27
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SD 2.1.1.1 Pengertian IPA Pembelajaran IPA merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari bagaimana gejala-gejala alam di bumi ini terjadi. Sehingga perlu dilakukan pengenalan sejak dini tentang apa dan bagaimana pembelajaran IPA dikelas. Pengenalan tersebut bisa dimulai dengan mencari tahu tentang apa pengertian dari IPA. Trianto (dalam Purwasari, 2013: 537) menyatakan bahwa IPA merupakan kumpulan teori sistematis dalam penerapan secara umum terbatas pada gejala-gejala alam yang berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen. IPA juga menuntut siswa memiliki sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya. Sementara itu, menurut D. Indriati S.C.P (2012: 192-193) IPA merupakan sebuah pengetahuan yang didapat dari proses mengumpulkan data melalui eksperimen, pengamatan dan deduksi untuk menghasilkan suatu penjelasan tentang sebuah gejala yang dapat dipercaya. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam dengan sistematis dengan cara melakukan kegiatan pengamatan dan percobaan untuk mengetahui fakta, konsep, prinsip dan juga memiliki sikap ilmiah. Sehingga pembelajaran IPA dalam kelas menuntut agar siswa aktif menemukan pengetahuan sendiri agar tujuan dari pembelajaran IPA tercapai. 2.1.1.2 Pembelajaran IPA SD Pembelajaran IPA di SD sesuai dengan kurikulum 2013, dikembangkan secara integrative science yang berorientasi aplikatif, meningkatkan kreatif pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam. Pembelajaran efektif adalah kegiatan pembelajaran yang berhasil mengantarkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 2.1.1 - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16299/2/T1_292013107_BAB II...pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap

  • Upload
    buidiep

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SD

2.1.1.1 Pengertian IPA

Pembelajaran IPA merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari

bagaimana gejala-gejala alam di bumi ini terjadi. Sehingga perlu dilakukan

pengenalan sejak dini tentang apa dan bagaimana pembelajaran IPA dikelas.

Pengenalan tersebut bisa dimulai dengan mencari tahu tentang apa pengertian dari

IPA.

Trianto (dalam Purwasari, 2013: 537) menyatakan bahwa IPA merupakan

kumpulan teori sistematis dalam penerapan secara umum terbatas pada gejala-gejala

alam yang berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen. IPA

juga menuntut siswa memiliki sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan

sebagainya. Sementara itu, menurut D. Indriati S.C.P (2012: 192-193) IPA

merupakan sebuah pengetahuan yang didapat dari proses mengumpulkan data melalui

eksperimen, pengamatan dan deduksi untuk menghasilkan suatu penjelasan tentang

sebuah gejala yang dapat dipercaya.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan ilmu

yang mempelajari tentang alam dengan sistematis dengan cara melakukan kegiatan

pengamatan dan percobaan untuk mengetahui fakta, konsep, prinsip dan juga

memiliki sikap ilmiah. Sehingga pembelajaran IPA dalam kelas menuntut agar siswa

aktif menemukan pengetahuan sendiri agar tujuan dari pembelajaran IPA tercapai.

2.1.1.2 Pembelajaran IPA SD

Pembelajaran IPA di SD sesuai dengan kurikulum 2013, dikembangkan

secara integrative science yang berorientasi aplikatif, meningkatkan kreatif

pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan

pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan

alam. Pembelajaran efektif adalah kegiatan pembelajaran yang berhasil mengantarkan

8

peserta didik pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Secara administrative

dan berlaku secara kedinasan, ukuran keberhasilan tersebut adalah pencapaian KKM

minimal 85% siswa. Menurut Piaget (dalam Winataputra, dkk 2007:3.40) tahap

perkembangan kognitif anak ada empat, yaitu 1) sensomotorik (0-2 tahun); 2)

praoperasional (2-7 tahun); 3) konkret operasional (7-11 tahun); 4) formal

operasional (11 tahun ke atas). Jika dikaitkan dengan teori piaget maka pada anak

usia SD berada pada tahap konkret operasional (7-11 tahun). Sehingga perlu

diciptakan pembelajaran dengan kondisi yang aktif dan ingin tahu. Untuk itu maka

guru perlu membimbing siswa berpikir secara induktif supaya siswa dapat memahami

konsep IPA.

Materi IPA di SD kelas I-III terintegrasi dalam mata pelajaran Bahasa

Indonesia dan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Pembelajaran dilakukan

secara terpadu dalam tema dengan mata pelajaran lain. Untuk SD kelas IV-VI, IPA

menjadi mata pelajaran tersendiri namun pembelajaran dilakukan secara tematik

terpadu. Ruang lingkup materi mata pelajaran IPA SD mencakup Tubuh dan panca

indra, tumbuhan dan hewan, sifat dan wujud benda-benda sekitar, alam semesta dan

kenampakannya, bentuk luar tubuh hewan dan tumbuhan, daur hidup makhluk hidup,

perkembangbiakan tanaman, wujud benda, gaya dan gerak, bentuk dan sumber energi

dan energi alternatif, rupa bumi dan perubahannya, lingkungan, alam semesta, dan

sumber daya alam, iklim dan cuaca, rangka dan organ tubuh manusia dan hewan,

makanan, rantai makanan, dan keseimbangan ekosistem, perkembangan makhluk

hidup, penyesuaian diri makhluk hidup pada lingkungan, kesehatan dan sistem

pernafasan manusia, perubahan dan sifat benda, hantaran panas, listrik dan magnet,

tata surya, campuran dan larutan.

Dari paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA di SD

hendaklah harus sesuai dengan tujuan dan kurikulum yang telah ditentukan.

Kemudian guru juga harus tetap memperahatikan karakteristik anak usia SD dengan

mengadakan proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Pembelajaran

yang dilakukan juga harus melibatkan siswa didalamnya dengan memberikan

9

kesempatan berpikir, bertindak, dan mengembangkan sikap-sikap tertentu melalui

pengalaman langsung ketika pembelajaran IPA.

2.1.1.3 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pembelajaran IPA SD

Kompetensi inti merupakan terjemahan atau operasionalisasi Standar

Kompetensi Lulusan dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki oleh peserta didik

yang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu. Gambaran

kompetensi utama dikelompokkan ke dalam aspek sikap, keterampilan, dan

pengetahuan yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas

dan mata pelajaran.

Sedangkan Kompetensi dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran

untuk setiap kelas yang diturunkan dari kompetensi inti. Kompetensi dasar adalah

konten atau kompetensi yang terdiri dari sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang

bersumber pada kompetensi inti yang harus dikuasai peserta didik. Kompetensi dasar

adalah kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas yang diturunkan dari

Kompetensi Inti. Kompetensi dasar SD/MI untuk setiap mata pelajaran mencakup

mata pelajaran: Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu

Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Prakarya, dan Pendidikan Jasmani, Olahraga

dan Kesehatan.

Kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) yang digunakan dalam

penelitian ini akan disajikan dalam tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar IPA Kelas 4 tema 4 Berbagai Pekerjaan

Semester I

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

3. Memahami pengetahuan faktual dengan

cara mengamati (mendengar, melihat,

membaca) dan menanya berdasarkan rasa

ingin tahu tentang dirinya, makhluk

ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan

benda-benda yang dijumpainya di rumah,

sekolah, dan tempat bermain

3.8 Menjelaskan pentingnya upaya

keseimbangan dan pelestarian sumber

daya alam di lingkungannya

10

2.1.1.4 Penilaian IPA SD

IPA sangat menekankan pada pembelajaran yang mengkaitkan gejala-gejala

alam dan sumber belajar dari alam sekitar. Sehingga dari segi penilaiannya, IPA

mempunyai tiga tujuan yakni:

1. Penilaian pengetahuan, pemahaman dan penerapan konsep IPA, penilaian ini

bertujuan untuk melihat seberapa jauh peserta didik menguasai dan

memahami fakta, konsep, prinsip, dan hokum dalam IPA dan penerapannya.

2. Penilaian Ketrampilan dan proses, ada enam ketrampilan dasar yang harus

dikuasai untuk peserta didik yaitu observasi, komunikasi, klasifikasi,

pengukuran, inferensi, prediksi, dan percobaan sederhana.

3. Penilaian karakter dan sikap (sikap ilmiah, meliputi sikap obyektif, terbuka,

tidak menerima begitu saja suatu kebenaran, memiliki rasa ingin tahu, ulet,

tekun, dan pantang menyerah).

Dari beberapa paparan dapat ditarik kesimpulan bahwa IPA sangatlah terkait

dengan kegiatan yang melibatkan siswa untuk selalu belajar dan mencari tahu

mengenai fenomena dan gejala alam yang ada disekitarnya. Kegiatan itu dapat

dilakukan melalui proses ilmiah dan eksperimen yang mereka lakukan di lapangan.

Sehingga guru perlu menyediakan sumber belajar yang kongkret yaitu sumber belajar

dari alam yang ada disekitar yang sesuai dengan karakteristik dari anak SD. Untuk

melakukan kegiatan atau proses ilmiah maka siswa juga perlu seorang pendamping

(guru) untuk memecahkan masalah yang sedang diamati. Sehingga guru perlu

menciptakan pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran yang mengarahkan pada

siswa pada kegiatan untuk menemukan pengetahannya sendiri. Pembelajaran

kooperatif tipe Discovery Learning ini cocok guna mencapai tujuan dari

pembelajaran IPA SD.

2.1.1 Hasil Belajar IPA

2.1.2.1 Pengertian Hasil Belajar

Untuk mengetahui keberhasilan seseorang dalam belajar, maka perlu

dilakukan kegiatan evaluasi, tujuannya untuk mengetahui hasil belajar yang diperoleh

11

siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran yang berlangsung. Hasil belajar

merupakan hasil yang diperoleh siswa yaitu berupa perubahan perilaku maupun nilai

yang didapat siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Untuk mengetahui

sampai mana proses belajar bisa mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan,

maka perlu diadakan tes hasil belajar.

Menurut Prakoso (2015: 106) hasil belajar merupakan perubahan perilaku

secara menyeluruh bukan hanya pada satu aspek saja tetapi terpadu secara utuh.

Sementara itu, menurut Rahma Fitri, Helma, Syarifuddin (2014: 19) hasil belajar

merupakan penguasaan materi yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti proses

pembelajaran. Hasil belajar yang diperoleh siswa dari suatu kegiatan yang

mengakibatkan perubahan tingkah laku yang dinyatakan dengan skor/nilai yang

diperoleh dari tes hasil belajar setelah proses pembelajaran

Hasil belajar merupakan proses kemampuan yang diperoleh siswa setelah

melalui kegiatan belajar dalam waktu tertentu. Selain itu dapat dipahami bahwa

penilaian hasil belajar terhadap siswa untuk mengetahui sejauh mana siswa

memahami tentang materi yang telah diajarkan. (Setyorini, Sulasmono, Koeswanti,

2013: 60). Kingsley (dalam Sudjana, 2005: 22) mengklasifikasikan hasil belajar

menjadi 3 macam, yaitu ketrampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian,

sikap dan cita-cita. Hal tersebut senada dengan Benyamin Bloom yang membagi

kriteria hasil belajar menjadi 3 ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan

psikomotoris. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai

oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam

menguasai isi bahan pengajaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar

adalah perubahan tingkah laku peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran

berupa kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa dari ranah kognitif, afektif dan

psikomotor yang dapat dinyatakan guru dalam bentuk skor/nilai.

Hasil belajar juga dipengaruhi oleh keberhasilan guru dalam menyampaikan

pelajaran. Hasil belajar siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut

Slameto (dalam Amin, Suardiman 2016: 13) ada 2 faktor yang mempengaruhi hasil

12

belajar peserta didik yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah

faktor yang terdapat dalam diri individu yang sedang belajar antara lain faktor

jasmaniah (kesehatan dan cacat tubuh), faktor psikologis (intelegensia, perhatian,

Minat, bakat, motivasi), dan faktor kelelahan. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor

yang terdapat di luar individu antara lain ; faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor

masyarakat.

Sudjana (2011:39) menyatakan hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi

oleh dua faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang dari luar diri siswa

atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri siswa terutama kemampuan yang

dimilikinya. Di samping faktor kemampuan yang dimiliki. siswa, juga ada faktor lain,

seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan,

sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis. Berdasarkan pendapat para ahli, dapat

disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan aspek kemampuan yang didaptkan siswa

sebagai hasil belajar dari aktivitas pembelajaran yang dilakukan meliputi kemampuan

kognitif, afektif, serta keterampilan siswa. Hasil belajar dalam penelitian ini diukur

dengan memberikan soal tes kepada siswa. Tes digunakan untuk menilai dan

mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil kognitif berkenaan dengan penguasaan

bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran.

2.1.2.2 Pengukuran Hasil Belajar Kognitif IPA SD

Menurut Fajri Ismail (2013: 232-233) pengukuran yaitu 1) pemberian atribut

kepada objek berupa angka atau skor; 2) proses pengumpulan data untuk mengukur

capaian kinerja atau performance seseorang; 3) proses menentukan dan membedakan

satu objek dengan objek lain. Pada hasil pengukuran yang berupa angka/skor, objek

yang diukur berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai satu kesatuan yang

utuh yang menunjukkan kualitas perilaku belajar dari peserta didik (Ismanto, 2014:

214).

I Wayan Subagia, I G. L. Wiratma2 (2016: 723) Penilaian hasil belajar

adalah kegiatan penyetandaran hasil belajar siswa yang dilakukan melalui dua

kegiatan pokok, yaitu kegiatan esesmen dan evaluasi. Esesmen dimaknai sebagai

13

kegiatan pengumpulan hasil belajar, sedangkan evaluasi dimaknai sebagai kegiatan

penyetandaran atau pengolahan hasil belajar. Bentuk-bentuk penilaian hasil belajar

siswa yang direkomendasikan mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian

berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan ahkir

semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional,

dan ujian sekolah/madrasah.

Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah

laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup ranah kognitif,

afektif dan psikomotoris.

a. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari

enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,

sintesis, dan evaluasi.

b. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni

penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.

c. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan

kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris yaitu gerakan

refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan

atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks dan gerakan ekspresif dan

interpretatif.

Ranah kognitif menjadi penilaian utama yang diperhatikan oleh para guru di

sekolah karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai isi bahan

pengajaran. Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian pada ranah

kognitif mata pelajaran IPA. Ranah kognitif yang diambil sebagai bahan penelitian

yaitu hasil belajar pengetahuan.

2.1.3 Model Pembelajaran Disovery Learning

2.1.3.1 Pengertian Model Discovery Learning

Model pembelajaran Discovery Learning merupakan cara untuk

mengembangkan keaktifan siswa dengan menemukan, menyelidiki sendiri, sehingga

hasil yang diperoleh bertahan lama dalam ingatan dan siswa tidak akan mudah lupa

14

(Ira Vahlia, 2014: 44). Illahi (2012: 33-34) juga berpendapat bahwa Discovery

Learning merupakan salah satu model yang memungkinkan peserta didik terlibat

langsung dalam kegiatan belajar-mengajar, sehingga peserta didik dapat

menggunakan proses mentalnya untuk menemukan konsep atau teori yang sedang

dipelajari.

Sementara itu, Rohim, Susanto, Ellianawati (2012: 2) mengemukaan Model

pembelajaran discovery merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan seluruh

kemampuan siswa dalam mencari dan menemukan sesuatu (benda, manusia, atau

peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan

sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Dari pendapat para ahli tersebut

dapat dipahami bahwa Discovery Learning merupakan sebuah model pembelajaran

yang menuntut siswa harus aktif untuk berfikir kritis menemukan pengetahuannya

sendiri dalam setiap pembelajaran, dengan melakukan kegiatan pengamatan alam

sekitar untuk menarik kesimpulan dan membangun pemahaman yang dimiliki

menjadi pengetahuan bermakna sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat bertahan

lebih lama.

Target dalam menggunakan model pembelajaran discovery learning antara

lain yaitu: (1) menuntut siswa aktif dalam proses pembelajaran; (2) menuntut siswa

menemukan dan menyelidiki sendiri suatu permasalahan; (3) pengetahuan yang

ditemukan sendiri merupakan pengetahuan yang dikuasai dan mudah digunakan

dalam situasi lain; (4) menuntut siswa dapat belajar berfikir analisis dan mencoba

memecahkan masalah yang dihadapi sendiri (Ainur Rochim dan Joko, 2014: 487).

2.1.3.2 Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning

Herdian (dalam Istiana, Catur S, dan J.S Sukardjo 2015:66-67)

mengemukakan tiga ciri utama dari belajar menemukan (Discovery Learning) yaitu :

(1) mengeksplor dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan

menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3) menggabungkan

pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.

15

Model Discovery Learning mempunyai kelebihan dan kelemahan diantaranya:

a. Kelebihan Model pembelajaran Discovery Learning

Kelebihan model pembelajaran Discovery Learning menurut Mawardi,

Mariati (2016:132) adalah sebagai berikut:

1. memperbaiki dan meningkatkan keterampilan serta proses-proses kognitif

siswa

2. kunci dari model Discovery Learning adalah usaha penemuan

3. Menumbuhkan rasa senang pada diri siswa , karena tumbuh rasa untuk

menyelidiki dan berhasil

4. Memungkinkan unruk siswa berkembang lebih cepat sesuai dengan

kecepatannya sendiri;

5. menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan

melinatkan akalnya dan motivasi sendiri.

b. Kekurangan Model pembelajaran Discovery Learning

Kekurangan model pembelajaran Discovery Learning menurut Mawardi,

Mariati (2016:132) adalah sebagai berikut :

1. tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena

membutuhkan waktu yang lama untuk membantu menemukan teori atau

pemecahan masalah lainnya

2. harapan dalam model dapat buyar apabila siswa dan guru terbiasa belajar

dengan cara-cara belajar yang lama

3. lebih cocok untuk mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi

secara keseluruhan kurang mendapat perhatian

4. IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh

para siswa

5. tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan

ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

16

2.1.3.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran Discovery Learning

Syah (dalam Burais, M. Ikhsan, M. Duskri, 2016: 81) mengemukakan

prosedur pelaksanaan model pembelajaran Discovery Learning ke dalam 6 tahap

yaitu:

a. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)

Siswa pertama kali diberikan sebuah persoalan, tanpa guru memberikan

generalisasi terhadap masalah tersebut sehingga siswa memiliki rasa akan

menyelidiki permasalahan untuk mencari generalisasi.

b. Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)

Siswa akan mengidentifikasi masalah yang sesuai dengan materi pelajaran dan

kemudian harus dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas

pertanyaan masalah)

c. Data collection (Pengumpulan Data)

Siswa akan mengumpulkan informasi yang sesuai dengan masalah sebanyak

mungkin dari berbagai sumber belajar untuk membuktikan benar atau

tidaknya hipotesis.

d. Data Processing (Pengolahan Data)

Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah

diperoleh siswa baik melalui wawancara, observasi dan sebagainya, lalu

ditafsirkan. Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi dan

sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi.

e. Verification (Pembuktian)

Berdasarkan hasil pengolahan data dari berbagai sumber, siswa melakukan

pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis

yang telah ditetapkan dari hasil pengolahan data.

f. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)

Siswa menarik kesimpulan pada masalah yang telah diselesaikan berdasarkan

hasil pembuktian.

17

2.1.3.4 Analisis Komponen Model Pembelajaran Discovery Learning

Bruce Joyce, Weil, dan Calhoun (2009: 104-106), mengemukakan bahwa

setiap model pembelajaran memiliki unsur-unsur berupa 1) Sintaks; 2) Prinsip reaksi;

3) Sistem sosial; 4) Sistem Penduukung 5) Dampak Instruksional dan dampak

pengiring. Berikut akan diuraikan analisis komponen pembelajaran Discovery

Learning berdasarkan teori Bruce Joyce diatas.

1. Sintaks

Sintaks merupakan langkah-langkah pembelajaran yang menunjuk pada tahapan-

tahapan yang harus dilaksanakan oleh guru apabila akan menggunakan model

pembelajaran tertentu. Menurut Syah (dalam Burais, M. Ikhsan, M. Duskri, 2016: 81)

sintaks model pembelajaran Discovery Learning dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)

Siswa pertama kali diberikan sebuah persoalan, tanpa guru memberikan

generalisasi terhadap masalah tersebut sehingga siswa memiliki rasa akan

menyelidiki permasalahan untuk mencari generalisasi.

b. Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah).

Siswa akan mengidentifikasi masalah yang sesuai dengan materi pelajaran dan

kemudian harus dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas

pertanyaan masalah).

c. Data collection (Pengumpulan Data).

Siswa akan mengumpulkan informasi yang sesuai dengan masalah sebanyak

mungkin dari berbagai sumber belajar untuk membuktikan benar atau

tidaknya hipotesis.

d. Data Processing (Pengolahan Data).

Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah

diperoleh siswa baik melalui wawancara, observasi dan sebagainya, lalu

ditafsirkan. Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi dan

sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi.

18

e. Verification (Pembuktian)

Berdasarkan hasil pengolahan data dari berbagai sumber, siswa melakukan

pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis

yang telah ditetapkan dari hasil pengolahan data.

f. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)

Siswa menarik kesimpulan pada masalah yang telah diselesaikan berdasarkan

hasil pembuktian.

2. Prinsip Reaksi

Prinsip reaksi merupakan pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana

seharusnya guru melihat dan memperlakukan siswa, bagaimana seharusnya guru

memberikan respon terhadap siswa. Prinsip reaksi memberi arahan bagaimana

seharusnya guru menggunakan aturan permainan yang berlaku dalam sebuah model

pembelajaran.

Pembelajaran dengan menggunakan model Discovery Learning guru sebagai

fasilitator. Dalam keseluruhan proses pembelajaran guru bertanggungjawab atas

suasana belajar yang ada. Guru harus memancing siswa agar memiliki rasa ingin tahu

yang lebih terhadap permasalahan sehingga siswa akan mencari tahu pemecahannya

melalui kegiatan pengamatan dan percobaan yang bimbing oleh guru menggunakan

pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki. Kemudian guru juga akan

membimbing siswa untuk mengambil kesimpulan sesuai dengan target nilai yang

telah ditetapkan.

3. Sistem Sosial

Sistem sosial merupakan pola hubungan guru dengan siswa yang terjadi selama

proses pembelajaran atau dengan kata lain merupakan suasana dan norma yang

berlaku dalam penggunaan metode pembelajaran tertentu. Dalam pembelajaran

menggunakan model Discovery Learning kegiatan kelas yang berorientasi pada

pemecahan masalah baik secara individu maupun kelompok. Siswa difasilitatori oleh

guru agar siswa dapat menemukan sendiri, menganalisis dan mengambil kesimpulan

19

dari sebuah masalah. Peran siswa dan guru sederajat, walaupun dalam hal ini guru

dan siswa memiliki peran yang berbeda.

4. Sistem pendukung

Sistem Pendukung merupakan segala sarana, alat dan bahan yang diperlukan

untuk menunjang terlaksananya proses pembelajaran secara optimal. Dalam

pembelajaran menggunakan model Discovery Learning sistem pendukung yang

diperlukan dalam segi lingkungan fisik yaitu lingkungan sekitar, sarana dan prasarana

yang mendukung seperti papan tulis yang dapat menunjang rasa keingintahuan siswa

dalam menemukan sebuah masalah. Selain itu, guru juga harus mempersiapkan

rancangan pembelajaran berupa RPP, Lembar kerja siswa, dan lembar evaluasi.

5. Dampak instruksional dan dampak pengiring

Dampak instruksional merupakan hasil belajar yang dicapai langsung dengan

cara mengarahkan para siswa pada tujuan pembelajaran. Dampak instruksional

diperoleh siswa setelah dilaksanakannya pembelajaran. Secara khusus, dampak

instruksional yang dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran IPA menggunakan

model pembelajaran Discovery Learning yaitu kemampuan mendeskripsikan

keseimbangan alam dan pelestarian SDA.

Dampak pengiring adalah hasil belajar sampingan (iringan) yang dicapai sebagai

akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa dari

penggunaan model pembelajaran tertentu. Secara khusus, dampak pengiring yang

didapatkan siswa dalam pembelajaran IPA dengan materi keseimbangan alam dan

pelestarian SDA melalui model Discovery Learning adalah kemauan siswa untuk

menganggapi masalah, kepekaan terhadap masalah-masalah yang ada di lingkungan

sekitar, kreatif dalam menganalisis masalah, keaktifan bekerjasama dalam

menyelesaikan masalah, berpikir kritis dalam membuat keputusan.

2.1.3.5 Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning dalam Pembelajaran

IPA SD

Sebelum dilaksanakannya sebuah pembelajaran, diperlukan perencanaan

berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran menggunakan model pembelajaran

20

tertentu. Oleh karena itu, perlu dibuat pemetaan sintaks dan langkah-langkah

pembelajaran. Pemetaan ini berguna sebagai padoman dalam menyusun Rancangan

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Berikut ini akan dijelaskan tentang pemetaan

sintaks dan langkah-langkah pembelajaran yang harus dilaksanakan dalam

pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran Discovery Learning.

Tabel 2.2 Pemetaan Sintak Model Pembelajaran Discovery Learning KEGIATAN

GURU

SINTAKS DISCOVERY

LEARNING

KEGIATAN

SISWA

Guru mengajukan persoalan berupa

uraian yang memuat permasalahan Stimulation

Mempersiapkan pengetahuan

awal atau pengetahuan yang

telah dimilikinya

1. Guru memberikan kesempatan

kepada siswa untuk memilih

masalah yang relevan

2. Guru mengarahkan siswa

merumuskannya dalam bentuk

pertanyaan dan hipotesis.

Problem Statement

1. Siswa mengidentifikasi

masalah yang relevan

2. Siswa merumuskan

permasalahan dalam bentuk

pertanyaan dan hipotesis.

Guru memberi kesempatan kepada

siswa untuk mengumpulkan

informasi Data Collection

Siswa mengumpulan informasi

yang relevan, mengamati objek

secara kelompok

Guru meminta siswa untuk

mengolah informasi yang telah

diperoleh

Data Processing

Siswa mengklasifikasi,

menghitung dan menafsirkan

informasi yang telah diperoleh

1. Guru meminta siswa untuk

melakukan pembuktian hipotesis

yang telah dibuat. Apakah

hipotesis telah terjawab/terbukti

2. Guru memberi kesempatan siswa

untuk mempresentasikan hasil

kerja

Verification

1. Siswa meninjau kembali

hipotesis yang telah dibuat

diawal pembelajaran sesuai

dengan informasi yang telah

diperoleh

2. Siswa mempresentasikan hasil

kerja

Guru mengarahkan siswa untuk

membuat kesimpulan dari hasil

kerja

Generalization

Siswa membuat kesimpulan

dari hasil kerja.

2.1.3.6 Higher Order Thinking Skills (HOTS) dalam Discovery Learning

Higher Order Thinking Skills (HOTS) dalam pembelajaran mengintegrasikan

level berfikir tingkat tinggi dalam proses belajar dan evaluasi. Ketrampilan berpikir

tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS) merupakan kegiatan

berpikir yang melibatkan level kognitif hirarki tingkat tinggi dari Blooms Taxonomy

(itc:2013) yang terdiri dari 6 level yaitu sebagai berikut :

21

1. Design

Acting like an inventor, experiencing ‘light bulb’ moments to generate new

products, ideals or ways of doing things

2. Evalute

Acting like the scales of jusctice to ‘weigh up’ the evidence to make and justify a

decision

3. Analyse

Acting like a magnifying glass to identify the component parts of an issue,

situation or object

4. Apply

Acting to apply new skills, rules and concepts to related and new situations

5. Understand

Acting like an expert, showing understanding of words, concepts, cause and

effect and ‘reasons for’!

6. Remember

Acting like an internet databese to recall information, facts and data?

Dalam penjelasan diatas berfikir tingkat tinggi dalam Taksonomi Bloom dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Desain

Mengalami untuk menghasilkan produk, ide atau cara baru

2. Evaluasi

Menimbang/bukti untuk membuat dan membenarkan keputusan

3. Menganalisis

Mengidentifikasi bagian komponen dari sebuah isu, situasi atau objek

4. Menerapkan

Menerapkan ketrampilan baru, aturan dan konsep terkait dan situasi baru

5. Memahami

Memahami kata-kata, konsep, sebab dan akibat

6. Mengingat

22

Mengingat data, fakta dan informasi

Dalam hal ini hubungan Higher Order Thinking Skills (HOTS) dengan

Discovery Learning saling berkaitan, karena Discovery Learning yang berarti

mengembangkan keaktifan dengan cara menemukan pengetahuannya sendiri dengan

cara menemukan, menyelidiki sendiri sehingga sehingga hasil yang diperoleh

bertahan lama dalam ingatan siswa dan tidak akan mudah lupa, maka untuk

mendukung hal tersebut pendekatan Discovery Learning sebagai salah satu

pendekatan yang dapat digunakan untuk melatih siswa dalam berpikir kritis, logis dan

sistematis dan mampu menemukan pengetahuannya sendiri dengan cara

menganalisis. Cara belajar untuk menganalisis termasuk dalam belajar berfikir tingkat

tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS).

2.1.4 Media Pembelajaran

Pada kegiatan pembelajaran guru perlu mengadakan penggunaan media

untuk mendukung model yang digunakannya agar lebih menarik. Dalam

perkembangan zaman dan teknologi saat ini guru dituntut agar mampu

mengoperasikan alat-alat yang telah disediakan oleh sekolah. Sehingga siswa menjadi

lebih tertarik dalam belajar. Untuk itu seorang guru harus memiliki pengetahuan dan

pemahaman yang cukup tentang media pengajaran. Berbagai bentuk media dapat

digunakan utnuk meningkatkan pengalaman belajar ke arah yang lebih konkret.

Pengajaran dengan menggunakan media tidak hanya sekedar menggunakan kata-kata

(simbol verbal), sehingga dapat diperoleh hasil pengalaman belajar yang lebih berarti

bagi siswa. Dalam hal ini Gagne dan Briggs (1979) dalam Ibrahim dan Syaodih

(2003: 113) menekankan pentingnya media sebagai alat untuk merangsang proses

belajar-mengajar.

Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata

medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Metode adalah

perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Gagne dalam

Sadiman, dkk (2006: 6) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen

dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar.

23

Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

menyalurkan pesan dan merangsang terjadinya proses belajar pada si pembelajar

(siswa) Zainal Aqib (2013: 50). Makna media pembelajaran lebih luas dari alat

peraga, alat bantu mengajar, media audio visual. Media pengajaran dapat diartikan

sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi

pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa, sehingga

dapat mendorong proses belajar mengajar.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa media

pembelajaran adalah media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat

bantu untuk guru dalam proses belajar mengajar serta sarana penyampaian pesan dari

sumber belajar ke penerima pesan yaitu siswa itu sendiri.

Fungsi utama media pembelajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang

ikut mempengaruhi ilkim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan

oleh guru. Sedangkan menurut Sadiman, dkk (2006: 17-18) kegunaan media

pendidikan dalam proses belajar mengajar adalah:

1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam

benatuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).

2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, seperti misalnya:

a. Objek yang terlalu besar – bisa digantikan dengan realita, gambar, film

bingkai, film, atau model.

b. Obek yang kecil dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai, film atau

gambar.

c. Gerak yang terlalu lambat atau cepat, dapat dibantu dengan timelapse atau

high-speed photography.

d. Kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat

rekaman film, video, film bingkai, foto maupun secara verbal.

e. Objek yang terlalu kompleks dapat disajikan dengan model, diagram, dan

lain-lain.

24

f. Konsep yang terlalu luas misal (gunung berapi, gempa bumi, iklim dan lain-

lain) dapat divisualkan dalam bentuk film, film bingkai, gambar dan lain-lain.

3) Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi

sikap pasif anak didik. Dalam hal ini media berguna untuk:

a. Menimbulkan kegairahan belajar siswa,

b. Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan

lingkungan dan kenyataan,

c. Memungkinkan anak didik belajar sendiri menurut kemampuan dan

minatnya.

4) Mengatasi sifat unik yang dimiliki tiap siswa ditambah dengan lingkungan

dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan

ditentukan sama untuk setiap siswa.

Menurut Ariani dan Haryanto (2010: 91-93) menggolongkan media menjadi tiga:

a. Media visual

Media yang hanya mengandalkan indera penglihatan. Media ini ada yang

menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti foto, gambar, lukisan.

b. Media audio

Media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja seperti radio,

cassette recorder, piringan hitam.

c. Media audiovisual

Merupakan media yang mempunyai unsur suara dan unsure gambar. Media

ini mempunyai kemampuan yang lebih baik karena meliputi kedua jenis

media yang pertama dan kedua contoh dalam media ini adalah media video,

media komputer.

2.1.4.1 Media Gambar

Terdapat banyak media pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru dalam

pembelajaran. Salah satunya yaitu media gambar. Media gambar dipakai karena dapat

dibuat dengan mudah, praktis dan tidak memerlukan biaya yang mahal. Media

gambar juga merupakan sarana yang baik untuk membawa situasi dunia luar kedalam

25

ruang kelas. Siswa tidak perlu membayangkan materi yang disampaikan oleh guru,

karena dengan media gambar siswa dapat melihat langsung ilustrasi yang ada.

Menurut Hamalik dalam (Sri Fajarsih, 2012: 7), media gambar adalah segala

sesuatu yang diwujudkan secara visual ke dalam bentuk dua dimensi sebagai curahan

ataupun pikiran yang bermacam-macam seperti lukisan, potret, slide, film, strip,

opaque proyektor.

Menurut Sadiman dalam (Sri Fajarsih, 2012: 7) media gambar adalah media

yang paling umum dipakai, yang merupakan bahasan umum yang dapat dimengerti,

dan dinikmati dimana saja.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa media

gambar adalah suatu media yang dapat diwujudkan secara visual dalam bentuk dua

dimensi yang dapat dinikmati dimana saja.

2.1.4.2 Kelebihan dan Kelemahan Media Gambar

Media Gambar mempunyai kelebihan dan kelemahan diantaranya:

1) Sifatnya konkret, gambar/foto lebih realistis menunjukkan pokok masalah

dibandingkan dengan media verbal semata.

2) Gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu.

3) Media gambar/foto dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita.

4) Foto dapat memperjelas suatu masalah, dalam bidang apa saja dan untuk tingkat

usia berapa saja, sehingga dapat mencegah atau membetulkan kesalahpahaman.

5) Foto harganya murah dan gampang didapat serta digunakan, tanpa memerlukan

peralatan khusus.

Selain kelebihan-kelebihan tersebut, gambar/foto juga mempunyai kelemahan-

kelemahan yakni:

1) Gambar/foto hanya menekankan persepsi indera mata.

2) Gambar/foto benda yang terlalu kompleks kurang efektif untuk kegiatan

pembelajaran.

3) Ukurannya sangat terbatas untuk kelompok besar.

26

2.1.4.3 Karakteristik Media Gambar

Menurut Rahadi (2003:27), media gambar harus memiliki beberapa

karakteristik anatara lain harus autentik, artinya dapat menggambarkan obyek atau

peristiwa seperti jika siswa melihat langsung. Media gambar juga harus sederhana,

komposisinya cukup jelas menunjukkan bagian-bagian pokok dalam gambar

tersebut.ukuran gambar harus proporsional, sehingga siswa mudah membayangkan

ukuran yang sesungguhnya benda atau objek yang di gambar. Media gambar juga

harus memadukan antara keindahan dengan kesesuaiannya untuk mencapai tujuan

pembelajaran yang diinginkan. Media gambar harus message (mengandung pesan).

Karena tidak setiap gambar yang bagus merupakan media yang bagus. Sebagai media

yang baik, gambar hendaklah bagus dari sudut seni dan sesuai dengan tujuan

pembelajaran yang ingin dicapai.

2.1.4.4 Langkah-langkah Media Gambar

Dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan media gambar dilakukan

langkah-langkah sebagai berikut:

a. Persiapan

Selain menyiapakan media gambar yang akan digunakan guru harus benar-benar

memahami pembelajaran dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin

akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.

b. Pembukaan

Siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan

dengan media gambar, kemudian siswa diminta untuk mencermati media gambar

tersebut dengan cara mereka sendiri.

c. Proses Pembelajaran

Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan

pengamatannya dapat dilakukan secara perorangan, dengan mengerjakan LKS

(Lembar Kerja Siswa) yang diberikan oleh guru untuk dinilainya.

27

d. Penutup

Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi dalam mengerjakan LKS nya di

kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu, dan pada akhir

pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi yang lain menuju tingkat

kesuksesan dan keaktifan siswa (Sudjana. 2009: 12).

2.1.5 Model Discovery Learning Berbantuan Media Gambar

2.1.5.1 Pengertian Model Discovey Learning Berbantuan Media Gambar

Discovery Learning berbantuan media gambar merupakan suatu

penggabungan antara model pembelajaran yang membantu siswa untuk membangun

keterkaitan makna dalam proses belajar melalui media (Trianto, 2012:104).

Pendekatan ini membantu siswa menemukan dan mengkonstruksikan sendiri

pengetahuannya untuk memperoleh keterampilan melalui kegiatan yang beraneka

ragam, proses bermain sambil belajar serta proses interaksinya dengan penggunaan

media gambar. Pendekatan ini diharpkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa

dalam belajar sehingga mereka memperoleh hasil belajar yang maksimal.

Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Relmasira (2013) "in

collaboration, teachers should put their trust in students to be creatively maintaining

their own learning. Teachers should be no longer control the learning and start to

empower meaningful collaboration for achieving successful learning where all

students achieve progress in learning." Dalam berkolaborasi, para guru harus

mempercayai siswa agar dapat secara kreatif mempertahankan pembelajaran mereka

sendiri. Guru juga harus mengontrol pembelajaran dengan cara mendorong siswa agar

pembelajaran lebih bermakna, dimana setiap siswa dapat mencapai kemajuan dalam

belajar." Untuk mendukung hal tersebut, model pembelajaran Discovery Learning

sebagai salah satu model pembelajaran yang berkolaborasi secara kelompok yang

dapat digunakan untuk melatih siswa dalam bekerjasama untuk menemukan

pengetahuannya sendiri.

28

2.1.5.2 Langkah-langkah Pembelajaran Model Discovery Learning Berbantuan

Media Gambar

Dalam penelitian ini, peneliti menggabungkan model Discovery Learning

dengan berbantuan Media Gambar. Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan

model Discovery Learning berbantuan Media Gambar adalah sebagai berikut:

1. Guru menentukan tema pembelajaran yang akan diajarkan

2. Guru membuka pelajaran

3. Guru melakukan apersepsi untuk memotivasi siswa

4. Siswa mengamati lingkungan sekolah yang berhubungan dengan bagian-bagian

tumbuhan dan fungsinya

5. Siswa menjawab pertanyaan guru mengenai hal yang dapat ditemukan

dilingkungan sekolah yang berkaitan dengan bagian-bagian tumbuhan dan

fungsinya

6. Guru menampilkan gambar-gambar seputar materi yang ada di dalam tema

pembelajaran.

7. Siswa membentuk kelompok (3-4 siswa)

8. Siswa bersama kelompok mengidentifikasi permasalahan mengenai gambar yang

sedang ditampilkan

9. Siswa mengelompokkan masalah yang sesuai dengan gambar

10. Siswa berdiskusi menentukan hipotesis dari pertanyaan yang telah mereka

kelompokkan.

11. Siswa perwakilan kelompok menyampaikan hipotesis yang telah dibuat.

12. Siswa menerima sebuah LKS keseimbangan alam dan pelestarian SDA.

13. Siswa menyimak arahan yang diberikan guru tentang kegiatan selanjutnya yaitu

percobaan

14. Siswa mengambil peralatan yang diperlukan untuk melakukan percobaan

15. Siswa bersama kelompoknya melakukan percobaan berdasarkan langkah

percobaan yang ada dalam LKS

16. Siswa melakukan percobaan dengan waktu yang diberikan guru

29

17. Siswa bekerja kelompok untuk mendiskusikan permasalahan yang dirumuskan

dengan mengamati percobaan

18. Siswa mencatat hasil pengamatannya pada LKS

19. Siswa melihat/ mengecek kembali pertanyaan atau hipotesis yang telah dibuat

berdasarkan hasil percobaan

20. Siswa mempresentasikan hasil diskusi

21. Siswa bersama guru membahas hasil percobaan yang telah dilakukan

22. Siswa melakukan penguatan materi yang diberikan guru

23. Siswa bersama guru melakukan tanya jawab mengenai materi yang belum

dipahami

24. Siswa membuat kesimpulan berdasarkan diskusi kelas yang telah dilakukan

dilanjutkan dengan evaluasi dan tindak lanjut

Dengan menerapkan model Discovery Learning berbantuan dengan Media

Gambar, maka guru mampu menciptakan pembelajaran yang kreatif dan inovatif

sehingga dapat memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran IPA.

2.1.5.3 Analisis Komponen Model Pembelajaran Discovery Learning

1. Sistem Sosial

Sistem sosial dalam penerapan model Discovery Learning dengan Media

Gambar memberikan pengaruh terhadap peran guru dan siswa. guru berperan sebagai

fasilitator dalam pembelajaran IPA. Guru memberikan dan menyediakan berbagai

fasilitas untuk membantu siswa dalam pembelajaran seperti melalui gambar. Siswa

juga memaksimalkan proses belajarnya melalui berbagai fasilitas yang diberikan

guru.

2. Prinsip Reaksi

Dalam interaksi belajar mengajar yang terdapat pada pembelajaran dengan

penerapan model Discovery Learning berbantuan Media Gambar ini siswa lebih

ditekankan sebagai subjek belajar, sedangkan guru sebagai fasilitator dalam proses

belajar mengajar. Siswa belajar melalui proses membangun pengetahuannya sendiri

(kontruktivisme), menemukan (inquiry), dengan cara mengidentifikasi masalah

30

(problem statement), mengumpulkan data (data collection), pengolahan data (data

processing), pembuktian (verification) dan generalization (menarik kesimpulan), serta

hasil belajar siswa dimulai selama proses hingga akhir belajarnya (penilaian yang

sebenarnya).

3. Sistem Pendukung

Dalam pembelajaran tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya

dukungan berupa sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dalam pembelajaran

dengan menerapkan model Discovery Learning berbantuan Media Gambar, sarana

dan prasarana yang digunakan meliputi Media Gambar, laptop, pengeras suara, LCD,

proyektor, soal yang dikemas dalam LKS, lingkungan sekitar, media dan alat peraga

yang sesuai dengan tema pembelajaran.

4. Dampak Pengiring dan Dampak Instruksional

Penerapan model pembelajaran Discovery Learning berbantuan dengan Media

Gambar memberikan berbagai dampak dalam pembelajaran. Dampak-dampak

tersebut meliputi:

a. Dampak pengiringnya yakni berupa karakter-karakter yang diharapkan dapat

muncul setelah siswa belajar dengan model pembelajaran Discovery Learning

berbantuan dengan Media Gambar. Karakter-karakter yang diharapkan yaitu

bertanggung jawab, toleransi, bekerjasama, percaya diri, dan teliti.

b. Dampak interaksional dalam penerapan model pembelajaran Discovery Learning

berbantuan dengan Media Gambar adalah adanya peningkatan hasil belajar siswa

kelas 4 pada pembelajaran IPA.

2.2 Penelitian Yang Relevan

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Agus Supriyadi

(2012) yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar Metode Discovery Learning

Pembelajaran IPA Kelas IV SDN 03 Sungai Ambang Kubu Raya”. Dapat

disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif Discovery Learning dapat

meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA. Siklus I 65,55% dan

siklus II 75,55%dari jumlah siswa 27 orang. Hasil belajar siswa meningkat

31

ditunjukkan dari rata-rata nilai evaluasi belajar siswa pada siklus I menjadi 78,72%

dan terjadi peningkatan setelah adanya perbaikan pembelajaran pada siklus II menjadi

97,76.

Penelitian yang dilakukan oleh Gina Rosarina (2016) yang berjudul “Penerapan

Model Discovery Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi

Perubahan Wujud Benda”. Dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran

dengan model Discovery Learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam

pembelajaran IPA kelas IV. Peningkatan ini dilihat dari presentase ketentuan setiap

siklus. Siswa yang dinyatakan tuntas pada siklus I berdasarkan hasil tes ada 7 siswa

(26,92%), siklus II menjadi 17 siswa (65,38%) dan siklus III 23 siswa (88,46%).

Berdasarkan hasil penelitian dari Siti Maslaah di Banyumas dengan judul

Penggunaan Media Gambar Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar IPA Kelas V Sub

Pokok Bahasan Alat Peredaran Darah Pada Manusia Di MI Ma’arif Tamansari

Karanglewas Banyumas Tahun Pelajaran 2014/2015. Dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada siklus I dan siklus II semakin meningkat. Siklus I rata-

ratanya mencapai 63,91% dengan nilai tertinggi 90 dan terendah 30, siklus II rata-

ratanya 83,91, nilai tertinggi 100 dan terendah 60. Dari hasil tersebut menunjukkan

bahwa peningkatan hasil belajar Ilmu Pengetahuan Alam perlu adanya kreatifitas

guru untuk menggunakan media pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat

tercapai.

Dari kajian empiris tersebut didapatkan informasi bahwa model pembelajaran

Discovery Learning dengan Media Gambar dapat meningkatkan hasil belajar siswa,

aktivitas siswa dalam pembelajaran. Hasil penelitian tersebut menjadi pendukung

untuk melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “Penerapan Model

Pembelajaran Discovery Learning Berbantuan Media Gambar Untuk Meningkatkan

Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Negeri 01 Tegalsari Kecamatan Kedu

Kabupaten Temanggung Semester I Tahun Pelajaran 2017/2018”.

32

2.3 Kerangka Pikir

Pembelajaran di sekolah dasar harus dilaksanakan secara kreatif. Karena pola

berfikir taraf usia anak-anak masih senang bermain atau berkelompok, jadi guru

dituntut harus mampu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan agar

pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi peserta didik. Menggunakan model

pembelajaran Discovery Learning siswa menjadi aktif untuk berfikir kritis

menemukan pengetahuannya sendiri dalam setiap pembelajaran, dengan melakukan

kegiatan pengamatan alam sekitar untuk menarik kesimpulan dapat mningkatkan

minat siswa dalam mengikuti pembelajaran. Siswa tidak akan merasa jenuh karena

mereka bisa mengamati lingkungan sekitar tentang materi yang diajarkan guru.

Keinginan siswa untuk memperoleh nilai yang tinggi dapat memacu mereka untuk

terus belajar. Dengan menggunakan metode Discovery Learning siswa dapat berfikir

kritis menemukan pengetahuannya sendiri dalam setiap pembelajaran.

Penggunaan media gambar sebagai media pembelajaran diharapkan dapat

mempermudah pemahaman siswa tentang materi yang diajarkan yaitu bagian-bagian

tumbuhan dan fungsinya. Dengan media ini juga dapat membantu guru agar

pembelajaran mejadi lebih efektif, tidak menggunakan metode ceramah dan mencatat

di buku serta siswa menjadi lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran.

33

Gambar 1. Skema Peningkatan Hasil Belajar IPA Dengan Model Pembelajaran

Discovery Learning Berbantuan Media Gambar

2.4 Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka yang telah diuraikan, maka hipotesis yang menjadi

jawaban sementara dari penelitian ini adalah: Penggunaan model pembelajaran

Discovery Learning berbantuan media gambar dapat meningkatkan hasil belajar tema

4 (Berbagai Pekerjaan) pada mata pelajaran IPA pada siswa kelas 4 semester I SD

Negeri 01 Tegalsari Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung.

Diduga dengan menggunakan metode

Discovery Learning dan media gambar

menjadikan pembelajaran tema 4 pada

mata pelajaran IPA lebih menyenangkan

dan dapat meningkatkan hasil belajar

siswa.

1. Hasil belajar siswa masih banyak

belum mencapai Kriteria

Ketuntasan Minimal (KKM)

2. Guru belum menerapkan model

pembelajaran yang melibatkan

siswa untuk menemukan

pengetahuannya sendiri, sehingga

menyebabkan kurangnya minat

siswa untuk mengikuti

pembelajaran.

3. Guru belum menggunakan media

pembelajaran yang relevan dengan

materi sehingga siswa pasif dalam

mengikuti pembelajaran.

Kondisi Awal Tindakan Kondisi Akhir

Menerapkan model

Discovery

Learning

berbantuan Media

Gambar

1.Pembelajaran lebih menarik, siswa dapat berfikir secara aktif

dan kreatif dan dapat menemukan pengetahuannya sendiri

2.Penggunaan media dapat membantu guru untuk menyajikan

materi pelajaran dengan contoh-contoh menggunakan gambar