendengar akan merekam suara jantung yang
berbunyi dhag-dhig-dhug.
(420) Banjur pyar...!!! Gelas tiba ing jobin.(ASR/P13/137)
„Lalu pyar...!!! Gelas jatuh ke lantai.‟
Data (420) terdapat onomatope kata pyar...!!! merupakan hasil bunyi
tangkapan bunyi oleh telinga sebagai sumber bunyi yang berasal dari gelas ketika
jatuh dan menimbulkan bunyi pyar...!!!.
(421) Mesin distater banjur....wer...bablas.(ASR/P17/181)
„Mesin distater lalu...wer...pergi‟
Data (421) mesin distater „mesin stater‟ dianggap sebagai sarana
menimbulkan bunyi wer „wer‟ yang ditangkap oleh telinga sebagai penunjuk
bahwa mesin menyala dan bergegas dijalankan.
(422) “Thok..thok!”
Tekan kono lamunane Intan ambyar. Gage dheweke menyat saka
lungguhe ing ngarep cendhela, mlaku marani lawang.
(ASR/P16/156)
“Thok..thok!”
„Sampai situ lamunan Intan pecah. Bergegas dirinya pergi dari
tempat duduk di depan cendela, berjalan menghampiri pintu‟
145
Data (422) di atas terdapat citra pendengaran, yaitu pada kata thok..thok!.
Suara thok..thok! merupakan bunyi hasil tangkapan telinga yang menandakan
suara yang ditimbulkan saat mengetuk sebuah pintu. Citraan tersebut dimasukkan
agar pembaca ikut merasakan situasi saat tokoh di dalamnya melamun dan
terkejut saat mendengar suara ketukan pintu.
3. Citra Penciuman
Citra penciuman adalah gambaran yang didapat dari hasil pengalaman
indera penciuman. Berikut data yang memuat citra penciuman.
(423) “Oh njenengan mabuk?” aloke maneh karo mlengos nalika
“aroma” alkohol kuwi ngabar saka ababe sing lanang.
(ASR/P4/40)
„Oh kamu mabuk?” tanyanya lagi sambil mlengos saat aroma
alkohol itu tercium dari bau mulut suaminya.‟
(424) Bubar kandha kaya mangkono Bregas langsung nyruput kopine.
Bregas ngrasakake nikmat. Aroma kopi sing sedhep kuwi uga
mahanani pikirane krasa luwih seger. (ASR/P12/122)
„Setelah bilang seperti itu Bregas langsung meminum kopinya.
Bregas merasakan nikmat. Aroma kopi yang sedap itu juga
menjadikan pikirannya terasa lebih segar.‟
Data (423) dan (424) menunjukkan pengarang yang memanfaatkan citraan
penciuman dengan menggunakan kata aroma „aroma‟. Data (423) memanfaatkan
kata aroma „aroma‟ pada kata aroma alkohol „aroma alkohol‟ untuk menandakan
aktivitas dari indra penciuman yaitu hidung yang mencium aroma alkohol. Data
(424) aroma kopi sing sedhep „aroma kopi yang sedap‟, terdapat penggunaan kata
aroma „aroma‟ menandakan aktivitas indera penciuman hidung menghirup aroma
kopi yang sedap.
146
4. Citra Perabaan (Tactil Imagery)
Citra perabaan adalah penggambaran hasil pengalaman yang didapat
melalui indera peraba. Menurut (Sutejo, 2010:21-22) citraan perabaan seringkali
menggambarkan bagaimana sesuatu secara “erotik” dan “sensual” dapat
memancing imajinasi pembaca. Berikut data yang memuat citra perabaan.
(425) Luwih-luwih nalika tangane nggrayangi pipine sing tilas kena
tangane sing lanang,...(ASR/P3/24)
„Lebih-lebih saat tangannya merabai pipinya bekas terkena tangan
suaminya‟
Data (425) menunjukkan citra perabaan yang memanfaatkan tangan untuk
meraba pipi. Hal tersebut terbukti terdapat kata tangane nggrayangi pipine „
tangannya merabai pipinya.
(426) Nanging elusan tangane Pram sing lembut nang sirahe mahanani
perasaane dadi ayem. (ASR/P3/30)
„Tetapi rabaan tangan Pram yang lembut di kepalanya menjadikan
perasaannua jadi tenang.‟
(427) ..”ujare Bu Sartana sareh karo ngelus rambute anake wadon.
Kebak asih.(ASR/P6/66)
„...”kata Bu Sartana sabar sambil mengelus rambut anak
perempuannya. Penuh kasih.‟
Data (426) dan (427) menunjukan citra perabaan tangan untuk mengelus-
elus tangan dan rambut. Hal tersebut dikuatkan dengan pada data (426) elusan
tangane Pram „elusan tangannya Pram‟, menandakan Pram sedang mengelus
tangan Intan. Data (427) dikuatkan pada kata ngelus rambute „mengelus
rambutnya‟. Hal ini menunjukkan kasih sayang seorang ibu yang ditandai dengan
Bu Sartana mengelus rambut anaknya.
(428) Bregas ngelus-elus pipine sing kena kaplokane sing wadon.
(ASR/P11/115)
„Bregas mengelus-elus pipinya yang terkena tamparan istrinya.‟
147
Citra perabaan pada data (428) digambarkan melalui elusan terhadap pipi,
yang dikuatkan adanya kata ngelus pipine „mengelus pipinya‟, sebagai tanda rasa
sakit bekas tamparan istrinya.
(429) Ora mung saderma ngelus geger, nanging diremet pundhake lan
diarasi rambute. (ASR/P21/227)
„Tidak hanya sekedar mengelus punggung, tetapi meremas pundak
dan dibelai rambutnya.‟
Data (429) pengarang menggunakan indera peraba tangan mengelus
punggung, meremas pundak dan membelai rambut, dikuatkan dengan kalimat
ngelus geger, nanging diremet pundhake lan diarasi rambute „mengelus
punggung, tetapi meremas pundak dan dibelai rambutnya‟. Perabaan yang
dilakukan sebagai wujud kasing sayang seorang pria terhadap wanita.
5. Citra Gerak (Movement Imagery)
Citra gerak merupakan penggambaran sesuatu yang sesungguhnya tidak
bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada
umumnya (Sutejo, 2010:21-22). Berikut data yang memuat citra gerak.
(430) Dasar lonthe!Plak...! Tangane Bregas mampir ing pipine Intan.
(ASR/P2/23)
„Dasar lonthe!Plak...! Tangannya Bregas mampir dipipinya Intan.‟
Data (430) menggambarkan citra gerak yang terbukti terdapat kata
onomatope plak...! „plak...!‟ sebagai wujud gerakan menampar dan dikuatkan
dengan keterangan selanjutnya yaitu tangane Bregas mampir ing pipine Intan
„tangannya Bregas mampir dipipinya Intan‟.
(431) Intan nyoba nggandheng lengene sing lanang, nanging tangane
langsung dikipatake dening Bregas.. (ASR/P2/20)
„Intan coba menggandeng lengan suaminya, tetapi tangannya
langsung dikibaskan.‟
148
Data (431) menggambarkan citra gerak tangan, dibuktikan adanya kata
nggandeng „menggandeng‟ dan dikipatake „dikibaskan‟ yang merupakan wujud
kata kerja aktif, ditandai dengan gerakan tangan yang menggenggam dan
mengibaskan tangan sebagai wujud penolakan.
(432) Intan menyat saka lungguhe, njupuk cangkir ing rak kanggo gawe
sereal minangka gantine sega. (ASR/P4/44)
„Intan bergegas dari duduknya, mengambil cangkir di rak untuk
embuat sereal sebagai pengganti nasi.‟
Citra gerak pada data (432) dibuktikan dengan kalimat Intan menyat saka
lungguhe, njupuk cangkir ing rak „Intan bergegas dari duduknya, mengambil
cangkir di rak‟, terdapat kata menyat saka lungguhe „bergegas dari duduknya‟
sebagai wujud awal gerak pada umumnya. Kemudian dilanjutkan dengan aktivitas
gerak berikutnya yaitu njupuk cangkir ing rak „mengambil cangkir di rak.
(433) Sekar ora wangsulan. Nanging langsung mulungake tangane lan
ngethapel njaluk gendhong. Banjur ngesun pipine bundane sengak-
sengok kiwa tengen. (ASR/P5/51)
„Sekar tidak menjawab. Tetapi langsung menyodorkan tanggannya
dan memeluk minta gendong. Lalu mencium pipi bundanya cipika-
cipiki kiri kanan.
Data (433) mewujudkan citra gerak memeluk meminta gendong, ditandai
dengan kata mulungake tangan lan ngetaphel njaluk gendhong „menyodorkan
tanggannya dan memeluk meminta gendong‟. Gerakan dihasilkan saat Sekar
menyodorkan tangan, dan memeluk erat ibunya.
(434) Wanita ing sisihe iku disawang banjur digapyuk. Tangane ngrayuk
awake Intan. (ASR/P20/213)
„Wanita di sampingnya itu dipandang lalu dipegang. Tangannya
merangkul tubuh Intan‟
Data (434) mewujudkan citra gerak yang ditandai dengan kata digapyuk
„disentuh‟ sebagai kata kerja pasif dan ngrayuk „merangkul‟ sebagai kata kerja
149
aktif yang digunakan untuk membuktikan adanya gerakan memegang dan
merangkul.
(435) Ines gregetan. Rumangsa diremehake. Ana majalah kandel ing meja
cedhake, diranggeh lan disawatake sing lanang. (ASR/P31/334)
„Ines geregetan. Merasa diremehkan. Ada majalah tebal di meja
dekatnya, diambil dan dilemparkan ke suaminya.‟
Citra gerak data (435) merupakan wujud gerakan tangan, dibuktikan dengan
kata diranggeh „diambil‟ dan disawetake „dilempar‟. Keduanya merupakan
bentuk kata kerja pasif yang menghasilkan proses gerak tangan.
(436) Nanging Clara gedheg lan pasuryane katon yen cuwa.
(ASR/P22/240)
„Tetapi Clara menggeleng kepala dan wajahnya terlihat kalau
kecewa‟.
Citra gerak data di atas merupakan wujud citra gerak kepala, dibuktikan
dengan kata gedheg „menggeleng kepala‟, menggelengkan kepala sebagai wujud
simbol penolakan seseorang.
Tabel 3. Persentase Aspek Pencitraan dalam Novel Alun Samudra Rasa
Karya Ardini Pangastuti Bn
No Aspek Pencitraan
Jumlah Aspek
Pencitraan (X)
Persentase
1. Citra Penglihatan 35 62,5
2. Citra Pendengaran 7 12,5
3. Citra Penciuman 2 3,5
4. Citra Perabaan 5 9
5. Citra Gerak 7 12,5
Jumlah 56 100
Keterangan:
X = Banyaknya aspek pencitraan
ΣX = Total keseluruhan aspek pencitraan
150
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa aspek pencitraan yang sering
digunakan oleh pengarang adalah citra penglihatan ditemukan sebanyak 35 data
(62,5%). Pemanfaatan citra penglihatan tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan
baik suasana maupun keadaan tokoh yang ada dalam cerita. Menjadikan tampak
nyata, membawa pembaca larut kedalam alur cerita seolah-olah ikut melihat
kejadian tersebut secara nyata.