Upload
nawang-wulan
View
52
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 1/18
BAB II
ACUAN TEORITIS DAN FOKUS PENELITIAN
A. ACUAN TEORITIS
1. Hakekat Pembelajaran Demokratis
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dengan adanya landasan normative tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pendidikan demokrasi merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi untuk terus diupayakan, dilaksanakan melalui proses pembelajaran, baik
melalui sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat. Untuk
mengembangkan pendidikan demokrasi di Indonesia, maka diperlukan
adanya paradigma baru yang lebih mengembangkan kecerdasan warga negara
dalam dimensi spiritual, rasional, emosional, dan sosial, tanggung jawab
warga negara terhadap negara, serta partisipasi warga negara terhadap
pembangunan bangsa agar terbentuk warga negara Indonesia yang baik yang
diharapkan berdasarkan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan.
10
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 2/18
“Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah merangsang partisipasi
aktif warga negara dalam masyarakat sipil (civil society) dan dalam
pengambilan keputusan politik di dalam demokrasi konstitusionil.Menurutnya warga negara yang demokratis tidak dilahirkan melainkan
diciptakan (dibuat) dalam proses sosialisasi”.1
Dengan demikian, demokrasi haruslah dipelajari dan perlu dipelihara.
Hal ini adalah tugas pendidikan kewarganegaraan, para ahli pendidikan
kewarganegaraan, dan ahli politik serta lembaga-lembaga profesional baik
melalui lembaga persekolahan maupun lembaga kemasyarakatan lainnya.
Agar tercipta warga negara yang cerdas, bertangung jawab, dan dapat
berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka perlu
diupayakan suatu strategi dan model pembelajaran yang relevan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Udin Winataputra sebagai berikut :
Veldhuis mengemukakan bahwa : “Dalam proses pendidikankewarganegaraan kita harus membedakan antara aspek-aspek :
pengetahuan (knowledge), sikap dan pendapat (attitudes and opinions ),keterampilan berintelektual (intellectual skills) dan keterampilan partisipasi ( participatory skills )2”
Untuk menerapkan demokrasi dalam suatu proses pembelajaran kepada
peserta didik merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah dilaksanakan
apalagi mempraktekannya dalam proses pembelajaran di kelas. Karena itu
memerlukan tanggung jawab orang dewasa yang harus mampu membimbing,
membina dan mempersiapkan generasi bangsa bagi kepentingan masa depan
bangsanya.
1 Dr. H. Udin S. Winataputra.MA.dkk , Materi dan Pembelajaran PKn SD, ( UT, 2005 ), h. 7.15
2 Ibid, h 7. 18
11
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 3/18
Kita menyadari bahwa pendidikan merupakan dasar dari terbentuknya
warga negara yang cerdas, berbudi pekerti dan bermoral. Sutikno mengatakan
bahwa :
“Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar berperan
aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil,
jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleransi dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan bukannya perpecahan.”3
Merujuk kepada kutipan pendapat di atas, salah satu tujuan pendidikan
harus mampu membentuk sikap warga negara yang demokratis, maka sudah
merupakan tugas Pendidikan Kewarganegaraan untuk mengemban misi
tersebut, sehingga proses pembentukan karakter bangsa diharapkan mampu
mengarah kepada penciptaan masyarakat Indonesia yang menempatkan
demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai titik sentral.
Dalam proses itulah, pembangunan karakter bangsa sangat mendesak
dilakukan dan dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan.
Udin S. Winataputra, menegaskan bahwa : “Tugas PKn dengan paradigma barunya mengembangkan pendidikan demokrasi
mengemban tiga fungsi pokok, yakni mengembangkan kecerdasan
warganegara (civic intelligence), membina tanggung jawab
warganegara (civic responsibility) dan mendorong partisipasiwarganegara (civic partisipation)”.4
Jika dianalisa pendapat di atas maka jelas tugas Pendidikan
Kewarganegaraan harus mampu mengembangkan pendidikan demokrasi. Hal
3 M. Sobry Sutikno, Menggagas Pembelajaran Efektif dan Bermakna, ( Mataram : NTP Press, 2007),
h.384 loc.cit, h.1.1.
12
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 4/18
ini karena PKn mengemban tiga fungsi pokok yaitu mengembangkan
kecerdasan warganegara, membina tanggung jawab kenegaraan warganegara,
dan peran serta warganegara tersebut secara aktif dalam mengambil kebijakan
dan turut berperan penuh dalam segala penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu reformasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Arah
reformasi pendidikan harus berorientasi pada restorasi budaya politik yang
santun, dan menghindari kekerasan, mengajak masyarakat menegakkan sendi-
sendi pemerintahan yang bersih dan berwibawa, serta membangun
masyarakat madani (civil society) yang mampu mengurus diri sendiri sambil
mengawasi pemerintah dan menciptakan kemampuan belajar yang tinggi.
Hakikat pendidikan adalah suatu proses pembelajaran yang tidak saja
pemberian pengetahuan, melainkan aktivitas untuk membangun kesadaran,
kedewasaan, dan kemandirian serta pembebasan. Kesadaran, kedewasaan,
kemandirian dan kebebasan merupakan tujuan inti pendidikan dan nilai
demokrasi. Dengan demikian batasan antara pendidikan dan demokrasi
terdapat titik temu yang signifikan. Menurut H. Endang Komara yang
mengutip pendapat Prof. Dr. Azzyumardi Azra mengatakan bahwa :
“Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kebutuhan yang mendesak
bagi bangsa dalam membangun demokrasi berkeadaban karena beberapa alasan. Pertama, meningkatnya gejala kecenderungan political
literacy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi
dan lembaga-lembaganya di kalangan warganegara. Keduameningkatnya politikcal apathism yang ditunjukkan dengan sedikitnya
keterlibatan warga negara dalam proses politik”.5
5 H. Endang Komara, Urgensi Penidikan Kewarganegaraan, (Bandung : Suara Daerah, 2005) h.1.2
13
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 5/18
Karena itu Pendidikan Kewarganegaraan yang merupakan pendidikan
politik, pendidikan demokrasi dan pendidikan hak asasi manusia merupakan
arena yang efektif dalam membangun mentalitas dan kultur demokrasi yang
berkeadaban.
Pembentukan warganegara yang cerdas secara intelektual, emosional
dan sosial, memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keberadaban
merupakan tuntutan dan keniscayaan. Karena pendidikan kewarganegaraan
merupakan sarana pendidikan yang dibutuhkan oleh negara-negara demokrasi
baru untuk melahirkan generasi muda dan masyarakat luas yang mengetahui
tentang pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan yang diperlukan dalam
mentransformasikan, mengaktualisasikan dan melestarikan nilai-nilai
demokrasi di Indonesia.
Pengembangan budaya-budaya demokrasi antara lain melalui
pemahaman, pendalaman, dan pengalaman nilai- nilai dasar dan prinsip-
prinsip demokrasi dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Dalam proses pembentukan sikap demokratis selayaknya konsep
pembelajaran harus menerapkan paradigma kemanusiaan (humanistic) yang
mendasarkan pada asumsi bahwa peserta didik adalah manusia yang
mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda. Karena itu peserta didik
harus ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara
guru diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog bagi peserta didik.
14
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 6/18
Materi pembelajaran yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar
peserta didik, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi
tersebut bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan
perubahan sosial. Begitu juga dengan manajemen pendidikan dan
pembelajarannya menekankan pada dimensi sentralistik, tidak birokratis,
mengakui pluralitas dengan penggunaan strategi pembelajaran yang
bervariasi dan demokratis. Untuk itu pembelajaran demokrasi dalam istilah
Prof. Dr. Udin S. Winataputra, “Pembelajaran diperlakukan sebagai
laboratorium demokrasi di mana semangat kewarganegaraan yang memancar
pada cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan secara interaktif”6.
Dalam situasi ini peserta didik bersama-sama mengembangkan dan
memelihara iklim demokrasi. Implikasi dari paradigma pendidikan
berperikemanusiaan (humanistic) adalah peserta didik dimungkinkan menjadi
lulusan yang memiliki kreativitas tinggi, kemandirian dan memiliki sikap
demokratis, toleransi yang tinggi, dan bertanggung jawab serta memiliki
kepercayaan diri dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi dalam
kehidupan nyata, karena itu proses pembelajaran telah tumbuh iklim dan
kultur yang demokratis pula. Karenanya orientasi pendidikan
kewarganegaraan harus lebih menerapkan paradigma humanistik karena akan
berdampak pada pengalaman belajar (learning experience) yang diterima
peserta didik menjadi lebih bermakna dan menjadikan pengetahuan yang
6 Udin S. Winataputra.MA, lop.cit, 1.7
15
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 7/18
diperolehnya (learning to know) tersimpan dalam memori yang sejati dan
menjadi pendorong untuk selalu belajar tentang masalah demokrasi, hak asasi
manusia dan masyarakat madani. Hal ini pula akan berdampak kepada peserta
didik dapat menemukan jati dirinya (learning to be) sebagai manusia yang
sadar akan tanggung jawab individu dan sosial. Pengetahuan dan kesadaran
diri yang tercipta dari hasil pembelajaran akan mendorong peserta didik untuk
melakukan sesuatu (learning to do) yang didasari oleh pengetahuan yang
dimilikinya.Apa yang dilakukan peserta didik dimaksudkan dalam rangka
pembelajaran membangun kehidupan bersama (learning to live together).
Hal tersebut di atas semua sejalan dengan empat pilar belajar yang
dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu : (1) learning to Know (belajar untuk
mengetahui), (2) learning to do ( belajar untuk melakukan sesuatu)
dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3)learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to
live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama)
7
.
Untuk merealisasikan “learning to know” Guru seyogyanya berfungsi
sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai
teman sejawat dalam berdialog dengan siswa guna mengembangkan
penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Learning to do akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa
untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bajat dan
minatnya.
7 Ibid, h.38
16
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 8/18
Learning to be erat hubungannya dengan bakat dan minat,
perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi
lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan
berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi
yang fasif, peran guru yang berkedudukan sebagai pengarah sekaligus
fasilitator sangat dibutuhkan untuk mengembangan diri secara maksimal.
Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan
menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan yang memungkinkan
terjadinya proses “learning to live together”.
Keempat konsep tersebut perlu dikembangkan pada lembaga
pendidikan formal dalam upaya untuk mewujudkan sikap demokratis. Jika
pendidikan kita diharapkan untuk membina anak menjadi demokratis, maka
pembelajaran yang diciptakan seharusnya juga demokratis. Achmad Sapari
menegaskan bahwa :
“Pembelajaran yang demokratis adalah pembelajaran yang memberikankesempatan kepada individu untuk memiliki peran dan tanggung jawab
yang sama dalam mencapai tujuan. Setiap gagasan yang muncul akan
dihargai. Perbedaan pendpt sangat dihormati. Karena setipa individu
memiliki peran dan tanggung jawab yang sama maka mereka dapatmengembangkan diri secara demokratis”.8
Untuk mengembangkan pembelajaran yang demokratis maka guru
harus mampu mengembangkan suatu model pembelajaran yang memberikan
kekeluasaan kepada peserta didik melakukan improvisasi dan aktualisasi
8 Drs. Achmad Sapari, M.Pd, Bagaimana Mengembangkan Kemampuan Berfikir Kritis (Bandung :
Fasilitator, 2006) h. 57
17
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 9/18
potensi dirinya melalui kebebasan berbicara dan mengeluarkan ide gagasan
serta mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan salah satunya adalah
kemampuan mengembangkan memecahkan masalah yang dapat
mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi atau berfikir kritis.
Berfikir kritis berarti berfikir secara tajam, tidak lekas percaya, dn
selalu berusaha menemukan kesalahn atau kekeliruan. Makna ini tentu harus
dilihat dari konteks ilmiah. Artinya, tidak ada sentimen pribadi dalam upaya
untuk mencari kesalahan, melainkan semata-mata ingin menegakkan
kebenaran.
Kemampuan berfikir kritis tidak datang dengan sendirinya. Harus ada
upaya-upaya yang sistematis untuk mencapainya. Misalnya melalui
pembelajaran di sekolah, diskusi-diskusi di kelas dan dalam organisasi, serta
mengembangkan model pembeljaran yang mendukung pengembangan
potensi siswa secara optimal dan terbuka.
Kemampuan berfikir kritis harus diawali dengan iklim pembelajaran
yang kondusif, yaitu iklim pembelajaran yang menegakkan demokrasi.
Sebelum memasuki pembelajaran di kelas, sebaiknya dalam kebiasaan sehari-
hari di rumah, demokrasi juga sudah diciptakan. Ini tanggung jawab orang
tua. Jika iklim demokratis juga tercipta di lingkungan keluarga maka anak-
anak akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekolah.
Pembelajaran yang demokratis merupakan suasana pembelajaran yang
mementingkan keragaman dibandingkan dengan keseragaman. Kemajemukan
18
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 10/18
anak harus dilihat oleh guru sebagai suatu kekayaan yang harus
dikembangkan potensinya.
Dalam pembelajaran di kelas misalnya guru harus mengelompokan
anak secara heterogen, terutama apabila dilihat dari kemampuan
akademiknya. Dengan demikian maka diskusi kelompok dalam memecahkan
masalah akan berlangsung seimbang.
Dalam pembelajaran guru harus mengembangkan pembelajaran aktif
yang memiliki karakteristik adanya beberapa komponen. Komponen
pembelajaran aktif adalah pengalaman, interaksi, komunikasi, dan refleksi.
Kegiatan yang dikembangkan dari komponen pengalaman adalah melakukan
pengamatan, membaca, melakukan wawancara, dan membuat sesuatu.
Kegiatan yang dikembangkan dari komponen interaksi adalah diskusi,
mengajukan pertanyaan, meminta pendapat orang lain, memberi komentar,
dan bekerja dalam kelompok. Kegiatan yang dikembangkan dari komponen
komunikasi adalah mendemonstrasikan, menceritakan, melaporkan, dan
memajangkan hasil karya. Kegiatan yang dikembangkan dari komponen
refleksi adalah memikirkan kembali hasil kerja atau pikiran sendiri.
2. Hakekat Problem Based Instruction (PBI)
Problem Based Instruksion (PBI) atau Model Pembelajaran Berbasis
Masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang diawali dengan
menghadapkan siswa dengan masalah yang dicirikan dengan adanya suatu
19
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 11/18
pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar
disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama, dan menghasilkan karya dan
peragaan. Melalui pembelajaran Problem Based Instruksion, peserta didik
dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Siswa dituntut untuk mampu
menyelesaikan masalah yang aktual yang berhubungan dengan
lingkungannya.
Pemecahan masalah memegang peranan penting dalam semua mata
pelajaran dan disiplin ilmu lainnya, terutama agar pembelajaran berjalan
dengan fleksibel. Kalau seorang peserta didik dihadapkan pada suatu
masalah, pada akhirnya mereka bukan hanya sekedar memecahkan masalah,
tetapi juga belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu pembelajaran berbasis
masalah harus berorientasi pada tujuan untuk apa pendekatan ini digunakan
sebagaimana ditegaskan oleh Lina Leila bahwa : “Tujuan pembelajaran
berbasis masalah adalah untuk (a) membantu siswa mengembangkan
keterampilan berfikir dan pemecahan masalah, (b) belajar peranan orang
dewasa yang autentik, dan (c) menjadi pembelajaran yang mandiri”9.
Bila dianalisa model pembelajaran berbasis masalah terdapat lima tahap
sebagai berikut :
a. Orientasi peserta didik kepada masalah.
b. Mengorganisasi peserta didik untuk belajar.
c. Membimbing penyelidikan individual atau kelompok.
9 Lina Laela Sukmasari, S.Sos , Pedoman Pembelajaran Kontekstual , (LMPM Jawa Barat : 2004 )
20
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 12/18
d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Melalui Model PBI maka siswa dihadapkan dengan permasalahan yang
harus dipecahkan sendiri atau bersama-sama dengan komunitas kelompok
sehingga ditemukan alternatif pemecahan masalah secara rasional dan ilmiah.
Menurut Hermana karakteristik Problem Based Instruction antara lain :
“1) memposisikan siswa sebagai Self-directed problem solver melalui
kegiatan kolaboratif, 2) mendorong siswa menemukan masalah dan
mengolaborasikan dengan mengajukan dugaan dan merencanakan penyelesaian, 3) memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi alternatif
pemecahan masalah dan implikasinya serta mengumpulkan danmendistribusikan informasi, 4) melatih siswa terampil menyajikan
temuan, dan 5) membiasakan siswa untuk merefleksi tentang efektifitas
cara berfikir mereka dalam menyelesaikan masalah”.10
Karakteristik Problem Based Instruction sebagaimana dikemukakan di
atas akan berdampak positif bagi siswa terutama tumbuhnya sikap mandiri,
tidak bergantung kepada orang lain, percaya diri mau bekerja sama dengan
siswa lain dalam memecahkan masalah dan memberikan peluang dan
kesempatan kepada siswa secara demokratis untuk mengambil keputusan
menentukan pemecahan masalahnya sendiri.
“Karakteristik utama dari Problem Based Instruction adalah sajian bahan ajar yang berupa masalah disiapkan untuk memicu dan memacu
terjadinya interaksi multiarah antar komunitas kelas sehingga tercipta
iklim belajar dan mengajar yang kondusif. Proses pemecahan masalahyang dilakukan melalaui interaksi kooperatif antarsiswa dan entervensi
guru yang proporsional dapat meningkatkan kemampuan berfikir
tingkat tinggi siswa”.11
10 Tatang Hermawan, .Fasilitator Edisi II , (Jakarta : Depdiknas, 2006 ) h. 1811 Herman, T. Pembelajaran Berbasis Masalah untuk meningkatkan Kemampuan Berfikir Matematis
Tingkat Tinggi ( Bandung :UPI, 2006 )h. 19
21
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 13/18
Hasil penelitian Herman menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis
masalah dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran yang
berlandaskan pada proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa.
Pemilihan tipe masalah yang menguntungkan untuk disuguhkan kepada
siswa dalam Problem Based Instruction sangatlah penting. Tipe masalah yang
disampaikan di antaranya adalah masalah terbuka masalah terstruktur. Tipe
masalah yang disampaikan di antaranya adalah masalah terbuka kepada siswa
memungkinkan memiliki banyaknya alternatif jawaban dan masalah
terstruktur siswa dihadapkan pada sub-sub masalah dan penyimpulan.
Metode pemecahan masalah bukan hanya sekedar metode mengajar,
tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam pemecahan
masalah dapat menggunakan metode-metode lainnya yang dimulai dengan
mencari data sampai kepada menarik kesimpulan. Pembelajaran dengan
metode pemecahan masalah akan menempuh langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Merasakan adanya masalah-masalah yang potensial. Adanya
masalah yang jelas untuk dipecahkan, masalah ini tumbuh dari siswa
dengan taraf kemampuannya.
b. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk
memecahkan masalah tersebut. Misalnya dengan membaca buku-buku,
meneliti, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain.
22
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 14/18
c. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan
jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh pada
langkah kedua di atas.
d. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah
ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin
bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan
jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji
kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan metode-metode lainnya
seperti demontrasi, tugas diskusi dan lain-lain.
e. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada
kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi. Dalam metode ini
akan melibatkan banyak kegiatan sendiri dengan bimbingan dari pengajar.
Menurut pandangan konstruktivisme tentang belajar, ketika individu
dihadapkan dengan informasi baru, ia akan menggunakan pengetahuan siap
dan pengalaman pribadi yang telah dimilikinya untuk membantu memahami
materi baru tersebut. Dalam proses memahami ini individu dapat membuat
referensi tentang informasi baru itu, menarik presfektif dari beberapa aspek
pada pengetahuan yang dimilikinya, mengolaborasi materi baru. Sementara
perkembangan potensial terjadi pada saat siswa berinteraksi dengan pihak lain
dalam komunitas kelas yang memiliki kemampuan lebih, seperti teman dan
guru, atau dengan komunitas lainnya.
23
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 15/18
Perkembangan potensial ini akan mencapai tahap maksimal jika
pembelajaran dilakukan secara kooperatif dalam kelompok kecil dua sampai
empat orang dan guru melakukan intervensi secara proporsional dan terarah.
Dalam hal ini guru dituntut terampil menerapkan teknik scaffolding yaitu
membantu kelompok secara tidak langsung menggunakan teknik bertanya dan
teknik membimbing atau memberi petunjuk seperlunya. Hal ini akan berlanjut
sampai kepada tahap proses internalisasi yang melibatkan aktivitas mental
tingkat tinggi.
Jika dikaitkan dengan teori perkembangan mental yang dikemukakan
Piaget, : “Internalisasi merupakan proses penyeimbangan struktur-struktur
internal dengan masukan-masukan eksternal.”12 Proses kognitif seperti ini,
pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi diakibatkan oleh
rekonseptualisasi terhadap masalah atau informasi sedemikian rupa sehingga
terjadi keseimbangan dari apa yang sebelumnya dipandang sebagai
pertentangan atau konflik
Problem Based Instruksion (PBI) atau Model Pembelajaran Berbasis
Masalah memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut :
a. Kelebihan Metode Problem Based Instruksion (PBI) adalah :
1) Metode ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih
relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja.
12 Sabandar, J . Pendekatan Konflik Kognitif pada Pembelajaran Matematika dalam Upaya
mengembangkan Kemampuan berfikir Kritis dan Kreatif ( Bandung : Unpad, 2005)h. 56
24
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 16/18
2) Proses belajar mengajar melalui pemecahan dapat membiasakan
para siswa menghadapai dan memecahkan masalah secara terampil,
apabila menghadapi permasalahan di dalam kehidupan dalam
keluarga, bermasyarakat, dan bekerja kelak, suatu kemampuan yang
sangat bermakna bagi kehidupan manusia.
3) Metode ini merangsang pengembangan kemampuan berpikir siswa
secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya,
siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan
dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahan.
b.Kekurangan Metode Problem Based Instruksion (PBI) adalah :
1) Menetukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesua dengan
tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta
pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa, sangat
memerlukan kemampuan dan keterampilan guru. Sering orang
beranggapan keliru bahwa pemecahan masalah hanya cocok untuk
SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi saja. Padahal, untuk siswa SD
sederajat juga bisa dilakukan dengan tingkat kesulitan permasalahan
yang sesuai dengan taraf kemampuan berpikir anak.
2) Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini sering
memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa
menggunakan waktu pelajaran kain.
25
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 17/18
3) Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan
menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak
berfikir memecahkan permasalahan sendiri atau kelompok, yang
kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan
kesulitan tersendiri bagi siswa.
Oleh karena itu segala kelemahan yang teridentifikasi di atas guru dapat
menemukan solusi untuk mengurangi dampak kelemahan tersebut dengan
menggunakan metode Pembelajaran Berbasis Masalah lebih efektif dan
efisien.
B. FOKUS PENELITIAN
Guru merupakan salah satu faktor penentu bagi tercapainya keberhasilan
suatu pembelajaran. Salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh guru adalah
menentukan dan melaksanakan model pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran
di kelas berikut dengan pendekatan, metode, serta strategi pembelajarannya.
Kondisi saat ini pembelajaran di kelas cenderung monoton dan tidak
menyenangkan yang berakibat proses pembelajaran berlangsung satu pihak di
mana guru lebih aktif sedang siswa pasif.
Untuk mengembangkan pembelajaran yang demokratis maka guru harus
mampu mengembangkan suatu model pembelajaran yang memberikan
kekeluasaan kepada peserta didik melakukan improvisasi dan aktualisasi potensi
dirinya melalui kebebasan berbicara dan mengeluarkan ide gagasan serta
26
5/13/2018 BAB II ET - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-et 18/18
mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan salah satunya adalah kemampuan
mengembangkan memecahkan masalah yang dapat mengembangkan kemampuan
berfikir tingkat tinggi atau berfikir kritis.
Berfikir kritis berarti berfikir secara tajam, tidak lekas percaya, dan selalu
berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan. Kemampuan berfikir kritis tidak
datang dengan sendirinya. Harus ada upaya-upaya yang sistematis untuk
mencapainya. Misalnya melalui pembelajaran di sekolah, diskusi-diskusi di kelas
dan dalam organisasi, serta mengembangkan model pembeljaran yang
mendukung pengembangan potensi siswa secara optimal dan terbuka.
Kemampuan berfikir kritis harus diawali dengan iklim pembelajaran yang
kondusif, yaitu iklim pembelajaran yang menegakkan demokrasi. Sebelum
memasuki pembelajaran di kelas, sebaiknya dalam kebiasaan sehari-hari di
rumah, demokrasi juga sudah diciptakan. Ini tanggung jawab orang tua. Jika iklim
demokratis juga tercipta di lingkungan keluarga maka anak-anak akan lebih
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekolah.
Sehubungan dengan hal tersebut peneliti mengupayakan untuk memperoleh
data empiris melalui upaya peningkatan pembelajaran demokratis melalui
penerapan model Problem Based Instruction ( PBI)
27