14
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KajianTeori 1. Hasil Belajar a. Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran. Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamanya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan (Slameto,2003). Sejalan dengan hal ini Sudjana (2005) menyatakan bahwa hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah perilaku seseorang yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik setelah seseorang mengalami proses belajar. Hasil belajar ini berfungsi sebagai umpan balik dalam upaya memperbaiki proses belajar mengajar. Tirtonegoro (2001) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam satu periode tertentu. Sejalan dengan hal tersebut Widyoko (2009) mengemukakan bahwa hasil belajar terkait dengan pengukuran, kemudian akan terjadi suatu penilaian dan menuju evaluasi baik menggunakan tes maupun non tes. Pengukuran, penilaian dan evaluasi bersifat hirarki. Evaluasi didahului dengan penilaian (assessment), sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran. Arikunto (2006) menyatakan bahwa hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai seseorang yang telah mengalami proses belajar dengan terlebih dahulu mengadakan evaluasi dari proses belajar yang dilakukan. Lebih lanjut lagi Velg dalam Aunurrahman (2011) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan seseorang adalah konstruksi atau bentukan seseorang itu sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan, tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Sejalan dengan hal itu Budiningsih (2012) mengemukakan bahwa secara konseptual proses belajar, dipandang dari pendekatan kognitif bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagi pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bertujuan untuk membentuk struktur kognitifnya. Jadi hasil yang diperoleh selama proses belajar adalah pembentukan kognitif. Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada seseorang setelah mengalami proses belajar. Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan bukti tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hasil belajar yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah hasil belajar kognitif matematika.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

6

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. KajianTeori 1. Hasil Belajar a. Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran. Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamanya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan (Slameto,2003). Sejalan dengan hal ini Sudjana (2005) menyatakan bahwa hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah perilaku seseorang yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik setelah seseorang mengalami proses belajar. Hasil belajar ini berfungsi sebagai umpan balik dalam upaya memperbaiki proses belajar mengajar.

Tirtonegoro (2001) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam satu periode tertentu. Sejalan dengan hal tersebut Widyoko (2009) mengemukakan bahwa hasil belajar terkait dengan pengukuran, kemudian akan terjadi suatu penilaian dan menuju evaluasi baik menggunakan tes maupun non tes. Pengukuran, penilaian dan evaluasi bersifat hirarki. Evaluasi didahului dengan penilaian (assessment), sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran.

Arikunto (2006) menyatakan bahwa hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai seseorang yang telah mengalami proses belajar dengan terlebih dahulu mengadakan evaluasi dari proses belajar yang dilakukan. Lebih lanjut lagi Velg dalam Aunurrahman (2011) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan seseorang adalah konstruksi atau bentukan seseorang itu sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan, tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Sejalan dengan hal itu Budiningsih (2012) mengemukakan bahwa secara konseptual proses belajar, dipandang dari pendekatan kognitif bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagi pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bertujuan untuk membentuk struktur kognitifnya. Jadi hasil yang diperoleh selama proses belajar adalah pembentukan kognitif.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada seseorang setelah mengalami proses belajar. Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan bukti tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hasil belajar yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah hasil belajar kognitif matematika.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

7

b. Ranah Hasil Belajar Benyamin Bloom dalam Purnomo (2013) mengemukakan bahwa secara garis

besar hasil belajar dibagi kedalam tiga ranah yaitu ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap), dan ranah psikomotorik (keterampilan). 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental dan otak. Dalam

ranah kognitif terdapat enam jenjang proses berpikir yaitu a) Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian kaidah, teori, prinsip, atau metode; b) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari; c) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru; d) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik; e) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru; f) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu.

2) Ranah Afektif adalah ranah yang mencakup sikap dan nilai yang terdiri dari lima aspek. Kelima aspek dimulai dari tingkat dasar atau sederhana sampai tingkat yang kompleks. Kelima aspek tersebut adalah a) reciving/attending(penerimaan); b) responding (jawaban); c) valuing (penilaian); d) organisasi; e) karakteristik nilai atau internalisasi nilai

3) Ranah Psikomotor adalah ranah yang mencakup bentuk keterampilan 9skill) dan kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan yaitu a) gerakan reflex yaitu keterampilan pada gerakan yang tidak sadar; b) keterampilan pada gerakan-gerakan dasar; c) kemampuan perceptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, auditif, motoris dan lain-lain; d) kemampuan dibidang fisik; e) gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks; f) kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresiif dan interpretative. Tohirin (2006) mengungkapkan bahwa seseorang yang berubah tingkat

kognitifnya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah pula sikap dan perilakunya.

c. Faktor-Faktor Hasil Belajar

Hasil belajar siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.Menurut Slameto (2003) ada dua faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar yaitu faktor interen dan faktor eksteren. 1) Faktor Interen (dari dalam diri) a) Faktor Jasmaniahterdiri dari faktor kesehatan dan faktor cacat tubuh. Sehat

berarti dalam keadaan baik segenap badan dan keseluruhan tubuh atau bersih dari penyakit.Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebebkan kurang baik atau

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

8

sempurna mengenai tubuhnya (buta, tuli, lumpuh, dll) sehingga harus belajar pada lembaga khusus.

b) Faktor Psikologis terdiri dari inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan.Inteligensi adalah kecakapan yang mempengaruhi kemajuan belajar.Perhatian adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi.Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Bakat adalah kemampuan untuk belajar, siswa yang berbakat pada bidangnya akan lebih mudah mempelajarinya. Motif adalah dorongan dalam belajar yang bisa membuat belajar itu berhasil. Kematangan adalah suatu tingkat dalam pertumbuhan seseorang sehingga belajarnya haurus disesuaikan dengan usia. Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi respon atau reaksi dalam belajar.

c) Faktor Kelelahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani.Kelelahan jasmani dapat dilihat dari lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh.Kelelahan rohani terlihat dari adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk mendapatkan sesuatu hilang.

2) Faktor Ekstern (dari luar diri) a) Faktor Keluarga terdiri dari cara orang tua mendidik, relasi antar anggota

keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan.

b) Faktor Sekolah yang mempengaruhi belajar mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di ata ukuran, keadaan gedung, metode belajar, tuga rumah.

c) Faktor Masyarakat juga mempengaruhi belajar karena keberadaan siswa dalam masyarakat, faktor tersebut terdiri dari kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. Pendapat lain dari Muhabbibin (2003) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang

dapat mempengaruhi hasil belajar siswa yaitu faktor internal, eksternal dan pendekatan belajar. 1) Faktor dari dalam yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar

yang berasal dari siswa. Faktor dari dalam (internal) meliputi dua aspek, fisiologi dan psikologis. a) Fisiologi, faktor ini meliputi kondisi jasmaniah secara umum dan kondisi panca indra; b) Kondisi psikologis, faktor ini meliputi kecerdasan, bakat, minat, motivasi, emosi dan kemampuan kognitif.

2) Faktor dari luar yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar siswa yang mempengaruhi proses dan hasil belajar. Faktor-faktor ini meliputi lingkungan sosial dan lingkungan non sosial. a) Lingkungan sosial yang dimaksud adalah manusia atau sesama manusia, baik manusia itu ada (kehadirannya) ataupun tidak langsung hadir. Dalam lingkungan sosial yang mempengaruhi belajar siswa ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu rumah, sekolah dan masyarakat.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

9

3) Lingkungan non sosial meliputi keadaan udara, waktu belajar, cuaca, lokasi gedung sekolah dan alat-alat pembelajaran. Menurut Aunurrahman (2011) faktor-faktor yang menjadi penghambat

tercapainya tujuan belajar adalah sebagai berikut. 1. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang mencakup

ciri khas/karakteristik siswa, sikap terhadap belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, mengolah bahan belajar, menggali hasil belajar, rasa percaya diri, kebiasaan belajar.

2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa yang mencakup faktor guru, lingkungan sosial (termasuk teman sebaya), kurikulum sekolah, sarana dan prasarana. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memperngaruhi hasil belajar

siswa adalah faktor intern yaitu dari dalam diri siswa dan faktor ekstern dari luar diri siswa. 2. Metakognisi a. Pengertian Metakognisi

Istilah metakognisi dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini telah cukup luas digunakan. Istilah metakognisi dalam bahasa inggris dinyatakan dengan metacognition yang berasal dari dua kata yaitu meta dan cognition. Meta berasal dari bahasa Yunani yang diterjemahkan dalam bahasa inggris sebagai after, beyond, adjacent yaitu sesuatu yang prefik dan digunakan untuk menunjukkan suatu abstraksi dari konsep. Sedangkan cognition berasal dari bahasa latin cognoscere, yang berarti mengetahui dan mengenal (Wikipedia dalam Purnomo, 2013).

Metakognisi merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976. Flavell dalam Purnomo (2013) mendefinisikan metakognisi sebagai kemampuan untuk memahami, memantau berpikir diri sendiri dan asumsi serta implikasi kegiatan seseorang. Pendapat ini lebih menekankan metakognisi sebagai kemampuan untuk memahami dan memantau kegiatan berpikir, sehingga proses metakognisi tiap-tiap orang akan berbeda menurut kemampuannya. Metakognisi menurut Flavell terdiri dari pengetahuan metakognisi dan pengalaman atau regulasi metakognisi. Pengetahuan metakognisi menunjuk pada diperolehnya pengetahuan tentang proses-proses kognitif, pengetahuan yang dapat dipakai untuk mengontrol proses kognitif. Sedangkan pengalaman metakognisi adalah proses-proses yang dapat diterapkan untuk mengontrol aktivitas-aktivitas kognitif dan mencapai tujuan-tujuan kognitif. Istilah metakognisi yang diperkenalkan oleh Flavell ini menimbulkan banyak perdebatan. Arti metakognisi tidak selalu sama didalam berbagai bidang penelitian psikologi, begitu juga tidak bisa diterapkan pada satu bidang psikologi saja. Ketidakkonsistenan ini muncul karena para peneliti mendefinisikannya sesuai dengan bidang penelitiannya (Theresia, 2011).

Nur dalam Romli (2013) mendefinisikan bahwa metakognisi berhubungan dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat, metakognisi memiliki

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

10

dua komponen yaitu a) pengetahuan tentang kognisi, dan b) mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif.

Livingstone dalam Purnomo (2013) mendefinisikan metakognisi sebagai thinking about thinking atau berpikir tentang berpikir. Metakognisi, menurut tokoh tersebut adalah kemampuan berpikir di mana yang menjadi objek berpikirnya adalah proses berpikir yang terjadi pada diri sendiri. Weinert dan Kluwe dalam Maulana (2008) menyatakan bahwa metakognisi adalah second-order cognition yang memiliki arti berpikir tentang berpikir, pengetahuan tentang pengetahuan, atau refleksi tentang tindakan-tindakan. Menurut Sofan (2010), metakognitif adalah kesadaran berpikir tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Suherman et.al. dalam Didin (2011), metakognitif adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya.

Biryukov dalam Murni (2010) secara lebih rinci mengemukakan bahwa konsep metakognisi merupakan dugaan pemikiran seseorang tentang pemikirannya yang meliputi pengetahuan metakognitif (kesadaran seseorang tentang apa yang diketahuinya), keterampilan metakognitif (kesadaran seseorang tentang apa yang dilakukannya), pengalaman metakognitif (kesadaran seseorang tentang kemampuan kognitif yang dimilikinya). Taccasu Project dalam Purnomo (2013) mendiskripsikan metakognisi sebagai kemampuan seseorang dalam belajar, yang mencakup bagaimana sebaiknya belajar dilakukan, apa yang sudah dan belum diketahui, yang terdiri dari tiga tahapan yaitu perencaan mengenai apa yang harus dipelajari, bagaimana, kapan mempelajari, pemantauan terhadap proses belajar yang sedang dia lakukan, serta evaluasi terhadap apa yang telah direncanakan, dilakukan, serta hasil dari proses tersebut.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ahli diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa metakognisi adalah pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya sendiri atau pengetahuan seseorang tentang kognisinya serta kemampuan dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognisinya dalam belajar dan berpikir.

b. Perkembangan Metakognisi

Penelitian Flavel dalam Didin (2011) tentang metakognisi menunjukkan bahwa anak-anak yang masih kecil telah menyadari adanya pikiran, memiliki keterkaitan dengan dunia fisik, terpisah dari dunia fisik, dapat menggambarkan objek-objek dan peristiwa-peristiwa secara akurat atau tidak akurat, dan secara aktif menginterpretasi tentang realitas dan emosi yang dialami. Anak-anak usia 3 tahun telah mampu memahami bahwa pikiran adalah peristiwa mental internal yang menyenangkan, yang referensial (merujuk pada peristiwa-peristiwa nyata atau khayalan), dan yang unik bagi manusia. Anak-anak usia 3 tahun juga sudah dapat membedakan pikiran dengan pengetahuan.

Wellman dan Gelman dalam Desmita (2006) menunjukkan bahwa pemahaman anak tentang pikiran manusia tumbuh secara ekstensif sejak tahun-tahun pertama

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

11

kehidupannya. Kemudian pada usia 3 tahun anak menunjukkan suatu pemahaman bahwa kepercayaan-kepercayaan dan keinginan-keinginan internal dari seseorang berkaitan dengan tindakan-tindakan orang tersebut. Secara lebih rinci kemajuan pikiran anak usia 3 tahun ditunjukkan dalam empat tipe pemahaman yang menjadi dasar bagi pikiran teoritis mereka, yaitu : (1) memahami bahwa pikiran terpisah dari objek-objek lain; (2) memahami bahwa pikiran menghasilkan keinginan dan kepercayaan; (3) memahami tentang bagaimana tipe-tpe keadaan mental yang berbeda-beda berhubungan; dan (4) memahami bahwa pikiran diguunakan untuk menggambarkan realitas eksternal.

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan metakognisi telah berkembang sejak masa anak-anak awal dan terus berlanjut sampai usia sekolah dasar dan seterusnya mencapai bentuknya yang lebih mapan. Pada usia sekolah dasar sejalan dengan tuntutan kemampuan kognitif yang harus dikuasai oleh anak/siswa, mereka dituntut pula untuk dapat menggunakan dan mengatur kognitif mereka. Metakognitif banyak digunakan dalam situasi pembelajaran, seperti dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah matematika, membaca buku, serta dalam melakukan kegiatan drama atau bermain peran.

Kemampuan metakognisi anak tidak muncul dengan sendirinya, tetapi memerlukan latihan sehingga menjadi kebiasaan. Suherman dalam Didin (2011) menyatakan bahwa perkembangan metakognisi dapat diupayakan melalui cara dimana anak dituntut untuk mengobservasi tentang apa yang mereka ketahui dan kerjakan, dan untuk merefleksi tentang apa yang dia obeservasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi guru atau pendidik (termasuk orang tua) untuk mengembangkan kemampuan metakognitif baik melalui pembelajaran ataupuan mengembangkan kebiasaan di rumah.

c. Komponen (Indikator) Metakognisi

Anderson dan Krathwohl dalam Romli (2013) mengemukakan tiga aspek dari pengetahuan metakognisi, yaitu: 1) pengetahuan strategi (strategic knowledge), 2) pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, termasuk pengetahuan kontekstual dan kondisional, dan 3) pengetahuan diri ( self-knowledge)

Desoete dalam Syaiful (2011) membagi metakognisi menjadi tiga komponen pada pembelajaran matematika yaitu: 1) pengetahuan metakognisi; 2) keterampilan metakognisi; dan 3) kepercayaan metakognisi.

Indikator-Indikator metakognisi menurut Hacker dalam Romli (2013) tergambar dari pengertian metakognisi yang dikemukakannya, bahwa metakognisi adalah proses berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari berpikir dalam pengertian ini adalah: kesadaran tentang apa yang seseorang ketahui (pengetahuan metakognisi), apa yang dilakukan seseorang ( keterampilan metakognisi), dan bagaimana keadaan kognitif dan afektif seseorang (pengalaman metakognisi).

Huitt dalam Murni (2010) mengemukakan bahwa metakognisi mencakup kemampuan seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

12

berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: (a) Apa yang saya ketahui tentang materi, topik, atau masalah ini?; (b) Tahukah saya apa yang dibutuhkan untuk mengetahuinya?; (c) Tahukah saya dimana dapat memperoleh informasi atau pengetahuan; (d) Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya?; (e) Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk mempelajrinya?; (f) Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat?; (g) Akankah saya tahu jika saya mempelajarinya secara cepat?; (h) Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat sesuatu?

Lebih spesifik Schoenfeld dalam Laurens (2011) mengemukakan tiga cara untuk menjelaskan tentang metakognisi dalam pembelajaran matematika, yaitu: 1) keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang disiapkan untuk memecahkan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk memecahkan masalah matematika; 2) pengetahuan tentang proses berpikir menyangkut seberapa akuratnya seseorang dalam menggambar proses berpikirnya; dan 3) kesadaran-diri (regulasi-diri) menyangkut seberapa baiknya seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukan ketika memecahkan masalah dan seberapa baiknya seseorang menggunakan input dari pengamatan untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas pemecahan masalah.

Dari beberapa pendapat para pakar di atas bahwa komponen-komponen metakognisi meliputi antara lain: (a) pengetahuan seseorang tentang strategi-strategi kognitif serta bagaimana mengatur dan mengontrol strategi-strategi tersebut dalam belajar, berpikir, dan memecahkan masalah, dan (b) pengetahuan-diri dan bagaimana memilih serta menggunakan strategi belajar, berpikir, dan pemecahan masalah yang sesuai dengan keadaan dirinya.

d. Strategi Meningkatkan Kemampuan Metakognisi Siswa

Aspek-aspek metakognisi dapat dikembangkan dengan penggunaan strategi metakognisi. Strategi metakognisi adalah suatu cara yang dapat digunakan untuk mengaktifkan dan meningkatkan metakognisi seseorang. Penilaian terhadap kemampuan metakognisi seseorang dapat dilakukan selama aktivitas pembelajaran berlangsung dengan mendengarkan pembicaraan siswa selama berdiskusi atau merevieu jurnal yang dibuat berkaitan dengan pembelajaran.

Akhsanul (2009) mengemukakan bahwa dalam penggunaan pendekatan metakognisi diperlukan adanya strategi dalam implementasinya, antara lain sebagai berikut: 1) Identifikasi apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui

Pada awal belajar siswa menuliskan tentang apa yang diketahui dari materi yang akan dipelajari dan apa yang ingin dipelajari secara sadar.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

13

2) Pembicaraan tentang berpikir Pembicaraan tentang berpikir diperlukan untuk kosa kata berpikir. Dalam situasi perencanaan dan pemecahan masalah, guru hendaknya berfikir keras agar para siswa dapat mengikuti proses berpikir yang dicontohkan.

3) Membuat perencanaan Siswa diajarkan cara merencanakan aktivitas belajar termasuk cara memperkirakan waktu, mengorganisasikan materi dan menjadwal prosedur yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu aktivitas.

4) Membuat jurnal berpikir Jurnal adalah buku harian yang oleh siswa bias digunakan untuk mereflaksikan berpikirnya, mencatat kesadaranya dan komentarnya terhadap cara yang digunakan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan. Jurnal merupakan buku harian tentang proses.

5) Tanya-jawab tentang proses berpikir Aktivitas penutup memusatkan pembahasan yang dilakukan para siswa pada situasi belajar yang lain. Ada suatu metode yang berisi tiga langkah.Pertama, guru menuntun siswa meninjau aktivitasnya, dengan mengumpulkan data tentang perasaan dan proses berfikir. Kemudian, kelompok mengklasifikasikan ide‐ide terkait, dengan mengidentifikasi strategi‐strategi berpikir yang digunakan.Terakhir, mereka mengevaluasi keberhasilannya, dengan membuang strategi‐strategi yang tidak cocok, mengidentifikasi strategi‐strategi yang kelak bisa digunakan dan mencari pendekatan pendekatan alternatif yang menjanjikan.

6) Evaluasi diri Pengalaman evaluasi diri terarah bisa diperkenalkan melalui pertemuan individu dan daftar periksa yang dipusatkan pada proses berfikir. Secara bertahap diberlakukan evaluasi diri secara lebih mandiri. Ketika para siswa mengenali bahwa aktivitas berlajar dalam disiplin‐disiplin ilmu yang berbeda itu ternyata mirip satu sama lain, mereka mulai menstransfer strategi‐strategi belajar ke situasi‐situasi baru.

Menurut Amri (2010) ada 3 strategi metakognisi yang dapat dikembangkan untuk meraih kesuksesan belajar siswa, diantaranya: 1) Tahap proses sadar belajar

Pada tahap proses sadar belajar di antaranya meliputi proses untuk menetapkan tujuan belajar, mempertimbangkan sumber belajar yang akan dan dapat diakses (contoh: menggunakan buku teks, mencari buku sumber di perpustakaan, mengakses internet). 2) Tahap merencanakan belajar

Tahap ini meliputi proses memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas belajar, merencanakan waktu belajar dalam bentuk jadwal serta menentukan skala prioritas dalam belajar, mengorganisasikan materi pelajaran.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

14

3) Tahap monitoring dan refleksi belajar Tahap ini meliputi proses merefleksikan proses belajar, memantau proses

belajar melalui pertanyaan. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah jurnal harian untuk mencatat setiap

pengalaman belajar yang dilakukan, sebab dapat membantu siswa dalam menerjemahkan setiap pikiran dan sikap mereka dalam berbagai bentuk, melihat kembali persepsi awal tentang sesuatu dan membandingkannya dengan keputusan yang baru dibuat.

Menurut Taccasu dalam Murni (2010) strategi yang dapat dilakukan guru dalam mengembangkan metakognisi siswa melalui kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Membantu siswa dalam mengembangkan strategi belajarnya dengan cara; a)

mendorong siswa untuk memonitor proses belajar dan berpikirnya; b) membimbing siswa dalam mengembangkan strategi-strategi belajar yang efektif; c) meminta siswa untuk membuat prediksi tentang informasi yang akan muncul/disajikan berdasarkkan apa yang telah mereka baca/pelajari; d) membimbing siswa untuk mengembangkan kebiasaan bertanya; e) menunjukkan kepada siswa bagaimana teknik mentransfer pengetahuan, sikap, niali, ketrampilan, dari situasi ke situasi yang lain.

2) Membimbing siswa dalam mengembangkan kebiasaan yang baik dengan cara: a) Pengembangan kebiasaan mengelola diri.

Hal ini meliputi: mengidentifikasi gaya belajar yang paling cocok untuk diri sendiri, memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar, memanfaatkan lingkungan belajar secara variatif.

b) Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir positif. Hal ini meliputi: meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri, mengidentifikasi tujuan belajar dan menikmati aktivitas belajar.

c) Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir hierarkis. Hal ini meliputi: membuat keputusan dan memecahkan masalah, memadukan dan menciptakan hubungan-hubungan konsep-konsep yang baru.

d) Mengembangkan kebiasaan bertanya. Hal ini meliputi: mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep utama dan bukti-bukti pendukung, membangkitkan minat dan motivasi, memusatkan perhatian dan daya ingat.

Blakey dan Spence dalam Romli (2013) menyatakan bahwa untuk mengembangkan perilaku metakognitif dapat dilakukan dengan enam strategi yaitu: (1) Mengidentifikasikan “apa yang anda tahu” dan “apa yang anda tidak tahu.” Mengawali suatu aktivitas, siswa perlu membuat keputusan yang disadari tentang pengetahuannya. Pertama-pertama siswa menulis: “apa yang sudah saya ketahui tentang …,” dan “apa yang ingin saya pelajari tentang ….” ; (2) Menyuarakan pikirannya (Talking about thinking); (3) Dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah, guru seharusnya menyuarakan pikirannya sehingga siswa

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

15

dapat mengikuti pendemonstrasian proses berpikir tersebut; (4) Mengumpulkan pemikirannya dalam bentuk jurnal Jurnal atau catatan harian merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan metakognisi siswa. Hal ini dikarenakab melalui jurnal siswa dapat merefleksikan pemikiran mereka dalam bentuk catatan tentang kesadaran terhadap ketidak konsistenan dan kebingungan mereka serta mengomentari bagaimana mereka peduli dengan kesulitan yang dihadapi; (5) Perencanaan dan Pengaturan Diri Sendiri (Self Regulation) Siswa sebaiknya meningkatkan tanggungjawabnya dalam merencanakan dan mengatur pembelajarannya sendiri; (6) Melaporkan kembali proses berpikir tersebut (debriefing the thinking process). Aktivis terakhir dalam mendiskusikan proses berpikir adalah untuk mengembangkan kesadaran terhadap strategi-strategi yang dapat diaplikasikan dalam situasi pembelajaran yang lain; dan (7). Mengevaluasi diri (Self Evaluation). Proses evaluasi diri dapat diperkenalkan melalui pertemuan-pertemuan individual dan daftar pertanyaan yang berpusat pada proses berpikir.

e. Metakognisi dalam Pembelajaran

Metakognitif memungkinkan seseorang menjadi pembelajar yang berhasil, dan hal ini berkaitan dengan kecerdasan. Metakognisi mengacu pada berpikir tataran tinggi yang melibatkan pengendalian aktif atas proses kognitif yang dilakukan dalam kegiatan belajar. Aktivitas seperti merencanakan bagaimana mendekati suatu tugas tertentu, memonitor pemahaman dan mengevaluasi kemajuan penyelesaian suatu tugas pada hakikatnya merupakan aktivitas metakognitif (Akhsanul, 2009).

Sejalan dengan hal ini Muhfida dalam Darma (2012) menyatakan bahwa metakognisi bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh kembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas serta mampu merencanakan, mengontrol dan merefleksi segala aktivitas berpikir yang telah dilakukan. Hal ini akan membuat siswa dapat mengetahui dan menyadari kekurangan maupun kelebihan diri mereka sendiri.

Proses pembelajaran matematika harus dapat melibatkan proses dan aktivitas berpikir siswa secara aktif sehingga dalam pembelajaran antara melakukan (doing) dan berpikir (thingking) menjadi seimbang (Murni, 2010). Jadi pembelajaran tidak hanya memberikan pada penekanan pada pencapaian tujuan kognitif tetapi juga harus memperhatikan dimensi proses kognitif, khususnya pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif. Penggunaan proses metakognitif selama pembelajaran, akan membantu siswa agar mampu memperoleh pembelajaran yang bertahan lama dalam ingatan dan pemehahaman siswa (Darma, 2012).

Pembelajaran dengan metakognisi adalah kesadaran berpikir siswa dalam mengetahui bagaimana untuk belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang dimiliki, dan mengetahui strategi belajar terbaik untuk belajar efektif. Metakognisi berhubungan dengan pengetahuan siswa tentang cara berpikir mereka

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

16

sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat (Sofan, 2010).

Pembelajaran dengan pendekatan metakognisi didefinisikan sebagai pembelajaran yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol tentang apa yang mereka ketahui, apa yang diperlukan untuk mengerjakan, dan bagaimana melakukannya (Suzana dalam Maulana, 2004). Sejalan dengan itu Nindiasari dalam Murni (2010) menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognituf sangat penting untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam mempelajari strategi kognitif (bertanya pada diri sendiri, memperluas aplikasi-aplikasi tersebut, dan mendapatkan pengendalian kesadaran atas diri mereka).

Menurut Elawar dalam Hepsi (2004), pembelajaran metakognitif dapat diupayakan melalui tiga tahap:

1. Tahap pertama diskusi awal (Introductory discussion) Guru memberikan contoh pada siswa bagaimana menyelesaikan soal dan diulangi oleh siswa pertanyaan apa yang harus ditanyakan pada diri mereka sendiri dalam menyelesaikan soal

2. Tahap kedua kerja sendiri/individu (Independent work) Siswa bekerja sendiri, guru berkeliling kelas, memberikan pengaruh timbale balik (feedback) secara individual

3. Tahap ketiga penyimpulan Penyimpulan yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan di kelas.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan metakognisi adalah pembelajaran yang menanamkan tentang kesadaran berpikir siswa untuk mengetahui cara belajar (merancang, memonitor,dan memonitor) terbaiknya agar selama pembelajaran siswa dapat melakukan dan berpikir secara seimbang sehingga pembelajaran dapat bertahan lama dalam ingatan siswa.

f. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Pembelajaran dengan Pendekatan

Metakognisi Menurut Maulana (2008) faktor-faktor pendukung dan penghambat

terlaksananya pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif adalah 1) Faktor-faktor pendukung terlaksananya pembelajaran dengan menggunakan

pendekatan metakognitif antara lain: a) Kerja sama dan bantuan dari pengampu mata pelajaran yang bertindak sebagai

observer dan teman diskusi dalam menyelesaikan setiap kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran.

b) Keterlibatan siswa secara aktif untuk dapat mengikuti pembelajaran dengan baik

2) Faktor-faktor penghambat terlaksananya pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif antara lain:

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

17

a) Waktu yang tersedia relatif sedikit untuk melakukan pengembangan-pengembangn dalam pembelajaran.

b) Kesulitan dalam membuat soal-soal latihan pada lembar kerja siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa secara baik.

c) Kesulitan dalam membuat kelompok diskusi dengan anggota kelompok yang beragam tingkat kemampuannya, sehingga diharapkan dalam masing-masing kelompok terjadi kegiatan diskusi kelompok yang produktif.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang terkait dengan pendekatan metakognitif diantaranya penelitian Khonis Arifah yang berjudul “Efektivitas Pendekatan Keterampilan Metakognitif dengan Index Card Match Terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Pokok Himpunan Pada Peserta Didik Kelas VII MTs Qodiriyah Harjowinangun Dempet Demak Pada Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012”. Skripsi, Semarang, Program Strata 1 Jurusan Tadris matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pendekatan keterampilan metakognitif dengan index card match efektif terhadap hasil belajar matematikamateri pokok himpunan kelas VII MTs Qodiriyah Harjowinangun Dempet Demak pada semester genap tahun pelajaran 2011/2012. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan data yang diperoleh rata-rata nilai tes akhir kelas eksperimen = 80.5 dan kelompok kontrol = 65.125, sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan keterampilan metakognitif dengan index card match efektif terhadap hasil belajar matematika materi pokok himpunan.

Penelitian lain dari Hepsi (2004) yang berjudul “Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematik Siswa SMU ditinjau dari Perkembangan kognitif Siswa” menghasilkan: (1) Tidak adanya perbedaan kemampuan pemahaman matematik akhir pada kelas konkret-eksperiment dan konkret-kontrol, sebab kelompok konkret eksperimen hanya memperoleh skor rata-rata 25 (56,82%) dan s=4,49 sedangkan kelompok konkret kontrol memperoleh skor rata-rata 20,69 (47,04%) dan s=8,69. Hal ini menunjukkan perbedaan skor rata-rata yang hanya sedikit yaitu 4,31 jadi pembelajaran metakognitif kurang dapat berperan dalam pembelajaran di kelas konkret; (2) pemahaman matematik kelompok transisi eksperimen dengan transisi kontrol terdapat perbedaan signifikan, dimana pemahaman matematik kelompok transisi eksperimen lebih baik daripada kelompok transisi kontrol. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan skor rata-rata kelompok transisi eksperimen yaitu 30,76 (69,83%) dan s=1,92 sedangkan kelompok transisi kontrol memperoleh nilai rata-rata 26,25 (59,66%) dan s=5. Lebih baiknya kemampuan pemahaman matematik pada kelompok transisi eksperimen menunjukan bahwa pembelajaran metakognitif lebih berperan dibandingkan dengan pembelajaran biasa; (3) pada kelompok formal eksperimen kemampuan pemahaman matematik akhir lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematik akhir pada kelompok formal kontrol. Hal ini

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

18

ditunjukkan dengan diperolehnya skor rata-rata pada kelompok formal eksperimen yaitu 36,20 (81,68%) dan s=3,88 lebih baik daripada kelompok formal control yang memperoleh skor rata-rata 29,43 (62,60%) dan s=1,30. Hal ini menunjukkan pula bahwa pembelajaran metakognitif lebih berperan dibandingkan pembelajaran biasa.

Penelitian dari Maulana yang berjudul “Pendekatan Metakognitif Sebagai Alternatif Pembelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa PGSD” menunjukkan bahwa: (1) kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang belajar dengan pendekatan metakognitif berada dalam kategori baik, sedangkan mahasiswa yang belajar secara konvensional memiliki kemampuan berpikir kritis yang tergolong sedang. Mahasiswa pada kelompok eksperimen yang memiliki kemampuan akhir berpikir kritis matematik pada kategori cukup adalah 49%, kategori baik sebanyak 47%, dan 4% dengan kategori sangat baik; (2) berdasarkan perhitungan gain normal (Meltzer, peningkatan kemampuan berpikir kritis untuk subkelompok tinggi adalah 65,41%, subkelompok sedang 59,82%, dan subkelompok rendah mengalami peningkatan sebesar 56,05% terhadap skor pretesnya. Dengan kata lain, setiap subkelompok mengalami peningkatan kemampuan berpikir kritis yang tergolong sedang. Dari hasil perhitungan statistik diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara subkelompok rendah, subkelompok sedang, dan subkelompok tinggi pada kelompok mahasiswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif. Dengan kata lain, pendekatan metakognitif secara signifikan memiliki efektivitas yang sama dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa subkelompok manapun. (3)secara umum pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif membuat mahasiswa lebih aktif selama kegiatan pembelajaran berlangsung, mahasiswa mendapat kesempatan yang lebih banyak dalam mengeksplorasi materi bersama dosen maupun teman-temannya melalui kegiatan diskusi. Sikap positif mahasiswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif tercermin dari sebanyak 89% dari 45 mahasiswa menyatakan persetujuannya bahwa pendekatan matekognitif dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam belajar matematika. Kemudian diketahui pula sebanyak 74,5% mahasiswa merasa bahwa pendekatan metakognitif yang mereka ikuti dapat mengurangi kecemasan belajar matematika, 80% mahasiswa menyatakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif membuat mereka lebih berani dalam bertanya dan menjawab pertanyaan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, para peneliti telah menggunakan pendekatan metakognisi pada tingkat SMP kelas VII dengan berbantuan index card match, SMA untuk melihat koneksi matematika siswa, dan tingkat Mahasiswa untuk melihat taraf berpikir kritis. Kelebihan dari penelitian ini adalah dilakukan di SMP kelas VIII untuk melihat hasil belajar siswa, peneliti memilih SMP kelas VIII karena dalam pembelajaran di kelas matematika, siswa masih kurang memiliki kesadaran diri terhadap pelajaran maupun pembelajaran

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1. - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5615/3/T1_202010046_BAB II.pdf · 1) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

19

yang berlangsung. Walaupun terdapat penelitian sebelumnya yang menggunakan pelajaran matematika, peneliti di sini mengutamakan sejauh mana pengaruh pembelajaran dengan pendekatan metakognisi.

C. Kerangka Berpikir Penelitian

Pembelajaran adalah proses belajar yang digunakan untuk mengembangkan kreativitas berpikir guna meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.

Kualitas suatu pembelajaran dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Proses pembelajaran akan menjadi lebih bermakna ketika pendekatan yang digunakan dapat menanamkan kesadaran bagaimana merancang, mengontrol/memonitor, dan merefleksi belajarnya serta dapat menggali tentang apa yang diketahui, apa yang diperlukan siswa sehingga dapat membuat siswa lebih aktif dan sadar untuk memahami kemampuannya.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan adalah pembelajaran metakognisi. Pembelajaran dengan pendekatan metakognisi dapat melatih kesadaran berpikir siswa untuk mengetahui cara belajar (merancang, memonitor,dan memonitor) terbaiknya, agar selama pembelajaran siswa dapat melakukan dan berpikir secara seimbang sehingga pembelajaran dapat bertahan lama dalam ingatan siswa.

Siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan metakognisi akan lebih mudah dalam memahami materi karena mereka sudah secara sadar mengetahui tentang keadaan dirinya. Jadi siswa akan dapat mengantisipasi kelemahan-kelemahannya. Hal ini akan menjadikan hasil belajar siswa menjadi lebih optimal dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

Berdasarkan pemikiran di atas, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah

terdapat pengaruh eksperimentasi pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognisi terhadap hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Banyubiru Kabupaten Semarang Tahun Ajaran 2013/2014.

Pendekatan Metakognisi Hasil Belajar

Gambar 1 Paradigma Penelitian