Upload
doliem
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoretis
1. Perkembangan Sastra di Masyarakat
Sastra dalam masyarakat bagaikan makhluk hidup, karena dapat
hidup berkembang atau mati. Berbicara tentang perkembangan sastra
tentunya tidak akan sama dengan perkembangan manusia. Sastra bisa
berarti karya tulis atau karya yang berujud tulisan (KBBI1994:882).
Menurut Teeuw (1988: 22-23) dalam Ratna (2013: 408) bahwa secara
etimologis sastra berasal dari kata (sas+tra), bahasa
Sansekerta,‟sas‟(mengarahkan, mengajar, member petunjuk), „tra‟(alat).
Jadi, sastra alat untuk mengajar. Dalam bahasa-bahasa Barat (cf. Wellek
dan Warren, 1962:20) dalam Ratna (2013: 408), literature dengan berbagai
variannya pada umumnya didifinisikan sebagai segala sesuatu yang
tertulis. Dalam perkembangan berikut sastra memiliki dua pengertian,
pertama, hasil karya, sebagai karya seni, kedua, keseluruhan hasil karya,
baik sebagai karya seni maupun ilmu yang meliputi sejarah dan kritik.
Sebagai karya sastra, sebagai genre utama terdiri atas: puisi, prosa,
dan drama. Medium utama (sistem model pertama) adalah bahasa, sastra
merupakan system model kedua (Lotmann dalam Fokkema dan Kunne-
Ibsch, 1977:42) dalam Ratna (2013: 408). Khazanah sastra dibedakan
menjadi sastra lisan dan tulisan, lama dan modern, daerah dan nasional,
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
9
popular dan serius. Sebagai kajian dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: a)
teori, b) sejarah, dan c) kritik. Analisis pada umumnya meliputi aspek
intrinsik dan ekstrinsik (Wellek dan Warren, 1962) dalam Ratna (2013:
408). Fenomena tradisi lisan meliputi banyak genre aktivitas lisan, seperti
pertunjukan sastra lisan, pidato atau pertuturan adat, cerita lisan, mantera,
dan lagu-lagu permainan anak-anak. (Amir 2013: 142).
Perkembangan sastra Indonesia khususnya sejarah sastra Indonesia
dikenal adanya perkembangan dari masa ke masa atau biasa di kenal
dengan sebutan periodisasi sejarah sastra Indonesia. Periodesasi tersebut
meliputi: masa kelahiran atau masa penjadian (kurang lebih 1900-1945)
yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu: periode awal
hingga 1933, periode 1933-1942, periode 1942-1945. Masa berikutnya
adalah masa perkembangan (1945 hingga sekarang) yang lebih lanjut
dapat pula dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut: periode 1945-
1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi
1991:11).
Dalam kelahirannya perkembangan karya sastra Indonesia atau
karya seni tulis di Indonesia diawali dengan adanya karya seni lisan atau di
kenal dengan cerita lisan. Cerita lisan ini ada yang berlatar fakta dan ada
juga yang fiktif, seperti kemunculan cerita babad dan dongeng. Seiring
adanya kemajuan peradaban ada upaya pembukuan atau upaya untuk
mentranslit dari bentuk lisan kedalam bentuk tulis. Upaya ini sejalan
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
10
dengan kemunculan karya sastra asli yaitu karya seni tulis dalam latar
fiktif.
2. Cerita Rakyat atau Folklor
Cerita rakyat atau di kenal dengan FOLKLOR menurut beberapa
ahli ada persamaannya seperti: Folklor (FOLKLOR) diturunkan dari
bahasa Inggeris dari akar kata folk (rakyat atau bangsa) dan lore (adat
istiadat). Jadi FOLKLOR meliputi semua tradisi rakyat, seperti:
kepercayaan, adat istiadat, peribahasa, dongeng, dan mitos. (Ratna
2012:143). Sementara itu penelusuran melalui bahasa Jerman oleh
Bouman (1992:29-30) dalam Ratna (2012:143) bahwa (volkskunde),
pertamakali digunakan oleh William John Thomas (1846). Secara luas
diartikan sebagai kebiasaan sehari-hari suatu komunitas, baik dalam
bentuk pikiran dan perasaan, interaksi sosial, maupun benda-benda keras.
Aktivitas pertama pertama (pikiran dan perasaan ) menghasilkan karya
sastra lisan, sedangkan aktivitas yang kedua (interaksi sosial dan benda-
benda keras) menghasilkan tradisi lisan. (Ratna 2012:143).
Brunvand (Hutomo, 1991: 8) dalam (Ratna 2012:143)
membedakan FOLKLOR menjadi tiga macam, yaitu: a) FOLKLOR lisan,
b) setengah lisan, dan c) FOLKLOR nonlisan. Ong (1982) dalam (Ratna
2012:143) menyebutkan seluruh aktivitas yang tak tertulis ini sebagai
kelisanan (orality) yang dipertentangkan dengan keberaksaraan (literacy).
Secara akademis sastra lisan merupakan wilayah kajian sastra dan
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
11
linguistic, tradisi lisan merupakan wilayah antropologi dan kajian budaya.
Sebagai disiplin yang baru antropologi sastra seolah-olah memberikan
perhatian yang seimbang terhadap sastra lisan dan tradisi lisan. (Ratna
2012:143).
Berbicara tentang Folklor tidak bisa lepas daricerita lisan. James
Dananjaya (dalam Amir, 2013: 162) menjelaskan sejarah istilah
kebudayaan dan foklor. Sementara itu Amier (2013 :163) folklor lisan
adalah Folklor yang hanya mewujud secara lisan dalam masyarakat
pemiliknya, seperti puisi rakyat, gelar tradisional, peribahasa. Folklor
sebagian lisan adalah Folklor yang wujudnya gabungan antara lisan
dengan tindakan.
Berdasarkan hal yang melatarbelakangi bahwa Folklor terbangun
oleh banyak komponen seperti: kepercayaan, adat istiadat, kebiasaan,
mitos, peribahasa, dongeng, tradisi fisik, pekerjaan, tradisi lisan,
bahasa,pekerjaan, adat dan lain-lain maka dapatlah ditarik simpulan bahwa
Folklor dapat dipandang dari dua sudut berbeda. Pertama Folklor
dipandang dari sisi makro dan Folklor dipandang dari sisi mikro. Folklor
ditinjau dari skala makro karena bersifat kompleks, seiring dengan adat,
pembiasaan. Folklor ditinjau dari skala mikro karena berorientasi pada satu
titik tumpu seperti cerita lisan.
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
12
3. Fungsi Cerita rakyat
Folklor atau cerita rakyat memiliki banyak fungsi diantaranya
adalah untuk penenangan jiwa. Seperti yang diungkap oleh (Endaswara
2008 : 202) bahwa folklor pada dasarnya adalah ekspresi jiwa manusia.
Apapun alasannya Folklor adalah karya kreatif. Baik berupa Folklor lisan,
setengah lisan, dan nonlisan adalah kreatifitas jiwa. Oleh sebab itu, sudah
sepantasnya analisisnya adalah kejiwaan. Demikian juga gagasan Freud
dalam karya (Eagleton , 2006:281) dalam Endaswara (2008 : 204) berjudul
buku The Psychopatholgy of Everiday Life, tampak bahwa psikoanalisis
memang cukup berperan. Psikoanalisis mampu mengungkap dinamika
kenikmatan dan ketidaksenangan hidup. Dua perasaan ini saling
bertaberakan dalam jiwa manusia. Keduanya saling berebut kemenangan,
hingga bisa meletus dalam ekspresi folklor.
Tak jauh berbeda dari dua pendapat diatas adalah pendapat atau teori
Kritis Mazhab Frankfurt (Toar, 2005:220-201) dalam Endaswara (2008 :
208) bahwa dalam diri manusia berupaya untuk mengintegrasikan konsep-
konsep kritis dari Freud mengenai gangguan psikis dan naluri ke dalam
kritik idiologi Marx. Sebagai seorang psikolog, Freud menangani pasien
yang mengalami gangguan kejiwaan.
Dilihat dari sisi pendukungnya folklor mempunyai beberapa fungsi.
Menurut Wiliam R. Borton melalui Danandjaja (1991 : 19) fungsi folklor
ada empat yaitu:
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
13
a. Sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai pencerminan angan-angan suatu
kolektif.
b. Alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
c. Alat pendidik anak.
d. Alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu
dipatuhi anggota kolektifnya.
Melihat dari fungsi Folklor sebagai alat legitimasi, keselamatan,
pendidikan, pengontrol norma kehidupan, berfungsi rekreatif. Termasuk
didalamnya ada cerita atau Folklor cerita pelipur lara. Maka ada
kecenderungan bahwa Folklor atau cerita lisan cenderung berdampak
psikologis seiring dengan amanat atau pesan-pesan moral yang ada
didalamnya.
4. Perkembangan Folklor di Indonesia
Studi mengenai folklor belum lama berkembang di Indonesia.
Banyak definisi mengenai folklor yang disampaikan oleh para ahli salah
satunya adalah yang disampaikan oleh James Danandjaja (1984:2) yang
menyatakan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan yang kolektif yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja,
secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dalam gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (mnemonic device).
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
14
Secara umum perkembangan penelitian Folklor di Indonesia tak
begitu maju seiring anggapan bahwa Folklor termasuk kajian yang unik
dan pelik. Meski demikian muncul juga ahli Folklor di Indonesia meski
hanya sedikit. Profesi peneliti Folklor di Indonesia sering berganti-ganti,
bolak-balik dan hamper tidak terarah. Selama ini hanya Folkloris
Danandjaya (1994:9-13) dan Hutomo (1993-48) dalam (Endaswara 2009:
57) telah memaparkan perjalanan folkloris Indonesia. Dananjaya berusaha
melukiskan kerja penelitian Folklor dari anekaragam disiplin. Adapun
Hutomo, lebih mengaitkan penelitian Folklor lebih historis. Kedua
folkloris ini, memang memiliki dedikasi terhadap Folklor yang amat
tinggi.
Seiring itu muncul generasi baru yang menulis teori penulisan
penelitian Folklor. Sepertihalnya Suwardi Endaswara melalui bukunya
„Metodologi Penelitian Folklor Konsep, Teori, dan Aplikasi tahun 2009’.
Menurut Endaswara ada tiga motifasi penelitian Folklor yaitu: (1) hendak
melestarikan atau mendokumentasikan, (2) menggali nilai-nilai Folklor
agar dimanfaatkan hasilnya sedikit demi sedikit, (3) menemukan identitas
bangsa lewat pluralitas folklor. (Endaswara 2009:17).
Selain para peneliti nasional pada awal perkembangannya sudah
ada penelitian Folklor Folklor di Indonesia, pada masa lampau. Seperti
pendapat Endaswara (2009:57) Mereka meneropong folklor dari disiplin-
disiplin filologi, musikologi, antropologi budaya, teologi, (para misionaris
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
15
Katolik roma Folklor upun Zending Protestan) , pegawai pamong praja
Kolonial Belanda, dan sebagainya. Nama-nama sarjana filologi antara lain
G.A.J. Hazeu, J.Kats,H Kern, R.M. Ng Poerbatjaraka, Tjan Tjoe Siem,
suami istri C. dan J.Hooykaas, dan Th.Pigeaud. Sarjana-sarjana yang lain:
Brandts Buys (Van Zijp) Colin Mc Phee, B.J.O Schrieke, Gregory
Bateson, James Peacock, P.J. Zoetmulder, Roelof Gooris, N. Adriani, I
Made Bandem, Walter Spies.
Sejak masa penjajahan Folklor di Indonesia sudah diteliti. Para
peneliti berlatar belakang beragam. Secara umum peneliti mengambil
sudut pandang dari disiplin ilmu masing-masing. Seiring dengan
perubahan zaman muncul pula ahli-ahli Folklor Indonesia. Secara umum
mereka adalah akademisi. Dalam hal ini muncul pula peneliti-peneliti
baru, atau peneliti muda atau para mahasiswa, seiring dengan studinya,
meraka melakukan penelitian ilmiah. Ujud penelitiannya adalah membuat
karya ilmiah dengan sudut Folklor Folklor. Jadi dapat ditarik simpulan
seiring dengan majunya peradaban Folklor atau cerita lisan lama, tetap
menarik untuk diteliti, dikaji, dipelajari. Untuk diambil nilai-nilai
manfaatnya.
5. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Membaca merupakan salah aktifitas dalam bersastra. Karena salah
satu cara menikmati karya sastra adalah dengan membaca. Berbicara
tentang bahan bacaan tentunya tidak adil bila tidak melibatkan Folklor
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
16
Folklor. Melalui adanya materi membaca novel remaja karya terjemahan
pada pelajaran Bahasa Indoneia kelas VIII, Kurikulum 2006, satu sisi
menunjukkan minimnya perbendaharaan novel remaja nasional. Hal ini
menunjukkan betapa kering kemampuan generasi Indonesia untuk
memproduksi novel remaja.
Kekeringan ide atau terbatasnya penulis cerita di Indonesia tak
lepas dari mereka tidak begitu mengenal Folklor atau cerita lisan dimasa
kecilnya. Lewat perbendaharaan cerita yang dimiliki dapat menumbuhkan
kemampuan berimajinasi, kemampuan membaca, dan kemampuan
berkreatifitas bagi generasi muda. Terlebih mampu mengangkat relung
makna yang ada dalam Folklor. Seperti halnya pendapat Prof. Dr. Nyoman
Kutha Ratna, SU. Dalam bukunya Peranan Karya Sastra, Seni, dan
Budaya dalam Pendidikan Karakter (2014). Beliau berpendapat: Dominasi
usia ini jelas bahwa generasi muda memiliki tanggungjawab, baik dalam
mendidik dan mendewasakan diri maupun fungsi dan tugasnya terhadap
masyarakat. Mendewasakan diri, maturasi psikologis berarti berkewajiban
menuntut ilmu setinggi-tingginya, bukan semata-mata demi kepentingan
diri sendiri, keluarga, dan kelompok tertentu, bukan juga demi pangkat dan
jabatan, melainkan bagi kepentingan orang banyak, bangsa dan Negara
secara keseluruhan. (Ratna 2014 : 120).
Sehubungan dengan pemaparan di atas sambutan Wakil Presiden
Indonesia Budiono pada saat pembukaan rapat Revitalisasi Pramuka untuk
Membangun Karakterbangsa 16 Juni 2010. Menurut Yudoyono
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
17
(Kemendiknas RI, 2010:6) lima isu penting dalam pendidikan karakter ,
yaitu (1) hubungan pendidik dengan watak karakter , (2) hubungan
pendidikan dengan kesiapan seseorang pasca pendidikan, (3) hubungan
pendidikan dengan lapangan pekerjaan, (4) bagaimana membangun
masyarakat berpengetahuan, dan (5) bagaimana membangun budaya
inovasi. (Ratna 2014 : 127).
Dari permasalahan diatas adanya tuntutan untuk berkreatifitas dan
berinovasi. Melalui karya sastra, seni dan budaya, yang terkaji dari dalam
FOLKLOR. Diharapkan muncullah sebuah karya baru. Karya baru sebagai
ujud inovasi dapat berupa penjabaran dari nilai-nilai luhur budaya bangsa
yang berakar dari FOLKLOR. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya
pemunculan kembali dongeng klasik, memunculkan cerita-cerita lisan
yang belum ditulis atau dibukukan. Melalui pemunculan barang lama,
tetapi baru akan mampu membawa pengaruh, perubahan dalam memotifasi
masyarakat dalam berkarya
Jadi untuk menjawab pelemahan pengajaran sastra di sekolah perlu
dibangun kepercayaan baru bagi generasi baru agar mau mendengar atau
menyimak, membaca atau mengapresiasi, dan dalam finalnya, mampu
memproduksi karya tulis. Generasi baru perlu contoh agar mereka tahu.
Misal dimunculkan prosa dari akar cerita Folklor. Dapat pula dimunculkan
puisi yang berasal dari geguritan. Dapat pula dimunculkan drama yang
mengangkat dari cerita kethoprak atau ludruk. Mensikapi permasalahan
ini perlu pendewasaan diri bagi komponen terkait dari khasanah bangsa ini
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
18
untuk memfasilitasi ,memberikan kesempatan, memberikan contoh pada
generasi baru. Agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai pemilik bangsa.
a. Tinjauan Unsur Agama Dunia
Agama pada dasarnya merupakan pedoman hidup bagi orang
yang meyakininya. Meskipun demikian keyakinan seseorang tidak bisa
dipaksakan untuk orang lain. Agama memiliki banyak unsur termasuk
didalamnya adalah maknanya. Agama dapat di artikan sebagai bentuk
pelarangan atau anjuran yang sebaiknya ditaati. Masyarakat awam ada
yang meyakini adanya bentuk mistik. atau hal yang berkebalikan. Hal
ini bisa terjadi tergantung bagaimana masyarakat sendiri yang menilai.
Agama merupakan sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa
dsb) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan itu (Ali, 1994:10).
Penelitian ini melibatkan unsur agama sebagai salah satu
kajiannya. Agama dapat berarti tatanan hidup. Perlu diketahui agama
yang ada dalam kajian penelitian ini adalah agama dunia. Sementara
agama dunia tidak sama dengan agama langit. Pemahaman agama
dunia disini dapat diyakini sebagai kesepakatan bersama yang
mengantarkan keselarasan dalam harmonisasi kehidupan. Sedangkan
Agama langit dapat diambil pengertian adalah agama pembawa aturan
yang berasal dari zat yang Maha Esa Allah SWT. melalui perantara
malaikat dan nabi atau rosulnya.
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
19
Unsur agama bumi meliputi keyakinan, akhlak, perjuangan,
dan ibadah. Disamping itu unsur ini tak lepas dari mistik. Legenda
Nyi Bagelen berkembang di Tanah Jawa. Legenda ini mengandung
unsur mistik. Sementara diyakini “Mistik Kejawen” sebagai agama
bagi sebagian orang Jawa. Ada yang meyakini secara puritan bahwa
mistik kejawen adalah milik manusia Jawa yang telah ada sebelum ada
pengaruh lain. (Endaswara, 2014: 73)
b. Tinjauan Unsur Pendidikan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan. (Ali, 1994:232) Ada juga yang
memberi pengertian bahwa pendidikan adalah pengajaran yang
dilakukan di sekolah. Dapat juga dimaknai bahwa pendidikan adalah
semua pengalaman belajar yang dialami dalam semua lingkungan
sepanjang hidupnya. Setelah hakikat pendidikan dapat dipahami perlu
juga dikenalkan hahekat pendidikan berbasis tertentu.
Hakikat pendidikan berbasis moral dapat dipahami sebagai
bentuk, tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan
memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya)
insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan Kamil). (Takdir,
2012 :25) Dalam hal ini tak dapat dipisahkan antara pendidilk
jasmaniah dan rohaniah. Hal senada dapat diungkap bahwa pendidikan
moral adalah suatu peristiwa antar pribadi. Pertemuan antar pribadi
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
20
hanya berjalan baik kalau “sama-sama bebas” dan saling menghormati.
Komunikasi hanya dapat berlangsung baik apabila kedua subjek-objek
komunikasi itu berdiri pada posisi yang sama. Bila posisinya tidak
seimbang, maka kadar kebenaran dan kebermaknaan yang
dikomunikasikannya serta kepekatan komunikasi pribadi menjadi
ternodai. ( Darmadi 2009: 11) Demikian juga pendapat ( Zuriah 2015:
19) dikatakan bahwa pendidikan nilai-nilai adalah Pengembangan
pribadi siswa tentang pola keyakinan yang terdapat dalam sistem
keyakinan suatu masyarakat tentang hal yang baik harus dilakukan dan
hal yang buruk harus ditinggalkan.
Kajian mengenai cerita Nyi Bagelen tak akan lepas dari sosok
pelaku utamanya. Dia adalah seorang wanita. Nyi Bagelen sebagai
peran utama tak lepas dari dominasi kekuasaan. Bagaimana sebenarnya
pendidikan untuk perempuan. Keterdidikan perempuan sebagai
pendukung peran sebagai Ibu. Hal ini dapat diungkap. Disamping
berperan sebagai ibu rumah tangga dan istri, perempuan yang telah
menikah dan memiliki anak akan berperan sebagai ibu dengan tugas
merawat dan mendidik anak-anaknya. ( Wiyatmi 2013:127 )
Dari beberapa pandangan tentang pendidikan, dapatlah ditarik
sebuah jawaban. Bahwa pendidikan pada dasarnya adalah sebuah
pembiasaan yang terstruktur, didalamnya ada muatan-muatan positif
yang mengarah pada bentuk produktifitas yang terencana dan terukur.
Hal yang terukur dan terencana merupakan bentuk aktifitas yang
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
21
melibatkan, logika dan emosi yang saling melengkapi, tanpa ada
dominasi sepihak.
c. Tinjauan Unsur Sosial
Sosial dapat dimaknai sebagai bentuk, berkenaan dengan
masyarakat, perlu adanya komunikasi atau suka memperhatikan
kepentingan umum ,suka menolong, menderma. ( Ali 1994: 958)
Pendidikaan senantiasa mempunyai dua sasaran, yaitu pengajaran dan
pelatihan perilaku yang baik. Konsepsi mengenai perilaku yang baik
bervariasi sesuai dengan lembaga politik dan tradisi sosial dari
komunitas. (Russell 1993: 39) Sosial dapat dimaknai sebagai hal yang
berkaitan dengan orang banyak tanpa adanya tendensi mencari
keuntungan material semata.
Berdasarkan tiga unsur yaitu agama, pendidikan, dan sosial
yang ada pada kajian folklore Nyi Bagelen tak ubahnya sebagai tiga
satuan yang menjadi satu. Mengapa ini bisa terjadi? Pertama yang
harus dingat adalah masalah sosial, Masalah ini pasti berkaitan dengan
orang banyak. Sedangkan setiap orang punya kepentingan sendiri-
sendiri, yang perlu diselaraskan dengan kepentingan orang lain. Dalam
hal ini diupayakan agar tidak terjadi konflik kepentingan. Konflik
kepentingan bisa terjadi apabila permasalahan sosial saling tumpang
tindih, maka dalam hal ini diperlukanlah norma atau aturan hidup,
dalam hal ini sebut sajalah agama. Agama merupakan lem perekat
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
22
hubungan dengan sesamanya. Koridor disini mengacu agama sebagai
agama bumi yang mengatur harmonisasi di bumi.
Agar situasi sosial kondusif maka peranan agama mutlak
dibutuhkan. Agar Masyarakat mengenal, tahu, dan mengamalkan maka
perlulah wadah untuk mensosialisasikan. Wadah tersebut adalah
pendidikan atau bisa dijabarkan dalam bentuk lebih luas dalam praktik
dilapangan berupa pengenalan, pembiasaan, dan pengamalan.
B. Asumsi Dasar
Cerita rakyat atau Folklor adalah cerita yang muncul di tengah
masyarakat secara turun temurun yang biasanya diceritakan karena
mengandung pesan atau nilai-nilai. Melalui pembelajaran sastra di sekolah
peserta didik akan mendapatkan masukan, sebagai pembanding dari realita
yang terdapat dalam masyarakat. Misalnya melalui prosa atau cerpen dapat
ditampilkan latar yang menggambarkan kehidupan masyarakat kita yang
santun dan bersahaja. Apabila dalam realita peserta didik melihat “Ternyata
masyarakat kita kurang santun.” Maka logika peserta didik ditantang untuk
menjawab, mana pilihan yang ter baik untuk dirinya.
Folklor yang dikemas dan ditampilkan ulang dihadapan peserta didik
adalah sebuah konsep atau tawaran yang menggiring masyarakat dewasa agar
peduli dan ada rasa tanggunggjawab lebih dalam upaya bersama untuk
meningkatkan harkat martabat bangsa. Apabila tidak ada pembelajaran sastra
di sekolah yang mengambil dari besik kepribadian diri, maka tak dapat
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017
23
dibayangkan bagaimana jati diri bangsa ini sebenarnya. Karena masyarakat
akan mudah diombang-ambingkan dengan situasi dan mudah dimanfaatkan
oleh pihak-pihak tertentu yang berpola pikir sepihak.
Untuk itu perlu ada kepedulian yang serius, bagaimana mengangkat
akar budaya sendiri, agar kita punya kepribadian, punya pijakan yang jelas,
dan tahu akan melangkah kemana selanjutnya. Melalui Folklor yang
ditampilkan dalam kemasan khusus generasi baru akan merasa tertantang,
tidak merasa bosan atau jenuh. Apabila ini bisa terjadi dinamika pendidikan
akan marak, penuh geliat dan torehan yang dalam. Untuk mengukir peradaban
baru yang berakar dari kepribadian yang sebenarnya.
Apabila pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah benar-
benar mengakar, dan terakar dari akar budaya sendiri. Maka akan tercipta
fondamen yang begitu kokoh, yaitu kepribadian. Kepribadian yang berruhkan
pada sari pati bangsa, maka kehidupan yang ada akan terasa marak dan penuh
dinamika, semangat patriotisme, semangat kebersamaan. Semua dilandasi
pada satu tujuan yaitu peningkatan harkat dan martabat bangsa.
Mengingat penilitian ini merupakan tawaran sebuah konsep, maka
langkah apakah yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang sebenarnya dari
keberadaan bangsa ini. Tak lain dan tak bukan, kita harus berani menoleh
kebelakang atas kebodohan dan kealpaan dimasa lalu. Kita rapatkan barisan
untuk Nusantara Indonesia yang satu.
Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017