22
13 BAB II GEREJA DALAM KONTEKS KEMISKINAN, ALIENASI DAN PEMBEBASAN I. Pendahuluan Salah satu wujud konkret dari gereja, adalah agama Kristen Protestan, Kristen Katolik maupun dedominasi lainnya. Secara umum, gereja selalu dipandang sebagai gedung yang dimaknai sakral, karena di dalamnya manusia (umat) bertemu dengan Tuhan dalam akta berjemaat maupun meditasi personal. Gedung gereja mempertemukan orang-orang percaya yang datang bersekutu. Pandangan umum dalam masyarakat, bahwa berkumpul dan bersekutu dalam gedung gereja dapat memberikan kedamaian, kerukunan, dan mengikat tali persaudaraan antar sesama meskipun dalam hari-hari biasa ada kerenggangan di antara mereka. Selain pemahaman demikian, gereja tidak saja dipandang atau dimaknai sebagai gedungnya, tetapi gereja dimaknai sebagai orang-orang yang datang bersekutu. Pemahaman tentang gereja memberi dampak dalam kehidupan spiritual setiap orang yang membangun persekutuan di dalam gedung ibadah. Pada bab ini, penulis menguraikan secara konseptual tentang dua pemahaman yang kontras, yaitu gereja sebagai alienasi sosial dan sebagai ruang pembebasan. II. Pemahaman tentang Gereja Setiap individu memiliki pemahaman tentang gereja yang bervariasi, tergantung biografi konteks sosial dan pengalaman-pengalaman religiusnya. Tom Jacob, mengatakan, bahwa gereja adalah senasib dengan dunia, dan gereja mau berfungsi sebagai ragi dan jiwa masyarakat. 1 Dia menegaskan, bahwa gereja merupakan bagian dari dunia. Gereja tidak kelihatan secara fisik (Gedung), tetapi gereja juga sebagai orang-orang yang membangun 1 Tom Jacobs., dkk, Gereja dan Masyarakat (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 23.

BAB II GEREJA DALAM KONTEKS KEMISKINAN, ALIENASI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/2/T2_752015027_BAB II... · pengertian, yakni kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif

Embed Size (px)

Citation preview

13

BAB II

GEREJA DALAM KONTEKS KEMISKINAN, ALIENASI DAN PEMBEBASAN

I. Pendahuluan

Salah satu wujud konkret dari gereja, adalah agama Kristen Protestan, Kristen Katolik

maupun dedominasi lainnya. Secara umum, gereja selalu dipandang sebagai gedung yang

dimaknai sakral, karena di dalamnya manusia (umat) bertemu dengan Tuhan dalam akta

berjemaat maupun meditasi personal. Gedung gereja mempertemukan orang-orang percaya

yang datang bersekutu. Pandangan umum dalam masyarakat, bahwa berkumpul dan

bersekutu dalam gedung gereja dapat memberikan kedamaian, kerukunan, dan mengikat tali

persaudaraan antar sesama meskipun dalam hari-hari biasa ada kerenggangan di antara

mereka.

Selain pemahaman demikian, gereja tidak saja dipandang atau dimaknai sebagai

gedungnya, tetapi gereja dimaknai sebagai orang-orang yang datang bersekutu. Pemahaman

tentang gereja memberi dampak dalam kehidupan spiritual setiap orang yang membangun

persekutuan di dalam gedung ibadah. Pada bab ini, penulis menguraikan secara konseptual

tentang dua pemahaman yang kontras, yaitu gereja sebagai alienasi sosial dan sebagai ruang

pembebasan.

II. Pemahaman tentang Gereja

Setiap individu memiliki pemahaman tentang gereja yang bervariasi, tergantung

biografi konteks sosial dan pengalaman-pengalaman religiusnya. Tom Jacob, mengatakan,

bahwa gereja adalah senasib dengan dunia, dan gereja mau berfungsi sebagai ragi dan jiwa

masyarakat.1 Dia menegaskan, bahwa gereja merupakan bagian dari dunia. Gereja tidak

kelihatan secara fisik (Gedung), tetapi gereja juga sebagai orang-orang yang membangun

1 Tom Jacobs., dkk, Gereja dan Masyarakat (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 23.

14

persekutuan yang bertolak dari satu nilai religiositas, serta berbagai aspek kehidupan sosial.

Gereja tidak hanya mewartakan Injil, tetapi juga berperan positif pada pembangunan

kehidupan manusia.2 Dalam konsili Vatikan II, gereja dilihat sebagai sakramen, yakni tanda

dan sarana persatuan mesra umat manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.3

Gereja sebagai sakramen, dipandang sebagai “ruang” untuk mempersatukan manusia dengan

Tuhan dan dengan sesama.

Ada beberapa teolog yang memiliki pemahaman yang serupa dengan itu. Pertama,

Karl Rahner yang melihat gereja sebagai sakramen keselamatan dunia. Artinya, gereja

memiliki fungsi dalam karya keselamatan Allah.4 Menurut Rahner gereja adalah tanda

keselamatan Allah bukan sekadar sebagai sarana. Kedua, Edward Schillebeeckx melihat

gereja sebagai tanda yang melaksanakan kesatuan atau „communio‟ seluruh umat manusia

dalam persatuannya dengan Tuhan.5 Gereja sebagai pemersatu antara Tuhan dengan

manusia, dan manusia dengan sesamanya.

Leonardo Boff, melihat fungsi gereja terhadap dunia; melalui struktural gerejawi

maka gereja dapat berfungsi dengan baik bagi dunia, yakni tidak saja tampak sebagai

sakramen yang hanya mencakup bidang sakral atau liturgis, tetapi juga di bidang yang

profan, yaitu secara konkret Injil Kritus diwartakan.6 Boff tidak hanya menekankan nilai

spiritual, tetapi bagaimana gereja bertindak secara konkret di tengah pergulatan dunia. Gerrit

Singgih menekankan hal yang sama tentang gereja, yang dia pahami sebagai tubuh Kristus.

Gereja sebagai tubuh Kristus berarti kita (umatNya) adalah bagian tubuh dan tidak pernah

bisa terlepas dari tubuh.7 Ada ikatan yang kuat antara manusia dengan Tuhan dan manusia

dengan sesamanya. Gereja sebagai tubuh Kristus merupakan tanda keselamatan Allah yang

2 Tom Jacobs., dkk, Gereja, 23.

3 Tom Jacobs., dkk, Gereja, 25.

4 Tom Jacobs., dkk, Gereja, 28.

5 Tom Jacobs., dkk, Gereja, 29.

6 Tom Jacobs., dkk, Gereja, 33.

7 Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1997), 8.

15

secara konkret perlu dinyatakan di tengah dunia. Dengan kata lain, gereja perlu hadir dalam

segala aspek kehidupan manusia, menyatu dengan dunia, dan bertindak untuk memberikan

perubahan bagi dunia. J. B. Banawiratma menyatakan, bahwa bila gereja menghayati hidup

dan tugasnya sebagai “sakramen keselamatan bagi manusia” berarti, gereja dengan perkataan

dan perbuatannya harus melibatkan diri pada penderitaan, pergulatan dan usaha pembebasan

manusia, agar dengan demikian gereja sungguh menjadi sakramen, yakni tanda yang

kelihatan dan alat yang efektif untuk pengharapan akan pembebasan sepenuhnya dan

seutuhnya bagi semua orang, terutama yang kecil dan miskin.8 Jelasnya, pemahaman tentang

gereja bervariasi dan dapat dimaknai dari berbagai aspek dan konteks. Sehubungan dengan

fokus studi ini, penulis akan mendeskripsikan gereja dilihat dalam konteks kemiskinan,

alienasi dan pembebasan. Melalui ketiga variable ini, kita terbantu untuk melihat apa dan

bagaimana fungsi kehadiran gereja di tengah dunia.

III. Kemiskinan: Beragam Konteks dan Ideologi

Kemiskinan merupakan suatu fenomena sosial yang nyata di Indonesia. Kemiskinan

sekaligus merupakan persoalan kemasyarakatan yang dihadapi setiap individu maupun

masyarakat. Fenomena kemiskinan tadi menghadirkan tantangan yang patut dijawab atau

dicarikan solusinya, baik oleh individu-individu, masyarakat, gereja, maupun institusi atau

lembaga-lembaga keagamaan. Untuk itu, terlebih dahulu perlu pengembangan konsep yang

diterima bersama tentang apa itu kemiskinan. Banawiratma melihat kemiskinan dalam dua

pengertian, yakni kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif.

Kemiskinan mutlak, yaitu kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer seperti pangan,

sandang, papan, kesehatan, kerja yang wajar dan pendidikan dasar tidak terpenuhi, apalagi

kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti hak berpartisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup

8 J. B. Banawiratma, Berteologi Sosial Lintas Ilmu; Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman

(Yogyakarta: Kanisius, 1993), 24.

16

yang menyenangkan.9 Dengan kata lain, kemiskinan multak berarti kehidupan orang-orang

yang merasakan hidup dalam kemelaratan, misalkan seperti kelaparan dan sumber daya

manusia (SDM) yang begitu rendah dikarenakan ketinggalan pendidikan. Kemiskinan relatif,

yaitu menyangkut pembagian pendapatan nasional dan perbedaan yang mencolok antara

berbagai lapisan atau kelas dalam masyarakat.10

Salah satu penyebab kemiskinan relatif

adalah karena kesenjangan klas dalam kehidupan sosial.

Ada juga pemahaman mengenai kemiskinan dilihat dari perspektif ideologi, yaitu

ideologi konservatif dan ideologi liberal. Pertama, ideologi konservatif. Ideologi ini

menjujung tinggi pengalaman mengenai struktur sosial.11

Artinya, bahwa setiap nilai yang

sudah ditetapkan dalam struktur, sangat dipegang teguh oleh kaum konservatif. Pada

umumnya, kaum konservatif memandang masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang

miskin sendiri. Akibatnya mereka tidak memandang masalah kemiskinan sebagai masalah

yang serius, karena mereka merasa bahwa penyebab kemiskinan adalah orang miskin itu

sendiri.12

Kedua, Ideologi Liberal. Liberalisme memandang manusia pertama-tama sebagai

yang digerakkan oleh motivasi kepentingan ekonomi pribadi. Liberalisme mempertahankan

hak manusia untuk mencapai semaksimal mungkin cita-cita pribadinya.13

Ideologi ini

berbeda dengan ideologi sebelumnya, karena memandang penting setiap individu terutama

mereka yang terkungkung dalam kemiskinan.14

Berbeda dengan kaum konservatif, kaum

liberal memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius, karenanya harus dipecahkan.

Kemiskinan menurut kaum liberal, dapat diselesaikan dalam struktur politik, dan ekonomi

9 Banawiratma, Berteologi Sosial, 126.

10 Banawiratma, Berteologi Sosial, 126.

11 A. Suryawasita, Analisis Sosial dalam Tulisan J. B. Banawiratma, Kemiskinan dan Pembebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 16.

12 A. Suryawasita, Analisis Sosial, 17.

13 A. Suryawasita, Analisis Sosial, 18.

14 A. Suryawasita, Analisis Sosial, 18.

17

yang ada.15

Kaum liberal melihat kemiskinan sebagai persoalan serius tetapi tidak

menakutkan, karena persoalan itu dapat diatasi dari berbagai aspek. Federation of Asian

Bishops Conference (FABC= Federasi Konferensi-konferensi Uskup Asia) menegaskan

dalam dokumen I FABC mengenai pemaknaan tentang miskin:

Miskin bukan dalam nilai-nilai, kualitas ataupun potensi-potensi manusiawi.

Miskin berarti bahwa mereka dilucuti dari kemungkinan mencapai harta dan

sumber-sumber material yang mereka perlukan untuk bisa hidup secara sugguh

manusia. Dikatakan dilucuti, karena mereka hidup di bawah penindasan, yakni di

bawah struktur-struktur sosial, ekonomis, dan politis yang dalam dirinya sudah

mengandung ketidakadilan.16

Melalui berbagai pemahaman mengenai kemiskinan di atas, maka kembali menjadi

pertanyaan, yaitu di manakah keberadaan gereja dan seperti apakah pemahaman gereja

mengenai kemiskinan? Fenomena kemiskinan tentu merupakan salah satu tugas penting yang

juga perlu diselesaikan oleh gereja. Pertemuan pertama para uskup Asia dalam Institut untuk

kegiatan Misioner kembali menyampaikan, bahwa menjadi gereja miskin bukanlah hanya

suatu keprihatinan akan kaum miskin, gereja dalam arti sesungguhnya harus menjadi gereja

miskin.17

Fenomena kemiskinan membuat gereja hadir di tengah dunia dan tidak saja untuk

kaum miskin, tetapi bagaimana gereja juga turut merasakan “miskin.”

IV. Alienasi dalam Konteks Sosial

Alienasi berasal dari bahasa latin, yaitu alienatio. Bentuk kata kerjanya adalah

alienare (untuk menjadikan sesuatu miliki orang lain, membawa pergi, melepaskan).18

Alienasi merupakan cara seorang melepaskan barang miliknya kepada orang lain, atau

mengasingkan dirinya dari eksistensi sebelumnya. Pada akhirnya alienare diderivasi dari

15

A. Suryawasita, Analisis Sosial, 18. 16

C. Putranta, Gereja Kaum Miskin dalam Konsili Vatikan II dan Dokumen Federasi konferensi Uskup-Uskup Asia dalam Tulisan J. B. Banawiratma, Kemiskinan dan Pembebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 113.

17 C. Putranta, Gereja Kaum Miskin, 115.

18 Richard Schacht, Alienasi “Pengantar Paling Komprehensif”(Yogyakarta: Jalasutra, 2005), 13.

18

alienus yang artinya milik atau berkaitan dengan pihak atau orang lain.19

Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa alienasi merupakan sikap seseorang mengasingkan diri dari orang

lain (adanya kerenggangan dalam sebuah hubungan antara manusia dengan sesama, atau

manusia dengan Tuhan) dan mengalihkan kepemilikan kepada orang lain.

IV.1. Alienasi Menurut Karl Marx

Tulisan Marx tentang agama sebagai alienasi berangkat dari keprihatinannya terhadap

kehidupan ekonomi, yaitu ada kesenjangan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum

kapitalis.20

Marx hidup dalam satu masyarakat yang terpecah dalam dua kelompok, yaitu

kelompok pemegang modal dan kelompok bekerja.21

Kelompok pemegang modal adalah

mereka yang menjadi bagian dari kaum kapitalis, sedangkan kelompok pekerja adalah

mereka yang bekerja namun tidak menerima upah sebagaimana semestinya. Kelompok

pemegang modal hanya bekerja sedikit dan hanya menyiapkan mesin-mesin produksi,

sedangkan kelompok pekerja bekerja kebih banyak namun tidak menikmati hasil dari

pekerjaan itu.22

Sistem kapitalisme menciptakan klas dalam masyarakat, yakni adanya

kesenjangan antar klas.

Di tengah keadaan kesenjangan antar klas, gereja hadir secara tidak netral karena

berpihak pada satu klas tertentu, yaitu gereja lebih berpihak pada kaum kapitalis. Fenomena

sosial yang terjadi menghadirkan suatu prinsip mendasar pada diri Marx dalam kekritisannya

di tengah realitas sosial. Menurut marx, realitas ekonomi menentukan perilaku manusia, dan

sejarah manusia adalah cerita perjuangan klas, kancah konflik terus-menerus di setiap

masyarakat antara orang-orang yang memiliki benda dengan orang-orang yang harus bekerja

19

Schacht, Alienasi, 13. 20

Karl Marx, Agama sebagai Alienasi dalam Tulisan Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Qalam: Yogyakarta, 2001), 214.

21 Marx, Agama sebagai Alienasi, 218.

22 Marx, Agama sebagai Alienasi, 218.

19

untuk hidup terus.23

Realitas sosial menunjukkan, bahwa kekuasaan akan terus berpihak pada

kelompok yang memiliki harta benda, dan itu berarti yang kaya akan semakin menjadi kaya

dan yang miskin semakin melarat. Hal tersebut yang membuat Marx tertarik untuk

menyinggung persoalan ekonomi dan melihat kehadiran agama di tengah kesenjangan sosial.

Tujuan utama Marx dalam melihat hal tersebut, karena ia ingin mewakili kepentingan umum

pekerja tanpa memandang kebangsaan mereka.

Marx melihat alienasi dalam sejarah yang berjalan melalui proses konflik yang luas.24

Konflik yang berada dalam sejarah dapat melahirkan alienasi. Ketertarikan Marx pada

alienasi dalam sejarah, dipengaruhi oleh pemikiran dari George Wilhem Friederich von

Hegel. Namun satu hal yang menurut Marx tidak disinggung oleh Hegel, yaitu Hegel tidak

melihat “alienasi” di tengah kancah konflik dalam sejarah, sedangkan menurut Marx adanya

alienasi dalam realitas kehidupan material yang mendasar.25

Dalam perjalanan sejarah, Marx melihat bahwa fakta-fakta ekonomi telah menjadi

dasar kehidupan sosial. Fakta-fakta tersebut merupakan dasar yang menimbulkan pembagian

kerja, perjuangan klas, dan alienasi manusia.26

Berdasarkan ketiga dampak dari fakta

ekonomi, Marx menarik konsekuensi alienasi itu ke dalam pembahasan mengenai agama.

Munculnya konsep tentang agama sebagai alienasi dalam pemikiran Marx karena Marx

melihat peran agama bagi manusia di tengah kesenjangan sosial saat itu, dan juga dampak

ekonomi dalam realitas sosial, yakni agama membuat manusia terbuai dalam situasi yang

tidak adil. Inilah yang membuat Marx menuduh agama sebagai candu bagi masyarakat atau

melakukan alienasi masyarakat kepada nilai-nilai yang bermartabat. Salah satu upaya Marx

dalam mendefinisikan alienasi, ditulis dalam manuscriptnya,

23

Marx, Agama sebagai Alienasi, 212. 24

Marx, Agama sebagai Alienasi, 215. 25

Marx, Agama sebagai Alienasi, 222. 26 Marx, Agama sebagai Alienasi, 236.

20

Alienasi jelas dalam fakta, bahwa segala hal adalah sesuatu yang berbeda dari

dirinya sendiri, bahwa aktifitas saya adalah sesuatu yang lain dari aktifitas milik

saya, dan bahwa... suatu kekuatan yang kejam menguasai segalanya.27

Istilah alienasi yang digunakan Marx menarik perhatian banyak orang, karena ia memberi

perhatian pada sisi ‟humanis.‟ Pembahasan Marx dalam „manuscript’ berpusat pada konsep

„manusia yang teralienasi (oleh dirinya sendiri)‟ dan „pekerja‟ yang teralienasi. Marx menilai

manusia secara esensial sebagai makhluk sosial dan indrawi, yang nyata dalam individualitas,

sosialitas, dan indrawi.28

Secara individualitas, seseorang dapat dikatakan individu bila

menemukan dirinya sendiri berhadapan dengan „dunia eksternal yang indrawi‟, yang bersifat

material, yang darinya dan melaluinya, ia mampu memproduksi berbagai benda.29

Benda

yang diproduksi ialah „produk pekerja‟ dan „objektifitas pekerja‟.30

Di mana pekerjaan menjadi suatu objek, yakni mendapatkan eksistensi eksternal.

Produksi adalah „akitifitas langsung dari individualitas, dan Marx menyebut proses tersebut

sebagai suatu eksternalisasi.31

Selain bersifat individualitas, manusia secara esensial juga

bersifat sosial. Manusia dilihat dari kedua sisi, yakni secara individual maupun sosial,

dikarenakan keberadaan manusia antara individu dan sosial memiliki keterikatan yang kuat.

Ketiga hal tersebut menunjukkan, bahwa secara esensial manusia tidak hanya mewujudkan

personalitas melalui aktifitas produktif dan hidup dalam persahabatan antara satu sama lain,

tetapi juga ada sensitifitas manusiawi subjektif.32

Secara esensial manusia memiliki tiga

karakter atau sifat yang melekat dalam dirinya, yakni bersifat individu, sosial dan indrawi.

Berdasarkan ketiga sifat yang melekat dalam diri manusia, maka Marx melihat bahwa alienasi

juga terjadi dalam kehidupan manusia melalui ketiga sifat tersebut.

27 Schacht, Alienasi, 31. 28 Schacht, Alienasi, 102. 29 Schacht, Alienasi, 105. 30

Schacht, Alienasi, 105. 31

Schacht, Alienasi, 106. 32

Schacht, Alienasi, 113.

21

Marx menggunakan istilah alienasi sebagaimana yang diperhatikan oleh Hegel, yakni

keterpisahan melalui penyerahan. Namun, bagi Marx keterpisahan yang dimaksud merupakan

hasil dari penyerahan.33

Makna keterpisahan dapat dilihat dari berbagai keadaan dan situasi di

mana istilah tersebut digunakan. Marx menggunakan banyak aplikasi pada istilah tersebut dan

berbagai hal yang diistilahkannya sebagai arti “terasing” (alienated), oleh karena itu cara yang

tepat untuk memahami istilah tersebut sangat tergantung pada konteks di mana istilah itu

digunakan. Istilah alienasi yang digunakan oleh Marx tidak terpaku pada satu makna, namun

tergantung situasi dan kondisi di mana dan kepada apa istilah tersebut digunakan.

IV.2. Gereja dan Alienasi Sosial

Setiap agama memiliki peran dan pengaruh dalam kehidupan individu. Bagi Yinger,

agama yang sempurna bagaimanapun tetap harus berupa fenomena sosial.34

Agama harus

bisa diidentifikasi sebagai kenyataan penting, bahwa keyakinan yang ada di dalamnya juga

memiliki dampak pada asosiasi manusia.35

Dengan kata lain, keberadaan agama perlu

memberikan dampak baik dalam kehidupan manusia, dan salah satu peran yang perlu

diperlihatkan oleh agama, yaitu ada dalam lingkup fenomena sosial. Dalam pandangan

Joachim Wach, semua agama dengan variasi yang dimilikinya, memiliki tiga ekspresi

umum.36

Pertama, secara teoritis, agama merupakan sistem kepercayaan. Kedua, secara

praktis, agama adalah sistem ibadah. Ketiga, secara sosiologis, agama tidak lain dari

hubungan masyarakat.37

Ketiga ekspresi yang dilihat oleh Wach menunjukkan, bahwa agama

tidak saja bersifat religiositas, tetapi juga secara sosial yaitu berperan dan berdampak dalam

perkembangan hidup manusia baik secara spritual maupun sosial. Di samping pernyataan

33 Schacht, Alienasi, 114. 34

Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi: Religiositas Sipil di Indonesia (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana), 86.

35 Kholiludin, Pancasila dan Transformasi, 86. 36

Kholiludin, Pancasila dan Transformasi, 86. 37 Kholiludin, Pancasila dan Transformasi, 86.

22

Yinger dan Wach, Marx melihat agama sebagai sebuah alienasi sosial dalam kehidupan

manusia. Bagi Marx, Tuhan selalu diberi pujian, pemujaan yang pantas menjadi milik

manusia di dalam agama.38

Konsep Tuhan, dan cara pandang dalam penyembahan kepada

Tuhan juga berdasarkan “kacamata” manusia, di mana secara fundamentalis manusia

mempersiapkan segala sesuatu “demi Tuhan” dengan tidak begitu memperhatikan persoalan

sosial.

Marx menyebut fenomena tersebut hanya sebagai sebuah penderitaan karena alienasi

diri, adanya perasaan dalam akibat perpisahan batin dari sifat dasar manusia sebagaimana

yang seharusnya.39

Manusia lari dari kenyataan hidup dan memberikan segalanya dalam

agama “demi Tuhan”, sedangkan pelarian itu hanyalah menutupi ketidakbahagiaan dalam diri

manusia yang sebenarnya. Dalam hal ini, Marx melihat agama sebagai ilusi semata, yaitu

agama hanyalah sebuah ilusi yang dipenuhi dengan berbagai ideologi.40

Dasar dari kritisisme

yang ireligius adalah: “manusia membuat agama (tetapi) agama tidak membuat manusia.”41

Agama ada karena dibentuk oleh manusia, dan “di bawah kendali serta kontrol

manusia,” yang pada akhirnya menghadirkan sikap alienasi. Dalam melihat agama sebagai

alienasi, Marx berfokus pada perhatiannya terkait persamaan yang mencolok antara aktivitas

religius dengan aktivitas ekonomi. Melihat kedua hal tersebut, maka Marx menandai

keduanya dengan istilah alienasi. Agama mengambil sifat-sifat-ideal moral-dari kehidupan

manusia yang dasar, dan secara tidak wajar memberikannya pada suatu wujud asing dan

khayal yang kita sebut Tuhan.42

Agama tidak saja memiliki pengaruh kuat dalam

pertumbuhan dan perkembangan kehidupan spiritual manusia, tetapi juga di dalam

perkembangan kehidupan sosial manusia.

38 Karl Marx, Agama sebagai Alienasi dalam Tulisan Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Qalam:

Yogyakarta, 2001), 222. 39 Marx, Agama sebagai Alienasi, 236. 40 Marx, Agama sebagai Alienasi, 237. 41

Marx, Agama sebagai AlienasiI, 235. 42 Marx, Agama sebagai Alienasi, 236.

23

Keberadaan gedung gereja merupakan salah satu bentuk konkret dari agama yang

adalah hasil “ciptaan” manusia. Manusia mendirikan gedung ibadah sebagai tempat yang

sakral, di mana melalui gedung itu mereka beribadah dan bersekutu dengan Tuhan. Kalau

wawasan Wach dipakai untuk memahami fungsi agama, maka gedung ibadah dari agama

haruslah dilihat sebagai ruang yang berdampak positif dalam mengembangkan dan

menempah kepekaan manusia terhadap persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan,

ketidakadilan, krisis ekologi, diskriminasi dan lain-lain.

Manusia tidak hanya membangun gedung gereja sebagai tempat persekutuan dengan

sesama dan Tuhan, tetapi dengan berbagai ideologi yang dihidupi maka manusia dapat

kembali “menciptakan” fungsi-fungsi dan makna lain dari keberadaan sebuah gedung gereja.

Jika hal itu diabaikan, dalam hal ini gedung ibadah justru akan menciptakan alienasi seperti

yang disebutkan oleh Marx. Sebagaimana yang diuraikan oleh Marx, bahwa agama (dalam

hal ini gereja) merupakan sebuah opium bagi warga gereja (masyarakat), yaitu keberadaan

gereja mampu menghilangkan rasa sakit dan sekaligus menciptakan fantasi.43

Uraian Marx tentang agama sebagai opium bagi masyarakat, menunjukkan bahwa

gereja yang adalah bagian dari agama juga dapat disebut sebagai ruang alienasi sosial.

Gedung gereja menjadi opium bagi warganya yang datang bersekutu di dalamnya, yakni

dapat memberikan kenyaman dan ketentraman namun hanya untuk sementara waktu. Di

mana, di dalam gedung gereja mampu membuat warga jemaat teralienasi dari kehidupan

sosialnya, dan mampu membuat warga jemaat melepaskan segala kegelisahan yang

dialaminya atas realitas hidup yang terjadi saat ini.

43

Marx, Agama sebagai AlienasiI, 237.

24

V. Pembebasan sebagai Karya Penyelamatan

Pembebasan (liberation) merupakan kata kunci yang digunakan oleh Gustavo

Gutierrez dalam berteologi. Teologi pembebasan lahir di akhir tahun enam puluhan, di

tengah keberadaan gereja yang ditantang oleh persoalan sosial dan gereja tidak

memperhatikan kebutuhan manusia dalam sejarah hidup yang sedang dialami.44

Gutierrez

mencoba membangun sebuah teologi pembebasan berdasarkan realitas sosial di Amerika

Latin. Kemiskinan di Amerika Latin merupakan persoalan sosial yang memprihatinkan.

Persoalan sosial di Amerika Latin melahirkan teologi pembebasan yang dipahami sebagai

suatu refleksi, yang berangkat sekaligus dari Injil dan pengalaman para lelaki dan perempuan

benua Amerika Latin, yang hidup dalam penindasan dan perampasan haknya, dan karena itu

merasa tertuntut untuk ikut serta dalam proses pembebasan.45

Sistem kapitalisme yang terjadi di Amerika Latin melahirkan kesenjangan sosial,

yakni kesenjangan antar klas. Gutierrez melihat Fenomena ini sebagai tantangan iman bagi

gereja-gereja di Amerika Latin, dan hal tersebut juga yang dikritisi oleh Marx dalam

persoalan klas pekerja. Orang-orang miskin Amerika Latin adalah mereka yang hidup dalam

sebuah dunia tanpa jaminan kehidupan manusiawi, karena itu menurut Gutierrez, realitas

kemiskinan Amerika Latin berarti (identik dengan) kematian.46

Kemiskinan di Amerika Latin

merupakan realitas sosial yang tidak memberikan tanda kehidupan bagi orang-orang miskin

Amerika Latin. Dengan demikian, realitas sosial yang terjadi bukan sekadar menyangkut

masalah sosial tetapi juga masalah iman, yakni situasi yang bertentangan dengan nilai-nilai

fundamental injili, yaitu berkaitan dengan perihal kasih, keadilan, kebenaran, dan kedamaian.

44

Basis Jurnalisme Seribu Mata, Teologi Pembebasan (Nomor 03-04, Tahun ke-51, Maret-April, 2002), 9.

45 Basis Jurnalisme Seribu Mata, 9.

46 Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, 18.

25

Ada hal yang dikritisi oleh Gutierrez dalam berteologi, yakni gereja seringkali hanya

menangani hal-hal religius, sedangkan urusan kemasyarakatan seperti kemiskinan adalah

masalah negara (dunia).47

Kemiskinan dianggap sebagai masalah profan yang tidak

merupakan bagian dari kehidupan beragama, sehingga seringkali kemiskinan dianggap

sebagai sebuah tanggung jawab negara (pemerintah) bukan gereja.48

Untuk itu, menurut

Gutierrez ada tiga dimensi yang terkandung di dalamnya, dan berperan dalam proses

pembebasan di Amerika Latin, yaitu dimensi sosial, dimensi personal, dan dimensi teologis.

a. Dimensi Sosial

Pembebasan memperlihatkan realitas konfliktual dalam proses ekonomi, politik,

sosio-budaya yang membagi masyarakat dalam kelas kaya dan miskin, sekaligus

menunjukkan aspirasi dan perjuangan kelas sosial tertindas (miskin) untuk keluar

dari lilitan penindasan (kemiskinan).49

Adanya kensejangan kelas yang terjadi

hingga dewasa ini, untuk itu menurut Gutierrez salah satu aspek yang secara penting

perlu mendapat tindakan pembebasan, yaitu aspek sosial atau dimensi sosial.

b. Dimensi Personal

Pembebasan menunjuk pada martabat pribadi manusia yang memiliki kebebasan

dan tanggung jawab atas nasibnya, karena itu perubahan sosial sejati dari struktur

sosial dapat dicapai melalui pribadi-pribadi yang bebas.50

Artinya, bahwa

pembebasan tidak akan terjadi jika hanya dimulai dari aspek sosial atau secara

komunal. Suatu keberhasilan, kebaikan melalui pembebasan dapat diwujudkan bila

secara individual memiliki tingkat kesadaran yang tinggi untuk membangun

kebersamaan dalam mencapai perubahan.

47 Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, 19. 48 Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, 19. 49

Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, 81. 50 Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, 81.

26

c. Dimenai Sosial-Teologis

Istilah pembebasan memiliki dasar biblis yang fundamental, yakni karya

pembebasan Allah bagi umat-Nya.51

Allah dalam Yesus Kristus bertindak

membebaskan manusia dari dosa dengan segala akibatnya termasuk ketidakadilan

sosial (kemiskinan).52

Pembebasan terhadap kaum tertindas dan kaum miskin

berarti melakukan pembebasan (penyelematan) sebagaimana yang dilakukan Yesus.

Melakukan pembebasan tidak bisa terjadi dari satu aspek, yakni secara vertikal

(teologis) atau horizontal (sosial) saja, melainkan kedua hal tersebut perlu berjalan

secara bersama-sama.

Ada dua hal yang menjadi landasan pembebasan Kristiani dalam visi teologi

Gutierrez. Pertama, kaitan penyelamatan dan pembebasan yang menunjukkan misteri

kehadiran Allah yang membebaskan manusia dalam sejarah.53

Kedua, kaitan pembebasan dan

kaum miskin memperlihatkan bagaimana misteri kehadiran Allah yang membebaskan dalam

sejarah, yang menjadi dasar bagi sesamanya terutama bagaimana perjuangan pembebasan itu

mesti mendahulukan kaum miskin.54

Melihat kedua landasan pembebasan Kristiani tersebut,

jelas bahwa pembebasan hadir untuk “memerdekakan” mereka yang terbelenggu dalam

ketidakadilan dan kemiskinan. Artinya, Pembebasan tidak saja melepaskan seseorang dari

keadaan yang tidak nyaman, tetapi juga pembebasan juga dapat memberikan perubahan baik

dalam kehidupan setiap individu. Dengan kata lain, pembebasan sama halnya dengan suatu

karya penyelamatan.

51

Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, 81. 52 Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, 81. 53

Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, 83. 54 Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, 83.

27

Teologi pembebasan merupakan suatu lompatan iman ke tempat yang lebih dalam,

yakni bagaimana memaknai sabda Allah dalam konteks konkret manusia di Amerika Latin

yang ditandai dengan kemiskinan dan penderitaan akibat dari penindasan struktural dan

ketidakadilah sistim kapitalisme.55

Untuk itu, teologi pembebasan menekankan pentingnya

gereja bagi pembebasan dari kemiskinan, dalam hal ini teologia pembebasan

memperkenalkan metodologi dalam berteologi, yaitu tidak dimulai dari refleksi tapi dari

praksis. Praksis mendahului refleksi, kemudian refleksi hadir untuk memurnikan praksis.

Artinya, yang pertama harus dikerjakan adalah tindakan-tindakan pembebasan terhadap orang

miskin dan tertindas, kemudian setelah itu dilakukan refleksi untuk mengevaluasi praksis itu

demi memerangi, mendalamikan dan mensistematisasikan praksis tersebut.56

V.1. Teologi Pembebasan Asia

Dalam konteks Asia, Aloysius Pieris melihat kereligiusan dan kemiskinan sebagai

matriks teologi Asia. Pieris menjadikan kedua hal tersebut sebagai matriks teologi Asia,

karena Asia memiliki ciri khas tersendiri, yakni adanya keberagaman agama namun tidak

terlepas dari tingkat kemiskinan yang tinggi. Bagi Pieris, upaya teologis untuk menghadapi

agama-agama Asia tanpa memberikan perhatian terhadap aspek kemiskinan di Asia atau

sebaliknya memperhatikan kemiskinan tanpa memberikan perhatian pada aspek religius,

maka hal tersebut akan menjadi sia-sia.57

Keberagaman agama di tengah konteks kemiskinan, membuat aspek religius dan

sosial perlu berjalan secara bersama-sama. Menurut Pieris, keberagaman agama di Asia

merupakan salah satu solusi bagi orang Asia untuk memberantas kemiskinan. Untuk itu,

Pieris mencoba menghadirkan konsep teologi pembebasan di Asia berdasarkan teologi Asia.

55

Ebenhaizer I. Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 31.

56 Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik, 32.

57 Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation, (New York: Orbis Books, 1988), 69.

28

Teologi Asia merupakan cara yang dapat dirasakan dan dilakukan bagi orang Asia di tengah

realitas.58

Pieris melihat teologi Asia sebagai pintu pembebasan bagi kemiskinan di Asia.

Dalam konteks Indonesia, A. A Yewangoe melihat kehadiran gereja di era reformasi.

Maksud melihat gereja di era reformasi, yaitu gereja sebagai jalan pembebasan di tengah

pergumulan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Gereja reformasi berarti gereja yang

memberikan perubahan dengan menjadikan Yesus Kritus sebagai teladan karena Yesus

adalah pembebas.59

Menurut Yewangoe, gereja hadir seturut amanat Tuhan Gereja, yakni

Yesus Kristus, untuk meneruskan kabar baik tentang pembebasan dan tidak diharapkan untuk

menjadi gereja yang pasif, atau bahkan bertentangan dengan pembebasan.60

Sebaliknya

gereja harus menjadi pelopor untuk memperbaharui masyarakat, yakni gereja mesti menajdi

reformator.61

Perjalanan kehidupan gerejawi diharapkan berjalan secara seimbang, yakni tidak saja

memfokuskan diri dalam bidang religius, tetapi juga mencapai perubahan-perubahan sosial

yang adalah pergumulan bersama. Gereja secara konkret hadir di dunia patut

memperjuangkan pembebasan di tengah realitas sosial. Kehidupan bergereja tidak saja

sebatas kegiatan gerejawi, dan cara berteologi gereja tidak sekadar teologi kuno, namun perlu

adanya perubahan dalam berteologi, yakni teologi pembebasan. Gereja hadir di tengah ironi,

mengambil bagian di dalamnya, dan bersama-sama dengan kaum tertindas memperjuangn

pembebasan itu.

58

Pieris, An Asian Theology of Liberation, 85. 59

A. A. Yewangoe, Gereja di Era Reformasi dalam tulisan Victor Silaen, Gereja dan Reformasi; Pembaruan Gereja menuju Indonesia Baru (Jakarta: Yakoma-PGI, 1999), 27.

60 A. A. Yewangoe, Gereja di Era Reformasi, 27.

61 A. A. Yewangoe, Gereja di Era Reformasi, 27.

29

V.2. Gereja Sebagai Jalan Pembebasan

Kehadiran gereja di tengah dunia seringkali dianggap sebagai Kerajaam Allah bagi

dunia. Pemahaman ini memberi dampak besar dalam kehidupan spiritual umat manusia.

Widyatmadja mengatakan, bahwa pewartaan tentang kedatangan pemerintahan (Kerajaam)

Allah yang dilakukan Yesus bukanlah sekadar pewartaan agama, tetapi juga suatu proklamasi

yang menyentuh segala aspek kehidupan manusia.62

Dengan kata lain, Widyatmadja

memberikan catatan kritis bagi gereja yang berada di tengah dunia dengan berbagai aspek

kehidupan dan ironi yang ada.

Gereja sebagai utusan Allah bagi dunia, dan gereja identik dengan hadirnya Kerajaam

Allah. Hal tersebut berarti, gereja hadir tidak saja untuk menikmati zona nyaman dan ada

dalam lingkup gerejawi, melainkan gereja juga memiliki peran penting dalam kehidupan di

luar gerejawi. Salah satunya, gereja hadir menjadi jalan pembebasan dalam memerangi

kemiskinan yang adalah realitas dari kehidupan manusia. Sebagai komunitas yang

melanjutkan proklamasi pembebasan Yesus, gereja menampilkan diri sebagai medan

pembebasan, dan itu berarti gereja patut melepaskan diri dari keterikatan dengan tatanan

sosial yang tidak adil dan mencari struktur gerejani baru yang menjadi tempat pembebasan

bagi manusia.63

Perspektif aksi mendahului refleksi yang ditawarkan oleh teologia pembebasan

menjadi penting untuk diperhatikan gereja kalau gereja mau menjadi jalan pembebasan,

sehingga tidak cukup hanya berwacana dan berkhotbah tetapi juga bertindak secara doktrin.

Gereja dapat memanfaatkan semua simbol, fasilitas dan media yang dimiliki oleh gereja

untuk melakukan tindakan-tindakan pembebasan. Gereja hadir untuk menciptakan Kerajaam

Allah bagi dunia, berarti gereja bertindak sebagaimana kehadiran Yesus dalam memberikan

pembebasan bagi umat manusia.

62

Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik, 12. 63 Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik, 117.

30

Sikap Yesus sebagai teladan iman bagi gereja dalam memerangi dunia dari

ketidakadilan dan kemiskinan. Gereja menjadi jalam pembebasan berarti gereja mesti

menjadi gereja yang mendahulukan kaum miskin.64

Gereja hadir di tengah dunia tentu

berdasarkan tugas panggilan gereja yang adalah landasan teologis bergereja, yakni gereja

sebagai jalan pembebasan secara doktrinal dan gereja sebagai jalan pembebasan berdasarkan

aspek sosial.

V.2.1 Pembebasan Melalui Aspek Sosial

Gereja di tengah realitas dunia, itu berarti gereja diperhadapkan dengan tantangan

yang mendorong gereja untuk memberikan tindakan konkret dibalik persoalan sosial.

Banawiratma mengatakan, bahwa kemiskinan dapat membuat orang lemah, dan orang yang

lemah akan mudah tertindas, karena itu menegakkan keadilan di dunia sekarang berarti

berjuang untuk menghapuskan kemiskinan.65

Gereja sebagai jalan pembebasan dalam

memerangi kemiskinan, berarti gereja tidak dapat terlepas dari aspek sosial. Kemiskinan

merupakan fenomena sosial yang berdampak buruk dalam perkembangan hidup manusia.

Gereja hadir sebagai jalan pembebasan melalui aspek sosial, berarti pada bagian

ini gereja perlu memahami dengan jelas keberadaan dunia sosial. Gereja perlu memahami

tujuan pembebasan yang akan dilakukan dalam memberikan perubahan sosial. Ada banyak

hal dan cara yang dapat dipelajari oleh gereja dalam memperjuangkan pembebasan bagi

dunia. W. W. Rostow adalah seorang ahli ekonomi, dan dalam bidangnya Rostow mencoba

melihat masalah ekonomi secara meluas, yakni berdasarkan aspek sosiologis dalam proses

pembangunan.66

64 Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik, 117. 65

J. B. Banawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 14. 66 Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 25.

31

Ada lima tahap pembangunan yang digunakan oleh Rostow untuk “mengukur”

serta meninjau tahap perkembangan masyarakat dalam kehidupannya. Lima tahap

pembangunan yang dimaksud oleh Rostow. Pertama, Masyarakat Tradisional; dalam tahap

ini masyarakat belum begitu menguasai ilmu pengetahuan yang ada, sehingga manusia hanya

tunduk kepada alam, dan mengikuti arus kehidupan yang ada.67

Kedua, Prakondisi untuk

Lepas Landas; pada tahap ini masyarakat sudah lebih bergerak daripada masyarakat

tradisional, namun untuk mengalami perubahan dan perkembangan tahap ini membutuhkan

dorongan dan bantuan secara eksternal.68

Artinya, untuk lepas dari kehidupan masyarakat

tradisional, maka masyarakat tidak dapat mengubah dirinya sendiri.

Ketiga, Lepas landas; pada tahap ini telah ada perkembangan lebih maju dari

tahap sebelumnya.69

Dalam tahap ini, masyarakat sudah dapat mengendalikan hambatan-

hambatan yang ada dan masyarakat sudah memiliki investasi serta tabungan. Keeempat,

Bergerak ke kedewasaan; industri berkembang dengan pesat. Untuk itu, pada tahap ini

mengalami peningkatan pesat dari tahap-tahap sebelumnya.70

Kelima, Jaman Konsumsi

masal yang tinggi; karena kenaikan pendapatan masyarakat, maka konsumsi tidak lagi

terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih

tinggi.71

Pada tahap ini nilai produksi dan konsusmi semakin tinggi, dan perkembangan

ekonomi mulai terlihat.

Pada prinsipnya, kelima tahap pembangunan yang diuraikan di atas menjadi suatu

gambaran bagi gereja untuk melihat sejauh mana perkembangan warga gereja dalam

kehidupan sosialnya. Gereja dapat meneliti dan mengetahui keberadaan warga gereja

berdasarkan kelima tahap pembangunan yang digunakan oleh Rostow. Kelima tahap

67 Budiman, Teori Pembangunan, 26. 68 Budiman, Teori Pembangunan, 26 69 Budiman, Teori Pembangunan, 27. 70

Budiman, Teori Pembangunan, 28. 71 Budiman, Teori Pembangunan, 28.

32

pembangunan dari Rostow dapat membantu gereja untuk melakukan pembebasan dalam

aspek sosial dengan lebih mudah, karena kelima tahap tersebut menolong gereja untuk

mengetahui sikap dan tindakan apa yang perlu dilakukan dalam memberikan solusi di tengah

persoalan sosial. Kalau hal ini dipahami dengan baik, yakni gedung ibadah bisa dijadikan

sebagai ruang di mana tindakan-tindakan pembebasan dibicarakan bertolak dari refleksi-

refleksi yang mendalam dan terarah.

V.2.2. Pembebasan Secara Doktrinal

Ada tiga tugas panggilan gereja yang merupakan hakikat hidup bergereja, yaitu

Koinonia (persekutuan), Diakonia (pelayanan), dan Marturia (kesaksian). Ketiga tugas

gereja ini menjadi dasar bagi gereja-gereja dalam mewujudkan kehidupan gereja yang baik,

yakni dengan harapan mendatangkan Kerajaan Allah bagi dunia. Perubahan sosial tidak saja

bisa berlangsung bila hanya melingkupi aspek sosial saja. Tidak dapat dipungkiri, bahwa

gereja hadir di tengah dunia dan memiliki peran dan pengaruh besar dalam setiap individu.

Dampak dan pengaruh tidak saja terjadi dalam kehidupan kerohanian seseorang, tetapi juga

bisa berdampak pada sikap seseorang dalam aspek kehidupan lainnya.

Adanya perubahan sosial atau terjadinya pembebasan, juga perlu dimulai dari

kesadaran setiap individu. Untuk membangun kesadaran diri, maka gereja memiliki peran di

dalamnya. Gereja memiliki ortoritas dalam memberikan doktrin atau sebuah pengajaran

kepada warga gereja, dan doktrininasi yang dilakukan oleh gereja pada umumnya secara baik

dapat diterima oleh warga gereja. Ada beberapa hal yang didefinisikan oleh Banawiratma

dalam mewujudkan perubahan sosial atau dengan kata lain pembebasan berdasarkan iman.

Pertama, Injil warta Yesus Kristus: Kerajaam Allah; beriman Kristiani berarti mengikuti

Yesus Kristus, yang menentukan hidup beriman bukanlah rumusan dan aturan, melainkan

33

pribadi Yesus.72

Pembebasan dapat terwujud dalam realitas dunia melalui gereja, bila

keimanan kepada Yesus dinyatakan dalam kehidupan setiap manusia. Dalam hal ini, Yesus

menjadi tokoh dan pemeran utama dalam tindakan perubahan sosial atau pembebasan.

Kedua, dua pradigmata perubahan sosial: Kerajaam Allah dan Anti Kerajaam Allah; misi

Yesus adalah misi religius, Ia datang dari Bapa, diutus untuk memaklumkan Kerajaam Allah.

Inti pengalaman mistik Kristiani adalah pengalaman akan misteri, rahasia penyelamatan Allah

melalui Yesus Kristus.

Oleh karena itu, orang beriman Kristiani digerakkan oleh Roh Kudus, bersatu dengan

Yesus Kristus dan hidup untuk perkara-perkara Bapa. Pengajaran dalam kehidupan bergereja

tidak sebatas membangun nilai religius manusia agar semakin rajin beribadah, menafsirkan

isi Alkitab, akan tetapi bagaimana umat manusia benar-benar memahami konsep Kerajaan

Allah bagi dunia melalui Yesus yang telah memberikan pembebasan atas dosa, kemiskinan

dan ketidakadilan. Ketiga, Kerja sama dengan kaum beriman lain; Keprihatinan manusiawi

yang dialami bersama merupakan tantangan bagi semua orang dari berbagai iman untuk

menghayati hidup beriman masing-masing.73

Keprihatinan iman tidak lain adalah reaksi iman dalam situasi konkret yang dialami,

itulah sikap eksistensial dalam hidup nyata.74

Dengan kata lain, Banawiratma

menggarisbahawi, bahwa hidup beriman itu berarti hidup secara konkret dalam memberikan

keprihatinan pada setiap aspek kehidupan manusia. Berdasarkan ketiga pokok penting yang

diuraikan di atas, maka pembebasan juga dapat dilakukan secara doktrinal. Dalam hal ini,

gereja hadir untuk memberikan transformasi paradigma bagi warga gereja, sehinga dengan

adanya transformasi tersebut akan mampu memberikan kesadaran diri bagi masyarakat

(warga gereja) demi mencapai suatu perubahan sosial.

72

Banawiratma, Iman, Pendidikan, 53. 73

Banawiratma, Iman, Pendidikan, 63. 74

Banawiratma, Iman, Pendidikan, 63.

34

VI. Kesimpulan

Sebagaimana teori alienasi dan pembebasan yang diuraikan di atas, dapat dilihat

bahwa dalam teori alienasi yang dikemukakan oleh Marx, maka adanya kekritisan yang

dilakukan oleh Marx terhadap kehadiran gereja di tengah kancah konflik. Di mana Marx

mengkritik, bahwa gereja justru ada sebagai melanggengkan kemiskinan dengan

menjanjikan sorga tanpa memberikan perhatian secara serius terhadap persoalan

kemiskinan sebagai suatu pergumulan bersama.

Hal tersebut berbeda dengan apa yang diuraikan oleh Gutierrez tentang

pembebasan. Dalam hal ini, penekanan yang diuraikan tentang pembebasan, yaitu gereja

seharunya keluar dari zona nyaman untuk membela dan memperjuangkan hak-hak orang

miskin dengan menekankan, bahwa gereja tidak hanya sekadar hadir di tengah dunia

dengan melulu memikirkan masalah tentang sorga, tetapi bagaimana gereja hadir untuk

memberikan perubahan-perubahan sosial.