Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
DESA SAGARAHIANG DAN SITUS SAGARAHIANG
A. Sejarah Desa Sagarahiang
Desa Sagarahiang merupakan salah satu desa tertua di Kuningan dengan
usia sekitar 642 tahun. Nama Sagarahiang, asal kata dari “sagara” dan “hiang”.
Sagara adalah lautan, dan hiang adalah dewa atau yang ghaib. Jadi, Sagarahiang
adalah lautan para dewa. Penamaan desa tersebut diambil dari sejarah akan situs
Sanghiang dan Lingga yang menjadi tempat para dewa.1
Desa Sagarahiang pertama kali dipimpin oleh Bapak Bewu, yang memiliki
garis keturunan dengan Sang Maharesi Demunawan atau Prabu Seuweukarma,
atau juga disebut Rahiyangtang Kuku.2
Seuweukarma3 itu sendiri, berasal dari keturunan Galuh. Sewaktu masih
kecil ia bernama Demunawan. Beliau menganut agama Sanghiang (agama Hindu)
dan memiliki Ajian Dangiang Kuning yang ia amalkan dengan baik. Ajian
Dangiang Kuning tersebut berisi perihal ajaran Keparamartaraan yaitu kebenaran
tertinggi yang dicapai dibidang kerohanian/kebathinan, dan mengenai kasih
sayang kepada sesama manusia.4 Hingga akhirnya Seuweukarma diangkat dan
dinobatkan menjadi pemegang kekuasaan Kerajaan Saunggalah di Kuningan pada
tahun 732 Masehi.5
Selain dikenal sebagai Demunawan ia pun mendapati julukan nama lain
yakni Rahiyangtang Kuku. Sebagaimana pernyataan tersebut tertuang dalam
naskah Carita Parahiangan, bahwa :
“Sang Seuweukarma jadi Tohaan di Kuningan, lahirna di patapan, enya
eta Rahiang Sempakwaja. Sakitu mulyana, ieu tangtu Rahiang
Sempakwaja. Ayeuna caritakeun Rahiangtang Kuku, indit ka Arile,
1 Hasil wawancara dengan Pak Tablo pada tanggal 01 Mei 2014 2 Hasil wawancara dengan Pak Tablo pada tanggal 01 Mei 2014 3 Sang Seuweukarma merupakan anak dari Sempakwaja dan Nay Pwahaci Rababu dan ia
memiliki saudara bernama Purbasora. Sang Seuweukarma juga sebagai cicit dari Sang
Wretikandayun- pendiri Kerajaan Galuh. 4 Wawan Hermawan. Op.Cit. Hlm. 30-31 5 Pendirian Kerajaan Saunggalah hampir bersamaan dengan masa awal pemerintahan
Sanjaya di Kerajaan Galuh, yakni sekitar abad ke-8 Masehi.
ngababakan di Kuningan. Kasohor Rahiangtang Kuku, nya eta Sang
Seuweukarma, ngadeg di Kuningan, anakna Rahiang Sempakwaja”.6
Selain mendapat julukan Rahiyangtang Kuku, ia juga seorang Resi Guru
yang mempunyai daerah pengaruh yang luas,7 sehingga daerah-daerah
kekuasaannya dapat dijadikan andalan dalam kekuatan politik.8
Penobatan penguasa Kerajaan Saunggalah yang diberikan kepada
Seuweukarma terjadi karena adanya pertikaian perebutan tahta kerajaan di
lingkungan keturunan Wretikandayun,9 serta adanya permintaan dari Sang
Sanjaya kepada Sempakwaja untuk merestui pengangkatan Sang Seuweukarma
menjadi pemegang pemerintahan di Galuh.10
Namun, permintaan tersebut ditolak
oleh Danghiyang Guru Sempakwaja dengan berbagai pertimbangan.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain:11
a. Ketakutan dan kecurigaannya bahwa hal itu merupakan siasat sang
Sanjaya untuk membinasakan Sang Seuweukarma.
6 Aji Bratasenawa. 2012. Naksah
Parahiyangan.http://ajibratasenawa14blogspot.in/2013/10/naskah-carita-parahyangan-basa-
sunda.html?m=!. Diunduh pada hari Selasa, 11 November 2014 jam 13.00 WIB. 7 Daerah-daerah kekuasaan Seuweukarma tersebut meliputi Layuwatang, Kajaron,
Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahuripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong,
Pagergunung, Muladarma, dan Batutihang. 8 Yoseph Iskandar. Op.Cit. Hlm. 138-139 9 Pertikaian tersebut terjadi karena pengangkatan Sang Sena-anak perselingkuhan antara
Mandiminyak (Adik kandung Sempakwaja) dan Pohaci Rababu (istri sah Sempakwaja) dengan
Sang Purbasora (anak sulung Sang Sempakwaja). Sang Purbasora tidak rela dengan keputusan
tersebut sehingga ia berniat ingin menyingkirkan Sang Sena dengan melakukan penyerangan
terhadap kerajaannya. Namun, Sang Sena sudah mengetehui siasat Sang Purbasora dan akhirnya ia
meminta bantuan kepada kerajaan Sunda namun hal itu gagal karena prajurit yang dipimpin Sang
Purbasora datang lebih awal, hingga akhirnya Sang Sena meloloskan diri meninggalkan keraton
menuju Jawa Tengah, karena ia pun seorang putra mahkota kerajaan Bumi Mataram.
Kedatangan Sang Sena ke kerajaan Mataram dengan status terusir, membuat Sang
Sanjaya (putera Sena-Sannaha) sangat marah dan memutuskan untuk merebut kembali kekuasaan
Sang ayahnya. Hal itu berhasil dilakukannya dalam jangka waktu satu hari satu malam dan
membuat Sang Purbasora gugur dalam usia 80 tahun. Sehingga Kerajaan pindah ke tangan Sang
Sanjaya. (Ibid. Hlm. 119-135) 10 Saleh Dansasmita. 2014. Menemukan Kerajaan Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Hlm. 24 11 Yoseph Iskandar. Op.Cit. Hlm. 136
b. Ketidakrelaannya melihat anak kandungnya menjadi raja di bawah
Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Sang Sanjaya yang membunuh Sang
Purbasora anak sulungnya.
c. Mengingat perjuangan ayahnya (Sang Wretikandayun) saat
memperjuangkan kerajaan Galuh sebagai negara yang merdeka dari
Kerajaan Tarumanegara.
Namun, sebagai petapa tua yang tersohor akan kebaikan dan kebijakannya,
ia pun tidak mengungkapkan pertimbangan tersebut, melainkan Sang Sempakwaja
memberikan kebijakan dengan sindiran, bahwa Sang Sanjaya harus bisa
menaklukan Sang Wulan, Sang Tumanggal, dan Sang Pandawaraja untuk melihat
kekuatan yang dimiliki oleh Sanjaya. Sang Wulan, Tumanggal dan Pandawa ini
menjalankan pemerintahan menurut adat tradisi, yang pada waktu itu bertindak
sebagai Sang Rama (Sang Wulan, Raja Kajaron), Sang Resi ( Sang Tumanggal,
Raja Tumanggal di Balamoha) dan Sang Ratu (Sang Pandawa atau Sang
Wiragati, Raja Kuningan).12
Pada akhirnya, Sempakwaja mengeluarkan kebijakan lain dengan
membagi kerajaan kecil yang diawali dengan mengangkat Sang Pandawa13
menjadi guruhaji (resiguru) di Layuwatang,14
sedangkan kedudukannya di
Kerajaan Kuningan (Saunggalah) digantikan oleh Demunawan (menantu
Pandawa) dengan gelar Rahiyangtang Kuku. Kemudian Wilayah kerajaannya
ditambah dengan Galunggung, sehingga meliputi 13 daerah yakni Layuwatang,
Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahuripan, Sumajajah, Pasugihan,
12 Sang Rama, bertindak selaku pemegang kepala adat, Sang Resi selaku pemegang
kepala agama, dan Sang Ratu sebagai kepala pemerinntah. Dengan dikuasai oleh “Triumvirat”
tersebut, Kerajaan Kuningan mengalami suasana yang gemah ripah lohjinawi, tentrem kerta
raharja. 13 Sebelumnya sang Pandawa merupakan pemimpin (Raja) di Kerajaan Kuningan. Ia
memiliki nama lain yakni Sang Wiragati. Raja ini memerintah sezaman dengan masa
pemerintahan Sang Wretikandayun (612-702 M) pendiri kerajaan Galuh. Sang Pandawa
mempunyai puteri wanita bernama Sangkari. Pada tahun 671 ia menikah dengan Demunawan,
salah satu putera Danghiyang Guru Sempakwaja seorang resiguru di Galunggung. 14 Guruhaji adalah jabatan kepala daerah yang bersifat kehormatan dan keagamaan. Tentu
layuwatang masih berlokasi di wilayah Kerajaan Kuningan dengan status mandala atau kabuyutan,
walaupun lokasinya belum dapat ditentukan.
Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, dan Batutihang.15
Pengangkatan tersebut terjadi karena Sempakwaja merupakan Batara Dangiang
Guru yang mampu menentukan siapa-siapa saja yang bisa menjadi raja di
Galunggung dan Saunggalah.16
Lokasi Kerajaan Saunggalah di dalam Naskah
Carita Parahiyangan terkadang disebutkan di Arile (Winduherang) dan terkadang
disebut di daerah Salia-Nusaherang, wilayah yang dekat dengan Desa
Sagarahiang.17
Desa Sagarahiang merupakan salah satu tempat yang telah lama dihuni
oleh para penduduk zaman agama Hindu.18
Dengan ditemukannya peninggalan
kebudayaan-kebudayaan Hindu-Budha di Desa Sagarahiang, lebih tepatnya
terletak di Situs Sanghiyang, diketahui telah terwujud suatu kekuatan politik dan
menjadi letak pusat Kota Kuningan pada masa pemerintahan Seuweukarma
berkuasa di Saunggalah.19
Meskipun Kuningan merupakan kerajaan kecil, namun kedudukannya
cukup kuat dan kekuatan militernya cukup tangguh. Hal itu terbukti dengan
kekalahan yang diderita oleh pasukan Sanjaya (raja Galuh) ketika menyerang
Kuningan.20
Kedatangan Sanjaya beserta pasukannya ke Kuningan dikalahkan
oleh “Tritunggal: Pandawa-Wulan-Tumanggal” salah satu andalan Danghiyang
Guru Sempakwaja.21
Hal tersebut ditunjukan untuk memberi pelajaran terhadap
Sanjaya yang bersikap pongah dan merasa diri paling kuat. Sanjaya adalah cicit
Sang Wretikandayun, melalui puteranya sang Mandiminyak. Sang Sanjaya yang
15 Edi S. Ekadjati. 2003. Sejarah kuningan dari masa prasejarah hingga terbentuknya
kabupaten. Bandung: Kiblat Buku Utama. Hlm. 37 16 Saleh Danasasmita. 2012. Nyucruk Pakuan pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung:
Kiblat Buku Utama. Cit.III. Hlm. 99 17Ibid. Hlm. 100 18 Dading Abiding Anwar. 2008. Kuningan dalam kenangan remaja-pemuda, dari masa
ke masa. Jakarta: Pustaka Nawaitu. Hlm. 28 19 Wawan Hermawan. Op.Cit. Hlm. 30 20 Edi S. Ekadjati. Sejarah kuningan dari masa prasejarah hingga terbentuknya
kabupaten. Op.Cit. Hlm 36-37 21 Yoseph Iskandar. Op.Cit. Hlm. 137
memerintah Sunda dan Galuh (723-732 Masehi) serta Kalingga (sejak 732
Masehi) di Jawa Tengah.22
Ketika kekuasaan dipegang oleh Seuweukarma suasana gemah ripah
lohjinawi pun dirasakan kembali. Hal ini terjadi karena ajaran-ajaran Resiguru
Demunawan atau Seuweukarma yang mengajarkan ilmu Dangiang Kuning.
Seuweukarma berkuasa selama 42 tahun, dan wafat pada tahun 774 Masehi.23
Setelah kekuasaan Sang Seuweukarma, Kerajaan Saunggalah tidak
terdengar lagi ceritannya di dalam naskah ataupun cerita rakyat. Namun,
kemudian keberadaan Saunggalah sebagai pusat pemerintahan terungkap lagi
tatkala Rakeyan Dharmasiksa memerintah di Kerajaan Saunggalah selama 12
tahun (1163-1175 Masehi). Ia adalah putera Prabu Dharmakusuma (1157-1175
Masehi), Raja Sunda yang berkedudukan di Kawali-Ciamis. Rakeyan
Dharmasiksa memerintah di Saunggalah menggantikan mertuanya, karena ia
menikah dengan puteri Saunggalah. Selanjutnya, ia diangkat menjadi raja sunda
dengan gelar Prabu Dharmasiksa (1175-1297 Masehi). Ia menggantikan ayahnya
yang wafat tahun 1175 Mahesi dan dikebumikan di Windurja (sekarang nama
desa dekat Kecamatan Kawali, sekitar 20 kilometer sebelah utara Kota Ciamis).
Kedudukan Rakeyan Dharmasiksa sebagai penguasa Saunggalah digantikan oleh
salah seorang putera yang bernama Ragasuci atau Raja putera. Sebagai penguasa
Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahiyang Saunggalah (1297-1303 Masehi).
Ragasuci memperistri Dara Puspa, putera Raja Melayu. Dengan demikian,
Saunggalah menjalin hubungan keluarga dengan penguasa Kerajaan Melayu di
Sumatera.24
Dengan terungkapnya Saunggalah yang dikuasai oleh Darmasiksa alias Sri
Jayabupati, muncul pendapat lain mengenai lokasi keberadaan Saunggalah,
dimana dalam Koropak 406 disebutkan bahwa letak Saunggalah berada di
Saunggede-Pasawahan, Kecamatan Singaparna. Hal ini terjadi karena adanya
22Edi S. Ekadjati. Sejarah Kuningan dari masa prasejarah hingga terbentuknya
kabupaten. Op.Cit. Hlm 36-37 23 Yoseph Iskandar. Op.Cit. Hlm. 156 24 Edi S. Ekadjati. Sejarah Kuningan dari masa prasejarah hingga terbentuknya
kabupaten Op.Cit. Hlm. 37-38
perpindahan puser Kerajaan Kawali dari Saunggalah, kemudian Kerajaan Kawali
pindah lagi ke Pakuan.25
Hingga akhirnya kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda
menyatu menjadi Kerajaan Pajajaran.
B. Situs Sagarahiang
Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang mendapat pengaruh budaya
India. Pengaruh tersebut “terefleksikan” dalam Agama Hindu dan Budha yang
dalam banyak hal melebur menjadi tradisi berbagai unsur budaya di berbagai
tempat.26
Hal itu terjadi karena pada abad ke-4 berdiri Kerajaan Tarumanegara
yang bercorak Hindu-Budha. Kemudian disusul dengan berdirinya Kerajaan
Sunda yang mempertahankan kehindu-buddhaanya. Pengaruh budaya India
tersebut kemudian masuk ke Kuningan dengan ditemukannya benda-benda
peninggalan zaman Hindu-Budha di Situs Sanghiyang, dimana situs tersebut
kemungkinan merupakan letak keberadaan Kerajaan Saunggalah yang dipimpin
oleh Sang Seuweukarma.
Dari sumber lisan masyarakat di sana, lahirnya situs tersebut dipercayai
bahwa, di Gunung Ciremai terdapat Kerajan Margatapa, Raden Mulas, dan Nyi
Pellet. Disitulah pertama ada pemukiman. Seiring berjalannya waktu, kehidupan
di Gunung Ciremai semakin turun yaitu ke daerah gunung Gegerhalang,
peninggalan dari Arya Geger, Arya Paksa dan Arya Paksi. Kemudian kehidupan
turun lagi ke Gunung Pucuk peninggalan Mak Jamrong yang berada di daerah
Majalengka. Adapun daerahnya yaitu Kampung Ciinjuk, Gunung Manik, Kencana
dan Cipulas. Untuk di daerah Kuningannya turun ke daerah Gunung Lingga yaitu
peninggalan dari Ki Buyut Jaya Raksa, Ki Buyut Kratakau, Ki Buyut Raden
PurbaLingga dan Ki Buyut Caritan.
Dari kerajaan Ki Buyut Jaya Raksa, lahirlah kerajaan Pasir Batang yang
dikuasai oleh Lutung Kasarung. Gelar Lutung Kasarung diperoleh karena pada
masa perjalanannya dahulu beliau mengikuti ajaran nenek moyangnya yaitu
25 Saleh Danasasmita. Nyucruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Op.Cit.
Hlm. 101 26 Nina, H. Lubis. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid 1. Bandung: Lembaga Penelitian
Universitas Padjajaran. Hlm. 46
agama Wisnu kemudian, kemudian beliau pindah agama ke agama Siwa, dari
agama Siwa pindah lagi ke agama nenek moyangnya lagi yaitu Wisnu, dari situlah
beliau mendapat gelar Lutung Kasarung.27
Agama Budha Mahesa dan agama Sanghiang Widudarma lahir dari kisah
Lutung Kasarung. Kemudian dari keturunan Sanghiang itu barulah lahir Situs
Sanghiang.
1. Situs Sanghiyang Ciarca
Sebelum masuk pada isi dari Situs Sanghiang, mari kita telaah makna dari
nama Situs terlebih dahulu. Kata “Sanghiang” merupakan kata sandang untuk
benda-benda atau tempat-tempat yang dianggap suci.“Sang” adalah kata sandang
untuk tokoh atau arwah terkemuka, dan “hiang” adalah sebutan untuk makhluk
ghaib yang sederajat dengan dewa-dewi.28
Lantas, ada benda-benda apa saja
sehingga dinamakan Situs Sanghiang?
Situs Sanghiang yang masih alami terletak disalah satu puncak bukit
sebelah timur Gunung Ciremai dalam ketinggian 1.027 meter di atas permukaan
laut. Di sebelah selatan mengalir sungai Ciguranteng, sedangkan teras pertama
berbatasan langsung dengan jurang yang mengelilinginya.29
Untuk mencapai
lokasi tersebut dari perkampungan penduduk (Desa Sagarahiang) kita harus
menelusuri jalan setapak kurang lebih 750 meter. Lazimnya sebuah situs biasanya
selalu dekat dengan sumber air yakni mengalir sungai Cijambi dengan lahan
pertanian masyarakat setempat yang cocok ditanami dengan padi gogo30
dan
sayuran seperti bawang daun, kubis, wortel, serta kacang-kacangan. Kawasan ini
merupakan kawasan hutan lindung yang ditumbuhi semak belukar serta pohon-
pohon besar seperti: Saninten, Huru, Kopi, Rambutan, Kijangkar, Beringin, Aren
27 Hasil wawancara Pak Tablo pada tanggal 01 Mei 2014 pada pukul 08.00 WIB di
kediamannya. 28 J. Noordyyn. t.t. Three old Sundanese Poems. Diterj. Hawè Setiwan. Jakarta: Pustaka
Jaya. Hlm. 211 29 Nina H.Lubbis. Sejarah Tatar Sunda Jilid 1.Op.Cit. Hlm. 149. 30 Padi Gogo (Padi huma) ialah padi yang ditanam di tanah tegalan atau disebut juga padi
tegalan. Tegalan ialah tanah kering yang terletak di daerah sekitar pemukiman (desa), yang karena
keadaannya sehingga tidak dapat diubah menjadi sawah. Penanaman padi tegalan banyak di
jumpai di Pulau Jawa dan Madura.
(Kawung), Hanjuang, Handeuleum, Kijanitri, Bingbin (Palm Hijau), serta
tumbuh-tumbuhan lainnya.
Situs ini dinyatakan sebagai tinggalan purbakala yang memenuhi kriteria
sebagai Cagar Budaya Tingkat Provinsi Jawa Barat berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan telah terdaftar pada Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Kuningan dan Provinsi Jawa Barat.31
Di arah Selatan pohon besar
terdapat benda-benda purbakala berupa Lingga, Arca Nandi (Sapi), Yoni, Menhir
dan batu-batu yang berserakan lainnya, namun pohon besar tersebut sekarang
sudah tumbang. Situs Sanghiyang Ciarca merupakan peninggalan Sangiang
Sangga Winata, Nyi Mas Boros Ngora, Nyi Mas Bokor Kancana, Nyi Mas
Ringgit Galing, Nyi Mas Pucuk Ning Ati, Nyi Mas Dangiang Panganten, Nyi
Mas Saunggalah.
Ciri kehinduannya terlihat pada sebaran menhir, beberapa diantaranya
telah diperhalus menjadi Lingga, fragmen arca Nandi yang terletak diantara semak
belukar.32
Di bawah ini merupakan deskripsimengenai lingga Yoni, dan arca
Nandi (patung Sapi) yang terdapat di Situs Sanghiyang Ciarca.
a. Lingga-Yoni
Lingga dianggap sebagai lambang Siwa, biasanya berdiri di atas yoni yang
berbentuk segi empat. Lingga yang mempunyai bentuk seperti tiang batu dibuat
menjadi tiga bagian. Bagian bawah lingga berbentuk segi empat, bagian tengah
segi delapan dan bagian atas atau puncak berbentuk bulat, memanjang seperti
silinder.33
Bentuk Lingga di situs Sagarahiang tidak sempurna karena bagian atas
lingga tampak patah. Susunan silang dengan ukuran tinggi 37 cm, lebar bawah 17
cm dan lebar atas 11cm. Lingga tersebut merupakan pasangan dari batu Yoniserta
31 Pemda Kuningan. 2014. Selayang Pandang Hasil Pendataan Situs di Kabupaten
Kuningan. Kuningan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan. Hlm. 102 32Nina H. Lubbis. Sejarah Tatar Sunda Jilid I. Op.cit. Hlm. 148-149 33 Bambang Suwondo, dkk, 1981, Sejarah Jawa Barat, Jakarta: Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah-Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan
kebudayaan. Hlm. 66
melambangkan kesuburan laki-laki dan perempuan. Batu Yoni mengarah ke
Timur Barat Daya, berukuran 70 x 70 x 28 cm, di tengah terdapat sebuah lubang
berbentuk persegi empat yang tembus ke bawah dengan ukuran 25 cm x 25 cm
dan Yoni tersebut mempunyai pelepit, lubang di tengah pas ukuran batu lingga.
Gambar 1. Kondisi Lingga Yoni dan Proses Pengukuran pada saat penelitian berlangsung
Sumber: Dokumentasi pribadi pada tanggal 23 Maret 2014
b. Arca Nandi (Sapi)
Arca Nandi yang terletak diantara susunan batu pipih sebagai pondasi arca
nandi tersebut berukuran kecil. Konon kepala nandi pernah hilang, setelah itu
ditemukan kembali dan dilakukan konservasi kepala nandi disambungkan
kembali. Patung sapi tersebut dalam posisi duduk, keempat kakinya terlipat
disebelah kiri. Sedangkan ekornya terlipat ke sebelah kanan, Arca Nandi tersebut
duduk di atas lapik (tatakan). Berbentuk persegi panjang dengan ukuran 55 x 27 x
3 cm. Patung ini bentuknya seperti seekor lembu, hewan pilihan yang menjadi
kendaraan dewa Siwa. Pada candi Cangkuang misalnya terdapat patung Siwa
yang sedang menaiki nandi. Sehingga Candi Cangkuang digolongkan kepada
candi Siwa.34
34Ibid. Hlm. 66-68
Lingga
Yoni
Gambar 2. Arca Nandi dilihat dari depan
Sumber: Dokumentasi Tim DisParBud Kuningan.
c. Menhir
Kata Menhir berasal dari bahasa Breton (Prancis Utara) „men‟ berarti
tegak (berdiri).Jadi, Menhir adalah sebuah batu tegak, yang sudah atau belum
dikerjakan dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat, untuk memperingati
orang yang telah mati.35
Di Situs Sagarahiang terdapat tiga buah Menhir (Batu
Tegak) di sebelah Timur Yoni, kedua menhir berdampingan, yang satunya
terletak terpisah di sebelah Selatan.
Gambar 3. Menhir samping Arca Nandi dan Selatan
Sumber: Dokumtasi DisParBud Kuningan
35 Nina H. Lubbis. Sejarah Tatar Sunda Jilid I.Op.Cit. Hlm. 456
Arca Nandi
Menhir samping arca Nandi Menhir samping Lingga Yoni
d. Dolmen
Dolmen merupakan salah satu komponen sakral, biasanya merupakan meja
persajian atau alas arca utama yang di anggap hidup sebagai dewa tertinggi bagi
penganut agama Hindu ketika upacara keagamaan berlangsung.
Adapun Altar terletak persis dibawah pohon sebelah barat Arca Nandi.
Diperkirakan analisa dari data temuan yang ada di Situs Sanghiang yakni
kesinambungan peradaban dari Masa Pra Sejarah ke Masa Klasik Hindu.
Gambar 4. Batu Dolmen
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 23 Maret 2014
Menurut badan Arkeologi Serang, bahwa benda arkeologis di Situs ini
dapat diperkirakan berusia 2000 Sebelum Masehi. Hal itu terungkap dari „kapak
batu” yang ditemukan oleh warga desa tersebut di Situs Sanghiang, namun untuk
lingga, yoni, serta arca Nandi itu di perkirakan pada paruh abad ke-8 Masehi.
Jika dilihat dari kelengkapan benda peninggalan Hindu-Budha, dapat di
katakan bahwa Situs Sanghiang adalah tempat berkumpulnya para penganut
Hindu yang memuja Dewa Siwa dan Dewa Wisnu36
dan menjadi tempat
pemakaman para leluhur zaman dahulu yang dinamakan moksa37
yaitu mulih
36 Hal ini terlihat dari peletakan lingga yoni di pusat atau di tengah-tengah bangunan dan
arca nandi dan dolmen di sebelah utara (Made Susila Patra. 1985. Hubungan Seni Bangunan
Dengan Hiasan Dalam Rumag Tinggal Adati Bali. Jakarta: PN Balai Pustaka. Hlm. 20) 37 Moksa berasal dari bahasa Sansekerta dari kata muc yang berarti membebaskan atau
melepaskan. Dengan demikian moksa berarti kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi serta
putaran reingkarnasi. Definisi lain menyebutkan bahwa Moksa adalah persatuan Atma (roh)
dengan Brahman (Tuhan) dengan meninggalkan mayat. Dalam agama Hindu, moksa merupakan
jalan untuk mencapai persatuan Atma dan Brahman yang dikenal atau disebut dengan Catur
kajati mulang ka asal, tetapi para leluhur yang dimakamkan di Situs tidak mau
meninggalkan jasadnya.
Lingga, Yoni, dan Arca Nandi memang bukan hanya ditemukan di Situs
Sanghiyang saja melainkan ada banyak Situs-situs di Jawa Barat yang
ditemukannya benda yang serupa. Namun sejatinya, jarang sekali di dalam Situs
ditemukan benda-benda yang lengkap seperti halnya di Situs Sanghiyang.
Contohnya saja di Kampung Pasir Banteng, Desa Cihanjawar, Kecamatan Bojong,
Kabupaten Purwakarta hanya ditemukan sebuah Lingga saja yang kondisinya
masih utuh. Lingga tersebut digunakan sebagai ciri atas pemakaman Mbah
Dengkun, dimana letak Lingga tersebut tepat di atas Makam Mbah Dengkun.38
Letaknya berada di lereng barat laut Gunung Burangrang.
Kemudian fragmen arca Nandi ditemukan bersama bagian tubuh candi dan
antefik, pada saat pemugaran di Situs Bojongmenje (Situs Candi) di Desa
Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Diperkirakan berada
pada kisaran abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Letak candi tersebut ditemukan di lereng
utara Gunung Sunda.39
Kelengkapan benda-benda tinggalan agama Hindu di Situs Sanghiang,
merupakan salah satu bukti bahwa kemungkinan Situs Sanghiang merupakan
salah satu “Candi” dari Kerajaan Kuningan.
Di dalam buku Nina H. Lubbis dijelaskan bahwa, faktor tidak
ditemukannya Candi yang lengkap di tatar Sunda dapat diketahui dengan melihat
proses pembuatan bangunan suci (Candi), berikut ini.40
1. Dimana proses pembangunan candi diawali dengan memilih dan
menentukan bidang tanah (site) untuk bangunan dan halaman
bangunannya. Bidang tanah yang dipilih adalah tanah yang berlempung
Marga. (Petir Abimanyu. 2014. Ajaran-ajaran Emas Ramayana-Mahabharata. Cet. I.
Yogyakarta: Laksana. Hlm. 100) 38 Mbah Dengkun atau disebut juga eyang Pidarahma, ia adalah keturunan wali
penyebaran islam di wilayah tersebut. 39 Nanang, Saptono. 2012. Kalpataru Majalah Arkeologi. Jakarta: Puslitbang Arkeologi
Nasional. Vol. 21 No.1. Hlm. 31-36 40 Nina H.Lubbis. Sejarah Tatar Sunda Jilid I.Op.Cit. Hlm. 150-152
(memiliki partikel tanah liat), bertekstur kasar, padat, dan tidak berkristal,
berabu, atau berkrikil.
2. Bangunan suci juga harus berada di tempat-tempat yang berdekatan
dengan air (tirtha), dekat dengan atau di puncak gunung, hutan atau jurang
(ksetra).
3. Setelah penetapan bidang tanah selesai, kemudian bidang tanah disiapkan
melalui berbagai upacara dan pengujian, yakni upacara garbhadana,
dengan meletakkan garbhapatra41
pada tempat yang sudah ditetapkan
dibagian brahmasthana42
dalam diagram vastupurusamandala43
.
Dari tiga tahapan itu, proses pembuatan vastupurusamandala yang lebih
penting dan utama sedangkan bangunannya tidak menjadi yang utama. Sehingga
dapat dipahami kenapa Candi secara utuh tidak ditemukan di Tanah Sunda.
Lain dengan pernyataan Reid, ketika melihat dengan mata geografisnya,
bahwa pembuatan bangunan-bangunan yang megah seperti Candi-candi, dan
keraton-keraton di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, itu dipengaruhi oleh keadaan
yang memiliki dataran rendah yang membuat “surplus” produksi beras cukup
besar dan memiliki banyak waktu luang, sehingga memungkinkan untuk
membangun bangunan megah. Berbeda dengan penduduk yang berada di
pegunungan.44
Terlepas dari percandian, ditemukannya benda Lingga-Yoni, dan arca
Nandi di kawasan pegunungan pedalaman, terlintas akan masyarakat Hindu
zaman Kerajaan Tarumanegara yang sekitar Abad ke-7 Masehi sedang mendapat
41Garbhapatra adalah sebuah bejana yang terbuat dari perunggu. Bejana itu dibagi
menjadi kotak-kotak berjumlah 9-25 kotak, berisi benda-benda yang berasal dari kekayaan tanah.
Masing-masing merupakan symbol dewa-dewa yang dipuja. 42Brahmasthana adalah bidang tanah, tempat terpusatnya potensi gaib yang menguasai
alam semesta atau tempat tersembunyinya tenaga cipta yang menjelmakan sesuatu. 43Vatupurusamandalai adalah diagram bujur sangkar yang dibagi dalam kotak-kotak
kecil berjumlah 64 atau 81 (pondasi). Meskipun diagram ini bukan denah bangunannya dan tidak
pula harus menjadi denah halamannya, namun digunakan sebagai dasar pengaturan suatu tempat
suci. 44 Onghokham. “Pengantar Ilmu Sejarah dan Kedudukan Sentralnya”, dalam Anthony
Reid. 2011. Asia Tenggara dalam kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1:Tanah di Bawah Angin. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia (YOI). Hlm. xv
tekanan dari Kerajaan Sriwijaya yang menganut Agama Buddha. Tekanan
tersebut akhirnya membuat masyarakat yang menganut Agama Hindu pindah ke
daerah pedalaman.Perpindahannya ke daerah pedalaman dikarenakan tekanan
tersebut terjadi di daerah pesisir.
Bertahannya masyarakat penganut Agama Hindu ini terjadi hingga
melemahnya Sriwijaya.Hingga pada Abad ke-10 Masehi muncul kembali di
bawah kedaulatan Kerajaan Sunda yang ditandai dengan adanya prasasti Kebon
Kopi II atau prasasti Rakryan Juru Pangambat.45
e. Fungsi Lingga, Yoni, dan Arca Nandi
Batu monumen lingga merupakan unsur penting dalam peradaban
Hindu.Terkadang lingga didirikan sebagai penanda tempat pemukiman di mana
kekuasaan dikukuhkan secara ritual menurut kepercayaan Hindu.Dalam budaya
megalitik, lingga memiliki kesamaan dengan Menhir, bahkan, bukan tidak
mungkin pendirian Lingga dari menhir dan Yoni dari dolmen.46
Dari pemaparan di atas mungkin sepintas akan diketahui kegunaan dari
Lingga ataupun Yoni, namun di sini akan dipaparkan lebih jelas mengenai fungsi
akan benda-benda tersebut, antara lain:47
1. Fungsi Lingga
Sejak abad ke-8, dalam Prasasti Canggal telah menyebutkan bahwa
seorang rajamendirikan Lingga dan Yoni untuk mengukuhkan
kedudukannya sehingga diketahui kekuasaan Sanjaya atas Galuh,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur hingga Bali serta Melayu.
Lingga yang didirikan juga untuk memperingati suatu peristiwa
penting, seperti menang dalam perang.
45Ibid. Hlm. 36-37 46 A. Bagoes P. Wiryomartono. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia:
Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan elemen Fisik Kota sejak Peradaban Hindu-Budha, islam
hingga Sekarang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 2 47 Dirgantara Samudra. 2011. Situs Bersejarah di Jawa
Barat.http://www.google.com/url?sa=SitussejarahJawabaratSamudraDirgantra. Di unduh pada
tanggal 20 Januari 2015, pukul 14.00 WIB.
2. Fungsi Yoni
Yoni yang berpasangan dengan lingga disebut juga sang hyang
kulumpan dengan sang hyang susuk yang dipuja pada waktu
penetapan sima dan bahkan sebagai pusatnya.
Yoni yang berpasangan dengan lingga atau arca perwujudan
disebut juga pranala yang dipuja di dalam bangunan yang berfungsi
sebagai tempat untuk meletakkan lingga atau arca perwujudan.
3. Fungsi Arca Nandi
Sebagai kendaraan dari Dewa Siwa dalam Mitologi Hindu (candi
yang mempunyai arca nandi biasanya dikategorikan sebagai candi
untuk pemujaan agama Hindu Siwa).
Pemuliaan terhadap Lingga, Menhir, Yoni, dan Arca Nandi menandai
bahwa wilayah itu sudah bertuan dan dengan mendirikan bangunan Suci
(kabuyutan atau Candi) mungkin saja untuk memperkuat pembatasan wilayahnya.
2. Situs Lingga
Situs Lingga yang bersebelahan dengan situs Ciarca yang masih terletak
dikampung Sagarahyang, Desa Sagarahyang, Kecamatan Darma Kabupaten
Kuningan pada Ketinggian 1.088 meter, di atas permukaan laut. Di Situs Lingga
terdapat batu yang berundak-undak dan serpihan Menhir. Situs ini dilindungi oleh
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah
dan Nilai Tradisional Provinsi Jawa Barat.
Jarak untuk menempuh ke situs ini dari pemukiman warga sekitar 2
kilometer. Situs ini dikelilingi oleh semak-semak belukar, dan sering ditemukan
babi-babi hutan. Untuk mencapai lokasi tersebut kita harus menelusuri jalan
setapak, kemudian melewati perkebunan oncang48
dengan medan yang cukup
terjal. Sehingga jarang sekali orang yang berkunjung ke situs ini. Adapun keadaan
Situs Lingga dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
48Oncang adalah salah satu Tanaman Daun bawang.
Gambar 5.Bagian tengah Situs Lingga Gambar 6.Bagian SampingKanan
Sumber: Dokumentasi pribadi, 23 Maret 2014
Situs Lingga berbentuk Bangunan teras berundak, diduga berjumlah lima
teras, berdenah persegi panjang, dan berorientasi barat laut-tenggara kearah
gunung Gegerhalang.49
Sesuai dengan namanya Hululingga “Kepala lingga”,
sangat mungkin situs ini pun dimaksudkan untuk memuja lingga (Dewa Siwa)
Selain itu, ditemukan pula peninggalan adat dari batu-batu besar dari
zaman Megalitikum.
a. Punden berundak
Gambar 7. Punden Berundak di Situs Lingga-Sagarahiang
Sumber: Dokumentasi pribadi, 23 Maret 2014
49Gunung Gegerhalang, nama gunung tersebutberawal karena keberadaannya di sisi kiri
yang menghalangi gunung Ciremai, sehingga gunung tersebut dinamakan Geger Halang. Dan
konon dulu pernah terjadi letusan dari gunung Ciremai namun karena ada gunung geger halang
tersebut lahar dari Gunung Ciremai tidak sampai ke daerah Sagarahiang.
Punden Berundak
Menhir
Batu punden atau punden berundak merupakan bangunan yang
terdiri dari susunan batu yang menyerupai teras piramid.Bangunan ini
disebut pula teras piramid.Biasanya dataran atasnya mengandung benda-
benda Megalitik atau makam seseorang yang dianggap tokoh yang
dikeramatkan dan berfungsi sebagai tempat upacara dalam hubungan
dengan pemujaan arwah nenek moyang.50
Bangunan Berundak yang terdapat di situs lingga juga ditemukan
di Situs Cipari atau Museum Purbakala Cipari, dimana situs taman
purbakala ini dahulunya tempat pemukiman masyarakat yang sudah
menetap disitu.
Gambar 8. Salah satu punden berundak di Situs Cipari
Sumber: Dokumentasi pribadi, 23 Maret 2014
b. Menhir
Gambar 9. Menhir
Sumber: Dokumentasi pribadi, tanggal 23 Maret 2014
50 Bambang Suwondo.Op.Cit. Hlm. 27
Punden Berundak
Menhir
Batu olahan ini menyerupai sebuah tugu yang ditanamkan di
dalam tanah.Kedudukan Menhir dianggap sebagai tugu peringatan.Juga
dianggap sebagai lambang orang yang telah meninggal.51
Ditemukannya Menhir dan Punden berundak di Situs Lingga menandai
bahwa berasal dari peninggalan zaman Pra-Sejarah yang menurut Arkelog
Internasional berusia 4000 Sebelum Masehi.
Jika, situs ini berusia 4000 tahun Sebelum Masehi, maka kemungkinan di
sini juga sudah terdapat kehidupan manusia di daerah Kuningan. Sebelumnya
dinyatakan bahwa ±3500 Sebelum Masehi di daerah Kuningan sudah terdapat
kehidupan manusia dengan ditemukannya benda-benda zaman pra sejarah yakni
zaman Neolitikum dan Megalitikum di Situs Cipari alias Museum Purbakala
Cipari pada tahun 1972 yang menunjukan bahwa Situs Cipari mengalami dua kali
masa pemukiman, yaitu masa akhir Neolitikum dan awal pengenal perunggu yang
berkisar pada tahun 1000 Sebelum Masehi sampai 500 Sebelum Masehi. Pada
waktu itu masyarakat telah mengenal organisasi yang baik serta kepercayaan
berupa pemujaan terhadap nenek moyang (animisme dan dinamisme).
Sama halnya dengan peninggalan benda-benda arkeolog di Situs Pasir
Lulumpang-Garutyang merupakan peninggalan dari tradisi megalitik berupa
punden berundak yang dilengkapi lumpang-lumpang batu, hal ini merupakan satu
model bangunan punden yang sebelumnya belum pernah dijumpai.Lumpang-
lumpang batu itu seakan-akan menjadi pengganti menhir yang sering dijumpai
melengkapi bangunan-bangunan punden berundak seperti punden berundak Lebak
Cibedug, Pangguyangan (Cisolok).Lumpang-lumpang batu yang melengkapi
punden berundak di Situs Pasir Lulumpang kiranya merupakan artefak-artefak
simbolik dalam konteks yang berkaitan denagn sistem religi megalitik.52
Lumpang-lumpang batu di situs punden berundak Pasir Lulumpang
diperkirakan memiliki fungsi dalam kaitan pemujaan yang diselenggarakan oleh
51Ibid. Hlm. 26 52 Samudra, Dirgantara. 2011. Situs Bersejarah di Jawa
Barat.http://www.google.com/url?sa=Situs-sejarah-Jawa-barat-Samudra-Dirgantra Di unduh pada
tanggal 20 Januari 2015, pukul 14.00 WIB.
komunitas-komunitas pendukungnya.Tujuan pemujaan dengan menggunakan
lumpang batu atau batu dakon sebagai media upacara diperkirakan berhubungan
dengan upacara-upacara kesuburan/pertanian untuk keberhasilan panen nantinya
atau sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan panen yang dicapai.
Upacara-upacara semacam ini masih biasa diselenggarakan oleh komunitas-
komunitas petani tradisional di daerah Jawa Barat, yang lazim disebut upacara
Hajat Bumi; ngalaksa; serentaun seperti yang masih dilakukan secara adat oleh
Cikondang, Subang, Sukabumi53
dan Cigugur.
Kedua Situs ini, diketemukan pada tahun 1983. Kemudian kabar akan
adanya situs tersebut pun semakin meluas yang menurut warga Desa Sagarahiang
sudah didatangi oleh peneliti dari luar Negeri, seperti Prancis, Singapur, dan lain-
lain.
3. Koin
Gambar 10. Koin yang ditemukan di Situs Lingga
Sumber: Dokumentasi pribadi, 22 April 2014
Koin yang ditemukan di sekitar Situs Lingga tersebut, tidak diketahui
siapa yang menemukannya dan sama sekali belum diteliti oleh badan Arkeolog.
Hingga, keterangan akan usia dari benda tersebut belum dapat dipastikan.
4. Dugaan Batu Prasasti
Pada tahap proyek pembuatan wisata alam di Curug Palengseran, dekat
Situs Sanghiyang Ciarca, pembuatan wisata alam tersebut dilakukan oleh pemuda-
pemuda masyarakat Desa Sagarahiang yang dipimpin oleh Pa Tablo (Juru Kunci
53Ibid.
Situs Sagarahiang). Namun ketika penggalian disekitar Curug Palengseran itu
ditemukan batu yang berbeda dengan batu lainnya. Dimana diperkirakan batu
tersebut kemungkinan bagian dari sebuah prasasti.
Gambar 11. Serpihan Prasasti
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 23 Maret 2014
Kurangnya, dukungan dari pemerintah daerah dan pusat, membuat kinerja
penggalian menjadi lambat. Selain itu, memerlukan pula penelitian dari bidang
arkeologi agar dapat diketahui jenis batu yang ditemukan tersebut.
5. Penamaan Situs
Dari kedua Situs di atas, Situs Lingga dan Situs Sanghiang Ciarca, ketika
ditelisik dari nama dan benda-benda yang ada di dua Situs tersebut, mengalami
penamaan yang terbalik. Situs yang bernama Situs Lingga, biasanya nama situs
diambil karena terdapat lingga-yoni namun pada kenyataannya benda lingga-yoni
itu berada di Situs Sagarahiang atau Sangiang. Seharusnya Situs Sagarahianglah
yang bernama Situs Lingga.
Dilihat dari cerita lahirnya Situs tersebut yang telah dijelaskan di atas
bahwa adanya leluhur yang dikatakan “moksa”, sehingga situs tersebut dinamakan
Sanghyang. Dimana kata Sang diartikan sebagai leluhur, dan Hyang diartikan
menghilang.
C. Pengaruh Situs terhadap masyarakat Desa Sagarahiang
Dalam pemaparan “Sejarah Desa Sagarahiang” di atas disebutkan bahwa
usia desa tersebut diambil dari adanya budaya babaritan yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Sagarahiang. Budaya tersebut diadakan ketika mapag panen
atau ulang tahun desa, tepatnya pada tanggal 10 Syuro. Waktu yang digunakan
dalam acara babaritan yakni pada pagi hari tepat pukul 07:00, dimulai dengan
berkunjung ke Situs lingga dan Sanghiyang dengan membawa makanan sebagai
penghormatan terhadap penghuni atau perintis Desa tersebut. Mengapa ke Situs
Sanghiyang?karena, keyakinan masyarakat di sana mengenai leluhur-leluhur Desa
Sagarahiang yang bertempat di Situs Sanghiyang.
Selain itu, hasil dari tim peneliti Sejarah Jawa Barat yang dipimpin oleh
Bambang Suwando menyatakan bahwa,
“masyarakat Jawa Barat pada zaman neolitik dan zaman logam telah
hidup menetap dan bercocok tanam. Kehidupan bercocok tanam lebih
mendekatkan manusia kepada adanya kepercayaan. Sebab selama mereka
mengerjakan tanam padi, tanam ubi-ubian dan tanam palawija, selalu
berharap agar tanamannya itu akan mendapat hasil yang baik. Harapan
itu ditujukan kepada roh atau arwah-arwah gaib, yaitu nenek moyang
yang dianggapnya selalu memberikan pertolongan dan kesejahteraan
kepada mereka apabila dimintanya. Langkah pertama dalam bercocok
tanam ialah, bahwa mereka harus menyesuaikan diri dengan jalannya
musim, agar roh nenek moyang tidak menjadi marah dan menurunkan
bencana kepada hasil panen yang sangat diharapkan. Langkah
selanjutnya diikuti dengan berbagai macam kurban. Pertumbuhan
manusia dari masa dalam kandungan, lalu lahir ke dunia, tumbuh menjadi
besar dan dewasa, kawin dan menjadi tua serta menderita sakit dan
akhirnya meninggal. Kesemuanya ini merupakan tahap-tahap perubahan.
Ini semua akan menyebakan terganggunya keserasian yang dapat
mendatangkan bencana. Untuk menghindarkan bencana tersebut orang
lalu mengadakan korban untuk menghormati arwah nenek moyang”.54
Hal tersebut terjadi karena masyarakat pada zaman prasejarah yang lebih
konkritnya zaman neolitik dan zaman logam, manusia sudah mengenail adanya
54 Bambang Suwondo. Op.Cit. Hlm. 31-32
alam yang tak dapat dilihat oleh mata. Alam tersebut ialah “dunia gaib”. Dimana
di dalam dunia gaib tersebut terdapat arwah nenek moyang, hantu, syetan, jin,
peri, dan lain-lainnya.55
Hingga kemudian melahirkan kepercayaan bahwa arwah
nenek moyang khususnya arwah leluhur masih ada disekitar kita dengan alamnya
yang berbeda.
Biasanya orang yang telah meninggal, arwahnya, seperti arwah para
leluhur, dipercaya bersemayam di tempat-tempat tertentu seperti di atas punden
berundak, menhir,arca nandi, lingga-yoni, dan patung-patung lainnya.Benda-
benda tersebut dibuat sendiri untuk dijadikan tempat pengadaan upacara
kurban.56
Kiranya, Situs Sagarahiang yang memiliki benda-benda menhir, punden
berundak, arca nandi, dan lingga-yoni, hal ini lah yang kemudian melahirkan
budaya babaritan di Desa Sagarahiang.
Lazimnya, budaya babaritan diselenggarakan bukan hanya di Desa
Sagarahiang, di desa-desa yang lain pun ketika diteliti, memang ada yang
melakukannya. Seperti di Cigugur setiap tahun diadakan budaya Seren Taun, dan
di desa Jamberama, Kecamatan Selajambe-Kuningan yang setiap tahunnya selalu
diadakan budaya babaritan. Namun, dengan adanya arus globalisasi dan
penghujatan bahwa budaya tersebut dikatakan bid‟ah sehingga budaya babaritan
sudah jarang dilakukan oleh masyarakat.Terkecuali di Desa Sagarahiang, dimana
di desa ini budaya tersebut masih sering dilakukan.
Terlepas dari pengaruh Situs terhadap masyarakat Desa Sagarahiang, kita
“flashback” mengenai sejarah Situs yang dinyatakan adanya tokoh Lutung
Kasarung dan Nyi Pellet, meskipun tidak ditemukan bukti-bukti, bisa jadi ketika
meletusnya Gunung Ciremai pada tahun 1712 dan 180557
membuat bukti-bukti itu
ditelan bumi. Mungkin dalam benak kita akan muncul pertanyaan, kenapa benda-
benda di Sagarahiang masih tersisa? Ternyata setelah dilihat letak Situs yang
berorientasi barat laut-tenggara ke arah Gunung Gegerhalang yang berada di
depan Gunung Ciremai. Sehingga ketika Gunung Ciremai meletus, letusannya
55Ibid. Hlm. 31 56Ibid. Hlm 32 57Ibid. Hlm 47
terhalangi oleh Gunung Gegerhalang, hingga akhirnya Desa Sagarahiang, daerah
sekitar Darma, dan Talaga tidak terkena lahar gunung Ciremai.
Dapat dilihat gambaran Gunung Gegerhalang yang menghalangi Gunung
Ciremai di lampiran.