Upload
haquynh
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Bab ini memuat uraian sistematis teori-teori yang mendukung penelitian.
Teori-teori tersebut yang akan digunakan dalam membangun rumusan hipotesis
sebagai acuan dalam memecahkan masalah penelitian. Bab ini memaparkan landasan
teori, pembahasan hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan rumusan hipotesis
penelitian.
2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)
Teori Agensi merupakan konsep yang menjelaskan hubungan antara agen
(manajemen suatu usaha) dan prinsipal (pemilik usaha). Agen melakukan tugas-tugas
tertentu yang diperuntukkan bagi prinsipal dan prinsipal bertugas untuk memberi
imbalan pada agen (Hendriksen dan Breda, 1992). Jensen dan Meckling (1976)
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai kontrak antara satu orang atau lebih
(pemberi kerja atau prinsipal) untuk melakukan sejumlah jasa dan memberikan
wewenang dalam pengambilan keputusan kepada pihak lain (agen). Jika kedua belah
pihak terlibat dalam suatu kontrak yang berusaha untuk memaksimalkan utilitas
mereka, maka terdapat kemungkinan agen tidak selalu bertindak untuk kepentingan
terbaik prinsipal. Teori agensi menyatakan bahwa antara manajer (agen) dan
pemegang saham (prinsipal) terjadi asimetri informasi yang disebabkan karena
manajer (agen) lebih mengetahui prospek perusahaan di masa depan dan informasi
16
internal perusahaan dibandingkan dengan pemegang saham dan stakeholder lainnya
(Kurniasih dan Maria, 2013).
Perusahaan akan menghasilkan laba yang cukup signifikan apabila manajer
mengelola perusahaan dengan baik. Pengelolaan perusahaan yang baik akan
menyebabkan tanggung jawab yang besar kepada manajer karena laba yang
dihasilkan akan dilaporkan ke pemilik untuk mengetahui kinerja dari manajer
perusahaan. Tanggung jawab yang besar membuat manajer menginginkan adanya
imbalan yang besar pula, sehingga manajer memiliki dua kepentingan yang berbeda
yaitu, kepentingan untuk mengoptimalkan keuntungan bagi perusahaan tersebut dan
kepentingan dalam memegang tanggung jawab yang besar sehingga manajer
mendapatkan imbalan yang besar juga yaitu kepentingan untuk dirinya sendiri.
Masalah yang terjadi antara manajemen dan pemilik modal menyebabkan
munculnya biaya (Meilinda, 2013). Biaya-biaya tersebut dinamakan biaya keagenan
(agency cost) yang meliputi monitoring cost, bonding costs, dan residual losses
(Jensen dan Meckling, 1976).
1) Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh prinsipal untuk
memonitoring perilaku agen yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol
perilaku agen.
2) Bonding cost adalah biaya yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan
mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen bertindak untuk kepentingan
prinsipal.
17
3) Residual losses merupakan kerugian yang timbul yang diterima prinsipal atas
keputusan agen yang tidak optimal.
Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi
sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self
interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality), (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse).
Berdasarkan sifat dasar manusia tersebut, manajer akan cenderung berperilaku
opportunistic yaitu mensejahterakan dirinya. Tindakan tersebut merupakan tindakan
untuk mendapatkan keuntungan dari hasil pencapaian pengelolaan suatu perusahaan.
Tujuan dari teori agensi ini adalah untuk meningkatkan kemampuan individu
baik prinsipal maupun agen dalam mengevaluasi lingkungan dimana keputusan harus
diambil (the belief revision role). Tujuan dari teori agensi lainnya yaitu untuk
mengevaluasi hasil dari keputusan yang telah diambil guna mempermudah dalam
memperoleh hasil di antara prinsipal dan agen sesuai dengan kontrak kerja (the
performance evaluation role).
Teori agensi menyebabkan timbulnya asimetri informasi antara agen
(manajer) dan prinsipal (pemegang saham). Rahmawati (2008) menyatakan bahwa
laporan keuangan yang disampaikan kepada stakeholder dapat meminimumkan
asimetri informasi yang terjadi. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa laporan
keuangan adalah sarana komunikasi dan informasi keuangan kepada pihak luar
perusahaan.
18
2.1.2 Pengertian Pajak
Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang
perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo (2013:1),
mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra Prestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum. Pajak menurut P. J. A. Andriani dalam Waluyo, (2009:2) adalah iuran
masyarakat kepada Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak
mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan berguna untuk
membiayai pengeluaran – pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas
Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Disimpulkan bahwa pajak adalah
iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh orang pribadi atau
badan menurut undang-undang dan tidak mendapatkan prestasi-prestasi kembali yang
secara langsung dapat ditunjuk.
19
Unsur-unsur yang melekat dalam definisi pajak diatas yaitu (Mardiasmo,
2013:1).
1) Iuran Rakyat Kepada Negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang.
2) Berdasarkan Undang-Undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
3) Tanpa ada jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk, yang berarti bahwa dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan
adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang diperuntukkan dan bermanfaat bagi negara.
Menurut Siahaan (2010:107) secara umum terdapat tiga tahapan yang akan
dilaksanakan wajib pajak yang dikenakan pajak. Tahapan pertama yakni berusaha
untuk menghindari pajak baik secara legal maupun tidak legal. Tahapan kedua adalah
mengurangi beban pajak semaksimal mungkin baik secara legal maupun tidak legal.
Tahapan ketiga yaitu jika kedua tahapan sebelumnya tidak dapat dilakukan, maka
wajib pajak akan membayar pajak yang telah terutang.
20
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang mempunyai dua fungsi
(Mardiasmo 2013:1), yaitu.
1) Fungsi anggaran (budgetair) sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk
membiayai pengeluaran – pengeluarannya.
2) Fungsi mengatur (regulerend) sebagai alat pengatur atau melaksanakan
pemerintahan dalam bidang sosial ekonomi.
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga sistem (Mardiasmo,
2013:7), yaitu sebagai berikut.
1) Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak.
2) Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi
wewenang sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
3) Withholding System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
21
Walby (2010) membagi tarif pajak menjadi empat macam yaitu.
1) Tarif Pajak Statutori (Statutory Tax Rate) adalah tarif pajak yang secara legal
berlaku dan ditetapkan oleh otoritas perpajakan.
2) Tarif Pajak Rata-Rata (Average Tax Rate) adalah rasio jumlah pajak yang harus
dibayarkan terhadap jumlah penghasilan kena pajak. Perbedaan tarif pajak
statutori dengan tarif pajak rata-rata ketika tarif pajak statutori memiliki tarif
pajak yang bertingkat, pada saat itu tarif pajak rata-rata akan lebih rendah dari
tarif pajak statutori.
3) Tarif Pajak Marginal (Marginal Tax Ratio) adalah tarif pajak yang dikenakan atas
sisa penghasilan kena pajak setelah dikenakan dengan tarif pajak sebelumnya.
4) Tarif Pajak Efektif (Effective Tax Rate) adalah tarif pajak aktual yang harus
dibayarkan oleh perusahaan dibandingkan dengan laba yang dihasilkan
perusahaan.
2.1.3 Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Tax Planning adalah salah catu cara yang bisa dilakukan oleh wajib pajak
dengan cara yang legal karena penghematan pajak tersebut dilakukan dengan cara
tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Menurut Zain (2008:43), tax
planning adalah usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak untuk meminimumkan
utang pajaknya. Utang pajak yang dimaksud adalah pajak penghasilan maupun pajak-
pajak lainnya, sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
22
Perencanaan pajak merupakan suatu kapasitas yang dimiliki oleh wajib pajak
untuk menyusun aktivitas keuangan guna mendapat beban pajak yang minimal
(Ompusunggu, 2011). Menurut Susans dalam Erly Suandi (2011) perencanaan pajak
merupakan tahap awal dalam manajemen pajak dimana pada tahap ini dilakukan
pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan dengan maksud dapat
diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Disimpulkan bahwa
perencanaan pajak merupakan suatu tindakan penghematan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak secara legal untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayar.
Indikator suatu perusahaan melakukan tax planning menurut Suandi (2011) yakni.
1) Tidak melanggar ketentuan perpajakan. Sesuai dengan konsep tax avoidance,
perencanaan pajak ini memanfaatkan peraturan perpajakan dengan tidak
melanggar aturan yang ada di dalamnya. Bila suatu perencanaan pajak melanggar
undang-undang perpajakan akan menyebabkan ketidakberhasilan perencanaan
pajak tersebut.
2) Secara bisnis perencanaan pajak merupakan aktivitas yang wajar karena tidak
terpisahkan dari perencanaan menyeluruh perusahaan. Perencanaan pajak yang
tidak masuk akal justru akan memperlemah perencanaan pajak itu sendiri.
23
Beberapa cara yang umumnya dilakukan oleh Wajib Pajak untuk
meminimalkan pajak yang harus dibayar menurut Lumbantoruan dalam Gloritho
(2010), yaitu.
1) Pergeseran pajak, adalah memindahkan atau mentransfer beban pajak yang
dilakukan dari wajib pajak kepada pihak lain sehingga orang atau badan yang
dikenakan pajak sangat dimungkinkan untuk tidak menanggungnya.
2) Kapitalisasi, adalah pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak
yang akan dibayarkan kemudian oleh pihak pembeli.
3) Transformasi, adalah cara pengelakan pajak yang dilakukan oleh pabrikan dengan
cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya.
4) Tax evasion, adalah penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak namun
melanggar ketentuan peraturan perpajakan.
5) Tax avoidance, adalah penghindaran pajak dengan tidak melanggar atau
mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku.
2.1.4 Tax Avoidance
Suandy (2008:7) dalam Jaya dkk (2014) menyebutkan bahwa penghindaran
pajak merupakam rekayasa “tax affairs” yang masih berada dalam lingkup ketentuan
perpajakan (lawful). Hary Graham Better dan Ernest R. Mortenson (Zain: 2008: 49)
memaparkan pengertian penghindaran pajak sebagai kegiatan yang berkenaan dengan
pengaturan suatu peristiwa yang dilakukan oleh wajib pajak (berhasil maupun tidak)
yang bertujuan untuk mengurangi atau menghapus utang pajak yang dimiliki
24
perusahaan. Menurut Sri Hutami (2010) tax avoidance adalah suatu skema transaksi
yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-
kelamahan ketentuan perpajakan suatu negara sehingga ahli pajak mengatakan hal
tersebut legal karena tidak melanggar undang-undang perpajakan. Pengertian serupa
dari Heru (1997) memaparkan tax avoidance adalah usaha pengurangan pajak, namun
tetap mematuhi ketentuan perpajakan seperti memanfaatkan pengecualian dan
potongan yang diperkenankan maupun menunda pajak yang belum diatur dalam
peraturan perpajakan. Tax avoidance memang tidak melanggar ketentuan perpajakan
namun disisi lain wajib pajak mengurangi jumlah pajak terutangnya dan praktik ini
tidak selalu dapat dilaksanakan karena wajib pajak tidak dapat menghindari semua
unsur atau fakta yang dapat dikenakan dalam perpajakan.
Menurut komite urusan fiskal dari Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD) dalam Suandy (2008:7) menyebutkan bahwa karakteristik
dari penghindaran pajak mencakup tiga hal, yaitu.
1) Adanya unsur artifisial, maksudnya adalah berbagai pengaturan seolah-olah
terdapat di dalamnya padahal tidak, hal ini dilakukan karena tidak adanya faktor
pajak.
2) Skema semacam ini sering memanfaatkan loopholes dari undang-undang atau
menerapkan ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan hal tersebut
yang sebenarnya dimaksudkan oleh pembuat undang-undang.
3) Kerahasiaan juga sebagai bentuk dari skema ini dimana umumnya para konsultan
menunjukkan alat atau cara yang dilakukan untuk aktivitas penghindaran pajak
25
dengan syarat wajib pajak menjaga rahasia sebaik mungkin (Council of Executive
Secretaries of Tax Organizations, 1991).
Menurut Merks (2007) cara yang biasanya dilakukan dalam tax avoidance
adalah.
1) Memindahkan subjek pajak dan/atau objek pajak ke negara-negara yang
memberikan perlakuan pajak khusus atau keringanan pajak (tax haven country).
2) Usaha penghindaran pajak dengan mempertahankan substansi ekonomi dari
transaksi melalui pemilihan formal yang memberikan beban pajak yang rendah
(formal tax planning).
3) Ketentuan Anti Avoidance atas transaksi transfer pricing, thin capitalization,
treaty shopping, dan controlled foreign corporation (specific anti avoidance
rule), serta transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis (General Anti
Avoidance Rule).
Hanlon dan Heitzman (2010) memaparkan bahwa pengukuran adanya
penghindaran pajak dapat menggunakan banyak proksi yang bervariasi. Salah satu
pengukuran yang dapat membuktikan ada atau tidaknya praktik tax avoidance yaitu
cash effective tax rates. Pengukuran tersebut merujuk pada penelitian yang dilakukan
oleh Dyreng et al. (2010), yaitu kas yang dikeluarkan untuk biaya pajak dibagi
dengan laba sebelum pajak.
26
2.1.5 Ukuran Perusahaan
Machfoedz (1994) dalam Suwito dan Herawati (2005) menyatakan bahwa
ukuran perusahaan merupakan suatu skala yang dapat mengelompokkan perusahaan
menjadi perusahaan besar dan kecil menurut berbagai cara seperti contoh, ukuran
perusahaan bisa kita lihat melalui total aset perusahaan yang dimiliki, nilai pasar
saham, rata-rata tingkat penjualan, dan jumlah penjualan. Pengertian serupa tentang
ukuran perusahaan menurut Riyanto (2008:313) adalah besar kecilnya perusahaan
dilihat dari besarnya nilai equity, nilai penjualan maupun nilai aset. Ukuran
perusahaan menurut Scott dalam Torang (2012:93) adalah suatu variabel konteks
yang mengukur tuntutan pelayanan atau produk perusahaan. Menurut Malleret
(2008:233) ukuran perusahaan adalah seperangkat kebijaksanaan yang ditetapkan
dengan baik yang harus dilaksanakan oleh perusahaan yang bersaing secara global.
Banyak cara untuk mendefinisikan skala perusahaan, yaitu dengan menggunakan
berbagai kriteria seperti jumlah karyawan, volume penjualan, dan nilai aset
(Longenecker 2001:16). Beberapa definisi yang telah disampaikan menyimpulkan
bahwa ukuran perusahaan adalah suatu skala yang menentukan besar kecilnya
perusahaan yang dapat dilihat dari nilai equity, nilai penjualan, jumlah karyawan dan
nilai total aset perusahaan yang dimiliki, nilai pasar saham, dan rata-rata tingkat
penjualan yang merupakan variabel konteks yang mengukur tuntutan pelayanan atau
produk suatu organisasi.
27
UU No. 20 Tahun 2008 membagi ukuran perusahaan ke dalam empat kategori
yaitu.
1) Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan /atau badan
usaha perorangan yang memiliki jumlah kekayaan bersih maksimal 50 juta dan
penjualan tahunan maksimal 300 juta.
2) Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan
oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang
memenuhi kriteria usaha kecil dengan jumlah kekayaan bersih yakni antara 50
juta sampai dengan 500 juta dan penjualan tahunan yakni >300 juta - 2,5 M.
3) Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian
baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan
jumlah kekayaan bersih yakni antara 500 juta sampai dengan 10 M dan penjualan
tahunan yakni > 2,5 M - 50 M.
4) Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha
dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari
usaha menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha
patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.
28
Prasetyantoko (2008:257) mengemukakan bahwa aset total dapat
menggambarkan ukuran perusahaan. Semakin besar aset maka semakin besar
perusahaan tersebut. Asnawi (2005:274) menyatakan bahwa nilai total asset
umumnya bernilai sangat besar dibandingkan dengan variabel keuangan lainnya.
Ukuran perusahaan ditunjukkan melalui log total aset, karena dinilai bahwa ukuran
ini memiliki tingkat kestabilan yang lebih dibandingkan proksi-proksi yang lainnya
dan cenderung berkesinambungan antar periode (Yogiyanto 2007:282).
2.1.6 Umur Perusahaan
Umur perusahaan yaitu seberapa lama perusahaan tersebut berdiri dan dapat
bertahan di BEI. Menurut Widiastuti (2002) dalam Rahmawati (2012:187), umur
perusahaan menunjukkan seberapa perusahaan untuk tetap eksis dan mampu bersaing
di dalam dunia usaha. Umur perusahaan adalah bagian dari dokumentasi yang
menunjukkan tentang apa yang sedang dan yang akan diraih oleh perusahaan (Ulum
2009:173). Nugroho (2012) mendefinisikan umur perusahaan adalah awal perusahaan
melakukan aktivitas operasional hingga dapat mempertahankan going concern
perusahaan atau mempertahankan eksistensi di dalam dunia bisnis. Sesuai dengan
asumsi kesinambungan usaha/going concern, yang mengemukakan bahwa persero
merupakan perusahaan yang memiliki umur yang tidak terbatas, maka dari itu umur
perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan
kesinambungan usahanya (Harry 2011:4). Beberapa definisi yang telah disampaikan
menyimpulkan bahwa umur perusahaan merupakan lamanya suatu perusahaan berdiri
29
dan bertahan yang menunjukkan bahwa perusahaan tetap eksis, mampu bersaing
dalam dunia usaha dan mampu mempertahankan kesinambungan usahanya serta
merupakan bagian dari dokumentasi yang menunjukkan apa yang sedang dan akan
diraih oleh perusahaan tersebut.
2.1.7 Profitabilitas
Profitabilitas merupakan salah satu pengukuran bagi kinerja suatu perusahaan.
Profitabilitas suatu perusahaan menunjukkan kemampuan suatu perusahaan dalam
menghasilkan laba selama periode tertentu pada tingkat penjualan, asset dan modal
saham tertentu. Laba sering kali menjadi salah satu ukuran kinerja suatu perusahaan.
Ketika perusahaan memiliki laba yang baik, maka kinerja perusahaan juga akan baik
atau sebaliknya. Menurut Accounting Principle Board (APB) Statement
mendefinisikan profitabilitas sebagai kelebihan (defisit) penghasilan diatas biaya
selama satu periode akuntansi (Harahap, 2010:226). Committee on terminology
mendefinisikan profitabilitas merupakan jumlah yang berasal dari pengurangan harga
pokok produksi, biaya lain dan kerugian dari penghasilan atau penghasilan operasi.
Profitabilitas adalah ukuran pokok untuk keseluruhan keberhasilan perusahaan
(Simamora, 2000:528). Beberapa definisi tersebut menyimpulkan bahwa
profitabilitas adalah pengukuran kinerja perusahaan yang menunjukkan kemampuan
suatu perusahaan dalam menghasilkan laba yang merupakan tolak ukur bagi
keberhasilan suatu perusahaan seperti jumlah yang berasal dari pengurangan harga
pokok produksi, biaya lain dan kerugian dari penghasilan atau penghasilan operasi.
30
Profitabilitas terdiri dari beberapa rasio, salah satunya adalah return on assets
(ROA). ROA berfungsi untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam penggunaan
sumber daya yang dimilikinya (Siahan, 2004). ROA merupakan pengukur
keuntungan bersih yang diperoleh dari seberapa besar perusahaan menggunakan aset.
Return on Assets (ROA) adalah satu indikator yang dapat mencerminkan performa
keuangan perusahaan, semakin tinggi nilai ROA, semakin tinggi keuntungan
perusahaan sehingga semakin baik dan semakin efektif pengelolaan aset suatu
perusahaan.
Menurut James Van Home dan John M. Wachowicz (2009) bahwa
pengukuran profitabilitas lain seperti net profit margin dan rasio perputaran aset tidak
dapat memberikan pengukuran yang memadai atas keseluruhan efektifitas
perusahaan. Net profit margin merupakan rasio yang menghitung sejauh mana
kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu dan
rasio ini tidak dapat memperhitungkan penggunaan aset. Rasio perputaran aset
merupakan rasio yang menggambarkan kecepatan perputaran total aset yang diukur
dari volume penjulan dan rasio ini tidak dapat memperhitungkan profitabilitas dalam
penjualan, maka dari itu, ROA dapat mengatasi kelemahan kedua pengukuran
tersebut.
Manfaat yang dimiliki oleh ROA menurut Munawir (2002) adalah.
1) Jika perusahaan telah menjalankan praktik akuntansi dengan baik, maka dengan
analisis ROA dapat diukur efisiensi penggunaan modal yang menyeluruh, yang
sensitif terhadap setiap hal yang mempengaruhi keadaan keuangan perusahaan.
31
2) Dapat diperbandingkan dengan rasio industri sehingga dapat diketahui posisi
perusahaan terhadap industri. Hal ini merupakan salah satu langkah dalam
perencanaan strategi.
3) Selain berguna untuk kepentingan kontrol, analisis ROA juga berguna untuk
kepentingan perencanaan.
Manfaat ROA menurut Halim dan Supomo (2001) adalah.
1) Perhatian manajemen dititik beratkan pada memaksimalkan laba dari modal yang
diinvestasikan.
2) ROA dapat dipergunakan untuk mengukur efisiensi tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh setiap divisinya dan pemanfaatan akuntansi divisinya. ROA akan
menyajikan perbandingan berbagai macam prestasi antar divisi secara obyektif.
ROA akan mendorong divisi untuk memperoleh aset yang diperkirakan dapat
meningkatkan ROA tersebut.
3) Analisa ROA dapat juga digunakan untuk mengukur profitabilitas dari
masing-masing produksi yang dihasilkan oleh perusahaan.
2.1.8 Leverage
Leverage atau solvabilitas merupakan suatu ukuran seberapa besar aset yang
dimiliki perusahaan dibiayai oleh utang (Kasmir, 2012:113). Leverage menunjukkan
penggunaan utang untuk membiayai investasi (Sartono, 2008). Sjahrian (2009:147)
mendefinisikan leverage sebagai penggunaan aset dan sumber dana oleh perusahaan
yang memiliki biaya tetap (beban tetap) yang berasal dari pinjaman dengan maksud
32
agar meningkatkan keuntungan potensial pemegang saham, yang dimaksud beban
tetap disini adalah bunga pinjaman. Definisi leverage menurut Fakhrudin (2008:109)
adalah jumlah utang yang digunakan untuk membiayai atau membeli aset-aset
perusahaan. Perusahaan yang memiliki utang lebih besar dari equity dapat dikatakan
bahwa perusahaan tersebut memiliki tingkat leverage yang tinggi.
Debt to total assets ratio (DAR) merupakan rasio antara total utang (total
debts) baik utang jangka pendek (current liability) dan utang jangka panjang (long
term debt) terhadap total aset baik aset lancar (current assets) maupun aset tetap
(fixed assets) dan aset lainnya. Rasio ini menunjukkan besarnya utang yang
digunakan untuk membiayai aktiva yang digunakan oleh perusahaan dalam rangka
menjalankan aktivitas operasionalnya. Semakin besar rasio DAR menunjukkan
semakin besar tingkat ketergantungan perusahaan terhadap pihak eksternal (kreditur)
dan semakin besar pula beban biaya utang (biaya bunga) yang harus dibayar oleh
perusahaan.
Menurut Sartono (2008), leverage dibagi menjadi tiga jenis yaitu.
1) Operating leverage adalah penggunaan sumber dana dimana perusahaan
mengharapkan perubahan penjualan, yang dimaksud disini adalah perubahan yang
akan mengakibatkan laba sebelum bunga dan pajak yang lebih besar.
2) Financial leverage adalah penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap
dengan beranggapan bahwa akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih
besar dari pada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang
tersedia bagi pemegang saham.
33
3) Combined leverage adalah penggunaan sumber dana yang dimiliki oleh
perusahaan baik operating leverage maupun financial leverage dalam usahanya
untuk meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham biasa.
2.1.9 Pertumbuhan Penjualan
Penjualan memiliki pengaruh yang strategis terhadap perusahaan. Penyebab
pengaruh yang strategis disebabkan karena penjualan yang dilakukan oleh perusahaan
harus didukung dengan harta atau aset, bila penjualan ditingkatkan maka aset pun
harus ditambah (Weston dan Brigham, 1991). Perusahaan dapat mengoptimalkan
dengan baik sumber daya yang ada apabila mengetahui penjualan dari tahun
sebelumnya.
Pertumbuhan penjualan diartikan sebagai kenaikan jumlah penjualan dari
waktu ke waktu atau dari tahun ke tahun (Kennedy dkk., 2010). Indrawati dan
Suhendro (2006) mendefinisikan pertumbuhan penjualan sebagai perubahan atas total
penjualan perusahaan. Pertumbuhan penjualan merupakan aktivitas yang memiliki
peranan penting dalam manajemen modal kerja, hal tersebut disebabkan karena
perusahaan dapat memprediksi seberapa besar profit yang akan diperoleh dengan
besarnya pertumbuhan penjualan.
Penetapan angka terhadap jumlah produk atau jasa yang dijual kepada
pelanggan sangat penting dilakukan untuk meningkatkan angka pertumbuhan. Secara
keuangan, tingkat pertumbuhan dapat ditentukan dan didasarkan kepada kemampuan
34
keuangan perusahaan. Tingkat pertumbuhan yang ditentukan dengan hanya melihat
kemampuan keuangan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu.
1) Tingkat pertumbuhan atas kekuatan sendiri (internal growth rate) adalah tingkat
pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai perusahaan tanpa membutuhkan
dana eksternal atau tingkat pertumbuhan yang hanya dipicu oleh tambahan atas
laba ditahan.
2) Tingkat pertumbuhan berkesinambungan (sustainable growth rate) adalah tingkat
pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai perusahaan tanpa melakukan
pembiayaan modal tetapi dengan menggunakan perbandingan antara utang
dengan modal (debt to equity ratio).
2.1.10 Penelitian Sebelumnya
Penelitian dari Kurniasih dan Sari (2013) yang berjudul “Pengaruh Return
Turn On Asset (ROA), Leverage, Corporate Governance, Ukuran Perusahaan dan
Kompensasi rugi Fiskal pada Tax Avoidance” menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan dan return on asset berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap tax
avoidance. Penelitian lain dari Darmawan (2014) berjudul “Pengaruh Penerapan
Corporate Governance, Leverage, Return On Assets dan Ukuran Perusahaan pada
Penghindaran Pajak” menunjukkan bahwa ukuran Perusahaan dan return on asset
berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak. Persamaan
35
penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah sama - sama meneliti variabel
ukuran perusahaan, return on asset yang merupakan pengukuran dari profitabilitas,
dan leverage. Penelitian ini memiliki tahun amatan yang berbeda dari penelitan
sebelumnya yakni dengan meneliti empat (4) tahun terbaru yaitu tahun 2011-2014.
Penelitian terkait dari Calvin (2015) berjudul “Pengaruh Karakter Eksekutif,
Komite Audit, Ukuran Perusahaan, Leverage, dan Sales Growth pada Tax
Avoidance” menunjukkan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh positif pada
tax avoidance. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif
terhadap tax avoidance. Sales growth dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap
tax avoidance. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah sama -
sama meneliti variabel ukuran perusahaan, leverage, dan sales growth (pertumbuhan
penjualan). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yakni memiliki
tahun amatan yang berbeda dengan meneliti empat (4) tahun terbaru yaitu tahun
2011-2014. Perbedaan lain dalam penelitian ini adalah adanya penggunaan variabel
baru yang belum pernah dikaitkan dengan tax avoidance yakni variabel umur
perusahaan.
36
Tabel 2.1 Pembahasan Penelitian Sebelumnya
No. Peneliti Judul Hasil Penelitian
1) Tommy
Kurniasih
(2013)
Pengaruh Return
Turn On Asset
(ROA), Leverage,
Corporate
Governance,
Ukuran Perusahaan
dan Kompensasi
rugi Fiskal pada
Tax Avoidance
Return Turn On Asset (ROA), Ukuran
Perusahaan, dan Kompensasi rugi
Fiskal berpengaruh signifikan secara
parsial terhadap tax avoidance,
sedangkan Leverage, Corporate
Governance tidak berpengaruh
signifikan secara parsial terhadap tax
avoidance.
2) Darmawan
(2014)
Pengaruh
Penerapan
Corporate
Governance,
Leverage, Return
On Assets dan
Ukuran Perusahaan
pada Penghindaran
Pajak
Corporate Governance, Return On
Assets dan Ukuran Perusahaan
berpengaruh secara parsial terhadap
tax avoidance, sedangkan Leverage
tidak berpengaruh secara parsial
terhadap tax avoidance.
3) Cahya
Maharani
(2014)
Pengaruh
Corporate
Governance,
Profitabilitas, dan
Karakteristik
Eksekutif Pada Tax
Avoidance
Perusahaan
Manufaktur yang
Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia
Periode 2008-2012
Corporate Governance, Profitabilitas
dan Karakter Eksekutif berpengaruh
secara parsial terhadap tax avoidance,
sedangkan
4) Pradnyanita
Dewi (2014)
Pengaruh Intensif
Eksekutif,
Corporate Risk, dan
Corporate
Governance
terhadap Tax
Avoidance
Corporate Risk dan Kualitas Audit
berpengaruh secara parsial terhadap
tax avoidance, sedangkan Internsif
Eksekutif, Kepemilikan Institusional,
Komisaris Independen, dan Komite
Audit tidak berpengaruh terhadap tax
avoidance .
37
5) Calvin
Swingly
(2015)
Pengaruh Karakter
Eksekutif, Komite
Audit, Ukuran
Perusahaan,
Leverage, dan Sales
Growth pada Tax
Avoidance
Karakter Eksekutif, Ukuran
Perusahaan, dan Leverage
berpengaruh secara parsial terhadap
tax avoidance, sedangkan komite audit
dan sales growth tidak berpengaruh
terhadap tax avoidance.
Sumber: Data diolah, 2015
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Tax Avoidance
Perusahaan yang dikelompokkan ke dalam ukuran yang besar (memiliki aset
yang besar) akan cenderung lebih mampu dan lebih stabil untuk menghasilkan laba
jika dibandingkan dengan perusahaan dengan total aset yang kecil (Indriani, 2005
dalam Rachmawati dan Triatmoko, 2007). Laba yang besar dan stabil akan cenderung
mendorong perusahaan untuk melakukan praktik penghindaran pajak (tax avoidance)
karena laba yang besar akan menyebabkan beban pajak yang besar pula. Perusahaan
berskala kecil tidak dapat mengelola beban pajaknya secara optimal karena ahli
dalam bidang perpajakan yang minim (Nicodeme, 2007 dalam Darmadi 2013).
Berdasarkan teori agensi, sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan dapat
digunakan oleh agent untuk memaksimalkan kompensasi kinerja agent, yaitu dengan
cara menekan beban pajak perusahaan untuk memaksimalkan kinerja perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2011), Adelina (2012), Fatharani (2012),
Darmawan (2014) dan Calvin (2015) menemukan bahwa ukuran perusahaan
38
berpengaruh positif pada tax avoidance. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis
dalam penelitian ini sebagai berikut.
H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance.
2.2.2 Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Tax Avoidance
Seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan akan menjadi tidak efisien
menurut Claudio Loderer dan Urs Waelchli (2010) dalam jurnalnya yang berjudul
“Firm Age and Performance”. Perusahaan yang mengalami penuaan harus
mengurangi biaya termasuk biaya pajaknya akibat pengalaman dan pembelajaran
yang dimiliki oleh perusahaan serta pengaruh perusahaan lain baik dalam industri
yang sama maupun berbeda. Perusahaan dengan jangka waktu operasional lebih lama
juga akan membuat perusahaan lebih ahli dalam mengatur pengelolaan pajaknya yang
berdasarkan pengalaman- pengalaman sebelumnya. Sumber daya manusia yang ahli
dalam perpajakan diperlukan untuk menekan beban pajak perusahaan sehingga
pengelolaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan dapat maksimal. Secara logika,
semakin lama jangka waktu operasional suatu perusahaan, semakin banyak
pengalaman yang dimiliki oleh perusahaan tersebut dan sumber daya manusia yang
dimiliki semakin ahli dalam mengatur dan mengelola beban pajaknya sehingga
kecenderungan untuk melakukan tax avoidance semakin tinggi. Berdasarkan uraian
tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut.
H2: Umur perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance.
39
2.2.3 Pengaruh Profitabilitas terhadap Tax Avoidance
Return on Assets (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas. Rasio ini
paling sering disoroti dalam analisis laporan keuangan karena mampu menunjukkan
keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. ROA digunakan untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba berdasarkan aset yang
dimiliki. Semakin tinggi nilai ROA, maka semakin besar juga laba yang diperoleh
perusahaan. Teori agensi akan memacu para agent untuk meningkatkan laba
perusahaan. Ketika laba yang diperoleh membesar, maka jumlah pajak penghasilan
akan meningkat sesuai dengan peningkatan laba perusahaan sehingga perusahaan
kemungkinan melakukan tax avoidance untuk menghindari peningkatan jumlah
beban pajak. Agent dalam teori agensi akan berusaha mengelola beban pajaknya agar
tidak mengurangi kompensasi kinerja agent sebagai akibat dari berkurangnya laba
perusahaan oleh beban pajak. Perusahaan mampu mengelola asetnya dengan baik
sehingga memperoleh keuntungan dari insentif pajak dan kelonggaran pajak lainnya
sehingga perusahaan tersebut terlihat melakukan tax avoidance. Penelitian terkait
yang dilakukan oleh Nugroho (2011), Fatharani (2012), dan Darmawan (2014)
menunjukkan bahwa ROA berpengaruh positif terhadap tax avoidance. Berdasarkan
uraian tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut.
H3: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap tax avoidance.
40
2.2.4 Pengaruh Leverage terhadap Tax Avoidance
Keputusan pendanaan perusahaan dapat menjadi gambaran penghindaran
pajak terkait dengan tarif pajak efektif, hal tersebut dikarenakan ada peraturan
perpajakan terkait kebijakan struktur pendanaan perusahaan (Gupta dan Newberry,
1997). Keputusan pendanaan yang dimaksud adalah perusahaan lebih memilih
menggunakan pendanaan internal atau eksternal. Perusahaan yang lebih memilih
menggunakan pendanaan eksternal seperti utang akan mengakibatkan munculnya
beban bunga yang dapat menjadi pengurang laba kena pajak. Penelitian yang
dilakukan oleh Adelina (2012) menyatakan bahwa penambahan jumlah utang akan
mengakibatkan menambahnya beban bunga yang harus dibayar oleh perusahaan.
Komponen beban bunga akan mengurangi laba sebelum kena pajak perusahaan,
sehingga beban pajak yang harus dibayar perusahaan akan menjadi berkurang.
Penelitian terkait dengan leverage yang dilakukan oleh Noor et al. (2010) yang
menjelaskan bahwa perusahaan dengan jumlah utang lebih banyak memiliki tarif
pajak yang efektif baik, hal ini berarti bahwa dengan jumlah utang yang banyak,
perusahaan untuk melakukan tax avoidance akan cenderung lebih rendah. Penelitian
lain dari Calvin (2015) juga menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif
terhadap tax avoidance. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis dalam penelitian
ini sebagai berikut.
H4 : Leverage berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.
41
2.2.5 Pengaruh Pertumbuhan Penjualan terhadap Tax Avoidance
Perusahaan dapat memprediksi seberapa besar profit yang akan diperoleh
dengan besarnya pertumbuhan penjualan. Menurut Perdana (2013), pertumbuhan
penjualan pada suatu perusahaan menunjukkan bahwa semakin besar volume
penjualan maka laba yang akan dihasilkan pun akan meningkat. Pertumbuhan yang
meningkat memungkinkan perusahaan akan lebih dapat meningkatkan kapasitas
operasi perusahaan karena dengan pertumbuhan penjualan yang meningkat,
perusahaan akan memperoleh profit yang meningkat pula. Secara logika, apabila
pertumbuhan penjualan meningkat, perusahaan cenderung akan mendapatkan profit
yang besar, maka dari itu perusahaan akan cenderung untuk melakukan praktik tax
avoidance karena profit besar akan menimbulkan beban pajak yang besar pula.
Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian dari Budiman dan Setiyono (2012)
menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan (sales growth) berpengaruh signifikan
terhadap CETR yang merupakan indikator dari adanya aktivitas tax avoidance.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut.
H5 : Pertumbuhan penjualan berpengaruh positif terhadap tax avoidance.