Upload
hatuong
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.2 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Pajak
Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang tanpa adanya
kotraprestasi atau imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara untuk
kemamkmuran rakyat.
Definisi atau pengertian pajak menurut Soemitro (Mardiasmo, 2012:7) “Pajak
adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang yang dipaksakan
dengan tidak adanya kontraprestasi (tidak mendapat jasa timbal balik secara langsung) dan
digunakan untuk membayar pengeluaran umum Negara”.
Menurut Waluyo (2011;2) “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayar menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak medapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas yang
menyelenggaraan pemerintahan”.
Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
pada Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakn untuk keperluan
Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pajak memiliki
unsur:
a) Iuran dari rakyat kepada Negara dalam bentuk uang (bukan barang)
b) Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang atau memiliki kekuatan Undang-
Undang dan aturan pelaksanaannya.
c) Tanpa adanya jasa timbal balik atau kontraprestasi secara langsung.
d) Pajak digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang nantinya bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2 Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:1) ada dua fungsi pajak, yaitu :
1) Fungsi Anggaran (Budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran Negara itu sendiri. Yaitu pajak dimanfaatkan sebagai instrument
pengumpulan dana guna membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Ditunjukan dengan masuknya pajak ke dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
2) Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur tau melaksanakan kebijakan pemerintah
dalam bidang ekonomi dan social. Yaitu pajak dimanfaatkan sebagai instrument
pengatur melalui kebijakan-kebijakan yang dapat mempengaruhi kehidupan
sosial dan ekonomi masyarakat, conrohnya untuk mempercepat laju
pertumbuhan ekonomi dan stabilisasi ekonomi.
2.1.3 Tarif Pajak
Terdapat 4 (empat) macam tarif pajak yang berlaku di Indonesia yaitu :
a) Tarif Sebanding/Proporsional
yaitu tarif pajak yang presentasenya tetap meskipun terjadi perubahan dasar
pengenaan pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
b) Tarif Tetap/Regresif
yaitu tarif pajak akan selalu tetap sesuai peraturan yang telah ditetapkan
c) Tarif Progresif
yaitu tarif pajak akan semakin naik sebanding dengan naiknya dasar pengenaan
pajak. Contoh Pajak Pengahsilan
d) Tarif Degresif
yaitu kenaikan persentase tarif pajak akan semakin rendah ketika dasar
pengenaan pajaknya semakin meningkat.
Tarif Pajak yang berlaku untuk Pajak Penghasilan di Indonesia adalah tarif
progressif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-undang Pajak
Penghasilan. Sedangkan untuk Pajak Pertambahan Nilai berlaku tarif pajak
proporsional yaitu 10%.
2.1.4 Pengelompokan Pajak
1) Menurut golongannya:
a) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib Pajak
dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh:
Pajak Penghasilan.
b) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.
2) Menurut sifatnya:
a) Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh:
Pajak Penghasilan.
b) Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
3) Menurut lembaga pemungutnya:
a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah,
Pajak Bumi dan Bangunann dan Bea Materai.
b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah DaeraH dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri
atas:
1) Pajak Provinsi: Pajak Kendaraan Bermotor dan Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor.
2) Pajak Kabupaten/Kota: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.
2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Waluto (2010;17) system pemungutan pajak dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Official Assessment System
Sistem ini merupakan system pemungutan Pajak yang memberikan wewenang
kepada Pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak.
Ciri-ciri Official Assessment System adalah sebagai berikut:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus.
b) Utang Pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
c) Wajib Pajak bersifat Pasif.
2. Self assessment System
Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang.
3. Withholding System
Sistem ini merupakan system pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak.
2.2 Tinjauan Umum Pajak Pertambahan Nilai
2.2.1 Pengertian PPN
Menurut Mardiasmo (2011:294) Undang-undang yang mengatur pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang-undang ini disebut Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai
dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa
Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN
termasuk jenis pajak tidak langsung, yang artinya pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak
(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar
oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa
Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor
Barang Kena Pajak. Sedangkan Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang
yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak. Mardiasmo (2011:294)
2.2.2 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Karakteristik PPN yang berlaku di Indonesia (Untung Sukardji, 2011:1) adalah
sebagai berikut:
1) Pajak Tidak Langsung
Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan ke pihak lain. Tanggung jawab
pembayaran pajak yang terutang berada pada pihak yang menyerahkan barang
atau jasa, sedangkan pihak yang menanggung beban pajak berada pada
penanggung pajak (pihak yang memikul beban pajak).
2) Pajak Objektif
Sebagai pajak objektif mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban
pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi
subjektif subjek pajak tidak relevan.
3) PPN Bersifat Multi Stage Levy
Multi Stage Levy mengandung pengertian bahwa PPN dikenakan pada setiap
mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak. Hal ini berarti PPN dikenakan berulang-ulang pada setiap mutasi BKP
atau JKP.
4) Perhitungan PPN Terutang untuk Dibayar ke Kas Negara Menggunakan
Indirect Subtraction Method
Indirect Subtraction Method (metode pengurangan secara tidak langsung), yaitu
dengan cara mengurangkan PPN yang dipungut oleh penjual atau pengusaha jasa
atas penyerahan barang atau jasa, dengan PPN yang dibayar kepada penjual atau
pengusaha jasa lain atas perolehan barang atau jasa.
5) PPN Bersifat Non Kumulatif
PPN tidak bersifat kumulatif (non kumulatif) meskipun memiliki karakteristik
Multi Stage Tax karena PPN mengenal adanya mekanisme pengkreditan Pajak
Masukan. Oleh karena itu, PPN yang dibayar bukan unsur dari harga pokok
barang atau jasa.
6) PPN Menganut Tarif Tunggal (Single Rate)
PPN di Indonesia menganut tarif tunggan yang dalam UU PPN 1984 ditetapkan
sebesar 10% untuk penyerahan dalam negeri dan 0% untuk penyerahan ekspor.
7) PPN Adalah Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri maka PPN hanya dikenakan atas
barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean Republik Indonesia.
Apabila barang atau jasa itu akan dikonsumsi di luar negeri, tidak dikenakan
PPN di Indonesia.
8) PPN yang Diterapkan di Indonesia Adalah PPN Tipe Konsumsi (Consumption
Type VAT)
Dilihat dari sisi perlakuan terhadap barang modal, PPN Indonesia termasuk tipe
konsumsi (consumption type VAT) artinya seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
perolehan barang modal dapat dikurangi dari dasar pengenaan pajak.
2.2.3 Barang Kena Pajak (BKP)
Pasal 1 angka 2 dan 3 UU PPN 1984 merumuskan sebagai berikut. “Barang Kena
Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat merupa barang
bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak
berdasarkan undang-undang ini.”
Pada dasarnya semua barang dikenai PPN, kecuali barang barang tertentu yang
disebutkan dalam UU PPN, barang yang tidak dikenai PPN sebagaimana disebutkan dalan
Pasal 4A ayat 2 UU PPN 1984 didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai
berikut:
1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya. Diambil langsung dari sumbernya artinya barang tersebut belum
diolah atau belum diproses. Sesuai dengan penjelasan pasal 4A ayat (2) UU PPN
1984 huruf a, yang dimaksud dengan barang hasil pertambangan dan hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya seperti:
a) Minyak mentah (crude oil);
b) Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat;
c) Panas bumi;
d) Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu
permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit,
granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat,
opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk,
tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras,
yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
e) Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f) Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak
serta bijih bauksit.
2) Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam hal ini, diatur dalam penjelasan
pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN 1984. Dalam Undang-Undang PPN ini dirinci
jenis barang kebutuhan pokok dimaksud yang meliputi:
a) Beras;
b) Gabah;
c) Jagung;
d) Sagu;
e) Kedelai;
f) Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g) Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain,
dan/atau direbus;
h) Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan, atau dikemas;
i) Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas;
j) Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui
proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas, dan;
k) Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,
dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat
maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa
boga atau catering; dan
4) Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya).
2.2.4 Jasa Kena Pajak (JKP)
Dalam Pasal 1 angka 5 UU PPN 1984 dirumuskan bahwa: “Jasa adalah setiap
kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hokum yang menyebabkan
suatu barang atau fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan.”
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh
Undang-Undang PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan PPN ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok sebagai berikut:
1) Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis, meliputi:
a) Jasa dokter umum,dokter spesialis, dan dokter gigi;
b) Jasa dokter hewan;
c) Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi dan fisioterapi;
d) Jasa kebidanan dan dukun bayi;
e) Jasa paramedis dan perawat;
f) Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan,
dan Sanatorium;
g) Jasa psikolog dan psikiater; dan
h) Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
2) Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
a) Jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo;
b) Jasa pemadam kebakaran;
c) Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
d) Jasa lembaga rehabilitasi;
e) Jasa penyedia rumah duka atau jasa pemakaman termasuk krematorium;
f) Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial
3) Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko, meliputi jasa pengiriman surat
dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti
perangko tempel.
4) Jasa keuangan meliputi:
a) Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu;
b) Jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada
pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun
dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
c) Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
sewa guna usaha dengan hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit, dan/atau
pembiayaan konsumen;
d) Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah
dan fidusia; dan
e) Jasa penjaminan
5) Jasa Asuransi, yaitu jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian,
asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen
asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
6) Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
a) Jasa pelayanan rumah ibadah;
b) Jasa pemberian khotbah atau dakwah;
c) Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan, dan;
d) Jasa lainnya di bidang keagamaan.
7) Jasa di bidang pendidikan,meliputi:
a) Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan
kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan
professional
b) Jasa penyelengaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus-kursus
8) Jasa di bidang kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan
oleh pekerja seni nyang telah dikenakan Pajak Tontonan.
9) Jasa di bidang penyiaran meliputi jasa penyiaran radio dan televisi baik yang
dilakukan oleh instansi Pemerintah maupn swasta yang bukan bersifat iklan dan
tidak dibiayai oleh sponsor yang bersetujuan komersial.
10) Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
11) Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
a) Jasa tenaga kerja;
b) Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja
tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut;
c) Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
12) Jasa di bidang perhotelan, meliputi:
a) Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel losmen, hostel serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap;
b) Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan hotel, rumah
penginapan, motel, losmen dan hotel.
13) Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pemberian Izin
Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak,pembuatan Kartu
Tanda Penduduk.
14) Jasa penyediaan tempat parkir, yaitu jasa penyediaan tempat parkir yang
dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna
tempat parkir dengan dipungut bayaran.
15) Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, yaitu jasa telepon umum
dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun swasta.
16) Jasa penerimaan uang dengan wesel pos.
17) Jasa boga atau catering.
2.2.5 Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
A. Objek PPN
1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha, dengan syarat-syarat berikut:
a) Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
b) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP yang tidak
berwujud.
c) Penyerahan dilakukan didalam Daerah Pabean, dan
d) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor BKP
Pemungutan pajak atas impor BKP dilakukan melalui Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai. Siapapun yang memasukkan BKP ke dalam Daerah Pabean
dikenakan pajak tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya ataukah tidak.
3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha. Syarat-syaratnya adalah:
a) Jasa yang diserahkan merupakan JKP;
b) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;
c) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4. Pemanfataan BKP tidak berwujud (hak paten, hak cipta, merk dagang,
waralaba) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean (jasa konsultan asing yang
memberikan jasa manajemen, jasa teknik, dan jasa lain) di dalam
Daerah Pabean.
6. Ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan
usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan orang lain.
8. Penyerahan BKP berupa aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula
aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Masukan
yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat
dikreditkan.
B. Subjek PPN
1) Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikreditkan pajak
berdasarkan Undang-undang PPN dan PPnBM, tidak termasuk
pengusaha kecil. Pengusaha dikatakan Pengusaha Kena Pajak apabila
melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran
bruto melebihi Rp. 4.800.000.000 (empat milyar delapan ratus juta
rupiah) dalam satu tahun.
2) Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP
Dalam Pasal 1 ayat (1) PMK Nomor 197/PMK.03/2013 tentang
perubahan atas PMK Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan
Pengusaha Kecil PPN “Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang
selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).”
Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP,
selanjutnya wajib melaksanakan kewajiban sebagaimana halnya PKP.
3) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud
dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean.
4) Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumahnya
sendiri dengan persyaratan tertentu. Adapun syarat-syarat yang
dimaksud adalah :
a. Luas bangunan lebih atau sama dengan 20 meter persegi
b. Bangunan diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat
usaha
c. Bangunan bersifat permanen
d. Tidak dibangun dalam lingkungan real estate, dan
e. Pembangunan dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan
atau pekerjaan oleh orang pribadi, yang hasilnya digunakan
sendiri oleh pihak lain
2.2.6 Pengertian Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di
Dalam Daerah Pabean
a. Jasa Kena Pajak tersebut diserahkan oleh orang pribadi atau badan yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah;
b. Pemberian Jasa Kena Pajak dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar
Daerah Pabean sepanjang kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak tersebut
tidak menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau
berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri;
c. Kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah
Pabean tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d. Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut
dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean.
2.2.7 Pemungut PPN
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau
instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau
instansi Pemerintah tersebut.
Yang termasuk sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan menjadi Wajib
Pungut (WAPU) PPN antara lain:
1) Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara;
2) Kontraktor kontrak kerja sama pengusahaan minyak dan gas bumi; dan
kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin pengusahaan sumber daya panas
bumi;
3) Badan Usaha Milik Negara. Wajib Pungut PPN melakukan pemungutan
PPN/PPnBM terhadap penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak
oleh rekanan kepada Wajib Pungut tersebut.
Rekanan adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP
kepada Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara,
Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin, atau Badan Usaha Milik Negara.
Pemungut PPN memiliki kewajiban-kewajiban sebagai konsekuensi penunjukan
sebagai pemungut PPN.
Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP (Nomor Pokok wajib Pajak).
2. Wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang
terutang.
2.2.8 Tarif PPN
Penghitungan PPN yang terutang atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar
Daerah Pabean adalah sebagai berikut:
a) 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau
seharusnya dibayarkan kepada pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak, jika
dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan tidak termasuk PPN;
b) 10/110 (sepuluh per seratus sepuluh) dikalikan dengan jumlah yang
dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang memanfaatkan Jasa
Kena Pajak, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan sudah
termasuk PPN;
c) Dalam hal tidak ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk
jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan atau ditemukan adanya
kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa
dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah termasuk PPN, maka PPN yang
terutang dihitung sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan jumlah yang
dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang memanfaatkan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
Saat terutangnya PPN atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean tersebut. Saat dimulainya pemanfaatan adalah saat yang diketahui terjadi
lebih dahulu dari peristiwa-¬peristiwa di bawah ini:
a. saat Jasa Kena Pajak tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang
memanfaatkannya;
b. saat harga perolehan Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang
oleh pihak yang memanfaatkannya;
c. saat harga jual dan/atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh
pihak yang menyerahkannya; atau
d. saat harga perolehan Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau
seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
2.2.9 Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari Luar Daerah Pabean
1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
2) PMK Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan BKP Tidak
Berwujud dan /atau JKP dari Luar Daerah Pabean.
3) Surat Edaran DJP Nomor : SE-147/Pj/2010 tentang Penjelasan Atas PMK
Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran
dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud
dan /atau JKP dari Luar Daerah Pabean.
2.3 Tata Cara Penyetoran PPN yang di Pungut
PPN yang terutang atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean wajib dipungut
dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan
menggunakan Surat Setoran Elektronik (SSE) paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
setelah saat terutangnya pajak.
2.3.1 Pengertian Surat Setoran Elektronik
Saat ini Wajib Pajak dapat lebih mudah dalam pemenuhan kewajiban perpajakan
dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas elektronik yang telah disediakan Direktorat
Jenderal Pajak. Salah satu fasilitas tersebut adalah e-Billing. Sistem pembayaran
elektronik (billing system) berbasis MPN-G2 yang memfasilitasi Wajib Pajak untuk
membayarkan pajaknya dengan lebih mudah, lebih cepat dan lebih akurat. E-Billing
ialah metode pembayaran pajak secara elektronik menggunakan Kode Billing. Kode
Billing sendiri adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui sistem Billing atas
suatu jenis pembayaran atau setoran pajak yang akan dilakukan Wajib Pajak.
2.3.2 Fungsi Surat Setoran Elektronik
Surat Setoran Elektronik merupakan salah satu sarana yang penting untuk
melakukan penyetoran kewajiban perpajakan, adapun fungsi dari Surat Setoran Pajak
antara lain:
1) Sarana untuk membayar pajak
2) Bukti dan laporan pembayaran pajak
2.3.3 Tempat Pembayaran/Penyetoran Pajak
Menurut Peraturan Menteri Keungan Nomor 40/PMK.03/2010 tempat pembayaran
maupun penyetoran pajak yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, yaitu:
1) Bank-bank yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak
2) Bank BUMN dan BUMD
3) Kantor Pos
4) Tempat pembayaran lain yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan
2.4 Tata Cara Pelaporan PPN yang Telah di Setor
a. Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), PPN yang telah disetor dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa PPN bulan terutangnya pajak dan dapat dilaporkan pada masa
pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa pajak yang
bersangkutan . SPT Masaa PPN tersebut diperlakukan sebagai laporan pemungut PPN atas
pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean.
b. Orang Pribadi maupun Badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan
PPN yang telah disetor dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan tersebut paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutang
pajak.
2.4.1 Pengertian SPT Masa PPN
SPT Masa PPN merupakan sebuah form yang digunakan oleh Wajib Pajak Badan
untuk melaporkan penghitungan jumlah pajak baik untuk melapor Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) maupun Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang terhutang. Fungsi dari SPT
Masa PPN selain untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, namun juga dapat
digunakan untuk melaporkan harta dan kewajiban serta penyetoran pajak dari pemotong
atau pemungut.
2.4.2 Kewajiban Melapor SPT Masa PPN
SPT Masa PPN harus dilapor walaupun tidak ada perubahan neraca, atau nilai
Rupiah pada masa pajak terkait nihil (0). Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), PPN yang
telah disetor dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN bulan terutangnya
pajak dan dapat dilaporkan pada masa pajak berikutnyabpaling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya masa pajak yang bersangkutan. SPT Masa PPN tersebut diperlakukan sebagai
laporan pemungut PPN atas pemanfaatan JK dari Luar Daerah Pabean.
SPT yang dilampirkan ialah:
1. SPT Induk (Form 1111)
2. SPT Lampiran
a) Form 1111AB
b) Form 1111A1
c) Form 1111A2
d) Form 1111B1
e) Form 1111B2
f) Form 1111B3
2.4.3 Sanksi Keterlambatan Melapor SPT Masa PPN
Keterlambatan penyampaian atau pelaporan SPT baik Masa maupun Tahunan akan
dikenakan sanksi administrasi berupa denda, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak
dalam memenuhi kewajiban menyampaikan SPT.
Didalam Undang-undang Perpajakan Pasal 7 Ayat 1 disebutkan besarnya denda
yang dikenakan atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN ialah sebesar Rp.
500.000-,