BAB II CML

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1

DEFINISI

Gambar 1. Perkembangan Sel Darah Normal Leukemia ialah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk hemopoetik (Gambar 1.), sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok (clone) sel ganas tersebut didalam sumsum tulang, kemudian sel

leukemia beredar secara sistemik (1). Salah satu jenis leukemia ialah chronic myeloid leukemia. Chronic myeloid leukemia (CML) merupakan kelainan klonal dari stem sel pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif seperti agnogenic myeloid metaplasia, polisitemia vera, and thrombositemia primer. Chronic myeloid leukemia juga dikenal sebagai chronic myelocytic, myelogenous, atau granulocytic leukemia. Chronic myeloid leukemia (CML) juga merupakan keganasan yang berkembang lambat di sumsum tulang dengan ditandai berkembangnya leukosit dalam jumlah yang banyak (2,5). Chronic Myeloid Leukemia merupakan keganasan pertama yang memiliki kelainan kromosom spesifik yang unik yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia. Kromosom Philadelphia merupakan hasil dari translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 22 (t(9;22) (q34;q11)). Dan hal yang terpenting ialah adanya translokasi ABLI (Abelson)

protoonkogen dalam kromosom 9 dan BCR (breakpoint cluster region) gen di kromosom 22. Oleh karena itu, pada seorang CML akan ditemukan BCRABL positif. (3).

II.2

EPIDEMIOLOGI Secara epidemiologi, seluruh lapisan umur dapat terkena CML.

Insidensi CML sekitar 1-2 per 100.000 populasi. CML jarang mengenai anak kecil tetapi 15% pasien leukemia dewasa terdiagnosis CML. Pasien yang terdiagnosis CML, biasanya berumur antara 60-65 tahun. Tahun 2009, 5050 pasien telah didiagnosis CML dan 470 pasien dinyatakan meninggal di Amerika Serikat (3,6). Di Asia, insidensi chronic myeloid leukemia lebih rendah dibandingkan negara barat. Di negara barat, sebagian besar laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan wanita (7). Tabel 1. Karakteristik populasi CML di negara barat (8),

II.3

ETIOLOGI Etiologi CML (chronic myeloid leukemia) tidak diketahui secara pasti. Sedikit sekali evidence base mengenai keterkaitan faktor genetik pada pasien CML. Sebaliknya, pasien CML lebih merupakan penyakit yang

datang secara tiba-tiba dibandingkan keturunan. Menurut Jorge E.Cortes dkk (2011), paparan radiasi dan nuklir termasuk radioterapi juga dapat meningkatkan angka kejadian CML. Seperti halnya di Jepang, kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor Chernobil meledak. (9). II.4 KLASIFIKASI Chronic Myeloid Leukemia terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu (1) : a. Leukemia mieloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (chronic granulocytic leukemia, CGL) b. c. d. e. f. Leukemia mieloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-) Juvenile chronic myeloid leukemia (CML yang timbul pada anak-anak) Chronic neutrophilic leukemia Eosinophilic leukemia Chronic myelomonocytic leukemia (CMML) Menurut Chin Yuet (2001) secara sitogenetik terdapat 256 pasien terdiagnosis CML, 222 (86,7%) memiliki kromosom Philadelphia dan 34 (13.3%) memiliki karyotipe normal. Sekitar 222 pasien yang memiliki kromosom Ph-positif (Ph+) diantaranya 204 (91.9%) memiliki translokasi pada t(9;22) translocation dan 18 (8.1%) memiliki variasi tranlokasi (9 pasien dengan simple variant translocation dan 9 pasien dengan complex variant translocation). Selain itu, sekitar 33 (14.9%) dengan Ph+ memiliki

kelainan kromosom tambahan (10).

II. 5

PATOGENESIS Chronic Myeloid Leukemia memiliki kelainan di stem sel hematopoetik

(Gambar 1.) Berdasarkan hasil penelitian, pada pasien CML biasanya didapatkan adanya abnormalitas genetik berupa translokasi t(9;22) (q34;q11), yaitu terjadinya translokasi resiprokal antara lengan panjang dari kromosom 22 dan 9, yang menghasilkan kromosom baru yang kecil dibandingkan kromosom normal, yaitu kromosom philadelphia. Translokasi ini menyebabkan fusi gen yang dinamakan BCR - ABL gen (6).

Gambar 2. Translokasi kromosom 9 dan 22 (11) Richard (2002) telah melakukan penelitian dengan mengunakan tikus sebagai bahan percobaan dengan menginduksi gen BCR-ABL leukemia. Hal

ini, dapat memberikan pengetahuan baru yang penting tentang patofisiologi molekular penyakit ini. Menurut John dkk (2003), diketahui pada CML didapatkan splenomegali massive yang dihubungkan dengan kejadian leukositosis. Pada pasien CML, telah dideteksi bahwa adanya pembentukan kromosom abnormal yang disebut dengan Philadelphia (Ph1 atau Ph). Kromosom ini, merupakan kromosom 22 yang mengalami pemendekan (translokasi resiprokal). Hal ini terjadi, karena, didapatkan adanya gabungan (juxtaposisi) antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9(9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan proliferasi pada CML. Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen) yaitu bcr-abl oncogen. Gen baru akan mentranskripsikan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd). Timbulnya protein baru ini akan mempengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi yang menyebabkan proliferasi berlebihan pada seri mieloid (sel induk pluripoten) pada sistem hematopoiesis, dan menurunnya apoptosis sehingga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal (sel gen BCR-ABL bersifat anti-apoptosis). Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem

hematopoietik lainnya (12,13).

Gambar 3. Pengaturan BCR-ABL pada CP-CML yang Merangsang Terjadinya Proliferasi dan Progresi menjadi Krisis Blast (14). Pemahaman mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi teurapetiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular (15). Sitogenetik Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Menurut John dkk (2003), diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, dengan adanya radiasi yang tinggi pada

seseorang maka secara signifikan akan meningkatkan kejadian CML tersebut. Sejak tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan

gen hibrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9 (13,16). Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis protein 210 kD yang berperan dalam

leukemogenesis, sedangkan peranan gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui.

Gambar 4. Translokasi t(9;22) dan Hasilnya: Onkogen BCR-ABL pada Kromosom Ph dan ABL-BCR Reciprokal pada Kromosom 9q+. Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph. Varianvarian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9

dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan

pada gen BCR tidak selalu di daerah q11, akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13, dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat

molekulnya (4,13). Jadi, sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua pasien CML, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien CML. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terdapat adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 6080% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17i (17)q. Diketahui terdapat beberapa pasien yang terdiagnosis CML tetapi dengan Ph negatif, BCRABL negatif. Hal ini dikarenakan terdapat penyimpangan sitogenetik melalui adanya translokasi beberapa gen selain kromosom Ph, yaitu t(5;12)(q33;p13) and t(8;13) (p11;q12). Kedua translokasi ini menimbulkan fusion genes baru yang mengkode tyrosin kinase reseptor, yaitu platelet-derived growth factor receptor in t(5;12) dan fibroblast growth factor receptor 1 in t(8;13) (13).

Table 2. Kelainan Sitogenetik yang Menyebabkan Ekspresi Tyrosin Kinase Biologi Molekular pada Patogenesis CML Gen BCR-ABL pada CML didapatkan dari gabungan 2 gen normal yakni gen ABL pada kromosom 9 dan gen BCR pada kromosom 22. Kedua gen ini diekspresikan seara normal oleh jaringan, akan tetapi fungsinya tidak terkontrol dengan baik. Patahan pada gen ABL terjadi pada exon a2 dan terjadi juga patahan pada major breakpoint cluster region pada gen BCR. Ini menghasilkan juxtaposisi antara a 5' portion of BCR dan a 3' portion of ABL, yang menghasilkan kromosom 22 pendek (22q- dan Ph+).

Pada kebanyakan pasien CML, molekul messenger RNA (mRNA) ditranskripsi oleh BCR-ABL di junction e13a2 (b2a2) dan e14a2 (b3a2) atau disebut dengan Mayor break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCRABL-nya akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis p210BCR-ABL. Selanjutnya, molekul mRNA BCR-ABL diubah menjadi 210-kD oncoprotein (p210BCR-ABL). Ada beberapa variasi breakpoint dan gabungan beberapa gen yang dapat mengaktifkan BCR-ABL protein yang onkogen seperti p190BCR-ABL (e1a2 mRNA junction) atau yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan mensintesa p190 dan p230BCR-ABL (e19a2 mRNA junction). Akan tetapi kedua hal ini sangat jarang kejadiannya (2,13). Potensi leukomogenic dari p210BCR-ABL didasarkan dengan kenyataan bahwa aktifitas tyrosin kinase yang diaktifkan oleh adanya BCR sebagai benda asing pada ABL protein. BCR bertindak dengan melakukan

dimerisasi onkoprotein, seperti gen BCR-ABL yang mengaktifkan tirosin kinase. Aktivitas kinase yang tidak terkendali BCR-ABL, menggantikan fungsi fisiologis enzym ABL normal dengan berinteraksi dengan berbagai protein efektor yang menghasilkan berbagai macam reaksi seperti proliferasi celular yang tidak terkendali, gangguan perlekatan sel leukemia pada stroma sumsum tulang dan terjadinya penurunan respon apoptosis yang menyebabkan rangsangan mutagenic (13).

Gambar 5. Pengaturan fisiologis oleh normal protein ABL dan kelainan pengaturan oleh BCR-ABL pada Proses Selular seperti Proliferation, Adherence, and Apoptosis. Meskipun CML berasal dari sel induk mieloid multipoten, prasel granulosit juga menentukan jalur dominant sel. Tidak seperti kasus leukemia akut, tidak ada hambatan dalam maturasi sel induk leukemi, sebagaimana dibuktikan dengan sejumlah besar sel matur dalam darah perifer. Kinetik sel dan teknik biakan in vitro menunjukkan bahwa ada 10 sampai 20 kali lipat peningkatan massa prasel granulosit dalam sumsum tulang dan limpa, tetapi

keadaannya tidak membelah lebih cepat daripada sel induk normal. Dasar peningkatan massa sel induk mieloid dalam CML tampaknya karena kegagalan sel induk untuk menanggapi isyarat fisiologi yang mengatur proliferasinya (2,13,15).

Gambar 6. Patogenesis CML II. 6 DIAGNOSIS II. 6. 1. Gejala klinis CML merupakan penyakit biphasic atau triphasic yang selalu terdiagnosis menjadi chronic, indolent or stable phase dan

kemudian berkembang setelah beberapa tahun menjadi advanced phase. Advanced phase ini dibagi menjadi dua, yaitu accelerated phase (awal) and blast phase or blast transformation (terakhir) (17). Sebagian besar pasien yang terdiagnosis CML, berada dalam fase chronic. Saat Chronic Phase ini, jumlah myeloid progenitor sangat meningkat di sumsum tulang dan darah. Fase CP ini, berlangsung lama sekitar 20 tahun dan akan sampai pada Blast Phase. Pada Blast Phase, terjadi peningkatan proporsi sel blast di sumsum tulang dan drah tepi. Sebagian pasien pada fase kronik dapat langsung menjadi fase blast dan sebagiannya lagi melewati fase akselerasi (17,18).

Gambar 7. Tahapan CML; Fase Kronik, Fase Akselerasi dan Fase Blast

Kriteria fase CML: 1. Fase kronik. Fase yang berjalan selama 3-4 tahun dan responsif terhadap kemoterapi. Karakteristik pada fase ini, ialah massive expansion dari seri granulosit. Pada fase ini, terdapat beberapa blast (kurang dari 5%) di darah dan sumsum tulang (19). Kemungkinan gejala yang timbul, antara lain (1) : a. Gejala hiperkatabolik : Berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat malam b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan d. Gejala gout, gangguan penglihatan dan priapismus e. Anemia pada fase awal sering hanya ringan f. Kadang-kadang asimptomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain. 2. Fase akselerasi atau transformasi akut.

Pada fase ini, sel blast meningkat sebanyak 15%. Fase ini dapat berjalan beberapa minggu sampai bulan. Pada fase ini juga, dapat terjadi anemia, jumlah sel darah putih dapat meningkat atau menurun dan trombosit mengalami penurunan. Dalam fase ini, jumlah sel blast mengalami disertai dengan adanya pembesaran spleen. Pasien CML

peningkatan dan

yang berada pada fase ini, dapat mengeluhkan rasa sakit pada tubuhnya., seperti : demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. (1) 3. Fase blastik atau krisis blast. Lebih dari 30% sel blast pada fase ini. Pasien CML pada fase ini, akan terjadi peningkatan sel blast dalam sumsum tulang dan darah. Hal ini terjadi karena, sebagian besar pasien mengalami akumulasi pada myeloid dan sisanya mengalami akumulasi pada sel blast lympoid. Jumlah sel darah merah dan trombosit mengalami penurunan. Kemungkinan, pasien akan mengalami infeksi dan perdarahan. Pasien juga dapat merasa kelelahan dan sulit bernafas, nyeri abdomen atau nyeri tulang. Pada fase ini juga biasanya, sel blast akan mendesak ke sumsum tulang atau limfonodi. Fase ini dapat menjadi aggressive acute leukemia (1,20).

Gambar 8. Peran BCR-ABL terhadap mutasi HSC (19)

II. 6. 2 Pemeriksaan Penunjang a. Hematologi Rutin

Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, leukosit antara 20-60.000/mm3.. Persentasi eosinofil dan basofil mengalami peningkatan. Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3.. Walaupun sangat jarang, beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia (4). b. Apusan Darah Tepi Sering terjadi peningkatan WBC sekitar 100 109/L (leukositosis), dan apabila terjadi infeksi yang dikarenakan penyebab lain maka kemungkinan WBC akan mengalami kenaikan lagi. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi

dan maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat. Basofil di darah tepi juga akan mengalami peningkatan, sekitar 7% pada 10% -15% pasien. Eosinofil juga terjadi peningkatan. Jumlah limfosit juga terjadi peningkatan terutama limfosit T. Jumlah trombosit juga mengalami peningkatan sekitar 30%-50% . Ketika terjdi trombositopenia, ibiasanya merupakan tanda fase akselerasi. Beberapa pasien didiagnosis anemia. Fungsi netrofil dapat normal atau terganggu, tetapi aktifitas sel natural killer (NK) akan terganggu. Eritrosit sebagian besar normokrom normositer. c. Apus sumsum tulang. Pada sumsum tulang terjadi hiperselular dengan selularitas sekitar 75% sampai 90%. akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio myeloid dan eritroid meningkat, sekitar 10:1 sampai 30:1. Semua tahapan maturasi seri WBC selalu terlihat tetapi myelosit lebih dominan. Megakariosit nampak meningkat lebih dulu pada fase awal penyakit ini kemudian terlihat gambaran displasia. Pada tahap ini, megakariosit nampak lebih kecil ukurannya dibandingkan normal megakariosit. Dengan pewarnaan retikulin, nampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. d. Hasil Laboratorium lainnya Terjadi penurunan aktifitas Leukocyte alkaline phosphatase. Vitamin

B12 dan transcobalamin di serum mengalami peningkatan sekitar 10 kali dari normal. Asam urat dan dehidrogenase laktat juga mengalami peningkatan dalam serum penderita (21). Table 3. Kriteria laboratoris untuk Fase CML (22) WBC Blasts Basophils Platelets Marrow cellularity Chromosome Chronic 20 x 109/L 30% Ph

e.

Cytogenetic and molecular findings Philadelphia (Ph) chromosome Sekitar 5%-10% pasien CML, tidak dapat dideteksi adanya kromosom Ph dengan karyotyping, 30% sampai 40% dapat diidentifikasi dengan fluorescent in situ hybridization (FISH)/polymerase chain reaction (PCR). Metode ini sekarang lebih digunakan, karena lebih akurat. Beberapa aberasi kromoom yang sering ditemukan pada pasien CML ialah +8, +9, +19, +21, i(17) (4,21).

II. 7

PENATALAKSANAAN Tujuan terapi pada CML ini ialah mencapai remisi lengkap, baik remisi

hematologi, remisi sitogenik, maupun remisi biomolekular. Adapun goal treatment pada tiap fase CML ialah (4,23,24) : A. Fase Kronik 1. Mengembalikan jumlah sel darah seperti normal 2. Menghilangkan gen yang dapat memunculkan gen cancer BCR-ABL B. Fase Akselerasi dan Fase Krisis Blast 1. Menghilangkan gen yang dapat memunculkan gen cancer BCR-ABL 2. Mengembalikan fase ini menjadi fase kronik Untuk mencapai hal tersebut, digunakan obat-obatan yang bersifat mielosupresif. Begitu mencapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau transplantasi sumsum tulang. Adapun indikasi transplantasi sumsum tulang, yakni : 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun 2. Ada donor yang cocok 3. Termasuk golongan resiko rendah menurut perhitungan Sokal, yakni berdasar pada : a. Umur

b. Ukuran pembesaran ginjal c. Jumlah platelet d. Persentasi sel blasts yang ada di dalam darah Berikut ini ialah penatalaksanaan pasien CML sesuai dengan fase penyakitnya, antara lain: 1. Fase Kronik Berbagai macam bentuk pengobatan yang direkomendasikan pada fase

kronik CML, dapat dilihat pada tabel berikut ini (6): Tabel 4. Logaritma Terapi CML pada Fase Kronik (2007)

Tabel 5. Pengobatan CP Menurut Europian LeukemiaNet Update 2010 (25,26,27) 2. Fase Akselerasi dan Fase Krisis Blast Tabel 6. Pengobatan AP dan BP Menurut Europian LeukemiaNet Update 2010

Hydroxyurea Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada CML. Dosis yang digunakan 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai

maksimal 2,5 gram/hari. Penggunaan dihentikan lebih dulu, jika leukosit