Upload
hoangnhi
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Organisasi Non-Profit
Organisasi nirlaba atau organisasi non-profit adalah suatu organisasi yang
bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal didalam menarik perhatian
publik untuk suatu tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal
yang bersifat mencari laba (moneter). (Komang, 2008)
Karakter dan tujuan dari organisasi non-profit menjadi jelas terlihat ketika
dibandingkan dengan organisasi profit. Organisasi non-profit berdiri untuk
mewujudkan perubahan pada individu atau komunitas, sedangkan organisasi profit
sesuai dengan namanya jelas-jelas bertujuan untuk mencari keuntungan. Organisasi
non-profit menjadikan sumber daya manusia sebagai asset yang paling berharga,
karena semua aktivitas organisasi ini pada dasarnya adalah dari, oleh dan untuk
manusia. (Komang, 2008)
Organisasi profit memiliki kepentingan yang besar terhadap berkembangnya
organisasi nirlaba. Dari organisasi inilah sumber daya manusia yang handal terlahir,
memiliki daya saing yang tinggi, aspek kepemimpinan, serta sigap menghadapi
perubahan. Hampir diseluruh dunia ini, organisasi nirlaba merupakan agen perubahan
terhadap tatanan hidup suatu komunitas yang lebih baik. Daya jelajah mereka
11
menyentuh pelosok dunia yang bahkan tidak bisa terlayani oleh organisasi
pemerintah. Kita telah saksikan sendiri, bagaimana efektifnya daya jelajah organisasi
nirlaba ketika terjdi bencana tsunami di Aceh, ratusan organisasi nirlaba dari seluruh
dunia seakan berlomba membuat prestasi tehadap proyek kemanusiaan bagi
masyarakat Aceh. (Komang, 2008)
Menurut Sri Sapto (2009), organisasi nirlaba dapat didefinisikan secara
hukum sebagai organisasi yang tidak dapat mendistribusikan aset atau pendapatannya
untuk kepentingan dan kesejahteraan pekerja atau pemimpinnya. Akan tetapi dibalik
pembatasan yang demikian, terdapat beberapa kelonggaran. Yang pertama adalah
organisasi nirlaba tidak dilarang untuk memberikan kompensasi untuk pekerjanya
sebagai imbal balik atas kinerja yang diberikan. Yang kedua adalah organisasi nirlaba
tidak dilarang untuk mencari keuntungan, akan tetapi sekali lagi bukan untuk
didistribusikan melainkan untuk pendanaan proyek lainnya. Keuntungan lainnya
adalah organisasi nirlaba tidak dikenai pajak. Sementara pendapat lain menyebutkan
bahwa organisasi nirlaba adalah organisasi yang menuntut manajemennya untuk
mampu memberikan program dan pelayanan kepada publik sesuai dengan apa yang
disyaratkan oleh para penyandang dana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
organisasi nirlaba sangat tergantung kepada penyandang dana dan memberikan
pelaporan kepada para pelaporan kepada penyandang dana tersebut.
12
2.1.1 Non-Government Organization (NGO)
Non-Government Organization (NGO) yang jika diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia berarti Organisasi Non Pemerintah atau lebih dikenal dengan
sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ririen (2009) NGO adalah suatu
kelompok atau asosiasi nirlaba yang beraktifitas di luar struktur politik yang
terinstitusionalisasi. Pencapaian hal-hal yang menjadi minat atau tujuan anggotanya
diupayakan melalui lobi, persuasi, atau aksi langsung.
Ririen (2009), NGO biasanya memperoleh sebagian pendanaannya dari
sumber-sumber swasta. Semakin baik kinerja dan produktifitas yang dihasilkan oleh
sebuah NGO sehingga manfaat yang dirasakan oleh masyarakat semakin besar, maka
dana yang akan mengalir ke NGO tersebut tentunya akan semakin besar pula. Hal itu
menunjukkan bahwa kepercayaan dari pihak-pihak donatur untuk mendanai sebuah
NGO tentu saja semakin besar.
Candra (2009), World Bank membagi NGO ke dalam 2 kelompok, yaitu
1. NGO Operasional
Tujuan utamanya adalah perancangan dan implementasi proyek
pengembangan. Kelompok ini menggerakkan sumber daya dalam bentuk
keuangan, material atau tenaga relawan, untuk menjalankan proyek dan
program mereka. Proses ini umumnya membutuhkan organisasi yang
kompleks. NGO operasional ini masih dapat dibagi atas 3 kelompok besar:
a. Organisasi berbasis masyarakat – yang melayani suatu populasi
khusus dalam suatu daerah geografis yang sempit;
13
b. Organisasi Nasional – yang beroperasi dalam sebuah negara yang
sedang berkembang, dan
c. Organisasi Internasional – yang pada dasarnya berkantor pusat di
negara maju dan menjalankan operasi di lebih dari satu negara yang
sedang berkembang.
2. NGO Advokasi
Tujuan utamanya adalah mempertahankaan atau memelihara suatu isu khusus
dan bekerja untuk mempengaruhi kebijakan dan tindakan pemerintah untuk
atau atas isu itu. Berlawanan dengan manajemen proyek operasional,
organisasi ini pada dasarnya berusaha untuk meningkatkan kesadaran
(awareness) dan pengetahuan dengan melakukan lobi, kegiatan pers dan
kegiatan-kegiatan aktivis. NGO ini pada dasarnya bekerja melalui advokasi
atau kampanye atas suatu isu dan tidak mengimplementasikan program.
Kelompok ini menjalankan fungsi yang hampir sama dengan kelompok
operasional, namun dengan tingkatan dan komposisi yang berbeda. Pencarian
dana masih perlu namun dengan ukuran yang lebih kecil.
Menurut Abidin & Rukmini dalam Zulfan (2008), karakteristik NGO sendiri
pada umumnya adalah :
1. Independen, artinya tidak berafiliasi kepada sebuah kekuatan politik
tertentu.
2. Nirlaba, artinya non-profit atau tidak mencari keuntungan, dan
mengutamakan kepentingan masyarakat.
3. Sukarela, lebih menyediakan waktu untuk kepentingan lemabaga.
14
4. Non-birokratis, tidak melalui prosedur yang berbelit-belit.
5. Komunitas kecil, terdiri dari beberapa orang saja, dilihat dari struktur dan
ruang lingkup.
6. Lahir dan dekat dengan lapisan masyarakat bawah (grassroots).
Philip Elderidge (1995) dalam Zulfan (2008) mengajukan tiga model
hubungan NGO dengan negara, dilihat dari orientasi NGO dalam menjalankan
berbagai kegiatannya, yaitu:
1) High Level Partnership: Grassroots Development. Karakteristik jenis ini
ditandai hubungan yang sangat partisipatif, mengutamakan kegiatan yang
berkaitan dengan pembangunan dibanding dengan kegiatan yang bersifat
advokasi, kurang memiliki minat pada hal yang bersifat politis, tapi
mempunyai perhatian yang besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah
dengan selalu memelihara dukungan pada tingkat grassroots.
2) High Level Politics: Grassroots Mobilization. Karakteristik jenis ini
cenderung hanya aktif dalam kegiatan politik dan umumnya bersifat advokatif
terutama untuk mendukung peningkatan kesadaran politik di tingkat
masyarakat.
3) Empowerment at the grassroots. Karakteristik jenis ini cenderung
memusatkan perhatian pada pemberdayaan masyarakat pada tingkat
grassroots, dan tidak berminat mengadakan kontak dengan pemerintah dan
umumnya tidak mau terlibat dalam kegiatan berskala besar.
15
2.2 Motivasi Kerja
Motivasi merupakan suatu keadaan atau kondisi yang mendorong,
merangsang atau menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu atau kegiatan
yang dilakukannya sehingga ia dapat mencapai tujuannya. Menurut Winardi (2007)
dalam Yakub (2010), motivasi berasal dari kata motivation yang berarti
”menggerakkan”. Motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal
atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap entutiasme
dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Sedangkan
motivasi kerja adalah suatu kekuatan potensial yang ada dalam diri seorang manusia,
yang dapat dikembangkannya sendiri atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar
yang pada intinya berkisar sekitar imbalan moneter dan non-moneter, yang dapat
mempengaruhi hasil kinerjannya secara positif atau secara negatif, hal mana
tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang yang bersangkutan.
Martoyo (2004) dalam Yakub (2010) memberikan pengertian motivasi kerja
adalah pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan atau
keadaan yang menimbulkan “dorongan” kerja. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa motivasi kerja adalah faktor yang mendorong orang untuk bekerja dengan cara
tertentu. Dorongan dapat berupa positif dan negatif, dorongan positif akan
menghasilkan kemampuan yang bermanfaat bagi organisasi, akan tetapi dorongan
yang negatif akan berdampak terhadap kerugian organisasi.
16
Maslow memandang kebutuhan manusia berdasarkan suatu hirarki kebutuhan
dari kebutuhan yang paling rendah hingga kebutuhan yang paling tinggi. Model
Maslow ini sering disebut dengan model hierarki kebutuhan. Karena menyangkut
kebutuhan manusia, maka teori ini digunakan untuk menunjukkan kebutuhan
seseorang yang harus dipenuhi agar individu tersebut termotivasi untuk kerja.
Menurut Mary Ann dan Steven (2008), kebutuhan pokok manusia yang diidentifikasi
Maslow dalam urutan kadar pentingnya adalah sebagai berikut:
a) Phycological needs, yaitu kebutuhan fisik seperti pangan, sandang,
dan papan.
b) Security needs, yaitu kebutuhan keamanan jiwa, raga, dan harta benda
milik. Jika dikaitkan dengan kerja maka kebutuhan akan keamanan
sewaktu bekerja, perasaan aman yang menyangkut masa depan
pekerja.
c) Social needs atau kebutuhan sosial untuk memiliki keluarga dan sanak
saudara, rasa dihormati, status sosial, harga diri, dan kebutuhan
pendidikan dan agama.
d) Esteem needs, yaitu kebutuhan prestise dan percaya diri dengan
berbagai titel dan gelar-gelar kehormatan.
e) Self-actualization needs, yaitu suatu kebutuhan aktualisasi diri sebagai
bukti kesuksesan seseorang dalam berkarya.
Apabila seseorang dapat memenuhi kelima tingkatan kebutuhannya secara
harmonis melalui imbalan kerja yang diperolehnya dari organisasi tempat dia
mengabdi, maka dapat diperkirakan akan sangat memotivasi orang bekerja giat, tanpa
17
diperintah orang lain. Kesimpulan yang dapat ditarik dari teori ini adalah untuk
memotivasi orang bekerja giat sesuai keinginan kita, sebaiknya kita memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan harapannya. Namun kelemahan dari teori ini
adalah bahwa kebutuhan manusia itu tidaklah berjenjang dan hierarkis, tetapi
kebutuhan itu perlu dipenuhi secara simultan pada tingkat intensitas tertentu, dengan
menentukan apa yang harus dipenuhi lebih dahulu.
Dari semua uraian tersebut dapat diketahui bahwa motivasi kerja mendorong
timbulnya perilaku dan mempengaruhi serta mengubah perilaku. Pendapat ini
mengarah kepada apa yang disebut sebagai fungsi motivasi, yaitu: mendorong
timbulnya kelakuan atau perbuatan. Tanpa motivasi tidak akan timbul sesuatu
perbuatan/tindakan. Motivasi kerja berfungsi seperti pengarah, artinya mengarahkan
perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Motivasi kerja berfungsi sebagai
penggerak. Besar kecilnya motivasi kerja akan menentukan cepat atau lambatnya
suatu pekerjaan.
Robbin (2002) mengemukakan bahwa motivasi kerja adalah keinginan untuk
melakukan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk
tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan untuk kemampuan upaya itu untuk
memenuhi kebutuhan individual.
Radig (1998), Soegiri (2004) dalam Antoni (2006) mengemukakan bahwa
pemberian dorongan sebagai salah satu bentuk motivasi, penting dilakukan untuk
meningkatkan gairah kerja sehingga dapat mencapai hasil yang dikehendaki oleh
organisasi. Hubungan motivasi, gairah kerja, dan hasil optimal mempunyai bentuk
linear dalam arti dengan pemberian motivasi kerja yang baik, maka gairah kerja akan
18
meningkat dan hasil kerja akan optimal sesuai dengan standar kinerja yang
ditetapkan. Gairah kerja sebagai salah satu bentuk motivasi dapat dilihat antara lain
dari tingkat kehadiran, tanggungjawab terhadap waktu kerja yang telah ditetapkan.
Mangkunegara (2005), dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa
terdapat dua teknik memotivasi pekerja, yaitu:
1. Teknik pemenuhan kebutuhan pekerja, artinya bahwa pemenuhan
kebutuhan pekerja merupakan fundamen yang mendasari perilaku kerja.
2. Teknik komunikasi persuasive, adalah merupakan salah satu teknik
memotivasi kerja pekerja yang dilakukan dengan cara mempengaruhi
pekerja secara ekstra logis. Teknik ini dirumuskan dengan istilah
“AIDDAS” yaitu Attention (perhatian), Interest (minat), Desire (hasrat),
Decision (keputusan), Action (aksi atau tindakan), dan Satisfaction
(kepuasan). Penggunaannya, pertama kali pemimpin harus memberikan
perhatian kepada pekerja tentang pentingnya tujuan dari suatu pekerjaan
agar timbul minat pegawai terhadap pelaksanaan kerja, jika telah timbul
minatnya maka hasratnya akan menjadi kuat untuk mengambil keputusan
dan melakukan tindakan kerja dalam mencapai tujuan yang diharapkan
oleh pemimpin. Dengan demikian, pegawai akan bekerja dengan motivasi
tinggi dan merasa puas terhadap hasil kerjanya.
19
2.3 Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan serangkaian nilai-nilai, norma-norma
kepercayaan, dan pengertian yang dianut oleh anggota organisasi dan dianggap
sebagai kebenaran bagi anggota yang baru dan penerapan suatu budaya tentunya akan
berdampak pada kinerja yang dicapai oleh organisasi itu sendiri.
Schein dalam Yakub (2010) menyatakan bahwa budaya organisasi dapat
diartikan sebagai pola asumsi dasar yang ditemukan, diteliti atau dikembangkan oleh
berbagai kelompok yang ada dalam organisasi. Definisi Schein ini mengilustrasikan
bahwa budaya mencakup asumsi dasar yang dipelajari oleh anggota organisasi yang
kemudian dikembangkan di dalam organisasi tersebut.
Sedangkan Martin dan Powers dalam Yakub (2010) menjelaskan budaya
organisasi berdasarkan pendekatan fungsional :
1. Budaya memberikan interpretasi tentang sejarah lembaga yang dapat
digunakan oleh anggota untuk menguraikan bagaimana mereka diharapkan
untuk berperilaku di masa depan.
2. Budaya dapat menciptakan kepatuhan terhadap nilai-nilai organisasi atau
falsafah manjemen sehingga pekerja merasa mereka bekerja untuk sesuatu
yang mereka yakini.
3. Budaya dapat memberikan mekanisme pengendalian organisasional, yang
secara informal menyetujui atau melarang beberapa pola perilaku.
4. Ada kemungkinan bahwa beberapa macam budaya organisasi dikaitkan
dengan produktivitas dan profitabilitas yang lebih besar.
20
Budaya organisasi adalah sistem nilai-nilai yang diyakini semua anggota
organisasi dan yang dipelajari, diterapkan serta dikembangkan secara
berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan
berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Pengertiannya, bahwa budaya organisasi adalah nilai yang menentukan arah perilaku
dari anggota di dalam organisasi. Jika value tadi menjadi shared value, maka
terbentuk sebuah kesamaan persepsi akan perilaku yang sesuai dengan karakter
organisasi. Dengan demikian, budaya organisasi memandu dan membentuk sikap
serta perilaku pekerja.
Dari berbagai pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi
merupakan nilai-nilai dasar yang dibentuk, dikembangkan dan menjadi pedoman
bertindak bagi anggota organisasi, yang menjadi identitas dari organisasi tersebut dan
membedakan dari organisasi yang lain.
Beberapa manfaat budaya organisasi dikemukakan oleh Robbins (2001)
dalam Yakub (2010) sebagai berikut:
1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas. Artinya budaya
menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lainnya.
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
Dengan budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi akan memiliki
identitas yang merupakan ciri khas organisasi.
3. Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu.
Nilai-nilai yang sudah disepakati bersama, akan dijadikan tolak ukur tindakan
dari setiap individu, dan akan mengesampingkan kepentingannya sendiri.
21
4. Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen-komponen organisasi yang
direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi
organisasi relatif stabil.
Keempat fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat
membentuk perilaku dan tindakan pekerja dalam menjalankan aktivitasnya di dalam
organisasi, sehingga nilai-nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu ditanamkan
sejak dini pada setiap individu.
Budaya organisasi tidak terbentuk dengan sendirinya. Budaya organisasi ada
di dalam suatu organisasi karena adanya campur tangan manusia yang ada di
dalamnya. Budaya merupakan fenomena yang melingkupi kehidupan manusia
sepanjang waktu karena secara konstan diperankan dan dibentuk oleh manusia.
Selanjutnya Tika (2006) memberikan kesimpulan tentang proses
pembentukan budaya organisasi melalui empat tahapan, yaitu tahap pertama
terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi dengan
kelompok/perorangan dalam organisasi. Pada tahap kedua adalah dari interaksi
menimbulkan ide yang ditransformasikan menjadi artifak, nilai, dan asumsi. Tahap
ketiga adalah bahwa artifak, nilai dan asumsi akan diimplementasikan sehingga
membentuk budaya organisasi. Tahap terakhir adalah bahwa dalam rangka
mempertahankan budaya organisasi dilakukan pembelajaran (learning) kepada
anggota baru dalam organisasi.
22
2.4 Kepemimpinan
Dubrin (2005), mengungkapkan bahwa kepemimpinan itu adalah upaya
mempengaruhi banyak orang melalui komunikasi untuk mencapai tujuan dengan cara
mempengaruhi orang dengan petunjuk atau perintah, atau tindakan yang
menyebabkan orang lain bertindak atau merespons dan menimbulkan perubahan
positif, kekuatan dinamis yang penting untuk memotivasi dan mengkoordinasikan
organasasi dalam rangka mencapai tujuan, kemampuan untuk menciptakan rasa
percaya diri dan dukungan diantara pekerja agar tujuan organisasional dapat tercapai.
Nimran (2004) mengemukakan bahwa kepemimpinan atau leadership adalah
merupakan suatu proses mempengaruhi perilaku orang lain agar berperilaku seperti
yang akan dikehendaki. Robbins (1996) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan
bahwa kepemimpinan adalah sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu
kelompok kearah tercapainya tujuan.
Siagian (2002) mengemukakan bahwa peranan pemimpin atau kepemimpinan
dalam organisasi atau perusahaan ada tiga bentuk yaitu peranan yang bersifat
interpersonal, peranan yang bersifat informasional, dan peran pengambilan
keputusan. Yang dimaksud dengan peranan yang bersifat interpersonal dalam
organisasi adalah bahwa seorang pemimpin dalam perusahaan atau organisasi
merupakan simbol akan keberadaan organisasi, seorang pemimpin bertanggung jawab
untuk memotivasi dan memberikan arahan kepada bawahan, dan seorang pemimpin
mempunyai peran sebagai penghubung. Peranan yang bersifat informasional
mengandung arti bahwa seorang pemimpin dalam organisasi mempunyai peran
23
sebagai pemberi, penerima dan penganalisa informasi. Sedangkan peran pemimpin
dalam pengambilan keputusan mempunyai arti bahwa pemimpin mempunyai peran
sebagai penentu kebijakan yang akan diambil berupa strategi-strategi yang mampu
untuk mengembangkan inovasi, mengambil peluang atau kesempatan dan
bernegosiasi dan menjalankannya dengan konsisten.
Kepemimpinan pada intinya merupakan proses mempengaruhi orang lain
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengertian ini menekankan pada
kalimat mempengaruhi orang lain, yang di dalamnya terkandung unsur hubungan,
proses, dan kegiatan. Untuk mencapai tujuan bersama, seorang pemimpin perlu
menggunakan berbagai cara. Cara-cara tersebut biasanya diwujudkan dengan
memberi petunjuk, mengarahkan, dan membina untuk melakukan berbagai aktivitas
yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Menurut Gupta (2004) dalam Yakub (2010), paling tidak ada tiga perspektif
yang bersifat universal dan lintas budaya terkait dengan kepemimpinan, yaitu:
1. Kepemimpinan neo karismatik / transformasional. Teori ini fokus pada
bagaimana pemimpin menciptakan kinerja yang baik dari pengikutnya melalui
transendensi perilaku kepentingan pribadi dengan jalan menunjukkan
kebutuhan akan aktualisasi diri yang tinggi, memegang erat nilai-nilai
personal, dan motivasi implisit para pengikut. Singkatnya perspektif ini
adalah ikatan bersama antara pemimpin dan pengikut dalam satu tujuan yang
saling menguntungkan.
2. Kepemimpinan berorientasi regu (team-oriented leadership). Teori ini fokus
pada interaksi antara pimpinan dan anggota kelompok, secara spesifik
24
menekankan kemampuan pemimpin untuk meningkatkan tingkat partisipasi
kelompok dan keterlibatannya. Perspektif ini dapat dikatakan sebagai leader-
member exchange theory, yang menguji kepemimpinan dari teori peran.
3. Kepemimpinan berbasis nilai (value-based leadership). Perspektif ini
dikembangkan dan menyatakan bahwa pemimpin mengartikulasikan visi dan
misi dalam bentuk ideologis, menunjukkan rasa percaya diri yang tinggi akan
keyakinan-keyakinan diri, dan seperangkat contoh keterlibatan dan komitmen
terhadap misi organisasi.
Sejalan dengan tiga orientasi itu, maka berkembang aneka gaya
kepemimpinan. Beberapa di antaranya yang popular adalah:
1. Gaya kepemimpinan otokratis
Dalam kepemimpinan yang otokratis, pemimpin bertindak sebagai diktator
terhadap anggota kelompoknya. Sebagai pemimpin, ia hanya menunjukkan
dan memberi perintah dan kewajiban bawahan untuk mengikuti dan
menjalankannya, tidak boleh membantah ataupun mengajukan saran.
2. Gaya kepemimpinan laissez-faire
Dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan
pimpinan. Pimpinan sama sekali tidak memberikan kontrol atau koreksi
terhadap pekerjaan anggota-anggotanya. Pembagian tugas dan kerja sama
diserahkan pada anggota-anggota kelompok, tanpa petunjuk dari pimpinan
atau berupa saran-saran dari pimpinan. Kepemimpinan model ini memberikan
kebebasan seluas-luasnya pada keputusan kelompok atau individu, tanpa ikut
sertanya pemimpin.
25
3. Gaya kepemimpinan demokratis
Pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan
sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota
kelompok. Pemimpin selalu berusaha menstimulasi anggota - anggotanya agar
bekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Ciri - ciri gaya
kepemimpinan demokratis adalah: semua kebijaksanaan merupakan
pembicaraan dan keputusan kelompok, didorong dan dibantu pemimpin.
4. Gaya kepemimpinan karismatik
Kepemimpinan karismatik diidentifikasikan sebagai kepemimpinan penting
dalam hubungannya dengan kepuasan. Pemimpin karismatik dipandang
sebagai mistis, narsistik, dan memiliki kemampuan personal yang magnetis.
Kepemimpinan di seluruh organisasi memegang peranan yang vital, demikian
pula dalam organisasi nirlaba. Kriteria pemimpin organisasi nirlaba yang paling
utama adalah memiliki kemauan. Pemimpin harus memiliki niat dan bukan dipaksa
oleh orang lain. Kriteria kedua adalah memiliki kapasitas untuk mendengar dan
menyelesaikan permasalahan. Kriteria ketiga adalah memiliki kemampuan
mengkader. Dengan mengkader maka keberlangsungan organisasi akan dapat
terjamin. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang bukan menghambat
kemunculan kader-kader yang lebih muda, tetapi justru memberi inspirasi dan
motivasi bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang. Kriteria keempat adalah
memiliki kemampuan dalam hal pengumpulan dana. Hal ini sangat terkait dengan
kemampuan determinasi serta kecerdasan pemimpin dalam merajut relasi antara
donatur, volunteer, dan masyarakat. (Komang, 2007)
26
Dari uraian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah penilaian
pimpinan dalam mempengaruhi bawahan sebagai upaya untuk mencapai tujuan
organisasi yang direfleksikan dengan indikator: memberikan pengarahan kepada
bawahan, memberikan dukungan kepada bawahan, mengikutsertakan bawahan dalam
mengambil kebijaksanaan, bersifat empati kepada bawahan, dan memberikan
penghargaan kepada bawahan.
2.5 Kepuasan Kerja
Werther dan Davis (1986) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa
kepuasan kerja adalah kondisi kesukaan atau ketidaksukaan menurut pandangan
pekerja terhadap pekerjaannya. Dole dan Schroeder (2001) dalam Brahmasari (2008),
mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan dan
reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya. Testa (1999) dan Locke (1983)
dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan
kegembiraan atau pernyataan emosi yang positif hasil dari penilaian salah satu
pekerjaan atau pengalaman pengalaman pekerjaan. Lebih lanjut Koesmono (2005)
dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan
penilaian, perasaan atau sikap seseorang atau pekerja terhadap pekerjaannya dan
berhubungan dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan antar
teman kerja, hubungan sosial ditempat kerja dan sebagainya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja adalah dipenuhinya beberapa
keinginan dan kebutuhannya melalui kegiatan kerja atau bekerja. Gibson, Ivancevich,
27
dan Donnely (1996) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
merupakan bagian dari proses motivasi. Kepuasan anggota organisasi dapat
dihubungkan dengan kinerja dan hasil kerja mereka serta imbalan dan hukuman yang
mereka terima. Oleh karena itu, tingkat kepuasan kerja dalam organisasi dapat
ditunjukkan dengan hasil seperti sikap anggota organisasi, pergantian pekerjaan
anggota organisasi, kemangkiran atau absensi, keterlambatan, dan keluhan yang biasa
terjadi dalam suatu organisasi.
Robbins (2001) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kepuasan
kerja adalah sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya.
Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan
kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering
kurang dari ideal, dan hal serupa lainnya. Ini berarti penilaian (assesment) seorang
pekerja terhadap puas atau tidak puasnya dia terhadap pekerjaan merupakan
penjumlahan yang runit dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit (terbedakan dan
terpisahkan satu sama lain).
Menurut Ramayah (2001) dan Janssen (2001) dalam Koesmono (2005:28)
mengemukakan bahwa seorang manajer akan sangat peduli pada aspek kepuasan
kerja, karena mempunyai tanggung jawab moral apakah dapat memberikan
lingkungan yang memuaskan kepada pekerjanya dan percaya bahwa perilaku pekerja
yang puas akan membuat kontribusi yang positif terhadap organisasi. Para manajer
merasakan usaha dan kinerja mereka berhasil apabila keadilan dalam penghargaan
memberikan tingkat kepuasan kerja dan kinerja. Situasi pekerjaan yang seimbang
akan meningkatkan perasaan dalam kontrol terhadap kehidupan kerja dan
28
menghasilkan kepuasan kerja. Sehingga para manajer mempunyai tanggung jawab
untuk meningkatkan kepuasan kerja para bawahannya agar dapat memberikan
kontribusi yang positif pada organisasinya.
Davis (1985) dalam Mangkunegara (2005) mengemukakan bahwa: job
satisfaction is related to a number of major employee variables, such as turnover,
absences, age, occupation, and size of the organization in which an employee works.
Berdasarkan pendapat tersebut, Mangkunegara (2005) mengemukakan bahwa
kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel seperti tingkat absensi, umur,
tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi. Kepuasan kerja berhubungan dengan
tingkat absensi (kehadiran) mengandung arti bahwa pegawai yang kurang puas
cenderung tingkat ketidakhadirannya tinggi. Kepuasan kerja berhubungan dengan
umur mengandung arti bahwa pegawai yang cenderung lebih tua akan merasa lebih
puas daripada pegawai yang berumur relatif lebih muda, karena diasumsikan bahwa
pegawai yang tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan
pekerjaan dan pegawai dengan usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal
tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja
terdapat kesenjangan atau ketidak-seimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi
tidak puas. Kepuasan kerja dihubungkan dengan tingkat pekerjaan mengandung arti
bahwa pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih
puas daripada pegawai yang menduduki pekerjaan yang lebih rendah, karena pegawai
yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan
aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja. Kepuasan kerja
berhubungan dengan ukuran organisasi mengandung arti bahwa besar kecilnya
29
organisasi dapat mempengaruhi proses komunikasi, koordinasi, dan partisipasi
pegawai sehingga dapat mempengaruhi kepuasan kerja.
Mangkunegara (2005) mengemukakan bahwa ada 2 (dua) faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja yaitu faktor yang ada pada diri pegawai dan faktor
pekerjaannya. Faktor yang ada pada diri pegawai yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan
khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja,
kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, dan sikap kerja. Sedangkan faktor
pekerjaan yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan,
mutu pengawasan, jaminan keuangan, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial,
dan hubungan kerja.
2.5.1 Mengukur Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang paling sering dipelajari
dalam penelitian perilaku organisasi. Menurut Spector (1997) dalam Santoso (2009),
kepuasan kerja didefinisikan sejauh mana orang menyukai atau tidak menyulai
pekerjaan mereka.
Cara yang paling umum dalam mengukur kepuasan kerja adalah dengan
menggunakan skala penilaian dimana pekerja melaporkan mengenai pekerjaannya.
Dalam kaitannya dengan proyek DIPECHO yang dilaksanakan oleh Wetlands
International maka pertanyaannya yang berhubungan imbalan, tanggungjawab kerja,
berbagi tugas, dan rekan kerja. Beberapa kuesioner bertanya “ya” atau “tidak”
sedangkan yang lain meminta untuk menilai kepuasan pada skala 1 – 5 (1 mewakili
30
dimana “sama sekali tidak puas” dan 5 mewakili “sangat puas”). Demikian pula
yang dikatakan George dan Jones dalam Santoso (2009), tingkat kepuasan kerja dapat
berkisar antara sangat puas ke sangat tidak puas.
Menurut Greenberg dan Baron (2003) dalam Santoso (2009), pendekatan
yang paling umum untuk mengukur kepuasan kerja ialah dengan menggunakan
kuesioner di dalamnya menggunakan skala rating-rating seperti berikut ini :
1. Job Descriptive Index (JDI)
Sebuah kuesioner pengukuran yang didalamnya menggambarkan beberapa
aspek pekerjaan, diantaranya mengenai pekerjaan itu sendi, gaji/imbalan,
peluang promosi, supervision, dan hubungan kerja. Bentuk jawaban atas
pertanyaan digambarkan dengan 2 penilaian “iya” atau “tidak”, yang
tergolong dalam skala nominal.
2. Minnesota Satisfaction Questionnare (MSQ)
Sebuah kuesioner pengukuran yang didalamnya orang-orang
mengindikasikan kepuasan dengan memperluas aspek-aspek mengenai
pekerjaannya. Bentuk jawaban atas pertanyaan digambarkan dengan skala
likert, dimana nilai tertinggi merupakan tingkatan dari kepuasan kerja.
3. Pay Satisfaction Questionnare (PSQ)
Sebuah kuesioner yang dirancang untuk menilai tingkat kepuasan kerja
dengan berbagai aspek mengenai benefit yang diperoleh.
Robbins (2001) dalam Brahmasari (2008) menambahkan bahwa ada 2 cara
pendekatan untuk mengukur yakni single global rating dan summation score yang
terdiri dari sejumlah aspek pekerjaan. Pada single global rating hanya bertanya pada
31
setiap individu untuk meresponse sebuah pertanyaan, seperti “Semua hal
dipertimbangkan, seberapa puaskah anda dengan pekerjaan anda?”. Responden
kemudian menjawab dengan melingkari bulatan antara 1 - 5 (dari sangat puas sampai
tidak puas). Pendekatan lainnya dengan sebuah summation of score dari berbagai
aspek pekerjaannya, ini merupakan hal yang sulit diukur. Diidentifikasikan dengan
elemen-elemen kunci yang ada dalam sebuah pekerjaan dan menanyakan bagaimana
perasaan mereka mengenai setiap aspek pekerjaan itu. Faktor yang umum yakni sifat
dari pekerjaannya, pengawasan, gaji, peluang promosi dan hubungan kerja.
Berdasarkan penjelasan yang telah diperoleh, skala pengukuran yang sesuai
untuk mengukur kepuasan kerja ialah dengan menggunakan Minnesota Satisfaction
Questionnaire, dimana pengukuran setiap aspeknya menggunakan skala dari nilai
terendah sampai tertinggi (skala likert) dengan tingkat kepuasan dari (1) sangat tidak
setuju, (2) tidak setuju, (3) kurang setuju, (4) setuju, dan (5) sangat setuju. Dengan
cara pengukuran ini akan didapat tingkat kepuasan seseorang terhadap aspek-aspek
yang akan diuji.
2.6 Kinerja Organisasi
Konsep kinerja (performance) dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian
hasil atau degree of accomplishtment. Hal ini berarti bahwa, kinerja suatu organisasi
itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana organisasi dapat mencapai tujuan yang
didasarkan pada tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. (Haryoto, 2008)
32
Mengingat bahwa prinsip dari suatu organisasi itu adalah untuk mencapai
tujuan tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya, maka informasi tentang kinerja
organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting. Informasi tentang kinerja
organisasi dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah proses kerja yang dilakukan
organisasi selama ini sudah sejalan dengan tujuan yang diharapkan atau belum. Akan
tetapi dalam kenyataannya banyak organisasi yang justru kurang atau bahkan tidak
jarang ada yang tidak mempunyai informasi tentang kinerja dalam organisasinya.
(Haryoto, 2008).
Kinerja bisa juga dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses
tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumber-sumber
tertentu yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan hasil dari
serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu
organisasi. (Haryoto, 2008).
Bagi suatu organisasi, kinerja merupakan hasil dari kegiatan kerjasama
diantara anggota atau komponen organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan
organisasi. Sederhananya, kinerja merupakan produk dari kegiatan administrasi, yaitu
kegiatan kerjasama untuk mencapai tujuan yang pengelolaannya biasa disebut sebagai
manajemen. (Haryoto, 2008).
Cash dan Fischer (1987) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa
kinerja sering disebut dengan performance atau result yang diartikan dengan apa
yang telah dihasilkan oleh individu pekerja. Kinerja dipengaruhi oleh kinerja
organisasi (organizational performance) itu sendiri yang meliputi pengembangan
organisasi (organizational development), rencana kompensasi (compensation plan),
33
sistem komunikasi (communication system), gaya manajerial (managerial style),
struktur organisasi (organization structure), kebijakan dan prosedur (policies and
procedures). Robbins (2001) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa istilah
lain dari kinerja adalah human output yang dapat diukur dari produktivitas, absensi,
turnover, citizenship, dan satisfaction. Sedangkan Baron dan Greenberg (1990) dalam
Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kinerja pada individu juga disebut dengan
job performance, work outcomes, task performance.
2.6.1 Mengukur Kinerja Organisasi
Menurut Mahsun (2009) dalam Wirasata (2010) arti kinerja organisasi dari
berbagai literatur secara umum disarikan adalah gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perencanaan strategis
suatu organisasi. Sedangkan menurut Mahmudi (2010) dalam Wirasata (2010) kinerja
organisasi diartikan sebagai suatu konstruksi yang bersifat multidimensional dan
pengukurannya sangat bergantung pada kompleksitas faktor-faktor yang membentuk
dan mempengaruhinya, antara lain:
1. Faktor personal/individu, meliputi: pengetahuan, skill, kepercayaan diri,
motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu.
2. Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan,
semangat, arahan dan dukungan yang diberikan oleh manager atau team
leader.
34
3. Faktor tim, meliputi: kualitas dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam
satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakkan dan
keeratan anggota tim.
4. Faktor sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang
diberikan oleh organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja organisasi.
5. Faktor kontekstual/situasional, meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan
eksternal dan internal organisasi.
Untuk mengetahui kinerja organisasi maka setiap organisasi harus memiliki
kriteria keberhasilan berupa target-target tertentu yang hendak dicapai, dimana
tingkat pencapaian atas target tersebut didasarkan pada suatu konsep tertentu yang
sudah teruji validitasnya dalam melakukan pengukuran kinerja suatu organisasi.
Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kinerja adalah pencapaian atas tujuan
organisasi yang dapat berbentuk output kuantitatif maupun kualitatif, kreatifitas,
fleksibilitas, dapat diandalkan, atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi.