Upload
vuthien
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH
A. Ketentuan Umum Tindak Pidana, Asas dan Klasifikasinya
1. Pengertian Tindak Pidana (Jarimah)
Untuk mengetahui kapan dan bagaimana perbuatan atau tindakan
seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, – sebagai bahan
perbandingan – kiranya perlu mengenalkan beberapa gagasan para
teoretisi untuk memberikan titik terang awal mengenai hukum secara
terminologis sebagai satuan sistem yang terdiri dari beberapa unsur
komunikatif dengan menyertakan segala hal yang melingkupinya.
Ada beberapa syarat – sebuah kejadian – dapat dikatakan sebagai
“peristiwa hukum”: yaitu, tindakan/ perbuatan (obyek), pelaku (subyek)
dan ketentuan atau peraturan perundang-undangan.
Adami Khazawi mendefinisikan tindakan secara letterlejk lebih
disesuaikan dengan terjemahan dari istilah feit.1 “Tindak” pada dasarnya
merujuk pada hal kelakuan manusia secara positif (bansden) semata, dan
tidak termasuk kelakuan manusia yang bersifat pasif atau negatif
(nalaten).2 Dan menurutnya, pengertian sebenarnya dalam istilah feit
adalah mencakup dua kategori perbuatan, baik perbuatan tersebut aktif
maupun pasif, pembagian tindakan hukum ini sesuai dengan pendapat
Ahmad Hanafi. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk
mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu gerakan atau
gerakan-gerakan dari tubuh manusia. Sementara itu, perbuatan pasif
adalah suatu bentuk tindakan dengan tidak melakukan suatu perbuatan
fisik apapun, yang oleh karenanya seseorang tersebut telah mengabaikan
1 Adami Khazawi, Pelajaran Pidana; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan dan Batasan Berlakunya Hukuman Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, cet. 2, hlm. 70.
2 Marsum, Fiqih Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: BAG. Penerbit FH UII, 1991, hlm. 2.
18
kewajiban hukumnya, misalnya tidak menolong, atau perbuatan
membiarkan.
Sementara itu, dalam literatur Islam klasik seringkali mengartikan
amal (tindakan) dengan menitik beratkan pada unsur “niat” pelaku,
sebagaimana dikatakan bahwa “... ما األعمال بالنياتإن ” (sesungguhnya setiap
amal disertai dengan niat….) sebagai bentuk perencanaan suatu tindakan.3
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa syarat utama sebuah pekerjaan
dikatakan tindakan secara fundamental diletakkan pada faktor pengada
(perencanaan), gambaran dalam pikiran terhadap suatu peristiwa, atau
dengan kata lain, reaksi daripada aksi. Sedangkan, dalam literatur ke-
Islam-an, sesuatu tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan jika
tidak disertai dengan niat. Dalam hal ini, kata dasar dari suatu tindakan
adalah “sadar dengan apa yang dikerjakan”, dan tindakan itu bisa berupa
melakukan atau tidak melakukan.
Setelah itu, bagaimana jika kata “tindakan” ini digabungkan
dengan kata “hukum” dalam satu terminologi “tindakan hukum”. Menurut
Ahmad Hanafi4 dan Sholehuddin5 dalam masing-masing karyanya
bersepakat dalam membagi tindakan atau perbuatan hukum (jarimah)
menjadi dua macam, sebagaimana disebutkan di atas, antara lain:
Pertama, perbuatan hukum positif, yakni tindakan hukum yang
dilakukan karena pelanggaran terhadap aturan hukum tertentu yang
bersifat larangan. Dan tindakan seperti ini disebut juga oleh Ahmad Hasan
dengan istilah (jarimah ijabiyyah).
Kedua, perbuatan atau tindakan hukum negatif, tindakan ini
merupakan kebalikan dari tindakan hukum yang pertama. Yaitu bentuk
3 Imam Abi Abdillah Muhammad, Shahih al-Bukhari, Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, 1981,
juz. I, hlm. 2. 4 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, hlm. 5. 5 Solahuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana; Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, cet. I, hlm. 20.
19
perbuatan hukum karena pelanggarannya dengan meninggalkan segala
perintah hukum (jarimah salabiyyah).
Dengan demikian, dapat diambil mafhum muwafaqat-Nya (sesuai
dengan teks) mengenai perbuatan hukum. Bahwa tidak ada hukum ketika
belum terdapat peraturan yang mengaturnya (nullum dillektum noela
poena van rech…), inilah yang dikenal dalam istilah hukumnya sebagai
asas legalitas.6
Selanjutnya, secara definitif Dr. Wirjono Prodjodikromo,
sebagaimana dikutip dalam karya S.R. Sianturi memberikan penjelasan
bahwa “Hukum Pidana adalah semua aturan hukum positif yang berisikan
norma maupun aturan-aturan baik berupa larangan atau aturan, dan bagi
yang melanggar diancam sanksi atas pelanggaran norma tersebut berupa
ancaman hukuman pidana.7
Tidak ketinggalan, Roeslan Saleh pun ikut serta memperjelas
penjelasan di atas dengan menambahkan pertanyaan kapan dan dalam hal
apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat
dikenakan atau dijatuhi pidana, sebagaimana yang diancamkan. Selain itu
ia menjelaskan sampai pada persoalan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut. Dengan demikian, definisi yang diberikan
oleh Roeslan mencakup tiga aspek sekaligus, perbuatan pidana (criminal
act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan ketentuan-
ketentuan acara pidana (criminal procedure).8
6 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 14. 7 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: PBK.
Gunung Mulia, 1996, hlm. 9. Pendapat Sianturi ini dijelaskan lebih detail oleh Imam Taqiyuddin dengan menyebutkan beberapa unsur-unsur jarimah yang ditetapkannya sebagai rukun jarimah: Pertama, rukun syar’i (unsur formil) dengan merujuk pada nash yang melarang atau memerintahkan perbuatan dan mengancam perbuatan terhadapnya. Kedua, rukun maddi (unsur materiil) yang menuntut adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik perbuatan-perbuatan tersebut nyata (hissi) maupun sikap tidak berbuat. Ketiga, rukun adabi (unsur moril), rukun yang ketiga ini menunjuk pada subyek yang dimintai pertanggungjawaban dan dipersyaratkan mukallaf atau cakap hukum. Lihat Taqiyyudin, Kifayat al-Akhyar, Semarang: Dar al-Ikhya, 1987, hlm. 219.
8 Roeslan Saleh, Beberapa Asas-asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Jakarta: Aksara Baru, 1981, cet. I, hlm. 10.
20
Semua konsepsi tentang pidana secara definitif beserta asas-
asasnya tidak lain merupakan upaya mujtahid fiqih (fuqaha) untuk
mensistematisir ilmu kepidanaan dalam zona keislaman. Sedangkan dalam
literatur pokok Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah) sendiri tidak pernah
menyebutkan istilah-istilah tersebut secara eksplisit sebagaimana dikenal
sekarang, karena biasanya judgment (pembenar) yang banyak dipakai
untuk memberikan titel pada pelanggar syari’at adalah “kufr, dzulm”,9
sedangkan dimensi yang menonjol dalam bahasa tersebut lebih cenderung
pada unsur moral spiritual.
Sehingga ketika dikatakan bahwa hukum Tuhan adalah hukum
sebagaimana hukum yang ada dalam masyarakat akan menemui
keganjilannya. Hukum Islam akan mengalami alam remang-remangnya.
Benarkah hukum itu bentukan dari idealitas masyarakat (keinginan
masyarakat) dengan otonominya, atau ide Tuhan yang di-kognisi-kan
secara asimilatif kepada individu-individu melalui ajaran agama untuk
kemudian merubahnya secara halus sebagai nilai moral murni yang
tumbuh dalam sistem komunal masyarakat.
Sebab menguatnya dominasi hukum Islam – yang terletak pada
otoritas teks ketuhanan – atas tata nilai dalam masyarakat ini dapat
dijelaskan melalui dua sistem yang bekerja dalam masyarakat: Pertama,
dikarenakan kedekatan unsur spiritual dalam kehidupan sosial masyarakat
yang kemudian berkembang dan diterima menjadi “kepercayaan”. Setiap
hari, individu dilekatkan dengan berbagai bentuk ritual verbal, yang secara
spiritual mendorong pemeluk agama untuk mengkultuskan Tuhan mereka
sebagai sumber kebenaran tak terbandingi. Demikian unsur hegemonik
melekat dan bekerja secara simultan pada rutinitas ritual ibadah
9 Kata dhulm ini dalam Tafsir Jalalain, diartikan sebagai “Wadh’u syaiin fi ghairi
Mahallihi” (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya), atau bisa saja dikatakan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak layak untuk dikerjakan. Lihat, Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahally, Tafsir Jalalain, Semarang: Dar al-Ihya’, 1989, hl. 130.
21
masyarakat.10 Kedua, tidak dapat dikendorkannya nilai spirit ini karena
sistem yang lazim dipakai adalah sistem estafet (turun temurun), dengan
mewariskan ajaran agama secara dogmatis kepada keturunan sesudahnya.
Jika asumsi yang kedua ini terjadi, maka kesadaran sebenarnya
yang muncul bukanlah berawal dari tuntutan anthroposentrik (idealitas
masyarakat otonom), akan tetapi lebih didominasi oleh kecenderungannya
yang theosentrik.
Sementara itu, terkait dengan tindakan/perbuatan dan pelaku
hukum, sebagai syarat suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai peristiwa
hukum, jika memenuhi ketiga syarat dibawah ini:
a. Harus ada suatu perbuatan manusia yang dikerjakan secara sadar;
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam
ketentuan hukum;
c. Harus terbukti adanya “dosa” (horisontal) pada orang yang berbuat,
yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam artian,
sebagai subyek hukum (pelaku) sudah dapat dinyatakan sebagai
subyek yang cakap hukum, sedangkan dosa horisontal ini dalam istilah
sosiologinya biasa disebut dengan perilaku menyimpang (dari
kebiasaan/norma);
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
e. Terhadap perbuatan itu, harus tersedia ancaman hukumannya dalam
undang-undang.11
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata “tindakan”
ataupun “perbuatan” dalam diskursus hukum banyak digunakan untuk
peristiwa yang terjadi pasca konvensi atau positivisasi hukum, lebih
10 Ide Hegemonik ini dikembangkan oleh Antonio Gramsci. Di mata Gramsci, agar yang
dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma melalui dengan penguasaan secara “moral dan intelektual. Lihat, Restucturing Hegemony and The Changing Discourse of Development, Terj, Muhadi Sugiyono, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cet. 1, hlm. 31. Atau dapat juga dilihat dalam Roger Simon, Gramsci’s Political Thought, Terj. Kamdani dan Imam Baehaqi, Yogyakarta: IKAPI, 2000, cet. II, hl. 34.
11 S.R. Sianturi, op. cit, hlm. 13.
22
jelasnya, sebelum sebuah pekerjaan dipositivisasikan dalam bentuk hukum
materiil verbal sebagaimana terkodifikasikan dalam peraturan
perundangan, tindakan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai
tindakan atau perbuatan hukum, baik perbuatan itu bersifat positif maupun
negatif. Dan makna tindakan ini kemudian mengalami pergeserannya yang
cenderung positivistik.
Akan tetapi, beberapa pihak tidak sepakat dengan pendapat yang
hanya mengakui keabsahan sebuah aturan hukum hanya diukur melalui
peraturan perundangan tertulis, di antaranya S.R. Sianturi berpendapat
dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, bahwa selain
hukum didasarkan pada fungsi materiil peraturan tertulis sebagaimana
disebutkan dalam Kitab Undang-Undang positif, terdapat pula bentuk
peraturan non verbal (aturan-aturan tidak tertulis) sebagaimana hukum
yang berlaku dalam masyarakat adat. Dan mempunyai fungsi sama
(seimbang) dengan hukum sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang
lainnya yang dikenal dengan hukum adat.
Pertimbangan Sianturi ini dapat ditelusuri lewat sejarah
terbentuknya hukum. Ketika kita rujuk perselisihan ini lewat pendapat
Wirjono Prodjodikromo yang mengatakan hukum adalah seperangkat
“norma yang berlaku dalam masyarakat”,12 maka dari sekelumit kutipan
kalimat ini dapat disimpulkan bahwa hukum positif juga mempunyai
kesamaan sumber dengan hukum adat, karena keduanya berakar dari
norma yang hidup dalam masyarakat tertentu sebelum membentuk dirinya
menjadi hukum.
Secara materiil, pendapat ini absah bagi semua teoritisi hukum,
dan untuk mengetahui lebih lanjut kebenaran tesis ini, akan dijelaskan
12 L.J. Van Aveldoon menyebutkan pengertian adat dengan maksud segala bentuk peraturan
tingkah laku, yang tidak termasuk lapangan hukum, kesusilaan dengan agama. Namun kata ADAT ini juga dapat diartikan lain untuk menyatakan tingkah laku yang berlaku untuk anggota-anggota lingkungan atau masyarakat tertentu. dengan demikian, perkataan adat sebagai hukum dimaksudkan untuk menunjuk segala aturan tingkah laku maupun kaidah-kaidah yang meletakkan kewajiban-kewajiban dalam masyarakat tertentu. Lihat L.J. Van Aveldoon, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, t.th, cet. XII, hlm. 41.
23
mengenai sisi kesamaan sumber antara norma dan hukum, sebelum
melakukan justifikasi tentang keabsahan antara keduanya itu (hukum adat
tak tertulis dan hukum positif tertulis).
Untuk menyatakan keterkaitan antara keduanya, J.L. Van
Aveldoon menyebutkan persekutuan antara keduanya:
a. Bahwa keduanya berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang berjalan
dalam masyarakat;
b. Bahwa keduanya mempunyai sistem tata nilai berupa norma sebagai
pengikat, yang berasal dari sumber sama “norma” kebiasaan
masyarakat, sedangkan perbedaannya hanya terletak pada sisi
penekanan dan sanksi;
c. Bahwa keduanya mempunyai otoritas sama dalam suatu komunitas
tertentu dan masing-masing mempunyai wilayah teritori sendiri.
d. Keduanya merupakan konvensi yang menuntut suatu komunitas
untuk meratifikasikan diri dibawah tata nilai tersebut.13
2. Ketentuan dan nilai fungsional sanksi dalam hukum pidana
Salah satu unsur yang tak terpisahkan dalam sistem hukum adalah
sanksi, inilah yang membedakannya dengan institusi lain dalam suatu
masyarakat, begitu pula dengan hukum pidana. Dalam sistem hukum,
sanksi sebetulnya tidak dapat dipisahkan dengan norma-norma yang ada,
baik norma hukum, norma agama, kesopanan, maupun kesusilaan, dan
bahkan kadangkala suatu tindakan dapat mencakup pelanggaran terhadap
dua norma sekaligus atau lebih.
Sanksi secara fungsional pada umumnya adalah dimaksudkan
sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku
dalam suatu masyarakat tertentu. Sanksi terhadap norma keagamaan
misalnya, bahwa terhadap pelanggarannya kelak akan mendapatkan siksa
di neraka. Sanksi terhadap norma kesusilaan ialah pengucilan dari
pergaulan masyarakat yang bersangkutan.
13 Ibid, hlm. 43.
24
Sanksi terhadap norma kesopanan adalah ia akan mendapatkan
perlakuan yang tidak terhormat dan lain sebagainya. Jelas bahwa sanksi
terhadap ketiga-tiganya norma tersebut, sepenuhnya tergantung pada
kesadaran perorangan, sehingga fungsi sanksi alat pemeriksaan lebih
banyak tergantung pada “kata hati nurani” seseorang.
Karena itu bagi orang yang tidak terlalu percaya kepada suatu
ajaran agama, sering terjadi bahwa ia tidak mempunyai rasa penyesalan
atau rasa tergugah, tidak peduli apakah ia akan dianggap baik oleh
masyarakat dan tidak tahu sopan santun.
Akibat dari perangai seperti ini banyak kepentingan-kepentingan
hidup manusia dalam entitas masyarakat tertentu terkena penggerogotan
hak karena benturan kepentingan perorangan yang individualistic.
Karena demi ketertiban umum, dirasakan perlu diadakan norma
lain yang dapat mem-presser konflik individual tersebut, atas dasar
pertimbangan inilah kemudian lahir norma hukum. Pada norma hukum
inilah, sanksi memiliki pengikat lebih kuat sebagai alat pemaksa dengan
memberikan wewenang pelaksanaannya kepada penguasa yang notabene
legitimate.
Dengan demikian, perbedaan sanksi antara norma hukum dan
norma-norma lain terletak pada aspek penerimaannya. Pada norma hukum,
sanksi secara langsung dapat dirasakan pada pelanggar melalui hukuman,
sedangkan pada norma-norma lain belum tentu dapat dirasakan, karena
obyek sanksinya berupa mental subyektif.
Dengan demikian, sanksi dapat berfungsi sebagai langkah
preventive sekaligus bersifat repressive. Sedangkan dalam persoalan
fungsi sanksi M. Shollahuddin menambahkan dua dasar pertimbangan
selain pertimbangan fungsional di atas, (1) Bahwa sanksi juga harus
berisikan maksud menakut-nakuti pelaku dan orang lain yang punya
potensi sama sebagaimana pelaku (li al-tadzhib). (2) Selain menakut-
25
nakuti, sanksi juga harus mengandung unsur pembelajaran untuk
memperbaiki si pelanggar (li al-ta’dib atau li al-ta’lim).14
Karena semua ketentuan hukum didasarkan pada faktor sosial dan
bahwa hukum juga merupakan gambaran lain dari fakta sosial, maka dapat
disimpulkan bahwa secara historis dan teoritis tujuan primer pemidanaan
yang di dalamnya mengandung sanksi adalah penunjukan kebenaran atau
manfaat hukum (vindication of the law). Sedangkan tujuan dasar
skundernya adalah perlindungan masyarakat (protection of the public)
untuk menuju keharmonisan dalam tatanan masyarakat. Maksudnya, setiap
warga negara yang harus dilindungi dari tindakan buruk lebih lanjut oleh
pelanggar hukum dan semua orang dapat dibuat lebih menghormati suatu
“larangan”, agar si pelanggar hukum itu sendiri bukan hanya berhenti
melakukan tindakan pidana, tetapi juga dapat menjadi orang berguna atau
setidaknya tidak lagi membahayakan hak orang lain.
Beberapa pendapat di atas dapat diperlengkap dengan pendapat
Ahmad Hanafi yang membagi fungsi pemidanaan dalam hukum positif
menjadi beberapa fase:15
a) Fase “Balasan” (vengeance divine; atau al-intiqam al-fardi) yang
secara fungsional sanksi ini diperuntukkan bagi perorangan personal
pelaku pidana, atau secara sederhana dapat pula dikatakan bahwa
fase ini hanya bentuk pemidanaan dengan motif pembalasan pelaku
atas tindakan hukumnya sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana.
b) Fase “Balasan-Tuhan” (vengeance divine). Fase ini dapat disebut
juga dengan fase “intiqam al-‘aam; atau vengeance publique”
(balasan umum). Bentuk sanksi dalam fase ini didasarkan pada
legitimasi yuridis teks keagamaan dan kepercayaan. Sedangkan
disejajarkannya balasan Tuhan dengan balasan umum berdasarkan
atas kepercayaan yang bersifat konvensional dengan persamaan
persepsi dalam satu masyarakat tertentu. Bentuk sanksinya
14 Shollahuddin, op. cit, 162, lihat juga Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 54. 15 Ahmad Hanafi, Ibid, hlm. 258.
26
cenderung bersifat psikis, berupa ancaman. Akan tetapi, untuk
“balasan umum”, balasan Tuhan hanya merupakan bentuk legitimasi
pembenar untuk dapat dilaksanakannya suatu pelaksanaan
pemidanaan.
c) Fase “kemanusiaan” (humanitaire; al-ashr al-insany). Dalam fase ini
segala macam bentuk kebijakan hukum didasarkan atas ide
humanisme yang lebih memprioritaskan sanksi pada aspek psikis
maupun mental, walaupun kadang-kadang bertentangan dengan fase
lain yang menghendaki balasan dalam bentuk eksploitasi fisik.
Namun secara nilai, penitikberatan sanksi dalam fase ini mempunyai
kesamaan tujuan (nilai pesan) dengan fase lain.
d) Fase “keilmuan” (scientifique; al-ashr al-‘ilmy), menurut fase ini
tujuan sanksi tidak lain adalah liishlahi wa al-ta’dibi (mendidik),
menyadarkan pembuat kejahatan untuk menyadari bahwa
tindakannya adalah secara hukum salah, karena merugikan
kepentingan orang lain dan menahan pelaku untuk tidak mengulangi
perbuatannya dan menahan orang lain untuk meniru.
Dan dalam fase keilmuan ini, pemidanaan ditujukan untuk (1)
melindungi masyarakat dari perbuatan jarimah, (2) mengantisipasi
segala bentuk hukuman yang tidak didasarkan atas pengamatan
ilmiah dan pengalaman praktis, (3) ditujukan untuk mempresser
(menanggulangi) sebab-sebab dan faktor yang mengakibatkan
terjadinya jarimah. Dalam ushul fiqh, langkah praktis ini sering
diterjemahkan dengan kaidah “ma la yatim al-wajib illa bihi fahua
wajibun”.16
16 al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, t.th. Jilid. I,
hlm. 256.
27
3. Klasifikasi tindak pidana dalam fiqih jinayah
Sebagaimana disebutkan di sub sebelumnya, dipandang dari sisi
sifat, tindak pidana dibagi menjadi dua; pertama, pidana positif (berupa
mengerjakan tindakan yang dilarang oleh hukum ataupun syari’at). Kedua
pidana negatif (tindak pidana yang berbentuk tindakan meninggalkan
perintah atau anjuran hukum).
Sedangkan dari sisi tinggi rendahnya hukuman (sanksi), jarimah
atau perbuatan pidana diklasifikasikan menjadi tiga: hudud, qishash-diyat
dan ta’zir.
a) Jarimah Hudud
Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam hukuman had,
yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan
menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak
mempunyai batas terendah dan tertinggi. Sedangkan hak Tuhan ini
juga disamakan dengan kepentingan masyarakat, sebagaimana
dinyatakan bahwa tujuan dari segala bentuk konstruksi hukum pada
dasarnya adalah limashalihi al-ummat (untuk kemaslahatan ummat),
kalau dalam Islam tujuan tersebut dinamakan dengan maqashid al-
syari’ah.
Yang tergolong dalam jarimah hudud ini ada tujuh, yaitu:
zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), minum minuman
keras, mencuri, hirabah (pembegalan/perampokan, gangguan
keamanan), murtad, dan al-baghyu (pemberontakan).17
Namun, akibat pengaruh tempus (masa), masing-masing term
delik tersebut mengalami perkembangan. Untuk jarimah minuman
keras misalnya, sehingga kategorisasi tindakan pidana (jarimah) yang
didasarkan pada faktor berat ringannya sanksi tersebut memerlukan
kajian (ijtihad ulang) dalam arti mencari hukum-hukum baru melalui
17 Lihat, Syeikh al-Islam Abi Yahya Zakariyya al-Anshary, Fath al-Wahab bi al-Syarhi
Minhaj al-Thullab, Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 1994 M/ 1414 H, hlm. 185-203.
28
kesamaan illat sebagaimana hukum-hukum terdahulu yang dianggap
sudah jelas penunjukannya.
b) Jarimah Qishash-Diyat
Yang dimaksud dengan jarimah qishash-diyat ini ialah
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman qishash atau
hukuman diyat, baik diyat ini dimaksudkan sebagai pengganti, maupun
sebagai bentuk hukuman tambahan sebagaimana khilafiyah yang
terjadi di kalangan ulama tafsir. Baik qishash maupun diyat merupakan
hukuman yang jelas ketentuannya secara hukum, dan tidak mempunyai
batas hukuman tertinggi maupun terendah. Akan tetapi hukuman
terhadap qishash-diyat ini dalam penentuan sanksinya diserahkan
kepada perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban bisa
memaafkan si pelaku, dan apa bila dimaafkan, maka hukuman tersebut
menjadi hapus.
Ketentuan hukum semacam ini sangatlah bertentangan jika
dihadapkan dengan ketentuan umum pidana positif yang berlaku di
Indonesia, karena bisa jadi terdapat peringanan hukuman bahkan
amnesti terhadap pelaku pidana, padahal dalam ketentuan hukum
nasional, disebutkan bahwa “tidak ada amnesti terhadap semua
pelanggaran hukum yang tergolong dalam pelanggaran hukum publik”.
Dalam hal ini, hak pemutusan pidananya diserahkan kepada
kepentingan masyarakat dan bukan pada individu maupun kerabat
korban.
Tindakan yang tergolong dalam jarimah qishash-diyat ini
antara lain: (1) Pembunuhan sengaja (al-qathlu al-‘amdi); (2) Pembunuhan
semi sengaja (al-qathlu syibh al-‘amdi); (3) Pembunuhan karena kesilapan
(al-qathlu al-khata’); (4) Penganiayaan sengaja (al-jarh al-‘amdi);
(5) Penganiayaan tidak sengaja (al-jarhu ghair al-‘amdi aw al-khatta’).18
18 Abi Bakar al Masyhur bi al-Sayyid al-Bakri, Hasiyah I’anat al-Thalibin ’ala Halli Alfadz
Fath al-Mu’in Bisyarkhi Qurrat al-“Uyun Bimuhimmat al-Din, Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M, jilid. 4, hlm. 125. Rujukan untuk pembagian jarimah qishash ini dapat ditemukan juga
29
Jarimah qishash-diyat kadang-kadang disebut juga oleh
fuqaha’ dengan jinayat, al-jirah atau ad-dima dan sering pula disebut
dengan hukuman hudud (artinya hukuman yang sudah ditentukan
batas-batasnya secara syar’i).
c) Jarimah Ta’zir
Secara definitif, jarimah ta’zir adalah perbuatan-perbuatan
hukum yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman untuk
memberikan pengajaran (li al-ta’dib) pada pelaku jarimah. Untuk
bentuk sanksi pada jarimah ini tidak ada ketentuan syar’i yang
mengaturnya. Dalam hal ini diserahkan seluruhnya kepada hakim
untuk memutuskan sanksi kepada pelaku, hukuman mana yang sesuai
dengan macam jarimah ta’zir serta keadaan si pembuatnya. Jadi,
hukuman-hukuman jarimah ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.
Inilah yang menjadikan jarimah ini berbeda dengan jarimah-jarimah
lain.19
Akan tetapi, perbedaan yang paling prinsipil dalam jarimah
ta’zir dengan jarimah lain terletak pada aspek timing keberlakuan
hukum dalam bentuk sanksi preventive-nya, antara hukum yang
ditetapkan sanksinya secara syar’i (berdasarkan nash teologis) dan
hukum yang sanksinya berasal pada ketetapan para penguasa melalui
media dalam bentuk perundang-undangan maupun produk hukum yang
berbentuk jurisprudence (berasal dari ketetapan hakim).
Dengan demikian penentuan hukum yang didasarkan atas
ketentuan nash syar’i selamanya akan dianggap sebagai jarimah (tidak
terbatas pada aspek lokus dan tempus), sedangkan hukum yang
berbentuk jurisprudence (berasal dari putusan hakim) maupun
dalam karya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid, Andalusia: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 595 H, jilid 2, hlm. 297-298. atau lebih jelas lagi dapat dibaca karya Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’iy, Beirut: Muassasah ar Risalah, 1992, Jilid. I, hlm. 79.
19 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zir fi al-Syari’at al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1396 H/1976 M, hlm. 38. lihat juga Ahmad Hasan, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm. 250.
30
ketentuan undang-undang lain mempunyai keterbatasan ruang dan
waktu, tentang kapan suatu perbuatan secara kategorik dapat dianggap
sebagai tindakan pelanggaran hukum (jarimah).
Selain itu, dari sisi tabi’atnya yang khusus, jarimah dapat
dibedakan menjadi dua kategori: jarimah biasa dan jarimah politik.
Pemisahan tersebut didasarkan atas cakupan kemaslahatan
(keamanan dan ketertiban), dan pemeliharaan sendi-sendinya, oleh
karena itu, tidak setiap jarimah yang diperbuat demi tujuan-tujuan
politik dapat disebut murni sebagai jarimah politik, meskipun kadang-
kadang ada jarimah biasa yang diperbuat dalam suasana politik
tertentu bisa digolongkan pada jarimah politik.
Sebenarnya corak kedua macam jarimah tersebut tidak
berbeda, baik mengenai macam maupun cara memperbuatnya. Yang
membedakan keduanya terletak pada motif dilakukanannya jarimah
tersebut (faktor pembangkitnya).20
Yang menjadi syarat dimasukkannya jarimah dalam kategori
jarimah politik adalah:
Pertama¸ tidak melaksanakan perintah yang tergolong
menjadi hak Tuhan dan hak manusia. Contoh tindakan dalam golongan
ini di antaranya adalah tidak mau melaksanakan kewajiban berzakat,
atau tidak mau meratifikasikan diri kepada penguasa tertinggi sebuah
negara yang mempunyai otoritas secara legal maupun etis dalam
dataran legitimate (sah secara hukum dan etik).
20 Pernyataan ini didasarkan pada kejadian sejarah untuk dijadikan i’tibar, ketika terjadi
pembunuhan khalifah Ali bin Abi Thalib oleh seorang yang bernama Abdur Rahman bin Muljam, yang disinyalir terdapat motif politik di dalamnya. Sebelum kematiannya, Ali berpesan kepada puteranya al-Hasan: “tawanlah dia baik-baik, kalau saya hidup, maka akulah yang berkuasa atas jiwaku, dan kalau aku mati, maka bunuhlah dia seperti dia membunuh aku”. Dari kata-kata tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa khalifah Ali r.a. memandang perbuatan Abdurrahman tersebut sebagai pembunuhan biasa, tentunya ia tidak akan menyatakan bahwa dirinya berkuasa atas jiwanya, yang berarti bisa mengambil hukuman qishash dan bisa pula memaafkannya, dan tentunya tidak meminta kepada puteranya untuk mengambil qishash-nya pula (dengan membunuhnya). Lihat, Ahmad Hasan, op. cit. hlm. 18.
31
Kedua, hendak menurunkan penguasa tertinggi dengan
melakukan pemberontakan atau makar atau dapat disebut pula dengan
bughat, sedangkan syarat untuk dapat disebut sebagai bughat adalah:
1) Didasarkan pada tujuan, yakni: harus mempunyai tujuan tertentu,
misalnya hendak mencopot penguasa/kepala negara atau badan
eksekutif (pemerintahan) atau hendak tidak menundukkan diri
kepadanya tanpa alasan penegakan keadilan.
2) Alasan, dengan mempertimbangkan alasan dilakukannya jarimah
perlawanan politik. Jika alasan yang digunakan dalam upaya
melakukan pemberontakan atau pergantian kekuasaan didasarkan
atas kedzaliman pemimpin, maka perbuatan tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai perbuatan baghyu (pemberontakan).
3) Untuk dapat digolongkan suatu tindakan sebagai jarimah politik,
maka suatu tindakan harus dilakukan dalam kondisi chaos politic.
Jika tidak maka perbuatan tersebut digolongkan dalam jarimah
biasa dengan sanksi biasa pula.
4. Pidana dan pemidanaan (penology)
Salah satu hal yang seringkali terlupakan – sebagai bahan
pertimbangan – dalam menentukan kapan suatu tindakan hukum dapat
dikenakan sanksi secara sah adalah pertimbangan sosiologis yang menitik
beratkan pada faktor timbulnya gejala sosial dalam masyarakat yang
secara tidak langsung memberikan pengaruh besar pada munculnya
tindakan pelanggaran hak yang oleh para ahli kemudian dikatakan sebagai
tindakan melanggar hukum. Inilah yang oleh para pakar pidana
kontemporer disebut dengan prinsip pemidanaan.
Menurut Muladi, hukum pidana modern yang bercirikan orientasi
pada perbuatan dan perilaku (daad- dader straafrech) stelsel sanksinya
tidak hanya meliputi pidana (straf, punishment), namun lebih
menitikberatkan pada muatan pendidikan.
Terhadap persoalan stelsel, ia menjelaskan lebih lanjut, bahwa
unsur paling pokok dari sistem stelsel pidana menurutnya terletak pada
32
aspek sosiologis (melalui upaya penggambaran nilai-nilai sosial budaya
bangsa) dan seringkali tidak terlepas dari format politik bangsa yang
bersangkutan. Sanki harus dipandang sebagai salah satu unsur yang
esensial, bila kita melihat hukum sebagai kaidah. Hampir semua juris
berpandangan dogmatis, memandang hukum sebagai kaidah bersanksi
yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam masyarakatnya.21
Pernyataan ini sama dengan tesis Mahfudz MD. yang
menggambarkan konfigurasi hukum dengan bersandar pada konfigurasi
politik yang melingkupinya, jika tatanan politik bersifat otoriter maka
hukum pun akan menemukan kecenderungannnya yang repressive.22
Persoalan penology dalam kasus-kasus pidana secara asasi
memang merupakan pembahasan yang pelik. Hal ini terkait dengan dua
pertanyaan besar yang mendasari argumentasi diadakannya pemidanaan,
“mengapa dan untuk apa diadakan pemidanaan”. Terhadap permasalahan
ini, Sholahuddin dengan teori double track system –nya menjelaskan
dengan rinci dengan membedakan sanksi pidana di satu pihak dan sanksi
tindakan di pihak lain. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda:
sanksi pidana bersumber pada ide dasar: “mengapa diadakan pemidanaan”.
Sedangkan sanksi tindakan bertolak pada ide dasar: “untuk apa diadakan
pemidanaan”.23
Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif
terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat
antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana
ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan oleh seseorang
melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Dan
di lain pihak, sanksi tindakan memfokuskan diri pada tindakan lebih
terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.
21 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, cet. ke-3, hlm. 45.
22 Mahfudz. MD., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Jakarta: Gama Media, 2002, cet. II, hlm. 5.
23 Solahuddi, op. cit, 25.
33
Dengan demikian, jelaslah bahwa sanksi pidana lebih
menekankan pada unsur pembalasan (imbalan atas tindakan). Ia
merupakan upaya memberikan penderitaan yang sengaja bagi seorang
pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar
perlindungan terhadap masyarakat dan pembinaan atau perawatan si
pembuat.24 Sebagaimana dikatakan Jonkers, bahwa sanksi pidana
dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang
dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang sifatnya
sosial.25
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga
bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi
penderitaan istimewa kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat dari
perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap
pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan
terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan
sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur penderitaan.26
Sedangkan, sanksi tindakan tujuannya lebih mendidik.
Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan
merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada
prevensi hukum, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat
merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri. Singkatnya, sanksi pidana
berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan,
sementara sanksi tindakan berorientasi pada perlindungan ide dasar
perlindungan masyarakat.27
24 Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A, Semarang: Badan Penyediaan Kuliah FH-UNDIP,
1973, hlm. 7. 25 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT. Bina Aksara,
1987, hlm. 350. 26 Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, 1992, hlm. 5. 27 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi,
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986, hlm. 53.
34
B. Sejarah Diberlakukannya Qishash Dalam Fiqih Jinayah
Proposisi yang tepat, jika dikatakan bahwa setiap formulasi hukum
tidak dapat dilepaskan dari faktor sejarah yang diawali oleh serangkaian
peristiwa hukum tertentu. Proposisi ini dikuatkan dengan munculnya ide
asbab al-nuzul dalam disiplin ilmu tafsir, maupun asbab al-wurud dalam
disiplin ilmu hadits.28
Dalam Ilmu Tafsir, asbab al-nuzul menempati ruang lebih longgar
dibanding dengan pertimbangan lain, karena pada prinsipnya metode
penafsiran yang menggunakan pertimbangan sabab nuzul tidak akan luput dari
faktor sosiologis yang melingkupi lahirnya teks maupun pembahasaan teks
verbal itu sendiri dalam upayanya mencari ketepatan interpretasi untuk
mendapatkan pesan moral hukum di dalamnya.
Jika semua kejadian hukum memiliki latar historisnya masing-
masing, maka qishash sebagai produk hukum alternatif pun memiliki
historitasnya pula.
Yang sering menjadi sorotan dalam hukum qishash-diyat adalah
adanya sistem sanksi yang dianggap kejam dan tidak manusiawi oleh sebagian
kalangan pemerhati hukum, kesan atau opini negatif inilah yang mendominasi
sistem sanksi dalam pidana Islam.29
Apriori, jika pandangan itu hanya didasarkan pada alternatif hukum
sebagaimana yang sudah ada tanpa mempertimbangkan potensi eksternal di
sekeliling nash yang senantiasa mempengaruhi bentukan teks sebagaimana
konstruksi yang sekarang hadir dalam bentuknya yang praktis.
Untuk mencapai kesimpulan historis munculnya hukum qishash
dalam al-Qur’an akan dijelaskan beberapa fase sejarah secara kronologis:
28 Menurut Nasr Hamid, Asbab al-Nuzul berupaya mengetahui maksud ataupun dalalah nash melalui pertimbangan diturunkannya teks dengan melakukan pencandraan terhadap faktor-faktor historisnya, iapun menambahkan penjelasan dengan mengatakan bahwa turunnya teks merupakan reaksi atau respon teks atas realitas, baik dengan cara menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan hubungan dialogis - dialektik antara teks dengan realitas. Terj. Mafhum al-Nash Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2002, cet. II, hlm. 117.
29 Kritik bahwa sanksi dalam Islam memberikan kesan “kejam” inilah yang sering dilontarkan oleh para orientalis dan bahkan beberapa pemikir Islam kontemporer yang bertolak pada prinsip humaniter.
35
1. Sistem Qishash Pra Islam
Sebenarnya, qishash sebagai terminologi hukum dalam sistem
pidana Islam (fiqih jinayah) mempunyai kesamaan arti dengan pidana lain,
namun bentuk sanksi yang masing-masing berlainan. Sedangkan qishash
secara otonom, dilahirkan dan tumbuh dalam tradisi masyarakat Arab.
Jika qishash dalam arti hukum Arab terminologis, tidak dapat
dilepaskan dari serangkaian peristiwa sejarah yang secara otonom berasal
dari pengalaman sosial masyarakat Arab. Maka, untuk melacak sisi
historisnya, diperlukan penjelasan eksploratif mengenai struktur budaya
maupun sosial masyarakat Arab.
Berdasarkan karakteristik daratannya, penduduk di semenanjung
Arab terbagi menjadi dua kelompok utama: orang-orang desa (Badui) yang
nomad dan masyarakat perkotaan (urban).30 Tidak selamanya ada garis
batas yang tegas antara kelompok urban dan nomad. Ada tahapan yang
semi nomaden dan tahapan semi-urban.
Masyarakat perkotaan tertentu yang sebelumnya merupakan
orang Badui menyangkal asal usul nomaden mereka, sementara beberapa
kelompok Badui lainnya berusaha menuju tahap masyarakat perkotaan.
Dengan demikian darah orang perkotaan terus mendapat penyegaran dari
orang Nomad.
Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun
dimotivasi oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan
perlindungan diri. Orang-orang nomad bersikeras mendapatkan sumber-
sumber tertentu yang tidak mereka miliki dari tetangganya yang lebih
nyaman tempat tinggalnya, dan hal itu ditempuh melalui jalan kekerasan
(penyerbuan kilat) ataupun jalan damai (pertukaran).
30 Lihat, Phillip K. Hitti, History of The Arabs; From The Earliest Times to the Present,
Terj., Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005, hlm. 28. Sedangkan Khalil Abdul Karim dalam bukunya Qurays min al-Qabilah ila al-Daulah al-Markaziyyah, terj. M. Faesol Fatawi, mendefinisikan masyarakat desa sebagai Ahl al-Madr, sedangkan masyarakat kota disebutnya dengan Ahl-al-Wabar, Yogyakarta: LKiS, 2002, cet. I,, hlm. 233.
36
Orang-orang Badui dikenal dengan perampok di gurun yang
tandus. Orang nomad masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang
akan selalu mempunyai pola budaya sama. Keragaman, kemajuan, evolusi
bukanlah hukum alam yang siap mereka ikuti. Mereka enggan mengikuti
pengaruh dan cara hidup asing, mengikuti apa yang telah dilakukan oleh
para leluhur, itulah pilihan mereka.
Bagi para lelaki, bertani berarti merendahkan martabat mereka
dan nenek moyangnya. Aktifitas yang terhormat bagi kaum laki-laki
menurut mereka adalah pembiakan unta dan kuda, selanjutnya melakukan
perburuan dan menyergap di gurun.
Selain itu, bagi mereka, gurun pasir adalah benteng penjaga yang
sakral bagi tradisi untuk memelihara bahasa dan kemurnian darah mereka.
Gurun inilah yang menjadi benteng kokoh terhadap ancaman musuh dari
luar. Sumber air yang langka, panas terik yang menyengat, jejak yang
mudah terhapus, kurangnya persediaan makanan – yang merupakan musuh
pada kondisi yang normal – bagi mereka tidak lain adalah sekutu yang
setia dalam situasi penuh bahaya. Karena itu, tidaklah mengherankan jika
orang Arab enggan menundukkan kepala mereka pada kendali bangsa
asing.
Secara anatomis, kondisi demikian itu merupakan kumpulan
pembentuk jaringan syaraf, tulang dan otot orang suku Badui. kegersangan
tanah mereka tercermin dalam tampilan fisik mereka.
Salah satu faktor pemicu timbulnya konflik sosial yang membelah
masyarakat gurun menjadi beragam suku yang gemar berperang diantara
mereka diakibatkan perebutannya untuk mendapatkan air dan padang
rumput. Sedangkan secara sosial, mereka terbentuk dan disatukan oleh
sistem keluarga, dari kumpulan keluarga itu menyatu menjadi klan untuk
selanjutnya berkembang ke arah kelompok lebih besar lagi dengan bentuk
kesukuan (su’ubiyah).
Karena kuatnya semangat dan ikatan kesukuan memunculkan satu
jenis semangat yang dikenal dengan sebutan syu’ubiyyah (semangat
37
kesukuan). Ia mengisyaratkan loyalitas kepada suku rela dan tanpa syarat
kepada anggota klannya dan secara umum mirip dengan patriotisme yang
bersifat fanatik dan chauvinistic.
Individualitas yang tumbuh dalam naungan ikatan kesukuan ini
menjadikan seseorang yang menjadi anggota klan diagungkan. Hinaan
bagi seseorang merupakan hinaan bagi klan tertentu, bahkan ikatan ini
menuntut pembalasan, jika terjadi pembunuhan terhadap salah satu
anggota klan tertentu.
Partikularisme yang kokoh dengan sikap individualitas per-klan-
an inilah yang menyebabkan muncul pandangan absolutisme setiap klan
maupun suku yang secara swasembada dapat berdiri sendiri tanpa suku
maupun klan lain. Akibat lain dari pandangan partikularistik ini dapat
digambarkan dengan disahkannya pembunuhan maupun pemberontakan
kepada klan maupun suku lain.31
Sampai masa datangnya Islam, budaya kesukuan tersebut masih
tetap terlihat dalam sistem sosial masyarakat Arab. Bahkan strategi ini
digunakan oleh Islam dalam usaha perluasan wilayahnya. Sebagaimana
dalam dikenal istilah “banu” pada sistem keturunan dikalangan arab
berikutnya.
Struktur kesukuan dengan segala karakteristik yang menyatu
bersamanya itulah yang menjadikan tumbuh kembangnya hukum qishash
dalam sistem sanksi dalam tata hukum masyarakat Arab.
Dari sisi historis, ayat ini turun dalam struktur masyarakat yang
berperadaban nomad (suka berpindah), penuh dengan kekerasan, dan
pembunuhan adalah sesuatu yang wajar bagi masyarakat Arab utara pada
saat itu, di antaranya adalah suku Badui.32
31 Bahkan, dalam sejarahnya pernah terjadi pembalasan darah antar suku selama kurang
lebih 40 tahun, antara suku Bakr dan suku Taghlib., Philip K. Hitti, op. cit, hlm. 33. 32 Asbabun Nuzul ayat qishash (al-Baqarah ayat 178) ini dapat dijelaskan dengan kebiasaan
sistemik masyarakat jahiliyah. Jika ada seorang hamba dari perkampungan yang terpandang dan disegani itu dibunuh oleh warga perkampungan lain, maka pihak perkampungan yang terpandang dan disegani tersebut berikrar bahwa “kami akan membunuh orang merdeka mereka sebagai balasannya”, dan jika yang membunuh itu wanita, maka mereka berkata bahwa “kami akan
38
Salah satu kepribadian sosial masyarakat Arab saat itu adalah
hukum dendam yang menyatu dalam masyarakat dengan pola syu’ubiyyah
(kesukuan) yang mengikat individu-individu di dalamnya dan kemudian
membentuk kecenderungan emosi kolektif. Dengan demikian, semua yang
berkaitan dengan seorang yang terikat dalam suku tertentu, maka akan
mendapatkan jaminan dari ikatan kesukuan tersebut.
Keyakinan dalam budaya science yang positivistik adalah suatu
yang illusif, karena budaya ini hanya menerima kebenaran yang tertangkap
oleh indera. Begitulah peradaban science menanyakan keberadaan Tuhan
dan kebenaran nash yang selama ini dianggap sakral, sampai mencapai
tahap mitos, sehingga menanyakannya adalah tindakan yang amoral. Salah
satu gambaran ini adalah kasus takfir (pengkafiran) yang menimpa
beberapa pemikir kontemporer yang tergolong cukup liberal oleh pemikir
keagamaan yang dapat digolongkan ke dalam kelompok fundamentalis,
ketika mencoba menanyakan kebenaran mutlak teks ketuhanan.
Jika ditengok pada masa sebelum datangnya Islam, dengan
kondisi geografis benua Arab yang kering dengan sumber daya primer
yang sedikit seperti digambarkan dalam paragraf-paragraf sebelumnya,
sangatlah wajar jika seringkali terjadi perang, kewajaran ini didukung oleh
Charles Darwin dengan kecenderungan alami spesies untuk berjuang
sekuat mungkin mempertahankan eksistensinya baik melalui reproduksi
maupun upaya lain dari ancaman dunia luar yang resisten (mengancam).33
Secara lughawi (bahasa), sebenarnya hukum qishash sudah
berlaku secara sosial di benua Arabia, tanpa diilhami oleh kecenderungan
religius dari agama samawi manapun. Dan itu lama sebelum datangnya
membunuh laki-laki mereka sebagai balasannya , dan jika yang dibunuh itu laki-laki mereka akan berkata bahwa “kami akan membunuh mereka semua sebagai balasannya”. Lihat, Muhammad Ali Ash Shabuni, Rawai ‘al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Jilid I, hlm. 171-172.
33 Charles Darwin, The Origin of Species, terj. Susilo Hardo dan Basuki Hernowo, Asal-usul Spesies, Yogyakarta: Ikon, 2002, cet. I, hlm. 26.
39
Islam. Maka kecenderungan ini hampir dapat dikatakan murni dari
dorongan yang alami dari bawaan manusia.
2. Sistem Qishash Masa Islam
Sebagaimana agama Samawi lain, Islam melalui Muhammad
sebagai agen penyampai risalah pun berupaya melakukan perubahan
terhadap bentuk anomi dalam masyarakat,34 dengan menawarkan jaminan
keselamatan, setelah kurang lebih 100 tahun masyarakat Arab tidak
didampingi oleh Rasul.35 Dalam kondisi demikian ini sangatlah wajar jika
banyak terjadi tindakan yang merugikan pihak lain.
Chaos atau kekacauan adalah bentuk masyarakat yang niscaya
ketika tidak ada seorangpun yang dapat dianggap sebagai symbol authority
(tokoh yang dijadikan sebagai pemegang otoritas tertinggi), dan dalam
masyarakat religius Arab pada saat itu dapat ditemukan dalam sosok
“Nabi”.36
Sebab signifikan dari terbentuknya budaya barbarian masyarakat
Arab pra Islam tersebut dapat dilihat melalui teori anomi Emile Durkheim
maupun Marton di atas. Ditinjau dari teori anomi ini, sangatlah wajar jika
watak yang dianggap destruktif itu muncul, karena memang sumber daya
yang tersedia pada saat itu sangatlah minim. Dan memperebutkan untuk
dapat mempertahankan diri adalah pilihan yang naturalistic (alamiah)
34 Durkheim menggambarkan konsep “anomi” ini dengan sebutan “a Condition of
Deregulation” yang terjadi dalam masyarakat. Dan keadaan tersebut sering diartikan pula dengan (keadaan masyarakat tanpa norma). Dan keadaan ini sangat mudah terjadinya penyimpangan tingkah laku. Selain itu, konsep anomi juga sering diterjemahkan sebagai “normalessness”. Beberapa pakar mengatakan bahwa lebih tepat jika diterjemahkan sebagai “deregulation”. Istilah normalessness ini menunjukkan kepada “total absence of norms”; sedang deregulation menunjuk kepada “inability of norms to control or regulate behavior”. Lebih jelasnya lihat dalam Romli Atmasasmita, SH., LLM., Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, 1992, PT. Eresco, hlm. 24.
35 Masa inilah yang dikenal kemudian dengan istilah “Masa Fatrah” atau masa kekosongan dimana masyarakat tidak didampingi oleh Rasul yang mempunyai peran besar menentukan arah kebijakan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Dan keadaan ini berlangsung sampai datangnya Muhammad dengan ajaran Islamnya.
36 Seperti inilah gambaran ketergantungan masyarakat pada masa kenabian, dan bagaimana tesis ini sangat jelas pasca wafatnya Nabi, dan khilafiyah pasca Nabi adalah realitas yang niscaya, bahkan perbedaan pendapat ini seperti ini tidak jarang menimbulkan konflik sosial. Lihat, Philip K Hitti, op. cit, hlm. 154.
40
sebagaimana penjelasan Darwin. Sistem qishash yang berlebihan dalam
peradaban masyarakat Arab dengan tatanan masyarakat berdasarkan klan
tersebut mengalami reduksi setelah datangnya Islam dengan al-Qur’an
sebagai legitimasi yuridisnya.
Selain itu, sebagai agama yang memberikan tawaran rahmat
berupa keselamatan, Islam memberikan konsepsi baru mengenai qishash
dengan prinsip ta’adul (keadilan). Dengan prinsip ini, qishash tetap
diberlakukan dengan memberikan limit bi mitsli fi’il al-qatil (sesuai
dengan apa yang diperbuat oleh pembunuh) dengan kadar hukuman yang
berimbang. Jika yang terbunuh adalah budak, maka tidak diperbolehkan
dalam Islam untuk membalas pembunuhan tersebut dengan membunuh
orang merdeka.37
C. Formulasi Qishash-Diyat Dalam Fiqih Jinayah
Menurut bahasa, qishash adalah bentuk masdar, sedangkan asalnya
adalah qashasha yang artinya “mengikuti”, yakni mengikuti perbuatan sang
pelaku sebagai balasan dari perbuatannya.
Hukum qishash ada dua macam:
1. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana membunuh.
2. Qishash pelukaan, untuk tindak pidana menghilangkan anggota badan,
kemanfaatan pelukan anggota badan.
a. Pembunuhan
Ahmad Hanafi membagi pembunuhan menjadi tiga macam.
Yaitu:38
1. Pembunuhan sengaja (qathl al-‘amdi) yaitu perbuatan
penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk
37 Lihat lagi al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 178, an-Nisa’: 92, maupun al-Maidah: 45. atau tafsir dari masing-masing ayat qishash tersebut.
38 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, op. cit, hlm. 25. Lihat juga, Abi Bakar Sayyid al-Bakri, Hashiyah I’anah al-Thalibin, Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 1993, Juz. 4, hlm. 124. Atau Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (10), terj., Bandung: PT. al-Ma’rif , 1987, hlm. 39-42. pendapat ini berbeda dengan pendapat Abdul Qadir Audah. Menurutnya, jarimah pembunuhan ini dibagi menjadi dua macam, yaitu jara’im al-maqsudah dan al-jara’im ghairu maqsudah. Abdul Qadir Audah, op. cit, hlm. 83.
41
menghilangkan nyawanya. Pembunuhan jenis ini harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
a) Korban adalah orang hidup
b) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban
c) Ada niat pelaku untuk menghilangkan nyawa korban
d) Menggunakan alat yang mematikan
2. Pembunuhan karena kekhilapan (qath al-khata’), dalam jenis ini
ada tiga kemungkinan:
a) Bila pelaku pembunuhan sengaja melakukan suatu perbuatan
dengan tanpa maksud melakukan suatu kejahatan, tetapi
mengakibatkan kematian seseorang: kesalahan seperti ini
disebut salah dalam perbuatan (error in concrito);
b) Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dan mempunyai
niat, membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh
dibunuh, misalnya sengaja menembak seseorang yang disangka
musuh dalam peperangan, tetapi ternyata kawan sendiri:
kesalahan demikian disebut salah dalam maksud (error in
objekto);
c) Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tapi
akibat kelalaiannya dapat menimbulkan kematian, seperti
seseorang terjatuh dan menimpa bayi yang berada di bawahnya
hingga mati.
3. Pembunuhan semi sengaja (qathl syibh al-’amdi) yaitu perbuatan
penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk
membunuh, akan tetapi mengakibatkan kematian. Dengan unsur-
unsur sebagai berikut:
a) Pelaku melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian;
b) Ada maksud penganiayaan atau permusuhan;
c) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan
kematian korban.
Pembunuhan tersalah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
42
(1) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian
(2) Terjadinya perbuatan itu karena adanya kesalahan
(3) Adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara perbuatan
kesalahan dengan kematian korban.
Sedangkan pembunuhan yang dikenakan qishash adalah
kategori pembunuhan sengaja, sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah:
هنلعه وليع الله غضبا والدا فيهخ منهج هآؤزدا فجمعتمنا مؤل مقتن يمو
وأعد له عذابا عظيما
Artinya: “Siapa yang membunuh orang mukmin dengan disengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Q.S. al-Nisa’: 93)
Menurut Abi Dhiya’ pada diri si pembunuh melekat tiga hak,
yaitu: hak Allah, hak terbunuh, dan hak wali terbunuh. Maka
seseorang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus di-qishash
sebagaimana yang terjadi pada korban (dengan dibunuh).39 Sedangkan
kalau ahli waris yang membunuh memaafkan pembunuh tersebut,
maka si pembunuh tidak terkena hukum qishash, tetapi si pelaku
diwajibkan membayar diyat (denda) seharga 100 ekor unta tunai
sebagai ganti qishash.
Pembunuhan yang tidak ada unsur sengaja pelakunya tidak
dikenai hukum qishash, tetapi hanya membayar diyat, sedangkan
pembunuhan yang tidak disengaja, pembunuhan yang tidak
direncanakan dalam arti mungkin salah sasaran tidak bermaksud
membunuh atau tidak tahu. Misalnya orang yang menembak binatang
namun mengenai orang lain. Maka pelakunya dikenakan qishash,
39 Abi Yahya Zakariya al-ANshari, Fath al-Wahab bi al-Syarkhi Manhaj al-Thalab, Beirut-
Lebanon: Dar al-Fikr, 1994, hlm. 155.
43
tetapi pembunuhnya harus membayar diyat, yaitu dengan
memerdekakan budak dan memberi 100 ekor unta kepada keluarga
terbunuh. Seperti firman Allah:
ريرحطئا فتمنا خؤل من قتمطئا ومنا إال خؤل مقتمن أن يؤا كان لممو
ن من قوم عدو رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله إال أن يصدقوا فإن كا
يثاقم مهنيبو كمنيم بإن كان من قوة ومنؤة مقبر ريرحفت منؤم وهو لكم
فدية مسلمة إلى أهله وتحرير رقبة مؤمنة فمن لم يجد فصيام شهرين
ابعتتكيمامليما حع كان اللهالله و نة مبون تي
Artinya: “dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka hendaklah (si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakanhamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak memperolehnya maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Nisa’: 92)
Pembunuhan yang dikenakan qishash harus memenuhi syarat:
(1) Pembunuh sudah baligh
(2) Berakal sehat
(3) Terbunuh bukan orang kafir
(4) Yang dibunuh bukan budak
44
b. Qishash Pelukan Anggota Badan
Qishash pelukaan adalah melukai, menghilangkan anggota
badan dan menghilangkan manfaat anggota badan orang lain. Syarat
qishash pelukaan adalah dengan anggota yang sepadan, misalnya
tangan kanan dengan tangan kanan dan sebagainya, sebagaimana
Firman Allah:
ن وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس والعين بالعين واألنف باألنف واألذ
ن لممو ة لهكفار وبه فه قدصن تفم اصقص وحرالجو نبالس نالسباألذن و
يحكم بما أنزل الله فأولـئك هم الظالمون
Artinya: “Dan kami telah terapkan terhadap mereka di dalamnya (at Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka-luka pun ada qishashnya. Barang siapa yang melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Dan barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (Q.S. al-Maidah: 45)
Menurut Imam Nawawi perhitungan pelukaan sebagai berikut:
1. Mudhihah ( luka sampai tulang), diyatnya 5 ekor unta (50) dinar, jika
muka menjadi cacat ditambah setengahnya menjadi 75 dinar;
2. Hasyimah (luka sampai pecah tulang), diyatnya 10 ekor unta (100
dinar);
3. Munaqillah (luka sampai tulangnya meleset), diyatnya 15 ekor unta
(150 dinar);
4. Mukmumah (luka sampai kulit tengkorak), diyatnya 1/3 diyat;
5. Jaifah (pelukan rongga badan), diyatnya 1/3 diyat.
Pelukaan di atas dianggap pelukaan berat, disamping itu ada jenis
pelukaan ringan yang disebut dengan harisah (terkelupas kulitnya),
dami’ah (luka berdarah), badhi’ah (tergores dagingnya), mutalahhimah
(luka sampai daging), simqah (luka sampai lapis tulang). Pelukaan jenis
45
ringan ini diukur menurut dalam dan dangkalnya serta menurut
kebijaksanaan hakim.
Diyat penghilangan anggota badan seseorang, dituntut membayar
diyat sama halnya dengan diyat membunuh, yaitu 100 ekor unta. Anggota-
anggota badan adalah dua tangan, dua kaki, hidung, dua telinga, dua mata,
hilang akal dan hilangnya kemaluan.
Sedangkan Syarat utama untuk dapat dikenakannya sanksi hukum
qishash adalah seperti persyaratan orang membunuh yaitu pelaku tersebut
sudah tergolong mukallaf (baligh dan berakal).