Upload
trinhminh
View
247
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya
Berdasarkan data yang dikumpulkan baik berupa skripsi dan hasil penelitian
lainnya, ditemukan beberapa penelitian yang menganalisis mengenai onomatope
serta novel Kitchin yang digunakan sebagai objek penelitian. Beberapa penelitian
tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Astra (2009) menulis penelitian yang berjudul “Analisis Makna Konotatif
Onomatope dalam Komik Jepang”. Dalam penelitian ini digunakan teori
argumentatif dengan empat buah komik asli berbahasa Jepang yang berjudul
Kukingu Papa jilid 1 dan 5 karya Ueyama Tochi, Atashinchi jilid 8 karya Kera
Eiko dan Shura no Mon jilid 8 karya Masatoshi Kawahara sebagai objek
penelitian. Penganalisisan makna onomatope yang terdapat dalam empat komik
tersebut diawali dengan memaparkannya dalam bentuk tabel, kemudian
dikategorikan berdasarkan empat ciri khas dan berdasarkan karakter vokal serta
karakter konsonan yang menyertainya. Kemudian, data tersebut dijadikan
pedoman untuk menganalisis makna onomatope yang ada dalam komik Kukingu
Papa jilid 1 dan 5 karya Ueyama Tochi, Atashinchi jilid 8 karya Kera Eiko dan
Shura no Mon jilid 8 karya Masatoshi Kawahara. Menurut hasil penelitian
tersebut disimpulkan bahwa tidak semua onomatope dalam komik menunjukkan
secara jelas bunyi apa atau dalam keadaan apa sehingga dalam menganalisis
makna dapat dilihat dari alur cerita dan dialog sebelum dan sesudah onomatope
tersebut. Kemudian Astra juga menambahkan bahwa tidak semua onomatope
11
dapat dianalisis berdasarkan karakter vokal maupun konsonan yang menyertainya
sehingga harus disesuaikan dengan gambar yang digambarkan dalam komik.
Penelitian Astra dijadikan acuan karena sama-sama membahas mengenai makna
onomatope, namun dalam penelitiannya Astra membahas mengenai makna
konotatif dari onomatope dengan komik sebagai sumber datanya. Sedangkan pada
penelitian ini, menggunakan novel Kitchin karya Banana Yoshimoto sebagai
sumber data.
Sumirat (2010) menulis “ Analisis Kontrastif Onomatope dalam Bahasa
Jepang dengan Bahasa Sunda” yang bertujuan untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan onomatope dalam bahasa Jepang dengan bahasa Sunda yang terbentuk
dari bunyi benda. Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif,
dengan pendekatan kontrastif. Data diambil dari Gaikokujin no Tameno Nihongo
Reibun Mondai Shiri-zu 14 Giongo Gitaigo untuk data yang terbentuk dari bunyi
benda dalam bahasa Jepang dan untuk onomatope dalam bahasa Sunda diambil
dari Sundanese-Nederlands Woordenboek oleh F.S. Eringa. Kemudian data yang
terkumpul dipadankan, dianalisis, dan diinterpretasikan. Kesimpulan yang
diperoleh dari penelitian tersebut, dari 19 sampel onomatope berbahasa Jepang,
seluruhnya memiliki makna lebih dari satu dan tidak semua makna memiliki
padanan yang tepat dalam onomatope berbahasa Sunda, yaitu makna yang
termasuk giongo (tiruan bunyi asli) saja yang memiliki padanan kata dalam
bahasa Sunda. Persamaannya onomatope kedua bahasa merupakan tiruan bunyi
asli yang terdengar oleh manusia, berfungsi sebagai kata keterangan untuk
menerangkan kata kerja di depannya, dapat digunakan untuk menunjukkan
12
perumpamaan dan makna bunyi negatif. Perbedaannya, bahasa Jepang memiliki
tiruan bunyi untuk keadaan yaitu gitaigo sedangkan bahasa Sunda tidak
memilikinya. Perbedaan penelitian Sumirat dengan penelitian ini, terletak pada
sumber data dan pembahasan. Pada penelitian Sumirat, onomatope bahasa Jepang
dicari padanan katanya dalam bahasa Sunda, sedangkan pada penelitian ini
dianalisis mengenai bentuk, jenis, fungsi gramatikal, dan padanan makna
onomatope bahasa Jepang dalam bahasa Indonesia.
Ulantari (2010) menulis penelitian yang berjudul “Makna Kata Kerja Bantu
~Te Shimau (~てしまう) pada Novel Kitchin Karya Banana Yoshimoto”. Dalam
penelitian Ulantari, digunakan metode deskriptif analisis untuk menganalisis
klasifikasi makna kata kerja bantu~てしまう(~te shimau) yang terdapat dalam
novel Kitchin. Dalam penelitian tersebut didapatkan 83 data yang menggunakan
kata kerja bantu ~てしまう (~te shimau). Setelah data diperoleh kemudian
dianalisis, makna ~てしまう(~te shimau) dapat diklasifikasikan menjadi delapan
kelompok yaitu yang menyatakan aktivitas atau kejadian yang dilangsungkan
sampai tuntas, perbuatan yang tidak disengaja dan terlanjur terjadi, penyesalan,
pesan yang tidak diinginkan secara tidak langsung, gerakan atau emosi di luar
keinginan kita, akan terselesaikannya suatu kegiatan, sebuah perintah, dan
menyatakan sebuah sindiran.
Penelitian Ulantari digunakan sebagai acuan karena menggunakan sumber
data yang sama yaitu novel Kitchin karya Banana Yoshimoto dan sama-sama
13
mengkaji linguistik namun dengan objek kajian yang berbeda. Ulantari (2010)
meneliti tentang kata kerja bantu ~てしまう(~te shimau) sedangkan penelitian ini
mengkaji tentang bentuk, jenis, fungsi gramatikal, dan makna onomatope yang
ada dalam novel Kitchin.
2.2 Konsep
Konsep adalah semua istilah atau kata-kata kunci yang digunakan dalam
suatu karya ilmiah. Dalam penelitian ini, konsep-konsep yang perlu dijelaskan
adalah sebagai berikut.
2.2.1 Onomatope
Chaer (2007:47) menyatakan bahwa kata-kata yang disebut onomatope (kata
yang berasal dari tiruan bunyi) lambangnya memberi saran atau petunjuk bagi
konsep yang dilambangkannya. Dalam bahasa Jepang, kata-kata yang disebut
onomatope tidak hanya memiliki keterkaitan dengan bunyi saja tetapi juga
keadaan yang digambarkan.
Pengertian onomatope yang lebih luas dalam bahasa Jepang juga
diungkapkan oleh Tamori Ikuhiro dan Lawrence Schourup dalam kutipan berikut
ini.
オノマトペは、もっとも一般的な定義、現実の音を真似ている語、あるいは少
なくともそのように見なされる語を指す(ぎしぎし、quack 等)。しかしながらこ
の術語は、声を含む音を表す語に対してだけでなく,動作の様態(くねくね、
zigzag)や、肉体的(ぽっちゃり、plump)あるいは精神的(もさっ、
sluggish)な状態を描写する語に対しても、用いられることがある。本書では、
この術語を後者のように広義の意味で用いるが、声や音を表す語と、様態や
14
状態を表す語を特に区別する必要がある場合には、前者を擬音オノマトペ、
後者を擬態オノマトペと呼ぶことにする。
Onomatope wa, mottomo ippantekina teigi, genjitsu no oto wo maneteiru
go, aruiwa sukunakutomo sono yôni minasareru go wo sasu (gishigishi,
quack nado). Shikashinagara kono jutsugo wa, koe wo fukumu oto wo
arawasu go ni taishite dake denaku, dôsa no yôtai (kunekune, zigzag) ya,
nikutaiteki (pocchari, plump) aruiwa seishinteki (mosat, sluggish) na jôtai
wo byôsha suru go ni taishitemo, mochiiru ga, koe ya oto wo arawasu go
to, yôtai ya jôtai wo arawasu go wo toku ni kubetsu suru hitsuyô ga aru
ba ai niwa, zensha wo gion onomatope kôsha wo gitai onomatope to yobu
koto ni suru.
‘Secara umum pengertian onomatope adalah kata-kata yang menirukan
suara atau bunyi yang nyata, atau paling tidak mengacu pada suara yang
mirip dan mendekati suara aslinya, (seperti gishigishi, ‘mendecit atau
berderak, ’ dan lain-lain). Akan tetapi, istilah ini tidak hanya mengacu
pada kata atau bahasa yang menunjukkan bunyi yang mengandung suara
saja, tetapi juga mencakup kata-kata yang mendeskripsikan keadaan atau
kondisi perbuatan (misalnya kunekune, ‘meliak-liuk’), kondisi fisik
(misalnya, Pocchari ‘montok’), dan kondisi mental (misalnya, mosat ‘lesu,
tidak segar’). Dalam tulisan ini, istilah onomatope menggunakan makna
kedua dalam arti lebih luas. Pada saat diperlukan untuk membedakan
terutama kata-kata yang mengungkapkan bunyi atau suara dan kata-kata
yang mengungkapkan kondisi atau keadaaan, selanjutnya kata-kata yang
mengungkapkan bunyi atau suara disebut dengan gion onomatope
sedangkan kata yang mengungkapkan keadaan atau kondisi disebut
dengan gitai onomatope.’
(Tamori dan Schourup, 1999:10)
Onomatope merupakan kata tiruan bunyi dari benda, alam, keadaan, dan
lainnya. Jadi onomatope muncul karena ada sebuah bunyi atau keadaan yang ingin
disampaikan melalui kata-kata atau untuk mempermudah dalam menggambarkan
sebuah keadaan yang susah untuk disampaikan. Dalam bahasa Jepang, selain
menunjukkan kata tiruan bunyi ada onomatope yang menunjukkan tiruan keadaan,
sedangkan dalam bahasa Indonesia hanya terdapat kata tiruan bunyi saja.
Perbedaan tersebut yang mengakibatkan terjadi perbedaan jumlah onomatope
dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Perbedaan lain dari kata onomatope
15
dapat dilihat dari contoh bunyi anjing menggonggong dalam bahasa Indonesia
yang disebut gukguk, dalam bahasa Jepang disebut wanwan, dan dalam bahasa
Inggris bowbow. Dari contoh tersebut dapat dilihat, onomatope dari setiap bahasa
tidak sama walaupun sumber bunyinya sama yaitu suara anjing yang
menggonggong. Dalam bahasa Jepang onomatope tidak hanya berarti tiruan dari
bunyi yang keluar dari benda atau makhluk hidup, namun juga menunjukkan
keadaan di lingkungan sekitar dan keadaan perasaan manusia. Jadi pengertian
onomatope sangat luas sesuai dengan tempat berkembangnya bahasa tersebut.
2.2.2 Makna
Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri
terutama kata-kata (Djajasudarma, 2009:7). Menurut Ferdinand de Saussure,
makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah
tanda linguistik (Chaer, 2007:287). Dalam kajian linguistik, ilmu yang
mempelajari tentang makna sebagai objeknya disebut semantik. Di Jepang,
semantik dikenal dengan istilah 意味論(imiron) yaitu ilmu yang membicarakan
tentang makna kata, frasa, dan klausa dalam kalimat. Makna sebagai penghubung
bahasa dengan dunia luar sesuai dengan para pemakainya sehingga walaupun
berbeda bahasa, dapat saling mengerti satu sama lain. Ketika mempelajari makna
berarti mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu lingkungan
masyarakat bisa saling mengerti. Dalam kehidupan sehari-hari makna tidak hanya
dilihat dari makna kata dalam kamus saja atau makna leksikal yang dimilikinya,
16
tetapi juga menjangkau lebih luas baik dari konteks penggunaannya, maupun dari
kaidah wacananya.
2.3 Kerangka Teori
2.3.1 Bentuk Onomatope
Berbeda dengan onomatope yang ada dalam komik atau lagu, dalam novel,
onomatope tidak berdiri sendiri melainkan berada dalam sebuah kalimat yang
panjang. Untuk memudahkan dalam menentukan kata yang termasuk onomatope
atau tidak, dapat dilihat dari bentuknya. Bentuk onomatope ada yang berupa
pengulangan 反復形 (hanpukukei), penambahan konsonan ganda ~っ (Q) yang
disebut 促音(sokuon), penambahan akhiran ~ん(N) yang disebut 撥音(hatsuon)
dan lainnya. Menurut Atôda Toshiko dan Kazuko Hoshino (1995:vi) bentuk-
bentuk onomatope dibagi menjadi tujuh bentuk, yaitu:
1. Bentuk dengan akhiran ~っ(Q) yang sering disebut 促音(sokuon)
Contoh: さーっ (sa─Q), さっ (saQ), ばたっ (bataQ), ばさっ (basaQ), ころっ
(koroQ), dan lain-lain.
2. Bentuk dengan vokal panjang ~ ー(─) yang disebut 長音(cho’on)
Contoh: がー(ga─), きゃー(kya─), さー(sa─), dan lain-lain.
17
3. Bentuk dengan akhiran ~ん(N) yang disebut 撥音(hatsuon)
Contoh: ばん(baN), ぽん(poN), がーん(ga─N), がーん(ga─N), dan lain-lain.
4. Bentuk dengan tipe A っ Bん
Contoh: かっちん(kacchin), がっくん (gakkun), ぽっつん (pottsun), dan
lain-lain.
5. Bentuk dengan akhiran ~り(-ri)
Contoh: ぐさり(gusari), ころり(korori), ぼんやり(bonyari), ふんわり(funwari)
dan lain-lain.
6. Bentuk dengan tipe A っ Bり
Contoh: にっこり (nikkori), ばったり (battari), しっとり (shittori), どっきり
(dokkiri), dan lain-lain.
7. Onomatope yang terbentuk dari pengulangan 反復形(hanpukukei)
Contoh: めきめき(mekimeki), もりもり(morimori), にこにこ(nikoniko)、dan
lain-lain.
2.3.2 Klasifikasi Onomatope
18
Secara umum onomatope dibagi menjadi dua jenis yaitu giongo dan gitaigo.
Akan tetapi Kindaichi Haruhiko (Mikami, 2004:2) mengklasifikasikannya dengan
lebih khusus sesuai maknanya, yaitu:
a. 擬声語(Giseigo) adalah kata-kata yang menunjukkan suara dari makhluk
hidup manusia dan binatang. Misalnya : ワンワン (wanwan: suara anjing
menggongong, suara orang menangis), モー (moo: tiruan suara sapi), ぺちゃ
くちゃ (pechakucha: orang yang berbicara dengan suara tinggi), ぎゃーぎゃー
(gyaagyaa: suara orang menangis atau suara kegaduhan yang
mengganggu), dan lain-lain
b. 擬音語(Giongo) adalah kata-kata yang menunjukkan bunyi dari benda
mati. Contoh : ザーザー (zaazaa: suara hujan yang lebat), ガチャン (gachan:
suara benda yang berbenturan dengan keras), ゴロゴロ (gorogoro: suara
gemuruh petir),どんどん(dondon: suara ketukan pintu), dan lain-lain
c. 擬態語(Gitaigo) adalah kata-kata yang menunjukkan keadaan dari benda
mati. Misalnya : きらきら (kirakira: benda yang berkilau, bersinar terang),
つるつる (tsurutsuru: melukiskan permukaan yang halus dan licin),ぐちゃぐち
19
ゃ(guchagucha: menggambarkan sesuatu yang lembut dan basah, bisa juga
menggambarkan suasana yang sangat kacau), dan lain-lain
d. 擬容語(Giyôgo) adalah kata-kata yang menunjukkan keadaan makhluk
hidup. Misalnya :うろうろ(urouro: orang yang berjalan tanpa tujuan, hilang
arah),ふらり(furari: berjalan dengan lemas, bisa juga jalan dengan santai),
ぐ ん ぐん (gungun: orang yang berusaha sekuat tenaga), ボー ッ (boott:
kehilangan kesadaran dan tidak bisa melihat benda dengan jelas), dan lain-
lain.
e. 擬情語(Gijôgo) adalah kata-kata yang menunjukkan perasaan manusia.
Misalnya : いらいら (iraira: cemas, tidak tenang), うっとり(uttori: terpukau),
どきり(dokiri: terkejut), るんるん (runrun: hati yang berbunga-bunga), dan
lain-lain.
2.3.3 Fungsi Gramatikal Onomatope
Menurut Fukuda Hiroko, onomatope memiliki lima fungsi gramatikal
(O’Donnell, 2010:6-7). Kelima fungsi gramatikal tersebut adalah:
1. Sebagai adverbia yang menerangkan kata kerja bentuk pertama. Contoh:
がんがん飲む (gangan nomu: minum dengan cepat sampai habis)
20
2. Sebagai kata kerja apabila dikombinasikan dengan する (suru) atau やる
(yaru). Contoh: きりきりする (kirikiri suru: kesakitan, sakit)
3. Sebagai adjektif atau kata sifat, seperti kata yang dikombinasikan dengan
kopula atau partikel ~だ (~da). Contoh: からからだ (karakara da:
tenggorokan yang kering atau ruangan yang kosong)
4. Sebagai kata benda diikuti dengan partikel ~の (~no) dalam frasa adjektif.
Contoh: すべすべのお肌(subesube no ohada: sungguh kulit yang halus)
5. Sebagai frasa adverbial diikuti dengan partikel ~に (~ni). Contoh: べろべろ
になる (berobero ni naru: menjadi mabuk berat)
2.3.4 Makna Leksikal
Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 辞書的意味 (jishôteki
imi) atau 語彙的意味 (goiteki imi), yaitu makna kata yang sesungguhnya sesuai
dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur
gramatikalnya atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata (Sutedi,
2003:106).
Makna leksikal sering kali disebut dengan makna yang ada di dalam kamus,
karena biasanya dalam kamus dasar dicantumkan makna apa adanya dari sebuah
kata. Akan tetapi dalam kamus modern, makna yang dicantumkan bukan hanya
21
makna asli sesuai indra manusia tetapi juga makna kias dan makna-makna lainnya
yang terbentuk secara metamorfosis (Chaer, 2007:289).
Contoh makna leksikal dari onomatope:
1. バ ラ バ ラ (barabara) menunjukkan keadaan benda yang berhamburan,
berjatuhan berantakan begitu juga suara yang ditimbulkan. menunjukkan
keadaan sesuatu yang menjadi berhamburan atau terpisah-pisah, baik waktu,
tempat, perasaan, dan lainnya. Keadaan orang atau benda yang terpisah-pisah
bagiannya dikumpulkan menjadi satu atau menunjukkan segala sesuatu yang
tidak disatukan (Nakami, 2003:396).
2. ガチャガチャ (gachagacha) adalah tiruan suara tonggeret, menirukan bunyi
benda keras yang ditabrak atau bunyi benda yang saling berbenturan. Dapat
juga menunjukkan keadaan orang yang mengomel atau merah-marah, atau
menunjukkan keadaan banyak benda yang berantakan dan kacau (Nakami,
2003:51).
3. きちん(kichin) adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan keadaan benda
yang rapi, tepat sesuai aturan, atau bersih. Menunjukkan keadaan, gerakan
atau tingkah laku yang teratur, atau menunjukkan jahitan yang terjahit dengan
benar tanpa celah (Atōda, Toshiko dan Kazuko Hoshino, 1995:83-84).
2.3.5 Makna Gramatikal
Sutedi (2003:107) mengatakan bahwa makna gramatikal dalam bahasa
Jepang disebut 「文法的意味 ‘bunpôteki-imi’」yaitu makna yang muncul akibat
22
proses gramatikalnya. Menurut Chaer proses gramatikal yang terjadi seperti
afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi (2007:290).
Contoh makna gramatikal yang timbul pada onomatope:
4. ごろごろと鳴る(gorogoro to naru) dan ごろごろする(gorogorosuru)
(Atôda, Toshiko dan Kazuko Hoshino, 1995:171-172)
5. ちょきん(chokin) menjadi ちょきんちょきん(chokinchokin)
(Yamamoto, 1993:80)
Pada contoh 4, kata ごろごろ(gorogoro) yang dikombinasikan dengan と鳴
る(to naru) dan menjadi gorogoro to naru memiliki makna berbunyi gorogoro,
seperti suara petir, sedangkan setelah dikombinasikan dengan する(suru) menjadi
gorogorosuru yang memilki makna bermalas-malasan atau menghabiskan
waktunya hanya dengan tidur-tiduran. Pada contoh 5, kata chokin yang
mengalami proses gramatikal yaitu pengulangan menjadi chokinchokin,
menimbulkan makna kegiatan yang terjadi secara berulang-ulang. Makna kata
chokin adalah suara orang menggunting sesuatu satu atau beberapa kali, tetapi
tidak berkelanjutan, seperti saat menggunting pita atau bunga, sedangkan
chokinchokin adalah suara gunting yang terdengar ketika menggunting sesuatu
secara terus-menerus seperti pada kertas, kain, dan sebagainya.
2.3.6 Makna Kontekstual
23
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di
dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya,
yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu (Chaer, 2007:290).
Dari definisi tersebut dinyatakan bahwa makna kontekstual adalah makna
yang muncul sesuai dengan kapan, dimana, dan pada saat seperti apa sebuah kata
digunakan dalam kalimat. Makna onomatope yang muncul dalam kalimat tidak
hanya makna leksikal dan makna gramatikal tetapi juga memiliki makna
kontekstual. Makna onomatope disesuaikan dengan konteks di mana onomatope
tersebut digunakan.
6. そうして、ドア が ガチャガチャ と開いて、 もの すごい
Sôshite, doa ga gachagacha to aite, mono sugoi
Lalu pintu NOM suara menabrak terbuka benda sangat
美人 が 息せき きって 走りこんで
Bijin ga ikiseki kitte hashiri konde
orang cantik NOM tersengal-sengal datang berlari berhamburan
きた の は、 その とき だった。
kita no wa sono toki datta.
datang-LAM NOM TOP itu waktu KOP-LAM.
(Yoshimoto, 1988:18)
‘Saat itu juga terdengar pintu berderak terbuka dan sesosok makhluk cantik
menghambur masuk ke dalam rumah dengan napas tersengal-sengal.’
(Anggraeni, 2009:14)
Dalam konteks kalimat di atas gachagacha berarti suara menabrak pintu
dengan keras karena terburu-buru. Ketika orang dengan terburu-buru sambil
berlari memasuki pintu akan terdengar suara berderak, suara tersebutlah yang
dalam bahasa Jepang disebut gachagacha. Makna leksikal gachagacha yaitu
bunyi benda yang saling berbenturan menjadi lebih luas setelah berada dalam
sebuah kalimat. Seperti yang ditunjukkan pada contoh kalimat berikut:
24
7. 車 の キー を ガチャガチャ ならしながら 雄一
kuruma no kii wo gachagacha narashinagara Yūichi
mobil GEN kunci Ak gemerincing kunci berbunyi-sambil NM. ORG
は 戻って来た。
wa modotte kita.
TOP kembali datang -LAM
(Yoshimoto, 1988:21)
‘Yūichi kembali, dia memainkan kunci mobil hingga bergerincing.’
(Anggraeni, 2009:16)
Dari contoh 7 dapat dilihat makna gachagacha tidak hanya berarti benturan
benda keras seperti menerobos masuk, tetapi untuk kunci berarti saling
berbenturan ketika sedang dipegang. Bunyi bergerincing pada kunci tidak bisa
saling digantikan dengan contoh 6. Pada contoh 6 makna gachagacha menjadi
benturan keras antara pintu dengan orang yang terburu-buru ketika berlari,
sedangkan pada contoh 7 makna gachagacha menjadi lebih halus yaitu bunyi
krincing yang dihasilkan oleh benturan antar kunci ketika dipegang oleh orang
yang sedang berjalan.
8. 財布 を 落として お金 が ばらばら です。
saifu wo otoshite okane ga barabara desu.
dompet Ak jatuh uang NOM berhamburan KOP.
‘Saya menjatuhkan dompet dan uangnya pun berhamburan.’
(Shiang, 2009:48)
9. 卒業 の 後、 クラスメート は ばらばら
Sotsugyô no ato, kurasumeeto wa barabara
Kelulusan GEN setelah teman sekelas NOM tercerai-berai
になった。
ni natta.
Menjadi-LAM.
‘Setelah kelulusan, teman-teman sekelas menjadi tercerai-berai.’
(Satoru, 2009:86)
25
10. ちょっと 見る と 全く バラバラ でも、 妙に品
chotto miru to mattaku barabara demo, myônishina
sedikit melihat P-KOM sungguh tersebar tetapi, barang berkualitas
の ばかり だった。
No bakari datta.
GEN hanya KOP
(Yoshimoto, 1988:16)
‘Meski sekilas tampak berantakan, dapur itu berisi barang-barang
berkualitas.’
(Anggraeni, 2009:12)
Pada contoh 8, 9, dan 10, kata barabara yang digunakan memiliki makna
yang berbeda sesuai konteksnya dalam kalimat. Makna barabara pada contoh 8,
melukiskan keadaan uang yang berhamburan ke mana-mana. Kemudian pada
contoh 9, makna barabara melukiskan orang-orang yang sudah tinggal di tempat
yang berbeda-beda dan telah tercerai-berai. Sedangkan pada contoh 10,
melukiskan keadaan barang-barang di dapur yang berantakan. Apabila ketiga
makna tersebut dipertukargantikan akan menimbulkan distorsi makna.
Dari kelima contoh tersebut sudah jelas bahwa onomatope dalam novel yang
berada dalam sebuah kalimat, tidak dapat dilihat hanya dari makna leksikalnya
saja, tetapi juga harus diperhatikan makna kontekstualnya juga.