35
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Belajar dan Pembelajaran Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Belajar juga merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman. (Baharudin dan Wahyuni 2007:11) Menurut Hilgrad dan Bower dalam Baharudin dan Wahyuni (2007:13) menyatakan belajar adalah Belajar (to learn) memiliki arti:1) to gain knowledge, comprehension, or mastery of trough experience or study; 2) to fix in the mind or memory, memorize;3) to acquire trough experience;4) to become in forme of to find out. Menurut definisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapat informasi atau menemukan. Dengan demikian, belajar memiliki arti dasar adanya aktivitas atau kegiatan dan penguasaan tentang sesuatu. Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Selain itu pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik atau guru agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Belajar dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/810/3/T1_292008051_BAB II.pdf · 11 2.1.3 Pengertian IPA Ilmu Pengetahuan Alam

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Belajar dan Pembelajaran

Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam

kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Belajar juga merupakan aktivitas yang

dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui

pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman. (Baharudin dan Wahyuni

2007:11)

Menurut Hilgrad dan Bower dalam Baharudin dan Wahyuni (2007:13)

menyatakan belajar adalah Belajar (to learn) memiliki arti:1) to gain knowledge,

comprehension, or mastery of trough experience or study; 2) to fix in the mind or

memory, memorize;3) to acquire trough experience;4) to become in forme of to

find out. Menurut definisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh

pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat,

menguasai pengalaman, dan mendapat informasi atau menemukan. Dengan

demikian, belajar memiliki arti dasar adanya aktivitas atau kegiatan dan

penguasaan tentang sesuatu.

Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu

untuk memperoleh suatu perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh

suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan

pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Selain itu pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan

pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran

merupakan bantuan yang diberikan pendidik atau guru agar dapat terjadi proses

pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta

pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain,

pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar

dengan baik.

9

2.1.2 Efektifitas Pembelajaran

Untuk menciptakan efektivitas pembelajaran yang baik guru harus

memiliki kreatifitas, hal ini dapat menciptakan suasana belajar siswa yang

menyenangkan. Kreatifitas sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk

melahirkan sesuatu yang baru dan untuk mencapai tujuan yang lebih baik, baik

berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang

sudah ada sebelumnya.

Starawaji (2009) mengatakan efektivitas berasal dari bahasa Inggris yaitu

effective yang berarti berhasil, tepat atau mujur. Efektivitas menunjukkan taraf

tercapainya suatu tujuan, suatu usaha dikatakan efektif jika usaha itu mencapai

tujuannya.

Slameto (2010:92) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang efektif

adalah pembelajaran yang dapat membawa siswa belajar efektif. Pembelajaran

akan efektif jika waktu yang tersedia sedikit saja untuk guru melakukan ceramah

dan waktu yang besar adalah untuk kegiatan intelektual dan untuk pemeriksaan

pemahaman siswa. Belajar yang efektif siswa berusaha memecahkan masalah

termasuk pendapat bahwa bila seseorang mampu menciptakan masalah dan

menemukan kesimpulan lebih lanjut Slameto, mengemukakan bahwa suatu

pembelajaran dikatakan efektif jika memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat

tersebut antara lain:

(1) belajar secara aktif, baik secara mental maupun fisik. (2) adanya variasi metode dalam pembelajaran, (3) adanya motivasi, (4) kurikulum yang baik dan seimbang, (5) adanya pertimbangan perbedaan individu (6) adanya perencanaan sebelum pembelajaran (7) adanya suasana yang demoratis, (8) penyajian bahan pelajaran yang merangsang siswa untuk berfikir, (9) interaksi semua pelajaran, (10) kaitan antara kehidupan nyata kehidupan sekolah, (11) kebebasan siswa dalam interaksi pembelajaran, (12) pengajaran remedial.

Menurut Eggen dan Kauchak dalam Fauzi (2009) mengemukakan bahwa :

Pembelajaran yang efektif apabila siswa secara aktif dilibatkan dalam pengorganisasian dan penentu informasi (pengetahuan). Siswa tidak hanya pasif menerima pengetahuan yang diberikan guru. Hasil belajar ini tidak hanya meningkatkan pemahaman siswa saja, tetapi juga meningkatkan keterampilan berfikir siswa.

10

Keefektifan pembelajaran yang dimaksud di sini adalah sejauh mana

pembelajaran IPA berhasil menjadikan siswa mencapai tujuan pembelajaran yang

dapat dilihat dari ketuntasan belajar.

Menurut Suryosubroto dalam Fauzi (2009) dalam agar pelaksanaan

pengajaran IPA efektif yang perlu diperhatikan adalah :

1. Konsistensi kegiatan belajar dengan kurikulum dilihat dari aspek: tujuan

pembelajaran, bahan pengajaran, alat pengajaran yang digunakan , dan

strategi evaluasi.

2. Keterlaksanaan kegiatan belajar mengajar meliputi :

a) Menyajikan alat, sumber dan perlengkapan belajar

b) Mengkondisikan kegitan belajar mengajar

c) Menggunakan waktu yang tersedia untuk kegiatan belajar mengajar secara

efektif.

d) Motivasi belajar siswa

e) Menguasai bahan pelajaran yang akan di sampaikan

f) Mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar mengajar

g) Melaksanakan komunikasi interaktif kepada siswa

h) Melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar.

Dapat disimpulkan bahwa efektifitas guru mengajar nyata dengan

menyajikan kreatifitas guru yang sesuai materi pembelajaran dapat dilihat dari

keberhasilan siswa dalam menguasai apa yang diajarkan guru itu. Efektifitas

pembelajaran dapat dicapai apabila rancangan pada persiapan, implementasi, dan

evaluasi dapat dijalankan sesuai prosedur serta sesuai dengan fungsinya masing-

masing. Tinjauan utama efektifitas pembelajaran adalah kompetensi siswa.

Efektivitas dapat dicapai apabila semua unsur dan komponen yang terdapat pada

sistem pembelajaran berfungsi sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan.

11

2.1.3 Pengertian IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains dalam arti sepit sebagai disiplin

ilmu. James Conant dalam Samatowa (2010:3) mendefinisikan sains sebagai

suatu konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain dan yang

tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati

dan dieksperimenkan lebih lanjut.

IPA (sains) berupanya membangkitkan minat manusia agar mau

meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh

dengan rahasia yang tak habis-habisnya.

IPA di SD hendaknya membuka kesempatan untuk memupuk rasa ingin

tahu anak didik secara alamiah. Hal ini akan membantu siswa untuk

mengembangkan kemampuan bertanya dan mencari jawaban berdasarkan bukti

serta mengembangkan cara berfikir secara ilmiah. Fokus program pembelajaran

IPA di SD hendaknya ditujukan untuk memupuk minat dan pengembangan anak

didik terhadap dunia siswa di mana siswa berada. Untuk memenuhi pendidikan

IPA, pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar IPA antara lain:

pendekatan lingkungan, ketrampilan proses, penyelidikan, dan terpadu.

Hakikat IPA yakni :

a. Pengetahuan alam sudah jelas artinya dalah pengetahuan tentang alam

semesta dengan segala isinnya.

Adapun pengetahuan itu sendiri segala sesuatu yang diketahui oleh

manusia. Hendro Darmojo dalam Samatowa (2010:2) mengatakan secara

singkat IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam

semesta dengan segala isinya.

Selain itu, Hendro Darmojo dalam bukunya The Nature of Science

(Samatowa 2010:3), menyatakan bahwa IPA itu adalah suatu cara atau

metode untuk mengamati alam. Nash dalam Samatowa (2010:2) juga

menjelaskan bahwa cara IPA mengamati dunia ini bersifat analisis, lengkap,

cermat, serta menghubungkan antara suatu fenomena dengan fenomena lain,

sehingga keseluruhannya membentuk suatu perspektif yang baru tentang

objek yang diamatinya.

12

b. Perlunya IPA Diajarkan di Sekolah Dasar

Setiap guru harus paham akan alasan mengapa IPA diajarkan di

sekolah sekolah dasar. Ada berbagai alasan yang menyebabkan satu mata

pelajaran itu dimasukan ke dalam kurikulum suatu sekolah (Samatowa

2010:4). Alasan itu dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu:

1. IPA berfaedah bagi suatu bangsa,kiranya tidak perlu dipersoalkan panjang

lebar. Kesejahteraan materiil suatu bangsa banyak sekali tergantung pada

kemampuan bangsa dalam bidang IPA, sebab IPA merupakan dasar

teknologi, sering disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan.

Pengetahuan dasar untuk teknologi adalah IPA. Orang tidak menjadi

insinyur elektronika yang baik, atau dokter yang baik, tanpa dasar yang

cukup luas mengenai berbagai gejala alam.

2. Bila diajarkan IPA menurut cara yang tepat, maka IPA merupakan suatu

mata pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis.

3. Bila IPA diajarkan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri

oleh anak, maka IPA tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat

hafalan belaka.

4. Mata pelajaran ini mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai

potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan.

Aplikasi teori perkembangan kognitif pada pendidikan IPA adalah

sebagai berikut :

1. Konsep IPA dapat berkembang baik, bila pengalaman langsung

mendahului pengenalan generalisasi-generalisaisi abstrak. Metode ini

berlawanan dengan metode tradisional, dimana konsep IPA

diperkenalkan secara verbal saja.

2. Daur belajar yang mendorong perkembangan IPA sebagai berikut:

a. Eksplorasi, yaitu dimana anak mengalami atau mengindera objek

secara langsung. Pada langkah ini anak memperoleh informasi

baru yang adakalanya bertentangan dengan konsep yang telah

dimilikinya.

b. Generalisasi, yaitu menarik kesimpulan dari berbagai informasi

13

(pengalaman) yang tampaknya bertentangan dengan yang dimiliki

oleh anak.

c. Deduksi, yaitu mengaplikasikan konsep baru (generalisasi) itu

pada situasi dan kondisi yang baru.

Proses berpikir perkembangan melalui tahap daur belajar ini mendorong

perkembangan anak dapat menganalisis objek IPA dari pemahaman umum hingga

pemahaman khusus.

2.1.4 Pengertian Pembelajaran Kontekstual

Menurut Nurhadi (2004) mengungkapkan sistem kontekstual adalah suatu

proses pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik melihat makna dalam

bahan yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks

kehidupannya sehari-hari.

Sementara The Washington State Consortium for Contextual Teaching and

Learning (Nurhadi, 2004:12), merumuskan pengajaran kontekstual adalah

pengajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas, dan

menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar di

sekolah dan diluar sekolah untuk memecahkan persoalan yang ada dalam dunia

nyata. Nurhadi (2004: 13) menyebutkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah

konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan

mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual

adalah suatu pembelajaran yang selalu berupaya untuk mengaitkan materi

pelajaran dengan dunia nyata siswa sehingga nantinya diharapkan siswa akan

dapat lebih mudah memahami materi pelajaran tersebut dan dapat memahami

masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan sekaligus mampu

memecahkan masalah tersebut dengan menerapkan materi yang telah

diperolehnya di sekolah.

2.1.4.1 Pengertian CTL

Menurut KUBI dalam Kesuma dkk (2010:57) kata kontekstual

14

(contextual) berasal dari kata context yang berati “hubungan, konteks, suasana

dan keadaan (konteks)”. Sehingga Contextual Teaching and Learning (CTL)

dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana

tertentu. Secara umum contextual mengandung arti: yang berkenan, relevan, ada

hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks; yang membawa maksud,

makna, dan kepentingan.

Menurut Depdiknas dalam Kesuma (2010:58) mengemukakan bahwa

Contextual Teaching and Learning adalah konsep belajar yang membantu guru

mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata dan mendorong

siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan

perencanaan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Howey R, Keneth dalam bukunya Rusman (2010:190) mengatakan bahwa

pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran

yang memungkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa menggunakan

pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan

luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif atau nyata, baik

sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

Belajar melalui apa yang dialami dan apa yang dipelajari akan lebih

bermakna jika dibanding dengan pembelajaran yang berorientasi penguasaan

materi. Pembelajaran yang berorientasi dengan penguasaan materi telah terbukti

berhasil dalam evaluasi dalam jangka pendek tetapi gagal dalam membekali

peserta didik memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang.

Dari devinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan Contextual

Teaching and Learning disingkat menjadi CTL adalah suatu pendekatan yang

membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia

nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

Landasan filosofis CTL adalah kontruktivisme yang menekankan bahwa

belajar tidak hanya sekedar menghafal,tetapi mengkontruksiksan atau membangun

15

pengetahuan dan ketrampilan baru lewat fakta-fakta yang dialami (Muslich

2004:41). Konteks yang bermakna lebih dari sekedar kejadian-kejadian yang

terjadi disuatu tempat dan waktu. Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan

yang bertujuan menolong siswa melihat makna dalam materi akademik yang

mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan

konteks kehidupan keseharian mereka yaitu dengan konteks keadaan pribadi,

sosial, dan budaya mereka.

Sistem CTL menurut Johnson dalam Syaiful Sagala (2010:67) merupakan

proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam

materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-

subjek akademik dalam konteks kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan

konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini,

sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: membuat keterkaitan-

keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan

pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama, berpikir kritis dan

kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar

yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik.

Tujuan pembelajaran kontekstual menurut Khilmiyah dalam Tukiran,Mifta

(2011:50) adalah untuk membekali peserta didik berupa pengetahuan dan

kemampuan (skiil) yang lebih realitis karena inti pembelajaran ini adalah untuk

mendekatkan hal-hal yang teoritis ke praktis. Sehingga dalam pelaksanaan metode

ini diusahakan teori yang dipelajari teraplikasi dalam situasi yang riil. Bagi guru

metode ini membantu untuk mengaitkan materi yang diajarkan dengan dengan

dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan

sebelumnya (pior knowledge) dengan aplikasinya dalam kehidupan mereka di

masyarakat.

2.1.4.2 Konsep Dasar Setrategi Pembelajaran CTL

CTL adalah suatu pendekatan yang menekankan pada proses keterlibatan

siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan

menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa

16

untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Menurut Joko dalam

(www.wordpress.com) Dari konsep diatas terdapat tiga hal yang harus kita

pahami :

1. CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi,

artinya proses belajar dioryentasikan pada proses pengalaman secara langsung.

2. CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang

dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat

menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan

nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang

ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan

berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan

tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.

3. CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya

CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang

dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai

perilakunya dalam kehidupan sehari – hari.

4. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan

konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan

dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan

antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan

mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. CTL dapat merangsang

siswa belajar aktif, dapat menimbulkan motivasi pada siswa untuk belajar,

belajar berpikir kritis, melatih siswa untuk berkomunikasi, membantu siswa

dalam mempertajam pelajarannya, melatih siswa percaya diri, dan lain

sebagainya. Pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang

membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi

dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka

sehari-hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna

bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan

siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke

17

siswa.

2.1.4.3 Komponen pembelajaran kontekstual

Untuk mewujudkan pembelajaran Contextual Teaching and Learning

(CTL) yang ideal menurut Rusman (2010:193), terdapat tujuh prinsip

kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu :

1. Kontruktivisme (Contructivision)

Kontruktivisme (Construktivisme) merupakan landasan berpikir filosofi model pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Berdaarkan hal ini, maka pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkontruksi bukan menerima pengetahuan.

2. Bertanya (Questioning)

Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang, selalu bermula dari bertanya, karena bertanya merupakan setrategi utama pembelajaran yang berbasis kontekstual. Dalam usaha pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk (1) menggali informasi, balk administrasi maupun akademis, (2) mengecek pemahaman siswa, (3) membangkitkan respon kepada siswa, (4) mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa, (5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, (6) menfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, (7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa, (8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

3. Menemukan (Inquiry)

Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL.

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil

mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru

harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan,

apapun materi yang diajarkannya. Sinklus inquiry adalah Observasi

18

(Observation), Bertanya (Questioning), Mengajukan dugaan (Hiphotesis),

Pengumpulan data (Data gathering), Penyimpulan (Conclussion).

4. Masyarakat belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar menyarankan agar kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh melalui sharing antar teman, antar kelompok,dan antar yana tahu kepada yang belum tahu. Diruang ini di kelas ini, di sekitar ini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semuanya adalah anggota masyarakat belajar.

5. Pemodelan (Modeling)

Komponen model pembelajaran selanjutnya adalah pemodelan. Dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu,ada model yang di tiru. Model itu member peluang besar bagi guru untuk memberi contoh cara mengerjakan sesuatu, dengan begitu guru member model tentang bagaimana cara belajar. Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakn tugas, misalnya cara menemukan kata kunci bacaan. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemontrasikan cara menemukan kata kunsi dalam bacaan dengan cara menelusuri bacaan secara cepat, dengan memanfaatkan gerak mata. Secara sederhan kegiatan ini disebut pemodelan. Guru berperan sebagai model yang bias ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci.

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.Pada akhir pelajaran, refleksi dapat dilakukan melalui pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh hari itu, catatan atau jurnal di buku siswa, diskusi, kesan, dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu. Melalui refleksi siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya serta berfungsi sebagai umpan balik.

7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa menberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar.

Program pembelajaran yang dirancang oleh guru dalam bentuk tahap demi

tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya

proses pembelajaran siswa harus tercermin penerapannya dari ketujuh komponen

19

CTL dengan jelas. Adanya ketujuh komponen tersebut maka setiap guru memiliki

persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam

membimbing kegiatan belajar-mengajar di kelas.

2.1.4.4 Desain Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

Desain atau skenario merupakan pedoman atau alat kontrol dalam

pelaksanaan pembelajaran. Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan CTL

guru harus manyusun desain terlebih dahulu. Intinya pengembangan setiap

komponen CTL tersebut menurut Rusman (2010:199), dalam pembelajarannya

dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih

bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan

mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus

dimilikinya.

2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang

diajarkan.

3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-

pertanyaan.

4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok

berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya.

5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, melalui ilustrasi, model,

bahkan yang sebenarnya.

6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan

pembelajaran yang telah dilakukan.

7. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang

sebenarnya pada setiap siswa.

2.1.4.5 Keunggulan dan kelemahan Pembelajaran Kontekstual

a. Keunggulan pembelajaran kontekstual

Model pembelajaran kontekstual di sekolah dasar pada hakikatnya

merupakan konsep belajar yang membantu guru dengan cara mengaitkan materi

yang diajarkan dengan dunia nyata siswa, dan mendorong siswa untuk membuat

20

hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dengan

kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajran

efektif, yakni kontruksional, bertanya, menemukan, masyarakat

belajar,pemodelan,penalaran yang sebenarnya, dan refleksi. Depdiknas( 2002:5)

Hal-hal yang pokok yang harus diidentifikasi berdasarkan pembelajaran tersebut

yaitu :

1. Materi yang diharapkan,

2. Situasi dunia nyata siswa,

3. Pengetahuan yang dimiliki,

4. Penerapan dalam kehidupan sehari-hari,

5. Tujuh komponen pembelajaran efektif.

Berdasarkan hal-hal diatas, keunggulan model pembelajaran kontekstual adalah

real world learning, mengutamakan pengalaman nyata, berpikir tinggkat tinggi,

berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis, dan kreatif, pengetahuan bermakna dalam

kehidupan,dekat dengan kehidupan nyata, adanya perubahan perilaku,

pengetahuan diberi makna, dan kegiatannya bukan mengajar tetapi belajar. Selain

itu keunggulan lainya yaitu:

1. Kegiatanya lebih kepada kependidikan bukan pengajaran,

2. Sebagai pembentukan “manusia”

3. Memecahkan masalah,

4. Siswa aktif guru mengarahkan,

5. Hasil belajar diukur dengan dengan berbagai alat ukur tidak hanya tes saja.

b. Kelemahan pembelajaran kontekstual

Beberapa kelemahan model pembelajaran kontekstual antara lain :

1. Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran kontekstual

berlangsung,

2. Jika guru tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat menciptakan situasi

kelas yang kurang kondusif.

Solusi dari kelemahan tersebut adalah Guru harus bisa menyesuaikan

antara materi dengan pedekatan CTL dengan baik dan guru lebih intensif dalam

membimbing dan menegur siswa yang ramai. Karena dalam pendekatan CTL,

21

guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Dengan demikian, peran guru

bukanlah sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan

guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap

perkembangannya.

2.1.5 Pembelajaran Kooperatif

Isjoni dalam Tukiran Taniredja dkk (2011:55) mengemukakan

“cooperative learning methods, students work together in four member teams to

master material initially presented by the teacher”. Dari uraian tersebut dapat

dikemukakan bahwa cooperatif learning adalah suatu metode dimana dalam

pembelajaran bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-5 orang

secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam

belajar.

Riyadi Purworedjo dalam Tukiran Taniredja dkk (2011:56)

mengemukakan pembelajaran kooperatif merupakan sistem pengajaran yang

memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa

dalam tugas-tugas yang terstruktur.

Menurut pendapat Lie (2008:29) bahwa model pembelajaran kooperatif

tidak sama sekedar dengan belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar

pembelajaran cooperative learning yang membedakanya dengan pembagian

kelompok yang dilakukan asal-asalan.

Pada dasarnya cooperative learning dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang

mengutamakan adanya kelompok-kelompok serta di dalamnya menekankan

kerjasama. Tujuan metode pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik

siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya

serta mengembangkan keterampilan sosial.

Menurut Muslimin dkk (2000:14) mengemukakan bahwa prinsip dasar dalam

pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

22

1. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu yang

dikerjakan dalam kelompoknya.

2. Setiap anggota kelompok harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok

mempunyai tujuan yang sama.

3. Setiap anggota kelompok harus membagi tugas dan tanggung jawab yang

sama di antara anggota kelompoknya.

4. Setiap anggota kelompok akan dievaluasi.

5. Setiap anggota kelompok berbagi kepemimpinan dan membutuhkan

keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.

6. Setiap anggota kelompok akan diminta untuk mempertanggungjawabkan

secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Ciri-ciri pembelajaran kooperatif sebagai berikut.

1. Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai

kompetensi dasar yang akan dicapai.

2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda,

baik tingkat kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Jika mungkin, anggota

kelompok berasal dari suku atau agama yang berbeda serta memperhatikan

kesetaraan jender.

3. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok daripada masing-masing

individu.

2.1.5.1 Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikembangkan oleh Slavin

merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan

interaksi di antara siswa yang saling memotivasi dan saling membantu dalam

menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang dimaksimalkan. Isjoni

dalam Tukiran Taniredja (2011:64)

Menurut Slavin (2010:143), tipe STAD merupakan salah satu metode

pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang

paling baik untuk pemulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan

kooperatif.

23

Menurut Sharan dalam Tukiran Taniredja (2011:64) strategi pendekatan model

STAD adalah sebagai berikut:

a. Siswa dibagi menjadi kelompok beranggotakan empat orang yang beragam

kemampuan jenis kelamin dan sukunya.

b. Guru memberikan penjelasan

c. Siswa-siswa di dalam kelompok itu memastikan bahwa semua anggota

kelompok itu bisa mengguasai pelajaran tersebut.

d. Semua siswa menjalani kuis perseorangan tentang materi tersebut. Mereka

tidak dapat membantu satu sama lain.

e. Nilai-nilai hasil kuis siswa diperbandingkan dengan nilai rata-rata mereka

sendiri yang sebelumnya.

f. Nilai-nilai itu diberi hadiah berdasarkan pada seberapa tinggi peningkatan

yang bisa merekai capai atau seberapa tinggi peningkatan yang mereka capai

atau seberapa tinggi nilai itu melampaui nilai mereka yang sebelumnya.

g. Nilai-nilai dijumlahkan untuk mendapatkan nilai kelompok.

h. Kelompok yang bisa mencapai krieria tertentu bisa mendapatkan sertifikat

atau hadiah-hadiah lainya.

Menurut Slavin dalam Tukiran Taniredja (2011:66) STAD terdiri atas lima

komponen utama, yaitu

a. Presentasi kelas, guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus

dicapai dan memotivasi rasa ingin tahu tahu siswa tentang materi yang akan

dipelajari. Dilanjutkan dengan memberikan persepsi dengan tujuan

mengingatkan siswa terhadap materi prasyarat yang telah dipelajari, agar

siswa dapat menghubungkan materi yang akan di sajikan dengan pengetahuan

yang telah dimiliki.

Pada tahap ini perlu ditekankan: (1) mengembangkan tahap pembelajaran

sesuai dengan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok;(2)

menekankan bahwa belajar adalah memahami makna;(3) memberikan upan

24

balik sesering mungkin untuk mengontrol pemahaman siswa;(4) memberikan

penjelasan mengapa jawaban pertanyaan itu benar atau salah;(5) beralih

kepada materi selanjutnya apabila siswa telah memahami permasalahan yang

ada.

b. Tim/Tahap Kerja Kelompok. Tim yang terdiri dari empat atau lima siswa

mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin,

ras dan etnistas. Pada tahap ini setiap siswa diberi lembar tugas yang akan

dipelajari. Dalam kerja kelompok siswa saling berbagi tugas. Guru sebagai

fasilitator dan motivator. Hasil kerja kelompok ini dikumpulkan.

c. Kuis/Tahap Tes Individu, diadakan pada akhir pertemuan kedua atau ketiga,

kira-kira 15 menit, untuk mengetahui yang telah dipelajari secara individu,

selama mereka bekerja dalam kelompok. Siswa tidak boleh saling membantu

dalam mengerjakan kuis.

d. Tahap perhitungan skor kemajuan individu, yang dihitung berdasarkan

skor awal. Tahap ini dilakukan agar siswa terpacu untuk memperoleh prestasi

terbaik.

Slavin (Tukiran Taniredja 2011:66) memberikan pedomaan pemberian skor

perkembangan individu sebagai berikut:

Tabel 2.1Tahap perhitungan skor kemajuan individu

NO SKOR KUIS POIN KEMAJUAN1 Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 52 10-1 poin di bawah skor awal 103 Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal 204 Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30

5Kertas jawaban sempurna (terlepas dari skor awal)

40

e. Tahap pemberian penghargaan. Tim akan mendapatkan penghargaan setifikat

atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mencapai criteria

tertentu.

25

2. Kelemahan dan Kelebihan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Menurut Soewarso dalam Ricky Krisdianto (2010:34) kelemahan-

kelemahan yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:

a. Adanya ketergantungan sehingga siswa yang lambat berfikir tidak dapat

berlatih belajar mandiri.

b. Pembelajaran kooperatif memerlukan waktu yang lama sehingga target

pencapaian kurikulum tidak dapat dipenuhi.

c. Penilaian terhadap individu, kelompok dan pemberian hadiah menyulitkan

bagi guru untuk melaksanakan.

Solusi dari kelemahan tersebut adalah Guru harus bisa

menyesuaikan antara materi dengan metode STAD dengan baik dan guru

lebih intensif dalam membimbing dan menegur siswa yang ramai. Di

dalam kelompok diberi tugas masing-masing secara merata dengan cara

tersebut siswa akan bekerja dan saling bertukar pikiran dan anak yang

kurang pandai tidak akan menggantungkan anak yang pandai.

Meskipun banyaknya kelemahan yang timbul, menurut Soewarso dalam

Ricky Krisdianto (2010:35) pembelajaran kooperatif juga memiliki

keuntungan,

yaitu :

a. Pelajaran kooperatif mempermudah siswa untuk mempelajari isi materi

pelajaran yang sedang dibahas.

b. Adanya anggota kelompok lain yang menghindari kemungkinan siswa

mendapatkan nilai rendah, karena dalam pengetesan lisan siswa dibantu

oleh anggota kelompoknya.

c. Pembelajaran kooperatif menjadikan siswa mampu belajar berdebat,

belajar mendengarkan pendapat orang lain, dan mencatat hal-hal yang

bermanfaat untuk kepentingan bersama-sama.

d. Pembelajaran kooperatif menghasilkan pencapaian belajar siswa yang

tinggi menambah harga diri siswa dan memperbaiki hubungan dengan

teman sebaya.

26

e. Hadiah atau penghargaan yang diberikan akan akan memberikan dorongan

bagi siswa untuk mencapai hasil yang lebih tinggi.

f. Siswa yang lambat berfikir dapat dibantu untuk menambah ilmu

pengetahuannya.

g. Pembentukan kelompok-kelompok kecil memudahkan guru untuk

membibing siswa dalam belajar bekerja sama.

2.1.6 Pendekatan Contextual Teaching and Learning Melalui Pembelajaran

Kooperatif Tipe STAD

Pendekatan Contextual Teaching and Learning adalah model

pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan

dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa, membuat hubungan

antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-

hari. Dalam pendekatan Contextual Teaching and Learning peneliti

mengutamakan pembelajaran menggunakan benda nyata atau konkrit sebagai

medianya. Dengan menggunakan benda konkrit, siswa dapat lebih mudah

memahami dan meliat secara langsung suatu keadaan atau materi yang dipelajari.

Pembelajaran kooperatif tipe STAD yang didasari pada kerja kelompok/

diskusi yang dipilih secara hetorogen, metode ini dapat menumbuhkan

kemampuan siswa dalam kerja sama hal ini merupakan salah satu dari komponen

pendekatan CTL yaitu Masyarakat belajar (Learning Community). Tetapi

pembelajaran dengan metode STAD membuat siswa canggung dalam menjalani

pembelajaran ini. Hal ini terjadi pembelajaran yang masih bersifat biasa. Sehingga

metode ini dapat dikolaborasi agar pembelajaran menjadi lebih optimal dan

menyenangkan bagi siswa yaitu pendekatan Contextual Teaching and Learning

melalui metode STAD yaitu pembelajaran yang mengutamakan benda nyata atau

konkrit sebagai medianya yang dilakukan secara kelompok. Dengan

menggunakan benda konkrit, siswa dapat lebih mudah memahami dan meliat

secara langsung suatu keadaan atau materi yang dipelajari. Maka tepat bila

pendekatan Contextual Teaching and Learning dikolaborasikan melalui

pembelajaran kooperatif tipe STAD agar siswa dapat bertukar pendapat yang baik

dan dilakukan lebih optimal dan menyenangkan bagi siswa.

27

Pendekatan Contextual Teaching and Learning yang dilakukan melalui

proses pembelajaran STAD itu sendiri. Terutama pada tahapan materi dan diskusi.

Pada tahap materi, guru dapat menjelaskan materi pembelajaran dengan

menggunakan benda konkrit sebagai media pembelajarannya. Sehingga sebelum

melakukan suatu diskusi mandiri siswa sudah memahami dan mempunyai bekal

yang cukup untuk menjalankan tugas nantinya.

Selain pada tahap materi, pengembangan dengan pendekatan Contextual

Teaching and Learning juga dapat dilakukan pada tahap diskusi. Pada tahap ini

dapat dilakukan dengan mendesain diskusi menggunakan media yang menarik dan

nyata. Tentu dengan menggunakan media yang membatasi agar siswa tetap pada

lingkup STAD yang mengutamakan kerjasama kelompok secara hetorogen.

Dengan penggunaan media nyata dalam diskusi diharapkan dapat meningkatkan

minat siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Pembelajaran yang

dilakukan dengan benda kongkrit dan desain yang menimbulkan minat dan

keinginan siswa untuk mengikuti dan memahami materi pembelajaran.

Pembelajaran kooperatif pertama kali dilaksanakan di dalam kelas,

sebaiknya guru terlebih dahulu memperkenalkannya kepada siswa. Salah satu

model pembelajaran kooperatif yang relatif sederhana pelaksanaannya adalah

model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams-Achievement

Divisions) yang telah dikembangkan oleh Slavin (2010:143). Langkah-langkah

yang dapat dilakukan guru untuk memperkenalkan model pembelajaran kooperatif

kepada siswa adalah sebagai berikut:

1. Bagi siswa ke dalam kelompok yang terdiri dari 4 - 5 orang. Sebagai

catatan: 4 anggota lebih baik. Anggota kelompok dapat ditempatkan 5

orang jika kelas tersebut tidak dapat dibagi 4 secara merata. Sebelum

membagi mereka, peringkatkan siswa anda berdasarkan kinerja akademik

yang telah guru rekam melalui catatan nilai mereka. Kemudian bagi daftar

tersebut menjadi 4 bagian. Keempat bagian menunjukkan kelompok siswa

dengan kinerja akademik: Tinggi - Sedang - Sedang - Kurang.

Selanjutnya, ambil dari setiap bagian itu 1 siswa, sehingga setiap

28

kelompok terdiri dari 4 anggota dengan kinerja akademik tinggi, sedang,

sedang, dan kurang. Perhatikan pula keseimbangan jenis kelamin,

kesukuan, agama, sosial, dan ekonomi setiap kelompok yang dibentuk

sehingga benar-benar heterogen. Bila siswa berlebih (dari komposisi 4

orang per kelompok, maka beberapa kelompok dapat diisi dengan 5 orang,

dengan catatan, sebaiknya siswa lebih itu harus berasal dari siswa dengan

kinerja akademik sedang.

2. Siapkan lembar kerja atau beberapa tugas yang akan diberikan pada

pembelajaran, di mana selama pembelajaran setiap kelompok bertugas

menguasai atau menyelesaikan lembar kerja/tugas dan saling membantu

untuk menguasai tugas/lembar kerja tersebut.

3. Saat guru mulai memperkenalkan pembelajaran kooperatif tipe STAD,

dalam kegiatan pembelajarannya guru dapat mulai dengan membacakan

tugas-tugas tim. Selanjutnya mintalah setiap tim untuk menyatukan meja,

dan beri bantuan untuk proses transisi ini agar kelas tidak menjadi ribut.

Berilah waktu beberapa menit (misal 10 menit) untuk memberi

kesempatan kepada setiap kelompok memberi nama tim mereka. Beri

inspirasi bila dibutuhkan.

4. Berikutnya, bagilah lembar kerja atau tugas yang telah anda siapkan

sebagaimana tersebut di atas (cukup 2 eksemplar untuk setiap tim).

5. Sarankan setiap tim untuk bekerja di kelompoknya secara berpasangan

(berdua-berdua atau berdua-bertiga bagi kelompok yang beranggotakan 5

orang). Mereka dapat diajarkan berbagi tugas, atau saling mengoreksi,

menjelaskan, dan mengkritisi pekerjaan pasangan lain di dalam

kelompoknya.

6. Selalu memberi penekanan kepada seluruh kelompok agar jangan berhenti

mempelajari lembar kerja/tugas sebelum semua anggota kelompok

memiliki pemahaman yang sama terhadap tugas yang telah diberikan itu.

Apabila siswa mempunyai pertanyaan, upayakan agar mereka terlebih

29

dahulu menanyakan pertanyaan itu kepada anggota lain di dalam

kelompoknya.

7. Berkelilinglah di dalam kelas dan pujilah kinerja-kinerja yang baik yang

ditampilkan siswa. Beri umpan balik bagaimana cara mereka bekerja sama

di dalam kelompok.

8. Berikanlah tugas/lembar kerja lainnya. Kali ini mereka tidak boleh bekerja

sama. Berikan waktu yang cukup untuk mengerjakannya secara individual.

Ini adalah saat setiap anggota kelompok bahwa mereka telah berusaha

belajar dengan baik pada saat tugas/lembar kerja pertama (yang

sebelumnya) diberikan. Saat menyelesaikan tugas individual ini,

pisahkanlah meja mereka.

9. Kumpulkan lembar kerja/tugas. Hitung nilai setiap individu anggota

kelompok untuk pengerjaan tugas tersebut. Nilai didasarkan pada skor

peningkatan terhadap skor dasar (nilai ulangan atau tugas mereka

sebelumnya).

10. Kumpulkan nilai-nilai anggota kelompok sebagai nilai tim mereka. Beri

penghargaan kepada kelompok-kelompok yang memiliki nilai bagus, juga

individu yang memberikan sumbangan bagus kepada kelompoknya.

Semua ini dimaksudkan sebagai bentuk akuntabilitas setiap individu

anggota tim terhadap kelompoknya masing-masing.

Adapun langkah-langkah pelaksanaan/implementasi pendekatan

pembelajaran Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran

kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran IPA kelas IV semester II sebagai

berikut:

30

Tabel 2.2Langkah-Langkah Pembelajaran

No Tahap Tingkah Laku Guru

1 Tahap pendahuluan

( persiapan )

o Guru memberikan informasi kepada siswa tentang materi yang akan mereka pelajari, yaitu tujuan pembelajaran dan pemberian motivasi agar siswa tertarik pada materi.

o Guru membentuk siswa kedalam kelompok dengan jumlah maksimal 4 – 5 orang, aturan heterogenitas.

o Mensosialiasakan kepada siswa tentang model pembelajaran yang digunakan dengan tujuan agar siswa mengenal dan memahamimya.

o Guru memberikan apersepsi yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari

2. Tahap Pengembangan o Guru mendemonstrasikan konsep atau keterampilan secara aktif dengan menggunakan alat bantu atau media yang nyata supanya mudah dipahami

o Guru membagikan lembar kerja siswa sebagai bahan diskusi kepada masing-masing kelompok.

o Siswa diberikan kesempatan untuk mendiskusikan tugasnya bersama kelompoknya.

o Guru memantau kerja dari tiap kelompok dan membimbing siswa yang mengalami kesulitan.

3. Tahap Penerapan o Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal yang ada dalam lembar kerja siswa dengan waktu yang ditentukan,

o siswa diharapkan bekerja secara individu tetapi tidak menutup kemungkinan mereka saling bertukar pikiran dengan anggota yang lainnya.

o Setelah siswa selesai mengerjakan soal lembar jawaban, kemudian dikumpulkan untuk dinilai.

4. Tahap Penghitungan

Skor

o Tahap perhitungan skor kemajuan individu, yang dihitung berdasarkan skor dari kuis I dan kuis II

31

5.. Tahap Penghargaan o Guru memberi penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari nilai awal ke nilai kuis berikutnya.

2.1.7 Pembelajaran Konvensional

2.1.7.1 Pengertian Pembelajaran Konvensional

Menurut Ujang Sukandi dalam Scholaria jurnal pendidikan ke-SD-an

(2011: 215) mendeskripsikan bahwa pendekatan konvensional ditandai dengan

guru lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi,

tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan

sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan.

Syaiful Sagala dalam Scholaria (2011:216) mengatakan bahwa dalam

pembelajaran konvensional, perbedaan individu yang kurang diperhatikan karena

seorang guru hanya mengelola kelas dan mengelola pembelajaran dari depan

kelas. Pembelajaran konvensional cenderung menempatkan siswa dalam posisi

pasif. Kegiatan yang pembelajaran satu arah yang bersifat menerima dan

menghafal dan pada umumnya diberikan secara klasikal dengan ceramah.

Slameto dalam Scholaria (2003:65) mengemukakan bahwa pembelajaran

klasikal memandang siswa sebagai objek belajar yang hanya duduk dan pasif

mendengarkan penjelasan guru. Guru yang mengajar dengan metode ceramah saja

menyebabkan siswa menjadi bosan dan pasif.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

konvensional adalah pembelajaran yang berpusat kepada guru dimana guru

menjadi sumber utama dalam pembelajaran. Pembelajaran konvensional ditandai

dengan kegiatan ceramah di depan kelas, berpusat pa dan cenderung

menempatkan siswa dalam posisi pasif tanpa memperhatikan kebutuhan belajar

siswa secara individu.

32

Dalam menerapkan metode ceramah Jusuf Djajadisastra dalam Dwi

Pornomo mengatakan sebagaimana yang tercantum dalam berikut ini :

Tabel 2.3

Penerapan Metode Ceramah di Kelas

GURU SISWA1. Berbicara sepanjang waktu jam

pelajaran yang tersedia.2. Aktif sendiri sepanjang waktu

pelajaran.3. Mendominasi kelas. Guru yang

menentukan semua kegiatan yang harus dilaksanakan siswa.

4. Menempati suatu tempat kedudukan yang tetap (di belakang meja guru).

5. Komunikasi searah, yaitu guru kepada siswa saja.

1. Mendengarkan atau mencatat uraian yang diberikan guru sepanjang waktu yang tersedia.

2. Pasif dalam arti tidak diberikan kesempatan untuk bertanya, mengemukakan pendapat sendiri atau bergerak keluar dari kursi atau bangkunya.

3. Mengikuti segala sesuatu yang ditetapkan guru.

4. Menempati tempat duduk yang tetap sepanjang waktu.

5. Komunikasi searah, yaitu hanya dari guru kepada siswa.

2.1.7.2 Langkah-langkah Metode Ceramah

Menurut Khilmiyah dkk dalam Tukiran Taniredja (2011:47-48)

menjelaskan bahwa meskipun metode ceramah ini ada beberapa kelemahan,

tetapi apabila dilaksanakan dengan langkah-langkah yang tepat sebagai salah satu

metode pembelajaran aktif dengan menggunakan modifikasi-modifikasi untuk

mengurangi kekurangan-kekurangannya. Langkah-langkah yang dimaksud

sebagai berikut:

1. Mengemukakan cerita atau visual gambar yang menarik: menyajiakan cerita

fiksi, kartun, gambar yang relevan yang dapat memenuhi perhatian siswa

terhadap materi yang diajarkan.

2. Mengemukakan suatu problem di sekitar ceramah yang akan dilakukan.

3. Membangkitkan perhatian dengan member pertanyaan siswa sebuah

pertanyaan. Sehingga mereka termotivasi untuk mendengarkan ceramah dan

tertarik untuk menjawabnya.

33

4. Memberi poin-poin dari ceramah pada kata-kata kunci yang berfungsi sebagai

alat bantu atau ingatan pada siswa.

5. Contoh dan analogi: mengemukakan ilustrasi kehidupan nyata mengenai

gagasan dalam ceramah, buat perbandingan antara materi yang diajarkan

dengan pengalaman yang telah siswa alami.

6. Alat bantu visual: flip chart, transparansi, hand out dan demontrasi yang

membantu siswa untuk melihat dan mendengarkan guru bicarakan.

7. Hentikan ceramah secara periodik dan mintalah siswa untuk untuk member

contoh dari konsep yang disajikan untuk menjawab pertanyaan,

8. Latihan-latihan yang memperjelas: seluruh penyajian, selingan dengan

aktivisan-aktivisan singkat yang memperjelas poin-poin yang anda buat.

9. Aplikasi problem: ajukan problem atau pertanyaan pada siswa untuk

diselesaikan dengan didasarkan pada informasi yang diberikan sewaktu

ceramah.

10. Refleksi

11. Penutup

TukiranTaniredja (2011:48) mengataka metode ceramah mempunyai

beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ceramah antara lain:

a. Guru dapat menguasai seluruh arah kelas, mudah mengulangnya kalau

diperlukan, sebab guru sudah menguasai apa yang telah diceramahkan

b. Murah biayanya karena media pelajaran yang digunakan disini cukup suara

guru.

c. Dengan penguasaan materi yang baik dan persiapan guru yang cermat, bahan

dapat disampaikan dengan cara yang sangat menarik, lebih mudah diterima

dan diingat oleh siswa.

d. Memberi peluang kepada siswa untuk melatih pendengaran.

e. Siswa dilatih untuk menyimpulkan pembicaraan yang panjang menjadi inti.

34

Sedangkan kekurangan dari metode ceramah antara lain:

a. Tidak semua siswa memiliki daya tangkap yang baik, sehingga akan

menimbulkan verbalisme.

b. Agak sulit bagi siswa untuk mencerna atau menganalisis materi yang

diceramahkan bersama-sama dengan kegiatan mendengarkan penjelasan atau

ceramah guru.

c. Tidak memberikan kesempatan siswa untuk apa yang disebut “belajar” dengan

“berbuat”.

d. Tidak semua guru pandai melaksanakan ceramah sehingga tujuan pelajaran

tidak dapat tercapai.

e. Menimbulkan rasa bosan, sehingga materi tidak dapat dicamkan.

f. Menjadikan siswa malas membaca isi buku, mereka mengandalkan suara guru

saja.

2.1.8 Hasil belajar

2.1.8.1 Pengertian Hasil belajar

Menurut Dimyati dan Mudjiono dalam Lina (2009: 5), hasil belajar

merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi

guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang

lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Dari sisi guru, adalah

bagaimana guru bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik dan siswa bisa

menerimanya. Menurut Winkel (dalam Lina, 2009: 5), “mengemukakan bahwa

hasil belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang.

Sedangkan menurut Arif Gunarso (dalam Lina, 2009: 5),”hasil belajar adalah

usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha

belajar”. Jadi hasil belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang dari proses

belajar yang telah dilakukannya.

Hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik

dengan melakukan usaha secara maksimal yang dilakukan oleh seseorang setelah

melakukan usaha-usaha belajar. Hasil belajar biasanya dinyatakan dalam bentuk

35

nilai. Setelah mengkaji pengertian hasil belajar dapat disimpulkan bahwa hasil

belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman

belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran.

Nana Sudjana (dalam techonly13, 2009) menyatakan bahwa proses

penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang

kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan

belajar. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina

kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun

individu. Setiap keberhasilan belajar diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang

diperoleh siswa. Keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran

diwujudkan dengan nilai.

Nana Sudjana (dalam techonly13, 2009) menyatakan bahwa hasil belajar

yang diperoleh siswa adalah sebagai akibat dari proses belajar yang dilakukan

oleh siswa, harus semakin tinggi hasil belajar yang diperoleh siswa. Proses belajar

merupakan penunjang hasil belajar yang dicapai siswa.

Pemerolehan hasil belajar yang baik akan memberikan kebanggaan pada

diri sendiri, dan orang lain. Untuk itu guna memperoleh hasil belajar yang baik

siswa dihadapkan dengan beberapa faktor yang bisa membuat siswa mendapatkan

hasil belajar yang baik

2.1.8.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan

belajar yang kondusif, hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar siswa.

Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah mendapatkan pengetahuan,

penanaman konsep, keterampilan, dan pembentukan sikap. Menurut Slameto

(2010: 54-72) faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua

yaitu: faktor intern meliputi: faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan,

sedangkan faktor ekstern meliputi: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Menurut Slameto (2010: 54-72) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua. Dua faktor tersebut akan

dijelaskan dengan penjelasan sebagai berikut:

36

1. Faktor-faktor intern

Faktor intern adalah faktor yang berasal dari diri siswa. Faktor intern ini

terbagi menjadi tiga faktor yaitu : faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor

kelelahan.

a. Faktor jasmaniah

Pertama adalah faktor kesehatan. Sehat berarti dalam keadaan baik

segenap badan beseta bagian-bagiannya atau bebas dari penyakit. Kesehatan

seseorang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Proses belajar

akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu ia akan cepat

lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, mengantuk jika badannya lemah,

kurang darah ataupun ada gangguan fungsi alat indera serta tubuhnya.

Agar sesorang dapat belajar dengan baik haruslah mengusahakan

kesehatan badanya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan

ketentuan-ketentuan tentang bekerja, belajar, istirahat, tidur, makan, olahraga,

rekreasi, ibadah.

Kedua adalah cacat tubuh. Cacat tubuh adalah sesuatu yang

menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh. Cacat ini

dapat berupa : buta, tuli, patah kaki, patah tangan, lumpuh dan lain-lain. Jika

ini terjadi maka belajar akan terganggu, hendaknya apabila cacat ia

disekolahkan di sekolah khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat

mengurangi pengaruh kecatatan itu.

b. Faktor psikologis

Sekurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor

psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah: pertama

inteligensi yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam

situasi yang baru dengan cepat dan efektif, menggunakan konsep-konsep

yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan

cepat. Kedua perhatian yaitu keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun

semata-mata tertuju kepada suatu objek atau sekumpulan objek. Ketiga minat

adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang

37

beberapa kegiatan. keempat bakat yaitu kemampuan untuk belajar.

Kemampuan ini akan baru terealisasi menjadi kecakapan nyata sesudah

belajar atau berlatih. Kelima motif harus diperhatikan agar dapat belajar

dengan baik harus memiliki motif atau dorongan untuk berfikir dan

memusatkan perhatian saat belajar. Keenam kematangan adalah suatu tingkat

pertumbuhan seseorang. Ketujuh kesiapan adalah kesediaan untuk memberi

renspon atau bereaksi. Dari faktor-faktor tersebut sangat jelas mempengaruhi

belajar, dan apabila belajar terganggu maka hasil belajar tidak akan baik.

c. Faktor kelelahan

Kelelahan seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat

dibedakan menjadi dua macam yaitu: kelelahan jasmani dan kelelahan rohani

(bersifat praktis).

Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul

untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena kekacauan

substansi sisa pembakaran di dalam tubuh. Sehingga darah tidak lancar pada

bagian-bagian tertentu.

Kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan,

sehingga minat untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat

terasa pada bagian kepala sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-olah

otak kehabisan daya untuk bekerja. Kelelahan rohani dapat terjadi terus-

menerus karena memikirkan masalah yang dianggap berat tanpa istirahat,

menghadapi suatu hal yang selalu sama atau tanpa ada variasi dalam

mengerjakan sesuatu karena terpaksa dan tidak sesuai dengan bakat, minat

dan perhatiannya.

Menurut Slameto (2010: 60) kelelahan baik jasmani maupun rohani dapat

dihilangkan dengan cara sebagai berikut: tidur, istirahat, mengusahakan

variasi dalam belajar, menggunakan obat-obat yang melancarkan peredaran

darah, rekreasi atau ibadah teratur, olah raga, makan yang memenuhi sarat

empat sehat lima sempurna, apabila kelelahan terus-menerus hubungi sorang

ahli.

38

2. Faktor-faktor ekstern

Faktor eksten adalah faktor yang berasal dari luar siswa. Faktor ini meliputi:

faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat yaitu dengan penjelasan

sebagai berikut:

a. Faktor keluarga

Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa: cara

orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan

keadaan ekonomi keluarga. Sebagian waktu seorang siswa berada di rumah.

Oleh karena itu, keluarga merupakan salah satu yang berperan pada hasil

belajar. Oleh sebab itu orang tua harus mendorong, memberi semangat,

membimbing, memberi teladan yang baik, menjalin hubungan yang baik,

memberikan suasana yang mendukung belajar, dan dukungan material yang

cukup.

b. Faktor sekolah

Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode

mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa,

disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan

gedung, metode belajar, dan tugas rumah. Sekolah adalah lingkungan kedua

yang berperan besar memberi pengaruh pada hasil belajar siswa. Sekolah

harus menciptakan suasana yang kondusif bagi pembelajaran, hubungan dan

komunikasi perorang di sekolah berjalan baik, kurikulum yang sesuai,

kedisiplinan sekolah, gedung yang nyaman, metode pembelajaran aktif-

interaktif, pemberian tugas rumah, dan sarana penunjang cukup memadai

seperti perpustakaan sekolah dan sarana yang lainnya.

c. Faktor masyarakat

Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap

hasil belajar siswa. Pengaruh ini karena keberadaan siswa dalam masyarakat.

Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa ini meliputi: pertama kegiatan

siswa dalam mayarakat yaitu misalnya siswa ikut dalam organisasi

39

masyarakat, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajar akan

terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam mengatur waktunya. Kedua

multi media misalnya: TV, radio, bioskop, surat kabar, buku-buku, komik dan

lain-lain. Semua itu ada dan beredar di masyarakat. Ketiga teman bergaul,

teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya daripada yang kita

duga. Teman bergaul yang baik akan memberi pengaruh yang baik terhadap

diri siswa begitu sebaliknya. Contoh teman bergaul yang tidak baik misalnya

suka begadang, pecandu rokok, keluyuran minum-minum, lebih-lebih

pemabuk, penjinah, dan lain-lain. Keempat bentuk kehidupan masyarakat.

Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh pada hasil belajar

siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar,

penjudi, suka mencuri, dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik akan

berpengaruh jelek kepada siswa yang tinggal di situ.

Melalui penjelasan faktor inten dan ekstern yang mempengaruhi hasil

belajar. Faktor intern meliputi: faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan,

dan faktor ekstern meliputi: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Faktor intern dan ekstern akan sangat mempengaruhi hasil belajar, dan

untuk memperoleh hasil belajar yang baik atau memuaskan, maka siswa harus

memperhatikan faktor-faktor inten dan ekstern. Untuk meningkatkan hasil

belajar maka siswa dituntut untuk memiliki kebiasaan belajar yang baik.

2.2 Penelitihan Yang Relevan

Jemikem, 2011. “Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Indonesia dalam

Menulis Puisi melalui Pendekatan Konstuktivisme dalam CTL Siswa Kelas VI

SD Negeri Blengorkulon Kebumen Semester II Tahun Pelajaran 2010/2011”.

Jenis penelitian ini yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas Penelitian

dilaksanakan di SD Negeri Blengorkulon. Model PTK yang digunakn adalah

Kemmis dan Target dengan dua siklus dan langkah-langkah mulai dari

perencanaan,tindakan dan observasi, refleksi. Variable dalam penelitian ini ada

dua yaitu variable x(pendekatan kontruktivisme dalam CTL) dan variable y (hasil

belajar). Data yang diperoleh berupa data kuantitatif. Hasil penelitian menujukan

40

bahwa pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan pendekatan

kontruktivisme dalam CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI. Hal

itu ditunjukan adanya peningkatan jumlah siswa yang sudah tuntas setelah

pembelajaran. Nilai siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia kondisi awal

dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) 65,9 siswa. 26 terjadi karena saat

pembelajaran bahasa Indonesia dengan memanfaatkan lingkungan, siswa lebih

senang, materi mudah dipahami,siswa termotivasi sehingga siswa mudah berpikir

untuk menemukan berbagai macam tema untuk dijadikan.

Zulia Wadiningsih, Hasil penelitian menunjukkan bahwa “Penerapan

Model Pembelajaran STAD dengan Pendekatan CTL Secara Umum dapat

Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Ekonomi Siswa Kelas VIIIC SMPN 2

Malang". Dari paparan data dan temuan penelitian diketahui bahwa motivasi

belajar klasikal keseluruhan pada siklus II mengalami peningkatan sebesar 13,59

% dibandingkan dengan siklus I. Nilai motivasi dari siklus I ke siklus II dengan

perhitungan SPSS 16 for Windows maka dapat disimpulkan bahwa ratarata

motivasi dari siklus I ke siklus II berbeda secara signifikan karena ratarata

motivasi setelah siklus II lebih tinggi dari pada motivasi sebelum siklus I"Hasil

belajar siswa dapat diketahui dari tes yang diadakan setiap siklus. Ketuntasan

belajar siswa dari siklus I ke siklus II meningkat sebesar 15,79 %" hasil belajar

siklus I ke siklus II dengan menggunkan SPSS 16 for Windows, dapat

disimpulkan bahwa ratarata hasil belajar dari siklus I ke siklus II adalah berbeda

secara signifikan karena rata-rata hasil belajar pada siklus I lebih tinggi dari pada

hasil belajar siklus II. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

penerapan model STAD dengan pendekatan CTL dapat meningkatkan motivasi

dan hasil belajar siswa. Saran dari peneliti adalah Penggunaan pemicu masalah

yang lebih nyata dan inovatif bagi siswa sangat ditekankan untuk meningkatkan

motivasi dan hasil belajar siswa, Guru matapelajaran ekonomi dapat menerapkan

pembelajaran model STAD dengan pendekatan CTL yang terbukti dapat

meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa, Guru hendaknya juga mengukur

seluruh hasil belajar siswa yang meliputi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan

psikomotorik, Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian sejenis pada

41

kompetensi dasar yang lain guna mengetahui keberhasilan metode STAD dengan

pendekatan CTL dalam meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa.

2.3 Kerangka Berfikir

Keberhasilan proses pembelajaran tentunya tidak lepas dari guru sebagai

salah satu sumber belajar. Peran guru sebagai sumber belajar sangatlah penting

dimana guru harus lebih menguasai materi pelajaran/bahan ajar. Tidak hanya itu

guru harus lebih banyak memiliki bahan referensi, hal ini untuk menjaga agar

guru memiliki pemahaman yang jauh lebih baik tentang materi yang akan

diajarkan.

Salah satu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar

siswa pada mata pelajaran IPA adalah melalui pendekatan Contextual Teaching

and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Semula kelas

eksperimen dan kelas kontrol berada dalam keadaan sama yaitu mempunyai

kesetaraan yang seimbang hasil belajarnya yang dapat dilihat melalui uji

homogenitas. Penulis akan membuat dua soal yang akan digunakan untuk

penelitian. Soal tes homogenitas adalah soal untuk menguji homogenitas dari

kedua kelompok sebelum kelas diberi perlakuan yaitu pembelajaran yang

menggunakan pedekataan Contextual Teaching and Learning melalui model

pembelajaran kooperatif tipe STAD dan pembelajaran dengan metode

konvensional. Soal tes akhir atau post test akan diberikan setelah kelas diberi

perlakuan.

Namun, sebelum kedua soal diuji cobakan harus dilakukan pengujian

disekolah lain yaitu SDN 1 Temuireng sekolah yang bukan sekolah untuk

penelitian. nilai pengujian soal kemudian diuji validitasnya agar soal dapat

diujikan dalam penelitian.

Penelitian akan dilakukan dengan cara memberikan kelas eksperimen dan

kelas kontrol dengan soal homogenitas. Soal tes awal bertujuan untuk mengetahui

homogenitas antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Setelah mengetahui

tingkat homogenitas antara kelas IV SDN 3 Randulawang dan kelas IV SDN 2

42

Pelem diberikan pada kelas eksperimen yaitu dengan menerapkan pendekatan

Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe

STAD dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional.

Kedua kelas diberikan soal yang sama yaitu soal tes untuk mengukur tingkat

pemahaman mereka terhadap pembelajaran.

2.4 Hipotesis Peneliti

Berdasarkan rumusan masalah maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan

yaitu diduga ada perbedaan efektivitas yang signifikan antara pendekatan

Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe

STAD dan pembelajaran konvensional pada hasil belajar mata pelajaran IPA kelas

IV Semester II di SD Imbas Gugus Pangeran Diponegoro Tahun Pelajaran

2011/2012.

Berikut ini adalah rincian rumusan hipotesis dalam penelitian ini:

H0 : tidak ada perbedaan efektivitas yang signifikan pendekatan Contextual

Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD

dengan pembelajaran konvensional.

Ha : ada perbedaan efektivitas yang signifikan antara pendekatan Contextual

Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD

dengan pembelajaran konvensional.

Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

H0 = OX1 = OX2

Ha = OX1 ≠ OX2

Keterangan:

OX1 = Hasil pembelajaran pendekatan Contextual Teaching and Learning melalui

model pembelajaran kooperatif tipe STAD.

OX2 = Hasil pembelajaran pembelajaran konvensional.