Upload
buituyen
View
218
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Proses Belajar
Untuk mengetahui suatu hal, di dalam diri seseorang terjadi suatu proses
yang dinamakan proses belajar. Proses belajar dapat terjadi dalam arti yang
sesungguhnya jika semua tahap telah dilalui. Tahap proses belajar menurut
Rooijakkers, Ad. (1991: 14) adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Tahap Proses Belajar
Dalam KBBI (1992: 791) proses belajar adalah tingkat dan fase yang
dilalui anak atau sasaran didik dalam mempelajari sesuatu. Menurut Simanjuntak,
dkk (1993: 2) berpendapat bahwa proses belajar adalah mengubah atau
memperbaiki tingkah laku melalui latihan, pengalaman, dan kontak dengan
lingkungannya.
Jadi peneliti menyimpulkan bahwa proses belajar adalah proses perubahan
perilaku seseorang dari keadaan tidak tahu menjadi mengerti melalui berbagai
pengalaman yang dialaminya.
5
Dalam menyusun pembelajaran sangat penting untuk memperhatikan
pendekatan yang dilakukan. Menurut Sujiono dan Sujiono (2010: 27) pendekatan
yang berpusat pada anak (child centered approach) adalah suatu kegiatan belajar
di mana terjadi interaksi dinamis antara guru dan anak atau antara anak dengan
anak lainnya. Menurut Coughlin dalam Sujiono dan Sujiono (2010: 27)
pendekatan yang berpusat pada anak diarahkan agar:
1. Anak mampu mewujudkan dan mengakibatkan perubahan,
2. Anak menjadi pemikir-pemikir yang kritis,
3. Anak mampu membuat pilihan-pilihan dalam hidupnya,
4. Anak mampu menemukan dan menyelesaikan permasalahan secara
konstruktif dan inovatif.
5. Anak menjadi kreatif, imajinatif, dan kaya gagasan,
6. Anak memiliki perhatian terhadap masyarakat, negara, dan lingkungannya.
Terdapat beberapa persoalan yang dapat menghambat proses belajar.
Menurut Keiter, D. (1988: 55) ada lima persoalan khusus dalam belajar, yaitu:
1. Ingatan
Dalam belajar dituntut penggunaan ingatan. Daya ingat dapat
diperkuat dengan memikirkan dan mengerti bahan yang dipelajari. Bahan
pelajaran akan lebih mudah diingat bila ada hubungannya dengan fakta-
fakta. Seseorang dapat mengingat dengan lebih cepat bila bahan
dikelompokkan.
2. Konsentrasi (pemusatan pikiran)
Terkadang seseorang merasa tidak dapat berkonsentrasi. Mungkin
seseorang tersebut bukannya tidak dapat memusatkan pikiran tetapi merasa
tidak dapat memusatkan perhatian kepada pelajaran-pelajaran. Hal itu
terjadi karena konsentrasi pikiran telah ditujukan ke hal lain.
3. Pemahaman
Kemampuan untuk memahami merupakan dasar bagi belajar.
Langkah-langkah mengajukan pertanyaan dan membaca dapat menolong
seseorang dalam memahami suatu hal.
6
4. Kesehatan
Belajar dapat lebih efektif bila badan dalam keadaan sehat. Yang
terjadi para pelajar sering membiarkan dirinya menjadi sangat lelah
sehingga mereka tidak sanggup untuk belajar dengan baik. Salah satu
syarat untuk belajar secara efektif adalah dengan membiasakan diri
menjaga kesehatan badan.
5. Siswa yang lambat
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi „kelambatan‟
adalah memulai mengerjakan tugas dengan segera, menentukan batas
waktu untuk menyelesaikan tugas, mendahulukan hal yang lebih penting,
jangan membuang-buang waktu karena ragu harus mengerjakan di mana
dan kapan, dan biasakan untuk mengerjakan tugas dengan baik sejak awal.
Hasil penelitian Musthafa dalam Sujiono dan Sujiono (2010: 6)
menyatakan bahwa terdapat beberapa permasalahan pembelajaran yang
terjadi di kelas, yaitu:
1. Peran guru masih sangat dominan, hal ini dibuktikan dengan kegiatan
utama guru di dalam kelas hanyalah menyampaikan informasi yang
bersifat satu arah sehingga anak cenderung menjadi pasif,
2. Sebagian besar guru menyandarkan pemilihan bahan ajarnya pada buku
teks yang telah baku sehingga peserta didik kurang mendapatkan
perspektif yang realistik dan berdaya guna bagi pemecahan masalah dalam
kehidupan sehari-hari, adanya pengaturan tempat duduk dan penugasan
yang cenderung mengisolasi satu anak dengan anak lainnya sehingga
mempersulit komunikasi dan pertukaran pikiran antar peserta didik, serta
3. Pertanyaan yang dilontarkan lebih banyak bersifat konvergen daripada
divergen sehingga melumpuhkan kreativitas anak (dis-empowering).
Selain hal di atas, proses belajar juga dapat terhalang oleh pengekangan
dorongan rasa ingin bergerak. Dalam bukunya Singer, K. (1987: 57) memberi
contoh tentang seorang anak lelaki berusia delapan tahun yang dikeluarkan dari
sekolah karena ketidakmampuannya untuk belajar. Menurut pemeriksaan penyakit
itu timbul terutama sekali akibat ketatnya pengekangan gejolak rasa ingin
7
melakukan gerakan. Melalui suatu terapi permainan dorongan-dorongan
motorisnya yang tertekan itu menjadi bebas tersalurkan. Lambat laun ia pun dapat
mengembangkan rasa ingin bergerak yang sehat dan dapat kembali belajar.
Menurut Sujiono dan Sujiono (2010: 21) secara teoretis berdasarkan aspek
perkembangannya, seorang anak dapat belajar dengan sebaik-baiknya apabila
kebutuhan fisiknya dipenuhi dan mereka merasa aman dan nyaman secara
psikologis. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak
membangun pengetahuannya sendiri, anak belajar melalui interaksi sosial dengan
orang dewasa dan anak-anak lainnya, anak belajar melalui bermain, minat anak
dan rasa keingintahuannya memotivasinya untuk belajar sambil bermain, serta
terdapat variasi individual dalam perkembangan dan belajar.
Proses belajar yang menyenangkan adalah kunci sukses menuju
keberhasilan. Gordon Dryden dan Jeanette Vos dalam
http://www.duniapembelajaran.com/ 2011/ 05/ menciptakan- pembelajaran-
menyenangkan.html (2011) mengungkapkan ”belajar akan efektif jika anda dalam
keadaan fun”. Kunci proses pembelajaran yang baik adalah dengan
memperhatikan enam faktor berikut:
1. Menciptakan kondisi terbaik untuk belajar,
2. Presentasi yang melibatkan seluruh indera, relaks, menyenangkan,
bervariasi, cepat, menggairahkan,
3. Berpikir aktif dan kreatif,
4. Merangsang akses materi belajar dengan permainan, lakon pendek,
praktik, dan melibatkan gerak badan,
5. Mengasosiasikan pengetahuan dengan dunia nyata, dan
6. Melakukan peninjauan ulang atau evaluasi secara teratur.
Menurut Rooijakkers, Ad. (1991: 27) untuk mempermudah siswa dalam
belajar adalah dengan mengarahkan perhatian siswa pada pengetahuan yang telah
ada dalam pikiran mereka. Seorang siswa akan lebih mudah mengerti bahan baru
yang diajarkan jika mempunyai kaitan atau jika pengajar menghubungkannya
dengan hal yang telah diketahui oleh siswa (pengetahuan pendahuluan).
8
Menurut Thomas Staton, T. F. (1978: 29) salah satu faktor psikologis yang
sangat mempengaruhi proses belajar adalah comprehension. Comprehension
merupakan langkah terakhir dalam proses belajar. Ia adalah persepsi (penglihatan)
akan arti dan implikasi terhadap bahan yang dipelajari, dan pemahaman
penggunaannya (pengetrapannya). Siswa harus belajar untuk memahami, bukan
sekedar untuk mengingat. Memahami maksudnya adalah menangkap makna, dan
itu merupakan tujuan akhir dari setiap proses belajar.
Setiap anak membangun pengetahuan mereka sendiri berkat pengalaman-
pengalaman dan interaksi aktif dengan lingkungan sekitar dan budaya di mana
mereka berada melalui bermain (Sujiono dan Sujiono, 2010: 32).
2.1.2. Pembelajaran Matematika
Dalam KBBI (1992: 637) matematika memiliki arti ilmu tentang bilangan,
hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam
penyelesaian masalah mengenai bilangan.
Menurut Syarifuddin (2008), pembelajaran matematika adalah proses yang
sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan
memungkinkan seseorang (pembelajar) melaksanakan kegiatan belajar
matematika, dan proses tersebut berpusat pada guru yang mengajar matematika.
Dari beberapa pengertian di atas peneliti menyimpulkan pembelajaran
matematika adalah kegiatan yang sengaja dilakukan untuk mempelajari tentang
bilangan, hubungan antar bilangan, dan pengoperasiannya dalam memecahkan
masalah.
2.1.3. Metode Pembelajaran
2.1.3.1.Metode Ceramah
Menurut KBBI (1992: 653) metode ceramah adalah cara belajar atau
mengajar yang menekankan pemberitahuan satu arah dari pengajar kepada pelajar
(pengajar aktif, pelajar pasif).
Bligh dalam Zaini, dkk (2004: 93) menyatakan bahwa ceramah adalah
pendengar belajar sesuatu dari pembicara yang terus menerus berbicara atau
9
menjelaskan. Metode ceramah identik dengan teacher centered. Hal ini terjadi
karena guru adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap
penyampaian materi kepada siswa, sehingga arah komunikasi cenderung hanya
satu arah, yaitu dari guru kepada siswa.
Penulis menyimpulkan metode ceramah adalah metode pengajaran yang
dilakukan secara satu arah dengan maksud menyampaikan suatu informasi.
Hasil suatu penyelidikan oleh Bligh dalam Rooijakkers, Ad. (1991: 3)
menyatakan pelajaran atau kuliah yang diberikan secara massal, atau kepada suatu
kelompok besar, sangat efektif untuk tujuan menyampaikan informasi. Dengan
mengutarakan halnya sekali saja, suatu masalah dapat sampai kepada banyak
pendengar. Tetapi dalam proses belajar-mengajar terdapat lebih dari hanya satu
aspek saja yang harus diperhitungkan. Tujuan apa yang pengajar kehendaki untuk
dicapai siswanya. Hanya untuk mendapatkan pengetahuan saja atau juga disertai
dengan perubahan sikap. Sebagai pengajar seseorang harus dapat merangsang
terjadinya proses berpikir, harus dapat membantu tumbuhnya sikap kritis, serta
harus mampu mengubah pandangan para siswanya. Dalam metode ceramah hal-
hal lain kurang mendapat perhatian tetapi bentuk ini akan dapat menjadi suatu
bentuk pengajaran yang amat baik, bilamana dipakai untuk menyampaikan
pengetahuan atau pandangan suatu fakta. Menurut Zaini, dkk (2004) berikut
kelebihan dan kelemahan dalam penggunaan metode ceramah:
Kelebihan metode ceramah:
1. Praktis dari sisi persiapan dan media yang digunakan,
2. Efisien dari sisi waktu dan biaya,
3. Dapat menyampaikan banyak materi,
4. Lebih mudah mengontrol kelas,
5. Siswa tidak perlu persiapan, dan
6. Siswa dapat langsung menerima ilmu pengetahuan.
Kelemahan metode ceramah:
1. Membosankan,
2. Siswa tidak aktif,
3. Informasi hanya satu arah,
10
4. Feed back relatif rendah,
5. Menggurui dan melelahkan,
6. Kurang melekat pada ingatan siswa,
7. Kurang terkendali, baik waktu maupun materi,
8. Monoton,
9. Tidak mengembangkan kreativitas siswa,
10. Menjadikan siswa hanya sebagai objek didik, dan
11. Tidak merangsang siswa untuk membaca.
2.1.3.2.Metode Bermain
Pellegrini (1991) dalam Bennett, dkk (2005: 6) menyatakan bahwa
permainan didefinisikan menurut tiga matra berikut ini:
1. Permainan sebagai kecenderungan.
2. Permainan sebagai konteks.
3. Permainan sebagai perilaku yang dapat diamati.
Dalam KBBI (1992: 614) bermain memiliki arti melakukan sesuatu untuk
bersenang-senang. Menurut Ismail, A. (2006: 119) permainan edukatif, yaitu
suatu kegiatan yang sangat menyenangkan dan dapat merupakan cara atau alat
pendidikan yang bersifat mendidik. Ismail, A. (2006: 24) juga meninjau bermain
dari perspektif pendidikan yaitu sebuah kegiatan yang memberi peluang kepada
anak untuk dapat berswakarya, melakukan, dan menciptakan sesuatu dari
permainan itu dengan tenaganya sendiri, baik dilakukan di dalam maupun di luar
ruangan.
Dengan bermain akan muncul aktivitas belajar bersama. Menurut English,
E. W. (2005: 19-20) aktivitas-aktivitas belajar bersama bisa juga meningkatkan
terbukanya pandangan para siswa pada berbagai pengalaman budaya dan
membentuk seluruh kelas sebagai suatu komunitas. Dengan demikian bisa
membuat ruang kelas menjadi suatu lingkungan yang lebih baik untuk belajar.
Keterampilan-keterampilan sosial dari kerja tim, negosiasi, dan pemecahan
masalah juga menjadi jenis-jenis keterampilan bagi para siswa untuk berkembang
dan mengantarkan mereka ke tempat-tempat kerja mereka di masa yang akan
11
datang. Belajar bersama itu secara alamiah menggunakan kecerdasan yang
beragam. Di berbagai proyek bersama, para siswa memiliki kesempatan untuk
memakai berbagai gaya dan kekuatan khusus mereka ke arah penyelesaian tugas
kelompok yang beraneka ragam.
Penulis menyimpulkan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang
menyenangkan dan dapat digunakan untuk tujuan pendidikan dan dapat dilakukan
di dalam atau di luar ruangan.
Bermain begitu penting bagi anak, dalam pembelajaran sebaiknya dikemas
dengan cara yang menyenangkan dan tidak melupakan keberadaan anak dalam
usia bermainnya. Dengan bermain anak-anak mendapatkan berbagai pengalaman
dan pengetahuannya. Melalui bermain, anak memperoleh pelajaran yang
mengandung aspek perkembangan kognitif, sosial, emosi, dan fisik.
Dalam bukunya Ismail, A. (2006: 119) memuat pernyataan para ahli
pendidikan anak yang menyatakan bahwa cara belajar anak yang paling efektif
ada pada permainan anak, yaitu dengan bermain dalam kegiatan belajar
mengajarnya. Dalam bermain, ia dapat mengembangkan otot besar dan halusnya
(motorik-kasar dan motorik-halus), meningkatakan penalaran, dan memahami
keberadaan di lingkungan teman sebaya, membentuk daya imajinasi dengan dunia
sesungguhnya, mengikuti peraturan, tata tertib, dan disiplin yang tinggi. Secara
alamiah, bermain dapat memotivasi anak untuk mengetahui sesuatu lebih
mendalam, dan secara spontan pula anak mengembangkan bahasanya, mendapat
kesempatan bereksperimen, dan memahami konsep-konsep sesuai dengan
permainan dirinya.
Rumbold dalam Bennett, dkk (2005: 23) melaporkan penelitiannya bahwa
permainan yang memiliki arah jelas adalah hal yang benar dan lahan subur bagi
proses pembelajaran. Permainan adalah motivator yang penuh daya, mendorong
anak menjadi kreatif dan mengembangkan gagasan, pemahaman dan bahasa
mereka. Melalui permainan, anak-anak melakukan eksplorasi, menerapkan dan
menguji hal-hal yang mereka ketahui dan dapat mereka lakukan.
Ada pepatah yang mengatakan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”
pengalaman bisa memberikan pelajaran yang berharga jika dimaknai dengan baik.
12
Menurut Suparman (2010: 171) permainan dapat digunakan untuk menarik
perhatian dan konsentrasi, melatih kekompakan, memperetat hubungan keakraban
antar anak didik, solidaritas, toleransi, kerjasama, dan kepemimpinan.
Jika pembelajaran dilakukan dengan metode bermain maka belajar bukan
menjadi suatu hal yang menakutkan lagi. Siswa akan dengan rela menerima
materi yang disampaikan pengajar dan materi akan mudah dipahami karena tidak
adanya rasa terpaksa dalam diri siswa. Siswa akan dapat belajar dalam kondisi
yang menyenangkan dan tanpa perasaan tertekan. Sehingga akan muncul
kepribadian yang kreatif dalam diri siswa.
Menurut Munandar, U. (2004: 35) ciri-ciri kepribadian kreatif adalah
selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, dan menyukai kegemaran dan
aktivitas yang kreatif. Anak dan remaja kreatif biasanya cukup mandiri dan
memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan
perhitungan) dari pada anak-anak pada umumnya, tidak takut membuat kesalahan
dan mengemukakan pendapat.
Bennett, dkk (2005: 46) menyimpulkan beberapa wilayah kunci sehingga
permainan dipandang istimewa sekaligus vital dalam pendidikan sebagai berikut:
1. Rasa memiliki merupakan hal yang pokok bagi pembelajaran anak yang
diperoleh melalui permainan.
2. Anak-anak mempelajari cara belajar melalui permainan.
3. Anak-anak lebih mungkin mengingat hal-hal yang mereka lakukan dalam
permainan.
4. Pembelajaran melalui permainan terjadi dengan gampang, tanpa ketakutan
dan tanpa hambatan yang menghadang.
5. Permainan itu alamiah, anak-anak adalah diri mereka sendiri.
6. Dilihat dari sudut perkembangan (developmental), permainan itu memadai.
Anak-anak secara intuitif mengetahui hal-hal yang mereka butuhkan dan
memenuhi kebutuhan itu melalui permainan.
7. Anak-anak tak bisa gagal di dalam permainan karena tidak ada yang benar
atau salah.
13
8. Permainan memampukan para guru untuk mengamati pembelajaran yang
sesungguhnya.
9. Anak-anak mengalami berkurangnya frustasi di dalam permainan sehingga
mengurangi masalah disiplin.
Dalam kegiatan bermain muncul inisiatif dalam benak anak-anak yang
akan mengarah pada pilihan, pengendalian, kepemilikan, dan kemandirian.
Permainan adalah sesuatu yang memberikan kenikmatan, juga menguatkan minat,
keterlibatan, dan motivasi. Karena itu, permainan menyediakan pengalaman yang
relevan dan bermakna serta mengarahkan pada pembelajaran.
Jadi, permainan menguatkan sikap positif terhadap pembelajaran sehingga
membantu anak untuk mengembangkan kepercayaan diri dan harga diri, menjadi
lebih mandiri serta bertanggung jawab pada keputusan mereka sendiri.
Dalam permainan terdapat beberapa kendala yang menghambat dalam
pelaksanaannya juga terdapat manfaat yang berguna bagi pengajar maupun siswa.
Benett, dkk (2005: 201) menyampaikan kendala-kendala dan manfaat dari
penggunaan permainan dalam pembelajaran sebagai berikut:
Kendala:
1. Tuntutan kurikulum nasional,
2. Jumlah siswa di kelas,
3. Kurangnya pengalaman guru, dan
4. Keterbatasan anak.
Manfaat:
1. Fungsi „penyingkapan‟. Menunjukkan anak sudah sampai di tahap mana.
2. Sebagai medium pembelajaran.
3. Membangun keyakinan.
4. Perilaku alamiah, anak-anak melakukan yang mereka kehendaki.
5. Anak-anak dapat berinisiatif.
2.1.4. Permainan Puzzle
Puzzle secara bahasa Indonesia diartikan sebagai tebakan. Tebakan adalah
sebuah masalah atau "enigma" yang diberikan sebagai hiburan yang biasanya
14
ditulis atau dilakukan. Dalam KBBI (1992: 1017) tebakan adalah sesuatu yang
ditebak, teka-teki. Banyak tebakan berakar dari masalah matematika dan logistik
serius.
Menurut Wahyuni dan Maureen dalam http://www.alat-
peraga.net/manfaat-dan-tips-memilih-puzzle.htm (2011), puzzle adalah media
visual dua dimensi yang mempunyai kemampuan untuk menyampaikan informasi
secara visual tentang segala sesuatu sebagai pindahan dari wujud yang
sebenarnya. Menurut Ismail, A. (2006: 218) puzzle adalah permainan yang
menyusun suatu gambar atau benda yang telah dipecah dalam beberapa bagian.
Peneliti menarik kesimpulan bahwa puzzle adalah permainan teka-teki
menyatukan kembali beberapa bagian objek yang acak pada tempatnya yang
sesuai.
Permainan puzzle melibatkan koordinasi mata dan tangan. Namun secara
khusus puzzle biasanya terbentuk dari sebuah gambar yang terpotong-potong
menurut bagian tertentu. Puzzle dapat terbuat dari plastik, spon, kertas, ataupun
kayu tebal. Bahan puzzle yang paling baik bagi kegiatan belajar mengajar adalah
dari kayu. Guru dapat menggunakan puzzle ini untuk mengarahkan anak pada
pelajaran yang akan diajarkan pada saat itu.
Puzzle beragam jenisnya. Ada yang terbuat dari karton tebal dan ada yang
terbuat dari kayu. Seiring waktu, semakin tinggi usia anak, maka makin tinggi
tingkat kesulitan puzzle akan semakin bertambah. Biasanya hal ini ditunjukkan
dengan jumlah kepingan yang semakin banyak dengan ukuran yang lebih kecil.
Tips memilih puzzle yang baik adalah potongan kepingan harus memenuhi
presisi bentuk dan tidak ada bagian yang tajam sehingga memudahkan anak
memasang ke tempat yang sesuai, tidak membuat anak frustasi dan tidak
membahayakan. Sebaiknya jangan memilih puzzle dari karton tipis sebab akan
menyulitkan anak memasang bentuk karena mudah terlepas satu dengan yang lain
dan mudah rusak.
Manfaat puzzle dalam http://www.alat-peraga.net/manfaat-dan-tips-
memilih-puzzle.htm (2011) adalah sebagai berikut:
15
1. Meningkatkan Keterampilan Kognitif
Keterampilan kognitif (cognitive skill) berkaitan dengan
kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah. Dengan bermain
puzzle anak akan mencoba memecahkan masalah yaitu menyusun gambar.
Pada tahap awal mengenal puzzle, mereka mungkin mencoba untuk
menyusun gambar puzzle dengan cara mencoba memasang-masangkan
bagian-bagian puzzle tanpa petunjuk. Dengan sedikit arahan dan contoh,
maka anak sudah dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya dengan
cara mencoba menyesuaikan bentuk, menyesuaikan warna, atau logika.
Contoh usaha anak menyesuaikan bentuk misalnya bentuk cembung harus
dipasangkan dengan bentuk cekung. Contoh usaha anak menyesuaikan
warna misalnya warna merah dipasangkan dengan warna merah. Contoh
usaha anak menggunakan logika, misalnya bagian gambar roda atau kaki
posisinya selalu berada di bawah.
2. Meningkatkan Keterampilan Motorik Halus
Keterampilan motorik halus (fine motor skill) berkaitan dengan
kemampuan anak menggunakan otot-otot kecilnya khususnya tangan dan
jari-jari tangan. Dengan bermain puzzle tanpa disadari anak akan belajar
secara aktif menggunakan jari-jari tangannya. Supaya puzzle dapat
tersusun membentuk gambar maka bagian-bagian puzzle harus disusun
secara hati-hati. Perhatikan cara anak-anak memegang bagian puzzle akan
berbeda dengan caranya memegang boneka atau bola. Memegang dan
meletakkan puzzle mungkin hanya menggunakan dua atau tiga jari,
sedangkan memegang boneka atau bola dapat dilakukan dengan
mengempit di ketiak (tanpa melibatkan jari tangan) atau menggunakan
kelima jari dan telapak tangan sekaligus.
3. Meningkatkan Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial berkaitan dengan kemampuan berinteraksi
dengan orang lain. Puzzle dapat dimainkan secara perorangan. Namun
puzzle dapat pula dimainkan secara kelompok. Permainan yang dilakukan
oleh anak-anak secara kelompok akan meningkatkan interaksi sosial anak.
16
Dalam kelompok anak akan saling menghargai, saling membantu, dan
berdiskusi satu sama lain. Jika anak bermain puzzle di rumah orang tua
dapat menemani anak untuk berdiskusi menyelesaikan puzzle-nya, tetapi
sebaiknya orang tua hanya memberikan arahan kepada anak dan tidak
terlibat secara aktif membantu anak menyusun puzzle.
4. Melatih koordinasi mata dan tangan.
Anak belajar mencocokkan keping-keping puzzle dan
menyusunnya menjadi satu gambar. Ini langkah penting menuju
pengembangan keterampilan membaca.
5. Melatih Logika.
Membantu melatih logika anak. Misalnya puzzle bergambar
manusia. Anak dilatih menyimpulkan di mana letak kepala, tangan, dan
kaki sesuai logika.
6. Melatih kesabaran.
Bermain puzzle membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan
memerlukan waktu untuk berfikir dalam menyelesaikan tantangan.
7. Memperluas pengetahuan.
Anak akan belajar banyak hal, warna, bentuk, angka, huruf.
Pengetahuan yang diperoleh dari cara ini biasanya mengesankan bagi anak
dibandingkan yang dihafalkan. Anak dapat belajar konsep dasar, binatang,
alam sekitar, buah-buahan, alfabet dan lain-lain. Tentu saja dengan
bantuan ibu dan ayah.
Kekurangan penggunaan puzzle dalam pembelajaran antara lain sebagai
berikut:
1. Membutuhkan waktu yang lebih panjang,
2. Menuntut kreativitas pengajar, dan
3. Kelas menjadi kurang terkendali.
2.1.5. Hasil Belajar
Menurut Hasan & Zainul (1991: 23) di Indonesia, hasil belajar dinyatakan
dalam klasifikasi yang dikembangkan oleh Bloom dan kawan-kawannya.
17
Taksonomi Bloom membagi hasil belajar atas tiga ranah yaitu kognitif, afektif,
dan psikomotor.
1. Ranah kognitif
Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir. Ada 6 jenjang:
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
2. Ranah afektif
Ranah afektif berhubungan dengan minat, perhatian, sikap, emosi,
penghargaan, proses internalisasi dan pembentukan karakteristik diri. Ada
5 jenjang: penerimaan, penanggapan, penghargaan, pengorganisasian, dan
penjatidirian.
3. Ranah psikomotor
Ranah psikomotor berhubungan dengan kemampuan gerak atau
manipulasi yang bukan disebabkan oleh kematangan biologis.
Kemampuan gerak atau manipulasi tersebut dikendalikan oleh kematangan
psikologis.
Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran
karena dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam
upaya mencapai tujuan pembelajaran. Melalui informasi tersebut, guru dapat
menyusun kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas
maupun individu.
Penelitian ini mengharapkan hasil belajar berupa terjadinya perubahan
pengetahuan siswa terhadap pembelajaran matematika tentang sifat bangun datar
melalui permainan puzzle. Perubahan tersebut dibuktikan dengan adanya
peningkatan hasil belajar siswa.
Berdasarkan kajian teori tentang proses belajar, metode pembelajaran
ceramah dan bermain, hasil belajar, pembelajaran matematika dan permainan
puzzle, dapat disimpulkan bahwa dalam mengajarkan matematika yang memiliki
sifat abstrak khususnya pada materi sifat bangun datar yakni persegi, persegi
panjang, dan segitiga, guru harus menggunakan strategi pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristik siswa kelas III melalui permainan puzzle. Penggunaan
18
permainan ini dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi ajar
sehingga hasil belajar pun meningkat.
2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini
antara lain:
1. Dwi, W. Prasetyo (2009) dalam penelitian “Peningkatan Hasil Belajar
Matematika Melalui Metode Permainan Mendidik dengan Menggunakan
Permainan Dakon pada Siswa Kelas IV SD Ngampel 2 Blora, Semester 1
Tahun 2009/2010” menyatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan (1)
pada siklus I, rata-rata siswa 70 dengan ketuntasan belajar 61%. Hasil ini
belum mencapai indikator yang ditetapkan. Pada siklus II, rata-rata siswa
80 dengan ketuntasan belajar 92%. Hasil ini sudah mencapai indikator
yang ditetapkan. Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa melalui
pelaksanaan pembelajaran dengan metode permainan mendidik
menggunakan permainan dakon hasil belajar, ketuntasan pada pokok
bahasan faktor dan kelipatan meningkat. Oleh karena itu guru disarankan
untuk dapat menerapkan metode permainan mendidik dengan
menggunakan permainan dakon sebagai salah satu alternatif metode
pembelajaran di kelas.
2. Basuki (2010) dalam penelitian “Meningkatkan Kemampuan Siswa Kelas
VI SD Negeri Soroyudan dalam Penghitungan Luas Gabungan Bangun
Datar Melalui Permainan” menyatakan beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
a. Metode permainan dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas VI
SD Negeri Soroyudan dalam penghitungan luas gabungan bangun
datar.
b. Pembahasan soal gabungan bangun datar memerlukan pengetahuan
awal tentang luas bangun datar tunggal.
19
c. Perlunya pemahaman tentang sisi-sisi sejajar yang seukuran pada diri
siswa, sehingga siswa dapat menghitungkan panjang sisi yang belum
diketahui.
d. Metode permainan membuat siswa lebih “rela” menerima pelajaran
karena pembelajaran tersaji dalam situasi yang menyenangkan.
3. Purwandari, S. (2010) dalam penelitian “Peningkatan Hasil Belajar Siswa
dalam Pembelajaran Matematika Tentang Bangun Datar Melalui
Permainan Puzzle Kelas 1 SDN 2 Genengadal Tahun Pelajaran
2009/2010” menyatakan bahwa permainan puzzle dapat meningkatkan
hasil belajar. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan pada rata-rata
kelas dan ketuntasan hasil belajar siswa. Prasiklus = 59,62. Siklus 1 =
72,96. Siklus 2 = 84,07. Ketuntasan hasil belajar juga meningkat: 27
siswa. Prasiklus = 15 (56%) tuntas. Siklus 1 = 22 (81%) tuntas. Siklus 2 =
100% tuntas.
2.3. Kerangka Pikir
Proses belajar mengajar merupakan peran penting dalam pencapaian hasil
belajar. Guru mempunyai tugas utama dalam penyelenggara pembelajaran.
Dengan pemilihan dan penggunaan metode yang tepat diharapkan siswa dapat
menguasai materi yang telah disampaikan dengan tercapainya KKM yang telah
ditetapkan. Sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Salah satu metode
belajar yang dapat digunakan pada proses belajar mengajar adalah metode
bermain. Dalam penelitian ini peneliti memilih permainan puzzle untuk
dieksperimenkan.
Langkah yang dilakukan peneliti adalah membentuk dua kelas yaitu kelas
eksperimen yang diajar dengan menggunakan metode bermain dengan puzzle dan
kelas kontrol yang diajar dengan metode konvensional (metode ceramah).
Adapun kerangka pikir dari penelitian ini dijelaskan pada gambar alur
berikut:
20
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian
2.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian kerangka pikir, peneliti mengemukakan hipotesis
penelitian yaitu terdapat pengaruh signifikan pada hasil belajar siswa dengan
menggunaan metode bermain dengan puzzle.
Hipotesis Statistika
H0 : X1 = X2
Yaitu “Rata-rata hasil belajar siswa kelompok eksperimen (SD Kristen Satya
Wacana Kelas III B) sama dengan rata-rata hasil belajar siswa kelompok kontrol
(SD Kristen Satya Wacana Kelas III A). Artinya tidak ada pengaruh penggunaan
metode bermain dengan puzzle terhadap hasil belajar.”
H1 : X1 > X2
Yaitu “Rata-rata hasil belajar siswa kelompok eksperimen (SD Kristen Satya
Wacana Kelas III B) lebih besar dari rata-rata hasil belajar siswa kelompok
kontrol (SD Kristen Satya Wacana Kelas III A). Artinya terdapat pengaruh
penggunaan metode bermain dengan puzzle terhadap hasil belajar.”