Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
Kajian Pustaka
2.1 Peran Birokrasi Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Publik
Dalam tata hubungan pemerintahan, terdapat tiga fungsi utama pemerintah yang bisa
diwujudkan dalam kelembagaan pemerintah daerah. Ketiga fungsi dasar itu adalah fungsi
pengaturan, pelayanan publik dan pemberdayaan, oleh karena itu eksistensi birokrasi sebagai
aparatur pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan publik yang baik (prima), terutama
yang berkaitan dengan beberapa pelayanan dasar seperti pelayanan kesehatan, pelayanan
pendidikan, pelayanan sosial dan ekonomi. Seiring dengan semakin semaraknya kehidupan
berdemokrasi, maka wacana tentang pelayanan publik (public service) telah menjadi issue
strategis di negara ini. Karena pelayanan publik merupakan hak dasar setiap warga negara
yang harus dipenuhi oleh negara. Pelayanan publik sebagai salah satu dari bagian pemenuhan
kesejahteraan, maka secara otomatis menjadi bagian dalam pemenuhan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya (ekosob) warga negara. Hal ini dilakukan karena pelayanan publik
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewajiban negara untuk mensejahterakan
rakyatnya. Pelayanan publik bukan semata-mata hanya menyiapkan instrumen bagi
berjalannya birokrasi untuk menggugurkan kewajiban negara, melainkan lebih dari itu,
bahwa pelayanan publik merupakan esensi dasar dari terwujudnya keadilan sosial.
Birokrasi sebagai abdi negara dan abdi masyarakat mesti menempatkan masyarakat warga
sebagai komunitas yang dilayani, bukan sebaliknya. Pola perilaku (patern of behavior) dan
budaya birokrasi yang dibangun di atas sebuah kekuatan rezim otoriter, sesungguhnya telah
lama berada dan hidup di atas dasar atau fundamen yang amat rapuh. Patologi birokrasi yang
oleh banyak orang disebut sebagai “bertele-tele”, minta dilayani dari pada melayani, tertutup
dan arogan, dengan ciri utama ABS (asal bapak senang) adalah bagian dari kerapuhan
institusi negara (Madubun, 2004). Ketidak mampuan pemerintah untuk melakukan perubahan
struktur, norma, nilai dan regulasi yang berorientasi kolonial tersebut telah menyebabkan
gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat (Prasojo, 2006).
Dilihat dari sudut penyelenggaraan pemerintahan yang baik Uphoff (dalam Suwondo,
2005) mengemukakan tiga kaidah yang harus secara setia dijalani yaitu : 1) Accountabilitas
(pertanggungjawaban); 2) Fairnes (keadilan); 3) Tranparancy atau keterbukaan, serta
Suwondo (2003) mengemukakan empat kaidah yang juga harus secara setia dilaksanakan
yakni: 1) Responsibility (bertanggungjawab); 2) Independency (kemandirian); 3) Freedom
(kebebasan) dan 4) Efisiensi dalam alokasi sumber daya. Sementara itu dari versi UNDP juga
ditetapkan beberapa karakteristik dasar dalam penyelenggaraan good governance yaitu,
8
partisipatif, transparansi dan akuntabilitas, efektif dan berkeadilan, supremasi hukum,
orientasi konsensus, akomodatif terhadap suara penduduk miskin dan rentan dalam proses
pembuatan keputusan (Dwipayana dan Eko, 2003).
Upaya mewujudkan hak-hak tersebut terutama dalam peningkatan akses pelayanan
publik, dapat mengambil bentuk dalam hubungan komunikasi multi stakeholders atau kontrak
pelayanan (citizen charters) sebagaimana dikemukakan diatas. Kontrak pelayanan adalah
suatu pendekatan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang menempatkan pengguna
layanan sebagai pusat perhatian. Dengan kontrak pelayanan, baik pengguna layanan maupun
penyedia layanan secara bersama-sama menyepakati jenis, prosedur, waktu, dana dan cara
pelayanan dengan mempertimbangkan keseimbangan hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Kontrak pelayanan diperlukan karena beberapa hal, (1) memberikan kepastian
pelayanan dari segi waktu, dana, prosedur dan cara pelayanan; (2) memberikan informasi
mengenai hak dan kewajiban pengguna layanan, penyedia layanan dan stakeholder lainnya
dalam keseluruhan layanan; (3) mempermudah pengguna layanan, warga dan stakehorder
lain untuk mengontrol praktek penyelenggaraan pelayanan; (4) untuk mempermudah
manajemen pelayanan memperbaiki kinerja penyelenggaraan pelayanan dan (5) membantu
manajemen pelayanan mengidentifikasi kebutuhan, harapan dan aspirasi pengguna layanan.
Harapannya dengan kontrak pelayanan, prinsip-prinsip responsivitas, transparansi dan
akuntabilitas publik sebagai wujud good governance dapat ditegakan oleh birokrasi Pemda
dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Kusumasari, dalam Purwanto dan Kumorotomo,
2005).
Salah satu segi penting dari demokratisasi pemerintahan daerah adalah upaya
mewujudkan pelayanan publik yang responsiv, transparan dan akuntabel, yang melibatkan
peran serta masyarakat (public) dalam setiap tahapan, baik perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan maupun evaluasinya. Peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka
menyelenggarakan pelayanan umum (direct public service delivery), sejalan dengan
pandangan noe-ortodoksi yang antara lain menekankan peran serta masyarakat atau
kemitraan pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pandangan
seperti itu saat ini lebih populer dengan konsep good governance (tata-kelola pemerintahan
yang baik).
Dalam perundang-undangan Indonesia, pengertian birokrasi belum didefinisikan secara
tegas. Namun hanya dikenal dalam penyebutan berkaitan dengan praktik penyelenggaraan
pemerintahan. Oleh karena itu, belum ada formulasi yang resmi mengenai birokrasi dan
birokrat. Apakah pengertian bureaucracy sama dengan civil service, juga belum jelas.
9
Demikian pula, apakah birokrat sama dengan pegawai negeri, juga belum ada kesepakatan
yang resmi. Dalam terminologi birokrasi pemerintah terdapat dua suku kata birokrasi dan
pemerintah, yang masing-masing mempunyai arti yang hampir sama, bahkan Edi Setiadi
berpendapat bahwa birokrasi sama dengan pemerintah (administrasi negara secara umum)
maupun swasta. Namun di sisi lain, birokrasi itu juga bisa berupa institusi pemerintah. Oleh
sebab itu, pembahasan ini lebih ditekankan pada birokrasi pemerintah. Istilah birokrasi di
dalam masyarakat seringkali menyesatkan, yang tergambar ketika orang membicarakan
birokrasi adalah urusan-urusan yang berbelit-belit berkenaan dengan pengisian formulir-
formulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kantor secara berantai, aturan-aturan
ketat yang mengharuskan seseorang melewati banyak sekat-sekat formalitas, dan sebagainya.
Harus diakui bahwa citra tentang konsep birokrasi memang sudah sedemikian buruk, dan
tampaknya diperlukan terminologi birokrasi untuk mendudukkan peristilahan pada proporsi
yang sebenarnya, dan dari sudut pandang mana seseorang membicarakannya.Implikasi
bentuk kelembagaan tersebut menurut Schmid, 1987 dalam Kartodihardo, 2006 )
mengakibatkan ‘siapa mendapatkan apa’ dalam suatu sistem ekonomi tertentu.
Dalam peraturan daerah (PERDA) kota Salatiga No. 5 tahun 2011 tentang penyelenggara
pelayanan publik, bagian kedua, pasal 4 menyatakan penyelenggara pelayanan publik
berasaskan: a) kepentingan umum; b) kepastian hukum; c) persamaan hak; d) keseimbangan
hak dan kewajiaban; e) keprofesionalan; f) partisipatif; g) persamaan perilaku/ tidak
diskriminasi; h) keterbukaan; i) akuntabilitas; j) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok
rentan; k) ketepatan waktu; dan l) kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
2.2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik
Menurut Pressman dan Wildaysky (dalam Abdul Wahab, 2003) implementasi adalah
sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai
tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang
diinginkan dengan mencapainya. Pendapat lain dapat dikemukakan oleh Masmanian dan
Sabatier (dalam Abdul Wahab, 2005) implementasi adalah memahami apa yang senyatanya
terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus
perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang
timbul sesudah disahkan-nya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik
usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun menimbulkan akibat/ dampak nyata
pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Kemudian Meter dan Horn (dalam Winarno,
2004:102) mengatakan bahwa implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh individu- individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta
10
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan
keputusan kebijakan lainnya.
Menurut Grindle (dalam Haedar Akib, 2010) menyatakan bahwa implementasi
merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program
tertentu. Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan,
program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran.
Mengacu pada pendapat Edward III (dalam Haedar Akib, 2010) mengenai kriteria penting
dalam implementasi kebijakan, dapat dikemukakan empat faktor sebagai sumber masalah
sekaligus prakondisi bagi keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya,
sikap birokrasi atau pelaksana, dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi.
Komunikasi suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para
pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan
konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi empat komponen yaitu staf
yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan,
kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas atau tanggung jawab dan fasilitas yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan komitmen
pelaksana terhadap program. Struktur birokrasi didasarkan pada prosedur operasional standar
yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.
Alasan lain yang mendasari perlunya implementasi kebijakan dapat dipahami dari
pernyataan Grindle dan Quade (dalam Haeder Akib, 2010) yang mengharapkan agar dapat
ditunjukkan konfigurasi dan sinergi dari tiga variabel yang menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan, yakni variabel kebijakan, organisasi, dan lingkungan kebijakan.
Harapan itu perlu diwujudkan agar melalui pemilihan kebijakan yang tepat masyarakat dapat
berpartisipasi dalam memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih perlu diwadahi oleh
organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi terdapat kewenangan dan berbagai jenis
sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan atau program. Sedangkan penciptaan
situasi dan kondisi lingkungan kebijakan diperlukan agar dapat memberikan pengaruh,
meskipun pengaruhnya seringkali bersifat positif atau negatif. Oleh karena itu, diasumsikan
bahwa jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan maka akan
menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan berpengaruh terhadap kesuksesan
implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi
benturan sikap sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih dari pada ketiga
aspek tersebut perlu pula dipertahankan kepatuhan kelompok sasaran kebijakan sebagai hasil
11
langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat.
Implementasi kebijakan di-perlukan untuk melihat kepatuhan kelompok sasaran kebijakan.
Oleh karena itu, dilihat dari perspektif perilaku, kepatuhan kelompok sasaran merupakan
faktor penting yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pemahaman ini
sejalan dengan pandangan Ripley dan Franklin (dalam Haeder Akib, 2010) bahwa untuk
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan perlu didasarkan pada tiga aspek, yaitu: 1)
tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi,
sebagaimana diatur dalam undang-undang, 2) adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya
masalah; serta 3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang dikehendaki dari semua program
terarah.
Meter dan Horn (subarsono;2006) mengemukakan bahwa terdapat enam variabel yang
mempengaruhi kinerja implementasi, yakni;
1) Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan
terukur sehingga dapat direalisir apabila standar dan sasaran kebijakan kabur,
2) Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik
sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.
3) Hubungan antar organisasi, yaitu dalam banyak program, implementor sebuah
program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan
koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
4) Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma-norma dan
pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan
mempengaruhi implementasi suatu program.
5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya ekonomi
lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh
mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi
kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana
sifat opini public yang ada di lingkungan, serta apakah elite politik mendukung
implementasi kebijakan.
6) Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon
implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk
melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas
disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari tujuan atau
sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil kegiatan. Sehingga
12
dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana
pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan
pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin
diraih.
2.3 SOP Pelayanan KTP-EL
Kebijakan yang berkenaan dengan penerbitan kartu tanda penduduk berbasis elektronik,
diatur melalui keputusan Menteri Dalam Negeri No. 09 Tahun 2011 tentang pelayanan
pembuatan KTP-El, kemudian dalam pelaksanaan di daerah diatur berdasarkan peraturan
Walikota Salatiga. Di kota Salatiga , untuk mengiringi kebijakan Menteri Dalam Negri, telah
mengeluarkan PERWALI No. 30 tahun 2011 tentang standar pelayanan publik bidang
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil kota Salatiga.
1. Persyaratan pelayanan:
a. fotokopi KK.
b. fotokopi Akta Nikah dan/atau Akta Cerai.
c. fotokopi Akta kelahiran.
d. Surat Keterangan Pindah Datang (bila datang dari daerah lain).
2. Prosedur pelayanan:
a. mengisi formulir permohonan KTP (F1.07) untuk selanjutnya ditandatangani dan
dibubuhi stempel oleh RT dan RW setempat.
b. mengajukan F1.07 ke Kelurahan guna Validasi, Verifikasi data dan pencatatan
kedalam Buku Harian Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting ( BHPKPP),
untuk selanjutnya mendapatkan tanda tangan dan stempel dari Lurah atau pejabat
yang berwenang;
c. mengajukan F1.07 ke Kecamatan untuk proses verifikasi;
d. pendaftaran;
e. pengambilan foto dan pencetakan KTP;
f. petugas Kecamatan membawa KTP beserta Berita Acara ke Dinas;
g. verifikasi oleh petugas Pendaftaran Penduduk;
h. KTP ditandatangani oleh Kepala Dinas kemudian dibubuhi stempel;
i. pengambilan dan verifikasi oleh Petugas Kecamatan; dan
j. penyerahan dan Pengambilan.
13
3. Waktu penyelesaian pelayanan: 5 (lima) hari kerja terhitung sejak berkas permohonan
dinyatakan lengkap dan benar oleh petugas Registrasi Kecamatan.
4. Biaya pelayanan: Tidak dipungut biaya.
5. Produk pelayanan: Kartu Tanda Penduduk.
6. Sarana dan prasarana:
a. loket pelayanan;
b. ruang tunggu
c. formulir dan/atau blangko; dan
d. perangkat Teknologi Informasi.
7. Kompetensi petugas pemberi pelayanan:
a. memahami peraturan;
b. profesional;
c. integritas; dan
d. ramah.
2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengarui Pelayanan E-KTP
2.4.1 Faktor-Faktor Pendukung Kualitas Pelayanan E-KTP
a. Profesionalisme kerja pegawai
Profesionalisme pegawai sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan pegawai
yang tercermin melalui perilakunya sehari-hari dalam organisasi. Tingkat
kemampuan pegawai yang tinggi akan lebih cepat mengarah kepada pencapaian
tujuan organisasi yang telah direncanakan sebelumnya, sebaliknya apabila tingkat
kemampuan pegawai rendah kecenderungan tujuan organisasi yang akan dicapai
akan lambat bahkan menyimpang dari rencana semula. Dalam hal ini kemampuan
dalam mepergunakan peralatan yang ada dalam mendukung pekerjaan yaitu proses
pembuatan KTP, kesiapan dalam pelaksanaan pelayanan pengurusan KTP yaitu
disiplin dalam memulai dan menyelesaikan pekerjaannya, mentaati segala
peraturan yang melandasi bidang pekerjaannya, sikap aparatur dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
b. Pelayanan yang memuaskan masyarakat.
Pelayanan yang merata dan sama tanpa membeda-bedakan status dan
kedudukan. Pelayanan pemerintah sebagai pelaku organisasi publik harus bersifat
netral dan tidak memihak. Pada dasarnya setiap orang berhak mendapatkan
kesempatan dan pelayanan yang sama. Hal ini harus perlu dilaksanakan oleh
14
aparatur dalam memberikan pelayanan kepada setiap orang, dengan itu masyarakat
akan merasa puas akan pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah.
Pelayanan dengan cepat dan tepat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan
yaitu prosedur/tata cara pengurusan KTP Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
sudah berusaha memberikan pelayanan dengan cepat dan tepat kepada masyarakat
khususnya dalam pengurusan KTP dengan baik.
Biaya/tarif dalam pengurusan KTP munculnya keluhan-keluhan mengenai
kualitas pelayanan publik dan tidak beresnya penyelenggaraan pelayanan publik
disebabkan karena prosedur layanan tidak jelas atau sengaja dibuat abu-abu
sehingga menjadi area yang subur bagi tumbuhnya praktek penyelewengan.
Persoalan yang timbul di masyarakat adalah penundaan yang berlarut,
penyimpangan prosedur dan permintaan imbalan. Maka masyarakat menuntut
tanggung jawab pelayanan dan peningkatan kinerja pelayanan publik semakin baik.
Adapun biaya/tarif pengurusan Kartu Tanda Penduduk sudah ditetapkan
berdasarkan Peraturan Daerah yaitu masyarakat tidak dibebankan untuk
mengeluarkan biaya dalam pengurusan Kartu Tanda Penduduk dan KK sepeserpun
(Muin dkk, 2014).
Sedangkan menurut (Rivai Abdul, dkk, 2014) menyatakan Implementasi Kebijakan
KTP-el di Kantor Camat Melak yang diketahui dari beberapa fokus penelitian ini yaitu
sosialisasi, koordinasi antar lembaga, proses pendataan penduduk, kemampuan
sumberdaya pelaksana, sarana dan prasarana telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan cukup optimal.
a. Sosialisasi melalui metode tatap muka dan pemasangan baliho telah efektif dan
efisien dalam memyebarkan informasi dan memberi pemahaman kepada
masyarakat mengenai e-KTP.
b. Koordinasi telah dilakukan oleh pihak kecamatan dengan pihak lainnya seperti
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kutai Barat,
Lurah dan Ketua RT baik secara formal maupun tidak formal.
c. Proses pendataan penduduk telah dilakukan sesuai dengan tahapan dan
ketentuan yang berlaku.
d. Kemampuan dari unsur pelaksana kebijakan telah memadai dinilai dari jumlah
pegawai yang terlibat, pendidikan formal, pendidikan dan pelatihan dan
pengalaman kerja. Pegawai juga telah dibekali dengan pelatihan dalam
15
menggunakan peralatan yang digunakan dalam pendataan, ketersediaan sarana
dan prasarana telah cukup memadai.
Faktor yang mendukung lainnya antara lain adalah Peraturan-peraturan yang
mendasari pelaksanaan program e-KTP diseluruh Indonesia termasuk yang di kantor
camat Melak, keseriusan Camat dan seluruh jajarannya dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya dalam implementasi e-KTP ini, dukungan pendanaan yang memadai dari
Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, sebagian besar warga masyarakat kecamatan Melak
yang menunjukkan antusiasme dalam melaksanakan kebijakan e-KTP.
2.4.2 Faktor-Faktor Penghamabat Implementasi Kebijakan
Menurut Bambang sunggono (dalam Nurdin Asrul, 2013), implementasi kebijakan
mempunyai beberapafaktor penghambat,yaitu:
a) Isi Kebijakan
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi kebijakan,maksudnya
apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci,sarana-sarana dan penerapan prioritas,atau
program-program kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua ,karena
kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan. Ketiga,kebijakan yang akan
diimplementasikan dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan yang sangat
berarti. Keempat, pemyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan
public dapat terjadi karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-
semberdaya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.
b) Informasi
Implemntasi kebijakan public mengasumsikan bahwa para pemegang peran yang terlibat
langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan
peranya dengan baik. Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan
komunikasi.
c) Dukungan
Pelaksaan suatu kebijakan public akan sangat sulit apabila pada pengimplementasiannya
tidak cukup dukungan untuk pelaksaan kebijakan tersebut.
d) Pembagian potensi
Sebab musebab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu kebijakan public
juga ditentukan aspek pembagian potensi diantaranya para pelaku yang terlibat dalam
implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan diferensiasi tugasdan wewenang organisasi
pelaksana. Struktur organisasi pelaksana dapat menimbulkan masalah-masalah apabila
pembagian wewenang dan tanggung jawab kuran disesuaikan dengan pembagian tugas atau
16
ditandai oleh adnya pembatasanpembatasan yang kurang jelas. Adanya penyesuaian waktu
khususnya bagi kebijakan-kebijakan yang controversial yang lebih banyak mendapat
penolakan warga masyarakat dalam implementasinya.
Menurut James Andrson (dalam Nurdin Asrul, 2013), faktor-faktor yang menyebabkan
anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu kebijakan public, yaitu :
1) Adanya konsep ketidak patuhan selektif terhadap hukum, dimana terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan atau kebijakan publik yang bersifat kurang mengikat
individu-individu.
2) Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau perkumpulan dimana mereka
mempunyai gagasan atau pemikiran yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
peraturan hukum dan keinginan pemerintah.
3) Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantara anggota
masyarakat yang mencendrungkan orang bertindak dengan menipu atau dengan jalan
melawan hukum.
4) Adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang mungkin
saling bertentangan satu sama lain, yang dapat menjadi sumber ketidak patuhan orang
pada hukum atau kebijakan publik
5) Apa bila suatu kebijakan ditentang secara tajam (bertentangan) dengan system nilai
yang dimuat masyarakat secara luas atau kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat.
Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan mempunyai
manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan
manusia sebagai anggota masyarakat harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
pemerintah atau Negara, sehingga apabila prilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan
keinginan pemerintah atau Negara, maka suatu kebijakan public tidaklah efektif.
2.5 Fungsi dan Tata Kerja Kecamatan
Dalam peraturan walikota Salatiga Nomor 51 Tahun 2016 tentang kedudukan, susunan
organisasi, tugas dan fungsi serta tata kerja kecamatan dan kelurahan. Dimana kecamatan
dalam melaksanakan tugas sebagai menyelenggarakan fungsi: a),pelaksanaan koordinasi
penyelenggaraan Pemerintahan; b), pelaksanaan koordinasi pelayanan publik; c), pelaksanaan
koordinasi pemberdayaan masyarakat Kelurahan; d) pelaksanaan administrasi kecamatan; e)
pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Walikota terkait dengan tugas dan fungsinya.
Menyelenggarakan pelayanan publik sesuai ketentuan yang berlaku, untuk meningkatkan
akses dan kualitas pelayanan publik. melaporkan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah,
17
laporan keterangan pertanggungjawaban pada Walikota, laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah, laporan keuangan pemerintah daerah dan pengendalian operasional
kegiatan Kecamatan sesuai ketentuan yang berlaku agar terwujud tertib pelaporan.
Menyelenggarakan e-government sesuai ketentuan yang berlaku untuk mewujudkan kinerja
yang lebih efektif dan efisien.
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu ini menjadi sebuah acuan penulis dalam melakukan kajian ini
sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang
dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian dengan judul yang
sama seperti judul penelitian penulis. Namun penulis mengangkat beberapa penelitian
sebagai referensi yang bertujun memperkaya bahan kajian pada penelitian penulis. Berikut
merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa jurnal terkait dengan penelitian yang
dilakukan penulis.
1. Jurnal Abdul Rivai, DB Paranoan, Jamal Amin yang di buat tahun 2014 yang berjudul
Implementasipelayanan e-ktp di kantor Camat Sanga Sanga kabupeten Kutai
Kartanegara. Penelitian ini menjelaskan Kurang efektifnya pelayanan e-KTP di
kecamatan Sangasanga dapat di ketahui dari aspek sumber daya manusia (tenaga
operator) dan sarana komputer kurang memadai, sehingga secara aplikatif, baik dalam
proses administrasi kependudukan, maupun perekaman data kurang efektif, serta
menyarankan memberikan keleluasaan dalam sosialisasi kepada petugas Kecamatan
karena kecamatan lebih tahu situasi dan kondisi wilayahnya. Antisipasi dalam hal
sarana clan prasarana pendukung lebih ditingkatkan dalam rangka meminimalkan
kendala teknis dan non teknis dalam pelayanan publik, seperti menyiapkan genset.
Perbedaan: penelitian yang dilakukan Abdul Rivai, DB Paranoan, Jamal Amin meliat
proses penyelenggaraan pelayanan e-ktp sedangkan di teliti penulis bagaimana peran
aparatur pemerintah dalam merialisasikan atau melaksanakan produk kebijakan yang
sudah disahkan ( Rivai abdul, dkk, 2014)
2. Jurnal Hermansyah yang berjudul Kualitas pelayanan pegawai dalam pembuatan
kartu tanda Penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) siak di dinasKependudukan dan
pencatatan sipil kota Tanjungpinang, menjelaskanpelaksanaan Pelayanan Pada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tanjungpinang Kota Tanjungpinang masih
belum baik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Dilihat dari dimensi yang
diantaranya : 1) transparan: belum transparan berbelit-belit. 2) akuntabilitas:
kurangnya kepastian waktu, 3) kondisional sudah berjalan baik damana pegawai
18
sudah mampu mendengar keluahan masyarakat. 4) partisipasi kurang optimal
partisipasi dari dinas dalam hal peningkatan layanan. 5) kesamaan hak sudah berjalan
baik. 6) keseimbangan hak dan kewajiban yang harus di perhatikan dalam kaitan
dengan kepastian biaya. Perbedaan: penelitian yang dilakukan Hermansyahmeliat
Kualitas pelayanan pegawai dalam pembuatan kartu tanda Penduduk (KTP) dan kartu
keluarga (KK) siak di dinas Kependudukan dan pencatatan sipil kota
Tanjungpinangsedangkan di teliti penulis bagaimana peran aparatur pemerintah dalam
merialisasikan atau melaksanakan produk kebijakan yang sudah disahkan (
Hermansyah, 2013)
3. Skripsi Bangun Ekaprasetia yang berjudul Impelementasi pelayanan publik pada dinas
kependudukan dan catatan sipil kota Salatiga dalam pembuatan e-KTP. Menjelaskan
Peraturan mengenai pelayanan publik telah disusun secara terperinci supaya
pelaksanaan pelayanan publik berjalan dengan baik, dan penyelenggara pelayanan
publik dapat mengimplementasikan isi dari peraturan yang ada. Akan tetapi fakta di
lapangan dan dalam pelaksanaannya masih saja ditemukan penyelenggara pelayanan
publik yang belum melaksanakan ketentuan sesuai peraturan yang ada. Masih banyak
kendala yang diahadapi untuk pelayanan pembuatan e-KTP seperti kekurangan alat
pembuatan e-KTP, kurangnya informasi yang diberikan untuk warga, sering
padamnya listrik, dan kurang efektifnya pelayanan yang di berikan. Perbedaan
penelitian yang dilakukan Bangun Ekaprasetia melihat impelementasi pelayanan
publik pada dinas kependudukan dan catatan sipil kota Salatiga dalam pembuatan e-
KTP sedangkan di teliti penulis bagaimana peran aparatur kecamatan tingkir
mengimlementasikan PERWALI yang merupakan produk kebijakan pemerintahan
kota Salatiga (Ekaprasetia, 2016).
19
2.7 Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 2.1 kerangka berpikir
Dalam menjalankan tugas dan rodah pemerintahan dibutuhkan aparatur pemerintah
sebagai penyelenggara yang secara prinsip bahwa aparatur adalah abdi masyarkat untuk
mewujudkan tujuan dari sebuah kebijakan yang dalam pelaksanaannya, pelayanan sebagai
instrumen kunci pemenuhan untuk penuhan kebutuhan publik yaitu masyarakat. Perwali
merupakan produk isi kebijkan tentang standar pelayanan publik yang sudah disahkan oleh
pemerintah kota Salatiga sebagai tolak ukur atau jaminan kepastian hukum untuk masyarakat
serta sebagai pedoman bagi penyelenggara pemerintah atau instansi terkait dalam memenuhi
kebutuhan atau keingina mayarakat khususnya pelayanan KTP-El. Dalam penelitian ini di
analisis menggunakan model implementasi Model pendekatan top down atau a model of the
policy yang menggambarkan apartur sebagai penyelenggara, pelaksana tindakan-tindakan
yang harus dilakukan oleh aparatur pemerintah yang diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan keputusan kebijakan. Produk yang ditentukan
oleh beragam kepentingan dan keluarannya berdasarkan materi program melalui interaksi
para pembuat keputusan dalam konteks politik dan administarsi, pada akhirnya yang melihat
20
bagaiamana peran aparatur dalam mewujudkan tujuan PERWALI tentang standar pelayanan
publik kota Salatiga, tercapai atau tidak?dan faktor-faktor apa saja yang mempengarui peran
apartur dalam melaksanakan tujuan PERWALI? dimana keberhasilan tujuan PERWALI
dilihat dari peran aparatur sebagai penyelenggara dan mengimlementasikan kebijakan tentang
standar pelayanan publik kota Salatiga dengan memepertanyakan apakah pelaksana program
sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu gambaran pada aktifitas program.
21