22
15 BAB II PEMBAHASAN SEKITAR PAILIT A. Ketentuan Umum Tentang Taflis 1. Pengertian Taflis Pailit berarti 'Bangkrut' atau 'Jatuh Pailit'. Dalam Hukum Perdata pailit positif ( peraturan kepailitan: s. 1905-217 jo S. 1906-348), maka pailit mengacu pada keadaan debitur ( bisa orang, badan hukum, perseroan) yang terbukti berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitur telah berhenti membayar hutangnya ( tidak mampu melunasi utang) yang mengakibatkan penyitaan umum atas harta kekayaannya, sehingga debitur tidak berhak lagi mengurus harta bendanya. 1 Taflis atau Iflas ialah banyak hutang dari harta, hingga tak dapat harta itu membayar segala hutang. Hakim boleh mencegah orang yang di hukum Muflis mentasyarufkan hartanya, agar tidak memelaratkan orang- orang yang memberi hutang kepadanya. (mencegah Muflis dari mentasyarufkan hartanya dinamakan “Hajr atau Hijr”) 2 Dalam Fiqh dikenal dengan sebutan Iflaas ( اﻻﻓﻼس): tidak memiliki harta, sedang orang yang pailit disebut Muflis ( اﻟﻤﻔﻠﺲ) dan keputusan hakim yang menyatakan bahwa seorang jajtuh pailit disebut 1 Ensiklopedi hukum Islam, Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hove,cet.1, 1996, Hlm. 1360 2 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam , Jakarta Bulan Bintang, Hlm. 427

Bab II (Hutang)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hutang Bab

Citation preview

15

BAB II

PEMBAHASAN SEKITAR PAILIT

A. Ketentuan Umum Tentang Taflis

1. Pengertian Taflis

Pailit berarti 'Bangkrut' atau 'Jatuh Pailit'. Dalam Hukum Perdata

pailit positif ( peraturan kepailitan: s. 1905-217 jo S. 1906-348), maka

pailit mengacu pada keadaan debitur ( bisa orang, badan hukum,

perseroan) yang terbukti berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitur

telah berhenti membayar hutangnya ( tidak mampu melunasi utang) yang

mengakibatkan penyitaan umum atas harta kekayaannya, sehingga debitur

tidak berhak lagi mengurus harta bendanya.1

Taflis atau Iflas ialah banyak hutang dari harta, hingga tak dapat

harta itu membayar segala hutang. Hakim boleh mencegah orang yang di

hukum Muflis mentasyarufkan hartanya, agar tidak memelaratkan orang-

orang yang memberi hutang kepadanya. (mencegah Muflis dari

mentasyarufkan hartanya dinamakan “Hajr atau Hijr”)2

Dalam Fiqh dikenal dengan sebutan Iflaas ( االفالس ): tidak

memiliki harta, sedang orang yang pailit disebut Muflis ( المفلس ) dan

keputusan hakim yang menyatakan bahwa seorang jajtuh pailit disebut

1 Ensiklopedi hukum Islam, Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hove,cet.1, 1996, Hlm. 1360 2 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam , Jakarta Bulan Bintang, Hlm. 427

16

Tafliis ( التفليس )3

Ulama Fiqh mendefinisikan Taflis:4

مفلسا بمنعه من التصرف في ماله جعل احلاكم المديون

Artinya: “Keputusan Hakim yang melarang seseorang bertindak atas hartanya.”

Dalam syara’, kata pailit itu diucapkan untuk dua makna.

Pertama: apabila hutang itu menghabiskan harta orang yang berhutang

(debitur), sehingga hartanya itu tidak sanggup lagi melunasi hutangnya.

Kedua: jika seseorang itu sama sekali tidak mempunyai harta yang

kongkret.5

Pada keadaan pertama, jika kepailitan itu terlihat oleh penguasa,

maka para Ulama berselisih pendapat: apakah penguasa tersebut dapat

membatasi tindakan orang itu terhadap hartanya, sehingga ia menjualnya

dan membagi-bagikannya kepada kreditur (pemberi hutang) berdasarkan

pertimbangan piutang mereka, ataukah ia tidak boleh bertindak demikian,

melainkan orang itu harus ditahan (dipenjarakan) sehingga ia memberikan

semua hartanya kepada mereka (para kreditur) berdasarkan perimbangan

apa pun yang disepakati dan kepada siapapun juga dari mereka.

Perselisiahan seperti ini juga tergambar pada orang yang

mempunyai harta yang cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, tetapi ia

3 M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam ( Fiqh Muamalah), Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. 1, Hlm. 195 4 Ibid., Hlm 196 5 Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidah Al-Mujtahit, Semarang: Asy-Syifa’ 1990, Cet. 1,

Hlm.332.

17

menolak untuk memperlakukan kreditur-krediturnya dengan baik (yakni

tidak mau melunasi). Sesuai dengan kisah Mu’az bin Jabal yang terlilit

hutang, maka Rosulullah tidak lebih hanya memberikan sisa hartanya

tersebut.6

Al-hajru (pengampuan), yang secara harfiah berarti penyitaan dan

pencegahan, pengampuan atau al-hajru ialah pencegahan terhadap

seseorang dari kemungkian mengelola hartanya. Dan dalam pembahasan

sekripsi ini adalah mengenai pengawasan terhadap hak orang lain

(Muflis).7

Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa penguasa menjual harta

bendanya, kemudian dibagikan kepada para krediturnya, atau pada seorang

krediturnya, jika piutangnya itu suadah lama. Atau orang tersebut

dinyatakan pailit jika harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar

hutangnya, dan dia dilarang melakukan tindakan terhadap harta benda itu.

Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Syafi'i.8 beralasan dengan

hadits Mu'az Bin Jabal ra. Berikut:

سد رهفي ع هنيد كثر هلىإنع اءهمغر زدي فلم لمسه وليلى اهللا عل الله صو

ان جعله لهم من ماله

Artinya: “Sesungguhnya Mu’az bin Jabal banyak hutangnya dimasa Rosulullah saw, maka tidak lebih beliau hanya memberikan

6 Ibid., 7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Isalm Di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2003, Hlm. 136 8 Ibnu Rusdy, op.cit., Hlm.331-332

18

hartanya untuk para krediturnya.9

Golongan kedua, yakni mereka yang berpendapat bahwa

orang tersebut harus dipenjarakan sehingga ia memberikan apa yang

menjadi kewajibannya, atau ia mati dalam penjara, kemudian ia

menjual harta bendanya dan membagi-bagikannya kepada para

kreditur, maka mereka beralasan berdasarkan hadits Jabir bin Abdu’i-

Lah. Yang ketika ayahnya gugur di perang Uhud, ia mempunyai

hutang. Ketika para krediturnya menuntut hutang.10

2. Dasar Hukum Tafliis

Sebagai landasan dasar hukumnya adalah sebuah ruwayat

yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW., menetapkan Mu'az bin

Jabal sebagai seorang yang terlilit hutang dan tidak mampu

melunasinya (Pailit). Kemudian rasul melunasi hutang Mu'az bin Jabal

dengan sisa hartanya. Tetapi yang berpiutang tidak menerima seluruh

pinjamannya, maka diapun melakukan protes kepada Rosulullah.

Prptes tersebut dijawab oleh Rosulullah dan mengatakan:11

اال ذالك لكم سرواه الدا ر القطين واحلاكم(لي(

Artinya: "Tidak ada yang dapat diberikan kepadamu selain itu."

( HR. Daru- Quthni dan Al-Hakim)

9 Ibid., 10 Ibid., 11 M Ali Hasan, op.cit. Hlm. 196

19

Berdasarkan hadits tersebut, Ulama Fiqh telah sepakat

menyatakan bahwa seorang hakim berhak menetapkan seseorang

(debitur) pailit, karena tidak mampu membayar hutangnya dan dengan

sisa hartanya itu hutangnya harus dilunasi.12

3. Syarat-syarat dijatuhkannya kepailitan (Tafliis)

Untuk dapat mengambil harta atau barang jualan yang terdapat

pada orang yang pailit para Ulama berselisih pendapat, tetapi yang

paling mudah untuk bisa melakukan penuntutan atas barang dagangan

yang belum dilunasi, penulis mengambil pendapatnya Mazhab Syafi'i13

:

1. Waktu pembayaran hutang telah jatuh tempo.

2. Debitur enggan membayar hutang.

3. Barang yang menjadi hutang masih ada ditangan debitur.

B. Ketentuan Hukum Tentang Pailit (Taflis)

1. Batasan Muflis

Muflis (orang yang bangkrut), dalam arti bahasa, adalah orang yang

tidak punya harta dan pekerjaan yang bisa menutupi kebutuhannya.

Sedangkan dalam peristilahan para Ulama mazhab adalah orang yang

dilarang oleh hakim (untuk membelanjakan hartanya) karena dia terlilit

hutang yang menghabiskan seluruh hartanya dan bahkan masih kurang,

12ibid., 13 Ibid., Hlm. 201

20

dimana bila seluruh harta yang dimilikinya dibagikan kepada para pemilik

piutang pasti tidak akan mencukupi.14

Mengenai orang yang pailit, maka ada dua macam. Yakni keadaan

pada waktu pailit sebelum diampu dan keadaannya sesudah diampu.15

Tentang Keadaan sebelum diampu, maka Imam Malik berpendapat

bahwa orang pailit tidak boleh menghabiskan (mengeluarkan) sesuatupun

dari harta tanpa imbalan, jika perbuatan tersebut bukan merupakan

perbuatan yang harus dikerjakannya, dan menurut kebiasaan pun tidak

perlu diperbuatnya. Dalam meletakkan syarat “bukan merupakan

perbuatan yang harus dikerjakan”, Imam Malik beralasan bahwa orang

pailit itu boleh mengerjakan apa yang diharuskan oleh Syara’, meski tanpa

imbalan, seperti menafkahi orang tuanya yang miskin atau anak-anak. dan

tentang “apa yang menurut kebiasaan pun tidak perku (harus)

dikerjakan”, bahwa orang tersebut bisa menghilangkan sedikit hartanya

tanpa imbalan, seperti berkorban, membiayai hamba dan sedekah yang

sedikit.16

Menurut Ulama mazhab Maliki, Syafi'I dan hambali, apabila hakim

berpendapat, bahwa debitur dalam keadaan sakit (bukan dibuat-buat) maka

kreditur maka kreditur tidak boleh menuntutnya dan mengawasinya terus-

14 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab: Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'I,

Hambali/Muhammad Jawad Mughniyah, Judul Asli: Al-Fiqh 'ala al-madzhi al-khamsah;penerjemah Masykur A.B ed, Cet. 5, Jaakarta: Lentera, 2000, Hlm. 700

15 Ibnu Rusyd, lok.cit., Hlm. 335 16 Ibid.,

21

menerus, dia harus diberi kebebasan untuk mencari rizki sampai dia

berkelapangan untuk melunasi hutangnya. Sedangkan Ulama mazhab

Hanafi berpendapat apabila ternyata tidak ada lagi harta untuk membayar

hutang kepada kreditur, maka debitur dibebaskan sejalan dengan surat Al

Baqarah 280.17

Kemudian bagaimana dengan kepengurusan harta si pailit, Ka'ab

Ibn Malik ra. Menerangkan:18

وباعه فى دبن , حجر على معاذ ماله: ان النبي ص م, عن كعب بن ملك )رواه الدارقطىن(كان عليه

Artinya: "Bahwasanya Nabi SAW. Mengawasi harta Mu'az Bin Jabal dan menjual kekayaannya untuk melunasi hutangnya." (HR. Ad-Darulquthny).

Maksudnya yang mengawasi adalah curator dan hakim boleh

menjual harta orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya, karena

takut dihabiskan seluruh kekayaannya. Sedangkan Syafi'I, Malik, Abu

Yusuf dan Muhammad, membolehkan penjualan harta debitur atas

permintaan krediturnya. Diriwayatkan oleh Abu Hanifah, bahwa tidak

boleh dilakukan pengawasan terhadap orang yang berhutang, dan tidak

boleh menjual kekayaannya. Si debitur disandera sampai dia melunasi

seluruh hutangnya.19

17 M Ali Hasan, lok.cit. Hlm.199-200 18 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Edisi ke2, Semarang, PT

Pustaka Rizki Putra, Cet.3, 2001, Hlm.151-152 19 Ibid.,

22

Al-Syaukani membolehkan menyita harta orang yang bangkrut

(pailit) untuk membayar hutangnya, sekalipun harta tersebut tidak

memadai untuk membayar hutangnya secara keseluruhan. Pendapanini

juga disandarkan pada kisah Mu'az.20

Jumhur Fuqoha’ yang berpendirian tentang adanya pengampuan

terhadap orang yang pailit mengatakan, bahwa sebelum ada keputusan

tentang kepailitannya, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang

samadengan orang lain.21

Jumhur Ulama berpendapat, bahwa seseorang dapat dinyatakan

pailit setelah mendapat keputusan hakim, dengan demikian segala tindakan

debitur terhadap hartanya, masih dapat dibenarkan. Oleh sebab itu para

Ulama yang mendapat pengaduan harus sesegera mungkin mengambil

suatu keputusan, agar debitur tidakleluasa melakukan aktivitasnya.22

Mengenai kedaan orang pailit sesudah pailit maka Imam Malik

berpendapat bahwa orang tersebut tidak boleh mengadakan penjualan,

pembelian, pengambilan ataupun pemberian. Begitu pula ia tidak boleh

mengaku berhutang atas tanggungan, baik kepada orang dekat maupun

orang jauh, tetapi menurut salah satu riwayat, dikecualikan jika untuk

seorang dari mereka dengan saksi. Sedang menurut riwayat lainnya, Ia

20 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Cet. 1, Jakarta: Logos, 1999, Hlm. 191 21 Ibnu Rusyd, log.cit., 22 M Ali Hasan, lok.cit. Hlm.197

23

boleh mengeluarkan pengakuan (berhutang) terhadap seseorang yang

diketahui mempunyai tagihan atasnya.23

Para Ulama mazhab sepakat bahwa seorang Muflis tidak dilarang

menggunakan hartanya, sebesar apapun hartanya kecuali sesudah adanya

larangan dari hakim. Kalau dia menggunakan seluruh hartanya sebelum

adanya larangan Hakim, maka tindakannya itu dianggap berlaku. Para

piutang dan siapapun tidak berhak melarangnya, sepanjang hal itu tidak

dimaksudkan untuk melarikan diri dari hutang atau menggelapkan hak-hak

orang lain yang ada pada dirinya, khususnya bila tidak ada harapan untuk

bertambahnya penghasilan berdasar kenyataan yang ada.24

2. Pendapat Ulama Tentang Muflis

Barang-Barang Yang Terkena Pailit

Tentang harta yang bisa ditagih oleh penjual (kreditur) dari orang

pailit (debitur), maka hal ini tergantung kepada macam dan kadar

barangnya.

Tentang barang atau benda yang dipertukarkan (dalam jual beli)

yang telah tiada, dan yang karena krediturnya berhak menuntut dari orang

yang mengalami pailit, maka piutangnya menjadi tanggungan orang yang

pailit. Akan halnya jika barang itu sendiri masih ada dan belum musnah,

maka dalam hal ini Fuqoha’ Amshor berselisih dalam empat pendapat:25

23 Ibid., Hlm.335-336 24 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab, op.ci., 25 Ibnu Rusyd, op.cit., Hlm. 337

24

Pertama: Bahwa bagaimanapun juga pemilik barang lebih berhak atas

barang tersebut. kecuali jika ia meninggalkannya dan memilih pembagian

piutang. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Ahmad dan Abu

Tsaur.

Hanafiyah berkata: barang siapa yang bangkrut (Hakim sudah

menyatakan kebangktutannya) sedang ia mempunyai barang milik orang

lain dengan jelas, maka orang yang memiliki harta seperti hutang yang

artinya tidak mempunyai hak atas harta itu dibanding orang-orang yang

hutang lainnya. Apabila bangkrut sebelum memiliki harta tanpa izin

penjual maka ia wajib mengembalikannya dan menahannya dengan harga

dalam keadaan belum dimiliki.26

Selain Ulama Hanafiyah berkata: apabila Hakim sudah menyatakan

kebanhkrutannya, maka salah satu orang yang hutang memperoleh

sebanyak hartanya (membagi harta yang telah dijual kepadanya sejumlah

barang tersebut) maka baginya hak untuk memiliki sebagian. Sesuai

dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang intinya

'barang siapa yang menemukan hartanya pada orang yang pailit maka ia

lebih berhak atas harta tersebut dari pada orang lain'.27

Kedua: Bahwa nilai barang harus dilihat pada saat diputuskan

kepailitannya. Jika nilai tersebut lebih rendah dari harga semula, maka

pemilik barang disuruh memilih antara mengambil barang tersebut atau

26 Wahbah Zuahaili, Fiqh Islami Wa Adilatahu, Juz 5, Darul Fikr, 1984, Hlm. 475 27 Ibid.,

25

ikut dalam pembagian piutang. Sedang apabila nilainya lebih banyak atau

sama dengan harga semula, maka ia mengambil barang itu sendiri.

Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan pengikutnya.

Ketiga: Bahwa barang tersebut harus dinilai pada waktu pailit jika nilainya

sama atau kurang dari harga semula, maka barang tersebut diputuskan

untuknya, yakni si penjual. Tetapi jika nilainya lebih banyak, maka penjual

diberi sebanyak harga semula, kemudian para kreditur mengadakan

pembagian pada kelebihannya. Pendapat ini dikemukakan oleh segolongan

ahli atsar.

Keempat : Bahwa bagaimanapun juga para kreditur itu harus mengikuti

pemilik barang. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan

Ahli Kufah.

Silang pendapat dalam masalah ini berpangkal pada adanya hadits

shahih:

مـن : وعن ايب هريرة رضي اهللا عنه ، عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال ادرك ماله بعينه عند رجل افلس او انسان قد افلس فهو احق به من غيره

)رواه اجلماعة(

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW., ia bersabda: "siapa yang mendapatkan hartanya masih utuh pada seseorag yang pailit – atau seorang manusia yang pailit – maka ia lebih berhak atas barangnya itu daripada orang lain”.” (HR Jama’ah)28

28 Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Hlm 149-150, 2002 Mutiara Hadits,

Hlm.478-479 ,Terjemah Nailul Author 4, Hlm.1800-1801

26

Fuqaha yang memegangi hadits tersebut berselisih pendapat

tentang, apabila penjual telah menerima sebagian harga barang tesebut.

Imam Malik berpendapat bahwa jika ia suka, maka ia boleh

mengembalikan sebagian harga yang telah diterimanya itu, kemudian

mengambil kembali barang tersebut seluruhnya. Dan jika ia suka, ia boleh

bergabung dengan para kreditur lainnya untuk mengambil piutang atas

barangnya yang masih ada. Sedang imam Syafi'I berpendapat bahwa

penjual mengambil sebagian barang yang masih ada dengan imbalan harga

selebihnya.29

Apabila muflis menghasilkan harta sesudah dia dilarang

menggunakan hartanya, maka ada perbedaan pendapat antara lain:30

Hambali mengatakan tidak ada perbedaan antara harta yang baru

diperolehnya, dengan harta yang ada saat dilakukan pelarangan.

Mazhab Syafi'I mempunyai dua pendapat. Demikian pendapat

Imamiyah. Allamah Al Hilli mengatakan: yang lebih tepat adalah bahwa

pelarangan tersebut diberlakukan pula terhadapnya. Sebab tujuan dari

pelarangan tersebut adalah untuk mengembalikan hak kepada orang yang

berhak menerimanya, dan hal itu tidak terbatas pada harta yang ada saat

pelarangan saja.

29 Ibnu Rusyd, log.cit., Hlm. 340 30 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, log.cii.,Hlm. 703

27

Hanafi berpendapat pelarangan tidak mencakup barang-barang

yang baru diperoleh itu. Pengakuan dan tindakan Muflis dianggap berlaku.

Pembeli yang pailit telah menghabiskan sebagian barang.

Tidak ada silang pendapat dikalangan Fuqoha, bahwa apabila

pembeli telah menghabiskan sebagian barang, maka penjual lebih berhak

atas sebagian (sisa) barang yang didapati. Kecuali Atha’, karena ia

berpendapat tentang kematian: apakah hukum kematian itu sama dengan

hukum pailit atau tidak?

Imam Malik berpendapat bahwa penjual menjadi panutan para

kreditur dalam hal kepailitan.

Sedang Imam Syafi’i berpendapat bahwa dalam hal ini sama saja.

Dan ini sesuai juga dengan hadits diatas.

Penambahan Terhadap Barang

Imam Malik juga berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i tentang

orang yang mendapatkan barangnya itu sendiri pada orang yang pailit,

sementara orang yang pailit itu telah mengadakan penambahan pada

barang tersebut, seperti tanah yang telah ditanami atau tanah kosong yang

telah didirikan bangunan di atasnya.

28

Imam Malik berpendapat bahwa penambahan tersebut merupakan

penghilangan atas bentuk (sifat) semula. Karena pemilik barang kembali

menjadi kawan para kreditur.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa penjual boleh memilih antara

memberikan harga sesuatu yang ditambahkan oleh pembeli pada

barangnya, kemudian penjual mengambil barang tersebut

Mengenai barang yang masih berada ditangan penjualnya dan

belum diserahkan kepada pembeli sehingga pembeli mengalami pailit,

maka penjual lebih berhak atas barang tersebut pada kematian dan pailit,

tanpa memperselisihkan lagi.

Jika penjual telah menyerahkan barang tersebut kepada pembeli,

kemudian pembeli mengalami pailit, sementara barang tersebut masih

berada ditangannya, maka penjual lebih berhak atas barang tersebut

dibanding kreditur lainnya, yakni dalam keadaan pailit dan bukan dalam

keadaan kematian. Imam Malik berpendapat bahwa para kreditur boleh

mengambil barang tersebut dengan membayar harganya. Tetapi Imam

Syafi’i berpendapat bahwa mereka tidak boleh melakukan tindakan seperti

itu.31

Ringkasnya, tidak diperselisihkan lagi dalam madzhab Maliki,

bahwa penjual lebih berhak atas barangnya yang masih ada tetapi tidak

berada dalam tangannya, dalam hal pailit bukan kematian. Dan bahkan

31 Ibnu Rusyd, op.cit., Hlm.342 dan 345

29

penjual itu menjadi panutan para kreditur pada barangnya, jika barangnya

itu sudah tidak ada. Juga dalam hal yang bermiripan dengan keadaan

buruh, menurut pendapat para Imam Malik. Hal ini sesuai dengan hadits di

atas.

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Abu Daud, menurut Al-

Hafidh, sanatnya Hasan, hadits tersebut menyatakan bahwa bila seseorang

menjual sesuatu barang kepada seseorang yang ternyata tak mampu

membayar (jatuh bangrut), dan barangnya kemudian dikemukakan pada si

pembeli tersebut, dalam keadaan masih utuh, maka barang tersebut bisa

diambil kembali oleh penjualnya. Syarat untuk dapat mengambil kembali

adalah masih utuh.32

Asy-Syafi’i dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa si penjual tetap

berhak menarik kembali barangnya walaupun sudah dalam keadaan tidak

utuh lagi. Golongan Hanafi tidak sependapat karena menyalahi kaidah,

Jumhur Ulama berpendapat bahwa apabila harganya sudah dilunasi

sebagian, maka barang tersebut tidak dapa ditarik kembali. Apabila

barangnya masih utuh, si penjual tak dapat mengambil lagi barangnya,

demikian pendapat Imam Malik dan Ahmad sedang Asy-Syafi’i

berpendapat , dapat diamil kembali. Syafi’i dan Ahmad juga berpendapat

untuk menolak harga yang hendak dibayar oleh para pewarisnya. Malik

meengharuskan si penjual menerima harga yang dibayar oleh waris.33

32 Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Terjemah Nailul Author 4, 33 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, op.cit., , hlm.149-150

30

Hadits ini menyatakan bahwa si pemilik barang dapat mengambil

kembali barangnya tanpa harus menunggu keputusan hakim (pendamai).

Pendapat inilah yang dipandang lebih sahih diantara pendapat ulama.34

Selain kreditur dapat mengambil kembali barang yang masih

terdapat pada orang yang telah bangkrut, maka akan ada kemungkinan bila

harta tersebut berubah karena bertambah atau berkurang, maka pemilikny

lebih berhak atasnya; akan tetapi diberlakukan sama dengan orang-orang

yang berpiutang.35

Sedangkan apabila dia menjual harta itu dan telah menerima

sebagian dari harganya, maka orang yang mempunyai harta itu

diperlakukan sama seperti orang-orang yang berpiutang; dan menurut

Jumhur, dia tidak mempunyai hak untuk meminta kembali apa yang telah

dijual. Yang lebih kuat di antara pendapat dua pendapat Syafi'i ialah

bahwa yang memberinya itu lebih berhak atasnya.36

Tetapi bila pembelinya mati, sedang penjualnya belum menerima

harganya, kemudian penjual itu menemukan apa yang dijualnya, maka ia

berhak terhadapnya karena alasan hadits. Sebab tidak ada perbedaan antara

kematian dan kebangkrutan. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’I.:

34 Ibid., 35 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, Judul Asli: Fiqhussunnah, Bandung: PT Al Ma'arif,

Hlm. 214 36 Ibid.,

31

من : وقال ابو هريرة ألقضين فيكم بقضاء رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم وهذا احلديث صحيح ( افلس او مات فوجد رجل متاعه بعينه فهو احق به

) احلاكم

Artinya: “Berkata Abu Hurairoh: akan aku putuskan urusan diantara kamu dengan keputusan yang diputuskan oleh Rosulullah SAW. “barang siapa yang bangkrut atau mati, kemudian seseoranga menemukan harta miliknya padanya, maka oranga itu lebih berhak atasnya”.”37

Untuk kemaslahatan orang lain seperti pada muflis (pailit) karena

banyak hutang, orang yang sakit keras mendekati mati dan hama yang

diizinkan berdagang. Mencegah harta kepada muflis, untuk menjaga

kemaslaatan orang-orang yang menghutanginya. Dengan demikian orang

yang menghutangi tidak dirugikan.38

Kadar Harta Yang Ditinggalkan

Mengenai kadar harta yang ditinggalkan untuk orang paillit, maka

menurut Mazhab Maliki adalah ditinggalkan untuk hidup dirinya dan istri

dan anak-anaknya yang masih kecil untuk waktu beberapa hari lamanya.

Dalam kitab Al-Wadhihah dan Al-‘Atabiyyah dikatakan, untuk

masa sebulan dan sekitar itu, dan ditinggalkan untuknya pakaian

sepantasnya (secukupnya).

Tentang pakaian untuk istrinya, Imam Malik tidak mengeluarkan

pendapatnya, karena baginya-wajibnya pakaian untuk istri itu lantaran

37 Ibid..,

38 Moh. Rifa'I ed., Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar, Semarang:Toha Putra, 1978, Hlm.200

32

adanya imbalan yang diterima, yakni adanya pengambilan manfaat dari

istri. Ataukah dalam hal ini bukan karena imbalan?

Suhnun berpendapat bahwa untuk orang pailit tidak ditinggalkan

pakaian untuk istinya.

Ibnu Nafi’ meriwayatkan dari Imam Malik, bahwa untuk istri

orang yang pailit itu hanya ditinggalkan apa (pakaian) yang dapat

menutupinya. Pendapat ini dikemukakan oleh ibnu kinanah.39

Al Syaukani sependapat dengan pendapat diatas, boleh menyita

selain pakaian yang dipakainya, tempat tinggal dan kebutuhan yang

primer.40

Imam Syafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa seluruh harta

orang yang pailit harus dijual. Selain itu, disisakan baginya dan bagi

keluarga yang ditanggungnya nafkah hari pembagian saja. Kalau orang

yang punya harta itu meninggal sebelum pembayaran hutang, maka kain

kafan dan perlengkapan seperti itu harus didahulukan ketimbang hutang.

Yang boleh ditinggal adalah seperti pakaian, makanan pokok, sehari-hari,

buku yang sangat dibutuhkan, perlengkapan kerja, perabotan fital dalam

rumah tangga.41

Orang Pailit Yang Tidak Mempunyai Harta Sama Sekali

39 Ibnu Rusyd, log.cit., Hlm.347 40 Nasrun Rusli, op.cit., 41 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab, log.cti.,Hlm. 702

33

Orang pailit yang tidak mempunyai harta sama sekali, maka

Fuqoha’ Amshar (Negeri-negeri besar) telah sependapat bahwa ketiadaan

hartanya itu berpengaruh pada penghapusan hutang hingga tiba saat

mampunya. Kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Umar bin Abdul ‘I-

Aziz, bahwa para kreditur itu bisa memperkerjakannya. Imam Ahmad

salah seorang Fuqoha’ Amshar, juga mengemukakan pendapat seperti

ini.42

Orang yang bangkrut (Muflis) ialah orang yang tidak memiliki

harta, tidak memiliki apa yang akan dipergunakan untuk membayar

hutangnya, dan kefakirannya ini mencapai keadaan dimana dia katakan

sebagai orang yang tidak mempunyai uang.

Orang itu dinamakan Muflis (tak beruang), sekalipun sebenarnya

dia mempunyai harta, karena hartanya menjadi milik orang-orang yang

mempunyai piutang padanya, maka hartanya itu seolah-olah tidak ada,

nihil. Para Fuqoha mendefinisikan orang yang demikian sebagi orang yang

banyak hutangnya dan tidak bisa membayarnya, sehingga Hakim

menyatakan kebangkrutannya.43

Para Fuqoha juga telah berpendapat, bahwa apabila orang yang

berhutang itu mengaku pailit tanpa diketahui kebenarannya, maka ia

dipenjarakan hingga ternyata kebenarannya, atau para kreditur itu telah

mengakui kebenarannya. Jika ia demikian, maka ia dibebaskan

42 Ibnu Rusyd, op.cit., Hlm.349 43 Sayyid Sabiq, op cit. Hlm. 209-210

34

Dari Imam Abu Hanifah diriwayatkan bahwa para kreditur boleh

berkeliling bersama dia dimanapun dia berkeliling.

Tentang mengapa semua Fuqoha berpandapat bahwa orang

tersebut harus ditahan karena hutang- meski dalam hal ini tidak ada hadits

yang shahih tentangnya, adalah karena penahanan tersebut merupakan

suatu keharusan, agar manusia itu saling memenuhi hak-hak diantara

mereka. Ini adalah dalil bagi pendapat yang mengatakan tentang

dipakainya qiyas yang menghendaki kemaslahatan, dan ini pula yang

disebut qiyas mursal. Dari Nabi SAW. Diriwayatkan:

ان النيب عليه الصالة وسالم حبس رجال في تهمة

Artinya: “sesungguhnya Nabi saw. Menahan seorag lelaki oleh sebab suatu tuduhan”

(Seingat Ibnu Rusyd, ini diriwayatkan oleh Abu Daud).44

C. Hubungan Hukum Antara Penjual Dengan Pembeli Pailit

Jual beli dan usaha bersama adakalanya tidak dilakukan dengan

pembayaran tunai, dengan cara berhutang (berangsur). Berhutang karena

darurat atau untuk menutupi suatu hajad yang mendesak tentulah dimaklumi.

Memberi hutang hukumnya sunnah, malah bisa menjadi wajib seperti

menghutangi orang yang terlantar, apabila tidak sanggup membayar

hutangnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan sesuai kesepakatan,

44 Bidah Al-Mujtahit, log. cit., Hlm. 351

35

maka yang berhutang tersebut (debitur) akan dinyatakan pailit oleh pengadilan

atas aduan orang yang memberi hutang (kreditur) atau badan hukum. Jadi

hubungan hukum antara kreditur dengan debitur pailit itu sangat erat, saling

berhubungan satu sama lain dan harus saling berprestasi.

Misalnya dalam hukum Islam juga menentukan bahwa transaksi

ekonomi yang halal dan sah adalah jual beli secara tunai. Saat menyerahkan

barang dan saat itu pula menyerahkan harga tanpa panjar sehingga dapat

dilakuian ijab qabul, karena ucapan ijab dan qabul merupakan salah satu rukun

jual beli. Ucapan dari penjual dinamakan ijab dan penerimaan dari pembeli

dinamakan qabul.45

Sedang Jumhur Fuqaha yang berpendirian tentang adanya pengampuan

terhadap orang yang pailit mengatakan, bahwa sebelum ada keputusan tentang

kepailitannya, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang samadengan

orang-orang lain.46

Jadi walaupun setelah dinyatakan kepailitannya dan tetap tidak dapat

melunasi hutangnya dan akirnya terjadi hirj atau penyitaan dan sebagainya,

akan tetapi tetap terlihat keadilannya, artinya bukan penganiayaan, jadi dapat

dibedakan, misalnya: hakim menyita rumah mewah si debitur pailit dengan

meninggali rumah sederhana yang penting bisa untuk melindungi diri keluarga

45 H. Aiyub Ahmad, Transaksi Ekonomi persepektif hukum perdata dan hukum islam,

Jakarta:Kiswah, 2004, Hlm. 15 46 Ibnu Rusyd, op.cit., Hlm.335

36

si pailit dari hujan, panas dan dingin.47

Sekali lagi, pembatasan terhadap si pailit itu semata-mata hanya

supaya mereka saling memenuhu hak diantara mereka yaitu kreditur dan

debittur.

Itulah hubungan hukum antara penjual dan pembeli pailit, walau

demikian pembeli pailit (debitur) tetap harus melunasi hutang-hutangnya

kepada si penjual (kreditur).

47 Nasrun Rusli, log.cit.,Hlm. 192