18
 BAB II ACUAN TEORITIS DAN FOKUS PENELITIAN A. ACUAN TEORITIS 1. Hakekat Pembelajaran Demokratis Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan  bangs a dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi  pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan roh ani, ke pr iba di an yang man ta p, mandi ri ser ta tangg ung ja wa b kemasyarakatan dan kebangsaan. Dengan adanya landasan normative tersebut, maka dapat disimpulkan  bahwa pendidik an demokr asi merupakan hal yang tidak dapat ditawar-t awar lagi untuk terus diupayakan, dilaksanakan melalui proses pembelajaran, baik mel al ui se ko lah, maupu n da la m li ng kung an ma sy ar akat. Unt uk  men gembang kan pend idi kan demokr asi di Indone sia , maka diperl uka n adanya paradigma baru yang lebih mengembangkan kecerdasan warga negara dal am dimens i spi ri tua l, ras ional, emosio nal , dan sos ial , tanggung jawab war ga nega ra ter hadap nega ra, serta par tis ipa si war ga negara ter hada p  pembangunan bangsa agar terbentuk warga negara Indonesia yang baik yang diharapkan berdasarkan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan. 10

BAB II ET

Embed Size (px)

Citation preview

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 1/18

BAB II

ACUAN TEORITIS DAN FOKUS PENELITIAN

A. ACUAN TEORITIS

1. Hakekat Pembelajaran Demokratis

Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan

  bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia

yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi

 pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan

rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta tanggung jawab

kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dengan adanya landasan normative tersebut, maka dapat disimpulkan

 bahwa pendidikan demokrasi merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar 

lagi untuk terus diupayakan, dilaksanakan melalui proses pembelajaran, baik 

melalui sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat. Untuk 

mengembangkan pendidikan demokrasi di Indonesia, maka diperlukan

adanya paradigma baru yang lebih mengembangkan kecerdasan warga negara

dalam dimensi spiritual, rasional, emosional, dan sosial, tanggung jawab

warga negara terhadap negara, serta partisipasi warga negara terhadap

 pembangunan bangsa agar terbentuk warga negara Indonesia yang baik yang

diharapkan berdasarkan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan.

10

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 2/18

“Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah merangsang partisipasi

aktif warga negara dalam masyarakat sipil (civil society) dan dalam

  pengambilan keputusan politik di dalam demokrasi konstitusionil.Menurutnya warga negara yang demokratis tidak dilahirkan melainkan

diciptakan (dibuat) dalam proses sosialisasi”.1

Dengan demikian, demokrasi haruslah dipelajari dan perlu dipelihara.

Hal ini adalah tugas pendidikan kewarganegaraan, para ahli pendidikan

kewarganegaraan, dan ahli politik serta lembaga-lembaga profesional baik 

melalui lembaga persekolahan maupun lembaga kemasyarakatan lainnya.

Agar tercipta warga negara yang cerdas, bertangung jawab, dan dapat

 berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka perlu

diupayakan suatu strategi dan model pembelajaran yang relevan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Udin Winataputra sebagai berikut :

Veldhuis mengemukakan bahwa : “Dalam proses pendidikankewarganegaraan kita harus membedakan antara aspek-aspek :

 pengetahuan (knowledge), sikap dan pendapat (attitudes and opinions ),keterampilan berintelektual (intellectual skills) dan keterampilan partisipasi ( participatory skills )2”

Untuk menerapkan demokrasi dalam suatu proses pembelajaran kepada

 peserta didik merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah dilaksanakan

apalagi mempraktekannya dalam proses pembelajaran di kelas. Karena itu

memerlukan tanggung jawab orang dewasa yang harus mampu membimbing,

membina dan mempersiapkan generasi bangsa bagi kepentingan masa depan

 bangsanya.

1 Dr. H. Udin S. Winataputra.MA.dkk , Materi dan Pembelajaran PKn SD, ( UT, 2005 ), h. 7.15

2 Ibid, h 7. 18

11

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 3/18

Kita menyadari bahwa pendidikan merupakan dasar dari terbentuknya

warga negara yang cerdas, berbudi pekerti dan bermoral. Sutikno mengatakan

 bahwa :

“Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar berperan

aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil,

 jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleransi dengan

mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan bukannya perpecahan.”3

Merujuk kepada kutipan pendapat di atas, salah satu tujuan pendidikan

harus mampu membentuk sikap warga negara yang demokratis, maka sudah

merupakan tugas Pendidikan Kewarganegaraan untuk mengemban misi

tersebut, sehingga proses pembentukan karakter bangsa diharapkan mampu

mengarah kepada penciptaan masyarakat Indonesia yang menempatkan

demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai titik sentral.

Dalam proses itulah, pembangunan karakter bangsa sangat mendesak 

dilakukan dan dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan.

Udin S. Winataputra, menegaskan bahwa : “Tugas PKn dengan  paradigma barunya mengembangkan pendidikan demokrasi

mengemban tiga fungsi pokok, yakni mengembangkan kecerdasan

warganegara (civic intelligence), membina tanggung jawab

warganegara (civic responsibility) dan mendorong partisipasiwarganegara (civic partisipation)”.4

Jika dianalisa pendapat di atas maka jelas tugas Pendidikan

Kewarganegaraan harus mampu mengembangkan pendidikan demokrasi. Hal

3 M. Sobry Sutikno, Menggagas Pembelajaran Efektif dan Bermakna, ( Mataram : NTP Press, 2007),

h.384 loc.cit, h.1.1.

12

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 4/18

ini karena PKn mengemban tiga fungsi pokok yaitu mengembangkan

kecerdasan warganegara, membina tanggung jawab kenegaraan warganegara,

dan peran serta warganegara tersebut secara aktif dalam mengambil kebijakan

dan turut berperan penuh dalam segala penyelenggaraan negara.

Oleh karena itu reformasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Arah

reformasi pendidikan harus berorientasi pada restorasi budaya politik yang

santun, dan menghindari kekerasan, mengajak masyarakat menegakkan sendi-

sendi pemerintahan yang bersih dan berwibawa, serta membangun

masyarakat madani (civil society) yang mampu mengurus diri sendiri sambil

mengawasi pemerintah dan menciptakan kemampuan belajar yang tinggi.

Hakikat pendidikan adalah suatu proses pembelajaran yang tidak saja

 pemberian pengetahuan, melainkan aktivitas untuk membangun kesadaran,

kedewasaan, dan kemandirian serta pembebasan. Kesadaran, kedewasaan,

kemandirian dan kebebasan merupakan tujuan inti pendidikan dan nilai

demokrasi. Dengan demikian batasan antara pendidikan dan demokrasi

terdapat titik temu yang signifikan. Menurut H. Endang Komara yang

mengutip pendapat Prof. Dr. Azzyumardi Azra mengatakan bahwa :

“Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kebutuhan yang mendesak 

  bagi bangsa dalam membangun demokrasi berkeadaban karena beberapa alasan. Pertama, meningkatnya gejala kecenderungan political

literacy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi

dan lembaga-lembaganya di kalangan warganegara. Keduameningkatnya  politikcal apathism yang ditunjukkan dengan sedikitnya

keterlibatan warga negara dalam proses politik”.5

5 H. Endang Komara, Urgensi Penidikan Kewarganegaraan, (Bandung : Suara Daerah, 2005) h.1.2

13

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 5/18

Karena itu Pendidikan Kewarganegaraan yang merupakan pendidikan

 politik, pendidikan demokrasi dan pendidikan hak asasi manusia merupakan

arena yang efektif dalam membangun mentalitas dan kultur demokrasi yang

 berkeadaban.

Pembentukan warganegara yang cerdas secara intelektual, emosional

dan sosial, memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keberadaban

merupakan tuntutan dan keniscayaan. Karena pendidikan kewarganegaraan

merupakan sarana pendidikan yang dibutuhkan oleh negara-negara demokrasi

 baru untuk melahirkan generasi muda dan masyarakat luas yang mengetahui

tentang pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan yang diperlukan dalam

mentransformasikan, mengaktualisasikan dan melestarikan nilai-nilai

demokrasi di Indonesia.

Pengembangan budaya-budaya demokrasi antara lain melalui

 pemahaman, pendalaman, dan pengalaman nilai- nilai dasar dan prinsip-

 prinsip demokrasi dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Dalam proses pembentukan sikap demokratis selayaknya konsep

 pembelajaran harus menerapkan paradigma kemanusiaan (humanistic) yang

mendasarkan pada asumsi bahwa peserta didik adalah manusia yang

mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda. Karena itu peserta didik 

harus ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara

guru diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog bagi peserta didik.

14

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 6/18

Materi pembelajaran yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar 

 peserta didik, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi

tersebut bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan

  perubahan sosial. Begitu juga dengan manajemen pendidikan dan

  pembelajarannya menekankan pada dimensi sentralistik, tidak birokratis,

mengakui pluralitas dengan penggunaan strategi pembelajaran yang

 bervariasi dan demokratis. Untuk itu pembelajaran demokrasi dalam istilah

Prof. Dr. Udin S. Winataputra, “Pembelajaran diperlakukan sebagai

laboratorium demokrasi di mana semangat kewarganegaraan yang memancar 

 pada cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan secara interaktif”6.

Dalam situasi ini peserta didik bersama-sama mengembangkan dan

memelihara iklim demokrasi. Implikasi dari paradigma pendidikan

 berperikemanusiaan (humanistic) adalah peserta didik dimungkinkan menjadi

lulusan yang memiliki kreativitas tinggi, kemandirian dan memiliki sikap

demokratis, toleransi yang tinggi, dan bertanggung jawab serta memiliki

kepercayaan diri dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi dalam

kehidupan nyata, karena itu proses pembelajaran telah tumbuh iklim dan

kultur yang demokratis pula. Karenanya orientasi pendidikan

kewarganegaraan harus lebih menerapkan paradigma humanistik karena akan

  berdampak pada pengalaman belajar  (learning experience) yang diterima

 peserta didik menjadi lebih bermakna dan menjadikan pengetahuan yang

6 Udin S. Winataputra.MA, lop.cit, 1.7

15

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 7/18

diperolehnya (learning to know) tersimpan dalam memori yang sejati dan

menjadi pendorong untuk selalu belajar tentang masalah demokrasi, hak asasi

manusia dan masyarakat madani. Hal ini pula akan berdampak kepada peserta

didik dapat menemukan jati dirinya (learning to be) sebagai manusia yang

sadar akan tanggung jawab individu dan sosial. Pengetahuan dan kesadaran

diri yang tercipta dari hasil pembelajaran akan mendorong peserta didik untuk 

melakukan sesuatu (learning to do) yang didasari oleh pengetahuan yang

dimilikinya.Apa yang dilakukan peserta didik dimaksudkan dalam rangka

 pembelajaran membangun kehidupan bersama (learning to live together).

Hal tersebut di atas semua sejalan dengan empat pilar belajar yang

dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga  pendidikan formal, yaitu : (1) learning to Know (belajar untuk 

mengetahui), (2) learning to do ( belajar untuk melakukan sesuatu)

dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3)learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to

live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama)

7

.

Untuk merealisasikan “learning to know” Guru seyogyanya berfungsi

sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai

teman sejawat dalam berdialog dengan siswa guna mengembangkan

 penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.

  Learning to do akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa

untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bajat dan

minatnya.

7 Ibid, h.38

16

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 8/18

  Learning to be erat hubungannya dengan bakat dan minat,

  perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi

lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan

 berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi

yang fasif, peran guru yang berkedudukan sebagai pengarah sekaligus

fasilitator sangat dibutuhkan untuk mengembangan diri secara maksimal.

Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan

menerima (take and give),  perlu ditumbuhkembangkan yang memungkinkan

terjadinya proses “learning to live together”.

Keempat konsep tersebut perlu dikembangkan pada lembaga

 pendidikan formal dalam upaya untuk mewujudkan sikap demokratis. Jika

 pendidikan kita diharapkan untuk membina anak menjadi demokratis, maka

 pembelajaran yang diciptakan seharusnya juga demokratis. Achmad Sapari

menegaskan bahwa :

“Pembelajaran yang demokratis adalah pembelajaran yang memberikankesempatan kepada individu untuk memiliki peran dan tanggung jawab

yang sama dalam mencapai tujuan. Setiap gagasan yang muncul akan

dihargai. Perbedaan pendpt sangat dihormati. Karena setipa individu

memiliki peran dan tanggung jawab yang sama maka mereka dapatmengembangkan diri secara demokratis”.8

Untuk mengembangkan pembelajaran yang demokratis maka guru

harus mampu mengembangkan suatu model pembelajaran yang memberikan

kekeluasaan kepada peserta didik melakukan improvisasi dan aktualisasi

8 Drs. Achmad Sapari, M.Pd, Bagaimana Mengembangkan Kemampuan Berfikir Kritis (Bandung :

Fasilitator, 2006) h. 57

17

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 9/18

 potensi dirinya melalui kebebasan berbicara dan mengeluarkan ide gagasan

serta mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan salah satunya adalah

kemampuan mengembangkan memecahkan masalah yang dapat

mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi atau berfikir kritis.

Berfikir kritis berarti berfikir secara tajam, tidak lekas percaya, dn

selalu berusaha menemukan kesalahn atau kekeliruan. Makna ini tentu harus

dilihat dari konteks ilmiah. Artinya, tidak ada sentimen pribadi dalam upaya

untuk mencari kesalahan, melainkan semata-mata ingin menegakkan

kebenaran.

Kemampuan berfikir kritis tidak datang dengan sendirinya. Harus ada

upaya-upaya yang sistematis untuk mencapainya. Misalnya melalui

 pembelajaran di sekolah, diskusi-diskusi di kelas dan dalam organisasi, serta

mengembangkan model pembeljaran yang mendukung pengembangan

 potensi siswa secara optimal dan terbuka.

Kemampuan berfikir kritis harus diawali dengan iklim pembelajaran

yang kondusif, yaitu iklim pembelajaran yang menegakkan demokrasi.

Sebelum memasuki pembelajaran di kelas, sebaiknya dalam kebiasaan sehari-

hari di rumah, demokrasi juga sudah diciptakan. Ini tanggung jawab orang

tua. Jika iklim demokratis juga tercipta di lingkungan keluarga maka anak-

anak akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekolah.

Pembelajaran yang demokratis merupakan suasana pembelajaran yang

mementingkan keragaman dibandingkan dengan keseragaman. Kemajemukan

18

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 10/18

anak harus dilihat oleh guru sebagai suatu kekayaan yang harus

dikembangkan potensinya.

Dalam pembelajaran di kelas misalnya guru harus mengelompokan

anak secara heterogen, terutama apabila dilihat dari kemampuan

akademiknya. Dengan demikian maka diskusi kelompok dalam memecahkan

masalah akan berlangsung seimbang.

Dalam pembelajaran guru harus mengembangkan pembelajaran aktif 

yang memiliki karakteristik adanya beberapa komponen. Komponen

 pembelajaran aktif adalah pengalaman, interaksi, komunikasi, dan refleksi.

Kegiatan yang dikembangkan dari komponen pengalaman adalah melakukan

  pengamatan, membaca, melakukan wawancara, dan membuat sesuatu.

Kegiatan yang dikembangkan dari komponen interaksi adalah diskusi,

mengajukan pertanyaan, meminta pendapat orang lain, memberi komentar,

dan bekerja dalam kelompok. Kegiatan yang dikembangkan dari komponen

komunikasi adalah mendemonstrasikan, menceritakan, melaporkan, dan

memajangkan hasil karya. Kegiatan yang dikembangkan dari komponen

refleksi adalah memikirkan kembali hasil kerja atau pikiran sendiri.

2. Hakekat Problem Based Instruction (PBI)

 Problem Based Instruksion (PBI) atau Model Pembelajaran Berbasis

Masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang diawali dengan

menghadapkan siswa dengan masalah yang dicirikan dengan adanya suatu

19

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 11/18

  pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar 

disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama, dan menghasilkan karya dan

 peragaan. Melalui pembelajaran  Problem Based Instruksion, peserta didik 

dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Siswa dituntut untuk mampu

menyelesaikan masalah yang aktual yang berhubungan dengan

lingkungannya.

Pemecahan masalah memegang peranan penting dalam semua mata

 pelajaran dan disiplin ilmu lainnya, terutama agar pembelajaran berjalan

dengan fleksibel. Kalau seorang peserta didik dihadapkan pada suatu

masalah, pada akhirnya mereka bukan hanya sekedar memecahkan masalah,

tetapi juga belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu pembelajaran berbasis

masalah harus berorientasi pada tujuan untuk apa pendekatan ini digunakan

sebagaimana ditegaskan oleh Lina Leila bahwa : “Tujuan pembelajaran

  berbasis masalah adalah untuk (a) membantu siswa mengembangkan

keterampilan berfikir dan pemecahan masalah, (b) belajar peranan orang

dewasa yang autentik, dan (c) menjadi pembelajaran yang mandiri”9.

Bila dianalisa model pembelajaran berbasis masalah terdapat lima tahap

sebagai berikut :

a. Orientasi peserta didik kepada masalah.

 b. Mengorganisasi peserta didik untuk belajar.

c. Membimbing penyelidikan individual atau kelompok.

9 Lina Laela Sukmasari, S.Sos , Pedoman Pembelajaran Kontekstual , (LMPM Jawa Barat : 2004 )

20

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 12/18

d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.

e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Melalui Model PBI maka siswa dihadapkan dengan permasalahan yang

harus dipecahkan sendiri atau bersama-sama dengan komunitas kelompok 

sehingga ditemukan alternatif pemecahan masalah secara rasional dan ilmiah.

Menurut Hermana karakteristik Problem Based Instruction antara lain :

“1) memposisikan siswa sebagai Self-directed problem solver  melalui

kegiatan kolaboratif, 2) mendorong siswa menemukan masalah dan

mengolaborasikan dengan mengajukan dugaan dan merencanakan penyelesaian, 3) memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi alternatif 

  pemecahan masalah dan implikasinya serta mengumpulkan danmendistribusikan informasi, 4) melatih siswa terampil menyajikan

temuan, dan 5) membiasakan siswa untuk merefleksi tentang efektifitas

cara berfikir mereka dalam menyelesaikan masalah”.10

Karakteristik Problem Based Instruction sebagaimana dikemukakan di

atas akan berdampak positif bagi siswa terutama tumbuhnya sikap mandiri,

tidak bergantung kepada orang lain, percaya diri mau bekerja sama dengan

siswa lain dalam memecahkan masalah dan memberikan peluang dan

kesempatan kepada siswa secara demokratis untuk mengambil keputusan

menentukan pemecahan masalahnya sendiri.

“Karakteristik utama dari Problem Based Instruction adalah sajian bahan ajar yang berupa masalah disiapkan untuk memicu dan memacu

terjadinya interaksi multiarah antar komunitas kelas sehingga tercipta

iklim belajar dan mengajar yang kondusif. Proses pemecahan masalahyang dilakukan melalaui interaksi kooperatif antarsiswa dan entervensi

guru yang proporsional dapat meningkatkan kemampuan berfikir 

tingkat tinggi siswa”.11

10 Tatang Hermawan, .Fasilitator Edisi II , (Jakarta : Depdiknas, 2006 ) h. 1811 Herman, T. Pembelajaran Berbasis Masalah untuk meningkatkan Kemampuan Berfikir Matematis

Tingkat Tinggi ( Bandung :UPI, 2006 )h. 19

21

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 13/18

Hasil penelitian Herman menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis

masalah dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran yang

 berlandaskan pada proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa.

Pemilihan tipe masalah yang menguntungkan untuk disuguhkan kepada

siswa dalam Problem Based Instruction sangatlah penting. Tipe masalah yang

disampaikan di antaranya adalah masalah terbuka masalah terstruktur. Tipe

masalah yang disampaikan di antaranya adalah masalah terbuka kepada siswa

memungkinkan memiliki banyaknya alternatif jawaban dan masalah

terstruktur siswa dihadapkan pada sub-sub masalah dan penyimpulan.

Metode pemecahan masalah bukan hanya sekedar metode mengajar,

tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam pemecahan

masalah dapat menggunakan metode-metode lainnya yang dimulai dengan

mencari data sampai kepada menarik kesimpulan. Pembelajaran dengan

metode pemecahan masalah akan menempuh langkah-langkah sebagai

 berikut:

a. Merasakan adanya masalah-masalah yang potensial. Adanya

masalah yang jelas untuk dipecahkan, masalah ini tumbuh dari siswa

dengan taraf kemampuannya.

 b. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk  

memecahkan masalah tersebut. Misalnya dengan membaca buku-buku,

meneliti, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain.

22

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 14/18

c. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan

 jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh pada

langkah kedua di atas.

d. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah

ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin

  bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan

  jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji

kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan metode-metode lainnya

seperti demontrasi, tugas diskusi dan lain-lain.

e. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada

kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi. Dalam metode ini

akan melibatkan banyak kegiatan sendiri dengan bimbingan dari pengajar.

Menurut pandangan konstruktivisme tentang belajar, ketika individu

dihadapkan dengan informasi baru, ia akan menggunakan pengetahuan siap

dan pengalaman pribadi yang telah dimilikinya untuk membantu memahami

materi baru tersebut. Dalam proses memahami ini individu dapat membuat

referensi tentang informasi baru itu, menarik presfektif dari beberapa aspek 

 pada pengetahuan yang dimilikinya, mengolaborasi materi baru. Sementara

 perkembangan potensial terjadi pada saat siswa berinteraksi dengan pihak lain

dalam komunitas kelas yang memiliki kemampuan lebih, seperti teman dan

guru, atau dengan komunitas lainnya.

23

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 15/18

Perkembangan potensial ini akan mencapai tahap maksimal jika

 pembelajaran dilakukan secara kooperatif dalam kelompok kecil dua sampai

empat orang dan guru melakukan intervensi secara proporsional dan terarah.

Dalam hal ini guru dituntut terampil menerapkan teknik  scaffolding  yaitu

membantu kelompok secara tidak langsung menggunakan teknik bertanya dan

teknik membimbing atau memberi petunjuk seperlunya. Hal ini akan berlanjut

sampai kepada tahap proses internalisasi yang melibatkan aktivitas mental

tingkat tinggi.

Jika dikaitkan dengan teori perkembangan mental yang dikemukakan

Piaget, : “Internalisasi merupakan proses penyeimbangan struktur-struktur 

internal dengan masukan-masukan eksternal.”12 Proses kognitif seperti ini,

  pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi diakibatkan oleh

rekonseptualisasi terhadap masalah atau informasi sedemikian rupa sehingga

terjadi keseimbangan dari apa yang sebelumnya dipandang sebagai

 pertentangan atau konflik 

 Problem Based Instruksion (PBI) atau Model Pembelajaran Berbasis

Masalah memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut :

a. Kelebihan Metode Problem Based Instruksion (PBI) adalah :

1) Metode ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih

relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja.

12 Sabandar, J . Pendekatan Konflik Kognitif pada Pembelajaran Matematika dalam Upaya

mengembangkan Kemampuan berfikir Kritis dan Kreatif   ( Bandung : Unpad, 2005)h. 56

24

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 16/18

2) Proses belajar mengajar melalui pemecahan dapat membiasakan

 para siswa menghadapai dan memecahkan masalah secara terampil,

apabila menghadapi permasalahan di dalam kehidupan dalam

keluarga, bermasyarakat, dan bekerja kelak, suatu kemampuan yang

sangat bermakna bagi kehidupan manusia.

3) Metode ini merangsang pengembangan kemampuan berpikir siswa

secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya,

siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan

dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahan.

 b.Kekurangan Metode Problem Based Instruksion (PBI) adalah :

1) Menetukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesua dengan

tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta

  pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa, sangat

memerlukan kemampuan dan keterampilan guru. Sering orang

 beranggapan keliru bahwa pemecahan masalah hanya cocok untuk 

SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi saja. Padahal, untuk siswa SD

sederajat juga bisa dilakukan dengan tingkat kesulitan permasalahan

yang sesuai dengan taraf kemampuan berpikir anak.

2) Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini sering

memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa

menggunakan waktu pelajaran kain.

25

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 17/18

3) Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan

menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak 

  berfikir memecahkan permasalahan sendiri atau kelompok, yang

kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan

kesulitan tersendiri bagi siswa.

Oleh karena itu segala kelemahan yang teridentifikasi di atas guru dapat

menemukan solusi untuk mengurangi dampak kelemahan tersebut dengan

menggunakan metode Pembelajaran Berbasis Masalah lebih efektif dan

efisien.

B. FOKUS PENELITIAN

Guru merupakan salah satu faktor penentu bagi tercapainya keberhasilan

suatu pembelajaran. Salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh guru adalah

menentukan dan melaksanakan model pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran

di kelas berikut dengan pendekatan, metode, serta strategi pembelajarannya.

Kondisi saat ini pembelajaran di kelas cenderung monoton dan tidak 

menyenangkan yang berakibat proses pembelajaran berlangsung satu pihak di

mana guru lebih aktif sedang siswa pasif.

Untuk mengembangkan pembelajaran yang demokratis maka guru harus

mampu mengembangkan suatu model pembelajaran yang memberikan

kekeluasaan kepada peserta didik melakukan improvisasi dan aktualisasi potensi

dirinya melalui kebebasan berbicara dan mengeluarkan ide gagasan serta

26

5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 18/18

mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan salah satunya adalah kemampuan

mengembangkan memecahkan masalah yang dapat mengembangkan kemampuan

 berfikir tingkat tinggi atau berfikir kritis.

Berfikir kritis berarti berfikir secara tajam, tidak lekas percaya, dan selalu

 berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan. Kemampuan berfikir kritis tidak 

datang dengan sendirinya. Harus ada upaya-upaya yang sistematis untuk 

mencapainya. Misalnya melalui pembelajaran di sekolah, diskusi-diskusi di kelas

dan dalam organisasi, serta mengembangkan model pembeljaran yang

mendukung pengembangan potensi siswa secara optimal dan terbuka.

Kemampuan berfikir kritis harus diawali dengan iklim pembelajaran yang

kondusif, yaitu iklim pembelajaran yang menegakkan demokrasi. Sebelum

memasuki pembelajaran di kelas, sebaiknya dalam kebiasaan sehari-hari di

rumah, demokrasi juga sudah diciptakan. Ini tanggung jawab orang tua. Jika iklim

demokratis juga tercipta di lingkungan keluarga maka anak-anak akan lebih

mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekolah.

Sehubungan dengan hal tersebut peneliti mengupayakan untuk memperoleh

data empiris melalui upaya peningkatan pembelajaran demokratis melalui

 penerapan model Problem Based Instruction ( PBI)

27