Upload
jariah
View
31
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
efek transfusi pada thalasemia
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. THALASEMIA
1. Definisi
Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan
oleh defek genetik pada pembentukan rantai globin. Pertama kali ditemukan secara
bersamaan di Amerika Serikat dan Italia antara 1925-1927 oleh Thomas Cooley. Kata
thalassemia dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut dengan penduduk
mediterania, dalam bahasa Yunani Thalassa berarti laut dan emia yang berarti
darah.3,4
2. Klasifikasi
Ada beberapa jenis thalasemia, tergantung dari rantai hemoglobin yang
terdestruksi. Dua tipe thalasemia yang paling sering yaitu thalasemia α dan
thalasemia β.1
Thalasemia α sillent carrier, didiagnosis dengan hb elektroforesis. Thalasemia
α trait ditandai dengan anemia ringan dan sel darah merah yang rendah. Thalasemia α
intermediat (penyakit Hb H), mengalami anemia sedang sampai berat, ditandai juga
dengan splenomegali, ikterus, dan sel darah merah yang abnormal. Bagian lain dari
thalasemia α yaitu thalasemia α mayor, termasuk golongan thalasemia α homozigot.1
Thalasemia β sillent carrier biasanya asimptomatik ditandai dengan rendahnya
kadar Hb. Pasien thalasemia β trait mengalami anemia ringan, abnormalitas hb, dan
4
5
abnormalitas sel darah merah. Hasil Hb elektroforesis biasanya menunjukkan
peningkatan salah satu level Hb A 2, Hb F, atau keduanya. Thalasemia intermediat
merupakan salah satu golongan thalasemia β. Thalasemia β memiliki bebrapa varian,
tergantung rantai β yang hilang, seperti contohnya thalasemia Hb E/β. Mayor
thalasemia β (Cooley anemia) merupakan kondisi anemia yang sangat bergantung
dengan transfusi darah, splenomegali masif, deformitas tulang, terhambatnya
pertumbuhan, 80% pasien penderita dalam 5 tahun akan mengalami kematian.1
3. Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 5% dari seluruh populasi
di dunia adalah karier talasemia. United Nations International Children’s Emergency
Fund (UNICEF) memperkirakan sekitar 29,7 juta pembawa talasemia-β berada di
India dan sekitar 10.000 bayi lahir dengan talasemia-β mayor.3 Jumlah penderita
talasemia di Yayasan Talasemia Indonesia cabang Banyumas terus meningkat, pada
tahun 2008 terdapat 44 penderita, pada tahun 2009 meningkat 32,3% menjadi 65
penderita. Pada tahun 2010, penderita talasemia meningkat lagi 53,85% menjadi 100
penderita dan tahun 2011 meningkat menjadi 63%. Peningkatan jumlah penderita
talasemia yang sangat signifikan di Yayasan Talasemia Indonesia cabang Banyumas
tersebut, perlu diteliti secara epidemiologi untuk dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan pembuatan usulan kebijakan terkait penurunan angka prevalensi
talasemia dan penyediaan kantung darah di Kabupaten Banyumas.5
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita talasemia rata-rata berusia 12,28
tahun, berjenis kelamin laki-laki (51,6%), sedang sekolah SD (40,6%), bukan
6
angkatan kerja (92,2%), talasemia β-mayor (90,6%), tidak splenektomi (84,4%),
jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) (73,4%), kadar feritin ≥ 2000 ng/mL
(90,4%), kelasi deferioprone, vitamin C, dan deferioksamin (81,2%), tinggal di
Kabupaten Banyumas (79,7%), transfusi darah di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Banyumas (95,3%), ratarata terdiagnosis usia 3,7 tahun, usia rata-rata mulai
transfusi darah adalah 3,78 tahun. Frekuensi transfusi darah 1 bulan 1 kali (87,5%),
dan frekuensi terapi kelasi zat besi mengonsumsi vitamin C 30 kali dalam 1 bulan
(95,3%).5
4. Patofisiologi
Thalsemia terjadi karena kelainan pada sintesis Hb yang berakibat hilangnya
salah satu rantai Hb. Beberapa rantai globin yang mungkin hilanng yaitu rantai α, β,
γ, δ sehingga dapat mempengaruhi keseimbangan pembentukan rantai globin secara
utuh.1
Petofisiologi thalasemia α terkait dengan hilangnya rantai globin α sehingga
menurunkan produksi HbA (α2β2) dan menurunkan kada Hb dalam darah.2
7
Berikut gambaran patofisioogi thalasemia β:2
Gambar 1. Proses terjadinya thalasemia β2
Pada thalasemia β terjadi defek pada rantai globin β sehingga globin α yang
meningkat. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan pembentukkan globin, yang
berefek langsung pada penurunan kadar Hb. Saat terjadi penurunan kadar Hb, maka
tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan kinerja eritropoietin, sehingga
terjadi hipermetabolik sumsum tulang.2
Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan karena
kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang ditempati lokus gen
globin. Sebagian besar kelainan hemoglobin dan jenis thalassemia merupakan hasil
8
kelainan mutasi pada gamet yang terjadi pada replikasi DNA. Pada replikasi DNA
dapat terjadi pergantian urutan asam basa dalam DNA, dan perubahan kode genetik
akan diteruskan pada penurunan genetik berikutnya. Mutasi ini dapat memperpendek
rantai asam amino maupun memperpanjangnya. Kelainan mutasi dapat pula terjadi
pada kesalahan berpasangan kromosom pada proses miosis yang mengakibatkan
perubahan susunan material genetik. Bila terjadi crossing over pada kesalahan
berpasangan itu, sebagai hasil akhir peristiwa tadi akan terjadi apa yang disebut
duplikasi, delesi, translokasi dan inversi. Kerusakan pada salah satu kromosom
homolog menimbulkan terjadinya keadaan heterozigot, sedangkan kerusakan pada
kedua kromosom homolog menimbulkan keadaan homozigot.6
Pada thalassemia homozigot sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis
sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha,
khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan kurangnya pembentukan
Hb.6
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan
dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan.
Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang
tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi
pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.6
Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya biosintesis
dari unit globin pada Hb A. pada thalasemia β heterozigot, sintesis β globin kurang
9
lebih separuh dari nilai normalnya. Pada thalasemia β homozigot, sintesis β globin
dapat mencapai nol.6
Karena adanya defisiensi yang berat pada rantai β, sintesis Hb A total menurun
dengan sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan thalasemia β
homozigot mengalami anemia berat. Sebagai respon kompensasi, maka sintesis rantai
γ menjadi teraktifasi sehingga hemoglobin pasien mengandung proporsi Hb F yang
meningkat. Namun sintesis rantai γ ini tidak efektif dan secara kuantitas tidak
mencukupi.7
Pada thalasemia β homozigot, sintesis rantai α tidak mengalami perubahan.
Ketidak-seimbangan sintesis dari rantai polipeptida ini mengakibatkan kelebihan
adanya rantai α bebas di dalam sel darah merah yang berinti dan retikulosit. Rantai α
bebas ini mudah teroksidasi. Mereka dapat beragregasi menjadi suatu inklusi protein
(heinz bodies), menyebabkan kerusakan membran pada sel darah merah dan destruksi
dari sel darah merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel darah merah
matur yang diproduksi menjadi berkurang. Sel darah merah yang beredar kecil,
terdistorsi, dipenuhi oleh inklusi α globin, dan mengandung komplemen hemoglobin
yang menurun. Hal yang telah disebutkan diatas adalah gambaran dari Anemia
Cooley: hipokromik, mikrositik dan poikilositik.7
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada thalasemia hampir semua sama, yang membedakan adalah
tingkat keparahannya, dari ringan (asimptomatik) sampai parahnya gejala. Gejala
klinis biasa berupa tanda-tanda anemia seperti pucat, lemah, letih, lesu, tidak aktif
10
beraktifitas atau jarang bermain dengan teman seusianya, sesak nafas kurang
konsentrasi, sering pula disertai dengan kesulitan makan, gagal tumbuh, infeksi
berulang dan perubahan tulang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan facies Cooley,
konjungtiva anemis, bentuk tulang yang abnormal, pembesaran lien dan atau hepar.6
6. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis thalasemia dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik telah dijabarkan
pada manifestasi klinis. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
laboraturiom.1
Dari pemerisaan darah rutin ditemukan nilai Hb rendah (<10 g/dL), pada
thalasemia yang berat Hb berkisar antara 2-8 g/dL. MCV dan MCH menurun dan
peningkatan RDW. Pada thalasemia β mayor ditemukan peningkatan leukosit, hal ini
menandakan adanya proses hemolisis. Trombosit biasanya dalam batas normal.1
Pada pemeriksaan apusan darah tepi ditemukan gambaran sel darah merah
hipokromik mikrositik, hipokromik makrositik, atau sel olikromatofilik, sel darah
merah tampak berinti, basofil yang tumpang tindih, dan leukosit immatur tampak
pada contoh gambar berikut.1
11
Gambar 2. Apusan darah tepi thalasemia1
Pemeriksaan Hb elektroforesis akan menunjukkan peningkatan fraksi HbF yang
akan berdistribusi secara heterogen pada pasien dngan thalasemia β, HbH pada pasien
thalasemia α, dan Hb Bart pada hydrops fetalis. Pada pasien thalasemia β0tidak
ditemukan hal tersebut, hanya ditemukan Hb A2 dan HbF.1
Pemeriksaan serum besi (SI) akan mengalami peningkatan dengan TIBC diatas
80%. Feritin akan meningkat apabila terjadi iron overloaded.1
Pemeriksaan rontgen kepala menggunakan X-ray dan MRI akan membantu
melihat peningkatan fungsi sumsum tulang dan komplikasi penyakit. Pemeriksaan
ekokardiografi juga disarankan untuk mengetaui komplikasi pada jantung. HLA
diperiksa pada pasien dengan transplantasi sumsum tulang. Pemeriksaan mata,
pendengaran, dan darah rutin dilakukan secara berkala untuk menilai komplikasi
12
pengobatan deferoksamin. Bone marrow aspiration (BMA) dilakukan untuk menilai
thalasemia mayor.1
Gambar 3. Algoritma diagnosis anemia hipokromik mikrositik2
7. Tatalaksana
Penderita thalassemia berat membutuhkan terapi medis, dan regimen transfusi
darah merupakan terapi awal untuk memperpanjang masa hidup. Transfusi darah
harus dimulai pada usia dini ketika anak mulai mengalami gejala dan setelah periode
13
pengamatan awal untuk menilai apakah anak dapat mempertahankan nilai Hb dalam
batas normal tanpa transfusi.6
Transfusi darah bertujuan untuk mengoreksi anemis, menekan eritropoesis, dan
menghambat absorpsi besi di saluran gastrointestinal, dimana agar mempertahankan
nilai Hb tetap pada level 9-9.5 gr/dL sepanjang waktu.6
Indikasi untuk memberikan transfusi transfusi pada pasien thalassemia adalah
bila ditemukan anemia berat (Hb <7 g/ dL selama > 2 minggu, menghilangkan faktor
penyebab lain, misalnya infeksi). Pada pasien dengan Hb 7g/ dL juga tetap dapat
diberikan transfusi melihat keadaan lainnya, misalnya perubahan wajah, pertumbuhan
yang terhambat, splenomegali yang semakin bertambah. Bila memungkinkan,
keputusan untuk memulai transfusi regular tidak ditunda sampai tahun kedua ketiga
kehidupan mengingat adanya resiko terbentuknya antibodi multipel terhadap sel
darah merah sehingga sulit untuk mencari donor yang sesuai. Hb post transfusi
diharapkan mencapai 13-14 g/dL. Hb pada kadar ini menghindarkan terjadinya
kegagalan tumbuh, kerusakan organ, dan deformitas tulang.6
Pada pasien yang membutuhkan transfusi darah reguler, maka dibutuhkan suatu
studi lengkap untuk keperluan pretransfusi. Pemeriksaan tersebut meliputi fenotip sel
darah merah, vaksinasi hepatitis B (bila perlu), dan pemeriksaan hepatitis.6
Darah yang akan ditransfusikan harus rendah leukosit; 10-15 mL/kg PRC
dengan kecepatan 5 mL/kg/jam setiap 3-5 minggu (sekitar 2-4 minggu sekali)
biasanya merupakan regimen yang adekuat untuk mempertahankan nilai Hb yang
diinginkan.6
14
Pertimbangkan pemberikan asetaminofen dan difenhidramin sebelum transfusi
untuk mencegah demam dan reaksi alergi.6
Komplikasi utama dari transfusi adalah yang berkaitan dengan transmisi bahan
infeksius ataupun terjadinya iron overload. Penderita thalassemia mayor biasanya
lebih mudah untuk terkena infeksi dibanding anak normal, bahkan tanpa diberikan
transfusi. Beberapa tahun lalu, 25% pasien yang menerima transfusi terekspose virus
hepatitis B. Saat ini, dengan adanya imunisasi, insidens tersebut sudah jauh
berkurang. Virus Hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama hepatitis pada
remaja usia di atas 15 tahun dengan thalassemia. Infeksi oleh organisme opurtunistik
dapat menyebabkan demam dan enteriris pada penderita dengan iron overload,
khususnya mereka yang mendapat terapi khelasi dengan Desferioksamin (DFO).
Demam yang tidak jelas penyebabnya, sebaiknya diterapi dengan Gentamisin dan
Trimetoprim-Sulfametoksazol.6
Apabila diberikan sebagai kombinasi dengan transfusi, terapi khelasi digunakan
untuk mengatasi kelebihan besi akibat hemolisis berlebihan, Dimana 400 ml darah
yang ditranfusikan mengandung sekitar 200 mg zat besi. Zat besi ini tidak bisa
dikeluarkan dari darah karena merupakan bagian dari hemoglobin yang diperlukan
tubuh, hanya dapat mengeluarkan sedikit jumlah zat besi dengan kemampuan tubuh
sendiri, sehingga jika mendapat transfusi teratur, zat besi akan menumpuk dalam
tubuh dan tersimpan dalam organ tertentu, khususnya hati, jantung dan kelenjar
endokrin. Dengan terapi kelasi dapat menunda onset dari kelainan jantung pada
beberapa pasien, bahkan dapat mencegah kelainan jantung tersebut.6
15
Terapi kelasi besi secara umum harus dimulai setelah kadar feritin serum
mencapai 1000 µg/L, yaitu kira-kira 10-20 kali transfusi (± 1 tahun).9
Terdapat beberapa obat kelasi besi yang bisa digunakan secara teratur, yaitu:
1) Deferoksamin (DFO). Dosis standar adalah 40 mg/kgBB melalui infus subkutan
dalam 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil selama 5 atau 6
malam/minggu. Lokasi infus yang umum adalah di abdomen, daerah deltoid,
maupun paha lateral. Penderita yang menerima regimen ini dapat mempertahankan
kadar feritin serum < 1000 µg/L. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
toksisitas retina, pendengaran, gangguan tulang dan pertumbuhan, reaksi lokal dan
infeksi. DOF dapat diberikan melalui kantung infus sebanyak 1-2 gram untuk tiap
unit darah yang ditransfusikan, melalui infus subkutan dengan dosis
20-40mg/kg/hari selama 8-12 jam saat pasien tidur selama 5-7 hari/minggu.9
2) Deferipron (L1). Terapi standar biasanya menggunakan dosis 75 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis. Kelebihan deferipron dibanding deferoksamin adalah efek
proteksinya terhadap jantung. Anderson dkk menemukan bahwa pasien
thalassemia yang menggunakan deferipron memiliki insiden penyakit jantung dan
kandungan besi jantung yang lebih rendah daripada mereka yang menggunakan
deferoksamin. Meskipun begitu, masih terdapat kontroversi mengenai keamanan
dan toksisitas deferipron sebab deferipron dilaporkan dapat menyebabkan
agranulositosis, artralgia, kelainan imunologi, dan fibrosis hati. Saat ini deferipron
tidak tersedia lagi di Amerika Serikat.9
16
3) Deferasirox (ICL-670). Deferasirox adalah obat kelasi besi oral yang baru saja
mendapatkan izin pemasaran di Amerika Serikat pada bulan November 2005.
Terapi standar yang dianjurkan adalah 20-30 mg/kgBB/hari dosis tunggal.
Deferasirox menunjukkan potensi 4-5 kali lebih besar dibanding deferoksamin
dalam memobilisasi besi jaringan hepatoseluler, dan efektif dalam mengatasi
hepatotoksisitas. Efek samping yang mungkin terjadi adalah sakit kepala, mual,
diare, dan ruam kulit.9
8. Komplikasi
Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa, hepar,
dan sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit ini. Sel
darah merah yang mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi mempunyai umur yang
lebih panjang.7
Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oxigen carrying capacity
dari setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang jumlahnya sedikit)
mengalami hemolisa secara prematur.7
Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum-
sumsum tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih banyak.
Namun mekanisme kompensasi ini tidak efektif karena adanya kematian yang
prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu ekspansi sumsum tulang yang masif
yang memproduksi sel darah merah baru.7
Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian kortikal
dari tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada umur-umur yang
17
kritis pada pertumbuhan dan perkembangan, mengalihkan sumber-sumber biokimia
yang vital dari tempat-tempat yang membutuhkannya dan menempatkan suatu stress
yang sangat besar pada jantung. Secara klinis terlihat sebagai kegagalan dari
pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan jantung high output, kerentanan terhadap
infeksi, deformitas dari tulang, fraktur patologis, dan kematian di usia muda tanpa
adanya terapi transfusi.8
Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif dapat diperbaiki,
dan terjadi peningkatan jumlah hormon hepcidin; sehingga penyerapan besi akan
berkurang dan makrofag akan mempertahankan kadar besi.8
Pada pasien dengan iron overload (misalnya hemokromatosis), absorpsi besi
menurun akibat meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal ini tidak terjadi pada
penderita thalassemia-β berat karena diduga faktor plasma menggantikan mekanisme
tersebut dan mencegah terjadinya produksi hepsidin sehingga absorpsi besi terus
berlangsung meskipun penderita dalam keadaan iron overload.8
Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain
bernama ferroportin, yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag
menuju plasma dan menghantarkan besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin
diregulasi oleh jumlah penyimpanan besi dan jumlah hepsidin. Hubungan ini juga
menjelaskan mengapa penderita dengan thalassemia-β yang memiliki jumlah besi
yang sama memiliki jumlah ferritin yang berbeda sesuai dengan apakah mereka
mendapat transfusi darah teratur atau tidak. Sebagai contoh, penderita thalassemia-β
intermedia yang tidak mendapatkan transfusi darah memiliki jumlah ferritin yang
18
lebih rendah dibandngkan dengan penderita yang mendapatkan transfusi darah secara
teratur, meskipun keduanya memiliki jumlah besi yang sama.8
Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan kuat dengan
protein pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload, seperti pada
thalassemia berat, transferrin tersaturasi, dan besi bebas ditemukan di plasma. Besi ini
cukup berbahaya karena memiliki material untuk memproduksi hidroksil radikal dan
akhirnya akan terakumulasi pada organ-organ, seperti jantung, kelenjar endokrin, dan
hati, mengakibatkan terjadinya kerusakan pada organ-organ tersebut (organ
damage).6
9. Prognosis
Prognosis tergantung tipe dan keparahan thalasemia. Walaupun thalasemia
ringan sampai berat dapat mengancam nyawa dan memberikan dampak keterbatasan
dalam hidup pada waktu yang panjang (seumur hidup).1
B. TRANSFUSI DARAH
1. Tujuan
Tujuan dilakukannya transfusi adalah untuk terapi dan optimalisasi kualitas
hidup. Tujuan pendonor untuk mengoptimalkan fungsi eritrosit sebagai pengganti
turunnya konsentrasi Hb dalam darah pasien. Tujuan berikutnya adalah untuk
meningkatkan level hemoglobin agar dapat bertahan lama dalam tubuh resepien.2
2. Prosedur
a. Terdiagnosis thalasemia.
19
b. Kriteria laboraturium Hb <7 g/dl lebih dari 2 minggu dan terdapat tanda
infeksi. Hb >7 g/dL dengan kriteria perubahan struktur wajah, pertumbuhan
terhambat, fraktur, dan gejala klinis hematopoiesis ekstramedularis.2
Tabel 1. Target peningkatan Hb2
3. Dampak
a. Positif
Secara klinis, thalasemia merupakan penyakit berat. Sehingga, memerlukan
transfusi darah secara teru-menerus, baik untuk mengontrol penyakit atau mencegah
komplikasinya.10
Melakukan transfusi, layaknya mencegah kegagalan organ yang lain dan
mencegah koplikasi, seperti:11
1) Deformitas tulang dan fraktur
Penipisan tulang dan osteopenia adalah pencetus terjadinya fraktur patologis. Hal
ini dapat tergambar dari adanya hiperplasi sumsung tulang maksilaris, sehingga
20
terjadi maloklusi. Pada pemberian transfusi di tahap awal penyakit, deformitas
lanjut dapat dicegah.
2) Massa di ekstamedula
Komplikasi lain dari thalasemia adalah terbentuknya masa ekstramedula. Hal ini
terjadi karena medula ginjal berusaha untuk menyeimbangkan kembali jumlah sel
darah merah dengan cara meningkatkan kerja jaringan hematopoietik. Beberapa
organ yang terlibat seperti spleen, liver, dan tulan belakang. Dengan managemen
transfusi, radioterapi, dan hidroksiurea dapat membantu mengecilkan pseudotumor
tersebut tanpa harus melakukan pembedahan. Selain dapat mengatasi anemia,
transfusi juga dapat mengurangi risiko pembentukkan massa ekstramedula.
3) Komplikasi tromboemboli
Komplikasi tromboemboli hal yang umum terjadi pada pasien thalasemia yang
tidak melakukan transfusi. Meskipun anti agregasi platelet merupakan molekul
yang beratnya setara heparin, namun tetap bisa memicu terjadinya tromboemboli.
Namun, pada pasien yang mendapatkan transfusi risiko ini ditekan dengan
terjadinya dilusi procoagulan.
4) Hipertensi pulmonal
Beberapa studi menyatakan bahwa pasien thalasemia yang tidak melakukan
tranfusi 60% mengalami hipertensi pulmonal. Hal ini terjadi karena adanya
resistensi pembuluh darah pulmonal, kekakuan pembuluh darah sistemik, dan
gagal jantung kanan. Studi tersebut menyatakan dengan transfusi dan pemberian
hidroksiurea dapat menurunkan. Transfusi darah dapat mengganti kerja
21
eritropoiesis dan mencegah terjadinya penghancuran sel darah merah dengan agen
trombogenik.
5) Batu empedu
Pada pasien thalasemia beta homozigot sering ditemukan batu empedu. Secara
patofosiologi masih belum dimengerti seluruhnya. Namun penelitian menyatakan
dengan transfusi darah, risiko jaundice akubat sumbatan empedu dapat
diminimalisir.
6) Ulserasi
Ulserasi pada kaki merupakan tanda yang sering ditemukan pada pasien
thalasemia. Karena anemia kronis, oksigen yang disalurkan ke bagian tubuh distal
berkurang, sehingga terjadi stasis vena, hal ini yang kemudian memicu terjadinya
ulserasi pada ekstremita bagian bawah. Dengan dilakukan transfusi dan pemberian
hidroksiurea dapat membantu penembuhan ulserasi.
7) Aspek psikososial
Dengan dilakukan transfusi darah diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup
pasien. Pasien dapat beraktifitas sewajarnya. Namun dari segi biaya memang
tergolong mahal namun masih terjangkau jika dibandingkan dengan pengobatan
apabila terjadi komplikasi.
b. Negatif
1) Kelebihan serum besi dalam darah12
Terjadi peningkatan serum besi (hemosiderosis) dalam darah merupakan hal yang
lumrah terjadi pada pasien thalasemia yang mendapatkan transfusi rutin. Beberapa
22
efek dari peningkatan serum besi yakni kardiomiopati, diabetes, sirosis hepatis,
hipogonadis, dan pubertas terlambat.12
Pasien thalasemia yang mendapat transfusi harus selalu dimonitoring. Tidak ada
guidline spesifik untuk mengatasi hal ini. Tetapi dapat diminimalisir dengan
menggunakan kelasi besi setelah dilakukan transfusi. Penggunaan kelasi besi
dalam jangka waktu yang lama dapat membantu memperbaiki kualitas hidup
pasien thalasemia.3
2) Alloautoimunisasi12
Alloautoimunisasi sel darah merah merupakan efek transfusi darah. Saat transfusi,
antigen sel darah merah pendonor tentu berbeda. Sehinga semakin sering pasien
melakukan transfusi dari pendonor yang berbeda, akan terbentuk antibodi untuk
antigen sel darah merah pendonor. Sebanyak 25% terbentuk antibodi spesifik, 18%
mengalami hemoisis.
3) Transmisi infeksi12
Infeksi merupakan komplikasi yang dapat meningkatkan kematian dan kecacatan
pada pasien thalasemia. Saat melakukan transmisi, agen infeksi yang terdapat pada
pendonor akan bercampur dengan sirkulasi pasien.
4) Faktor psikologis12
Pasien yang mendapat transfusi darah akan merasa tampak berbeda dengan irang
lain. Kehidupan pasien thalasemia akan lebih sulit dibadingkan orang normal.
Biaya yang dikeluaran untuk terapi jangka panjang juga tidak sedikit.
23
5) Suplai darah12
Di negara-negara yang riskan akan penyakit yang ditularkan melalui darah, tentu
akan menjadi kendala untuk pasien thalasemia. Pasien akan susah mencari
pendonor dan sebelum mendapatkan transfusi, darah tersebut harus diskrining
secara akurat dan tepat untuk menghindari penularan penyakit. Hal ini tentu akan
meningkatkan pengeluaran.