29
17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan Umum Tindak Pidana, Asas dan Klasifikasinya 1. Pengertian Tindak Pidana (Jarimah) Untuk mengetahui kapan dan bagaimana perbuatan atau tindakan seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, – sebagai bahan perbandingan – kiranya perlu mengenalkan beberapa gagasan para teoretisi untuk memberikan titik terang awal mengenai hukum secara terminologis sebagai satuan sistem yang terdiri dari beberapa unsur komunikatif dengan menyertakan segala hal yang melingkupinya. Ada beberapa syarat – sebuah kejadian – dapat dikatakan sebagai “peristiwa hukum”: yaitu, tindakan/ perbuatan (obyek), pelaku (subyek) dan ketentuan atau peraturan perundang-undangan. Adami Khazawi mendefinisikan tindakan secara letterlejk lebih disesuaikan dengan terjemahan dari istilah feit. 1 “Tindak” pada dasarnya merujuk pada hal kelakuan manusia secara positif (bansden) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang bersifat pasif atau negatif (nalaten). 2 Dan menurutnya, pengertian sebenarnya dalam istilah feit adalah mencakup dua kategori perbuatan, baik perbuatan tersebut aktif maupun pasif, pembagian tindakan hukum ini sesuai dengan pendapat Ahmad Hanafi. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh manusia. Sementara itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tindakan dengan tidak melakukan suatu perbuatan fisik apapun, yang oleh karenanya seseorang tersebut telah mengabaikan 1 Adami Khazawi, Pelajaran Pidana; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batasan Berlakunya Hukuman Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, cet. 2, hlm. 70. 2 Marsum, Fiqih Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: BAG. Penerbit FH UII, 1991, hlm. 2.

BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

  • Upload
    vuthien

  • View
    227

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

17

BAB II

JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH

A. Ketentuan Umum Tindak Pidana, Asas dan Klasifikasinya

1. Pengertian Tindak Pidana (Jarimah)

Untuk mengetahui kapan dan bagaimana perbuatan atau tindakan

seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, – sebagai bahan

perbandingan – kiranya perlu mengenalkan beberapa gagasan para

teoretisi untuk memberikan titik terang awal mengenai hukum secara

terminologis sebagai satuan sistem yang terdiri dari beberapa unsur

komunikatif dengan menyertakan segala hal yang melingkupinya.

Ada beberapa syarat – sebuah kejadian – dapat dikatakan sebagai

“peristiwa hukum”: yaitu, tindakan/ perbuatan (obyek), pelaku (subyek)

dan ketentuan atau peraturan perundang-undangan.

Adami Khazawi mendefinisikan tindakan secara letterlejk lebih

disesuaikan dengan terjemahan dari istilah feit.1 “Tindak” pada dasarnya

merujuk pada hal kelakuan manusia secara positif (bansden) semata, dan

tidak termasuk kelakuan manusia yang bersifat pasif atau negatif

(nalaten).2 Dan menurutnya, pengertian sebenarnya dalam istilah feit

adalah mencakup dua kategori perbuatan, baik perbuatan tersebut aktif

maupun pasif, pembagian tindakan hukum ini sesuai dengan pendapat

Ahmad Hanafi. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk

mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu gerakan atau

gerakan-gerakan dari tubuh manusia. Sementara itu, perbuatan pasif

adalah suatu bentuk tindakan dengan tidak melakukan suatu perbuatan

fisik apapun, yang oleh karenanya seseorang tersebut telah mengabaikan

1 Adami Khazawi, Pelajaran Pidana; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori

Pemidanaan dan Batasan Berlakunya Hukuman Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, cet. 2, hlm. 70.

2 Marsum, Fiqih Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: BAG. Penerbit FH UII, 1991, hlm. 2.

Page 2: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

18

kewajiban hukumnya, misalnya tidak menolong, atau perbuatan

membiarkan.

Sementara itu, dalam literatur Islam klasik seringkali mengartikan

amal (tindakan) dengan menitik beratkan pada unsur “niat” pelaku,

sebagaimana dikatakan bahwa “... ما األعمال بالنياتإن ” (sesungguhnya setiap

amal disertai dengan niat….) sebagai bentuk perencanaan suatu tindakan.3

Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa syarat utama sebuah pekerjaan

dikatakan tindakan secara fundamental diletakkan pada faktor pengada

(perencanaan), gambaran dalam pikiran terhadap suatu peristiwa, atau

dengan kata lain, reaksi daripada aksi. Sedangkan, dalam literatur ke-

Islam-an, sesuatu tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan jika

tidak disertai dengan niat. Dalam hal ini, kata dasar dari suatu tindakan

adalah “sadar dengan apa yang dikerjakan”, dan tindakan itu bisa berupa

melakukan atau tidak melakukan.

Setelah itu, bagaimana jika kata “tindakan” ini digabungkan

dengan kata “hukum” dalam satu terminologi “tindakan hukum”. Menurut

Ahmad Hanafi4 dan Sholehuddin5 dalam masing-masing karyanya

bersepakat dalam membagi tindakan atau perbuatan hukum (jarimah)

menjadi dua macam, sebagaimana disebutkan di atas, antara lain:

Pertama, perbuatan hukum positif, yakni tindakan hukum yang

dilakukan karena pelanggaran terhadap aturan hukum tertentu yang

bersifat larangan. Dan tindakan seperti ini disebut juga oleh Ahmad Hasan

dengan istilah (jarimah ijabiyyah).

Kedua, perbuatan atau tindakan hukum negatif, tindakan ini

merupakan kebalikan dari tindakan hukum yang pertama. Yaitu bentuk

3 Imam Abi Abdillah Muhammad, Shahih al-Bukhari, Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, 1981,

juz. I, hlm. 2. 4 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, hlm. 5. 5 Solahuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana; Ide Dasar Double Track System dan

Implementasinya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, cet. I, hlm. 20.

Page 3: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

19

perbuatan hukum karena pelanggarannya dengan meninggalkan segala

perintah hukum (jarimah salabiyyah).

Dengan demikian, dapat diambil mafhum muwafaqat-Nya (sesuai

dengan teks) mengenai perbuatan hukum. Bahwa tidak ada hukum ketika

belum terdapat peraturan yang mengaturnya (nullum dillektum noela

poena van rech…), inilah yang dikenal dalam istilah hukumnya sebagai

asas legalitas.6

Selanjutnya, secara definitif Dr. Wirjono Prodjodikromo,

sebagaimana dikutip dalam karya S.R. Sianturi memberikan penjelasan

bahwa “Hukum Pidana adalah semua aturan hukum positif yang berisikan

norma maupun aturan-aturan baik berupa larangan atau aturan, dan bagi

yang melanggar diancam sanksi atas pelanggaran norma tersebut berupa

ancaman hukuman pidana.7

Tidak ketinggalan, Roeslan Saleh pun ikut serta memperjelas

penjelasan di atas dengan menambahkan pertanyaan kapan dan dalam hal

apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat

dikenakan atau dijatuhi pidana, sebagaimana yang diancamkan. Selain itu

ia menjelaskan sampai pada persoalan dengan cara bagaimana pengenaan

pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah

melanggar larangan tersebut. Dengan demikian, definisi yang diberikan

oleh Roeslan mencakup tiga aspek sekaligus, perbuatan pidana (criminal

act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan ketentuan-

ketentuan acara pidana (criminal procedure).8

6 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 14. 7 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: PBK.

Gunung Mulia, 1996, hlm. 9. Pendapat Sianturi ini dijelaskan lebih detail oleh Imam Taqiyuddin dengan menyebutkan beberapa unsur-unsur jarimah yang ditetapkannya sebagai rukun jarimah: Pertama, rukun syar’i (unsur formil) dengan merujuk pada nash yang melarang atau memerintahkan perbuatan dan mengancam perbuatan terhadapnya. Kedua, rukun maddi (unsur materiil) yang menuntut adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik perbuatan-perbuatan tersebut nyata (hissi) maupun sikap tidak berbuat. Ketiga, rukun adabi (unsur moril), rukun yang ketiga ini menunjuk pada subyek yang dimintai pertanggungjawaban dan dipersyaratkan mukallaf atau cakap hukum. Lihat Taqiyyudin, Kifayat al-Akhyar, Semarang: Dar al-Ikhya, 1987, hlm. 219.

8 Roeslan Saleh, Beberapa Asas-asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Jakarta: Aksara Baru, 1981, cet. I, hlm. 10.

Page 4: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

20

Semua konsepsi tentang pidana secara definitif beserta asas-

asasnya tidak lain merupakan upaya mujtahid fiqih (fuqaha) untuk

mensistematisir ilmu kepidanaan dalam zona keislaman. Sedangkan dalam

literatur pokok Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah) sendiri tidak pernah

menyebutkan istilah-istilah tersebut secara eksplisit sebagaimana dikenal

sekarang, karena biasanya judgment (pembenar) yang banyak dipakai

untuk memberikan titel pada pelanggar syari’at adalah “kufr, dzulm”,9

sedangkan dimensi yang menonjol dalam bahasa tersebut lebih cenderung

pada unsur moral spiritual.

Sehingga ketika dikatakan bahwa hukum Tuhan adalah hukum

sebagaimana hukum yang ada dalam masyarakat akan menemui

keganjilannya. Hukum Islam akan mengalami alam remang-remangnya.

Benarkah hukum itu bentukan dari idealitas masyarakat (keinginan

masyarakat) dengan otonominya, atau ide Tuhan yang di-kognisi-kan

secara asimilatif kepada individu-individu melalui ajaran agama untuk

kemudian merubahnya secara halus sebagai nilai moral murni yang

tumbuh dalam sistem komunal masyarakat.

Sebab menguatnya dominasi hukum Islam – yang terletak pada

otoritas teks ketuhanan – atas tata nilai dalam masyarakat ini dapat

dijelaskan melalui dua sistem yang bekerja dalam masyarakat: Pertama,

dikarenakan kedekatan unsur spiritual dalam kehidupan sosial masyarakat

yang kemudian berkembang dan diterima menjadi “kepercayaan”. Setiap

hari, individu dilekatkan dengan berbagai bentuk ritual verbal, yang secara

spiritual mendorong pemeluk agama untuk mengkultuskan Tuhan mereka

sebagai sumber kebenaran tak terbandingi. Demikian unsur hegemonik

melekat dan bekerja secara simultan pada rutinitas ritual ibadah

9 Kata dhulm ini dalam Tafsir Jalalain, diartikan sebagai “Wadh’u syaiin fi ghairi

Mahallihi” (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya), atau bisa saja dikatakan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak layak untuk dikerjakan. Lihat, Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahally, Tafsir Jalalain, Semarang: Dar al-Ihya’, 1989, hl. 130.

Page 5: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

21

masyarakat.10 Kedua, tidak dapat dikendorkannya nilai spirit ini karena

sistem yang lazim dipakai adalah sistem estafet (turun temurun), dengan

mewariskan ajaran agama secara dogmatis kepada keturunan sesudahnya.

Jika asumsi yang kedua ini terjadi, maka kesadaran sebenarnya

yang muncul bukanlah berawal dari tuntutan anthroposentrik (idealitas

masyarakat otonom), akan tetapi lebih didominasi oleh kecenderungannya

yang theosentrik.

Sementara itu, terkait dengan tindakan/perbuatan dan pelaku

hukum, sebagai syarat suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai peristiwa

hukum, jika memenuhi ketiga syarat dibawah ini:

a. Harus ada suatu perbuatan manusia yang dikerjakan secara sadar;

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam

ketentuan hukum;

c. Harus terbukti adanya “dosa” (horisontal) pada orang yang berbuat,

yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam artian,

sebagai subyek hukum (pelaku) sudah dapat dinyatakan sebagai

subyek yang cakap hukum, sedangkan dosa horisontal ini dalam istilah

sosiologinya biasa disebut dengan perilaku menyimpang (dari

kebiasaan/norma);

d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

e. Terhadap perbuatan itu, harus tersedia ancaman hukumannya dalam

undang-undang.11

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata “tindakan”

ataupun “perbuatan” dalam diskursus hukum banyak digunakan untuk

peristiwa yang terjadi pasca konvensi atau positivisasi hukum, lebih

10 Ide Hegemonik ini dikembangkan oleh Antonio Gramsci. Di mata Gramsci, agar yang

dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma melalui dengan penguasaan secara “moral dan intelektual. Lihat, Restucturing Hegemony and The Changing Discourse of Development, Terj, Muhadi Sugiyono, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cet. 1, hlm. 31. Atau dapat juga dilihat dalam Roger Simon, Gramsci’s Political Thought, Terj. Kamdani dan Imam Baehaqi, Yogyakarta: IKAPI, 2000, cet. II, hl. 34.

11 S.R. Sianturi, op. cit, hlm. 13.

Page 6: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

22

jelasnya, sebelum sebuah pekerjaan dipositivisasikan dalam bentuk hukum

materiil verbal sebagaimana terkodifikasikan dalam peraturan

perundangan, tindakan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai

tindakan atau perbuatan hukum, baik perbuatan itu bersifat positif maupun

negatif. Dan makna tindakan ini kemudian mengalami pergeserannya yang

cenderung positivistik.

Akan tetapi, beberapa pihak tidak sepakat dengan pendapat yang

hanya mengakui keabsahan sebuah aturan hukum hanya diukur melalui

peraturan perundangan tertulis, di antaranya S.R. Sianturi berpendapat

dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, bahwa selain

hukum didasarkan pada fungsi materiil peraturan tertulis sebagaimana

disebutkan dalam Kitab Undang-Undang positif, terdapat pula bentuk

peraturan non verbal (aturan-aturan tidak tertulis) sebagaimana hukum

yang berlaku dalam masyarakat adat. Dan mempunyai fungsi sama

(seimbang) dengan hukum sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang

lainnya yang dikenal dengan hukum adat.

Pertimbangan Sianturi ini dapat ditelusuri lewat sejarah

terbentuknya hukum. Ketika kita rujuk perselisihan ini lewat pendapat

Wirjono Prodjodikromo yang mengatakan hukum adalah seperangkat

“norma yang berlaku dalam masyarakat”,12 maka dari sekelumit kutipan

kalimat ini dapat disimpulkan bahwa hukum positif juga mempunyai

kesamaan sumber dengan hukum adat, karena keduanya berakar dari

norma yang hidup dalam masyarakat tertentu sebelum membentuk dirinya

menjadi hukum.

Secara materiil, pendapat ini absah bagi semua teoritisi hukum,

dan untuk mengetahui lebih lanjut kebenaran tesis ini, akan dijelaskan

12 L.J. Van Aveldoon menyebutkan pengertian adat dengan maksud segala bentuk peraturan

tingkah laku, yang tidak termasuk lapangan hukum, kesusilaan dengan agama. Namun kata ADAT ini juga dapat diartikan lain untuk menyatakan tingkah laku yang berlaku untuk anggota-anggota lingkungan atau masyarakat tertentu. dengan demikian, perkataan adat sebagai hukum dimaksudkan untuk menunjuk segala aturan tingkah laku maupun kaidah-kaidah yang meletakkan kewajiban-kewajiban dalam masyarakat tertentu. Lihat L.J. Van Aveldoon, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, t.th, cet. XII, hlm. 41.

Page 7: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

23

mengenai sisi kesamaan sumber antara norma dan hukum, sebelum

melakukan justifikasi tentang keabsahan antara keduanya itu (hukum adat

tak tertulis dan hukum positif tertulis).

Untuk menyatakan keterkaitan antara keduanya, J.L. Van

Aveldoon menyebutkan persekutuan antara keduanya:

a. Bahwa keduanya berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang berjalan

dalam masyarakat;

b. Bahwa keduanya mempunyai sistem tata nilai berupa norma sebagai

pengikat, yang berasal dari sumber sama “norma” kebiasaan

masyarakat, sedangkan perbedaannya hanya terletak pada sisi

penekanan dan sanksi;

c. Bahwa keduanya mempunyai otoritas sama dalam suatu komunitas

tertentu dan masing-masing mempunyai wilayah teritori sendiri.

d. Keduanya merupakan konvensi yang menuntut suatu komunitas

untuk meratifikasikan diri dibawah tata nilai tersebut.13

2. Ketentuan dan nilai fungsional sanksi dalam hukum pidana

Salah satu unsur yang tak terpisahkan dalam sistem hukum adalah

sanksi, inilah yang membedakannya dengan institusi lain dalam suatu

masyarakat, begitu pula dengan hukum pidana. Dalam sistem hukum,

sanksi sebetulnya tidak dapat dipisahkan dengan norma-norma yang ada,

baik norma hukum, norma agama, kesopanan, maupun kesusilaan, dan

bahkan kadangkala suatu tindakan dapat mencakup pelanggaran terhadap

dua norma sekaligus atau lebih.

Sanksi secara fungsional pada umumnya adalah dimaksudkan

sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku

dalam suatu masyarakat tertentu. Sanksi terhadap norma keagamaan

misalnya, bahwa terhadap pelanggarannya kelak akan mendapatkan siksa

di neraka. Sanksi terhadap norma kesusilaan ialah pengucilan dari

pergaulan masyarakat yang bersangkutan.

13 Ibid, hlm. 43.

Page 8: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

24

Sanksi terhadap norma kesopanan adalah ia akan mendapatkan

perlakuan yang tidak terhormat dan lain sebagainya. Jelas bahwa sanksi

terhadap ketiga-tiganya norma tersebut, sepenuhnya tergantung pada

kesadaran perorangan, sehingga fungsi sanksi alat pemeriksaan lebih

banyak tergantung pada “kata hati nurani” seseorang.

Karena itu bagi orang yang tidak terlalu percaya kepada suatu

ajaran agama, sering terjadi bahwa ia tidak mempunyai rasa penyesalan

atau rasa tergugah, tidak peduli apakah ia akan dianggap baik oleh

masyarakat dan tidak tahu sopan santun.

Akibat dari perangai seperti ini banyak kepentingan-kepentingan

hidup manusia dalam entitas masyarakat tertentu terkena penggerogotan

hak karena benturan kepentingan perorangan yang individualistic.

Karena demi ketertiban umum, dirasakan perlu diadakan norma

lain yang dapat mem-presser konflik individual tersebut, atas dasar

pertimbangan inilah kemudian lahir norma hukum. Pada norma hukum

inilah, sanksi memiliki pengikat lebih kuat sebagai alat pemaksa dengan

memberikan wewenang pelaksanaannya kepada penguasa yang notabene

legitimate.

Dengan demikian, perbedaan sanksi antara norma hukum dan

norma-norma lain terletak pada aspek penerimaannya. Pada norma hukum,

sanksi secara langsung dapat dirasakan pada pelanggar melalui hukuman,

sedangkan pada norma-norma lain belum tentu dapat dirasakan, karena

obyek sanksinya berupa mental subyektif.

Dengan demikian, sanksi dapat berfungsi sebagai langkah

preventive sekaligus bersifat repressive. Sedangkan dalam persoalan

fungsi sanksi M. Shollahuddin menambahkan dua dasar pertimbangan

selain pertimbangan fungsional di atas, (1) Bahwa sanksi juga harus

berisikan maksud menakut-nakuti pelaku dan orang lain yang punya

potensi sama sebagaimana pelaku (li al-tadzhib). (2) Selain menakut-

Page 9: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

25

nakuti, sanksi juga harus mengandung unsur pembelajaran untuk

memperbaiki si pelanggar (li al-ta’dib atau li al-ta’lim).14

Karena semua ketentuan hukum didasarkan pada faktor sosial dan

bahwa hukum juga merupakan gambaran lain dari fakta sosial, maka dapat

disimpulkan bahwa secara historis dan teoritis tujuan primer pemidanaan

yang di dalamnya mengandung sanksi adalah penunjukan kebenaran atau

manfaat hukum (vindication of the law). Sedangkan tujuan dasar

skundernya adalah perlindungan masyarakat (protection of the public)

untuk menuju keharmonisan dalam tatanan masyarakat. Maksudnya, setiap

warga negara yang harus dilindungi dari tindakan buruk lebih lanjut oleh

pelanggar hukum dan semua orang dapat dibuat lebih menghormati suatu

“larangan”, agar si pelanggar hukum itu sendiri bukan hanya berhenti

melakukan tindakan pidana, tetapi juga dapat menjadi orang berguna atau

setidaknya tidak lagi membahayakan hak orang lain.

Beberapa pendapat di atas dapat diperlengkap dengan pendapat

Ahmad Hanafi yang membagi fungsi pemidanaan dalam hukum positif

menjadi beberapa fase:15

a) Fase “Balasan” (vengeance divine; atau al-intiqam al-fardi) yang

secara fungsional sanksi ini diperuntukkan bagi perorangan personal

pelaku pidana, atau secara sederhana dapat pula dikatakan bahwa

fase ini hanya bentuk pemidanaan dengan motif pembalasan pelaku

atas tindakan hukumnya sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana.

b) Fase “Balasan-Tuhan” (vengeance divine). Fase ini dapat disebut

juga dengan fase “intiqam al-‘aam; atau vengeance publique”

(balasan umum). Bentuk sanksi dalam fase ini didasarkan pada

legitimasi yuridis teks keagamaan dan kepercayaan. Sedangkan

disejajarkannya balasan Tuhan dengan balasan umum berdasarkan

atas kepercayaan yang bersifat konvensional dengan persamaan

persepsi dalam satu masyarakat tertentu. Bentuk sanksinya

14 Shollahuddin, op. cit, 162, lihat juga Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 54. 15 Ahmad Hanafi, Ibid, hlm. 258.

Page 10: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

26

cenderung bersifat psikis, berupa ancaman. Akan tetapi, untuk

“balasan umum”, balasan Tuhan hanya merupakan bentuk legitimasi

pembenar untuk dapat dilaksanakannya suatu pelaksanaan

pemidanaan.

c) Fase “kemanusiaan” (humanitaire; al-ashr al-insany). Dalam fase ini

segala macam bentuk kebijakan hukum didasarkan atas ide

humanisme yang lebih memprioritaskan sanksi pada aspek psikis

maupun mental, walaupun kadang-kadang bertentangan dengan fase

lain yang menghendaki balasan dalam bentuk eksploitasi fisik.

Namun secara nilai, penitikberatan sanksi dalam fase ini mempunyai

kesamaan tujuan (nilai pesan) dengan fase lain.

d) Fase “keilmuan” (scientifique; al-ashr al-‘ilmy), menurut fase ini

tujuan sanksi tidak lain adalah liishlahi wa al-ta’dibi (mendidik),

menyadarkan pembuat kejahatan untuk menyadari bahwa

tindakannya adalah secara hukum salah, karena merugikan

kepentingan orang lain dan menahan pelaku untuk tidak mengulangi

perbuatannya dan menahan orang lain untuk meniru.

Dan dalam fase keilmuan ini, pemidanaan ditujukan untuk (1)

melindungi masyarakat dari perbuatan jarimah, (2) mengantisipasi

segala bentuk hukuman yang tidak didasarkan atas pengamatan

ilmiah dan pengalaman praktis, (3) ditujukan untuk mempresser

(menanggulangi) sebab-sebab dan faktor yang mengakibatkan

terjadinya jarimah. Dalam ushul fiqh, langkah praktis ini sering

diterjemahkan dengan kaidah “ma la yatim al-wajib illa bihi fahua

wajibun”.16

16 al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, t.th. Jilid. I,

hlm. 256.

Page 11: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

27

3. Klasifikasi tindak pidana dalam fiqih jinayah

Sebagaimana disebutkan di sub sebelumnya, dipandang dari sisi

sifat, tindak pidana dibagi menjadi dua; pertama, pidana positif (berupa

mengerjakan tindakan yang dilarang oleh hukum ataupun syari’at). Kedua

pidana negatif (tindak pidana yang berbentuk tindakan meninggalkan

perintah atau anjuran hukum).

Sedangkan dari sisi tinggi rendahnya hukuman (sanksi), jarimah

atau perbuatan pidana diklasifikasikan menjadi tiga: hudud, qishash-diyat

dan ta’zir.

a) Jarimah Hudud

Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam hukuman had,

yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan

menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak

mempunyai batas terendah dan tertinggi. Sedangkan hak Tuhan ini

juga disamakan dengan kepentingan masyarakat, sebagaimana

dinyatakan bahwa tujuan dari segala bentuk konstruksi hukum pada

dasarnya adalah limashalihi al-ummat (untuk kemaslahatan ummat),

kalau dalam Islam tujuan tersebut dinamakan dengan maqashid al-

syari’ah.

Yang tergolong dalam jarimah hudud ini ada tujuh, yaitu:

zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), minum minuman

keras, mencuri, hirabah (pembegalan/perampokan, gangguan

keamanan), murtad, dan al-baghyu (pemberontakan).17

Namun, akibat pengaruh tempus (masa), masing-masing term

delik tersebut mengalami perkembangan. Untuk jarimah minuman

keras misalnya, sehingga kategorisasi tindakan pidana (jarimah) yang

didasarkan pada faktor berat ringannya sanksi tersebut memerlukan

kajian (ijtihad ulang) dalam arti mencari hukum-hukum baru melalui

17 Lihat, Syeikh al-Islam Abi Yahya Zakariyya al-Anshary, Fath al-Wahab bi al-Syarhi

Minhaj al-Thullab, Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 1994 M/ 1414 H, hlm. 185-203.

Page 12: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

28

kesamaan illat sebagaimana hukum-hukum terdahulu yang dianggap

sudah jelas penunjukannya.

b) Jarimah Qishash-Diyat

Yang dimaksud dengan jarimah qishash-diyat ini ialah

perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman qishash atau

hukuman diyat, baik diyat ini dimaksudkan sebagai pengganti, maupun

sebagai bentuk hukuman tambahan sebagaimana khilafiyah yang

terjadi di kalangan ulama tafsir. Baik qishash maupun diyat merupakan

hukuman yang jelas ketentuannya secara hukum, dan tidak mempunyai

batas hukuman tertinggi maupun terendah. Akan tetapi hukuman

terhadap qishash-diyat ini dalam penentuan sanksinya diserahkan

kepada perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban bisa

memaafkan si pelaku, dan apa bila dimaafkan, maka hukuman tersebut

menjadi hapus.

Ketentuan hukum semacam ini sangatlah bertentangan jika

dihadapkan dengan ketentuan umum pidana positif yang berlaku di

Indonesia, karena bisa jadi terdapat peringanan hukuman bahkan

amnesti terhadap pelaku pidana, padahal dalam ketentuan hukum

nasional, disebutkan bahwa “tidak ada amnesti terhadap semua

pelanggaran hukum yang tergolong dalam pelanggaran hukum publik”.

Dalam hal ini, hak pemutusan pidananya diserahkan kepada

kepentingan masyarakat dan bukan pada individu maupun kerabat

korban.

Tindakan yang tergolong dalam jarimah qishash-diyat ini

antara lain: (1) Pembunuhan sengaja (al-qathlu al-‘amdi); (2) Pembunuhan

semi sengaja (al-qathlu syibh al-‘amdi); (3) Pembunuhan karena kesilapan

(al-qathlu al-khata’); (4) Penganiayaan sengaja (al-jarh al-‘amdi);

(5) Penganiayaan tidak sengaja (al-jarhu ghair al-‘amdi aw al-khatta’).18

18 Abi Bakar al Masyhur bi al-Sayyid al-Bakri, Hasiyah I’anat al-Thalibin ’ala Halli Alfadz

Fath al-Mu’in Bisyarkhi Qurrat al-“Uyun Bimuhimmat al-Din, Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M, jilid. 4, hlm. 125. Rujukan untuk pembagian jarimah qishash ini dapat ditemukan juga

Page 13: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

29

Jarimah qishash-diyat kadang-kadang disebut juga oleh

fuqaha’ dengan jinayat, al-jirah atau ad-dima dan sering pula disebut

dengan hukuman hudud (artinya hukuman yang sudah ditentukan

batas-batasnya secara syar’i).

c) Jarimah Ta’zir

Secara definitif, jarimah ta’zir adalah perbuatan-perbuatan

hukum yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman untuk

memberikan pengajaran (li al-ta’dib) pada pelaku jarimah. Untuk

bentuk sanksi pada jarimah ini tidak ada ketentuan syar’i yang

mengaturnya. Dalam hal ini diserahkan seluruhnya kepada hakim

untuk memutuskan sanksi kepada pelaku, hukuman mana yang sesuai

dengan macam jarimah ta’zir serta keadaan si pembuatnya. Jadi,

hukuman-hukuman jarimah ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.

Inilah yang menjadikan jarimah ini berbeda dengan jarimah-jarimah

lain.19

Akan tetapi, perbedaan yang paling prinsipil dalam jarimah

ta’zir dengan jarimah lain terletak pada aspek timing keberlakuan

hukum dalam bentuk sanksi preventive-nya, antara hukum yang

ditetapkan sanksinya secara syar’i (berdasarkan nash teologis) dan

hukum yang sanksinya berasal pada ketetapan para penguasa melalui

media dalam bentuk perundang-undangan maupun produk hukum yang

berbentuk jurisprudence (berasal dari ketetapan hakim).

Dengan demikian penentuan hukum yang didasarkan atas

ketentuan nash syar’i selamanya akan dianggap sebagai jarimah (tidak

terbatas pada aspek lokus dan tempus), sedangkan hukum yang

berbentuk jurisprudence (berasal dari putusan hakim) maupun

dalam karya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid, Andalusia: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 595 H, jilid 2, hlm. 297-298. atau lebih jelas lagi dapat dibaca karya Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’iy, Beirut: Muassasah ar Risalah, 1992, Jilid. I, hlm. 79.

19 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zir fi al-Syari’at al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1396 H/1976 M, hlm. 38. lihat juga Ahmad Hasan, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm. 250.

Page 14: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

30

ketentuan undang-undang lain mempunyai keterbatasan ruang dan

waktu, tentang kapan suatu perbuatan secara kategorik dapat dianggap

sebagai tindakan pelanggaran hukum (jarimah).

Selain itu, dari sisi tabi’atnya yang khusus, jarimah dapat

dibedakan menjadi dua kategori: jarimah biasa dan jarimah politik.

Pemisahan tersebut didasarkan atas cakupan kemaslahatan

(keamanan dan ketertiban), dan pemeliharaan sendi-sendinya, oleh

karena itu, tidak setiap jarimah yang diperbuat demi tujuan-tujuan

politik dapat disebut murni sebagai jarimah politik, meskipun kadang-

kadang ada jarimah biasa yang diperbuat dalam suasana politik

tertentu bisa digolongkan pada jarimah politik.

Sebenarnya corak kedua macam jarimah tersebut tidak

berbeda, baik mengenai macam maupun cara memperbuatnya. Yang

membedakan keduanya terletak pada motif dilakukanannya jarimah

tersebut (faktor pembangkitnya).20

Yang menjadi syarat dimasukkannya jarimah dalam kategori

jarimah politik adalah:

Pertama¸ tidak melaksanakan perintah yang tergolong

menjadi hak Tuhan dan hak manusia. Contoh tindakan dalam golongan

ini di antaranya adalah tidak mau melaksanakan kewajiban berzakat,

atau tidak mau meratifikasikan diri kepada penguasa tertinggi sebuah

negara yang mempunyai otoritas secara legal maupun etis dalam

dataran legitimate (sah secara hukum dan etik).

20 Pernyataan ini didasarkan pada kejadian sejarah untuk dijadikan i’tibar, ketika terjadi

pembunuhan khalifah Ali bin Abi Thalib oleh seorang yang bernama Abdur Rahman bin Muljam, yang disinyalir terdapat motif politik di dalamnya. Sebelum kematiannya, Ali berpesan kepada puteranya al-Hasan: “tawanlah dia baik-baik, kalau saya hidup, maka akulah yang berkuasa atas jiwaku, dan kalau aku mati, maka bunuhlah dia seperti dia membunuh aku”. Dari kata-kata tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa khalifah Ali r.a. memandang perbuatan Abdurrahman tersebut sebagai pembunuhan biasa, tentunya ia tidak akan menyatakan bahwa dirinya berkuasa atas jiwanya, yang berarti bisa mengambil hukuman qishash dan bisa pula memaafkannya, dan tentunya tidak meminta kepada puteranya untuk mengambil qishash-nya pula (dengan membunuhnya). Lihat, Ahmad Hasan, op. cit. hlm. 18.

Page 15: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

31

Kedua, hendak menurunkan penguasa tertinggi dengan

melakukan pemberontakan atau makar atau dapat disebut pula dengan

bughat, sedangkan syarat untuk dapat disebut sebagai bughat adalah:

1) Didasarkan pada tujuan, yakni: harus mempunyai tujuan tertentu,

misalnya hendak mencopot penguasa/kepala negara atau badan

eksekutif (pemerintahan) atau hendak tidak menundukkan diri

kepadanya tanpa alasan penegakan keadilan.

2) Alasan, dengan mempertimbangkan alasan dilakukannya jarimah

perlawanan politik. Jika alasan yang digunakan dalam upaya

melakukan pemberontakan atau pergantian kekuasaan didasarkan

atas kedzaliman pemimpin, maka perbuatan tersebut tidak dapat

dikategorikan sebagai perbuatan baghyu (pemberontakan).

3) Untuk dapat digolongkan suatu tindakan sebagai jarimah politik,

maka suatu tindakan harus dilakukan dalam kondisi chaos politic.

Jika tidak maka perbuatan tersebut digolongkan dalam jarimah

biasa dengan sanksi biasa pula.

4. Pidana dan pemidanaan (penology)

Salah satu hal yang seringkali terlupakan – sebagai bahan

pertimbangan – dalam menentukan kapan suatu tindakan hukum dapat

dikenakan sanksi secara sah adalah pertimbangan sosiologis yang menitik

beratkan pada faktor timbulnya gejala sosial dalam masyarakat yang

secara tidak langsung memberikan pengaruh besar pada munculnya

tindakan pelanggaran hak yang oleh para ahli kemudian dikatakan sebagai

tindakan melanggar hukum. Inilah yang oleh para pakar pidana

kontemporer disebut dengan prinsip pemidanaan.

Menurut Muladi, hukum pidana modern yang bercirikan orientasi

pada perbuatan dan perilaku (daad- dader straafrech) stelsel sanksinya

tidak hanya meliputi pidana (straf, punishment), namun lebih

menitikberatkan pada muatan pendidikan.

Terhadap persoalan stelsel, ia menjelaskan lebih lanjut, bahwa

unsur paling pokok dari sistem stelsel pidana menurutnya terletak pada

Page 16: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

32

aspek sosiologis (melalui upaya penggambaran nilai-nilai sosial budaya

bangsa) dan seringkali tidak terlepas dari format politik bangsa yang

bersangkutan. Sanki harus dipandang sebagai salah satu unsur yang

esensial, bila kita melihat hukum sebagai kaidah. Hampir semua juris

berpandangan dogmatis, memandang hukum sebagai kaidah bersanksi

yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam masyarakatnya.21

Pernyataan ini sama dengan tesis Mahfudz MD. yang

menggambarkan konfigurasi hukum dengan bersandar pada konfigurasi

politik yang melingkupinya, jika tatanan politik bersifat otoriter maka

hukum pun akan menemukan kecenderungannnya yang repressive.22

Persoalan penology dalam kasus-kasus pidana secara asasi

memang merupakan pembahasan yang pelik. Hal ini terkait dengan dua

pertanyaan besar yang mendasari argumentasi diadakannya pemidanaan,

“mengapa dan untuk apa diadakan pemidanaan”. Terhadap permasalahan

ini, Sholahuddin dengan teori double track system –nya menjelaskan

dengan rinci dengan membedakan sanksi pidana di satu pihak dan sanksi

tindakan di pihak lain. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda:

sanksi pidana bersumber pada ide dasar: “mengapa diadakan pemidanaan”.

Sedangkan sanksi tindakan bertolak pada ide dasar: “untuk apa diadakan

pemidanaan”.23

Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif

terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat

antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana

ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan oleh seseorang

melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Dan

di lain pihak, sanksi tindakan memfokuskan diri pada tindakan lebih

terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.

21 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, cet. ke-3, hlm. 45.

22 Mahfudz. MD., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Jakarta: Gama Media, 2002, cet. II, hlm. 5.

23 Solahuddi, op. cit, 25.

Page 17: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

33

Dengan demikian, jelaslah bahwa sanksi pidana lebih

menekankan pada unsur pembalasan (imbalan atas tindakan). Ia

merupakan upaya memberikan penderitaan yang sengaja bagi seorang

pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar

perlindungan terhadap masyarakat dan pembinaan atau perawatan si

pembuat.24 Sebagaimana dikatakan Jonkers, bahwa sanksi pidana

dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang

dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang sifatnya

sosial.25

Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga

bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi

penderitaan istimewa kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat dari

perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap

pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan

terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan

sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur penderitaan.26

Sedangkan, sanksi tindakan tujuannya lebih mendidik.

Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan

merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada

prevensi hukum, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat

merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri. Singkatnya, sanksi pidana

berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan,

sementara sanksi tindakan berorientasi pada perlindungan ide dasar

perlindungan masyarakat.27

24 Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A, Semarang: Badan Penyediaan Kuliah FH-UNDIP,

1973, hlm. 7. 25 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT. Bina Aksara,

1987, hlm. 350. 26 Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:

Alumni, 1992, hlm. 5. 27 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi,

Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986, hlm. 53.

Page 18: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

34

B. Sejarah Diberlakukannya Qishash Dalam Fiqih Jinayah

Proposisi yang tepat, jika dikatakan bahwa setiap formulasi hukum

tidak dapat dilepaskan dari faktor sejarah yang diawali oleh serangkaian

peristiwa hukum tertentu. Proposisi ini dikuatkan dengan munculnya ide

asbab al-nuzul dalam disiplin ilmu tafsir, maupun asbab al-wurud dalam

disiplin ilmu hadits.28

Dalam Ilmu Tafsir, asbab al-nuzul menempati ruang lebih longgar

dibanding dengan pertimbangan lain, karena pada prinsipnya metode

penafsiran yang menggunakan pertimbangan sabab nuzul tidak akan luput dari

faktor sosiologis yang melingkupi lahirnya teks maupun pembahasaan teks

verbal itu sendiri dalam upayanya mencari ketepatan interpretasi untuk

mendapatkan pesan moral hukum di dalamnya.

Jika semua kejadian hukum memiliki latar historisnya masing-

masing, maka qishash sebagai produk hukum alternatif pun memiliki

historitasnya pula.

Yang sering menjadi sorotan dalam hukum qishash-diyat adalah

adanya sistem sanksi yang dianggap kejam dan tidak manusiawi oleh sebagian

kalangan pemerhati hukum, kesan atau opini negatif inilah yang mendominasi

sistem sanksi dalam pidana Islam.29

Apriori, jika pandangan itu hanya didasarkan pada alternatif hukum

sebagaimana yang sudah ada tanpa mempertimbangkan potensi eksternal di

sekeliling nash yang senantiasa mempengaruhi bentukan teks sebagaimana

konstruksi yang sekarang hadir dalam bentuknya yang praktis.

Untuk mencapai kesimpulan historis munculnya hukum qishash

dalam al-Qur’an akan dijelaskan beberapa fase sejarah secara kronologis:

28 Menurut Nasr Hamid, Asbab al-Nuzul berupaya mengetahui maksud ataupun dalalah nash melalui pertimbangan diturunkannya teks dengan melakukan pencandraan terhadap faktor-faktor historisnya, iapun menambahkan penjelasan dengan mengatakan bahwa turunnya teks merupakan reaksi atau respon teks atas realitas, baik dengan cara menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan hubungan dialogis - dialektik antara teks dengan realitas. Terj. Mafhum al-Nash Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2002, cet. II, hlm. 117.

29 Kritik bahwa sanksi dalam Islam memberikan kesan “kejam” inilah yang sering dilontarkan oleh para orientalis dan bahkan beberapa pemikir Islam kontemporer yang bertolak pada prinsip humaniter.

Page 19: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

35

1. Sistem Qishash Pra Islam

Sebenarnya, qishash sebagai terminologi hukum dalam sistem

pidana Islam (fiqih jinayah) mempunyai kesamaan arti dengan pidana lain,

namun bentuk sanksi yang masing-masing berlainan. Sedangkan qishash

secara otonom, dilahirkan dan tumbuh dalam tradisi masyarakat Arab.

Jika qishash dalam arti hukum Arab terminologis, tidak dapat

dilepaskan dari serangkaian peristiwa sejarah yang secara otonom berasal

dari pengalaman sosial masyarakat Arab. Maka, untuk melacak sisi

historisnya, diperlukan penjelasan eksploratif mengenai struktur budaya

maupun sosial masyarakat Arab.

Berdasarkan karakteristik daratannya, penduduk di semenanjung

Arab terbagi menjadi dua kelompok utama: orang-orang desa (Badui) yang

nomad dan masyarakat perkotaan (urban).30 Tidak selamanya ada garis

batas yang tegas antara kelompok urban dan nomad. Ada tahapan yang

semi nomaden dan tahapan semi-urban.

Masyarakat perkotaan tertentu yang sebelumnya merupakan

orang Badui menyangkal asal usul nomaden mereka, sementara beberapa

kelompok Badui lainnya berusaha menuju tahap masyarakat perkotaan.

Dengan demikian darah orang perkotaan terus mendapat penyegaran dari

orang Nomad.

Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun

dimotivasi oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan

perlindungan diri. Orang-orang nomad bersikeras mendapatkan sumber-

sumber tertentu yang tidak mereka miliki dari tetangganya yang lebih

nyaman tempat tinggalnya, dan hal itu ditempuh melalui jalan kekerasan

(penyerbuan kilat) ataupun jalan damai (pertukaran).

30 Lihat, Phillip K. Hitti, History of The Arabs; From The Earliest Times to the Present,

Terj., Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005, hlm. 28. Sedangkan Khalil Abdul Karim dalam bukunya Qurays min al-Qabilah ila al-Daulah al-Markaziyyah, terj. M. Faesol Fatawi, mendefinisikan masyarakat desa sebagai Ahl al-Madr, sedangkan masyarakat kota disebutnya dengan Ahl-al-Wabar, Yogyakarta: LKiS, 2002, cet. I,, hlm. 233.

Page 20: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

36

Orang-orang Badui dikenal dengan perampok di gurun yang

tandus. Orang nomad masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang

akan selalu mempunyai pola budaya sama. Keragaman, kemajuan, evolusi

bukanlah hukum alam yang siap mereka ikuti. Mereka enggan mengikuti

pengaruh dan cara hidup asing, mengikuti apa yang telah dilakukan oleh

para leluhur, itulah pilihan mereka.

Bagi para lelaki, bertani berarti merendahkan martabat mereka

dan nenek moyangnya. Aktifitas yang terhormat bagi kaum laki-laki

menurut mereka adalah pembiakan unta dan kuda, selanjutnya melakukan

perburuan dan menyergap di gurun.

Selain itu, bagi mereka, gurun pasir adalah benteng penjaga yang

sakral bagi tradisi untuk memelihara bahasa dan kemurnian darah mereka.

Gurun inilah yang menjadi benteng kokoh terhadap ancaman musuh dari

luar. Sumber air yang langka, panas terik yang menyengat, jejak yang

mudah terhapus, kurangnya persediaan makanan – yang merupakan musuh

pada kondisi yang normal – bagi mereka tidak lain adalah sekutu yang

setia dalam situasi penuh bahaya. Karena itu, tidaklah mengherankan jika

orang Arab enggan menundukkan kepala mereka pada kendali bangsa

asing.

Secara anatomis, kondisi demikian itu merupakan kumpulan

pembentuk jaringan syaraf, tulang dan otot orang suku Badui. kegersangan

tanah mereka tercermin dalam tampilan fisik mereka.

Salah satu faktor pemicu timbulnya konflik sosial yang membelah

masyarakat gurun menjadi beragam suku yang gemar berperang diantara

mereka diakibatkan perebutannya untuk mendapatkan air dan padang

rumput. Sedangkan secara sosial, mereka terbentuk dan disatukan oleh

sistem keluarga, dari kumpulan keluarga itu menyatu menjadi klan untuk

selanjutnya berkembang ke arah kelompok lebih besar lagi dengan bentuk

kesukuan (su’ubiyah).

Karena kuatnya semangat dan ikatan kesukuan memunculkan satu

jenis semangat yang dikenal dengan sebutan syu’ubiyyah (semangat

Page 21: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

37

kesukuan). Ia mengisyaratkan loyalitas kepada suku rela dan tanpa syarat

kepada anggota klannya dan secara umum mirip dengan patriotisme yang

bersifat fanatik dan chauvinistic.

Individualitas yang tumbuh dalam naungan ikatan kesukuan ini

menjadikan seseorang yang menjadi anggota klan diagungkan. Hinaan

bagi seseorang merupakan hinaan bagi klan tertentu, bahkan ikatan ini

menuntut pembalasan, jika terjadi pembunuhan terhadap salah satu

anggota klan tertentu.

Partikularisme yang kokoh dengan sikap individualitas per-klan-

an inilah yang menyebabkan muncul pandangan absolutisme setiap klan

maupun suku yang secara swasembada dapat berdiri sendiri tanpa suku

maupun klan lain. Akibat lain dari pandangan partikularistik ini dapat

digambarkan dengan disahkannya pembunuhan maupun pemberontakan

kepada klan maupun suku lain.31

Sampai masa datangnya Islam, budaya kesukuan tersebut masih

tetap terlihat dalam sistem sosial masyarakat Arab. Bahkan strategi ini

digunakan oleh Islam dalam usaha perluasan wilayahnya. Sebagaimana

dalam dikenal istilah “banu” pada sistem keturunan dikalangan arab

berikutnya.

Struktur kesukuan dengan segala karakteristik yang menyatu

bersamanya itulah yang menjadikan tumbuh kembangnya hukum qishash

dalam sistem sanksi dalam tata hukum masyarakat Arab.

Dari sisi historis, ayat ini turun dalam struktur masyarakat yang

berperadaban nomad (suka berpindah), penuh dengan kekerasan, dan

pembunuhan adalah sesuatu yang wajar bagi masyarakat Arab utara pada

saat itu, di antaranya adalah suku Badui.32

31 Bahkan, dalam sejarahnya pernah terjadi pembalasan darah antar suku selama kurang

lebih 40 tahun, antara suku Bakr dan suku Taghlib., Philip K. Hitti, op. cit, hlm. 33. 32 Asbabun Nuzul ayat qishash (al-Baqarah ayat 178) ini dapat dijelaskan dengan kebiasaan

sistemik masyarakat jahiliyah. Jika ada seorang hamba dari perkampungan yang terpandang dan disegani itu dibunuh oleh warga perkampungan lain, maka pihak perkampungan yang terpandang dan disegani tersebut berikrar bahwa “kami akan membunuh orang merdeka mereka sebagai balasannya”, dan jika yang membunuh itu wanita, maka mereka berkata bahwa “kami akan

Page 22: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

38

Salah satu kepribadian sosial masyarakat Arab saat itu adalah

hukum dendam yang menyatu dalam masyarakat dengan pola syu’ubiyyah

(kesukuan) yang mengikat individu-individu di dalamnya dan kemudian

membentuk kecenderungan emosi kolektif. Dengan demikian, semua yang

berkaitan dengan seorang yang terikat dalam suku tertentu, maka akan

mendapatkan jaminan dari ikatan kesukuan tersebut.

Keyakinan dalam budaya science yang positivistik adalah suatu

yang illusif, karena budaya ini hanya menerima kebenaran yang tertangkap

oleh indera. Begitulah peradaban science menanyakan keberadaan Tuhan

dan kebenaran nash yang selama ini dianggap sakral, sampai mencapai

tahap mitos, sehingga menanyakannya adalah tindakan yang amoral. Salah

satu gambaran ini adalah kasus takfir (pengkafiran) yang menimpa

beberapa pemikir kontemporer yang tergolong cukup liberal oleh pemikir

keagamaan yang dapat digolongkan ke dalam kelompok fundamentalis,

ketika mencoba menanyakan kebenaran mutlak teks ketuhanan.

Jika ditengok pada masa sebelum datangnya Islam, dengan

kondisi geografis benua Arab yang kering dengan sumber daya primer

yang sedikit seperti digambarkan dalam paragraf-paragraf sebelumnya,

sangatlah wajar jika seringkali terjadi perang, kewajaran ini didukung oleh

Charles Darwin dengan kecenderungan alami spesies untuk berjuang

sekuat mungkin mempertahankan eksistensinya baik melalui reproduksi

maupun upaya lain dari ancaman dunia luar yang resisten (mengancam).33

Secara lughawi (bahasa), sebenarnya hukum qishash sudah

berlaku secara sosial di benua Arabia, tanpa diilhami oleh kecenderungan

religius dari agama samawi manapun. Dan itu lama sebelum datangnya

membunuh laki-laki mereka sebagai balasannya , dan jika yang dibunuh itu laki-laki mereka akan berkata bahwa “kami akan membunuh mereka semua sebagai balasannya”. Lihat, Muhammad Ali Ash Shabuni, Rawai ‘al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Jilid I, hlm. 171-172.

33 Charles Darwin, The Origin of Species, terj. Susilo Hardo dan Basuki Hernowo, Asal-usul Spesies, Yogyakarta: Ikon, 2002, cet. I, hlm. 26.

Page 23: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

39

Islam. Maka kecenderungan ini hampir dapat dikatakan murni dari

dorongan yang alami dari bawaan manusia.

2. Sistem Qishash Masa Islam

Sebagaimana agama Samawi lain, Islam melalui Muhammad

sebagai agen penyampai risalah pun berupaya melakukan perubahan

terhadap bentuk anomi dalam masyarakat,34 dengan menawarkan jaminan

keselamatan, setelah kurang lebih 100 tahun masyarakat Arab tidak

didampingi oleh Rasul.35 Dalam kondisi demikian ini sangatlah wajar jika

banyak terjadi tindakan yang merugikan pihak lain.

Chaos atau kekacauan adalah bentuk masyarakat yang niscaya

ketika tidak ada seorangpun yang dapat dianggap sebagai symbol authority

(tokoh yang dijadikan sebagai pemegang otoritas tertinggi), dan dalam

masyarakat religius Arab pada saat itu dapat ditemukan dalam sosok

“Nabi”.36

Sebab signifikan dari terbentuknya budaya barbarian masyarakat

Arab pra Islam tersebut dapat dilihat melalui teori anomi Emile Durkheim

maupun Marton di atas. Ditinjau dari teori anomi ini, sangatlah wajar jika

watak yang dianggap destruktif itu muncul, karena memang sumber daya

yang tersedia pada saat itu sangatlah minim. Dan memperebutkan untuk

dapat mempertahankan diri adalah pilihan yang naturalistic (alamiah)

34 Durkheim menggambarkan konsep “anomi” ini dengan sebutan “a Condition of

Deregulation” yang terjadi dalam masyarakat. Dan keadaan tersebut sering diartikan pula dengan (keadaan masyarakat tanpa norma). Dan keadaan ini sangat mudah terjadinya penyimpangan tingkah laku. Selain itu, konsep anomi juga sering diterjemahkan sebagai “normalessness”. Beberapa pakar mengatakan bahwa lebih tepat jika diterjemahkan sebagai “deregulation”. Istilah normalessness ini menunjukkan kepada “total absence of norms”; sedang deregulation menunjuk kepada “inability of norms to control or regulate behavior”. Lebih jelasnya lihat dalam Romli Atmasasmita, SH., LLM., Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, 1992, PT. Eresco, hlm. 24.

35 Masa inilah yang dikenal kemudian dengan istilah “Masa Fatrah” atau masa kekosongan dimana masyarakat tidak didampingi oleh Rasul yang mempunyai peran besar menentukan arah kebijakan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Dan keadaan ini berlangsung sampai datangnya Muhammad dengan ajaran Islamnya.

36 Seperti inilah gambaran ketergantungan masyarakat pada masa kenabian, dan bagaimana tesis ini sangat jelas pasca wafatnya Nabi, dan khilafiyah pasca Nabi adalah realitas yang niscaya, bahkan perbedaan pendapat ini seperti ini tidak jarang menimbulkan konflik sosial. Lihat, Philip K Hitti, op. cit, hlm. 154.

Page 24: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

40

sebagaimana penjelasan Darwin. Sistem qishash yang berlebihan dalam

peradaban masyarakat Arab dengan tatanan masyarakat berdasarkan klan

tersebut mengalami reduksi setelah datangnya Islam dengan al-Qur’an

sebagai legitimasi yuridisnya.

Selain itu, sebagai agama yang memberikan tawaran rahmat

berupa keselamatan, Islam memberikan konsepsi baru mengenai qishash

dengan prinsip ta’adul (keadilan). Dengan prinsip ini, qishash tetap

diberlakukan dengan memberikan limit bi mitsli fi’il al-qatil (sesuai

dengan apa yang diperbuat oleh pembunuh) dengan kadar hukuman yang

berimbang. Jika yang terbunuh adalah budak, maka tidak diperbolehkan

dalam Islam untuk membalas pembunuhan tersebut dengan membunuh

orang merdeka.37

C. Formulasi Qishash-Diyat Dalam Fiqih Jinayah

Menurut bahasa, qishash adalah bentuk masdar, sedangkan asalnya

adalah qashasha yang artinya “mengikuti”, yakni mengikuti perbuatan sang

pelaku sebagai balasan dari perbuatannya.

Hukum qishash ada dua macam:

1. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana membunuh.

2. Qishash pelukaan, untuk tindak pidana menghilangkan anggota badan,

kemanfaatan pelukan anggota badan.

a. Pembunuhan

Ahmad Hanafi membagi pembunuhan menjadi tiga macam.

Yaitu:38

1. Pembunuhan sengaja (qathl al-‘amdi) yaitu perbuatan

penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk

37 Lihat lagi al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 178, an-Nisa’: 92, maupun al-Maidah: 45. atau tafsir dari masing-masing ayat qishash tersebut.

38 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, op. cit, hlm. 25. Lihat juga, Abi Bakar Sayyid al-Bakri, Hashiyah I’anah al-Thalibin, Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 1993, Juz. 4, hlm. 124. Atau Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (10), terj., Bandung: PT. al-Ma’rif , 1987, hlm. 39-42. pendapat ini berbeda dengan pendapat Abdul Qadir Audah. Menurutnya, jarimah pembunuhan ini dibagi menjadi dua macam, yaitu jara’im al-maqsudah dan al-jara’im ghairu maqsudah. Abdul Qadir Audah, op. cit, hlm. 83.

Page 25: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

41

menghilangkan nyawanya. Pembunuhan jenis ini harus memenuhi

unsur-unsur sebagai berikut:

a) Korban adalah orang hidup

b) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban

c) Ada niat pelaku untuk menghilangkan nyawa korban

d) Menggunakan alat yang mematikan

2. Pembunuhan karena kekhilapan (qath al-khata’), dalam jenis ini

ada tiga kemungkinan:

a) Bila pelaku pembunuhan sengaja melakukan suatu perbuatan

dengan tanpa maksud melakukan suatu kejahatan, tetapi

mengakibatkan kematian seseorang: kesalahan seperti ini

disebut salah dalam perbuatan (error in concrito);

b) Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dan mempunyai

niat, membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh

dibunuh, misalnya sengaja menembak seseorang yang disangka

musuh dalam peperangan, tetapi ternyata kawan sendiri:

kesalahan demikian disebut salah dalam maksud (error in

objekto);

c) Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tapi

akibat kelalaiannya dapat menimbulkan kematian, seperti

seseorang terjatuh dan menimpa bayi yang berada di bawahnya

hingga mati.

3. Pembunuhan semi sengaja (qathl syibh al-’amdi) yaitu perbuatan

penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk

membunuh, akan tetapi mengakibatkan kematian. Dengan unsur-

unsur sebagai berikut:

a) Pelaku melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian;

b) Ada maksud penganiayaan atau permusuhan;

c) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan

kematian korban.

Pembunuhan tersalah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Page 26: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

42

(1) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian

(2) Terjadinya perbuatan itu karena adanya kesalahan

(3) Adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara perbuatan

kesalahan dengan kematian korban.

Sedangkan pembunuhan yang dikenakan qishash adalah

kategori pembunuhan sengaja, sebagaimana disebutkan dalam firman

Allah:

هنلعه وليع الله غضبا والدا فيهخ منهج هآؤزدا فجمعتمنا مؤل مقتن يمو

وأعد له عذابا عظيما

Artinya: “Siapa yang membunuh orang mukmin dengan disengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Q.S. al-Nisa’: 93)

Menurut Abi Dhiya’ pada diri si pembunuh melekat tiga hak,

yaitu: hak Allah, hak terbunuh, dan hak wali terbunuh. Maka

seseorang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus di-qishash

sebagaimana yang terjadi pada korban (dengan dibunuh).39 Sedangkan

kalau ahli waris yang membunuh memaafkan pembunuh tersebut,

maka si pembunuh tidak terkena hukum qishash, tetapi si pelaku

diwajibkan membayar diyat (denda) seharga 100 ekor unta tunai

sebagai ganti qishash.

Pembunuhan yang tidak ada unsur sengaja pelakunya tidak

dikenai hukum qishash, tetapi hanya membayar diyat, sedangkan

pembunuhan yang tidak disengaja, pembunuhan yang tidak

direncanakan dalam arti mungkin salah sasaran tidak bermaksud

membunuh atau tidak tahu. Misalnya orang yang menembak binatang

namun mengenai orang lain. Maka pelakunya dikenakan qishash,

39 Abi Yahya Zakariya al-ANshari, Fath al-Wahab bi al-Syarkhi Manhaj al-Thalab, Beirut-

Lebanon: Dar al-Fikr, 1994, hlm. 155.

Page 27: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

43

tetapi pembunuhnya harus membayar diyat, yaitu dengan

memerdekakan budak dan memberi 100 ekor unta kepada keluarga

terbunuh. Seperti firman Allah:

ريرحطئا فتمنا خؤل من قتمطئا ومنا إال خؤل مقتمن أن يؤا كان لممو

ن من قوم عدو رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله إال أن يصدقوا فإن كا

يثاقم مهنيبو كمنيم بإن كان من قوة ومنؤة مقبر ريرحفت منؤم وهو لكم

فدية مسلمة إلى أهله وتحرير رقبة مؤمنة فمن لم يجد فصيام شهرين

ابعتتكيمامليما حع كان اللهالله و نة مبون تي

Artinya: “dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka hendaklah (si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakanhamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak memperolehnya maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Nisa’: 92)

Pembunuhan yang dikenakan qishash harus memenuhi syarat:

(1) Pembunuh sudah baligh

(2) Berakal sehat

(3) Terbunuh bukan orang kafir

(4) Yang dibunuh bukan budak

Page 28: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

44

b. Qishash Pelukan Anggota Badan

Qishash pelukaan adalah melukai, menghilangkan anggota

badan dan menghilangkan manfaat anggota badan orang lain. Syarat

qishash pelukaan adalah dengan anggota yang sepadan, misalnya

tangan kanan dengan tangan kanan dan sebagainya, sebagaimana

Firman Allah:

ن وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس والعين بالعين واألنف باألنف واألذ

ن لممو ة لهكفار وبه فه قدصن تفم اصقص وحرالجو نبالس نالسباألذن و

يحكم بما أنزل الله فأولـئك هم الظالمون

Artinya: “Dan kami telah terapkan terhadap mereka di dalamnya (at Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka-luka pun ada qishashnya. Barang siapa yang melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Dan barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (Q.S. al-Maidah: 45)

Menurut Imam Nawawi perhitungan pelukaan sebagai berikut:

1. Mudhihah ( luka sampai tulang), diyatnya 5 ekor unta (50) dinar, jika

muka menjadi cacat ditambah setengahnya menjadi 75 dinar;

2. Hasyimah (luka sampai pecah tulang), diyatnya 10 ekor unta (100

dinar);

3. Munaqillah (luka sampai tulangnya meleset), diyatnya 15 ekor unta

(150 dinar);

4. Mukmumah (luka sampai kulit tengkorak), diyatnya 1/3 diyat;

5. Jaifah (pelukan rongga badan), diyatnya 1/3 diyat.

Pelukaan di atas dianggap pelukaan berat, disamping itu ada jenis

pelukaan ringan yang disebut dengan harisah (terkelupas kulitnya),

dami’ah (luka berdarah), badhi’ah (tergores dagingnya), mutalahhimah

(luka sampai daging), simqah (luka sampai lapis tulang). Pelukaan jenis

Page 29: BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1... · 17 BAB II JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH A. Ketentuan

45

ringan ini diukur menurut dalam dan dangkalnya serta menurut

kebijaksanaan hakim.

Diyat penghilangan anggota badan seseorang, dituntut membayar

diyat sama halnya dengan diyat membunuh, yaitu 100 ekor unta. Anggota-

anggota badan adalah dua tangan, dua kaki, hidung, dua telinga, dua mata,

hilang akal dan hilangnya kemaluan.

Sedangkan Syarat utama untuk dapat dikenakannya sanksi hukum

qishash adalah seperti persyaratan orang membunuh yaitu pelaku tersebut

sudah tergolong mukallaf (baligh dan berakal).