Upload
dinhkiet
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam
kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Belajar juga merupakan aktivitas yang
dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui
pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman. (Baharudin dan Wahyuni
2007:11)
Menurut Hilgrad dan Bower dalam Baharudin dan Wahyuni (2007:13)
menyatakan belajar adalah Belajar (to learn) memiliki arti:1) to gain knowledge,
comprehension, or mastery of trough experience or study; 2) to fix in the mind or
memory, memorize;3) to acquire trough experience;4) to become in forme of to
find out. Menurut definisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh
pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat,
menguasai pengalaman, dan mendapat informasi atau menemukan. Dengan
demikian, belajar memiliki arti dasar adanya aktivitas atau kegiatan dan
penguasaan tentang sesuatu.
Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu
untuk memperoleh suatu perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh
suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Selain itu pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik atau guru agar dapat terjadi proses
pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta
pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain,
pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar
dengan baik.
9
2.1.2 Efektifitas Pembelajaran
Untuk menciptakan efektivitas pembelajaran yang baik guru harus
memiliki kreatifitas, hal ini dapat menciptakan suasana belajar siswa yang
menyenangkan. Kreatifitas sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk
melahirkan sesuatu yang baru dan untuk mencapai tujuan yang lebih baik, baik
berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang
sudah ada sebelumnya.
Starawaji (2009) mengatakan efektivitas berasal dari bahasa Inggris yaitu
effective yang berarti berhasil, tepat atau mujur. Efektivitas menunjukkan taraf
tercapainya suatu tujuan, suatu usaha dikatakan efektif jika usaha itu mencapai
tujuannya.
Slameto (2010:92) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang efektif
adalah pembelajaran yang dapat membawa siswa belajar efektif. Pembelajaran
akan efektif jika waktu yang tersedia sedikit saja untuk guru melakukan ceramah
dan waktu yang besar adalah untuk kegiatan intelektual dan untuk pemeriksaan
pemahaman siswa. Belajar yang efektif siswa berusaha memecahkan masalah
termasuk pendapat bahwa bila seseorang mampu menciptakan masalah dan
menemukan kesimpulan lebih lanjut Slameto, mengemukakan bahwa suatu
pembelajaran dikatakan efektif jika memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat
tersebut antara lain:
(1) belajar secara aktif, baik secara mental maupun fisik. (2) adanya variasi metode dalam pembelajaran, (3) adanya motivasi, (4) kurikulum yang baik dan seimbang, (5) adanya pertimbangan perbedaan individu (6) adanya perencanaan sebelum pembelajaran (7) adanya suasana yang demoratis, (8) penyajian bahan pelajaran yang merangsang siswa untuk berfikir, (9) interaksi semua pelajaran, (10) kaitan antara kehidupan nyata kehidupan sekolah, (11) kebebasan siswa dalam interaksi pembelajaran, (12) pengajaran remedial.
Menurut Eggen dan Kauchak dalam Fauzi (2009) mengemukakan bahwa :
Pembelajaran yang efektif apabila siswa secara aktif dilibatkan dalam pengorganisasian dan penentu informasi (pengetahuan). Siswa tidak hanya pasif menerima pengetahuan yang diberikan guru. Hasil belajar ini tidak hanya meningkatkan pemahaman siswa saja, tetapi juga meningkatkan keterampilan berfikir siswa.
10
Keefektifan pembelajaran yang dimaksud di sini adalah sejauh mana
pembelajaran IPA berhasil menjadikan siswa mencapai tujuan pembelajaran yang
dapat dilihat dari ketuntasan belajar.
Menurut Suryosubroto dalam Fauzi (2009) dalam agar pelaksanaan
pengajaran IPA efektif yang perlu diperhatikan adalah :
1. Konsistensi kegiatan belajar dengan kurikulum dilihat dari aspek: tujuan
pembelajaran, bahan pengajaran, alat pengajaran yang digunakan , dan
strategi evaluasi.
2. Keterlaksanaan kegiatan belajar mengajar meliputi :
a) Menyajikan alat, sumber dan perlengkapan belajar
b) Mengkondisikan kegitan belajar mengajar
c) Menggunakan waktu yang tersedia untuk kegiatan belajar mengajar secara
efektif.
d) Motivasi belajar siswa
e) Menguasai bahan pelajaran yang akan di sampaikan
f) Mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar mengajar
g) Melaksanakan komunikasi interaktif kepada siswa
h) Melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar.
Dapat disimpulkan bahwa efektifitas guru mengajar nyata dengan
menyajikan kreatifitas guru yang sesuai materi pembelajaran dapat dilihat dari
keberhasilan siswa dalam menguasai apa yang diajarkan guru itu. Efektifitas
pembelajaran dapat dicapai apabila rancangan pada persiapan, implementasi, dan
evaluasi dapat dijalankan sesuai prosedur serta sesuai dengan fungsinya masing-
masing. Tinjauan utama efektifitas pembelajaran adalah kompetensi siswa.
Efektivitas dapat dicapai apabila semua unsur dan komponen yang terdapat pada
sistem pembelajaran berfungsi sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
11
2.1.3 Pengertian IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains dalam arti sepit sebagai disiplin
ilmu. James Conant dalam Samatowa (2010:3) mendefinisikan sains sebagai
suatu konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain dan yang
tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati
dan dieksperimenkan lebih lanjut.
IPA (sains) berupanya membangkitkan minat manusia agar mau
meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh
dengan rahasia yang tak habis-habisnya.
IPA di SD hendaknya membuka kesempatan untuk memupuk rasa ingin
tahu anak didik secara alamiah. Hal ini akan membantu siswa untuk
mengembangkan kemampuan bertanya dan mencari jawaban berdasarkan bukti
serta mengembangkan cara berfikir secara ilmiah. Fokus program pembelajaran
IPA di SD hendaknya ditujukan untuk memupuk minat dan pengembangan anak
didik terhadap dunia siswa di mana siswa berada. Untuk memenuhi pendidikan
IPA, pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar IPA antara lain:
pendekatan lingkungan, ketrampilan proses, penyelidikan, dan terpadu.
Hakikat IPA yakni :
a. Pengetahuan alam sudah jelas artinya dalah pengetahuan tentang alam
semesta dengan segala isinnya.
Adapun pengetahuan itu sendiri segala sesuatu yang diketahui oleh
manusia. Hendro Darmojo dalam Samatowa (2010:2) mengatakan secara
singkat IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam
semesta dengan segala isinya.
Selain itu, Hendro Darmojo dalam bukunya The Nature of Science
(Samatowa 2010:3), menyatakan bahwa IPA itu adalah suatu cara atau
metode untuk mengamati alam. Nash dalam Samatowa (2010:2) juga
menjelaskan bahwa cara IPA mengamati dunia ini bersifat analisis, lengkap,
cermat, serta menghubungkan antara suatu fenomena dengan fenomena lain,
sehingga keseluruhannya membentuk suatu perspektif yang baru tentang
objek yang diamatinya.
12
b. Perlunya IPA Diajarkan di Sekolah Dasar
Setiap guru harus paham akan alasan mengapa IPA diajarkan di
sekolah sekolah dasar. Ada berbagai alasan yang menyebabkan satu mata
pelajaran itu dimasukan ke dalam kurikulum suatu sekolah (Samatowa
2010:4). Alasan itu dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu:
1. IPA berfaedah bagi suatu bangsa,kiranya tidak perlu dipersoalkan panjang
lebar. Kesejahteraan materiil suatu bangsa banyak sekali tergantung pada
kemampuan bangsa dalam bidang IPA, sebab IPA merupakan dasar
teknologi, sering disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan.
Pengetahuan dasar untuk teknologi adalah IPA. Orang tidak menjadi
insinyur elektronika yang baik, atau dokter yang baik, tanpa dasar yang
cukup luas mengenai berbagai gejala alam.
2. Bila diajarkan IPA menurut cara yang tepat, maka IPA merupakan suatu
mata pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis.
3. Bila IPA diajarkan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri
oleh anak, maka IPA tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat
hafalan belaka.
4. Mata pelajaran ini mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai
potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan.
Aplikasi teori perkembangan kognitif pada pendidikan IPA adalah
sebagai berikut :
1. Konsep IPA dapat berkembang baik, bila pengalaman langsung
mendahului pengenalan generalisasi-generalisaisi abstrak. Metode ini
berlawanan dengan metode tradisional, dimana konsep IPA
diperkenalkan secara verbal saja.
2. Daur belajar yang mendorong perkembangan IPA sebagai berikut:
a. Eksplorasi, yaitu dimana anak mengalami atau mengindera objek
secara langsung. Pada langkah ini anak memperoleh informasi
baru yang adakalanya bertentangan dengan konsep yang telah
dimilikinya.
b. Generalisasi, yaitu menarik kesimpulan dari berbagai informasi
13
(pengalaman) yang tampaknya bertentangan dengan yang dimiliki
oleh anak.
c. Deduksi, yaitu mengaplikasikan konsep baru (generalisasi) itu
pada situasi dan kondisi yang baru.
Proses berpikir perkembangan melalui tahap daur belajar ini mendorong
perkembangan anak dapat menganalisis objek IPA dari pemahaman umum hingga
pemahaman khusus.
2.1.4 Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Menurut Nurhadi (2004) mengungkapkan sistem kontekstual adalah suatu
proses pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik melihat makna dalam
bahan yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks
kehidupannya sehari-hari.
Sementara The Washington State Consortium for Contextual Teaching and
Learning (Nurhadi, 2004:12), merumuskan pengajaran kontekstual adalah
pengajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas, dan
menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar di
sekolah dan diluar sekolah untuk memecahkan persoalan yang ada dalam dunia
nyata. Nurhadi (2004: 13) menyebutkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah
konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan
mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual
adalah suatu pembelajaran yang selalu berupaya untuk mengaitkan materi
pelajaran dengan dunia nyata siswa sehingga nantinya diharapkan siswa akan
dapat lebih mudah memahami materi pelajaran tersebut dan dapat memahami
masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan sekaligus mampu
memecahkan masalah tersebut dengan menerapkan materi yang telah
diperolehnya di sekolah.
2.1.4.1 Pengertian CTL
Menurut KUBI dalam Kesuma dkk (2010:57) kata kontekstual
14
(contextual) berasal dari kata context yang berati “hubungan, konteks, suasana
dan keadaan (konteks)”. Sehingga Contextual Teaching and Learning (CTL)
dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana
tertentu. Secara umum contextual mengandung arti: yang berkenan, relevan, ada
hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks; yang membawa maksud,
makna, dan kepentingan.
Menurut Depdiknas dalam Kesuma (2010:58) mengemukakan bahwa
Contextual Teaching and Learning adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
perencanaan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Howey R, Keneth dalam bukunya Rusman (2010:190) mengatakan bahwa
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran
yang memungkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa menggunakan
pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan
luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif atau nyata, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Belajar melalui apa yang dialami dan apa yang dipelajari akan lebih
bermakna jika dibanding dengan pembelajaran yang berorientasi penguasaan
materi. Pembelajaran yang berorientasi dengan penguasaan materi telah terbukti
berhasil dalam evaluasi dalam jangka pendek tetapi gagal dalam membekali
peserta didik memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang.
Dari devinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan Contextual
Teaching and Learning disingkat menjadi CTL adalah suatu pendekatan yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Landasan filosofis CTL adalah kontruktivisme yang menekankan bahwa
belajar tidak hanya sekedar menghafal,tetapi mengkontruksiksan atau membangun
15
pengetahuan dan ketrampilan baru lewat fakta-fakta yang dialami (Muslich
2004:41). Konteks yang bermakna lebih dari sekedar kejadian-kejadian yang
terjadi disuatu tempat dan waktu. Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan
yang bertujuan menolong siswa melihat makna dalam materi akademik yang
mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan
konteks kehidupan keseharian mereka yaitu dengan konteks keadaan pribadi,
sosial, dan budaya mereka.
Sistem CTL menurut Johnson dalam Syaiful Sagala (2010:67) merupakan
proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam
materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-
subjek akademik dalam konteks kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan
konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini,
sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: membuat keterkaitan-
keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan
pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama, berpikir kritis dan
kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar
yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik.
Tujuan pembelajaran kontekstual menurut Khilmiyah dalam Tukiran,Mifta
(2011:50) adalah untuk membekali peserta didik berupa pengetahuan dan
kemampuan (skiil) yang lebih realitis karena inti pembelajaran ini adalah untuk
mendekatkan hal-hal yang teoritis ke praktis. Sehingga dalam pelaksanaan metode
ini diusahakan teori yang dipelajari teraplikasi dalam situasi yang riil. Bagi guru
metode ini membantu untuk mengaitkan materi yang diajarkan dengan dengan
dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
sebelumnya (pior knowledge) dengan aplikasinya dalam kehidupan mereka di
masyarakat.
2.1.4.2 Konsep Dasar Setrategi Pembelajaran CTL
CTL adalah suatu pendekatan yang menekankan pada proses keterlibatan
siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa
16
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Menurut Joko dalam
(www.wordpress.com) Dari konsep diatas terdapat tiga hal yang harus kita
pahami :
1. CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi,
artinya proses belajar dioryentasikan pada proses pengalaman secara langsung.
2. CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang
dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat
menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang
ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan
berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan
tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
3. CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya
CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang
dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari – hari.
4. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. CTL dapat merangsang
siswa belajar aktif, dapat menimbulkan motivasi pada siswa untuk belajar,
belajar berpikir kritis, melatih siswa untuk berkomunikasi, membantu siswa
dalam mempertajam pelajarannya, melatih siswa percaya diri, dan lain
sebagainya. Pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna
bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan
siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke
17
siswa.
2.1.4.3 Komponen pembelajaran kontekstual
Untuk mewujudkan pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) yang ideal menurut Rusman (2010:193), terdapat tujuh prinsip
kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu :
1. Kontruktivisme (Contructivision)
Kontruktivisme (Construktivisme) merupakan landasan berpikir filosofi model pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Berdaarkan hal ini, maka pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkontruksi bukan menerima pengetahuan.
2. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang, selalu bermula dari bertanya, karena bertanya merupakan setrategi utama pembelajaran yang berbasis kontekstual. Dalam usaha pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk (1) menggali informasi, balk administrasi maupun akademis, (2) mengecek pemahaman siswa, (3) membangkitkan respon kepada siswa, (4) mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa, (5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, (6) menfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, (7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa, (8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
3. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru
harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan,
apapun materi yang diajarkannya. Sinklus inquiry adalah Observasi
18
(Observation), Bertanya (Questioning), Mengajukan dugaan (Hiphotesis),
Pengumpulan data (Data gathering), Penyimpulan (Conclussion).
4. Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh melalui sharing antar teman, antar kelompok,dan antar yana tahu kepada yang belum tahu. Diruang ini di kelas ini, di sekitar ini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semuanya adalah anggota masyarakat belajar.
5. Pemodelan (Modeling)
Komponen model pembelajaran selanjutnya adalah pemodelan. Dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu,ada model yang di tiru. Model itu member peluang besar bagi guru untuk memberi contoh cara mengerjakan sesuatu, dengan begitu guru member model tentang bagaimana cara belajar. Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakn tugas, misalnya cara menemukan kata kunci bacaan. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemontrasikan cara menemukan kata kunsi dalam bacaan dengan cara menelusuri bacaan secara cepat, dengan memanfaatkan gerak mata. Secara sederhan kegiatan ini disebut pemodelan. Guru berperan sebagai model yang bias ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.Pada akhir pelajaran, refleksi dapat dilakukan melalui pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh hari itu, catatan atau jurnal di buku siswa, diskusi, kesan, dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu. Melalui refleksi siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya serta berfungsi sebagai umpan balik.
7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa menberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar.
Program pembelajaran yang dirancang oleh guru dalam bentuk tahap demi
tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya
proses pembelajaran siswa harus tercermin penerapannya dari ketujuh komponen
19
CTL dengan jelas. Adanya ketujuh komponen tersebut maka setiap guru memiliki
persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam
membimbing kegiatan belajar-mengajar di kelas.
2.1.4.4 Desain Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Desain atau skenario merupakan pedoman atau alat kontrol dalam
pelaksanaan pembelajaran. Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan CTL
guru harus manyusun desain terlebih dahulu. Intinya pengembangan setiap
komponen CTL tersebut menurut Rusman (2010:199), dalam pembelajarannya
dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih
bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus
dimilikinya.
2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang
diajarkan.
3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-
pertanyaan.
4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok
berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya.
5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, melalui ilustrasi, model,
bahkan yang sebenarnya.
6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan.
7. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang
sebenarnya pada setiap siswa.
2.1.4.5 Keunggulan dan kelemahan Pembelajaran Kontekstual
a. Keunggulan pembelajaran kontekstual
Model pembelajaran kontekstual di sekolah dasar pada hakikatnya
merupakan konsep belajar yang membantu guru dengan cara mengaitkan materi
yang diajarkan dengan dunia nyata siswa, dan mendorong siswa untuk membuat
20
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dengan
kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajran
efektif, yakni kontruksional, bertanya, menemukan, masyarakat
belajar,pemodelan,penalaran yang sebenarnya, dan refleksi. Depdiknas( 2002:5)
Hal-hal yang pokok yang harus diidentifikasi berdasarkan pembelajaran tersebut
yaitu :
1. Materi yang diharapkan,
2. Situasi dunia nyata siswa,
3. Pengetahuan yang dimiliki,
4. Penerapan dalam kehidupan sehari-hari,
5. Tujuh komponen pembelajaran efektif.
Berdasarkan hal-hal diatas, keunggulan model pembelajaran kontekstual adalah
real world learning, mengutamakan pengalaman nyata, berpikir tinggkat tinggi,
berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis, dan kreatif, pengetahuan bermakna dalam
kehidupan,dekat dengan kehidupan nyata, adanya perubahan perilaku,
pengetahuan diberi makna, dan kegiatannya bukan mengajar tetapi belajar. Selain
itu keunggulan lainya yaitu:
1. Kegiatanya lebih kepada kependidikan bukan pengajaran,
2. Sebagai pembentukan “manusia”
3. Memecahkan masalah,
4. Siswa aktif guru mengarahkan,
5. Hasil belajar diukur dengan dengan berbagai alat ukur tidak hanya tes saja.
b. Kelemahan pembelajaran kontekstual
Beberapa kelemahan model pembelajaran kontekstual antara lain :
1. Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran kontekstual
berlangsung,
2. Jika guru tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat menciptakan situasi
kelas yang kurang kondusif.
Solusi dari kelemahan tersebut adalah Guru harus bisa menyesuaikan
antara materi dengan pedekatan CTL dengan baik dan guru lebih intensif dalam
membimbing dan menegur siswa yang ramai. Karena dalam pendekatan CTL,
21
guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Dengan demikian, peran guru
bukanlah sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan
guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap
perkembangannya.
2.1.5 Pembelajaran Kooperatif
Isjoni dalam Tukiran Taniredja dkk (2011:55) mengemukakan
“cooperative learning methods, students work together in four member teams to
master material initially presented by the teacher”. Dari uraian tersebut dapat
dikemukakan bahwa cooperatif learning adalah suatu metode dimana dalam
pembelajaran bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-5 orang
secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam
belajar.
Riyadi Purworedjo dalam Tukiran Taniredja dkk (2011:56)
mengemukakan pembelajaran kooperatif merupakan sistem pengajaran yang
memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa
dalam tugas-tugas yang terstruktur.
Menurut pendapat Lie (2008:29) bahwa model pembelajaran kooperatif
tidak sama sekedar dengan belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar
pembelajaran cooperative learning yang membedakanya dengan pembagian
kelompok yang dilakukan asal-asalan.
Pada dasarnya cooperative learning dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang
mengutamakan adanya kelompok-kelompok serta di dalamnya menekankan
kerjasama. Tujuan metode pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik
siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya
serta mengembangkan keterampilan sosial.
Menurut Muslimin dkk (2000:14) mengemukakan bahwa prinsip dasar dalam
pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
22
1. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
dikerjakan dalam kelompoknya.
2. Setiap anggota kelompok harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok
mempunyai tujuan yang sama.
3. Setiap anggota kelompok harus membagi tugas dan tanggung jawab yang
sama di antara anggota kelompoknya.
4. Setiap anggota kelompok akan dievaluasi.
5. Setiap anggota kelompok berbagi kepemimpinan dan membutuhkan
keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
6. Setiap anggota kelompok akan diminta untuk mempertanggungjawabkan
secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Ciri-ciri pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
1. Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai
kompetensi dasar yang akan dicapai.
2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda,
baik tingkat kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Jika mungkin, anggota
kelompok berasal dari suku atau agama yang berbeda serta memperhatikan
kesetaraan jender.
3. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok daripada masing-masing
individu.
2.1.5.1 Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikembangkan oleh Slavin
merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan
interaksi di antara siswa yang saling memotivasi dan saling membantu dalam
menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang dimaksimalkan. Isjoni
dalam Tukiran Taniredja (2011:64)
Menurut Slavin (2010:143), tipe STAD merupakan salah satu metode
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang
paling baik untuk pemulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan
kooperatif.
23
Menurut Sharan dalam Tukiran Taniredja (2011:64) strategi pendekatan model
STAD adalah sebagai berikut:
a. Siswa dibagi menjadi kelompok beranggotakan empat orang yang beragam
kemampuan jenis kelamin dan sukunya.
b. Guru memberikan penjelasan
c. Siswa-siswa di dalam kelompok itu memastikan bahwa semua anggota
kelompok itu bisa mengguasai pelajaran tersebut.
d. Semua siswa menjalani kuis perseorangan tentang materi tersebut. Mereka
tidak dapat membantu satu sama lain.
e. Nilai-nilai hasil kuis siswa diperbandingkan dengan nilai rata-rata mereka
sendiri yang sebelumnya.
f. Nilai-nilai itu diberi hadiah berdasarkan pada seberapa tinggi peningkatan
yang bisa merekai capai atau seberapa tinggi peningkatan yang mereka capai
atau seberapa tinggi nilai itu melampaui nilai mereka yang sebelumnya.
g. Nilai-nilai dijumlahkan untuk mendapatkan nilai kelompok.
h. Kelompok yang bisa mencapai krieria tertentu bisa mendapatkan sertifikat
atau hadiah-hadiah lainya.
Menurut Slavin dalam Tukiran Taniredja (2011:66) STAD terdiri atas lima
komponen utama, yaitu
a. Presentasi kelas, guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus
dicapai dan memotivasi rasa ingin tahu tahu siswa tentang materi yang akan
dipelajari. Dilanjutkan dengan memberikan persepsi dengan tujuan
mengingatkan siswa terhadap materi prasyarat yang telah dipelajari, agar
siswa dapat menghubungkan materi yang akan di sajikan dengan pengetahuan
yang telah dimiliki.
Pada tahap ini perlu ditekankan: (1) mengembangkan tahap pembelajaran
sesuai dengan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok;(2)
menekankan bahwa belajar adalah memahami makna;(3) memberikan upan
24
balik sesering mungkin untuk mengontrol pemahaman siswa;(4) memberikan
penjelasan mengapa jawaban pertanyaan itu benar atau salah;(5) beralih
kepada materi selanjutnya apabila siswa telah memahami permasalahan yang
ada.
b. Tim/Tahap Kerja Kelompok. Tim yang terdiri dari empat atau lima siswa
mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin,
ras dan etnistas. Pada tahap ini setiap siswa diberi lembar tugas yang akan
dipelajari. Dalam kerja kelompok siswa saling berbagi tugas. Guru sebagai
fasilitator dan motivator. Hasil kerja kelompok ini dikumpulkan.
c. Kuis/Tahap Tes Individu, diadakan pada akhir pertemuan kedua atau ketiga,
kira-kira 15 menit, untuk mengetahui yang telah dipelajari secara individu,
selama mereka bekerja dalam kelompok. Siswa tidak boleh saling membantu
dalam mengerjakan kuis.
d. Tahap perhitungan skor kemajuan individu, yang dihitung berdasarkan
skor awal. Tahap ini dilakukan agar siswa terpacu untuk memperoleh prestasi
terbaik.
Slavin (Tukiran Taniredja 2011:66) memberikan pedomaan pemberian skor
perkembangan individu sebagai berikut:
Tabel 2.1Tahap perhitungan skor kemajuan individu
NO SKOR KUIS POIN KEMAJUAN1 Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 52 10-1 poin di bawah skor awal 103 Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal 204 Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30
5Kertas jawaban sempurna (terlepas dari skor awal)
40
e. Tahap pemberian penghargaan. Tim akan mendapatkan penghargaan setifikat
atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mencapai criteria
tertentu.
25
2. Kelemahan dan Kelebihan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Menurut Soewarso dalam Ricky Krisdianto (2010:34) kelemahan-
kelemahan yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:
a. Adanya ketergantungan sehingga siswa yang lambat berfikir tidak dapat
berlatih belajar mandiri.
b. Pembelajaran kooperatif memerlukan waktu yang lama sehingga target
pencapaian kurikulum tidak dapat dipenuhi.
c. Penilaian terhadap individu, kelompok dan pemberian hadiah menyulitkan
bagi guru untuk melaksanakan.
Solusi dari kelemahan tersebut adalah Guru harus bisa
menyesuaikan antara materi dengan metode STAD dengan baik dan guru
lebih intensif dalam membimbing dan menegur siswa yang ramai. Di
dalam kelompok diberi tugas masing-masing secara merata dengan cara
tersebut siswa akan bekerja dan saling bertukar pikiran dan anak yang
kurang pandai tidak akan menggantungkan anak yang pandai.
Meskipun banyaknya kelemahan yang timbul, menurut Soewarso dalam
Ricky Krisdianto (2010:35) pembelajaran kooperatif juga memiliki
keuntungan,
yaitu :
a. Pelajaran kooperatif mempermudah siswa untuk mempelajari isi materi
pelajaran yang sedang dibahas.
b. Adanya anggota kelompok lain yang menghindari kemungkinan siswa
mendapatkan nilai rendah, karena dalam pengetesan lisan siswa dibantu
oleh anggota kelompoknya.
c. Pembelajaran kooperatif menjadikan siswa mampu belajar berdebat,
belajar mendengarkan pendapat orang lain, dan mencatat hal-hal yang
bermanfaat untuk kepentingan bersama-sama.
d. Pembelajaran kooperatif menghasilkan pencapaian belajar siswa yang
tinggi menambah harga diri siswa dan memperbaiki hubungan dengan
teman sebaya.
26
e. Hadiah atau penghargaan yang diberikan akan akan memberikan dorongan
bagi siswa untuk mencapai hasil yang lebih tinggi.
f. Siswa yang lambat berfikir dapat dibantu untuk menambah ilmu
pengetahuannya.
g. Pembentukan kelompok-kelompok kecil memudahkan guru untuk
membibing siswa dalam belajar bekerja sama.
2.1.6 Pendekatan Contextual Teaching and Learning Melalui Pembelajaran
Kooperatif Tipe STAD
Pendekatan Contextual Teaching and Learning adalah model
pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa, membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam pendekatan Contextual Teaching and Learning peneliti
mengutamakan pembelajaran menggunakan benda nyata atau konkrit sebagai
medianya. Dengan menggunakan benda konkrit, siswa dapat lebih mudah
memahami dan meliat secara langsung suatu keadaan atau materi yang dipelajari.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD yang didasari pada kerja kelompok/
diskusi yang dipilih secara hetorogen, metode ini dapat menumbuhkan
kemampuan siswa dalam kerja sama hal ini merupakan salah satu dari komponen
pendekatan CTL yaitu Masyarakat belajar (Learning Community). Tetapi
pembelajaran dengan metode STAD membuat siswa canggung dalam menjalani
pembelajaran ini. Hal ini terjadi pembelajaran yang masih bersifat biasa. Sehingga
metode ini dapat dikolaborasi agar pembelajaran menjadi lebih optimal dan
menyenangkan bagi siswa yaitu pendekatan Contextual Teaching and Learning
melalui metode STAD yaitu pembelajaran yang mengutamakan benda nyata atau
konkrit sebagai medianya yang dilakukan secara kelompok. Dengan
menggunakan benda konkrit, siswa dapat lebih mudah memahami dan meliat
secara langsung suatu keadaan atau materi yang dipelajari. Maka tepat bila
pendekatan Contextual Teaching and Learning dikolaborasikan melalui
pembelajaran kooperatif tipe STAD agar siswa dapat bertukar pendapat yang baik
dan dilakukan lebih optimal dan menyenangkan bagi siswa.
27
Pendekatan Contextual Teaching and Learning yang dilakukan melalui
proses pembelajaran STAD itu sendiri. Terutama pada tahapan materi dan diskusi.
Pada tahap materi, guru dapat menjelaskan materi pembelajaran dengan
menggunakan benda konkrit sebagai media pembelajarannya. Sehingga sebelum
melakukan suatu diskusi mandiri siswa sudah memahami dan mempunyai bekal
yang cukup untuk menjalankan tugas nantinya.
Selain pada tahap materi, pengembangan dengan pendekatan Contextual
Teaching and Learning juga dapat dilakukan pada tahap diskusi. Pada tahap ini
dapat dilakukan dengan mendesain diskusi menggunakan media yang menarik dan
nyata. Tentu dengan menggunakan media yang membatasi agar siswa tetap pada
lingkup STAD yang mengutamakan kerjasama kelompok secara hetorogen.
Dengan penggunaan media nyata dalam diskusi diharapkan dapat meningkatkan
minat siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Pembelajaran yang
dilakukan dengan benda kongkrit dan desain yang menimbulkan minat dan
keinginan siswa untuk mengikuti dan memahami materi pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif pertama kali dilaksanakan di dalam kelas,
sebaiknya guru terlebih dahulu memperkenalkannya kepada siswa. Salah satu
model pembelajaran kooperatif yang relatif sederhana pelaksanaannya adalah
model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams-Achievement
Divisions) yang telah dikembangkan oleh Slavin (2010:143). Langkah-langkah
yang dapat dilakukan guru untuk memperkenalkan model pembelajaran kooperatif
kepada siswa adalah sebagai berikut:
1. Bagi siswa ke dalam kelompok yang terdiri dari 4 - 5 orang. Sebagai
catatan: 4 anggota lebih baik. Anggota kelompok dapat ditempatkan 5
orang jika kelas tersebut tidak dapat dibagi 4 secara merata. Sebelum
membagi mereka, peringkatkan siswa anda berdasarkan kinerja akademik
yang telah guru rekam melalui catatan nilai mereka. Kemudian bagi daftar
tersebut menjadi 4 bagian. Keempat bagian menunjukkan kelompok siswa
dengan kinerja akademik: Tinggi - Sedang - Sedang - Kurang.
Selanjutnya, ambil dari setiap bagian itu 1 siswa, sehingga setiap
28
kelompok terdiri dari 4 anggota dengan kinerja akademik tinggi, sedang,
sedang, dan kurang. Perhatikan pula keseimbangan jenis kelamin,
kesukuan, agama, sosial, dan ekonomi setiap kelompok yang dibentuk
sehingga benar-benar heterogen. Bila siswa berlebih (dari komposisi 4
orang per kelompok, maka beberapa kelompok dapat diisi dengan 5 orang,
dengan catatan, sebaiknya siswa lebih itu harus berasal dari siswa dengan
kinerja akademik sedang.
2. Siapkan lembar kerja atau beberapa tugas yang akan diberikan pada
pembelajaran, di mana selama pembelajaran setiap kelompok bertugas
menguasai atau menyelesaikan lembar kerja/tugas dan saling membantu
untuk menguasai tugas/lembar kerja tersebut.
3. Saat guru mulai memperkenalkan pembelajaran kooperatif tipe STAD,
dalam kegiatan pembelajarannya guru dapat mulai dengan membacakan
tugas-tugas tim. Selanjutnya mintalah setiap tim untuk menyatukan meja,
dan beri bantuan untuk proses transisi ini agar kelas tidak menjadi ribut.
Berilah waktu beberapa menit (misal 10 menit) untuk memberi
kesempatan kepada setiap kelompok memberi nama tim mereka. Beri
inspirasi bila dibutuhkan.
4. Berikutnya, bagilah lembar kerja atau tugas yang telah anda siapkan
sebagaimana tersebut di atas (cukup 2 eksemplar untuk setiap tim).
5. Sarankan setiap tim untuk bekerja di kelompoknya secara berpasangan
(berdua-berdua atau berdua-bertiga bagi kelompok yang beranggotakan 5
orang). Mereka dapat diajarkan berbagi tugas, atau saling mengoreksi,
menjelaskan, dan mengkritisi pekerjaan pasangan lain di dalam
kelompoknya.
6. Selalu memberi penekanan kepada seluruh kelompok agar jangan berhenti
mempelajari lembar kerja/tugas sebelum semua anggota kelompok
memiliki pemahaman yang sama terhadap tugas yang telah diberikan itu.
Apabila siswa mempunyai pertanyaan, upayakan agar mereka terlebih
29
dahulu menanyakan pertanyaan itu kepada anggota lain di dalam
kelompoknya.
7. Berkelilinglah di dalam kelas dan pujilah kinerja-kinerja yang baik yang
ditampilkan siswa. Beri umpan balik bagaimana cara mereka bekerja sama
di dalam kelompok.
8. Berikanlah tugas/lembar kerja lainnya. Kali ini mereka tidak boleh bekerja
sama. Berikan waktu yang cukup untuk mengerjakannya secara individual.
Ini adalah saat setiap anggota kelompok bahwa mereka telah berusaha
belajar dengan baik pada saat tugas/lembar kerja pertama (yang
sebelumnya) diberikan. Saat menyelesaikan tugas individual ini,
pisahkanlah meja mereka.
9. Kumpulkan lembar kerja/tugas. Hitung nilai setiap individu anggota
kelompok untuk pengerjaan tugas tersebut. Nilai didasarkan pada skor
peningkatan terhadap skor dasar (nilai ulangan atau tugas mereka
sebelumnya).
10. Kumpulkan nilai-nilai anggota kelompok sebagai nilai tim mereka. Beri
penghargaan kepada kelompok-kelompok yang memiliki nilai bagus, juga
individu yang memberikan sumbangan bagus kepada kelompoknya.
Semua ini dimaksudkan sebagai bentuk akuntabilitas setiap individu
anggota tim terhadap kelompoknya masing-masing.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan/implementasi pendekatan
pembelajaran Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran IPA kelas IV semester II sebagai
berikut:
30
Tabel 2.2Langkah-Langkah Pembelajaran
No Tahap Tingkah Laku Guru
1 Tahap pendahuluan
( persiapan )
o Guru memberikan informasi kepada siswa tentang materi yang akan mereka pelajari, yaitu tujuan pembelajaran dan pemberian motivasi agar siswa tertarik pada materi.
o Guru membentuk siswa kedalam kelompok dengan jumlah maksimal 4 – 5 orang, aturan heterogenitas.
o Mensosialiasakan kepada siswa tentang model pembelajaran yang digunakan dengan tujuan agar siswa mengenal dan memahamimya.
o Guru memberikan apersepsi yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari
2. Tahap Pengembangan o Guru mendemonstrasikan konsep atau keterampilan secara aktif dengan menggunakan alat bantu atau media yang nyata supanya mudah dipahami
o Guru membagikan lembar kerja siswa sebagai bahan diskusi kepada masing-masing kelompok.
o Siswa diberikan kesempatan untuk mendiskusikan tugasnya bersama kelompoknya.
o Guru memantau kerja dari tiap kelompok dan membimbing siswa yang mengalami kesulitan.
3. Tahap Penerapan o Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal yang ada dalam lembar kerja siswa dengan waktu yang ditentukan,
o siswa diharapkan bekerja secara individu tetapi tidak menutup kemungkinan mereka saling bertukar pikiran dengan anggota yang lainnya.
o Setelah siswa selesai mengerjakan soal lembar jawaban, kemudian dikumpulkan untuk dinilai.
4. Tahap Penghitungan
Skor
o Tahap perhitungan skor kemajuan individu, yang dihitung berdasarkan skor dari kuis I dan kuis II
31
5.. Tahap Penghargaan o Guru memberi penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari nilai awal ke nilai kuis berikutnya.
2.1.7 Pembelajaran Konvensional
2.1.7.1 Pengertian Pembelajaran Konvensional
Menurut Ujang Sukandi dalam Scholaria jurnal pendidikan ke-SD-an
(2011: 215) mendeskripsikan bahwa pendekatan konvensional ditandai dengan
guru lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi,
tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan
sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan.
Syaiful Sagala dalam Scholaria (2011:216) mengatakan bahwa dalam
pembelajaran konvensional, perbedaan individu yang kurang diperhatikan karena
seorang guru hanya mengelola kelas dan mengelola pembelajaran dari depan
kelas. Pembelajaran konvensional cenderung menempatkan siswa dalam posisi
pasif. Kegiatan yang pembelajaran satu arah yang bersifat menerima dan
menghafal dan pada umumnya diberikan secara klasikal dengan ceramah.
Slameto dalam Scholaria (2003:65) mengemukakan bahwa pembelajaran
klasikal memandang siswa sebagai objek belajar yang hanya duduk dan pasif
mendengarkan penjelasan guru. Guru yang mengajar dengan metode ceramah saja
menyebabkan siswa menjadi bosan dan pasif.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran yang berpusat kepada guru dimana guru
menjadi sumber utama dalam pembelajaran. Pembelajaran konvensional ditandai
dengan kegiatan ceramah di depan kelas, berpusat pa dan cenderung
menempatkan siswa dalam posisi pasif tanpa memperhatikan kebutuhan belajar
siswa secara individu.
32
Dalam menerapkan metode ceramah Jusuf Djajadisastra dalam Dwi
Pornomo mengatakan sebagaimana yang tercantum dalam berikut ini :
Tabel 2.3
Penerapan Metode Ceramah di Kelas
GURU SISWA1. Berbicara sepanjang waktu jam
pelajaran yang tersedia.2. Aktif sendiri sepanjang waktu
pelajaran.3. Mendominasi kelas. Guru yang
menentukan semua kegiatan yang harus dilaksanakan siswa.
4. Menempati suatu tempat kedudukan yang tetap (di belakang meja guru).
5. Komunikasi searah, yaitu guru kepada siswa saja.
1. Mendengarkan atau mencatat uraian yang diberikan guru sepanjang waktu yang tersedia.
2. Pasif dalam arti tidak diberikan kesempatan untuk bertanya, mengemukakan pendapat sendiri atau bergerak keluar dari kursi atau bangkunya.
3. Mengikuti segala sesuatu yang ditetapkan guru.
4. Menempati tempat duduk yang tetap sepanjang waktu.
5. Komunikasi searah, yaitu hanya dari guru kepada siswa.
2.1.7.2 Langkah-langkah Metode Ceramah
Menurut Khilmiyah dkk dalam Tukiran Taniredja (2011:47-48)
menjelaskan bahwa meskipun metode ceramah ini ada beberapa kelemahan,
tetapi apabila dilaksanakan dengan langkah-langkah yang tepat sebagai salah satu
metode pembelajaran aktif dengan menggunakan modifikasi-modifikasi untuk
mengurangi kekurangan-kekurangannya. Langkah-langkah yang dimaksud
sebagai berikut:
1. Mengemukakan cerita atau visual gambar yang menarik: menyajiakan cerita
fiksi, kartun, gambar yang relevan yang dapat memenuhi perhatian siswa
terhadap materi yang diajarkan.
2. Mengemukakan suatu problem di sekitar ceramah yang akan dilakukan.
3. Membangkitkan perhatian dengan member pertanyaan siswa sebuah
pertanyaan. Sehingga mereka termotivasi untuk mendengarkan ceramah dan
tertarik untuk menjawabnya.
33
4. Memberi poin-poin dari ceramah pada kata-kata kunci yang berfungsi sebagai
alat bantu atau ingatan pada siswa.
5. Contoh dan analogi: mengemukakan ilustrasi kehidupan nyata mengenai
gagasan dalam ceramah, buat perbandingan antara materi yang diajarkan
dengan pengalaman yang telah siswa alami.
6. Alat bantu visual: flip chart, transparansi, hand out dan demontrasi yang
membantu siswa untuk melihat dan mendengarkan guru bicarakan.
7. Hentikan ceramah secara periodik dan mintalah siswa untuk untuk member
contoh dari konsep yang disajikan untuk menjawab pertanyaan,
8. Latihan-latihan yang memperjelas: seluruh penyajian, selingan dengan
aktivisan-aktivisan singkat yang memperjelas poin-poin yang anda buat.
9. Aplikasi problem: ajukan problem atau pertanyaan pada siswa untuk
diselesaikan dengan didasarkan pada informasi yang diberikan sewaktu
ceramah.
10. Refleksi
11. Penutup
TukiranTaniredja (2011:48) mengataka metode ceramah mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ceramah antara lain:
a. Guru dapat menguasai seluruh arah kelas, mudah mengulangnya kalau
diperlukan, sebab guru sudah menguasai apa yang telah diceramahkan
b. Murah biayanya karena media pelajaran yang digunakan disini cukup suara
guru.
c. Dengan penguasaan materi yang baik dan persiapan guru yang cermat, bahan
dapat disampaikan dengan cara yang sangat menarik, lebih mudah diterima
dan diingat oleh siswa.
d. Memberi peluang kepada siswa untuk melatih pendengaran.
e. Siswa dilatih untuk menyimpulkan pembicaraan yang panjang menjadi inti.
34
Sedangkan kekurangan dari metode ceramah antara lain:
a. Tidak semua siswa memiliki daya tangkap yang baik, sehingga akan
menimbulkan verbalisme.
b. Agak sulit bagi siswa untuk mencerna atau menganalisis materi yang
diceramahkan bersama-sama dengan kegiatan mendengarkan penjelasan atau
ceramah guru.
c. Tidak memberikan kesempatan siswa untuk apa yang disebut “belajar” dengan
“berbuat”.
d. Tidak semua guru pandai melaksanakan ceramah sehingga tujuan pelajaran
tidak dapat tercapai.
e. Menimbulkan rasa bosan, sehingga materi tidak dapat dicamkan.
f. Menjadikan siswa malas membaca isi buku, mereka mengandalkan suara guru
saja.
2.1.8 Hasil belajar
2.1.8.1 Pengertian Hasil belajar
Menurut Dimyati dan Mudjiono dalam Lina (2009: 5), hasil belajar
merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi
guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang
lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Dari sisi guru, adalah
bagaimana guru bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik dan siswa bisa
menerimanya. Menurut Winkel (dalam Lina, 2009: 5), “mengemukakan bahwa
hasil belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang.
Sedangkan menurut Arif Gunarso (dalam Lina, 2009: 5),”hasil belajar adalah
usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha
belajar”. Jadi hasil belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang dari proses
belajar yang telah dilakukannya.
Hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik
dengan melakukan usaha secara maksimal yang dilakukan oleh seseorang setelah
melakukan usaha-usaha belajar. Hasil belajar biasanya dinyatakan dalam bentuk
35
nilai. Setelah mengkaji pengertian hasil belajar dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman
belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran.
Nana Sudjana (dalam techonly13, 2009) menyatakan bahwa proses
penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang
kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan
belajar. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina
kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun
individu. Setiap keberhasilan belajar diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang
diperoleh siswa. Keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran
diwujudkan dengan nilai.
Nana Sudjana (dalam techonly13, 2009) menyatakan bahwa hasil belajar
yang diperoleh siswa adalah sebagai akibat dari proses belajar yang dilakukan
oleh siswa, harus semakin tinggi hasil belajar yang diperoleh siswa. Proses belajar
merupakan penunjang hasil belajar yang dicapai siswa.
Pemerolehan hasil belajar yang baik akan memberikan kebanggaan pada
diri sendiri, dan orang lain. Untuk itu guna memperoleh hasil belajar yang baik
siswa dihadapkan dengan beberapa faktor yang bisa membuat siswa mendapatkan
hasil belajar yang baik
2.1.8.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan
belajar yang kondusif, hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar siswa.
Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah mendapatkan pengetahuan,
penanaman konsep, keterampilan, dan pembentukan sikap. Menurut Slameto
(2010: 54-72) faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua
yaitu: faktor intern meliputi: faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan,
sedangkan faktor ekstern meliputi: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Menurut Slameto (2010: 54-72) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua. Dua faktor tersebut akan
dijelaskan dengan penjelasan sebagai berikut:
36
1. Faktor-faktor intern
Faktor intern adalah faktor yang berasal dari diri siswa. Faktor intern ini
terbagi menjadi tiga faktor yaitu : faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor
kelelahan.
a. Faktor jasmaniah
Pertama adalah faktor kesehatan. Sehat berarti dalam keadaan baik
segenap badan beseta bagian-bagiannya atau bebas dari penyakit. Kesehatan
seseorang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Proses belajar
akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu ia akan cepat
lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, mengantuk jika badannya lemah,
kurang darah ataupun ada gangguan fungsi alat indera serta tubuhnya.
Agar sesorang dapat belajar dengan baik haruslah mengusahakan
kesehatan badanya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan
ketentuan-ketentuan tentang bekerja, belajar, istirahat, tidur, makan, olahraga,
rekreasi, ibadah.
Kedua adalah cacat tubuh. Cacat tubuh adalah sesuatu yang
menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh. Cacat ini
dapat berupa : buta, tuli, patah kaki, patah tangan, lumpuh dan lain-lain. Jika
ini terjadi maka belajar akan terganggu, hendaknya apabila cacat ia
disekolahkan di sekolah khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat
mengurangi pengaruh kecatatan itu.
b. Faktor psikologis
Sekurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor
psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah: pertama
inteligensi yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam
situasi yang baru dengan cepat dan efektif, menggunakan konsep-konsep
yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan
cepat. Kedua perhatian yaitu keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun
semata-mata tertuju kepada suatu objek atau sekumpulan objek. Ketiga minat
adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang
37
beberapa kegiatan. keempat bakat yaitu kemampuan untuk belajar.
Kemampuan ini akan baru terealisasi menjadi kecakapan nyata sesudah
belajar atau berlatih. Kelima motif harus diperhatikan agar dapat belajar
dengan baik harus memiliki motif atau dorongan untuk berfikir dan
memusatkan perhatian saat belajar. Keenam kematangan adalah suatu tingkat
pertumbuhan seseorang. Ketujuh kesiapan adalah kesediaan untuk memberi
renspon atau bereaksi. Dari faktor-faktor tersebut sangat jelas mempengaruhi
belajar, dan apabila belajar terganggu maka hasil belajar tidak akan baik.
c. Faktor kelelahan
Kelelahan seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu: kelelahan jasmani dan kelelahan rohani
(bersifat praktis).
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul
untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena kekacauan
substansi sisa pembakaran di dalam tubuh. Sehingga darah tidak lancar pada
bagian-bagian tertentu.
Kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan,
sehingga minat untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat
terasa pada bagian kepala sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-olah
otak kehabisan daya untuk bekerja. Kelelahan rohani dapat terjadi terus-
menerus karena memikirkan masalah yang dianggap berat tanpa istirahat,
menghadapi suatu hal yang selalu sama atau tanpa ada variasi dalam
mengerjakan sesuatu karena terpaksa dan tidak sesuai dengan bakat, minat
dan perhatiannya.
Menurut Slameto (2010: 60) kelelahan baik jasmani maupun rohani dapat
dihilangkan dengan cara sebagai berikut: tidur, istirahat, mengusahakan
variasi dalam belajar, menggunakan obat-obat yang melancarkan peredaran
darah, rekreasi atau ibadah teratur, olah raga, makan yang memenuhi sarat
empat sehat lima sempurna, apabila kelelahan terus-menerus hubungi sorang
ahli.
38
2. Faktor-faktor ekstern
Faktor eksten adalah faktor yang berasal dari luar siswa. Faktor ini meliputi:
faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat yaitu dengan penjelasan
sebagai berikut:
a. Faktor keluarga
Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa: cara
orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan
keadaan ekonomi keluarga. Sebagian waktu seorang siswa berada di rumah.
Oleh karena itu, keluarga merupakan salah satu yang berperan pada hasil
belajar. Oleh sebab itu orang tua harus mendorong, memberi semangat,
membimbing, memberi teladan yang baik, menjalin hubungan yang baik,
memberikan suasana yang mendukung belajar, dan dukungan material yang
cukup.
b. Faktor sekolah
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode
mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa,
disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan
gedung, metode belajar, dan tugas rumah. Sekolah adalah lingkungan kedua
yang berperan besar memberi pengaruh pada hasil belajar siswa. Sekolah
harus menciptakan suasana yang kondusif bagi pembelajaran, hubungan dan
komunikasi perorang di sekolah berjalan baik, kurikulum yang sesuai,
kedisiplinan sekolah, gedung yang nyaman, metode pembelajaran aktif-
interaktif, pemberian tugas rumah, dan sarana penunjang cukup memadai
seperti perpustakaan sekolah dan sarana yang lainnya.
c. Faktor masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap
hasil belajar siswa. Pengaruh ini karena keberadaan siswa dalam masyarakat.
Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa ini meliputi: pertama kegiatan
siswa dalam mayarakat yaitu misalnya siswa ikut dalam organisasi
39
masyarakat, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajar akan
terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam mengatur waktunya. Kedua
multi media misalnya: TV, radio, bioskop, surat kabar, buku-buku, komik dan
lain-lain. Semua itu ada dan beredar di masyarakat. Ketiga teman bergaul,
teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya daripada yang kita
duga. Teman bergaul yang baik akan memberi pengaruh yang baik terhadap
diri siswa begitu sebaliknya. Contoh teman bergaul yang tidak baik misalnya
suka begadang, pecandu rokok, keluyuran minum-minum, lebih-lebih
pemabuk, penjinah, dan lain-lain. Keempat bentuk kehidupan masyarakat.
Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh pada hasil belajar
siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar,
penjudi, suka mencuri, dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik akan
berpengaruh jelek kepada siswa yang tinggal di situ.
Melalui penjelasan faktor inten dan ekstern yang mempengaruhi hasil
belajar. Faktor intern meliputi: faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan,
dan faktor ekstern meliputi: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Faktor intern dan ekstern akan sangat mempengaruhi hasil belajar, dan
untuk memperoleh hasil belajar yang baik atau memuaskan, maka siswa harus
memperhatikan faktor-faktor inten dan ekstern. Untuk meningkatkan hasil
belajar maka siswa dituntut untuk memiliki kebiasaan belajar yang baik.
2.2 Penelitihan Yang Relevan
Jemikem, 2011. “Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Indonesia dalam
Menulis Puisi melalui Pendekatan Konstuktivisme dalam CTL Siswa Kelas VI
SD Negeri Blengorkulon Kebumen Semester II Tahun Pelajaran 2010/2011”.
Jenis penelitian ini yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas Penelitian
dilaksanakan di SD Negeri Blengorkulon. Model PTK yang digunakn adalah
Kemmis dan Target dengan dua siklus dan langkah-langkah mulai dari
perencanaan,tindakan dan observasi, refleksi. Variable dalam penelitian ini ada
dua yaitu variable x(pendekatan kontruktivisme dalam CTL) dan variable y (hasil
belajar). Data yang diperoleh berupa data kuantitatif. Hasil penelitian menujukan
40
bahwa pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan pendekatan
kontruktivisme dalam CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI. Hal
itu ditunjukan adanya peningkatan jumlah siswa yang sudah tuntas setelah
pembelajaran. Nilai siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia kondisi awal
dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) 65,9 siswa. 26 terjadi karena saat
pembelajaran bahasa Indonesia dengan memanfaatkan lingkungan, siswa lebih
senang, materi mudah dipahami,siswa termotivasi sehingga siswa mudah berpikir
untuk menemukan berbagai macam tema untuk dijadikan.
Zulia Wadiningsih, Hasil penelitian menunjukkan bahwa “Penerapan
Model Pembelajaran STAD dengan Pendekatan CTL Secara Umum dapat
Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Ekonomi Siswa Kelas VIIIC SMPN 2
Malang". Dari paparan data dan temuan penelitian diketahui bahwa motivasi
belajar klasikal keseluruhan pada siklus II mengalami peningkatan sebesar 13,59
% dibandingkan dengan siklus I. Nilai motivasi dari siklus I ke siklus II dengan
perhitungan SPSS 16 for Windows maka dapat disimpulkan bahwa ratarata
motivasi dari siklus I ke siklus II berbeda secara signifikan karena ratarata
motivasi setelah siklus II lebih tinggi dari pada motivasi sebelum siklus I"Hasil
belajar siswa dapat diketahui dari tes yang diadakan setiap siklus. Ketuntasan
belajar siswa dari siklus I ke siklus II meningkat sebesar 15,79 %" hasil belajar
siklus I ke siklus II dengan menggunkan SPSS 16 for Windows, dapat
disimpulkan bahwa ratarata hasil belajar dari siklus I ke siklus II adalah berbeda
secara signifikan karena rata-rata hasil belajar pada siklus I lebih tinggi dari pada
hasil belajar siklus II. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
penerapan model STAD dengan pendekatan CTL dapat meningkatkan motivasi
dan hasil belajar siswa. Saran dari peneliti adalah Penggunaan pemicu masalah
yang lebih nyata dan inovatif bagi siswa sangat ditekankan untuk meningkatkan
motivasi dan hasil belajar siswa, Guru matapelajaran ekonomi dapat menerapkan
pembelajaran model STAD dengan pendekatan CTL yang terbukti dapat
meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa, Guru hendaknya juga mengukur
seluruh hasil belajar siswa yang meliputi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik, Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian sejenis pada
41
kompetensi dasar yang lain guna mengetahui keberhasilan metode STAD dengan
pendekatan CTL dalam meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa.
2.3 Kerangka Berfikir
Keberhasilan proses pembelajaran tentunya tidak lepas dari guru sebagai
salah satu sumber belajar. Peran guru sebagai sumber belajar sangatlah penting
dimana guru harus lebih menguasai materi pelajaran/bahan ajar. Tidak hanya itu
guru harus lebih banyak memiliki bahan referensi, hal ini untuk menjaga agar
guru memiliki pemahaman yang jauh lebih baik tentang materi yang akan
diajarkan.
Salah satu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada mata pelajaran IPA adalah melalui pendekatan Contextual Teaching
and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Semula kelas
eksperimen dan kelas kontrol berada dalam keadaan sama yaitu mempunyai
kesetaraan yang seimbang hasil belajarnya yang dapat dilihat melalui uji
homogenitas. Penulis akan membuat dua soal yang akan digunakan untuk
penelitian. Soal tes homogenitas adalah soal untuk menguji homogenitas dari
kedua kelompok sebelum kelas diberi perlakuan yaitu pembelajaran yang
menggunakan pedekataan Contextual Teaching and Learning melalui model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dan pembelajaran dengan metode
konvensional. Soal tes akhir atau post test akan diberikan setelah kelas diberi
perlakuan.
Namun, sebelum kedua soal diuji cobakan harus dilakukan pengujian
disekolah lain yaitu SDN 1 Temuireng sekolah yang bukan sekolah untuk
penelitian. nilai pengujian soal kemudian diuji validitasnya agar soal dapat
diujikan dalam penelitian.
Penelitian akan dilakukan dengan cara memberikan kelas eksperimen dan
kelas kontrol dengan soal homogenitas. Soal tes awal bertujuan untuk mengetahui
homogenitas antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Setelah mengetahui
tingkat homogenitas antara kelas IV SDN 3 Randulawang dan kelas IV SDN 2
42
Pelem diberikan pada kelas eksperimen yaitu dengan menerapkan pendekatan
Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional.
Kedua kelas diberikan soal yang sama yaitu soal tes untuk mengukur tingkat
pemahaman mereka terhadap pembelajaran.
2.4 Hipotesis Peneliti
Berdasarkan rumusan masalah maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan
yaitu diduga ada perbedaan efektivitas yang signifikan antara pendekatan
Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dan pembelajaran konvensional pada hasil belajar mata pelajaran IPA kelas
IV Semester II di SD Imbas Gugus Pangeran Diponegoro Tahun Pelajaran
2011/2012.
Berikut ini adalah rincian rumusan hipotesis dalam penelitian ini:
H0 : tidak ada perbedaan efektivitas yang signifikan pendekatan Contextual
Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD
dengan pembelajaran konvensional.
Ha : ada perbedaan efektivitas yang signifikan antara pendekatan Contextual
Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD
dengan pembelajaran konvensional.
Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
H0 = OX1 = OX2
Ha = OX1 ≠ OX2
Keterangan:
OX1 = Hasil pembelajaran pendekatan Contextual Teaching and Learning melalui
model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
OX2 = Hasil pembelajaran pembelajaran konvensional.