19
29 Bab II IDENTITAS DAN PERUBAHAN SOSIAL 1. Identitas: Identitas, Identifikasi, Identitas Sosial dan Identitas bangsa Identitas menurut Francis M Deng adalah konsep tentang bagaimana orang mengidentifikasikan dirinya dan diidentifikasi oleh orang lain berdasar ras, etnis, budaya, bahasa dan agama. 1 Identitas adalah sumber makna bagi aktor-aktor sendiri dan dikonstruksi oleh mereka sendiri melalui proses individuasi. 2 Karenanya, meskipun setiap individu terhisap dalam identitas sosial tetapi setiap individu memiliki identitasnya sendiri dan identitas dalam berbagai kelompok di mana dia berada. Di sisi lain, Menurut Linda Martin Alcoff, individu/ masyarakat tidak selalu dapat mengidentifikasikan identitasnya sendiri. Pada kondisi tertentu, identitas individu/kelompok ditentukan juga oleh kolonialisme, rasial, subordinasi jenis kelamin, konflik bangsa, dan lain-lain. 3 Contoh kongkrit yang dapat dikemukakan mengacu pada pemikiran Alcoff, yakni realitas sosial-politik pra Indonesia merdeka yang menempatkan rakyat Indonesia—kaya miskin, berkedudukan- tidak berkedudukan, kalangan bangsawan-rakyat biasa-- sebagai rakyat jajahan. Realitas demikian yang kemudian menjadi dasar dari identifikasi yang dilakukan Soekarno terhadap identitas kebangsaan Indonesia, yakni sebagai Marhaen. Marhaen adalah istilah sosiologis yang dipakai Soekarno untuk menegaskan 1 Francis M Deng. War of Vissions Conflict of Indentities in the Sudan. (Washington, D.C: The Brooking Institution, 1995), 387. 2 Manuel Castells, The Power of Identity Vol. II (Malden MA: Blackwell Publishing, 2003), 7. 3 Linda martin Alcoff and Eduardo Mendieta, eds., Identity: Race, Class, Gender, and Nationality (United Kingdom: Blackwell publishing, 2003), 3.

Bab II IDENTITAS DAN PERUBAHAN SOSIAL - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/2/T2_762011001_BAB II... · manusia ditentukan oleh definisi identitas sosial. Lebih lanjut

  • Upload
    dothuan

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

29

Bab II

IDENTITAS DAN PERUBAHAN SOSIAL

1. Identitas: Identitas, Identifikasi, Identitas Sosial dan

Identitas bangsa

Identitas menurut Francis M Deng adalah konsep

tentang bagaimana orang mengidentifikasikan dirinya dan

diidentifikasi oleh orang lain berdasar ras, etnis, budaya, bahasa

dan agama.1 Identitas adalah sumber makna bagi aktor-aktor

sendiri dan dikonstruksi oleh mereka sendiri melalui proses

individuasi.2 Karenanya, meskipun setiap individu terhisap

dalam identitas sosial tetapi setiap individu memiliki

identitasnya sendiri dan identitas dalam berbagai kelompok di

mana dia berada.

Di sisi lain, Menurut Linda Martin Alcoff, individu/

masyarakat tidak selalu dapat mengidentifikasikan identitasnya

sendiri. Pada kondisi tertentu, identitas individu/kelompok

ditentukan juga oleh kolonialisme, rasial, subordinasi jenis

kelamin, konflik bangsa, dan lain-lain.3 Contoh kongkrit yang

dapat dikemukakan mengacu pada pemikiran Alcoff, yakni

realitas sosial-politik pra Indonesia merdeka yang

menempatkan rakyat Indonesia—kaya miskin, berkedudukan-

tidak berkedudukan, kalangan bangsawan-rakyat biasa-- sebagai

rakyat jajahan. Realitas demikian yang kemudian menjadi dasar

dari identifikasi yang dilakukan Soekarno terhadap identitas

kebangsaan Indonesia, yakni sebagai Marhaen. Marhaen adalah

istilah sosiologis yang dipakai Soekarno untuk menegaskan

1 Francis M Deng. War of Vissions Conflict of Indentities in the Sudan.

(Washington, D.C: The Brooking Institution, 1995), 387.

2 Manuel Castells, The Power of Identity Vol. II (Malden MA: Blackwell

Publishing, 2003), 7. 3 Linda martin Alcoff and Eduardo Mendieta, eds., Identity: Race, Class,

Gender, and Nationality (United Kingdom: Blackwell publishing, 2003), 3.

30 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

mengenai identitas seluruh rakyat Indonesia sebagai kaum

terjajah yang sumber daya manusia dan alamnya dieksploitasi

oleh penjajah.

Defenisi dan kajian-kajian di atas menegaskan bahwa

identitas bukanlah sesuatu yang alami, dapat dikonstruksi dan

tidak pernah tunggal. Di sisi lain, identitas juga bukan sekedar

perjumpaan permukaan dari kehidupan individu. Richard Jenkis

menjelaskan kompleksitas identitas tersebut dengan beberapa

contoh konkrit yang menegaskan bahwa, pada kondisi tertentu

identitas individu dapat dengan mudah diidentifikasi

berdasarkan nama, kartu kredit, alamat email, pasport.

Sebaliknya, pada kondisi yang lain indentifikasi terhadap

identitas individu dapat direduksi sebatas nama samaran, kode,

dan reduksi identifikasi lainnya.4 Jenkins memberi contoh

proses identifikasi identitas individu berdasarkan passport yang

dimiliki. Pada situasi tertentu proses identifikasi identitas

individu berlangsung dengan mudah karena pengenalan

terhadap individu dipermudah oleh passport yang dimiliki.

Sebaliknya, pada situasi tertentu reduksi identifikasi identitas

individu melalui passport yang dimiliki menyebabkan

pengenalan terhadap identitas individu menjadi sangat terbatas

sehingga melahirkan kecurigaan terhadap individu tersebut.

Jenkins memberi contoh proses pemeriksaan terhadap individu

melalui passport yang harus dilanjutkan dengan proses

interogasi yang dalam.5

Teori Jenkins mengenai identitas dan identifikasi

tersebut di atas, mengindikasikan bahwa keduanya memiliki

jalinan yang kuat. Di sinilah kontribusi dari teori identitas

Jenkins, yakni pada penekanannya mengenai pentingnya

identifikasi sebagai rujukan identitas, karena tanpa tahapan

identifikasi tidak akan memahami siapa adalah siapa atau apa

4 Richard Jenkins, Social Identity (London and New York: Routledge Taylor &

Francis Group, 2004), 1-3.

5 Ibid.

Identitas dan Perubahan Sosial 31

adalah apa.6 Penekanan yang sejajar dikemukakan juga oleh

Stuart Hall dalam tulisannya mengenai introduction: Who Needs

Identity? Hall menjelaskan, bahwa identifikasi membantu

pemahaman yang lebih baik mengenai identitas. Karena pada

dasarnya identifikasi adalah satu proses artikulasi, penjahitan,

pengungkapan keseluruhan proses identitas. Pemahaman Hall

yang demikian didasarkan pada teori Freud mengenai Oedipus

kompleks. Hall menjelaskan, bahwa identifikasi sejak awal

sangatlah ambivalen—seperti halnya teori Oedipus yang pada

satu sisi mencintai objek dan di sisi lain menjadi lawan dari

objek. Tetapi identifikasi menurut Hall, tidak mengikat objek

yang eksis, sebaliknya mengikat pilihan objek yang ditingalkan.

Masih bertolak dari teori Freud tentang Oedipus kompleks, Hall

menegaskan bahwa identifikasi adalah sesuatu yang didasarkan

dalam fantasi, proyeksi dan idealisasi. Identitas selalu

merupakan konstruksi yang terdiri dari berbagai persilangan,

perpotongan dan antagonis, wacana, praktek dan posisi.7

Lalu bagaimana keterjalinan identitas individu dengan

identitas sosial? Jenkins menjelaskan bahwa semua identitas

manusia ditentukan oleh definisi identitas sosial. Lebih lanjut

Jenkis menulis, bahwa kegiatan mengidentifikasi diri atau orang

lain adalah persoalan makna dan makna selalu meliputi

interaksi; sepakat dan tidak sepakat, konvensi dan inovasi,

komunikasi dan negosiasi. Jelas, bahwa yang Jenkins tekankan

adalah identifikasi identitas individu selalu berorentasi sosial,

karena berlangsung dalam upaya memberi makna terhadap

interaksi dengan individu atau individu-individu dalam

lingkaran sosial.

Petter Berger dalam tulisannya mengenai the Sacred

Canopy Elemen of a Theory of Religion memberi penekanan pada

keterjalinan antara identitas sosial dan individu sebagai

6 Ibid.

7 Stuart Hall. Introduction: Who Needs Identity. Dalam Stuart Hall dan Paul du

Gay, Questions of Cultural Identity (New Delhi: Sage Publications, 2003), 3,5.

32 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

dialektika yang solid. Penjelasan Berger dalam buku tersebut

memang lebih difokuskan pada penjelasan mengenai konstruksi

sosial dan proses dialektika di dalamnya. Berger tidak mengulas

secara khusus mengenai identitas sosial, tetapi upaya konstruksi

sosial pastilah mengikutsertakan konstruksi narasi sosial atau

identitas sosial. Konstruksi narasi hidup sebagai masyarakat

turut terbangun bersamaan dengan pembangunan masyarakat.8

Dengan kata lain, pada saat manusia mengkonstruksi

masyarakatnya mereka juga mengkonstruksi identitas sosialnya.

Dalam kostruksi sosial tersebut, manusia dideskripsikan berada

dalam keterjalinan dialektika yang kental yakni eksternalisasi,

obyektifikasi dan internalisasi.

Berger menjelaskan keterjalinan tersebut di atas sebagai

satu proses yang menempatkan manusia sebagai subjek sosial

sekaligus objek sosial. Pada tahap awal manusia sebagai

pembangun masyarakat terus menerus mencurahkan dirinya

bagi masyarakat. Proses tersebut berlangsung terus menerus

sebagai relasi yang dialektis, selanjutnya menempatkan manusia

sebagai penyerap berbagai nilai dari masyarakat yang

dibangunnya. Karenanya pada tahap akhir, manusia yang

menyerap nilai-nilai masyarakat bentukannya, selanjutnya

mengatualisasikan diri sebagai produk dari masyarakat

tersebut.9 Sumbangan Berger terhadap upaya memahami

korelasi identitas individu dengan identitas sosial terletak pada

penjelasannya mengenai proses dialektika diantara keduanya.

Dialektika yang tidak hanya memutar-balik posisi individu

dalam masyarakat, tetapi juga mengkonstruksi identitas

individu dalam keterjalinan dengan identitas sosial.

Pembahasan yang komprehensif mengenai identitas

individu dan identitas sosial, dapat dikaji juga dalam penjelasan

8 Madan Sarub, Identity, Culture and Postmodern World (United States of

America: University of Georgia Press, 1996), pg. 15.

9 Peter L. Berger, The Sacred Canopy Elemen Of a Theory of Relegion (New

York: Doubleday & Company, Inc., 1976), 3-27.

Identitas dan Perubahan Sosial 33

Emile Durkheim mengenai sistim Totemisme. Menurut

Durkheim sistim Totemisme dapat dimengerti mulai dari totem

individu yang ada pada setiap orang dengan marga sebagai

penanda.

Totem individu memang hanya bersifat pilihan, tetapi

merupakan presentasi atau ekspresi dari kepribadian individu.

Totem Individu berperan layaknya teman, yakni sebagai partner

dan pelindung dan menjadi nama, tanda pengenal atau identitas

pribadi.10 Jelas, Totem individu hanya mempresentasikan

identitas perorangan yang ada dalam klan dan bukan identitas

klan. Identitas klan, dapat dilihat dari konsensus dalam klan

mengenai Totem yang sama yang menjadi lambang, nama atau

identitas kolektif mereka.

Dalam kaitan dengan Totem sebagai identitas kolektif,

Durkheim menjelaskan, bahwa individu-individu yang memiliki

Totem pribadi kemudian disatukan dibawah naungan Totem

yang sama yang menjadi identitas klan. Mereka terikat bukan

karena ikatan darah, tetapi karena kesamaan Totem. Totem

kolektif merupakan representasi emosional dan merupakan

satu-satunya objek yang konkrit tempat mereka mencurahkan

diri dan perasaan mereka. Pengalaman-pengalaman ekspresif

yang sama itulah yang memperkuat posisi bersama mereka di

bawah totem yang sama. Dalam cakupan yang lebih luas, mereka

semakin terikat karena tanggung-jawab timbal-balik yang

identik diantara mereka yang mengkondisikan untuk saling

menolong, membalas dendam, dan tidak kawin mawin diantara

mereka, dan lain-lain.11

Keterikatan dibawah Totem kolektif juga nampak dari

kesatuan yang sangat kental, meskipun mereka tersebar di

wilayah-wilayah berbeda. Identifikasi terhadap kesamaan

Totem, kesamaan identitas kolektif biasanya terlihat pada

10 Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life (New York:

The Free Press, 1965),188.

11 Ibid, 122.

34 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

dekorasi-dekorasi Totemik yang diletakkan di bagian dalam dan

luar rumah, senjata, perahu, perabotan dan makam, bahkan

digambarkan pada tubuh manusia. Inti dari penempatan

dekorasi Totemik adalah menjadi tanda bahwa mereka adalah

bagian dari Totemnya.12 Dekorasi-dekorasi Totemik juga

digunakan dalam upacara-upacara religius dan menjadi bagian

dari liturgi; karena itu, Totem tidak hanya menjadi lebel kolektif

melainkan juga menjadi karakter religius.13 Durkheim memang

tidak menyebut kesamaan Totem dan kesamaan identitas klan

sebagai identitas sosial, tetapi saya memahami klan adalah juga

nama lain dari masyarakat untuk skala tersebut. Karenanya,

identitas kolektif klan yang dicitrakan oleh kesamaan Totem

adalah juga identitas sosial.

Penjelasan lain yang tidak kalah penting mengenai

identitas, yakni keterkaitan identitas dengan batas-batas etnis

sebagaimana yang dijelaskan Frederik Barth dalam tulisannya

mengenai Ethnic Groups and Boundaries. Barth menjelasakan,

bahwa dalam interaksi antar etnis, batasan-batasan etnis

dipertahankan dengan teguh karena batasan-batasan tersebut

adalah juga batasan sosial. Bahkan dalam interaksi dengan yang

lain, batasan-batasan etnis dikelola oleh komunitasnya sebagai

identitas yang menunjuk keanggotaan. Karenanya, intensitas

interaksi yang terjadi antara orang berbeda etnis akan

memperkecil perbedaan, tetapi kekhasaan kultural akan tetap

kuat jika terus terimplikasi dalam perilaku. Dengan kata lain,

perbedaan kultural akan tetap menjadi unit yang signifikan, jika

perbedaan yang ada tetap tercermin dalam perilaku.14

Terkait dengan perbedaan identitas etnis dan konflik

yang terjadi diantara mereka, Paul R. Brass menjelaskan kehati-

hatian memahami alasan yang melatar-belakangi konflik-konflik

12 Ibid, 184.

13

Ibid, 175,176.

14 Frederik Barth, Ethnic Group and Boundaries, The Social Organization of

Culture Difference (Oslo: Johansen & Nielsen Boktrykkeri), 1969, 15.

Identitas dan Perubahan Sosial 35

tersebut. Brass menjelaskan bahwa, seringkali konflik antar

etnis berbeda tercetus karena kompetisi di bidang politik,

ekonomi dan status sosial elit-elit etnis. Kompetisi di sektor-

sektor demikian kemudian dieksploitasi menjadi konflik karena

perbedaan etnis, padahal tidak demikian.15 Penjelasan Brass

semakin memperjelas mengenai kekuatan identitas dalam relasi

antar masyarakat dengan beragam identitas etnis.

Stuart Hall juga melihat ketersingungan identitas dengan

ideologi. Menurut Hall, karena identitas merupakan hasil

konstruksi, maka ideologi juga turut memberi pengaruh. Hall

mengutip beberapa teori mengenai ideologi dan menjelaskan

bahwa konstruksi identitas bukanlah sesuatu yang mudah

dilakukan. Usaha konstruksi identitas jika tidak dilakukan secara

hati-hati akan jatuh pada ideologisasi identitas atau

penghapusan konsep-konsep kunci. Inilah juga menurut Hall

problematika identitas, sebagai akibat dari praktek yang

menyimpang. Karena itu dalam tulisannya, Hall menegaskan

pentingnya penekanan pada disiplin dan sangsi terhadap

praktek yang menyimpang. Hall juga melihat perlunya individu

sebagai subjek identifikasi (sebagai proses identitas)

menghayati kedua hal tersebut sebagai mode, gaya hidup, hasil

dan penampilan posisi tersebut, dan melengkapi itu untuk sekali

dan sepanjang waktu, secara konstan, serta mengakomodir

secara regular aturan-aturan yang terkait dengan usaha disiplin

dan sangsi dari praktek menyimpang.16

Penjelasan Hall mengenai identitas dan kepentingan

yang turut bermain di dalamnya semakin menegaskan bahwa

konstruksi identitas tidak bebas kepentingan. Identitas juga

dapat direkayasa untuk mengklaim kepentingan tertentu—

dalam pengertian memberi pengesahan dan pengutamaan

identitas tertentu. Di sisi lain, penyimpangan konstruksi

15 Paul R. Brass, Ethnic Groups and Ethnic Identity Formation, dalam John

Hutchin, Ethnicity, 86, 89.

16

Ibid, 16.

36 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

identitas yang menurut Hall dapat diperkecil dengan

menegakkan disiplin dan sangsi sekaligus menegaskan bahwa

konstruksi identitas tetap berada dalam proses.

Dari sisi yang berbeda dengan Hall, David Brown melihat

secara spesifik relasi identitas etnis dengan ideologi negara

sebagai identitas bangsa. Relasi tersebut dapat berupa kerelaan

masyarakat etnis untuk menggabungkan diri sebagai bangsa

dengan identitas kebangsaannya. Selanjutnya, Brown

menjelaskan bahwa daya tarik terhadap identitas bangsa,

terutama karena masyarakat etnis melihat ide mengenai

kesetaraan status dan kekuasaan, serta akses ke sumber-sumber

daya.17

Bentuk relasi etnis dan bangsa juga dapat berupa

benturan antara identitas etnis dan identitas bangsa dengan

ideologinya. Di sisi lain, Brown menjelaskan, bahwa benturan

dapat diminimalisir, jika negara mampu mengelola

administrasinya dengan baik dalam relasi dengan identitas etnis.

Brown memberi contoh penerimaan Pancasila, sebagai ideologi

dan identitas bangsa yang diterima oleh semua etnis pra

Indonesia Merdeka, sebagai salah satu contoh dari pengelolaan

negara yang baik.18

Brown memang tidak melakukan kajian lebih jauh

tentang apa dan bagaimana Pancasila sehingga dapat diterima

oleh semua golongan dan kelompok—termasuk di dalamnya

masyarakat etnis. Tetapi data historis mengenai penetapan

Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) menegaskan, bahwa Pancasila dasar NKRI tidak dapat

dimengerti tanpa mengacu pada Pancasila yang disampaikan

17 David Brown, Ethnic Confilct and Nationalism. Dalam John Hutchinson &

Anthony D. Smith, Ethnicity (Oxford-New York: Oxford University Press, 1996),

307.

18 Ibid, 306, 308.

Identitas dan Perubahan Sosial 37

Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 di rapat BPUPKI (Badan

Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).19

Dalam Pidatonya, Soekarno menjelaskan bahwa

Pancasila dengan sila-silanya adalah hasil penggalian di

kedalaman bumi Indonesia. Sila-sila dalam Pancasila telah

berakar di kedalam bumi Indonesia, dan menghidupi seluruh

rakyat sejak masa para leluhur.20 Bagi Soekarno hanya Pancasila

yang dapat merajut keragaman NKRI yang akan dibentuk.

Keragaman Identitas yang dirumuskan Soekarno sebagai tiga

kekuatan besar di Indonesia masa itu, yakni Nasionalisme lokal,

Islamisme dan Marxisme. Jelas, Pancasila adalah pilihan

strategis dan kompromis yang ditawarkan Soekarno dalam

rangka mengolah keragaman identitas Indonesia.21

Setelah melewati perdebatan dalam rapat BPUPKI,

akhirnya Pancasila dengan beberapa modifikasi pada urutan

pasal-pasalnya diterima sebagai dasar Negara Indonesia

merdeka.22 Brown menilai kesepakatan bersama untuk

menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia, sebagai

salah satu contoh dari kemampuan negara mengelola pluralitas

etnis menjadi satu budaya inti. Pancasila menjadi budaya inti

yang mengatasi kohesi politik dan loyalitas sosial yang menjadi

basis kuat dari etnis-etnis pra Indonesia Merdeka.23

Meskipun demikian, persoalan mengenai dasar negara

tidak selesai dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar

19 Saafroedin Bahar, dkk., penyunting, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat

Negara Republik Indonesia, 1995), 62-84.

20 Sukarno, Pantja Sila Sebagai Dasar Negara (Djakarta: Prapantja), 38.

21

Marhaeni L Mawuntu, Nasionalisme dan Agama dalam Pemikiran Sukarno.

Kajian Interpretatif mengenai Agama dalam Pemikiran Sukarno tentang

Nasionalisme (Tesis Program Pasca Sarjana Agama dan Masyarakat Universitas

Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1996), 96.

22 Baca juga proses perumusan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara

dalam Saafroedin Bahar, Risalah Sidang…, 62-84. 23

Brown, Ethnic…, 308.

38 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

negara Indonesia Merdeka. Dalam rapat BPUPKI ke II, persoalan

mengenai negara tidak berdasar agama kembali mencuat dan

menjadi perdebatan serius. Ada dua topik utama yang

diperdebatkan, yakni UUD pasal 28 ayat 1 tentang Negara

berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknya (dikenal juga sebagai tujuh

kata). Topik perdebatan kedua, yakni mengenai Presiden

Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam.24

Dua agenda rapat tersebut menjelaskan bahwa desakan

kelompok Islam untuk memasukan syariat Islam dalam aturan

bernegara Indonesia Merdeka, masih sangat kuat. Soekarno

sadar bahwa desakan kelompok Islam bila tidak ditanggapi

secara taktis akan menjadi hambatan bagi kesepakatan

mengenai Undang Undang Dasar (UUD). Karenanya, Soekarno

menawarkan solusi dengan menganjurkan kepada kelompok

kebangsaan agar menerima syarat presiden harus beragama

Islam. 25 Tawaran Soekarno terkesan bertolak belakang dengan

semangat persatuan dan kesetaraan yang selalu menjadi dasar

pemikirannya.

Terkait dengan perubahan sikap dari Soekarno tersebut di

atas, dalam Tesis saya mengenai Nasionalisme dan Agama dalam

pemikiran Sukarno, saya menyimpulkan dua alasan mendasar

yang kemungkinan besar mendasari sikap Soekarno. Pertama,

keinginan Soekarno yang kuat untuk segera mewujudkan negara

Indonesia Merdeka mengantarnya pada pilihan meminimalisir

segala persoalan yang dapat menjadi hambatan. Kedua,

kemungkinan Soekarno tidak melihat topik yang diperdebatkan

dalam sidang BPUPKI ke II sebagai masalah mendasar.26

Karenanya, ketika perwakilan Indonesia Timur menyatakan

keberatan mereka terhadap pencantuman tujuh kata dan

24 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni dan Sejarah Konsensus

Nasional antara Nasionalis “sekuler” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia

1945-1959 (Jakarta: Rajawali, 1983),

25 Ibid, 356,357.

26

Marhaeni, Nasionalisme…, 126.

Identitas dan Perubahan Sosial 39

meminta dihapus dari mukadimah UUD 1945, Soekarno

bersama Hatta dan Achmad Soebardjo memproses penghapusan

tersebut. Di sisi lain menurut saya, penghapusan tujuh kata

tersebut oleh Soekarno, Hatta dan Achmad Soebardjo,27 adalah

penegasan bahwa ide tentang kesetaraan semua golongan

merupakan hal penting yang harus tetap dipertahankan.

Penghapusan tujuh kata untuk mengakomodir tuntutan

masyarakat di Indonesia Timur, berproses bukan tanpa masalah.

Kritik tajam terutama diarahkan terhadap peran Soekarno,

Hatta dan Achmad Soebardjo yang dinilai tidak mewakili Islam

meskipun mereka beragama Islam. Kritik demikian, datang dari

kalangan Islam yang merasa kepentingan mereka berkaitan

dengan syariat Islam tidak diakomodir.28

Pada sisi berbeda, keputusan penghapusan tujuh kata

yang diambil Soekarno dan kelompok kebangsaan dinilai

sebagai keputusan politis dalam rangka mewujudkan negara

Indonesia Merdeka. Subadio Sastrosatomo, mantan ketua Fraksi

Partai Sosialis Indonesia dan Sudibjo, mantan wakil ketua

merangkap sekretaris Islam Indonesia, menilai keputusan

tersebut sebagai konsekuensi kehidupan berbangsa dan

bernegara.29

27 Endang, Piagam…, 57,58.

28 Kahar Muzakir dalam Majelis Konstituante, mengkritik keputusan penghapusan

tujuh kata dalam mukadimah UUD 1945, sebagaimana yang dikutip oleh Endang

Anshari sebagai berikut:

…Pancasila itu sudah dirusak. Sebab, katanya, prinsip-prinsip yang mendatangkan

moral yang luhur dengan adanya Pancasila Piagam Jakarta (baca: Pancasila dalam

bentuk Piagam Jakarta) itu telah hilang dari wujud Pancasila; yang tadinya

merupakan gentleman’s agreement itu telah diciderai dan dibatalkan atas kehendak

satu fihak, yaitu fihak kebangsaan. “Maka dengan itu,” dia berkata, maka fihak

yang menghianati (gentleman’s agreement) itu bukanlah fihak kami, yaitu fihak

Islam, akan tetapi fihak yang mengubah itulah, yakni yang menghapuskan rumusan-

rumusan yang esensil yang mengenai Islam itu.” Dalam Endang Saifuddin Anshari,

Piagam, 62,63.

29

Wawancara dengan Subadio Sastrosatomo, mantan ketua Fraksi Partai Sosialis

Indonesia dan Sudibjo, mantan wakil ketua merangkap sekretaris Islam Indonesia,

dalam Marhaeni L Mawuntu, Nasionalisme dan Agama dalam Pemikiran Sukarno.

Kajian Interpretatif mengenai Agama dalam Pemikiran Sukarno tentang

40 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Terkait dengan keputusan Soekarno dan kelompok

kebangsaan tersebut, John Titaley dalam disertasinya menilai

sikap tersebut sebagai kesadaran bahwa NKRI memang tidak

dapat didasarkan pada satu golongan saja. Negara Indonesia

Merdeka yang akan dibentuk adalah fenomena baru, karena

tidak pernah ada di masa pra-Indonesia Merdeka. Selanjutnya,

Titaley menawarkan cara pandang yang lebih objektif dalam

memahami negara Indonesia Merdeka. Menurut Titaley, dalam

negara Indonesia Merdeka sebagai fenomena baru, semua yang

menyangkut keindonesiaan—termasuk di dalamnya agama—

harus dimengerti secara baru. Karena dalam fenomena baru

tersebut, semua yang menyangkut Keindonesiaan diletakkan

sejajar dan sama pentingnya. Itu artinya, tidak ada satu golongan

pun yang dapat mengklaim dirinya sebagai Indonesia—sebab

Indonesia bukanlah agama, budaya ataupun idelogi tertentu.30

Selain itu menurut Titaley, Soekarno tidak menempatkan agama

sebagai dasar negara karena dia melihat Islam tidak sebagai

representasi seluruh rakyat Indonesia. 31

Pergulatan Ideologis mengenai tujuh kata dalam

mukadimah UUD 1945 selesai dengan kesepakatan menghapus

tujuh kata tersebut. Kesepakatan tersebut tidak hanya

menegaskan kesepakatan UUD, tetapi terutama menegaskan

bahwa Pancasila sebagai ideologi NKRI telah final. Implikasinya,

semua keragaman—termasuk keragaman etnis dirajut menjadi

satu kesatuan Indonesia dengan Pancasila sebagai identitas

bangsa. Dalam Pancasila sebagai identitas bangsa, identitas

lokal/sektarian agama diberi ruang untuk hidup dan

mengembangkan diri dalam tataran yang sama.

Nasionalisme, (Tesis Program Pasca Sarjana Agama dan Masyarakat Universitas

Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1998), 136.

30 John A Titaley, A Sociohistorical Analysis of The Pancasila as Indonesia’as

State Ideology in The Light of The Royal Ideology in The Davidic State, (diss.,

Ph.d., Graduate Theological Union Berkeley, California, 1992) 134, 151.

31

Ibid, 141.

Identitas dan Perubahan Sosial 41

2. Perubahan Sosial

Pembahasan mengenai perubahan sosial dalam bab ini

akan saya paparkan dengan mengkaji teori dari para sosiolog

awal, yakni Emile Durkheim, Karl Marx dan Max Webber.

Emile Durkhiem dalam buku The Division of Labor in

society membahas tentang perubahan sosial bertolak dari

perubahan yang terjadi dalam masyarakat solidaritas mekanik

ke masyarakat sodidaritas organik. Perubahan sosial tersebut

ditandai oleh penekanan pada pembagian kerja dalam

masyarakat organik yang tidak hanya menjadi karakter moral,

tetapi juga alasan bagi eksisnya masyarakat.32 Perubahan sosial

yang terjadi sangat signifikan, karena diperkuat oleh perubahan

yang fundamental terhadap dasar hukum sosial.

Durkheim menjelaskan, bagaimana relasi masyarakat

mekanik dengan konsesus kolektif sebagai dasar hukum.

Konsesus kolektif yang dilegalkan sebagai hukum—benar-atau

salah— membutuhkan kesetiaan individu yang sistimatis.33 Pada

tataran yang demikian, hukum menjadi sesuatu yang sangat kuat

dan mengatasi kolektivitas, karena itu menyakiti sentimen

kolektif dinilai sebagai kejahatan. Intinya, sistim hukum

masyarakat mekanik adalah ungkapan kemarahan kolektif

terhadap perilaku menyimpang.34 Durkheim juga menjelaskan

bahwa sentimen kolektif berbeda dengan sentimen lainnya.

Karena sentimen kolektif bukan hanya tertulis pada kesadaran

setiap orang, tetapi juga tertulis di kedalaman diri setiap orang.

Sentimen kolektif merupakan emosi-emosi dan watak yang

sangat kuat yang berakar dalam diri masyarakat. 35 Karenanya

tindakan kejahatan tidak hanya menyakiti kolektivitas, tetapi

32 Emile Durkheim, The Division of Labor in Society, Translated by W.D. Halls

(New York: The Free Press a Division of Macmillan, Inc.), 15.

33 Ibid, 37.

34

Doyle Paul Johnson, Teori Sosial Klasik dan Moderen, Terjemahan Robert

M.Z. Lawang (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), 184.

35

Durkeim, The Division, 33.

42 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

juga dianggap menentang otoritas transendental yang

memelihara koletivitas tersebut.36 Kekurangan dari hukum

represif ini yakni bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum

lebih ditentukan oleh reaksi emosional.

Pada masyarakat berdasar hukum restitori, relasi sosial

dalam masyarakat organik yang berlangsung didasarkan pada

saling ketergantungan fungsional karena spesialisasi yang

dimiliki setiap individu. Relasi yang demikian tidak hanya

merobek harmonisasi yang telah terbentuk dalam solidaritas

mekanik, tetapi juga merubah model relasi dalam masyarakat.37

Solidaritas sosial berdasar kesadaran kolektif berubah menjadi

solidaritas sosial berdasar pembagian kerja. Ini yang menjadi

penanda utama dari perubahan sosial yang terjadi dari

masyarakat mekanik ke masyarakat organik. Dalam relasi yang

demikian tidak berarti solidaritas ini kehilangan dasar moral

bersama, sebaliknya, saling ketergantungan fungsional

tersebutlah yang menjadi kode moral dari kehidupan bersama.38

Berpijak pada dasar moral baru tersebut relasi-relasi

dalam masyarakat dikonstruksi kembali. Setiap individu dalam

masyarakat memainkan peran berbeda yang diatur berdasarkan

kontrak sosial.39 Kontribusi teori Emile Durkheim mengenai

perubahan sosial yang terjadi karena perubahan sistim sosial,

terletak pada penekananannya mengenai kontrak sosial sebagai

dasar moral sosial yang baru. Kontrak-kontrak sosial menjadi

ekspresi legal tertinggi dari kerjasama, dan juga simbol dari

perubahan dalam masyarakat. 40 Kontrak sosial juga bukan

hanya sekedar kebutuhan untuk kerjasama yang sedang

berlangsung di masa kini, tetapi juga untuk mengatasi

perkembangan dari relasi kerjasama tersebut. 41 Jika terjadi

36 Ibid, 43.

37 Ibid, 105.

38 Ibid, 116,117.

39 Ibid, 132.

40 Ibid, 79, 80.

41

Ibid, 160.

Identitas dan Perubahan Sosial 43

pelanggaran terhadap perjanjian, maka kejahatan tersebut akan

diproses berdasarkan prosedur hukum—sipil atau komersial—

yang memainkan peran yang sama dalam sistim hukum.

Di sisi berbeda, Durkheim juga menyadari adanya

kelemahan dari masyarakat dengan solidaritas sosial berdasar

pada pembagian kerja. Kekuatiran Durkheim terletak pada

menguatnya kesadaran kolektif pada kelompok-kelompok

dalam masyarakat dan mengabaikan kesadaran kolektif sosial.

Karena jika demikian yang terjadi, maka solidaritas sosial

masyarakat organik akan lemah, bahkan dapat menjadi anomi.

Karenanya bagi Durkheim penyimpangan sosial demikian, justru

memberikan fungsi sosial positif bagi masyarakat untuk

menegaskan kembali nilai-nilai moral di mana solidaritas itu

berpijak. Dengan kata lain, masyarakat perlu di dorong untuk

membuat peraturan yang dapat meminimalisir penyimpangan

dan juga kesadaran untuk terus-menerus memperkuat kembali

dasar moral.42

Penekanan berbeda mengenai perubahan sosial dapat

disimpulkan dalam tulisan Karl Marx mengenai The German

Ideology. Marx memberi penekanan khusus pada pembagian

kerja sebagai faktor yang mendorong perubahan sosial, tetapi

dalam wujud yang destruktif. Marx melihat, pembagian kerja

dalam masyarakat modern yang mengkristal pada

pengelompokkan individu karena tidak tertata baik justru

memperburuk keadaan pekerja, bahkan merubah relasi-relasi

sosial. Buruknya dampak pembagian kerja bagi masyarakat,

dijelaskannya dengan menunjuk apa yang terjadi dalam

keluarga. Demikian Marx menegaskan, bahwa:

With the division of labour, in which all these contradictions are implicit, and which in its turn is based on the natural division of labour in the family and the separation of society into individual families opposed to one another, is given

42 Doyle, Teori Sosiologi, 195.

44 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

simulthaneously the distribution, and indeed the unequal distribution, both quantitative and qualitative, of labour and its products, hence property: the nucleus, the first form, of which lies in the family, where wife and children are the slave of husband. This latent slavery in the family, though still very crude, is the first property, but even at this early stage it corresponds perfectly to the definition of modern economimict…43

Penekanan berbeda mengenai pembagian kerja dalam

pemikiran Marx merupakan refleksi akademis terhadap sistim

sosial yang dihadapinya. Sistim sosial yang mengatur pola relasi

sosial—borjuis dan proletar—berdasar pada hasil produksi dan

pembagian kerja. Relasi sosial yang mereduksi kemanusiaan

proletar, sehingga mengalami keterasingan dari pekerjaannya,

dari relasi-relasi sosial, dari relasi dan dalam keluarga, dan dari

dirinya sendiri.44 Marx juga menggambarkan relasi sosial yang

terjadi dalam masyarakat sebagai relasi yang didasarkan pada

kesadaran palsu. Karena kerjasama yang terbangun bukan

sebagai kekuatan yang menyatu, tetapi sebagai kekuatan asing

yang eksis di luar masyarakat yang asal-usul dan sasarannya

tidak dapat mereka tolak, menentang dan tidak terkontrol. Marx

menegaskan kembali, bahwa penyatuan demikian menjebak

individu dalam kesadaran palsu. Seolah-olah penyatuan yang

terjadi berdasarkan interes yang sama akan memberikan

perlindungan dan memperjuangkan interes mereka. Padahal

menurut penilaian Marx, bergabungnya individu dalam kelas-

kelas berdasarkan interes yang sama, pada akhirnya akan

menjadi senjata yang menyerang balik eksistensi mereka.

Karena berada dalam kelas menyebabkan individu kehilangan

eksistensinya; posisi dan pengembangan personalnya harus

43 Karl Marx, The German Ideology: Part I, dalam Robert C Tucker, ed. The

Marx-Engels Reader (New York-London: W.W. Norton & Company, 1978),

159,160.

44 Idem, The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, dalam Ibid, 72-74.

Identitas dan Perubahan Sosial 45

dilakukan dalam kategori yang ditentukan oleh kelasnya. 45

Masyarakat demikian adalah sesuatu yang tidak nyata, dipenuhi

oleh ilusi-ilusi yang kemudian melahirkan belenggu-belenggu

baru.46 Marx kemudian menawarkan perubahan sosial yang

konstruktif sebagai antitesa dari perubahan sosial yang

destruktif. Individu-individu yang terasing harus melakukan

revolusi sosial untuk menghapus dan menghancurkan

kepemilikan pribadi dan relasi asing yang terjadi dalam

masyarakat47.

Pemikiran tentang perubahan sosial dapat juga

ditemukan dalam tulisan Max Weber. Weber memang tidak

memberi porsi khusus bagi pembahasan mengenai perubahan

sosial, tetapi teorinya mengenai perubahan sosial dapat

ditemukan dalam tulisannya mengenai The Protestant Ethic and

The Spirit of Capitalism.” Dalam penjelasannya mengenai teologi

Calvin tentang orang yang terpilih untuk menerima rahmat,

Weber mengemukakan bahwa dari teologi tersebut kita

kemudian bisa mengerti keterkaitannya dengan semangat

kapitalisme. Selanjutnya Weber menjelaskan mengenai dua

penekanan dalam teologi Calvin tentang orang terpilih. Pertama,

orang terpilih memiliki keharusan untuk menjadi anggota

gereja, melakukan askese dalam rangka berkomunikasi secara

pribadi dengan Allah dan mematuhi firmanNya beradasarkan

kemampuan setiap orang. Kedua, orang-orang kristen pilihan

juga dikehendaki oleh Tuhan untuk mengelola kehidupan

sosialnya menurut firman Tuhan. Karenanya, aktivitas orang-

orang Kristen di dunia adalah in majorem gloriam Dei (semua

demi kemuliaan Tuhan). Ciri yang kuat dari in majorem gloriam

Dei yakni pemenuhan tugas sehari-hari; panggilan hidup yang

melayani kehidupan duniawi dari masyarakatnya.48 Karenanya,

45 Karl Marx, The German, 179.

46

Ibid, 197.

47

Ibid, 200.

48

Max Webber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Translated by

Talcot Parsons (New York: Dover Publicatian, INC., 2003), 108, 109.

46 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

menurut Weber dalam teologi Calvin, askese yang dimaksudkan

bukanlah seperti seorang rahib yang karena melakukan askese,

menarik diri dari dunia dan mengabaikan tugas-tugas sosial.

Sebaliknya, semua manusia adalah rahib pada semua

kehidupannya dan bahwa sebagai rahib manusia dipaksa

mengejar cita-cita asketis mereka di antara pekerja-pekerjaan

keduniawian.49 Pengajaran Calvin soal askese, semakin

berkembang dengan penekanan pada pentingnya membuktikan

iman seseorang dalam aktivitas duniawinya.50

Weber juga mengacu pada pemikiran Richard Baxter—

seorang Presbiterian dan seorang apologis dari Sinode

Westrminster mengenai etika puritan. Weber menyitir pikiran

Baxter yang menegaskan bahwa kesejahteraan dan kebaikan

umum harus diletakkan di atas kesejahteraan dan kebaikan kita.

Bexter juga menekankan, bahwa setiap orang harus bekerja

sebagaimana perintah Tuhan. Bahkan orang kaya sekalipun yang

hidup berkelimpahan dengan kekayaannya harus tetap bekerja

dan tidak boleh makan jika tidak bekerja, karena kerja adalah

perintah Allah yang harus dilakukan setiap individu demi

kemuliaan Allah. Bexter juga memberi penilian terhadap

pentingnya pembagian kerja. Pembagian kerja memungkinkan

untuk meningkatkan kemampuan individu yang kemudian akan

mengarah pada perbaikan-perbaikan produksi secara kualitatif

maupun kuantitatif. Pembagian kerja juga akan mengarahkan

individu pada penguasaan dan pelaksanaan kerja yang optimal.

Acuan pengajaran lain yang disitir Weber, yakni

pengajaran kaum Queker. Kaum ini meyakini bahwa kehidupan

manusia dalam panggilannya adalah suatu latihan dalam

keutamaan atau kebajikan asketis, suatu bukti dari “state of

grace” manusia melalui sifat hati-hati yang juga diharapkan

dapat digunakannya untuk mencari panggilannya. Bagi kaum

Quaker, kerja harus selalu dipahami dalam kaitan dengan

49 Ibid, 121.

50

Ibid, 128.

Identitas dan Perubahan Sosial 47

panggilan Tuhan, sehingga yang utama bukanlah pekerjaan

dalam dirinya melainkan pekerjaan rasional dalam suatu

panggilan. 51

Bagian terakhir dari tulisan Weber, yakni penilaiannya

terhadap askese kaum Puritan. Menurut Weber, ketika askese di

bawa keluar dari sel-sel monastik ke dalam kehidupan yang

nyata setiap hari, dan mulai mendominasi moralitas duniawi,

askese akhirnya berperan dalam membangun kosmos yang luar

biasa dari tatanan perekonomian modern—yang terikat pada

kondisi-kondisi teknis dan ekonomis dari produksi mesin-mesin

sekarang yang menentukan hidup semua manusia. Dalam askese

perhatian terhadap harta benda ekternal seharusnya hanya

seperti jas ringan yang ada di pundak santa, yang bisa dilempar

menjauh kapan saja. Yang terjadi sebaliknya, jas itu menjadi

suatu “sangkar besi.’ Karenanya, askese harus memperbaiki

dunia sedemikian rupa, sehingga kemudian menyebabkan harta

benda menjadi kekuatan yang solid terhadap hidup manusia.52

Sekarang menurut Weber, askese tidak lagi berada dalam

kurungan besi, tetapi kapitalisme telah menjadi kekuatan besar

yang tidak lagi membutuhkan dukungan agama.

Lepas dari pro kontra terhadap pemikiran Weber

demikian, tetapi pada intinya Weber berusaha menjelaskan

bahwa aspek-aspek tertentu dalam etika Protestan merupakan

perangsang yang kuat dalam meningkatkan pertumbuhan sistim

ekonomi kapitalis pada tahap-tahap pembentukannya.

Selanjutnya, setelah kapitalisme berdiri sebagai suatu sitim

ekonomi yang mandiri, semangat sistim ini yang benar-benar

sekuler mungkin secara ironis merusakkan etika agama apa saja

yang justru merupakan pendukung pada saat berdirinya. 53

51 Ibid, 161, 162.

52

Ibid, 181.

53 Doyle, Teori Sosiologi, 238, 239.