Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Pengertian Pasar Modal
Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen
keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik surat utang (obligasi),
ekuitas (saham), reksa dana, instrumen derivatif maupun lainnya. Pasar modal
merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain seperti
pemerintah dan sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi dengan demikian, pasar
modal menfasilitasi berbagai sarana dan prasarana kegiatan jual beli dan kegiatan
terkait lainnya (Tandelilin, 2010:26).
Undang-undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
mendefinisikan pasar modal sebagai “Kegiatan yang bersangkutan dengan umum
dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek”. Instrumen
keuangan yang diperdagangkan di pasar modal merupakan instrumen jangka
panjang yaitu jangka waktu yang lebih dari 1 tahun seperti saham, obligasi,
waran, right, reksa dana, dan berbagai instrumen derivatif seperti option, futures
dan lain-lain. (www.idx.co.id).
Menurut Samsul (2006:43), tujuan dan manfaat pasar modal dapat dilihat
dari 3 sudut pandang, yaitu:
15
1) Sudut Pandang Negara
Pasar modal dibangun dengan tujuan untuk menggerakkan perekonomian
suatu negara melalui kekuatan swasta dan mengurangi beban negara.
Negara memiliki kekuatan swasta dan kekuasaan untuk mengatur bidang
perekonomian tetapi tidak harus memiliki perusahaan sendiri. Di negara
maju, pasar modal merupakan sarana utama dalam pembangunan
perekonomiannya, negara maju tidak membutuhkan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), tetapi butuh usaha swasta yang profesional yang
tercermin dalam pasar modal. Perusahaan perkebunan, telekomunikasi,
transportasi, dan sebagainya yang dianggap vital serta menyangkut
kepentingan publik juga dimiliki dan dikelola oleh pihak swasta, tetapi
persyaratan penjualan diatur oleh perundangan yang sangat ketat. Negara
tidak perlu membiayai pembangunan ekonominya dengan cara meminjam
dana dari pihak asing, sepanjang pasar modal dapat difungsikan dengan
baik.
2) Sudut Pandang Emiten
Pasar modal merupakan sarana untuk mencari tambahan modal. Perusahaan
berkepentingan untuk mendapatkan dana dengan biaya yang lebih murah
dan hal itu hanya bisa diperoleh di pasar modal. Modal pinjaman dalam
bentuk obligasi jauh lebih murah daripada kredit jangka panjang perbankan.
Meningkatkan modal sendiri jauh lebih baik daripada meningkatkan modal
pinjaman, khususnya untuk menghadapi persaingan yang semakin tajam di
era globalisasi. Perusahaan yang pada awalnya memiliki utang lebih tinggi
16
daripada modal sendiri dapat berbalik memiliki modal sendiri yang lebih
tinggi daripada utang apabila memasuki pasar modal, sehingga dapat
dikatakan pasar modal adalah sarana untuk memperbaiki struktur modal
perusahaan.
3) Sudut Pandang Masyarakat
Masyarakat memiliki sarana baru untuk menginvestasikan uangnya.
Investasi yang semula dilakukan dalam bentuk deposito, tanah, emas, atau
rumah sekarang dapat dilakukan dalam bentuk saham dan obligasi. Pada
saat investor melakukan investasi dalam bentuk rumah atau tanah butuh
ratusan juta rupiah, maka investasi dalam bentuk efek dapat dilakukan
dengan dana di bawah lima juta rupiah. Jadi, pasar modal merupakan sarana
yang baik untuk melakukan investasi dalam jumlah yang tidak terlalu besar
bagi kebanyakan masyarakat. Jika pasar modal itu berjalan dengan baik,
jujur, pertumbuhannya stabil dan harganya tidak terlalu bergejolak, maka
sarana itu akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat.
2.1.2 Pengertian Saham
Salah satu instrumen pasar modal di Indonesia adalah Saham. Saham
merupakan sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan dan
pemegang saham memiliki hak klaim atas penghasilan dan aktiva perusahaan
serta berhak hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Menerbitkan
saham merupakan salah satu pilihan perusahaan dalam memutuskan pendanaan
perusahaannya (Tandelilin, 2010:31). Terdapat dua jenis saham yang
diperdagangkan di pasar modal yaitu sebagai berikut.
17
1) Saham preferen
Hartono (2014:111) menyatakan saham preferen mempunyai sifat gabungan
(hybrid) antara obligasi (bond) dan saham biasa. Seperti bond yang
membayarkan bunga atas pinjaman, saham preferen juga memberikan hasil
yang tetap berupa dividen preferen. Seperti saham biasa, dalam hal likuidasi,
klaim pemegang saham preferen dibawah klaim pemegang obligasi (bond).
Dibandingkan dengan saham biasa, saham preferen mempunyai beberapa
hak, yaitu hak atas dividen tetap dan hal pembayaran terlebih dahulu jika
terjadi likuidasi, oleh karena itu saham preferen dianggap mempunyai
karakteristik ditengah-tengah antara bond dan saham biasa.
2) Saham biasa
Hartono (2014:116) menyatakan apabila perusahaan hanya mengeluarkan
satu kelas saham saja, saham tersebut biasanya dalam bentuk saham biasa
(common stock). Pemegang saham adalah pemilik dari perusahaan yang
mewakilkan kepada manajemen untuk menjalankan operasi perusahaan.
sebagai pemilik perusahaan pemegang saham biasa memiliki beberapa hak
diantaranya yaitu sebagai berikut.
(1) Hak kontrol
Pemegang saham biasa mempunyai hak untuk memilih dewan direksi. Ini
berarti bahwa pemegang saham mempunyai hak untuk mengontrol siapa
yang akan memimpin perusahaannya. Pemegang saham dapat melakukan
hak kontrolnya dalam bentuk memveto dalam pemilihan direksi di rapat
18
tahunan pemegang saham atau memveto pada tindakan-tindakan yang
membutuhkan persetujuan pemegang saham.
(2) Hak menerima pembagian keuntungan
Pemilik perusahaan pemegang saham biasa berhak mendapat bagian dari
keuntungan perusahaan. Tidak semua laba dibagikan, sebagian laba akan
ditanamkan kembali ke dalam perusahaan. Laba yang ditahan ini
merupakan sumber dana internal perusahaan. Laba yang tidak ditahan
dibagikan dalam bentuk dividen. Jika perusahaan memutuskan untuk
membagi keuntungan dalam bentuk dividen, semua pemegang saham
biasa mendapatkan haknya yang sama. Pembagian dividen untuk saham
biasa dapat dilakukan jika perusahaan sudah membayarkan dividen untuk
saham preferen.
(3) Hak preemtif
Hak preemtif merupakan hak untuk mendapatkan persentasi kepemilikan
yang sama jika perusahaan mengeluarkan tambahan lembar saham.Jika
perusahaan mengeluarkan tambahan lembar saham, maka jumlah saham
beredar akan lebih banyak dan akibatnya persentase kepemilikan
pemegang saham yang lama akan turun. Hak preemtif memberi prioritas
kepada pemegang saham lama untuk membeli tambahan saham yang
baru sehingga persentase kepemilikannya tidak berubah.
19
2.1.3 Return Saham
Menurut Tandelilin (2010:102), return adalah keuntungan yang merupakan
kompensasi atas waktu dan risiko terkait dengan investasi yang dilakukan. Return
dibedakan menjadi dua, yaitu pengembalian yang telah terjadi (actual return)
yang dihitung berdasarkan data historis dan pengembalian yang diharapkan
(expected return) akan diperoleh investor di masa depan. Komponen return
tersebut meliputi:
1) Untung/rugi modal (capital gain/loss) merupakan keuntungan (kerugian) bagi
investor yang diperoleh dari kelebihan harga jual (harga beli) di atas harga
beli (harga jual) yang keduanya terjadi di pasar sekunder.
2) Imbal hasil (yield) merupakan pendapatan atau aliran kas yang diterima
investor secara periodik, misalnya berupa dividen atau bunga. Yield
dinyatakan dalam persentase dari modal yang ditanamkan.
Capital gain merupakan selisih antara harga saham saat ini (Closing price
bulanan pada periode t) dengan harga saham periode sebelumnya (Closing price
bulanan pada periode t-1) dibagi dengan harga saham periode sebelumnya
(Closing price bulanan pada periode t-1). Closing price adalah harga penutup atau
harga perdagangan terakhir untuk suatu periode. Karena ketersediaanya, closing
price adalah harga yang paling sering digunakan untuk analisis (Nugroho, 2012).
2.1.4 Analisis Fundamental
Melakukan analisis dan memilih saham terdapat dua pendekatan dasar,
yaitu analisis teknikal dan analisis fundamental. Analisis teknikal merupakan
upaya untuk memperkirakan harga saham (kondisi pasar) dengan mengamati
20
perubahan harga saham tersebut di waktu lalu. Analisis fundamental merupakan
analisis yang memperkirakan harga saham di masa yang akan datang dengan
mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga saham di
masa yang akan datang dan menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut
sehingga diperoleh taksiran harga saham (Husnan, 2009:307). Banyak faktor yang
mempengaruhi harga saham, maka untuk melakukan analisis fundamental
diperlukan beberapa tahapan analisis yang diawali dengan analisis ekonomi atau
pasar, kemudian dilanjutkan analisis industri dan terakhir dilakukan analisis
terhadap perusahaan (Husnan, 2009:309).
Analisis ekonomi dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi
pada kondisi ekonomi di suatu negara. Analisis kondisi ekonomi adalah dasar dari
analisis sekuritas, dimana jika kondisi ekonomi buruk maka kemungkinan besar
tingkat kembalian saham-saham yang beredar akan merefleksikan penurunan yang
sebanding. Namun jika kondisi ekonomi baik, maka refleksi harga saham akan
baik juga (Husnan, 2009:313).
Analisis Industri merupakan tahap selanjutnya dalam analisis fundamental.
Dalam analisis industri, investor mencoba membandingkan kinerja dari berbagai
industri untuk mengetahui jenis industri apa saja yang memberikan prospek paling
menjanjikan ataupun sebaliknya. Industri dianalisis melalui penelaahan berbagai
data yang menyangkut tentang penjualan, laba, dividen, struktur modal, jenis
produk yang dihasilkan, regulasi, inovasi dan sebagainya. Terdapat beberapa
langkah dalam melakukan analisis industri. Langkah pertama, yang dapat
dilakukan adalah dengan mengidentifikasi tahap kehidupan produknya. Langkah
21
berikutnya adalah menganalisis industri dalam kaitannya dengan kondisi
perekonomian. Langkah ketiga adalah analisis kualitatif terhadap industri tersebut,
yang dimaksudkan untuk membantu pemodal menilai prospek industri di masa
yang akan datang (Husnan, 2009:321-322).
Analisis perusahaan dapat dilakukan dengan melakukan analisis terhadap
kinerja perusahaan dengan melihat laporan keuangan perusahaan. Analisis laporan
keuangan mencangkup apakah suatu aktiva dan pasiva perusahaan dikelola secara
benar, termasuk juga aktivitas pendanaannya untuk meningkatkan nilai
perusahaan. Analisis kinerja keuangan perusahaan dapat dilakukan dengan
menggunakan analisis terhadap rasio-rasio dari laporan keuangan perusahaan
(Wiagustini, 2010:37).
2.1.5 Analisis Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan menjadi salah satu aspek penilaian yang fundamental
mengenai kondisi yang dimiliki perusahaan. Pengukuran kinerja keuangan terdiri
dari hasil perhitungan rasio - rasio keuangan yang berdasar pada laporan keuangan
perusahaan yang dipublikasikan dan telah diaudit oleh akuntan publik. Rasio –
rasio keuangan dirancang untuk membantu para analis dalam mengevaluasi suatu
perusahaan berdasarkan atas laporan keuangannya (Wiagustini, 2010:37).
Berdasarkan laporan keuangan tersebut, investor dapat memberikan penilaian
terhadap kinerja keuangan perusahaan terutama dalam pengambilan keputusan
untuk melakukan investasi. Bagi para pemilik atau pemegang saham, laporan
keuangan berfungsi untuk melihat tingkat pengembalian yang tercermin dalam
laporan rugi laba dan besarnya dividen yang menjadi hak para pemegang saham.
22
Analisis rasio adalah cara yang umum dipakai dalam analisis laporan
keuangan. Rasio keuangan merupakan analisis kinerja keuangan yang
menghubungkan antara satu pos dengan pos lainnya baik dalam neraca atau rugi
laba maupun kombinasi dari kedua laporan keuangan (Wiagustini, 2010:75).
Rasio – rasio yang bermanfaat dapat menunjukkan perubahan dalam kondisi
keuangan atau kinerja operasi dan membantu menggambarkan kecenderungan
serta pola perubahan tersebut, yang pada waktunya dapat menunjukkan kepada
investor tentang peluang untuk berinvestasi dan dapat memberikan informasi atas
hasil interpretasi mengenai kinerja yang dicapai perusahaan.
Rasio keuangan perusahaan dapat dikelompokan menjadi 5 (lima) bagian
yaitu rasio likuiditas, rasio solvabilitas/leverage, rasio profitabilitas/rentabilitas,
rasio aktivitas usaha dan rasio penilaian pasar (Wiagustini, 2010:75). Rasio
keuangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Debt to Equity Ratio (DER)
yang merupakan proksi dari rasio solvabilitas, Return on Assets (ROA) yang
merupakan proksi dari rasio profitabilitas dan Price Earning Ratio (PER) yang
merupakan proksi dari rasio penilaian pasar.
Pengukuran kinerja keuangan yang umumnya dilakukan dengan
menganalisa laporan keuangan seperti pengukuran dengan rasio keuangan, jarang
menggunakan perhitungan nilai tambah terhadap biaya modal yang ditanamkan.
Dalam mengatasi hal tersebut, maka digunakan konsep Economic Value Added
(EVA) yang mencerminkan kinerja suatu perusahaan dan sebagai indikator
tentang adanya penciptaan nilai dari suatu investasi.
23
2.1.6 Debt to Equity Ratio (DER)
Debt to Equity Ratio (DER) merupakan rasio solvabilitas yang digunakan
untuk mengukur seberapa besar operasi perusahaan dibiayai oleh hutang bila
dibandingkan dengan operasi yang dibiayai oleh ekuitas (Kasmir, 2010:158). Debt
to Equity Ratio dapat memberikan informasi mengenai seberapa besar ekuitas dari
pemegang saham yang digunakan untuk menutupi keseluruhan hutang perusahaan
sehingga para investor pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat
menyepakati jumlah dana perusahaan yang dibiayai dengan hutang sehingga
return yang sesuai tetap dapat diperoleh. Debt to Equity Ratio menunjukkan
tentang imbangan antara beban hutang dibandingkan modal sendiri.
Menurut Brigham dan Houston (2009:101), seberapa jauh sebuah
perusahaan menggunakan pendanaan melalui utang atau pengungkit keuangan
(financial leverage), memiliki implikasi penting yaitu:
1) Dengan memperoleh dana melalui utang, para pemegang saham dapat
mempertahankan kendali mereka atas perusahaan tersebut dengan sekaligus
membatasi investasi yang mereka berikan.
2) Kreditor akan melihat pada ekuitas, atau dana yang diperoleh sendiri,
sebagai suatu batasan keamanan, sehingga semakin tinggi proporsi dari
jumlah modal yang diberikan oleh pemegang saham, maka semakin kecil
risiko yang harus dihadapi oleh kreditor.
3) Jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana
hasil pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayarkan, maka
pengembalian dari modal pemilik akan diperbesar.
24
Bagi bank (kreditor), semakin besar rasio ini, maka perusahaan dianggap
kurang menguntungkan akibat besarnya beban hutang risiko yang ditanggung atas
kegagalan yang mungkin terjadi di perusahaan. Namun, bagi perusahaan justru
semakin besar rasio akan semakin baik. Sebaliknya dengan rasio yang rendah,
semakin tinggi tingkat pendanaan yang disediakan pemilik dan semakin besar
batas pengamanan bagi peminjam jika terjadi kerugian atau penyusutan terhadap
nilai aktiva. Rasio ini juga memberikan petunjuk umum tentang kelayakan dan
risiko keuangan perusahaan (Kasmir, 2012:158). Pernyataan tersebut didukung
penelitian yang dilakukan oleh Arista dan Astohar (2012), bahwa semakin besar
DER menandakan struktur permodalan lebih banyak memanfaatkan hutang-
hutang terhadap ekuitas sehingga mencerminkan risiko perusahaan yang relatif
tinggi.
Debt to equity ratio dipandang sebagai besarnya tanggung jawab
perusahaan terhadap pihak ketiga yaitu kreditor yang memberikan pinjaman
kepada perusahaan. Sehingga semakin besar nilai DER akan memperbesar
tanggungan perusahaan. Debt to equity ratio yang terlalu tinggi mempunyai
dampak buruk terhadap kinerja perusahaan, karena dengan tingkat utang yang
semakin tinggi berarti beban bunga perusahaan akan semakin besar dan akan
mengurangi keuntungan. Dengan tingkat utang yang tinggi dan dibebankan
kepada pemegang saham, tentu akan meningkatkan risiko investasi kepada para
pemegang saham (Malintan, 2012) dan hal tersebut akan berpengaruh pula dalam
memperkecil tingkat pengembalian yang diharapkan, sehingga potensial
mengurangi return saham.
25
2.1.7 Return On Assets (ROA)
Analisis kinerja keuangan salah satunya dapat diukur melalui rasio
profitabilitasnya. Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan
perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat
efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal tersebut ditunjukkan oleh laba yang
dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi. Intinya adalah penggunaan
rasio ini menunjukkan efisiensi perusahaan (Kasmir, 2012:196).
Return on assets (ROA) adalah salah satu rasio profitabilitas yang
digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan di dalam menghasilkan
keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya dan digunakan untuk
mengetahui kinerja perusahaan berdasarkan kemampuan perusahaan dalam
mendayagunakan jumlah aset yang dimiliki (Arista dan Astohar, 2012).
Farkhan dan Ika (2013) menjelaskan bahwa ROA memiliki pengaruh
terhadap return saham. Hasil penelitiannya mengidentifikasikan bahwa nilai
perusahaan ditentukan oleh earning power dari aktiva perusahaan. Semakin tinggi
earning power maka akan semakin tinggi pula tingkat efisiensi perputaran aktiva
dan semakin tinggi pula profit margin yang diperoleh oleh perusahaan, yang akan
berdampak pada peningkatan nilai perusahaan dan peningkatan terhadap return
saham. Para investor masih menggunakan ROA sebagai tolak ukur kinerja
perusahaan yang digunakan untuk memprediksi total return saham, dengan
demikian ROA yang semakin besar akan menunjukkan kinerja perusahaan yang
baik sehingga return saham juga akan meningkat.
26
Mendukung pernyataan sebelumnya, Daljono (2013) juga menyatakan
semakin tinggi nilai ROA, menunjukkan semakin tinggi pula kinerja dan
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan, investor akan lebih
tertarik untuk memiliki saham perusahaan yang mampu menghasilkan keuntungan
lebih besar dan jika banyak investor yang tertarik untuk membeli saham
perusahaan yang memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan yang tinggi,
maka harga saham dari perusahaan tersebut akan meningkat dan return sahamnya
juga akan meningkat. Sebaliknya, apabila ROA semakin kecil menunjukkan
bahwa dari total aktiva yang digunakan perusahaan mendapatkan kerugian, maka
investor kurang tertarik untuk melakukan investasi pada perusahaan tersebut dan
harga sahamnya akan rendah (Susilowati dan Turyanto, 2011).
2.1.8 Price Earning Ratio (PER)
Menurut Tandelilin (2010:320), price earning ratio adalah rasio atau
perbandingan antara harga saham terhadap earning perusahaan. Investor akan
menghitung berapa kali nilai earning yang tercermin dalam harga suatu saham.
Farkhan dan Ika (2013) menjelaskan PER dapat memberikan petunjuk
mengenai pandangan investor atas kinerja perusahaan di masa lalu dan prospek di
masa yang akan datang, karena PER menggambarkan kesediaan investor
membayar per lembar saham dalam jumlah tertentu untuk setiap rupiah perolehan
laba perusahaan. Semakin tinggi PER menunjukkan prospektus harga saham
dinilai tinggi oleh investor terhadap pendapatan per lembar sahamnya, sehingga
PER yang semakin tinggi juga menunjukkan semakin mahal saham tersebut
terhadap pendapatannya. Jika harga saham semakin tinggi maka selisih harga
27
saham periode sekarang dengan periode sebelumnya semakin besar, sehingga
capital gain yang dihitung dari selisih antara harga saham periode sekarang
dengan harga saham periode sebelumnya juga akan meningkat. berdasarkan
konsep tersebut menunjukkan bahwa semkain tinggi PER maka return saham juga
semakin meningkat.
2.1.9 Economic Value Added (EVA)
2.1.9.1 Pengertian Economic Value Added
Penggunaan alat ukur terhadap laba akuntansi memiliki kelemahan yaitu
tidak memperhatikan risiko yang dihadapi perusahaan dengan mengabaikan biaya
modal dan hanya terfokus pada laba perusahaan sehingga sulit untuk mengetahui
keberhasilan suatu perusahaan dalam menciptakan nilai perusahaan atau tidak.
Nilai perusahaan adalah salah satu acuan bagi investor dalam pengambilan
keputusan investasi. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, konsep baru yang
dikembangkan oleh Stewart dan Stern seorang analis keuangan dari perusahaan
Stern Stewart & Co pada tahun 1993 sebagai pengukuran kinerja keuangan
perusahaan adalah Economic Value Added (EVA) (Wiagustini, 2010:95).
Economic value added ditentukan oleh dua hal yaitu keuntungan bersih
operasional setelah pajak dan tingkat biaya modal. Laba operasi setelah pajak
menggambarkan hasil penciptaan nilai didalam perusahaan, sedangkan biaya
modal dapat diartikan sebagai suatu pengorbanan yang dikeluarkan dalam
penciptaan nilai tersebut. Laba yang dimaksud adalah Net Operating Profit After
Tax (NOPAT) yaitu laba operasi bersih setelah pajak. Sedangkan biaya kapital
adalah biaya bunga pinjaman dari biaya ekuitas yang digunakan untuk
28
menghasilkan NOPAT yang dihitung secara rata-rata tertimbang (Weighted
Average Cost of Capital = WACC). Economic value added yang positif
menandakan bahwa perusahaan berhasil menciptakan nilai (create value) bagi
pemilik modal, konsisten dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan.
Sebaliknya, EVA yang negatif menandakan nilai perusahaan berkurang sebagai
akibat tingkat pengembalian yang dituntut investor (Brigham dan Houston,
2009:69-70).
2.1.9.2 Keunggulan dan Kelemahan Economic Value Added
EVA sebagai alternatif pengukuran kinerja perusahaan yang relatif baru,
memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari EVA menurut
Govindarajan dalam Wiagustini (2010:99), antara lain:
1) Melalui pengukuran EVA, seluruh unit usaha memiliki sasaran laba untuk
perbandingan investasi yang sama. Meningkatnya EVA, maka investasi-
investasi akan menghasilkan laba diatas biaya modal sehingga akan lebih
menarik para manajernya untuk berinvestasi dalam perusahaan tersebut
2) Adanya tingkat suku bunga yang berbeda dapat digunakan untuk jenis asset
yang berbeda pula
3) Perhitungan EVA memiliki korelasi positif yang kuat terhadap perubahan-
perubahan nilai pasar perusahaan.
Wiagustini (2010:100) menjelaskan bahwa konsep EVA juga memiliki
kelemahan yaitu EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada suatu periode
tahun tertentu. Padahal nilai perusahaan merupakan akumulasi EVA selama umur
perusahaan. Sehingga suatu perusahaan mempunyai nilai EVA yang positif pada
29
periode tertentu, namun nilai perusahaan tersebut rendah karena nilai EVA di
masa lalunya negatif.
Economic Value Added sebagai ukuran kinerja memiliki beberapa
keterbatasan, antara lain:
1) Ukuran kinerja masa lampau EVA tidak mampu memprediksi dampak
strategi yang kini diterapkan untuk masa depan perusahaan
2) Sifat pengukurannya merupakan potret jangka pendek, sehingga manajemen
cenderung enggan berinvestasi jangka panjang, karena bisa mengakibatkan
penurunan nilai EVA dalam periode yang bersangkutan. Hal ini dapat
mengakibatkan turunnya daya saing perusahaan di masa depan
3) Konsep EVA mengabaikan kinerja non keuangan yang sebenarnya bisa
meningkatkan kinerja keuangan
4) Tidak tepat diterapkan pada industri tertentu. Penggunaan EVA untuk
mengevaluasi kinerja keuangan, misalkan perusahaan dengan tingkat
pertumbuhan yang tinggi seperti pada sektor teknologi.
2.1.9.3 Langkah-Langkah Menentukan Economic Value Added
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menentukan EVA dijelaskan
dalam Zahara dan Haryanti (2011) sebagai berikut:
1) Menghitung biaya utang (Cost of Debt)
Cost of debt merupakan rate yang harus dibayar oleh perusahaan di dalam
pasar sekarang untuk mendapatkan hutang jangka panjang yang baru
2) Menghitung biaya modal saham (Cost of Equity)
30
Cost of equity adalah perhitungan untuk menaksir biaya modal saham
perusahaan
3) Menghitung struktur permodalan dari neraca
Menghitung struktur permodalan dari neraca adalah menghitung jumlah
dana yang tersedia bagi perusahaan untuk membiayai perusahaannya.
Struktur modal biasanya terdiri dari utang dan ekuitas, sehingga dicari:
Komposisi utang = rasio utang terhadap jumlah modal
Komposisi utang = rasio modal saham terhadap jumlah modal
4) Menghitung NOPAT, yakni laba bersih yang telah disesuaikan sehingga laba
tersebut tidak memperhitungkan biaya bunga lagi, tujuan menghilangkan
komponen biaya bunga tersebut agar biaya bunga yang tergolong biaya
modal dapat diperhitungkan secara rata-rata tertimbang dengan biaya modal
yang lain, yaitu ekuitas
5) Menghitung tingkat pengembalian, tingkat pengembalian yang dimaksud
adalah pengembalian dalam bentuk bunga
6) Menghitung biaya modal rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost of
Capital), merupakan rata-rata tertimbang biaya hutang dan modal sendiri,
menggambarkan tingkat pengembalian yang diharapkan oleh investor
7) Menghitung EVA, yaitu laba operasi bersih sesudah pajak (NOPAT)
dikurangi biaya modal.
31
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) Terhadap Return Saham
Salah satu alat ukur kinerja keuangan perusahaan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rasio solvabilitas. Rasio solvabilitas merupakan rasio yang
digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh
kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pada penelitian ini
rasio solvabilitas diproksikan dengan Debt to Equity Ratio (DER). Rasio ini
digunakan karena dapat memberikan informasi mengenai seberapa besar ekuitas
dari para pemegang saham yang digunakan untuk menutupi keseluruhan hutang
perusahaan sehingga para investor pada saat Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) dapat menyepakati jumlah dana perusahaan yang dibiayai dengan hutang
sehingga return yang sesuai dapat diperoleh.
Investor cenderung menghindari saham yang memiliki nilai DER yang
tinggi karena nilai DER yang tinggi mencerminkan risiko perusahaan yang relatif
tinggi (Kasmir, 2012:158). Mendukung pernyataan tersebut, Sakti (2010) juga
menjelaskan bahwa keberanian manajer menggunakan hutang dalam struktur
modal membawa dampak yang kurang baik bagi investor yang berkeinginan
menanamkan modal (dana). Manajer dapat menggunakan hutang pada kondisi
yang optimal sebagai sinyal yang lebih kredible, namun pada posisi yang
berlebihan akan memberikan signal yang buruk bagi investor. Perusahaan yang
menggunakan hutang secara berlebihan dapat diketahui dengan melihat tingginya
nilai DER perusahaan tersebut.
32
Semakin besar nilai DER, maka risiko gagal bayar yang dihadapi oleh
perusahaan akan semakin besar. Selain itu, semakin tinggi DER perusahaan juga
harus membayar biaya bunga yang tinggi. Apabila hal tersebut terjadi, maka dapat
mengakibatkan penurunan pembayaran dividen karena dianggap sebagai
informasi yang buruk oleh investor, sehingga permintaan terhadap saham
perusahaan akan mengalami penurunan yang berakibat pada penurunan harga
saham. Dalam kondisi tersebut menandakan saham perusahaan kurang diminati
yang secara langsung akan menurunkan tingkat return saham perusahaan (Kasmir,
2012:158).
Penjelasan tersebut didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Gill et al.
(2010), Hermawan (2012), Rafique (2012), Sakti (2010) yang memperoleh hasil
penelitian dimana DER memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap
return saham.
H1 : Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
return saham pada perusahaan food and beverage di BEI.
2.2.2 Pengaruh Return On Assets (ROA) Terhadap Return Saham
Rasio Profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan
perusahaan dalam mencari keuntungan. Pada penelitian ini rasio profitabilitas
diproksikan dengan Return On Assets (ROA) yang digunakan untuk mengukur
efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan
aktiva yang dimilikinya. Semakin tinggi ROA menunjukkan kinerja perusahaan
semakin baik dan para pemegang saham akan mendapat peningkatan keuntungan
33
dari dividen yang diterima atau return saham dan demikian pula sebaliknya
(Kasmir, 2012:202-205).
Perusahaan berupaya agar ROA dapat selalu ditingkatkan karena semakin
tinggi ROA menunjukkan semakin efektif perusahaan memanfaatkan aktivanya
untuk menghasilkan laba bersih setelah pajak dan dengan semakin meningkatnya
ROA maka profitabilitas perusahaan semakin baik. Kemampuan perusahaan
dalam mengelola aktiva untuk menghasilkan keuntungan mempunyai daya tarik
dan mampu mempengaruhi investor untuk membeli saham dan menanamkan
dananya pada suatu perusahaan. Hal tersebut akan menyebabkan harga saham
perusahaan akan meningkat dengan kata lain ROA akan berdampak positif
terhadap return saham (Arista dan Astohar, 2012).
Penjelasan tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Ghasempour
dan Mehdi (2013), Haghiri (2012) serta Malintan (2012) yang menyatakan bahwa
ROA berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham.
H2 : Return On Assets (ROA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap return
saham pada perusahaan food and beverage di BEI.
2.2.3 Pengaruh Price Earning Ratio (PER) Terhadap Return Saham
Rasio pasar yang berkaitan dengan return saham adalah Price Earning
Ratio (PER). Price earning ratio adalah cara mengukur seberapa besar investor
menilai laba yang dihasilkan perusahaan. Rasio ini menunjukkan berapa besar
investor menilai harga dari saham terhadap kelipatan dari laba perusahaan
(earnings) dan digunakan sebagai strategi untuk mengidentifikasi kewajaran harga
34
saham dimata pasar, apakah dinilai terlalu rendah (undervalued) atau terlalu
tinggi (overvalued) (Hartono, 2014:204).
Semakin tinggi PER menunjukkan prospek harga saham dinilai semakin
tinggi oleh investor terhadap pendapatan per lembar sahamnya, sehingga PER
yang semakin tinggi juga menunjukkan semakin mahal saham tersebut terhadap
pendapatan per lembar sahamnya. Perusahaan yang memiliki PER yang tinggi
biasanya memiliki peluang tingkat pertumbuhan yang tinggi, sehingga
menyebabkan ketertarikan investor untuk membeli saham perusahaan yang
kemudian dapat meningkatkan harga saham dan selanjutnya akan berdampak pada
perolehan return saham (Husnan, 2009:75).
Ketika harga saham semakin tinggi maka capital gain juga meningkat
yang mengakibatkan return saham naik, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat
pengaruh positif antara PER terhadapa return saham. Penjelasan tersebut
didukung oleh Arslan (2014), Farkhan dan Ika (2013), Karami et al. (2013) serta
Usman (2013) yang menyatakan bahwa PER memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap return saham.
H3 : Price Earning Ratio (PER) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
return saham pada perusahaan Food and Beverage di BEI.
2.2.4 Pengaruh Economic Value Added (EVA) Terhadap Return Saham
Economic Value Added (EVA) adalah suatu estimasi dari laba ekonomis
yang sebenarnya dari bisnis untuk tahun yang bersangkutan. Economic value
added berbeda dari laba akuntansi. Alasan yang paling penting karena
dikurangkannya biaya modal ekuitas ketika menghitung EVA. Economic value
35
added mencerminkan laba residu yang tersisa setelah biaya dari seluruh modal,
termasuk modal ekuitas, telah dikurangkan, sedangkan laba akuntansi ditentukan
tanpa mengenakan beban untuk modal ekuitas. Dalam perhitungan EVA disajikan
suatu ukuran yang baik mengenai sampai sejauh mana perusahaan telah
memberikan tambahan pada nilai pemegang saham. Pada saat manajer berfokus
pada EVA, hal ini akan membantu memastikan bahwa mereka telah menjalankan
operasi dengan cara yang konsisten dengan tujuan memaksimalkan kekayaan
pemegang saham (Brigham dan Houston, 2009:69).
Meningkatnya EVA suatu perusahaan disimpulkan bahwa kinerja
perusahaan tersebut semakin baik dan hal tersebut dipandang sebagai prestasi
perusahaan yang selanjutnya akan meningkatkan harga saham yang kemudian
berdampak pada return pemegang sahamnya.
Penjelasan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ismail
(2011), Kristiana dan Widodo (2012) serta Sharma dan Kumar (2010) yang
menyatakan bahwa EVA mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap return
saham.
H4 : Economic Value Added (EVA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
return saham pada perusahaan food and beverage di BEI.