40
10 BAB II EFEK KEBERLAKUAN PUTUSAN MK Dalam bab ini, penulis hendak mendiskusikan mengenai prinsip erga Omnes sebagai salah satu efek keberlakuan dari putusan MK. Ketika MK membacakan putusan, tidak hanya subjek berperkara saja yang terikat melainkan semua lembaga negara seperti badan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif harus tunduk pada isi putusan MK tersebut. Prinsip ini melindungi MK selaku lembaga negara yang berwenang menguji undang-undang untuk dapat menjalankan tugas dengan semestinya tanpa intervensi dari lembaga negara lainnya. Oleh karena itu, hubungan antar lembaga negara dan kekuasaan kehakiman menjadi faktor penting para hakim dalam mengeluarkan putusan yang akan menjadi perhatian utama penulis dalam bab ini. Untuk tujuan itu, maka sistematika pembahasan dalam bab ini disusun sebagai berikut. Pertama, mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Infra Sub-Judul A). Kedua, menguraikan implikasi dari prinsip erga omnes pada putusan Mahkamah Konstitusi (Infra Sub-Judul B). Ketiga, menguraikan hubungan Mahkamah Konstitusi dengan badan pemerintahan yang lain (Infra Sub-Judul C). A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mendapatkan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk kekuasaan yudisial dalam kerangka sistem check

BAB II EFEK KEBERLAKUAN PUTUSAN MK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14638/2/T1_312012073_BAB II...EFEK KEBERLAKUAN PUTUSAN MK . Dalam bab ini, penulis hendak

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB II

EFEK KEBERLAKUAN PUTUSAN MK

Dalam bab ini, penulis hendak mendiskusikan mengenai prinsip erga

Omnes sebagai salah satu efek keberlakuan dari putusan MK. Ketika MK

membacakan putusan, tidak hanya subjek berperkara saja yang terikat melainkan

semua lembaga negara seperti badan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif harus

tunduk pada isi putusan MK tersebut. Prinsip ini melindungi MK selaku lembaga

negara yang berwenang menguji undang-undang untuk dapat menjalankan tugas

dengan semestinya tanpa intervensi dari lembaga negara lainnya. Oleh karena itu,

hubungan antar lembaga negara dan kekuasaan kehakiman menjadi faktor penting

para hakim dalam mengeluarkan putusan yang akan menjadi perhatian utama

penulis dalam bab ini.

Untuk tujuan itu, maka sistematika pembahasan dalam bab ini disusun

sebagai berikut. Pertama, mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia (Infra Sub-Judul A). Kedua, menguraikan implikasi dari prinsip erga

omnes pada putusan Mahkamah Konstitusi (Infra Sub-Judul B). Ketiga,

menguraikan hubungan Mahkamah Konstitusi dengan badan pemerintahan yang

lain (Infra Sub-Judul C).

A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah

melahirkan lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman yaitu

Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mendapatkan kewenangan khusus

yang merupakan salah satu bentuk kekuasaan yudisial dalam kerangka sistem check

11

and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan, dimana eksistensi

mengenai pengujian konstitusionalitas undang-undang menjadi jelas. Untuk

menjabarkan lebih lanjut mengenai pembentukan MK, maka penulis akan

menjabarkan dalam sistematika penulisan sebagai berikut. Pertama, mengenai

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman (Infra Sub-Judul 1).

Kedua, mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas

UU dibawah UUD 1945 (Infra Sub-Judul 2).

1. Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman

Kelahiran Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sejarah baru dalam ranah

kekuasaan kehakiman di Indonesia. MK memiliki kewenangan khusus yang

merupakan salah satu bentuk judicial control dalam rangka sistem check and

balances diantara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan. Dasar hukum

penbentukan MK terkandung dalam Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan

bahwa : “kekuasaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah agung dan

badan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi.” Kemudian diatur lebih lanjut pada peraturan

peralihan dalam Pasal III yang berbunyi “mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-

lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya

dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Atas amanat pasal 24 ayat (2) tersebut, untuk

mengatur segala tindakan Mahkamah Konstitusi, legislatif mengeluarkan UU

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. MK terbentuk lewat

perubahan ketiga UUD 1945 sebagai badan yudisial atau badan kehakiman. Artinya

hal kekuasaan yang terkandung pada MK masuk dalam bab kekuasaan kehakiman.

12

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum

Republik Indonesia.1 Dalam berjalannya suatu negara hukum, diperlukan adanya

pemisahan kekuasaan pemerintahan. Pemisahan kekuasaan ini dibagi menjadi 3

kategori yang dikenal dengan konsep trias politica. Konsep trias politica adalah

pemisahan kekuasaan kepada tiga lembaga berbeda, yaitu Legislatif, Eksekutif, dan

Yudisial. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Jhon Locke dan

disempurnakan oleh Montesquieuse hingga sekarang lebih dikenal dengan teori

pemisahan kekuasaan (separation of power). Pemerintah menerapkan prinsip

pemisahan kekuasaan pada cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

yudisial agar terwujudnya saling kontrol dan keseimbangan satu sama lain (check

and balances), dimana organ-organ pemerintah tidak lagi terstruktur secara

hierarki, tetapi terstruktur menurut fungsinya. Oleh karena itu, pada amandemen

ketiga UUD 1945 pemerintah membentuk Mahkamah Konstitusi agar tercapainya

cita-cita tersebut.

MK dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat

ditegakkan sebagaimana mestinya. Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar

1945 adalah tonggak konstitusional bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang

menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, Oleh

karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai the guardian of the

1 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

13

constitution.2 Itu menjadi salah satu bukti bahwa pemisahan kekuasaan (separation

of power) dalam struktur lembaga negara Indonesia terealisasi dengan baik.

Fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah menjaga Konstitusi untuk

menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum. Salah satu bentuk dari konstitusi

untuk menegakan konstitusionalitas ialah dengan melakukan pengujian undang-

undang dalam ketatanegaraan Indonesia. Agar MK dapat menjalankan fungsinya

dengan baik, Menurut Jimly Asshidiqie, menyatakan :

“Dalam konteks ketatanegaraan, MK dikonstruksikan sebagai

pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan

konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. MK bertugas

mendorong dan menjamin agar konstitusi di hormati dan

dilaksanakan oleh semua komponen Negara secara konsisten dan

bertanggung jawab. Di tengah kelemahan system konstitusi yang

ada, MK berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup

dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”.3

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan fungsi menjamin

agar tidak ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-

hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal

konstitutionalitasnya.

2. Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Wewenang yang dimiliki oleh badan pemerintahan atau lembaga negara

dalam melakukan perbuatan, mengadakan pengaturan, atau mengeluarkan

keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara

2 Rimdan,Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi,kencana, jakarta, 2012, Hal. 163 3 Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, sebagai institusi peradilan Konstitusi yang modern dan Terpercaya, Sekertariat Jenderal MKRI, 2004, hal.iv. dikutip dari Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, penerbit Konstitusi Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Juni 2005,hal.12.

14

atribusi, delegasi maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang

asli atas dasar konstitusi (UUD 1945) atau ketentuan hukum tata negara. Pada

kewenangan delegasi harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ

pemerintahan yang lain. Sedangkan mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam

arti pemberian wewenang. Akan tetapi pejabat yang diberi mandat bertindak atas

nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat

menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi ataupun mandat, J.G. Brouwer

dan A.E Schhilder, menyatakan:

a. With attribution, power is granted to an administrative auyhority by an

independent legislatif body. The power is initial (originair), which is to say

that is not derived from a previously existing power. The legislatif body

creates independent and previously nonexistent powers and assigns them to

an authority;

b. Delegation is the transfer of an acquired attribution of power from one

administrative authority to another, so that the delegate (the body that has

acquired the power) can exercise power in its own name;

c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns

power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name.4

J.G. Brouwer berpendapat pada atribusi, kewenangan diberikan kepada

suatu organ pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang

independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang

ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan

4 J.G. Brouwer dan A.E Schhilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars AeguiLibri,

Nijmegen, 1998, hlm.16-18 dikutip dari Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi

dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2006, hlm.218.

15

perluasan kewenangan dari sebelumnya dan memberikan kepada organ yang

berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan

atribusi dari suatu organ pemerintahan atau lembaga negara kepada organ lainnya

sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji

kewenangan tersebut atas namanya. Pada mandat tidak terdapat suatu pemindahan

kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada

orang lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu

tindakan atas namanya. 5

Kewenangan harus dilandasi oleh suatu konstitusi ataupun ketentuan

hukum, sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan

demikian organ pemerintahan atau lembaga negara yang akan mengeluarkan

keputusan dapat didukung oleh hukum positif guna mengatur dan

mempertahankannya. Tanpa adanya suatu kewenangan, maka organ pemerintah

tidak dapat mengeluarkan suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum

mengikat.

MK diberi kewenangan dan juga kewajiban yang bersumber dari UUD 1945

yang diatur dalam Pasal 7A, 7B dan 24C yang selanjutnya dijabarkan dengan UU

MK. Kewenangan MK tersebut untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final , antara lain :

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

c. memutus pembubaran partai politik; dan

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

5 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Op.cit., hlm.217.

16

Wewenang a dan b merupakan wewenang utama, sedangkan wewenang (c)

dan (d) merupakan wewenang tambahan (accesoir). Adapun kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh MK yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum

berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.

Secara filosofis ide dasar pembentukan MK adalah untuk menciptakan

sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut asas pemisahan

kekuasaan (separation of power) secara fungsional dan menerapkan prisip “check

and balances” untuk menggantikan secara bertahap penggunaan prinsip

pendistribusian kekuasaan (Distribution of Power) dan paham integralisme dari

lembaga tinggi negara, dengan alasan sebagai berikut: 6

a. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata

kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur dan

berkeadilan;

b. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha

menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai

dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan oleh

UUD 1945;

c. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UUD 1945 (Pasal

24C) pengaturan tentang pengangkatan dan pemberhentian

hakim konstitusi, hukum acara dan ketentuan lainnya diatur

dalam undang-undang.

Berdasarkan alasan-alasan diatas, MK mempunyai fungsi sebagai penjaga

konstitusi agar dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita

6 Ibid., hlm.167-168.

17

demokrasi. Keberadaan MK ini juga untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan

yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan

ketatanegaraan dimasa lalu yang menimbulkan multitafsir terhadap konstitusi.

Dalam kaitannya dengan wewenang MK tersebut penulis akan langsung

menuju pembahasan terkait wewenang MK yang pertama, yaitu menguji undang-

undang terhadap UUD NRI 1945. Setelah diundangkannya Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut

Undang-undang MK, maka jenis amar putusan MK terhadap permohonan

pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dapat berupa :7

a. jika undang-undang yang dimintakan uji adalah undang-undang setelah

perubahan pertama UUD NRI 1945 dan tidak ada hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya yang dirugikan, amar putusan MK adalah permohonan

tidak dapat diterima. Jika MK menyatakan permohonan beralasan, amar

putusan menyatakan permohonan diterima dan menyatakan dengan tegas

materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang

bertentangan dengan UUD NRI 1945.

b. Dalam hal pembentukan undang-undang tidak memenuhi syarat ketentuan

pembentukan undang-undang ataupun materi sebagian atau keseluruhan

menurut UUD NRI 1945, maka amar putusan menyatakan permohonan

dikabulkan. Demikian pula sebaliknya, jika memenuhi syarat, amar putusan

menyatakan menolak.

c. Konsekuensi hukum terhadap putusan MK yang amar putusannya

menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-

7 Ibid., hlm.306.

18

undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945, materi muatan ayat, pasal

dan/atau bagian dari undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan

mengikat dan wajib diumumkan dalam berita negara dalam jangka waktu tiga

puluh hari kerja sejak putusan diucapkan serta disampaikan kepada DPR,

DPRD, Presiden dan Mahkamah Agung.

Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang

yang diundangkan setelah perubahan UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 pertama kali

diubah sejak bulan oktober 1999, sedangkan Mahkamah Konstitusi dapat

melakukan pengujian konstitusional undang-undang setelah diundangkannya

Undang-Undang MK. Ini berarti MK menetapkan asas retroaktif, karena dapat

menguji undang-undang yang ada sebelum kewenangannya muncul. Tetapi hal ini

dibatasi legislator dengan Pasal 50 Undang-Undang MK, yang menyatakan

“Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang

diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945”. Tetapi dalam keberlakuannya, melalui putusan MK

Nomor 004/PUU-I/2003, MK mengesampingkan Pasal 50 Undang-Undang MK

tersebut. Dan melalui putusan Nomor 066/PUU-II/2004, Mahkamah Konstitusi

menyatakan pasal 50 Undang-Undang MK tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat atau inkonstitusional.

Dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, Mahkamah Konstitusi

bertindak melakukan koreksi atas undang-undang yang melanggar atau

bertentangan dengan HAM, baik yang dijamin secara eksplisit maupun yang

unenumerated. Hal ini dilakukan dengan konsekuensi yuridis bahwa undang-

undang secara keseluruhan atau secara parsial tidak lagi memiliki kekuatan

19

mengikat. Dalam skema UUD NRI 1945 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut

dengan Undang-Undang MK, bentuk perlindungan HAM ratione temporis yang

diberikan oleh MK bersifat ex post. Artinya, koreksi tersebut hanya ditujukan pada

undang-undang, bukan rancangan undang-undang.8

MK mempunyai fungsi sebagai penjaga konstitusi agar dilaksanakan sesuai

dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan MK ini juga untuk

menjaga terselenggaranya pemerintahan yang stabil, dan juga merupakan koreksi

terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang menimbulkan

multitafsir terhadap konstitusi. Lebih lanjut, mengenai hukum acara MK yang

diatur dalam Undang-Undang MK, MK diberi wewenang untuk melengkapi hukum

acara sesuai dengan Pasal 86 dan Penjelasan Undang-Undang MK. Hukum acara

harus dibuat berdasarkan ketentuan Undang-Undang MK untuk kelancaran

pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pembahasan diatas, maka

kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang

terhadap UUD 1945 merupakan hal yang sesuai dengan konstitusi sepanjang tidak

bertentangan dengan konstitusi dan untuk menjamin prinsip-prinsip negara hukum

yang berbasis hak, pemisahan kekuasaan dan demokrasi. Sehingga menurut

Lotulung dalam rangka constitutional review ini, hakim berhak melarang dan

membatalkan tindakan pemerintah yang: 9

a. Dilakukan secara sewenang-wenang (arbitrary), semau-

maunya dan berganti-ganti (capricious), penyalahgunaan

wewenang diskresioner (abuse of discretion) dan lain-lain

tindakan yang tidak sesuai dengan hukum;

8 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi, PT.Alumni, Bandung, 2013 ,hlm.123.

9 Paulus Efendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah,

Penerbit Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm.79.

20

b. Bertentangan dengan hak-hak konstitusional, bertentangan

dengan wewenang/kekuasaan, previlege atau imunitas;

c. Melampaui batas wewenang yang telah ditetapkan dalam

undang-undang atau tidak didasarkan pada suatu hak apapun;

d. Dilakukan tanpa memperhatikan atau menuruti prosedur yang

telah ditentukan oleh hukum; dan

e. Tidak didukung oleh kebenaran di dalam fakta-fakta persoalan

yang bersangkutan yang merupakan suatu “substansial

evidence” dalam tindakan pemerintahan tersebut.

Lebih lanjut, mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam

Undang-Undang MK, Mahkamah konstitusi diberi wewenang untuk melengkapi

hukum acara sesuai dengan Pasal 86 dan Penjelasan Undang-Undang MK. Hukum

acara harus dibuat berdasarkan ketentuan Undang-Undang MK untuk kelancaran

pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi.

B. Implikasi Asas Erga Omnes Pada Putusan Mahkamah

Konstitusi

Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan tentang Asas Erga Omnes

sebagai asas tentang kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi. Asas Erga

Omnes menjadi tombak Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan prinsip Check

and Balances pada tahap hubungan antar lembaga negara. Kekuatan mengikat

putusan MK sejatinya tidak lepas hanya pada kedua belah pihak yang bersangkutan,

melainkan semua badan pemerintahan, lembaga negara , dan semua orang harus

tunduk pada Putusan MK. Oleh karena itu, putusan MK dapat dikatakan sebagai

Undang-Undang bahkan Konstitusi.

Sehubungan dengan deskripsi diatas, penulis akan menjabarkan dalam

sistematika penulisan sebagai berikut. Pertama, hakikat asas erga omnes pada

21

putusan MK (Infra Sub-Judul 1). Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi sebagai

“Undang-Undang” (Infra Sub-Judul 2).

Putusan MK memiliki efek keberlakuan yang disebut Erga Omnes.10 Secara

harafiah, asas erga Omnes bermakna “terhadap / untuk semua”, yang menjelaskan

makna erga omnes dalam perspektif hukum internasional. Hal itu nampak dalam

pendapat Christian J.Tams : “Translated literally, ‘erga omnes’ means ‘against all’,

‘between all’, or ‘as opposed to all’. An obligation of international law that has

erga omnes effects thus applies between all, or to all, others – presumably all other

members of the international community, or, as the Court put it, to the international

community as a whole”,.11 (diterjemahkan secara harfiah, 'erga omnes' berarti

'terhadap semua', 'antara semua', atau 'karena bertentangan dengan semua'.

Kewajiban hukum internasional yang memiliki efek erga omnes sehingga berlaku

antara semua, atau semua, orang lain - mungkin semua anggota lain dari komunitas

internasional, atau Mahkamah meletakkannya untuk masyarakat internasional

secara keseluruhan). Pengertian dari against all ialah bahwa suatu putusan berlaku

untuk semua. Jika terkait dengan putusan MK implikasi dari against all ialah

berlaku dan mengikat bagi semua orang, tidak hanya meliputi pihak-pihak

berperkara yaitu pemohon dan termohon, akan tetapi semua lembaga negara dan

badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia tunduk pada putusan tersebut.

1. Hakikat asas Erga Omnes pada Putusan MK

10 Maruaraar Siahaan,Op.Cit, hal.214 11 J.Tams Christian, Enforcing Obligations Erga Omnes In International Law, Cambridge Univercity Press, UK, 2005, hlm.101

22

Asas-asas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen

hukum. Asas-asas itu dapat disebut juga pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang

menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak juga

bagi pembentukan undang-undang dan interprestasi undang-undang tersebut.

Menurut Bellefroid asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari

hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan

yang lebih umum.12

Menurut Sudarsono yang dimaksud dengan asas yaitu :

1. Hukum dasar

2. Dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat).

3. Dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi).13

Bagi pembentukan hukum, asas-asas hukum memberikan landasan secara

garis besar mengenai ketentuan-ketentuan yang perlu dituangkan di dalam aturan

hukum. Di dalam penerapan hukum asas-asas hukum sangat membantu bagi

digunakannya penafsiran dan penemuan hukum maupun analogi. Sedangkan bagi

perkembangan ilmu hukum asas hukum mempunyai kegunaan karena di dalam

asas-asas hukum dapat ditunjukkan berbagai aturan hukum yang pada tingkat yang

lebih tinggi sebenarnya merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itulah dapat

disimpulkan bahwa asas hukum merupakan prinsip-prinsip dasar yang berisikan

nilai-nilai yang menjadi acuan dalam berfikir tentang hukum. Asas hukum tersebut

bersifat abstrak dan ketika asas hukum tersebut dikonkritkan dalam suatu putusan

hakim maka akan terwujud suatu aturan yang harus ditaati oleh semua orang.

12 Sudikno Mertokusumo, Penerbit hukum sebuah pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,2009,hal.5. 13 Sudarsono, Kamus Hukum Edisi Baru, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan kelima, 2007,hal.37.

23

Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengapa asas Erga Omnes sebagai

dasar efek keberlakuan putusan MK. Menurut penulis hakikat asas Erga Omnes

pada putusan MK ialah bagaimana semua orang dapat menerima bahwa mahkamah

konstitusi merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.

Artinya, MK sebagai peradilan pada tingkat pertama dan terakhir menimbulkan

konsekuensi bahwa tidak ada mekanisme hukum di peradilan lain yang dapat

membanding atau mengoreksi putusan tersebut, oleh sebab itu bukan hanya para

pihak saja yang terikat oleh putusan MK tersebut melainkan semua orang. Lebih

daripada itu, Seandainya upaya hukum dibuka, sangat mungkin jadi Putusan MK

akan dipersoalkan terus sehingga menimbulkan persoalan kepastian hukum.

Padahal, MK mengadili persoalan-persoalan ketatanegaraan, yang membutuhkan

kepastian hukum dan terikat dengan limitasi waktu terkait keberlangsungan agenda

ketatanegaraan. Selain itu Putusan MK menyangkut terkait objeknya yang

menyangkut kepentingan bersama dan semua orang, misalkan sebagai contoh

terkait pengujian undang-undang (UU), dimana undang-undang sifatnya mengikat

secara umum kepada semua warga negara, maka secara logika hukum apabila

undang-undang tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat oleh MK, maka

UU yang dibatalkan itupun tidak mengikat kepada seluruh warga negara

dikarenakan sudah dibatalkan, inilah yang menjadi acuan penulis bahwa

kewenangan atribusi yang diberikan langsung oleh konstitusi harus ditegakkan dan

ini menjadi dasar mengapa efek keberlakuan pada putusan MK yaitu Erga Omnes.

Suatu putusan merupakan hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala

kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses

24

bermula telah membebani para pihak. Menurut Sudikno Mertokusumo putusan

hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi

wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.14 Berdasarkan praktik

peradilan selalu dibedakan antara putusan hakim (vonis) dan penetapan hakim

(beschikking). Putusan hakim (vonis) adalah perbuatan hakim sebagai penguasa

atau pejabat negara yang dilakukan untuk memutuskan atau mengakhiri sengketa,

sedangkan penetapan hakim (Beschikking) dibuat berkaitan dengan adanya suatu

permohonan.15 Putusan pengadilan merupakan sarana paling efektif untuk

mengidentifikasi sistem hukum karena putusan pengadilan sendiri notebene

merupakan hasil dari formulasi kaidah hukum. Dalam memutus kasus hakim harus

memberikan argumentasi hukum yang menjustifikasi putusannya. Putusan

pengadilan sebagai kaidah hukum bersifat konkret. Putusan pengadilan berfungsi

untuk menegakkan kaidah-kaidah hukum abstrak ketika yang seharusnya sesuai

dengan kaidah-kaidah tersebut tidak terjadi. Dalam pengertian demikian putusan

pengadilan merupakan salah satu sumber hukum paling penting di dalam sistem

hukum di samping peraturan perundang-undangan.16

Di negara kita, terdapat dua lembaga peradilan yang menduduki sebagai

lembaga peradilan tinggi negara, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah

Agung. Mahkamah Agung membawahi beberapa lingkungan badan peradilan yaitu

peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan peradilan

14 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung PT. Alumni, 2004, h. 227-228. 15 H.Iriyanto, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Penerbit PT.Alumni, Bandung, 2008, Hal.190. 16 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni Bandung, Bandung,2009,hal.71-72.

25

agama. Lembaga-lembaga peradilan tersebut memiliki perbedaan atas mengikatnya

suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van

gewijsde). Sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki lembaga peradilan

dibawahnya karena putusan MK bersifat final.

Pada bab ini penulis akan menjelaskan asas Erga Omnes dengan metode

argumentum a contrario. Metode tersebut menjelaskan suatu konsep dengan cara

melawankannya. Oleh sebab itu, penulis akan mencoba menjelaskan asas Erga

Omnes melalui pengertian asas Interpartes. Dalam prakteknya sifat kekuatan

mengikat pada suatu putusan terbagi menjadi dua, yaitu asas Inter Partes dan asas

Erga Omnes. Menurut teori, asas Inter partes memiliki pengertian putusan

pengadilan mengikat hanya kepada kedua belah pihak yang berperkara dan tidak

mengikat kepada masyarakat luas salah satunya, di dalam hukum perdata. Pada

pasal 10 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tugas

dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah menerima, memeriksa,

dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang berperkara.

Wewenang pengadilan menyelesaikan perkara diantara para pihak yang

bersengketa disebut yurisdiksi contentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan

contentiosa / contentious. Dengan gugatan contentiosa gugatannya mengandung di

antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk di

selesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan diantara para

pihak (between contending parties).17 Perkataan contentiosa atau contentious

berasal dari bahasa latin. Salah satu arti perkataan itu, yang dekat kaitannya dengan

penyelesaian sengketa perkara adalah penuh semangat bertanding atau berpolemik.

17 Yahya harahap,Hukum Acara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.46

26

Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yurisdiksi

contentiosa atau contentious jurisdiction, yaitu kewenangan peradilan yang

memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan (jurisdiction of

court that is concerned with contested matters) antara pihak yang bersengketa

(between contending parties).18

Gugatan contentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata dalam

praktik. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan

perdata atau gugatan saja. Prof. Sudikno mertokusumo, mempergunakan istilah

gugatan berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang

mengandung sengketa dengan pihak lain.19 Menurut Subekti, mempergunakan

sebutan gugatan yaitu yang dituangkan dalam surat gugatan, dengan demikian

setiap perkara perdata diajukan ke PN dalam bentuk surat gugatan. Begitu juga

halnya dalam praktik peradilan, selamanya dipergunakan istilah gugatan.

Penyebutan ini dianggap langsung membedakannya dengan permohonan yang

bersifat voluntair.

Gugatan perdata dapat kita jumpai dalam putusan-putusan pengadilan

perdata. Dalam amar putusan dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak,

lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan

suatu prestasi tertentu. Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa

yang benar atau pokok perselisihan. Sebagai contoh terdapat kasus harta waris

berupa tanah, yang pada akhir kasusnya hakim memutuskan tidak sahnya akta hibah

yang dimiliki tergugat dan menyatakan tidak mempunnyai kekuatan hukum

18 Lihat Henry Campbell Black, black’s Law Dictionary, west Publishing, St Paul Minn, Fifth Edition,1978,hlm. 289, dikutip oleh Yahya harahap,ibid,hal.47 19 Lihat Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI. Jehtian Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm.34, dikutip oleh Yahya Harahap, Ibid,hal. 47

27

mengikat, atau tergugat bukan pemilik sah dan melakukan perbuatan melawan

hukum yang merugikan penggugat.20

Bertitik tolak dari penjelasan diatas, yang dimaksud dengan gugatan perdata

adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa di antara pihak yang

berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada

pengadilan dengan posisi para pihak :

1. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai

penggugat,

2. Sedangkan yang ditarik sebagi pihak lawan dalam pnyelesaian, disebut dan

berkeduduukan sebagai tergugat.

Oleh karena itu, ciri yang melekat pada gugatan perdata :

1. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa.

2. Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara dua pihak.

3. Berarti gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak

yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai pengguat dan pihak yang

lain berkedudukan sebagai tergugat.

Dengan demikian, yang dapat ditarik oleh penulis atas penjelasan diatas

bahwa asas Inter Partes terkandung pada gugatan perdata atau gugatan contentiosa.

Pada saat putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van

gewijsde), putusan tersebut hanya mengikat kepada kedua belah pihak yaitu

penggugat dan tergugat, tidak berlaku untuk umum. Oleh karena demikian

diharapkan para pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat menerima putusan

sehingga orang yang “merasa” dan “dirasa” hak nya telah dilanggar oleh orang lain

20 Putusan nomor 149/pdt.G/2015/PN.Bdg

28

harus mengembalikan hak tersebut.21 Putusan pengadilan selalu bersifat memaksa

(dwingend), artinya jika ada pihak yang tidak mematuhinya, pengadilan dapat

memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya mematuhinya dengan kesadaran

sendiri, jika masih tidak dipatuhi, pengadilan dapat melaksanakan putusannya

secara paksa, jika perlu dengan bantuan kepolisian.22 Sebagai contoh setiap

perbuatan yang merugikan orang lain menimbulkan hubungan hukum antara pihak

yang berbuat dan pihak yang dirugikan (Pasal 1365 KUHPdt). Akibatnya, undang-

undang mewajibkan pihak yang berbuat membayar ganti kerugian kepada pihak

yang dirugikan.

Jika dalam interpartes kekuatan mengikatnya hanya yang terdapat dalam

putusan, makna asas erga omnes pada suatu putusan ialah bagaimana putusan

tersebut tidak hanya mengikat kepada kedua belah pihak yang berperkara saja

melainkan semua orang dan institusi-institusi badan pemerintahan juga tunduk pada

putusan tersebut, maka Erga Omnes berlaku tidak hanya pihak dalam putusan.

Kekuatan mengikat suatu Putusan MK memiliki efek keberlakuan yang disebut

Erga Omnes.23 Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan

keyakinan hakim.24 Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum

tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.25 Pengujian

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tugas yang

mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Menurut Sri Soemantri,

21 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009,hal.147 22 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2014,hal.22 23 Maruaraar Siahaan,Op.Cit, hal.214 24 Lihat pasal 45 UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 25 Ibid,pasal 47

29

“putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh

lembaga apapun. Dalam bahasa Inggris, pengertian yuridis final dan mengikat itu

selalu bersatu, yaitu final and binding. Dengan demikian, jika bersifat final harus

diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum”.26 Dalam

pemberlakuan putusan MK isu tentang bersifat final harus dipahami bahwa hal itu

mengikat secara yuridis konstitusi terhadap badan pemerintahan yang lain. Menurut

Indrohartono, “kata final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta

dimaksudkan dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar-benar sudah

merupakan akibat hukum yang definitif”.27 Oleh karena itu putusan MK memiliki

efek keberlakuan yang akibat hukumnya mengikat ke semua orang.

Sebagai peradilan tunggal yang tidak membawahi peradilan manapun atau

berada di bawah peradilan manapun, maka Putusan MK langsung memiliki

kekuatan hukum mengikat dan tidak tersedia ruang upaya hukum lain. Putusan final

MK bukan hanya karena alasan MK merupakan satu-satunya lembaga atau institusi

yang menjalankan kewenangannya, akan tetapi lebih dari itu, Putusan MK yang

bersifat final tersebut dilekatkan pada hakikat kedudukan Konstitusi sebagai hukum

tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang kedudukannya lebih tinggi darinya.

Makna dari pernyataan tersebut, ketika suatu persoalan diperhadapkan kepada MK

dan Konstitusi menjadi dasar pengujiannya, maka putusan terhadap persoalan

tersebut mutlak bersifat final. Hal ini disebabkan, para pihak telah menempuh suatu

upaya mencari keadilan dan jaminan terhadap hak-haknya dimana upaya tersebut

26 Sri Soemantri, Catatan-C atatan Terhadap Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,

disampaikan pada Seminar di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 11 Mei 2002, hlm.8.

27 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hlm.116.

30

ditautkan pada hukum yang memiliki derajat supremasi tertinggi sebagai dasar

pengujiannya.

Terhadap efek keberlakuan putusan MK yang dihadapi oleh para pihak dan

semua orang melalui upaya berperkara pada MK diberikan oleh suatu hukum

dengan derajat tertinggi. Konstitusi sebagai hukum dengan derajat tertinggi

memberikan jaminan kepada para pihak terhadap hak-haknya melalui sarana

berperkara di MK, yang mana pemberian jaminan tersebut diselenggarakan oleh

MK dalam suatu proses peradilan melalui hakim-hakimnya yang melakukan

interpretasi terhadap Konstitusi yang diakhiri oleh suatu putusan sebagai putusan

akhir. Pada konteks inilah sesungguhnya proses peradilan yang diselenggarakan di

MK merupakan proses peradilan terakhir sebab penyelenggaraan peradilan di MK

menggunakan tolok ukur Konstitusi.

Dalam pemahaman kekuatan mengikat putusan MK, sifat amar putusan

tidak jauh beda oleh putusan pengadilan pada umumnya. Maruarar Siahaan

menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan MK memiliki sifat Condemnatoir,

Declaratior, dan Constitutief. 28 Satu putusan dikatakan condemnatoir kalau

putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk

melakukan suatu prestasi. Putusan declaratoir adalah Putusan hakim yang

menyatakan permohonan atau gugatan ditolak. Dalam hal ini hakim menyatakan

tuntutan atau permohonan tidak mempunyai dasar hukum berdasarkan fakta-fakta

yang ada.29 Putusan yang bersifat declaratoir dalam pengujian undang-undang oleh

MK nampak jelas dalam amar putusannya. Putusan Constitutief adalah putusan

28 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi 2, Sinar Grafika,Jakarta,2012, hal.205. 29 Ibid,hal.206.

31

yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menciptakan keadaan hukum yang

baru. Menyatakan suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 adalah meniadakan keadaan

hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat. Dengan sendirinya, putusan itu menciptakan satu

keadaan hukum yang baru.

Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagai kebanyakan jenisnya terutama

dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya,

putusan mahkamah konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan suatu

keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator,

yang disebut Hans Kelsen ialah melalui suatu pernyataan. Sifat declaratoir tidak

membutuhkan suatu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan hakim

Mahkamah Konstitusi.30 Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan

sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 kekuatan, yaitu:

1. Kekuatan Mengikat

2. Kekuatan Pembuktian

3. Kekuatan Eksekutorial

Dalam hal kekuatan pembuktian suatu putusan Mahkamah Konstitusi, pada

Ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi menyatakan bahwa : “materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam

undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali.” Hal

ini berarti putusan Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang pernah

dimohonkan untuk diuji dapat digunakan sebagai bukti, karena sesuai dengan

30 Ibid. hal.212

32

ketentuan pasal tersebut. Putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial adalah

putusan yang menetapkan secara tegas hak dan hukumnya untuk kemudian

direalisir melalui eksekusi oleh alat negara. Kekuatan eksekutorial ini sudah lazim

dalam praktik pengadilan biasa di tanah air.31 Sebaliknya, putusan eksekutorial

putusan Mahkamah Konstitusi dianggap telah terwujud dalam bentuk pengumuman

yang termuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak

putusan itu diucapkan dalm sidang pleno terbuka untuk umum.32 Tidak dibutuhkan

adanya aparat khusus yang melaksanakan (mengeksekusi) putusan, karena sifat

putusannya adalah Declaratoir.33

Sebagai penunjang argumen penulis diatas, Asas erga Omnes tidak hanya

terdapat pada putusan MK, asas ini juga terkandung dalam putusan PTUN

(Peradilan Tata Usaha Negara). Asas ini mengandung makna bahwa putusan PTUN

mengikat pihak-pihak diluar pihak yang bersengketa. Ridwan mengatakan, “hal ini

karena putusan hakim PTUN itu berada dalam lingkup hukum publik atau bersifat

mengikat umum dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung persamaan,

yang mungkin timbul di masa yang akan datang”. 34 Sebagai akibat dari diikutinya

asas Erga Omnes pada putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

adalah :

1. Tidak perlu adanya dictum putusan hakim yang menyatakan “agar

pihak-pihak tertentu, baik yang diikutsertakan pada salah satu pihak

maupun yang tidak menaati putusan pengadilan yang bersangkutan”.

31 H.Iriyanto, Op.Cit. hlm.198. 32 Lihat Pasal 57 ayat 3 UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 33 Maruarar Siahaan,Op.Cit. Hlm.212. 34 Ridwan, Tiga Dimensi Hukum administrasi dan Peradilan Administrasi, FH UII Press, Yogyakarta,2009,hlm.159

33

2. Intervensi tidak mutlak terjadi (adanya) karena putusan hakim di

lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang in kracht Van gewijsde

berlaku bagi semua orang.

Dengan demikian semua orang dan/atau badan hukum, baik badan hukum

perdata maupun badan hukum publik harus menaati atau melaksanakan putusan

yang dijatuhkan oleh hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.35

Disimpulkan secara sederhana bahwa kekuatan mengikat suatu putusan

badan peradilan memiliki dua makna yaitu asas Inter partes dan Erga Omnes. Asas

Inter partes diadopsi oleh putusan badan peradilan perdata yang memiliki dan

mengikat dua belah pihak yaitu tergugat dan penggugat. Sejatinya asas Erga Omnes

juga mengadopsi nilai dari asas Inter Partes yang putusannya mengikat kedua belah

pihak, akan tetapi efek keberlakuannya lebih luas yaitu Erga Omnes, mengikat

tidak hanya kepada kedua belah pihak, melainkan ke semua orang dan badan-badan

pemerintahan juga terikat pada putusan MK tersebut.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Sebagai “Undang-Undang”

Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan kualifikasi putusan Mahkamah

Konstitusi sebagai “undang-undang”. Sesuai kewenangan atribusi yang diberikan

oleh Undang-Undang Dasar, mahkamah konstitusi dalam prakteknya

melaksanakan salah satu kewenangannya yaitu menguji undang-undang dibawah

undang-undang dasar. Secara formal, putusan MK tetap sebagai putusan dari

kekuasaan yudisial. Lebih konkritnya adalah hukum dari sebuah putusan

pengadilan (case law). Akan tetapi, dalam menguji konstitusionalitas undang-

35 R.Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara edisi ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,hal 201.

34

undang mahkamah konstitusi sebagai badan yudisial berpartisipasi dalam proses

legislatif. Dalam pembentukan undang-undang, legislatif membuat peraturan

melalui Proses pembentukan UU yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu, proses pembentukan UU

juga diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi

muatan yang harus diatur melalui undang-undang adalah:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, proses pembuatan undang-undang diatur

dalam Pasal 16 s.d. Pasal 23, Pasal 43 s.d. Pasal 51, dan Pasal 65 s.d. Pasal 74.

Secara garis besar isi daripada pasal-pasal tersebut adalah pembuatan RUU

(rancangan undang-undang) oleh DPR, penyusunan prolegnas. Setelah melewati

pembahasan dan penyampaian pendapat, sampailah kepada pengambilan keputusan

dalam rapat paripurna dan berakhir pada tahap pengesahan RUU untuk menjadi

undang-undang.

Pemberlakuan Undang-Undang tidak sedikit menimbulkan kerugian

terhadap masyarakat. Warga negara yang merasa haknya dirampas atas

permberlakuan aturan tersebut dapat mengajukan judicial review. Oleh karena itu,

35

Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguji

konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD 1945. Menurut penulis pada

perkembangannya putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai putusan

badan yudisial akan tetapi masuk ke dalam proses legislasi. Produk hukum yang

telah dikeluarkan oleh badan legislatif di uji kembali konstitusionalitasnya oleh

Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat semua orang.

Oleh karena itu penulis akan jelaskan secara signifikan dengan menggunakan teori

dan pendapat dari beberapa para ahli hukum bahwa pengujian konstitusionalitas

undang-undang yang dilaksanakan oleh mahkamah konstitusi termasuk dalam

proses legislatif.

Secara umum model pengujian konstitusionalitas undang-undang ada dua

yaitu oleh badan yudisial (judicial review) dan oleh badan non-yudisial (non-

judicial review).36 Pengujian oleh badan yudisial menjadi yang paling lazim dan

popular di negara-negara dunia saat ini untuk menguji undang-undang. Secara

kelembagaan ada dua jenis pendekatan dalam pelaksanaan sistem pengujian oleh

badan yudisial terhadap konstitusionalitas undang-undang, yaitu pengujian

sentralistik dan pengujian yang desentralistik.37 Sistem pengujian sentralistik

mengandung pengertian membentuk suatu badan yudisial tersendiri atau khusus

dalam rangka pengujian kosntitusionalitas undang-undang (misalnya lembaga the

Federal Constitutional Court di Jerman serta MKRI di Indonesia). MKRI dan

negara-negara lain yang melaksanakan pengujian yudisial secara sentralitik

menggunakan konsep American-style Judicial Review dan Kelsen’s Court.

36 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,Konstitusi Press, Jakarta,2006 37 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi,Op.Cit.hal.56

36

Perbedaan antara pengujian yudisial desentralistik model Amerika Serikat dan

pengujian yudisial yang sentralistik mengandung beberapa rasio. Pada negara yang

tidak menganut asas stare decisis (preseden), model pengujian yang desentralistik

kurang berdampak secara ketatanegaraan karena putusannya tidak dapat berlaku

secara Erga Omnes, tetapi kebalikannya yaitu Inter partes. Untuk menjawab

masalah ini, negara yang tidak menganut asas stare decisis lebih memilih model

pengujian yudisial sentralistik. Tidak berlakunya asas Stare decisis akan

menimbulkan masalah predictability dan uniformity.38

Seperti diakui oleh Kelsen sendiri, dalam porsi kewenangan yang demikian,

hakim menjalankan fungsi politik melakukan Rule-making. Sehingga fungsi ini

seyogyianya tidak dijanlankan oleh badan yudisial biasa, tetapi oleh hakim dan

peradilan khusus. Hal ini kemudian melahirkan gagasan tentang pembentukan

mahkamah kosntitusi yang berbeda dengan peradilan biasa. Karena pencetusnya

Kelsen maka peradilan konstitusional tersebut lebih dikenal dengan istilah Kelsen

Court. Mahkamah konstitusi berbeda dengan peradilan biasa karena mahkamah

konstitusi adalah negative legislator. Fungsi negatif legislator hanya sebatas

membatalkan legislasi yang bertentangan dengan undang-undang dasar.39

Lebih lanjut Hans Kelsen menegaskan, lembaga peradilan berwenang

membatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak

mengikat secara hukum.40 Ditambahkan Hans Kelsen sebagai berikut:

38 Ibid., hlm. 58 39 Ibid, Hlm. 60 40 Hans Kelsen,1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, hal. 268. Dikutip oleh Saldi isra,Pergeseran Fungsi Legislasi, PT Raja Grasindo Persada, Jakarta, 2010 , hlm.295

37

The power to examine the laws as to their constitutionality and to invalidate

unconstitutional laws may be conferred, as a more or less exclusive function, on a

special constitutional court... The possibility of a law issued by legislative organ

being annulled by another organ constitutes a remarkable restriction of the

former’s power. Such a possibility means that there is, besides the positive, a

negative legislator. An organ which may be composed according to a totally

different principle from that of the parliament elected by the people.41

Gagasan itulah yang kemudian meletakkan keniscayaan akan adanya

kekuasaan khusus untuk mengontrol hasil legislasi yang dikeluarkan lembaga

legislatif. Kemudian, gagasan ini dibaca oleh Bojan Bugaric sebagai upaya Hans

Kelsen untuk memunculkan legislatif positif (positive legislature) yang diperankan

oleh parlemen, sedangkan model legislatif negatif (negative legislature) diperankan

oleh Mahkamah Konstitusi.42 Dengan model ini berarti Mahkamah Konstitusi

menjadi bagian yang dapat mempengaruhi proses legislasi di lembaga legislatif.

Terkait dengan hal itu, Anna Rotman meneguhkan pandangan Hans Kelsen

karena its decisions had the power “to make a statute disappear from the legal

order”.43 Masih tetap merujuk pendapat Hans Kelsen, H.M. Laica Marzuki

menegaskan, tatkala constitutional court adalah negative legislator, maka parlemen

yang memproduk undang-undang dinamakan positive legislator. Dalam pengertian

41 Ibid., Hlm.268-269 42 Bojan Bugaric, 2001, Courts as Policy-Makers: Lessons from Transition, dalam 42nd Harvard International Law Journals, 256., Ibid., Hlm.295 43 Anna Rotman, 2004, Benin’s Constitutional Court : An Institutional Model for Guaranteeing Human Rights, dalam Harvard Human Rights Journals, Volume 17, Spring 2004, halaman 286. Lihat juga: Gustavo Fernandes de Andrade, 2001, Comparative Constitutional Law: Judicial Review, dalam 3 U. Pa. Journal Constitutional Law. 977, hal. 983. Ibid.,Hlm.295

38

itu, tambah Laica Marzuki, tidak hanya parlemen yang memiliki legislative

function tetapi juga constitutional court.44

Menjelaskan signifikasi judicial review dalam proses legislasi, Vicky

C.jackson dan Mark Tushnet dalam comparative Constitutional Law mengatakan,

ketika hakim konstitusi (constitutional judges) melakukan review terhadap hasil

proses legislasi, proses pengambilan keputusuannya lebih dekat ke proses

pengambilan keputusan legislatif. Bahkan begitu pentingnya peran judicial review

dalam proses legislasi Vicky C.jackson dan Mark Tushnet menyebut judicial

review sebagai kamar ketiga dalam proses legislasi. Hal tersebut ditegaskan sebagai

berikut:

As a description of function, constitutional courts exercising politically

initiated abstract review can beb conceptualized profitably as a third legislative

chambers whose behavior is nothing more or less than the impac t- direct and

indirect- of constitutional review on legislative outcomes.45

Dengan demikian, secara keseluruhan konsep judicial review memiliki

keterkaitan yang sangat erat dengan mekanisme legislasi. Secara teoritik, konsep

itu dapat dianggap sebagai pengganti kebutuhan kamar lain di lembaga legislatif.

Keberadaannya amat jelas, sebagai pengimbang produk legislasi baik setelah

disetujui lembaga legislatif maupun setelah disahkan menjadi undang-undang. Di

samping judicial review merupakan jaminan bagi rakyat atas hasil legislasi yang

44 H.M. Laica Marzuki, 2007, Membangun Undang-Undang Yang Ideal, dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hal. 6. Ibid., Hlm.295. 45 Vicki C.Jackson, & Mark Tushnet , 1999 , Comparative Constitutional Law, Foundation Press, New York, hlm.706., ibid. Hlm.295

39

menyimpang dari aspirasi fundamental rakyat.46 Karena itu, judicial review

merupakan alat kontrol eksternal dalam proses legislasi.

Kontrol dalam bentuk judicial review menjadi sebuah keniscayaan terutama

jika kekuatan mayoritas di lembaga legislatif merupakan pendukung presiden.

artinya, Judicial review dapat dikatakan sebagai sarana untuk melakukan purifikasi

undang-undang yang dihasilkan lembaga legislatif. Inilah yang menurut Hans

Kelsen, "recognized the need for an institution with power to control or regulate

legislation.” Ide dasarnya adalah memurnikan hasil legislasi yang dikeluarkan oleh

lembaga legislatif yang bertentangan dengan konstitusi. Tanpa kontrol dari lembaga

yudisial, dengan kuatnya kepentingan politik di lembaga legislatif, sangat terbuka

kemungkinan undang-undang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran

MK yang diberikan wewenang untuk melakukan judicial review secara langsung

telah ikut mempengaruhi proses legislasi di Indonesia.

Bentuk pengaruh kehadiran kewenangan judicial review dalam fungsi

legislasi dapat dikemukakan sebagai berikut :

Pertama, secara langsung mengaplikasikan model purifikasi dan kontrol

second chamber judicial review terhadap model legislasi speerti yang dinyatakan

di atas. MK melalui kewenangan judicial review telah melakukan purifikasi UU

yang bertentangan dengan norma dasar (konstitusi). Pada saat yang sama, MK telah

menjadi pengontrol bagi kekuasaan legislatif dalam hal kemungkinan adanya

kekeliruan baik formal maupun substansial dalam proses legislasi. Artinya, telah

terjadi perubahan mendasar atau perubahan kecil pada beberapa undang-undang

46 Tom Ginsburg,2003, Judicial review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian cases, Cambridge Univercity Press, hlm.2.,ibid.Hlm.296

40

yang dihasilkan oleh pembentuk undang-undang. hal itu membuktikan, MK telah

menunjukkan sebagai negative-legislator.

Kedua, putusan MK mendorong pembentukan peraturan perundang-

undangan yang menempatkan MK sebagai salah satu faktor penting dalam program

legislasi nasional. Dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan UU, Rancangan PERPPU, Rancangan PP dan

Rancangan Peraturan Presiden dinyatakan:

1. “Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun rancangan

Undang-Undang diluar prolegnas setelah terlebih mengajukan

permohonan izin prakarsa kepada presiden…”

2. Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk

menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi

undang-undang; untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian

internasional; untuk melaksanakan putusan MK.

Dengan adanya klausul “keadaan tertentu” untuk melaksanakan putusan

MK, hasil pengujian akan memberikan dampak langsung terhadap beban kerja

legislasi.

Ketiga, telah menimbulkan prinsip prudential (kehati-hatian) pihak

membentuk undang-undang ketika membahas rancangan undang-undang. Dalam

banyak kesempatan, khususnya dalam pembahasan rancangan undang-undang,

judicial review telah menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Pembentukan

undang-undang menjadi lebih berhati-hati dalam merumuskan substansi undang-

undang. Sejak kehadiran MK, pembentuk undang-undang selalu menghitung

41

kemungkinan adanya permohonan judicial review.47 Hal itu berarti, kehadiran

mahkamah konstitusi membuat pembentuk undang-undang menjadi lebih berhati-

hati atas kemungkinan adanya invalidasi undang-undang oleh MK.

Dari pemaparan teori dan berbagai pendapat para ahli yang telah

disampaikan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tidak terlampau

keliru jika putusan MK dikualifikasikan sebagai “undang-undang”. Mahkamah

Konstitusi sebagai badan yudisial ternyata dapat melakukan tindakan legislatif

melalui kewenangannya yang diberikan oleh UUD. Bukan dengan membentuk dan

merancang undang-undang melalui lembaran baru, akan tetapi menguji apakah

proses legislasi yang dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang tersebut sudah

tepat dan tidak merugikan masyarakat. MK dapat mengklaim bahwa pengujian

konstitusionalitas undang-undang termasuk dalam proses legislasi. Oleh karena itu,

produknya, putusan MK, berlaku dan mengikat secara umum kepada semua orang

serta badan-badan pemerintahan lainnya. Dan menurut hemat penulis, kekuatan

mengikat putusan MK berlaku ‘sama’ dengan kekuatan mengikat suatu undang-

undang. Oleh karena itu MK sebagai interpreter konstitusi dari putusan yang

dihasilkan dapat disebut sebagai “undang-undang”, yaitu putusan yang mengikat

secara umum atas proses legislasi. Untuk mengulas lebih dalam bagaimana

hubungan Mahkamah Konstitusi dengan badan-badan pemerintahan utama lainnya,

penulis akan menjabarkan lebih rinci pada sub-bab berikutnya pada penulisan ini

(Infra Sub-Judul C).

47 Wawancara dengan Lukman Hakim saefuddin, 14/03-2008, dijakarta. Ibid.,hlm. 311

42

C. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Badan

Pemerintahan Lain

Materi selanjutnya yang akan penulis sampaikan pada subbab ini ialah

hubungan institusional antara Mahkamah Konstitusi dengan badan-badan

pemerintahan utama lainnya terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji

konstitusionalitas undang-undang. Persoalan atau isu yang timbul disini adalah

posisi atau kedudukan MKRI terhadap badan-badan utama yang lain terkait dengan

posisi sebagai interpreter konstitusi. Secara prinsip, semua badan pemerintahan

adalah interpreter konstitusi dalam menjalankan kewenangan fungsional undang-

undang. Oleh karena itu pertanyaan utamanya adalah bilamanakah interpretasi

Mahkamah Konstitusi berlaku dan mengikat badan-badan pemerintahan utama

tersebut, sementara secara struktural kedudukannya sejajar dan secara fungsional

sama-sama dapat melakukan interpretasi konstitusi. Beberapa kajian menunjukan

bahwa UUD 1945 secara tersirat memberikan kewenangan penafsiran konstitusi

secara monopolistik kepada MK untuk menilai pertentangan norma hukum dalam

pengujian konstitusionalitas undang-undang, artinya MK adalah “the guardian of

constitution and the sole interpreting of constitution” dan sebagai penafsir sah

terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the

constitution). Agar putusan MK yang telah berkekuatan hukum tetap dapat berlaku

dan mengikat semua badan pemerintahan utama lainnya, Mahkamah Konstitusi

seharusnya memposisikan dirinya sebagai interpreter konstitusi yang menjalankan

kepemimpinan atas badan-badan pemerintahan utama yang lain (menjalankan

pendekatan judicial supremacy). Akan tetapi pada prakteknya terdapat beberapa

putusan MK yang tidak dapat berlaku karena badan pemerintahan yang lain

43

mempunyai kewenangan yang sama untuk melaksanakan interpretasi konstitusi,

dalam hal ini yang terjadi adalah posisi Mahkamah Konstitusi setara dengan badan-

badan pemerintahan utama lainnya yang berakibat putusan MK tersebut tidak dapat

mengikat ke semua badan pemerintahan yang lain (pendekatan konsep

Departmentalism).

Untuk menjamin kedudukan MK atas interpretasi yang dilakukannya

sebagai tindakan yang legitimate, konsep Judicial Supremacy dapat menjadi salah

satu cara agar hubungan antara badan pemerintahan utama lainnya tetap berjalan

harmonis. Perlu kita ketahui Judicial supremacy adalah tentang presepsi badan

yudisial dalam memposisikan diri terhadap badan-badan pemerintahan lain dalam

melakukan interpretasi konstitusi.48 Whittington memaknai judicial Supremacy

sebagai kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi. (Constitutional leadership).

Konsep ini menyatakan pengertian bahwa badan yudisial adalah interpreter

konstitusi terdepan, menentukan makna konstitusi secara monopolistik sebagai

dasar tindakan pemerintah di masa depan, dan badan-badan pemerintahan yang

lainnya harus tunduk pada interpretasinya. Argumen untuk pernyataan tentang

judicial supremacy adalah the constitution cannot be maintained as a coherent law

unless the court serves as its ultimate interpreter, whose understanding of the

constitutional text supersede any others and which other government officials are

required to adopt. (diterjemahkan ; konstitusi tidak dapat dipertahankan sebagai

hukum yang koheren kecuali pengadilan berfungsi sebagai juru utamanya, yang

memahami teks konstitusi menggantikan orang lain dan para pejabat pemerintah

48 Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh MKRI, CV.Mandar Maju,Bandung, 2015, Hlm. 100.

44

lainnya yang diperlukan untuk mengadopsi.) 49 MK diberikan kebebasan oleh

konstitusi melakukan interpretasi dan direalisasikan melalui putusan MK.

Interpretasi konstitusi dalam ajudikasi pada hakikatnya bertujuan untuk mengakhiri

kontroversi. Praktik ini sangat legitimate sebagai tujuan untuk menyelesaikan

persoalan ketentuan-ketentuan konstitusi yang kabur atau sangat umum. Argumen

ini menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan interpreter akhir

UUD NRI 1945. Dengan digunakannya konsep Judicial supremacy pada

hakikatnya putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Supreme. Sangat percuma

pembentukan badan ajudikasi konstitutional jika ketika putusannya yang telah

berkekuatan hukum tetap dan Erga Omnes mendapat intervensi dari badan

pemerintahan yang lain karena mempunyai hak yang sama untuk melaksanakan

interpretasi konstitusi, sehingga yang seharusnya konsep kedudukan badan

pemerintahan adalah Judicial Supremacy posisi sebaliknya adalah

departmentalism.

Menurut teori, departmentalism memposisikan badan-badan pemerintahan,

termasuk badan yudisial berlaku setara antara fungsi dan kewenangannya dalam

rangka interpretasi konstitusi. Implikasinya, produk interpretasi konstitusi oleh

badan yudisial hanya berlaku persuasif terhadap terhadap badan pemerintahan yang

lain. Mereka menganggap bahwa semua badan ajudikasi mempunyai kewenangan

yang sama dalam melaksanakan interpretasi konstitusi. Dampaknya, lembaga MK

yang lebih dikenal sebagai Supreme Court, putusannya tidak dapat mengikat secara

umum. Kondisi ini menimbulkan sikap bahwa putusan MK dapat berlaku jika

49 Achibald Cox, The role of The supremacy Court: Judicial activism or self-Restraint?. Maryland Law Review,Vol.47, 1987,hal.4, Ibid. hlm. 101

45

badan pemerintahan yang lain defference terhadap badan ajudikasi konstitusional.

Konsep departmentalism paling feasible adalah fixed departmentalism, yaitu, :

Accepts that there is such a thing as authotitative interpretation in a given

matter, but rejects the notion of a single interpreter regarding all matters. Instead,

allocation of interpretive authority varies by topic or constitutional provision.

Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa keberlakuan

departmentalism seyogianya kontekstual, tidak dapat digeneralisasi, yaitu

bergantung kepada pokok permasalahan (subject matter) yang masing-masing

memiliki karakter sendiri.

Sehubungan dengan kondisi yang terjadi saat ini antara MK dengan badan

pemerintahan lainnya atas produk hukum yang telah dikeluarkan. Mahkamah

Konstitusi mempunyai 4 kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum. Perlu kita cermati bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945

menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final…” Artinya, tidak ada upaya hukum

lain yang dapat ditempuh atas putusan MK tersebut (dapat dikatakan putusan MK

bersifat final and Binding).50 Oleh karena itu semua pihak termasuk badan-badan

pemerintahan lainnya harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK tersebut.

50 Bagian Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ( Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung

46

Meskipun begitu, pada prakteknya keberlakuan putusan Mahkamah

Konstitusi belum dijalankan sepenuhnya oleh badan-badan pemerintahan yang lain.

menurut penulis bahwa Badan-badan pemerintahan lainnya merasa norma yang

disampaikan konstitusi pada pasal 24C ayat (1) belum jelas tujuannya mengikat

untuk siapa. Oleh karena itu sebagai contoh konkrit saat ini, MA melalui

kewenangannya yang diberikan UU dapat mengeluarkan SEMA No 7 Tahun 2014

yang sejauh ini dianggap oleh penulis mengabaikan putusan MK No 34/PUU-

XI/2013. Putusan MK yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak dapat

direalisasikan karena substansi dari isi SEMA bertentangan dengan Putusan MK.

Sikap ini dirasa benar oleh MA karena yang diterbitkan oleh MA tersebut ialah

salah satu wujud dari interpretasi konstitusi melalui konsep hubungan badan-badan

pemerintahan yaitu Departmentalism.

Praktek Departmentalism pada prinsipnya melindungi konsekuensi negatif

yang sering terjadi pada saat ini yaitu tirani minoritas. Batasan dari keberlakuan

Judicial supremacy terdapat pada hasil interpretasinya. Jika praktik tersebut

memberikan hasil buruk kepada warga negara berkenaan dengan jaminan terhadap

HAM dan badan pemerintahan yang lain tidak setuju dengan hasil itu, badan

yudisial tidak dapat berlindung secara sah dibalik konsep judicial supremacy

supaya hasil interpretasi konstitusinya legitimate dan berlaku mengikat kepada

badan-badan pemerintahan yang lain. akan tetapi sebaliknya, jika interpretasi badan

yudisial dalam implementasinya tidak merugikan masyarakat, MA harus dapat

dengan bijak menerima dan mendukung atas apa yang telah dilakukan oleh badan

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh )

47

yudisial. Bukan dengan mengeluarkan kebijakan baru seperti menerbitkan SEMA

yang dirasa oleh penulis adalah sebagai sikap penolakan atas putusan MK. Perlu

diketahui bahwa Departmentalism hanya mungkin diberlakukan dalam situasi

politik hubungan antar badan-badan pemerintahan yang berlangsung normal, yaitu

ketika proses politik tidak menghadapi kontroversi konstitusional serius. Artinya,

interpretasi konstitusi yang dilakukan bersama-sama oleh badan-badan

pemerintahan yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial telah koheren dengan asumsi

:

1. Badan-badan pemerintahan tersebut sama-sama terikat oleh konstitusi

2. Badan-badan pemerintahan tersebut menjalankan kewenangannya sesuai

konstitusi

3. Badan-badan pemerintahan tersebut menghasilkan interpretasi konstitusi

yang juga compatible dengan dikte konstitusi.51

Atas dasar penjelasan diatas, putusan MK yang sejatinya bersifat final dan

mengikat terbukti tidak dapat berlaku bagi MK ketika MA menerbitkan SEMA

yang materi muatannya bertentangan dengan putusan MK. Artinya, bahwa putusan

MK adakalanya dapat mengikat secara universal yaitu, ketika MA menghormati

putusan MK dan tidak menimbulkan pertentangan terhadap putusan MK. Sama

halnya dengan badan legislatif, badan legislatif mempunyai fungsi yaitu

membentuk undang-undang yang tidak bertentangan dengan HAM. Sedangkan

fungsi MK adalah korektif, yaitu menilai kesesuaian undang-undang produk badan

legislatif dengan batasan HAM yang telah diberlakukan, jika terjadi pertentangan

antara Undang-Undang dengan HAM, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan

51 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi, Op., cit., hlm.151

48

undang-undang tersebut. Inilah yang menjadi pertanyaan penulis ketika putusan

MK yang telah berkekuatan hukum tetap dan memiliki efek keberlakuan Erga

Omnes dapat diabaikan dengan mudah oleh badan pemerintahan utama lainnya

ketika pandangan dan interpretasinya tidak dapat diterima. Konsep Judicial

Supremacy yang sejatinya sudah terlahir sejak MK terbentuk tidak dapat

direalisasikan.

Setelah penulis sampaikan beberapa sifat dari konsep departmentalism dan

judicial supremacy, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada permasalahan hubungan

MK dengan MA terkait kewenangan yang mereka laksanakan, MA menggunakan

konsep departmentalism untuk memposisikan dirinya menerbitkan SEMA. Hal

tersebut dapat dikatakan legitimate jika memang dirasa produk badan yudisial

merugikan masyarakat, akan tetapi jika kontra, tindakan yang dilakukan oleh MA

di rasa penulis Inkonstitusional. Mengapa demikian? karena penyelenggaran

pemisahan kekuasaan kehakiman dalam rangka menjaga konstitusi (supreme law

of the land) dilaksanakan melalui Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah

Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap sejatinya memiliki efek

keberlakuan yang disebut Erga Omnes. Erga Omnes sendiri bertujuan agar putusan

MK dapat berlaku dengan semestinya/seharusnya (mengikat semua orang).

Disamping itu, erga omnes menjadi tolak ukur konsep Judicial Supremacy agar

badan pemerintahan yang lain dapat menerima produk hukum badan ajudikasi

konstitusional. Oleh karena itu, sewajibnya hasil dari pada putusan Mahkamah

Konstitusi dapat diterima oleh badan pemerintahan lain sebagai wujud

menghormati Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi untuk menguji

konstitusionalitas undang-undang. Hal-hal terkait pengabaian MA dalam

49

menerbitkan SEMA akan penulis jabarkan lebih seksama pada bab selanjutnya.

(Bab-Judul 3).