34
14 Bab II Hasil Penelitian dan Analisis Pada Bab II ini akan dipaparkan beberapa-beberapa penjelasan terkait dengan penelitian “Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No. 08/Pdt.G/2003/PN.Pml)”. yang meliputi : Tinjuan Pustaka , hasil penelitian dan analisis hasil penelitian. A. Tinjuan Pustaka A.1. Tentang Eksekusi Dalam hal tentang eksekusi akan dibahas mengenai pengertian, dasar hukum eksekusi, syarat-syarat dalam hukum eksekusi, dan tata cara pelaksanaan eksekusi. A1.1 Pengertian Eksekusi Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa (upaya hukum paksa) putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum. Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu ”Pelaksanaan”. 8 Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan mengunakan kata ”Eksekusi” untuk pengertian “pelaksanaan” putusan dalam perkara perdata. 9 Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah tidak mau 8 M. Luqmanul Hakim Bastary, Judul perdata Jurnal “Eksekusi Putusan Perkara Perdata”, Serang, 2010 9 Kamus Besar Bahasa Indonesia

Bab II Hasil Penelitian dan Analisis - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14629/2/T1_312012012_BAB II... · ayat (11) HIR, berisi yang meliputi penyerahan

  • Upload
    dodang

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

14

Bab II

Hasil Penelitian dan Analisis

Pada Bab II ini akan dipaparkan beberapa-beberapa penjelasan terkait

dengan penelitian “Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Mempunyai Kekuatan

Hukum Tetap ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No.

08/Pdt.G/2003/PN.Pml)”. yang meliputi : Tinjuan Pustaka , hasil penelitian dan

analisis hasil penelitian.

A. Tinjuan Pustaka

A.1. Tentang Eksekusi

Dalam hal tentang eksekusi akan dibahas mengenai pengertian, dasar

hukum eksekusi, syarat-syarat dalam hukum eksekusi, dan tata cara pelaksanaan

eksekusi.

A1.1 Pengertian Eksekusi

Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa (upaya hukum paksa)

putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum. Untuk kesamaan

penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu ”Pelaksanaan”.8

Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis

menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata

ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk

selanjutnya dalam tulisan ini akan mengunakan kata ”Eksekusi” untuk pengertian

“pelaksanaan” putusan dalam perkara perdata.9

Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten

uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan

pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah tidak mau

8 M. Luqmanul Hakim Bastary, Judul perdata Jurnal “Eksekusi Putusan Perkara Perdata”, Serang,

2010 9 Kamus Besar Bahasa Indonesia

15

menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan

putusan) adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah

dalam perkara.10

Dalam pengertian lain, eksekusi adalah hal menjalankan putusan

pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang

dieksekusi adalah putusan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak

untuk membayar sejumlah uang atau juga pelaksanaan putusan hakim yang

memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau

melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari

pengadilan untuk melaksanakannya.11

Dari pengertian diatas, maka eksekusi diartikan sebagai upaya untuk

merealisasikan kewajiban dari pihak yang kalah dalam perkara guna memenuhi

prestasi sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan

panitera/jurusita/jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara

paksa karena tidak dilaksanakannya secara sukarela. Pelaksanaan putusan hakim

tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian perkara perdata dan

pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu

sendiri.12

A.1.2 Dasar Hukum Eksekusi

Sebagai dari realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam

perkara, maka masalah eksekusi telah diatur dalam berbagai ketentuaan 13

:

Pasal 195 - Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR (tentang tata

cara eksekusi secara umum);

Pasal 225 HIR (tentang putusan yang menghukum tergugat

untuk melakukan suatu perbuatan tertentu);

10

Harahap, Yahya, M, S.H. “ Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata “, PT.Gramedia, Jakarta, 1988, hal 1. 11

Abdul Manan, Judul Makalah“ Eksekusi & Lelang Dalam Hukum Acara Perdata”, Jakarta, 2011, hal 1. 12

Luqmanul Hakim Bastary, Op.Cit., hal 1 13

M. Luqmanul Hakim Bastary, “Eksekusi Putusan Perkara Perdata” Serang, 2010, hal. 2.

16

Sedangkan Pasal 209 - Pasal 223 HIR yang mengatur

tentang ”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan

secara efektif.

Pasal 180 HIR, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA

Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Putusan yang

belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu

pelaksanaan serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad dan

provisi);

Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil);

Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan

A.1.3. Syarat-syarat dalam Eksekusi

Adapun isi dalam menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada

melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan

pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau

menjalankannya secara sukarela.14

Adapun diantara syarat-syarat adalah sebagai berikut

a. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

Pada dasar prinsipnya dalam pelaksanaan putusan secara paksa merupakan

tindakan paksa yang dilakukan oleh pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum,

guna untuk menjalankan suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum yang tetap.

Dengan kata lain, selama dalam putusan hakim belum memperoleh

kekuatan hukum tetap, maka upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi dan

dalam pelaksanaan putusan secara paksa baru berfungsi sebagai tindakan hukum

yang sah dan memaksa, terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan

hukum tetap dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau mentaati dan memenuhi

putusan secara sukarela

14

Subekti, “ Hukum Acara Perdata”, BPHN, Jakarta, 1977, hal. 128.

17

Ada beberapa bentuk pengecualian yang dibenarkan undang-undang yang

memperkenankan eksekusi dapat dijalankan di luar putusan tersebut yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yaitu:

1) Pelaksanaan putusan lebih dahulu

2) Pelaksanaan putusan provisi

3) Akta perdamaian

4) Eksekusi Terhadap Grosse Akta

5) Eksekusi atas Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia

b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi apabila pihak

yang kalah tidak bersedia mentaati dan menjalankan putusan secara sukarela. Jika

pihak yang kalah tidak menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan

menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut eksekusi.

Dengan demikian, salah satu prinsip yang melekat pada eksekusi, yaitu

menjalankan eksekusi secara paksa marupakan tindakan yang timbul apabila

pihak yang kalah tidak menjalankan putusan secara sukarela. Jika pihak yang

kalah bersedia mentaati dan menjalankan putusan secara sukarela, maka tindakan

eksekusi tidak diperlukan.

c..Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir.

Prinsip lain yang mengatakan harus terpenuhi atau lengkap adalah putusan

tersebut memuat amar kondemnatoir (condemnatoir). Hanya suatu dalam putusan

yang bersifat kondemnatoir yang bisa dieksekusi, karena sebuah putusan yang

dalam amar atau diktumnya mengandung unsur penghukuman. Putusan yang amar

atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi.

d. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

Dalam Pasal 195 ayat (1) HIR, jika ada suatu Putusan Pengadilan Negeri,

maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan

Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dalam menjaga tegaknya kepastian

hukum dan undang-undang telah menentukan kewenangan menjalankan putusan

18

terhadap suatu putusan pengadilan dengan berpedoman pada kewenangan

tersebut.

A.1.4.Macam-Macam Eksekusi

Pada dasarnya ada (2) bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak

dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu

melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini

disebut “eksekusi riil”, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi

seperti ini selalu disebut “eksekusi pembayaran uang”15

Demikian juga dalam praktek Peradilan Agama dikenal 2 (dua) macam

eksekusi, yaitu: (1) eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200

ayat (11) HIR, berisi yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran,

pembagian, dan melakukan sesuatu; (2) eksekusi pembayaran sejumlah uang

melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200

HIR/Pasal.16

a.Eksekusi Riil

Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam

perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang,

mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan

tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung

(dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses

pelelangan.

2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang

Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan kepada

pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR).

Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk

kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan

15

Harahap, Yahya, M, S.H. “ Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata “, PT.Gramedia, Jakarta, 1988 hal 20 16

Abdul Manan, Judul Makalah“ Eksekusi & Lelang Dalam Hukum Acara Perdata”, Jakarta, 2011hal 316

19

seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses pelelangan terlebih

dahulu , karena yang akan dieksekusi adalah sesuatu yang bernilai uang

Perbedaan eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang :17

b.Eksekusi Riil

-Eksekusi riil hanya mungkin terjadi berdasar putusan pengadilan :

Yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau

Yang bersifat dijalankan lebih dulu (uitvoerbaar bij voorraad)

atau

yang berbentuk provisi atau yang berbentuk akta perdamaian

disidang pengadilan.

b.Eksekusi dalam Pembayaran Sejumlah Uang

- Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas putusan

pengadilan, tetapi dapat juga didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh

undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan

hukum yang tetap :

grosse akta pengakuan hutang;

Sertifikat Hak Tanggungan dan

Jaminan fidusia.

A.1.5.Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi

Tata cara eksekusi riil menurut salah satu para ahli yaitu Prof. Dr. H.

ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum Hakim Agung, Mahkamah Agung RI

dengan judul makalahnya Eksekusi dan Lelang Dalam Hukum Acara Perdata

adalah sebagai berikut atau dalam menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara

yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri dapat ditempuh tahapan-tahapan

sebagai berikut :18

17

http://legal-community.blogspot.co.id/2011/08/ruang-lingkup-eksekusi-bidang-perdata.html 18

Makalah ini disampaikan pada acara RAKERNAS Mahkamah Agung - RI di Hotel Mercuri Ancol tanggal 18-22September 2011 2005 hal. 6-7

20

a. Permohonan pihak yang menang.

Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan

secara sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada

Ketua Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut untuk dijalankan secara

paksa hal-hal yang telah disebutkan dalam amar putusan.

Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua Pengadilan merupakan

suatu keharusan yang harus dilakukan oleh pihak yang menang agar putusan

tersebut dapat dijalankan secara paksa sebagaimana tersebut dalam Pasal 196

HIR. Jika para pihak yang menang ingin putusan Pengadilan supaya dijalankan

secara paksa, maka ia harus membuat surat permohonan yang diajukan kepada

Ketua Pengadilan yang memutus perkara, memohon agar putusan supaya

dijalankan secara paksa karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi

putusan tersebut. Tanpa ada surat permohonan tersebut maka eksekusi tidak dapat

dilaksanakan.

b. Penaksiran biaya eksekusi.

Jika Ketua Pengadilan telah menerima permohonan eksekusi dari pihak

yang berkepentingan, maka segera memerintahkan meja satu untuk menaksir

biaya eksekusi tersebut yang diperlukan dalam proses pelaksanaan eksekusi yang

dilaksanakannya.

Biaya yang diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-

saksi dan biaya pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah biaya

eksekusi tersebut dibayar oleh pihak yang menghendaki eksekusi kepada Panitera

atau petugas yang ditunjuk untuk mengurus biaya perkara, barulah permohonan

eksekusi tersebut didaftarkan dalam register eksekusi.

c. Melaksanakan peringatan (Aan maning)

Aan maning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan oleh Ketua

Pengadilan berupa teguran kepada pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi

putusan secara sukarela. Aan maning dilakukan dengan melakukan panggilan

terhadap pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan

dalam surat panggilan tersebut.

21

Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara : (1) melakukan sidang

insidentil yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan, Panitera dan pihak yang kalah, (2)

memberikan peringatan atau tegoran supaya ia menjalankan putusan Hakim dalam

waktu delapan hari, (3) membuat berita acara Aan maning dengan mencatat

semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut sebagai bukti othentik,

bahwa Aan maning telah dilakukan dan berita acara ini merupakan landasan bagi

perintah eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya.

Apabila dari pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang Aan maning, dan

ketidakhadirannya dapat dipertanggungjawabkan, maka ketidakhadirannya itu

dapat dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus dipanggil kembali untuk Aan

maning yang kedua kalinya. Jika ketidakhadiran pihak yang kalah setelah

dipanggil secara resmi dan patut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka gugur

haknya untuk dipanggil lagi, tidak perlu lagi proses sidang peringatan dan tidak

ada tenggang masa peringatan. Secara ex officio Ketua Pengadilan dapat langsung

mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada Panitera/Jurusita.

d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi

Apabila waktu yang telah ditentukan dalam peringatan (Aan maning)

sudah lewat dan ternyata pihak yang kalah tidak menjalankan putusan, dan tidak

mau menghadiri panggilan sidang peringatan tanpa alasan yang sah, maka Ketua

Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi dengan ketentuan : (1) perintah

eksekusi itu berupa penetapan, (2) perintah ditujukan kepada Panitera atau

Jurusita yang namanya harus disebut dengan jelas, (3) harus menyebut dengan

jelas nomor perkara yang hendak dieksekusi dan objek barang yang hendak

dieksekusi, (4) perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan tidak boleh

di belakang meja, (5) isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan

amar putusan.

Para praktisi hukum berbeda pendapat tentang kapan surat perintah eksekusi

dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan, apakah surat perintah eksekusi tersebut

dikeluarkan terhitung sejak panggilan tidak dipenuhi oleh pihak yang kalah, atau

setelah pihak yang menghendaki eksekusi mengajukan permohonan kembali

setelah pihak yang kalah tidak mau mengindahkan peringatan sesuai dengan

22

waktu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan. Pendapat yang terakhir ini banyak

dipergunakan oleh Pengadilan Negeri setempat dalam melaksanakan eksekusi riil

dengan pertimbangan bahwa pendapat yang terakhir itu lebih logis daripada

pendapat yang pertama. Permohonan pelaksanaan eksekusi penting untuk

kelengkapan administrasi eksekusi, di samping itu ada permohonan pelaksanaan

eksekusi diperlukan untuk adanya kepastian pelaksanaan eksekusi itu sendiri,

sebab tidak sedikit pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan setelah

diadakan peringatan bersedia melaksanakan putusan tersebut secara sukarela,

sehingga tidak perlu dilaksanakan eksekusi lagi.19

1. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah

1.1 Pengertian Hak Atas Tanah

Hak atas tanah dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA tertulis bahwa “(1) Atas

dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah

yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara sendirian maupun secara

bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasalmemberi wewenang

untuk mempergunakan tanah-tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu

pula bumi dan air serta ruang udara di atasnya sekedar diperlukan untuk

kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam

batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih

tinggi.”

Dalam Pasal 16 Ayat (1) UUPA, dengan jelas tertulis macam-macam hak

atas tanah yang dapat dimiliki baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan

orang lain. Hak atas tersebut adalah :

a. Hak milik (Pasal 20 UUPA)

Pengertian hak milik dalam Undang – Undang Pokok Agraria seperti yang

dirumuskan dalam Pasal 20 yang disebutkan dalam ayat 1 Hak Milik

adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang

atas tanah.

b. Hak guna usaha (pasal 28 UUPA)

Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA yang di maksud dengan Hak Guna

Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang di kuasai oleh Negara,

19

Ibid hal. 7

23

dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusaan

pertanian, perikanan, atau perternakan.

c. Hak guna bangunan (pasal 35 UUPA)

Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan

miliknya dalam jangka waktu paling lama 30 tahun, dan dapat

diperpanjang 20 tahun (Pasal 35 UUPA ). Hak guna bangunan diatur

dalam Pasal 35-40 UUPA jo. Pasal 19-38 PP Nomor 40 tahun 1996.

d. Hak Pakai (pasal 41 UUPA)

hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang

dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain dengan jangka waktu

yang tidak tertentu (Pasal 41 UUPA).

1.2 Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah

Pengertian perlindungan hukum terutama bagi rakyat dengan “tindak

pemerintah” sebagai titik sentral, (dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi

rakyat) sehingga dibedakan dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu:

perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif.20

Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan bertumpu

dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep

tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azazi manusia diarahkan

kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan

pemerintah.

Sejalan dengan itu, A.J.Milne dalam tulisannya yang berjudul “ The Idea

of Human Rights” mengatakan : “A regimewhich protects human rights is good,

one which fails to protect them or worse still does not acknowledge their existence

is bad”. Dengan demikian dalam usaha merumuskan prinsip-prinsip perlindungan

hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep

dan deklarasi tentang hak-hak azazi manusia. Dalam hal ini diuraikan tentang

beberapa aspek yang menyangkut konsep dan deklarasi tentang hak-hak azazi

20

Philipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia”, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987 hal 1 - 2.

24

manusia, yaitu:istilah, perkembangan konsep tentang hak-hak azazi manusia,

deklarasi tentang hak-hak azazi manusia, hak-hak azazi manusia dalam Undang-

Undang Dasar 1945, Pancasila dan hak-hak azazi manusia dan perumusan suatu

daftar hak-hak azazi manusia di Indonesia.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata

lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan

membentengi. Sedangkan perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan,

penjagaan, asilun dan bunker.

Teori perlindungan yang dikemukakan oleh salah satu ahli yaitu Philipus

M. Hadjon, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu

perlindungan hukum represif dan preventif. Perlindungan hukum represif yaitu

perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap

pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan

jenis ini biasanya dilakukan di Pengadilan. Kaitannya dengan perlindungan

hukum represif bertujuan untuk memberikan keadilan dalam proses persidangan

apabila terjadi sengketa hak atas tanah.21

Keberadaan hukum dalam masyarakat sangatlah penting, dalam kehidupan

dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu

menjamin kebebasan dan hak warga, maka mentaati hukum dan konstitusi pada

hakekatnya mentaati imperative. Hak-hak asasi warga harus dihormati dan

ditegakkan oleh pengembang kekuasaan Negara dimanapun dan kapanpun,

ataupun juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau

untuk mengetahui jalannya proses pembuatan kebijakan publik.

Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan

hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip Negara

hukum, yaitu:

1. Perlindungan Hukum yang Preventif

Dibandingkan dengan sarana perlindungan hukum yang represif, sarana

perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan,

21

Ibid hal 11

25

namun akhir-akhir ini disadari pentingnya sarana perlindungan hukum yang

preventif terutama dikaitkan dengan azaz “freies ermessen” (discretionaire

bevoegdheid). Di Belanda terhadap “beschikking” belum banyak diatur mengenai

sarana perlindungan hukum bagi rakyat yang sifatnya preventif, tetapi terhadap

bentuk “besluit” yang lain misalnya “ontwerp-bestemmings plannen”, “ontwerp

streek plannen” (dalam wet op de Ruimtelijk Ordening) sudah diatur sarana

preventif berupa keberatan (inspraak). Dengan sarana itu, misalnya sebelum

pemerintah menetapkan bestemmingplannen, rakyat dapat mengajukan keberatan,

atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.22

Perlindungan

hukum yang preventif perlindungan hukum kepada rakyat yang diberikan

kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemerintah menjadi bentuk yang menjadi definite.

Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan

untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan hukum jenis ini

misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan atau keputusan, rakyat

dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana

keputusantersebut.

Dapatkan dikatakan perlindungan ini memberikan atau mengajukan

keberatan untuk memperoleh suatu bentuk perlindungan hukum yang ada

sehingga dapat mengetahui dirinya mendapatkan perlindungan sebagai pemilik

hak atas tanah yang ada.

2. Perlindungan Hukum yang Represif

Secara garis, sistem hukum di dunia modern terdiri atas dua sistem induk,

yaitu “civil law system” (modern Roman) dan “common law system”. Sistem

hukum yang berbeda melahirkan perbedaan mengenai bentuk dan jenis sarana

perlindungan hukum bagi rakyat yang dalam hal ini sarana perlindungan hukum

represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.23

Sehingga pada dalam perlindungan hukum bagi rakyat yang represif.

Perlindungan hukum yang sifatnya preventif didahulukan dalam urutan uraiannya

22

Philipus M Hudjon, Op.Cit., hal. 3 23

Philipus M Hudjon, Op.Cit., hal. 2-3

26

karena pada hakekatnya dari segi urutan pikir (logika) yang preventif mendahului

yang represif24

Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada

pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan prinsip Negara

Hukum. Jika dikaitkan dengan hak atas tanah sangat erat pada dasarnya adalah

pengakuan hak asasi manusia yang dalam hal ini dirampas oleh suatu individu

yang ingin mennguasai hak secara menyeluruh.

Jadi kalau dilihat dari dua perlindungan hukum diatas jika dikaitkan

dengan pemegang hak atas tanah dapat dilihat bahwa menurut Undang-Undang

No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) bertujuan memberikan pengaturan mengenai

kepemilikan hak atas tanah, agar tercipta keadilan melalui pemberian

perlindungan hukum terhadap orang yang berhak atas tanah. Pasal 23, 32 dan 38

UUPA ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud

agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan Pasal 19

ditujukan kepada pemerintah sebagai suatu intruksi, yang bersifat “rechts-

kadaster” artinya yang bertujuan mnjamin kepastian hukum Menurut Soedikno

Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap

tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu :25

1. Wewenang Umum

Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah

mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga

tubuh bumi dan air dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk

kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu

dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain

yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat 2 UUPA)

2. Wewenang Khusus

24

Ibid hal. 3 25

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta : Liberty, 1999

27

Wewenang yang bersifat Khusus yaitu pemegang hak atas tanah

mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan

macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik

adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan,

wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah mengunakan tanah

hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang

bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah hanya

menggunakan tanah untuk kepentingan perusahaan dibidang pertanian,

perikanan, perternakan, atau perkebunan..

Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang

Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya (UU No 51

PRP 1960) menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak

maupun kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang, dan dapat diancam

dengan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda

sebanyak-banyaknya Rp 5.000 (lima ribu Rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal

6 UU No 51 PRP 1960.

Pasal 6

1.Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 3,4 dan 5, maka

dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan dan/atau

denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah);

a.barangsiapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah,

dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebuaan dan hutan

dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat 1;

b.barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam

menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;

c.barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan

atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 atau sub b

dari ayat 1 pasal ini;

d.barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan

perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat 1 pasal ini.

28

Perlindungan hukum kepemilikan tanah rakyat diatur dalam UU nomor 39

Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM):

Pasal 2 tentang pengakuan dan perlindungan negara terhadap HAM

Pasal 6 ayat (1) dan (2) tentang pengakuan dan perlindungan hak

ulayat;

Pasal 29 ayat (1) tentang perlindungan terhadap hak milik;

Pasal 36 ayat (1) dan (2) tentang hak milik sebagai hak asasi dan

jaminan tidak adanya perampasan secara sewenang-wenang atas

hak miliknya;

Pasal 37 ayat (1) tentang syarat mencabut hak milik adalah untuk

kepentingan umum, dengan pemberian ganti rugi dan harus

berdasarkan UU; menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak

mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh

diambil alih secara sewenang-wenang oleh si apapun.”.

B. Hasil Penelitian

Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan

yang terdiri dari Kasus Posisi No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml meliputi : para pihak,

duduk perkara, pertimbangan hakim dan putusan hakim.

B.1 Kasus Posisi

Pada kasus posisi akan disajikan mengenai kasus yang akan dibahas.

Untuk itu kita perlu tau siapa saja yang terlibat dalam kasus posisi ini antara lain:

a. Para Pihak yang berperkara dalam hal ini Penggugat dan Tergugat

b. Duduk Perkaranya guna untuk mengetahui permasalahan yang ada

c. Selanjutnya mengenai putusan hakim Pengadilan mulai dari

Pengadilan Negeri sampai Pengadilan Tinggi

d. Bagaimana proses pelaksanaan eksekusi dilakukan atau dijalankan

B.1.a Pihak-Pihak yang Berperkara

Dalam hal ini identitas pihak-pihak yang berperkara antara penggugat dan

terguggat adalah sebagai berikut

29

Dalam kasus perdata ini sebagai Penggugat adalah Gereja Pantekosta di

Indonesia (GPdI) di Pemalang, diwakili kuasanya Pdt Hengky Tohea yang

bertempat tinggal atau beralamat di jalan Dr. Cipto Mangunkusumo No. 35

Pemalang. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus yang tertanggal pada 7 April 2003

No.0.021/SMD.VII/IV/2003 dari Pdt G.A.Pandjaitan S.Th, Sekretaris Majelis

Daerah VII Gpdi Jawa Tengah, selanjutnya disebut penggugat.

Dalam kasus perdata ini sebagai Tergugat adalah (1) Ronny Rempen

pekerjaan pendeta, bertempat tinggal di Jalan Teratai No. 12 Kelurahan Pelutan,

Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang sebagai Tergugat I, (2) Eny Ester

pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jalan Teratai No. 12 Kelurahan

Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang sebagai Tergugat II.

B.1.b Duduk Perkaranya

Dalam hal ini akan disajikan beberapa mengenai duduk perkara dalam

kasus No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah sebagai berikut:

- Bahwa dahulu kurang lebih Tahun 1963 di Desa Pekunden, Pelutan,

Pemalang telah didirikan bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia

diatas tanah seluas kurang lebih 190 M2 yang kemudian dikenal

setempat dengan nama Jalan Teratai No. 12 Pemalang

- Bahwa pada waktu itu yang menjabat pendeta Gereja Pantekosta di

Indonesia dimaksud adalah Pendeta Mohamad Sangid Zacheus

- Bahwa kemudian Gereja Pantekosta di Indonesia tersebut mendapat

bantuan dari seorang donatur bernama Uung Bintoro ( Pemilik Toko

Basa Putra ) bermaksud memperluas lokasi gereja dimaksud dengan

membelikan tanah sebanyak 2 (dua) yang berdekatan dengan gereja

tersebut.

- Bahwa dalam transaksi jual beli ini dari pihak Gereja Pantekosta di

Indonesia dikuasakan kepada pendeta Mohamad Sangid Zacheus,

sedangkan uang yang untuk membayar kedua bidang tanah tersebut di

atas adalah dari Uung Bintoro (pemilik took Basa Putra Pemalang)

untuk diwakafkan pada Gereja Pantekosta dimaksud

30

- Bahwa jumlah tanah-tanah Aset Gereja Pantekosta di Indonesia

seluruhnya adalah: 190 M2 + 205 M2 + 165 M2 = 560 M2,

selanjutnya disertifikatkan dengan sertifikat Hak Milik No. 1885 atas

nama MOHAMAD SANGID ZACHEUS dengan alasan gereja tidak

dapat memilik tanah dimaksud

- Bahwa mengingat pada tanggal 22 Maret 1990 Pendeta Mohamad

Sangid Zacheus beserta istrinya Linawati Zacheus menyerahkan

sebidang tanah beserta bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia

Pemalang, yang dikenal setempat dengan nama jalan Teratai No.12

Pemalang (termasuk Rumah Dinas Pastorinya) yang tercatat dalam

sertifikat Hak Milik No. 1886 atas nama Muhamd Sangid Zacheus

diserahkan kepada Gereja Pantekosta di Indonesia Pemalang. Sebagai

akta perjanjian penyerahan hak No. 51 tertanggal 22 Maret 1990 yang

dibuat oleh notaris Liliek Soedarsono Wirono, S.H

- Bahwa Mohamad Sangid Zacheus dan istrinya bernama Linawati

Zacheus kini keduanya telah meninggal dunia

- Bahwa Tergugat I Ronny Rempen menempati gereja tersebut dan

rumah dinas tanpa ijin atau sepengetahuan Majelis Daerah VII Jawa

Tengah Gereja Pantekosta di Indonesia

- Bahwa Tergugat Ronny Rempen adalah bukan pendeta Gereja

Pantekosta di Indonesia Pemalang tetapi saat itu menjabat pendeta

GPdI Petarukan Kabupaten Pemalang, yang seharusnya para tergugat

beserta keluarganya menempati rumah pastori pada GPdI Petarukan

- Bahwa atas sikap dan perbuatan para tergugat yang menempati,

menguasai dan memakai 2 (dua) bangunan rumah pastori gereja

Pantekosta di Indonesia di Jalan Teratai No. 12 Pemalang adalah

perbuatn melwan hukum.

- Bahwa oleh karena Para Tergugat tetap bersikap keras kepala untuk

menempati, menguasai dan memakai tanah-tanah asset gereja berikut

bangunan rumah pastori tersebut diatas maka satu-satunya jalan

penyelesaian harus melalui proses hukum yaitu mengajukan gugatan

Perdata pada Pengadilan Negeri Pemalang yang berwenang

31

B.1.c Putusan Hakim Pengadilan Negeri Pemalang

Dalam Eksepsi menolak eksepsi Para Tergugat tersebut. Dalam pokok

perkara : mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menghukum Para

Tergugat atau siapapun juga yang menerima hak dari padanya untuk segera

menggosongkan dan menyerahkannya kepada Penggugat dalam keadaan bebas

yaitu 2 (dua) bidang tanah berikut bangunan rumah Pastori Gedung Gereja

Pantekosta di Indonesia dalam keadaan sempurna, dan menolak gugatan

Penggugat selebihnya. Dalam Rekonpensi menolak gugatan Penggugat

Rekonpensi untuk seluruhnya. Dalam Konpensi dan Rekonpensi menghukum para

Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekonpensi untuk membayar biaya yang timbul

dalam perkara ini, yang hingga kini ditaksir sebesar Rp. 138.000,-

B.1.d Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Semarang

Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus peradilan perdata

pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Semarang terdiri dari 3 (tiga) orang,

yaitu H. Sudibyo K Hardjono, SH, sebagai Hakim Ketua Majelis, Ny Vitalien M,

SH, dan H. Soekarno Moelyo, S.H., sebagai Hakim Anggota. Majelis Hakim ini

melalui rapat permusyawaratan majelis hakim telah mengambil keputusan untuk

kasus ini yang dituangkan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tanggal 30

Agustus 2004 Nomor: 118/Pdt/2004/PT.Smg. Secara ringkas Putusan Pengadilan

Tinggi Semarang tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Mengabulkan gugatan Pengugat sebagaian

2) Menyatakan para Tergugat menempati menguasai dan memakai tanah dan

bangunan permanen pastori yang menjadi satu dengan bangunan Gereja

Pantekosta dengan ukuran 10m x 5m yang terletak dan dikenal dengan Jalan

Teratai No.12, Kelurahan Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang

adalah tanpa alas hak dan bertentangan dengan hukum

3) Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya

Dalam Rekonpensi menolak gugatan Penggugat dalam Rekonpensi untuk

seluruhnya dan dalam Konpensi dan Rekopensi menghukum para Tergugat dalam

Konpensi/ para Penggugat dalam Rekonpensi secara tanggung renteng untuk

32

membayar ongkos perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat

pertama sebesar Rp. 138.000,- dan dalam tingkat banding sebesar Rp. 350.000,-

Berkaitan uraian diatas maka pada hari Selasa tanggal 19 April 2005,

Bambang Sugijantoro SH Panitera Pengadilan Negeri Pemalang atas perintah

Ketua Pengadilan Negeri Pemalang dengan surat penetapannya tertanggal, 8 April

2005 Nomor:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, dalam perkara perdata Nomor:

08/Pdt.G/2003/PN.Pml

B.1.e Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang

No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml

Pada bagian ini diuraikan mengenai proses pelaksanaan Putusan

Pengadilan Negeri Pemalang No 08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Dalam uraian ini akan

dipaparkan tentang pihak yang hadir dalam eksekusi, kendala yang ada dalam

pelaksanaan eksekusi tersebut.

Sebelum eksekusi dilakukan atas dasar Putusan Pengadilan Negeri

Pemalang Nomor: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml yang sah dan mepunyai kekuatan

hukum tetap karena itu Panitera Pengadilan Negeri Pemalang atas perintah Ketua

Pengadilan Negeri Pemalang mengeluarkan surat penetapannya tertanggal 8 April

2005 Nomor:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dalam putusan perkara perdata

Nomor:08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Kemudian kepada mereka dalam hal ini para

pihak yang kalah Panitera memberitahukan tentang maksud dan kedatangan

panitera sambil memperlihatkan dan membacakan Surat Penetapan Ketua

Pengadilan Negeri Pemalang yaitu untuk melaksanakan putusan Pengadilan

Negeri Pemalang Jo.Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut diatas secara

paksa dengan melakukan pengosongan dan menyerahkan obyek sengketa yaitu

tanah dan bangunan permanen pastori yang menjadi satu dengan Gereja

Pantekosta yang dikuasai.

Keduanya dalam ini saksi (Suma’un SH dan Bagiyo) dan pegawai

Pengadilan Negeri Pemalang dengan dibantu oleh petugas-petugas Polsek

Pemalang, Koramil Pemalang, Kepala Wilayah Kecamatan Pemalang dan Kepala

Kelurahan Pemalang. Telah datang ke lokasi tanah obyek sengketa di kelurahan

33

Pelutan Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang guna melaksanakan Putusan

Pengadilan Negeri Pemalang tertanggal 2 Oktober 2003 Nomor:

08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.putusan Pengadilan Tinggi Semarang tertanggal 30

Agustus 2004 Nomor: 118/Pdt/2004/PT.Smg yang telah berkekuatan hukum tetap

Karena para pihak yang berperkara tidak mengajukan upaya hukum kasasi dalam

tenggang waktu sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.

Selanjutnya pelaksanaan eksekusi dilakukan pada tanggal 19 April 200526

. Eksekusi itu dihadiri atau disaksikan oleh yang pertama Pdt Hengky Tohea

sebagai Penggugat, yang kedua dua orang saksi yang telah dewasa, cakap dan

dapat dipercaya masing-masing bernama: (1) Suma’un, S.H, (2) Bagiyo keduanya

Pegawai Pengadilan Negeri Pemalang, dan yang ketiga Panitera Pengadilan

Negeri Pemalang Bambang Sugijantoro S.H serta dibantu oleh petugas dari

Polsek Pemalang. Juga dihadiri oleh pihak yang kalah yaitu Ronny Rempen dan

Eny Ester

Saat eksekusi dijalankan timbul perlawanan dari pihak yang kalah (Ronny

Rempen dan Eny Ester) serta dihadang para jemaat yang pada waktu memblokade

jalannya eksekusi.27

Dikarenakan jemaat merasa keberatan dengan apa yang

dilakukan oleh para pihak yang ada atau ikut menyaksikan eksekusi tersebut. Para

jemaat justru mempertahankan keberadaan Ronny sebagai pendeta di gereja GPdI,

sebab mereka sudah bersama-sama selama puluhan tahun.

Pihak Rony menyatakan bahwa eksekusi yang dilaksanakan adalah adalah

tidak sah. Dia beranggapan bahwa gereja tersebut adalah miliknya, dalam hal ini

adalah Eny Ester, karena Eny Ester mendapatkan warisan dari orang tuanya.

Sebagai termohon eksekuasi, Eny Ester telah dipanggil secara patut oleh Jurusita

Pengadilan Negeri Pemalang agar supaya datang di Kantor Pengadilan Negeri

Pemalang dalam jangka waktu 8 (delapan) hari terhitung sejak tegoran

(Aanmaning) diberikan, agar supaya dengan sukarela ini melaksanakan putusan

Pengadilan Negeri Pemalang Nomor: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml, yakni

26

Wawancara dengan Panitera Pengadilan Negeri Pemalang, 10 Desember 2016 27

Wawancara dengan Pendeta Hengky Tohea, 10 Desember 2016

34

mengosongkan bangunan serta menyerahkan bangunan gereja yang menjadi

sengketa kepada pihak gereja yang dinyatakan dalam putusan tersebut sebagai

pihak yang berhak atas tanah bangunan yang bersangkutan.

Atas tegoran (Aanmaning) yang dilayangkan oleh Pengadilan Negeri

Pemalang, dalamkenyatannya pihak Rony tidak melaksanakan dengan sukarela

dan tetap membangkang tidak bersedia melakukan pengosongan dan

menyerahkan tanah dan bangunan yang menjadi obyek sengketa kepada pihak

gereja yang telah ditetapkan sebagai pihak berhak.

Oleh karena kondisi pada saat itu, dengan pertimbangan bahwa jika

dilakukan pemaksaan untuk pengambil alihan tanah dan bangunan gereja tersebut,

maka para jemaat gereja tidak lagi lagi mempunyai tempat untuk melakukan

ibadah. Oleh karena itu demi kepentingan para jemaat gereja, maka eksekusi tidak

dilaksanakan. Bahkan sampai saat ini dengan pertimbangan untuk kepentingan

jemaat pihak gereja sebagai pihak yang berhak tidak lagi mempersoalkan tentang

penguasaan tanah dan bangunan gereja. Bahkan secara tegas Pendeta Hengky

Tohea menyatakan bahwa “ Perlu digaris bawahi bahwa mengalah bukan berarti

pihak yang menang mengikhlaskan begitu saja pemilikan tanah dan bangunan

gereja untuk Rony, akan tetapi demi kepetingan jemaat yang ibadah ditempat

tersebut. Jika dilihat lagi seharusnya pihak yang menang dapat menempati tempat

tersebut juga untuk melakukan ibadah yang sama”. 28

C. ANALISIS

Pada sub-bab ini dilakukan analisis sesuai dengan permasalahan hukum

yang menjadi fokus pembahasan terhadap Kasus Peradilan Perdata yang diperiksa

dan diadili, baik pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Pemalang dan tingkat

banding di Pengadilan Tinggi Semarang. Analisis dititik beratkan pada tinjauan

kesesuaian antara proses dan mekanisme pelaksanaan eksekusi yang terjadi

dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penegakan hukum merupakan rangkaian

proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang abstrak yang menjadi sebuah tujuan

28

Ibid

35

hukum yang konkrit.29

Kemudian, sesuai dengan rumusan masalah yang

dikemukakan dalam Bab sebelumnya, maka analisis dan pembahasan yang

dilakukan terhadap (dua) pokok permasalahan, yaitu uraian kendala-kendala

dalam pelaksanaan putusan eksekusi, serta upaya yang hukum yang dapat

dilakukan oleh pemegang hak atas tanah.

C.1. Pelaksanaan Putusan Eksekusi Perkara Dengan Nomor :

08/Pdt.G.2003/PN.Pml

Jika dilihat dari sisi yuridis, putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor :

08/Pdt.G/2003/PN.Pml sudah sah dan memenuhi syarat untuk dilaksanakan.

Adapun syarat tersebut adalah :

1. Putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap

Putusan PN Pemalang No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml, : “menyatakan bahwa

sebidang tanah yang terletak di Jalan Teratai No.12 Kelurahan Pelutan,

Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang, sertifikat Hak Milik No.

1887 atas nama Mohamad Sangid Zacheus adalah sah milik Gereja

Pantekosta di Indonesia di Pemalang” telah memenuhi syarat untuk

dieksekusi, Karena pada faktanya pihak Ronny tidak melakukan upaya

hukum banding. Sebenarnya hukum telah memberikan peluang bagi

Ronny untuk melakukan perlawanan jika ia tidak menerima putusan PN

Pemalang yakni dengan melakukan banding. Akan tetapi kesempatan ini

tidak digunakan oleh Ronny.

Perlawanan mengandung makna menentang sesuatu sampai hasil akhir

yang pasti dalam bentuk menang ataupun kalah. Seolah-olah putusan atau

penetapan yang dikeluarkan pengadilan tidak disetujui akan tetapi tidak

menginginkan suatu penyelesaian yang pasti. Perlawanan (verzet)

merupakan upaya perlawanan langsung datang dari pihak yang kalah

dalam sidang pengadilan karena merasa dirugikan atas keputusan hakim

yang telah dijatuhi oleh hakim.

Tujuan dari perlawanan terhadap eksekusi adalah sebagai berikut :

29

Satjipto Rahardjo, “Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis”, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 1

36

a. Untuk menunda.

Penundaan eksekusi disebut bersifat dan merupakan tindakan hukum yang

“sangat eksepsional”, karena tindakan penundaan eksekusi

“menyingkirkan” ketentuan umum hukum eksekusi. Menurut syarat dalam

eksekusi umum yang berlaku:

Pada setiap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap telah melekat kekuatan eksekutorial;

eksekusi atas Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya; dan

yang dapat menunda eksekusi hanya perdamaian.

b. Membatalkan eksekusi dengan jalan menyatakan putusan yang

hendak dieksekusi tidak mengikat.

Alasan-alasan hukum dan fakta yang dapat dijadikan dasar untuk

menyatakan eksekusi tidak dapat dijalankan. Dengan kata lain selama

dalam Putusan Hakim belum memperoleh kekuatan hukum tetap,

maka upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi dan tidak

mengikat.

2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Ronny tidak menjalankan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang

No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml secara sukarela, oleh karena itu maka pihak

gereja meminta penetapan untuk pelaksanaan eksekusi Putusan

PN.No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Atas permohonan penetapan tersebut

maka pada tanggal 8 April 2005 dikeluarkannya Penetapan Eksekusi

Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml oleh Ketua Pengadilan Negeri

Pemalang. Atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Pemalang, maka

Panitera Pengadilan Negeri Pemalang membuat Berita Acara Eksekusi

No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml

3. Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah

Putusan yang bersifat Condemnatoir

37

Putusan Condemnatoir merupakan putusan yang bisa dilaksanakan, yaitu

putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum

untuk melakukan sesuatu.

Mengenai bukti bahwa Putusan PN Pemalang No: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml

bersifat condemnatoir adalah berdasar pada isi putusan tersebut yakni

;” menghukum Para Tergugat atau siapapun juga yang mnerima hak dari

padanya untuk segera mengosongkan tanah beserta bangunan tersebut

dalam keadaan baik dan tanpa beban apapun, untuk kemudian diserahkan

kepada Penggugat apabila perlu dengan bantuan alat Negara/POLRI hal

ini serupa dengan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang

118/Pdt/2004/PT.Smg”.

Dari putusan tersebut nampak bahwa ada penghukuman yang dijatuhkan

kepada Ronny untuk mengosongkan tanah dan bangunan yang menjadi

obyek sengketa dan menyerahkan kepada penggungat ( pihak gereja ).

4. Eksekusi dibawah perintah dan dibawah pimpinan Pengadilan Negeri

Bukti bahwa eksekusi itu dibawah Perintah Pimpinan Pengadilan Negeri

Pemalang dengan melihat pada Penetapan No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml

yang isinya :

a. memerintahkan kepada Panitera Negeri Pemalang atau jika ia

berhalangan dapat diganti oleh wakilnya yang sah dengan dibantu oleh

2(dua) orang saksi yang telah dewasa cakap dan dapat dipercaya untuk

melaksanakan bunyi Putusan Pengadilan Negeri Pemalang tanggal 2

Oktober 2003 Nomor:08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.Putusan Pengadilan

Tinggi Semarang tanggal 30 Agustus 2004

Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg, yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap secara paksa dan bilamana perlu dengan bantuan alat kekuasaan

negara,

b. memerintahkan pula agar pekerjaan ini segera dilaksanakan.

Perlu ditambahkan bahwa eksekusi tersebut sudah terpenuhi dengan

adanya tata cara pelaksanaan eksekusi sebagai berikut:

38

a. permohonan pihak yang menang

pihak yang menang (Gereja diwakilkan oleh Pdt. Hengky Tohea)

dalam hal ini sudah mengajukan permohonan pengajuan eksekusi

kepada Ketua Pengadilan Negeri Pemalang.

b. Penaksiran biaya eksekusi

Biaya eksekusi seterusnya ditanggung oleh pihak yang kalah dalam

Pengadilan.

c. Melaksanakan peringatan

Pengadilan sudah memberikan peringatan terhadap pihak yang kalah

untuk melaksanakan eksekusi. Dasar Penetapan Pengadilan Negeri

Pemalang No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, akan tetapi pihak Ronny tidak

mau memperdulikan peringatan tersebut.

d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi

Atas dasar Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor:

08/Pdt.G/2003/PN.Pml dan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor:

118/Pdt/2004/PT.Smg maka dikeluarkannya surat Penetapan

Pengadilan Negeri Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dan Berita Acara

Eksekusi Nomor: 02/Pdt.Eks/PN.Pml

Secara dari sisi yuridis yang ada putusan Pengadilan Negeri Pemalang

No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tanggal

30 Agustus 2004 Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg, putusan tersebut sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap, seharusnya pihak yang kalah (Ronny)

menghormati putusan tersebut dan melaksanakan secara suka rela. Akan

tetapi ternyata tidak sebagaimana mestinya yang diharapkan, oleh karena itu

melalui surat Penentapan Ketua Pengadilan Negeri Pemalang Nomor:

02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dilaksanakan eksekusi dibawah perintah Ketua

Pengadilan Negeri Pemalang. Walaupun demikian eksekusi tidak dapat

dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan karena adanyan kendala baik

internal maupun ekternal. Dimaksud dengan kendala internal adalah ialah

39

kendala yang berasal dari pihak dalam perkara, sedangkan dimaksud dengan

kendala eksternal adalah kendala yang berasal dari luar pihak yang

berperkara.

Dibawah ini diuraikan kendala tersebut sebagai berikut:

1. Kendala Internal

Dalam pelaksanaan pada Penetapan Pengadilan Negeri Pemalang

No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml atas putusan eksekusi perkara perdata No:

08/Pdt.G/2003/PN.Pml, tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya

karena ada perlawanan dari Ronny. Adapun alasan Ronny mengadakan

perlawanan atas pelaksanaan eksekusi adalah bahwa ia masih berpendapat

tanah dan bangunan gereja tersebut adalah warisan dari mertuanya. Oleh

karena itu ia merasa sah menenpati rumah yang menjadi obyek sengketa.

Tindakan Rony menurut penulis adalah tidak benar, mengingat bahwa

putusan tentang obyek sengketa telah mempunyai kekuatan hukum tetap

dengan ditolaknya upaya hukum banding yang dilakukan oleh Rony dengan

putusan Pegadilan Tinggi Semarang pada tanggal 30 Agustus 2004

Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg. Dengan ditolaknya banding oleh Pengadilan

Tinggi maka secara yuridis bahwa tanah obyek sengketa adalah milik

gereja. Terlebih lagi dengan adanya surat yaitu berupa Penetapan Nomor:

02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml. dan dengan adanya juga Berita Acara Eksekusi

Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml.

Dari sisi yuridis tindakan Ronny dengan tidak meninggalkan rumah

obyek sengketa adalah bertentangan dengan UU No. 51 PRP Tahun 1960

Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau

Kuasanya. Artinya bahwa jika Ronny tetap menempati atau tinggal di rumah

obyek sengketa, maka secara hukum ia menempati rumah tanpa ijin pihak

yang berhak, oleh karena itu dapat juga dikenai dengan sanksi hukum

sebagaimana diancamkan dalam UU No. 51 PRP Tahun 1960 yaitu Tentang

Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya

Perlawanan atas pelaksanaan eksekusi ini jelaslah tidak mendasar,

mestinya Ronny bisa menggunakan upaya yang disediakan oleh hukum

40

untuk melakukan perlawanan sebelum putusan inkracht, yaitu melalui upaya

banding, kasasi sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum tetap

(inkracht).

Disamping itu menurut penulis menjadi kendala internal juga yakni

dari gereja sendiri adalah memperbolehkan penggunaan gereja untuk ibadah

bagi jemaat Rony dengan alasan perikemanusiaan. Dimaksudkan disini

adalah bahwa akhirnya gereja tidak mempermaslahkan tidak diserahkannya

rumah obyek sengketa dengan alsan perikemanusiaan, yakni dengan

memeprtimbangkan umat gereja tersebut, karena jika gereja berkeras untuk

melaksanakan putusan tersebut, maka umat tidak akan mempunyai tempat

untuk melaksanakan ibadahnya. Gereja sadar bahwa dengan Pengadilan

Negeri Pemalang yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah

memutuskan bahwa gereja pemilik yang sah dari rumah obyek sengketa.

Disini bukan berarti tanah dan bangunan gereja menjadi milik Ronny,

Ronny dapat menguasai tempat tersebut dikarenakan gereja sekali lagi

mempertimbangkan alasan kemanusiaan tersebut.

2. Kendala External.

Dimaksud dengan kendala external adalah kendala dalam pelaksanaan

eksekusi putusan pengadilan yang berasal dari luar, yakni dari pihak diluar

pihak yang berperkara.

Dalam pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No:

08/Pdt.G/2003/PN.Pml yang ditetapkan eksekusinya berdasarkan

Penetapan Ketua Pengadilan negeri Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dan

Berita Acara Eksekusi Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, sempat terjadi

perlawanan dari luar pihak yang berperkara. Perlawanan sempat terjadi

dimana saat proses eksekusi pihak yang kalah melakukan perlawanan

dengan membuat barisan untuk menghadang pelaksanaan eksekusi.

Terjadi penghadangan oleh umat gereja sebagai pendukung tergugat Rony.

Penghadangan oleh umat pendukung Rony dimaksudkan agar supaya tidak

dilakukan eksekusi terhadap obyek sengketa, karena dikhawatirkan jika itu

terjadi, maka mereka tidak dapat melakukan ibadah dan penghadangan itu

merupakan tindakan pembelaan terhadap pendetanya. Oleh sebab itu pihak

41

yang merasa menang kecewa dengan sikap yang dilakukan oleh para pihak

yang kalah sehingga memunculkan suatu argument bahwa gereja tersebut

tidak boleh untuk dieksekusi.

Tindakan umat yang melakukan penghadangan terhadap para pejabat

yang akan melakukan eksekusi adalah tidak benar secara hukum.

Apabila dalam pelaksanaan eksekusi mendapat perlawanan dari pihak-

pihak tertentu, maka seharusnya pihak yang mewakili Pengadilan Negeri

terkait dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana dengan berdasar

pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:30

Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang

selengkapnya berbunyi demikian:

“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan

melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yag sah, atau

orang yang waktu itu menurut kewajiban undang-undang atau atas

permintaan pejabat yang bersangkutan sedang membantunya, diancam

karena melawan pejabat dengan pidana penjara paling lama satu tahun

empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah.”

Pasal 216 ayat (1) KUHP, yang selengkapnya berbunyi demikian:

“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan

yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya

mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat yang tugasnya atau yang diberi

kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana, demikian pula

barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau

menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang

yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan

pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda

paling banyak sembilan ribu rupiah.”

Jika ada yang menghalangi atau menunda eksekusi maka sesuai

dengan Undang-Undang No. 51 PRP Tahun 1960 yang berlaku Tentang

Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya dalam

Pasal dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, maka dapat dipidana dengan

30

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt573bf3aac86cc/langkah-hukum-jika-eksekusi-

dihalang-halangi-pihak-lawan

42

hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan dan/atau denda

sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah)

Demikian juga menurut Kitab Hukum Perdata juga bisa dikenakan

Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi : ” Tiap perbuatan melawan hukum,

yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang

karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Dimana saat eksekusi tersebut Ronny dan umatnya melakukan perbuatan

melawan hukum berupa perlawanan untuk menghalangi eksekusi putusan

Pengadilan Negeri yang telah mememenuhi syarat untuk dieksekusi. Dari

sisi yuridis dengan menghalangi eksekusi atau menunda eksekusi dapat

mengakibatkan pihak yang menang merasa dirugikan dikarena tidak dapat

menempati kemudian tempat tersebut tidak terawat dengan baik sehingga

menimbulkan kerugian yang diderita.

C.2 Tindakan Hukum Yang Dapat Diambil Gereja Agar Menempati Hak Tanah

Sengketa .

Berkaitan dengan analisis sebagaimana tersebut diatas, nampak bahwa

secara yuridis berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No No:

08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah pihak yang berhak atas tanah sengketa. Selanjutnya

atas putusan tersebut telah dilaksanakan eksekusi berdasarkan Penetapan Ketua

Pengadilan Negeri Pemalang No 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, akan tetapi tidak dapat

terlaksana karena beberapa kendala yang ada. Dengan demikian maka secara

hukum pihak gereja seharusnya dapat menguasai dan memanfaatkan tanah yang

bersangkutan karena secara yuridis telah terbukti sebagai pemilik. Pihak gereja

sebagai pemegang hak, secara hukum akan medapat perlindungan hukum.

Perlindungan hukum dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut :

Pada Alinea ke empat Pemukaan UUU 1945 yang menyebutkan bahwa

“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Secara

teoritik, aline ke empat pembukaan UUD 1945 telah menentukan suatu teori

perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia termasuk perlindungan

hukum terhadap pemegang hak atas tanah.

43

Upaya Pemerintah untuk memberikan suatu jaminan akan adanya kepastian

hukum atas kepemilikan tanah bagi seseorang ialah dengan dilakukannya suatu

pendaftaran hak atas tanah sebagaimana rumusan Pasal 19 UUPA, yang

mengamatkan bahwa demi kepastian hukum akan pemilikan hak atas tanah, maka

setiap pemegang hak atas tanah wajib melakukan pendaftaran tanah. Amanat ini

kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya PP No 10 Tahun 1960 tentang

Pendaftaran Tanah yang telah dicabut dengan adanya PP No 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah.

Salah satu peraturan pelaksaana dari UUPA berkaitan dengan perlindungan

terhadap pemegang hak atas tanah adalah dengan dikeluarkannya Undang-

Undang No. 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin

Yang Berhak Atau Kuasanya dinyatakan bahwa :

- Apa yang diatur dalam Pasal 6 menyatakan bahwa : dengan tidak

mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 3, 4 dan 5, maka dapat

dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan

dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah:

- a. barangsiapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya

yang sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah

perkebuaan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan

menurut pasal 5 ayat 1;

- b. barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di

dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;

- c. barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan

dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud

dalam pasal 2 atau sub b dari ayat 1 pasal ini;

- d. barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk

melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat 1

pasal ini;

- 2. Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan

oleh Menteri Agraria dan Penguasa Daerah sebagai yang

dimaksud dalam pasal 3 dan 5 dapat memuat ancaman pidana

dengan kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau

44

denda sebanyak-banyakrrya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah)

terhadap siapa yang melanggar atau tidak memenuhnya.

- 3. Tindak pidana tersebut dalam pasal ini adalah pelanggaran.

Jelas dari penjelasan diatas merupakan beberapa contoh dari sanksi

pidana yang diberikan oleh Undang-Undang No. 51 PRP Tahun 1960 yang

mencantumkan dengan tegas masalah pidana bagi orang yang membantu

untuk menguasai tanah tersebut tanpa adanya ijin dari pihak-pihak yang

berkaitan.

Jika mengkaitkan dalam sebuah Hak Azazi Manusia yang ada dalam

mengenai perlindungan hukum dapatkan dikatakan bahwa HAM juga

mengatur mengenai perlindungan hukum yang diberikan. Secara filosofi,

yuridis dan sosiologis perlindungan hak-hak atas tanah mengacu kepada

konsepsi hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Bab

XA dinyatakan bahwa :

- Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat dan hak milik (Pasal 23).

- Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal

32).

- Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia

menjadi tanggung jawab pemerintah (Pasal 43)

Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan

bahwa :

- Setiap orang berhak atas pengeluaran, jaminan, perlindungan dan

perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan

perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 3 ayat 2).

- Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan hal miliknya (Pasal 29 ayat 1).

45

- Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-

wenang dan secara melawan hukum (Pasal 36 ayat 2)

Jika dilihat pasal demi pasal yang berkaitan dengan Hak Asasi

Manusia yang berhubungan dengan perlindungan yang diberikan pemegang

hak atas tanah dapat dikatakan bahwa pengaturan sudah tegas ada dalam

beberapa pasal yang dicantumkan diatas yakni Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 36

ayat (2) dapat disimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut merupakan bagian

dari perlindungan hukum dalam Hak Asasi Manusia.

Demikian juga lebih lanjut terhadap pihak berhak mendapatkan

perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam HIR ( Het Herzine

Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848, yang

berkaitan dengan eksekusi putusan yakni :31

Pasal 195 HIR

Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh

keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan

alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak

lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah

selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang

dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada

menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan

putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat

dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum

untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan

karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat

dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

Pada prinsipnya, dalam perkara perdata pelaksanaan putusan pengadilan

dilakukan oleh pihak yang dikalahkan. Akan tetapi, terkadang pihak yang

kalah tidak mau menjalankan putusan secara sukarela, sehingga pihak yang

31

https://mirdinatajaka.blogspot.co.id/2014/11/dasar-hukum-eksekusi-sukarela-dan.html

46

menang dapat meminta bantuan pihak pengadilan untuk memaksakan

eksekusi putusan tersebut

Pasal 196 HIR:

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi

keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan

permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua

pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat

menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang

dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di

dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan

hari.

Jika setelah jangka waktu yang telah ditetapkan, putusan masih juga tidak

dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan memerintahkan agar disita barang-

barang milik pihak yang kalah sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah

uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua

biaya untuk menjalankan keputusan itu.

Pasal 197 HIR

Jika sesudah lewat tempo yang telah ditentukan belum juga

dipenuhi putusan itu atau jika pihak yang dikalahkan itu walaupun

telah dipanggil dengan patut tidak juga datang menghadap maka ketua

atau pegawai yang dikuasakan itu karena jabatannya memberi perintah

dengan surat supaya disita sejumlah barang kepunyaan pihak yang

dikalahkan

Pasal 225 HIR

Jika seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan tidak

melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak

yang menang perkara boleh meminta kepada pengadilan negeri dengan

perantaraan ketuanya, entah dengan syarat, entah dengan lisan, supaya

47

keuntungan yang sedianya akan didapatnya jika keputusan itu dilaksanakan,

dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukannya dengan pasti;

permintaan itu harus dicatat jika diajukan dengan lisan.